3. DEFINISI
Spondilitis tuberkulosa atau
tuberkulosis spinal disebut juga
Pott’s disease of the spine/
tuberculous vertebral osteomyelitis
Spondilitis tuberkulosis
adalah infeksi pada tulang
belakang yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis
Vitriana (2012). Spondilitis Tuborkulosa. Jakarta FK –UI
Tutik K, Hapsari PN (2016). Pott’s Diaseas. Jurnal Respirasi. Vol.2 No.3 . Surabaya FK UNAIR.
4. EPIDIMIOLOGI
Insidensi di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung
kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat dan
kondisi sosial masing-masing negara.
Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia rata-rata kasus
pada usia dewasa (40-50 tahun)
Asia dan Afrika sebagian besar kasus pada anak-anak (50%
antara usia 1-20 tahun)
Area torako-lumbal (terutama T-10 dan lumbal atas) tempat
yang paling sering terlibat
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus dengan
spondilitis tuberkulosa
Penyakit yang
tersebar di seluruh
dunia, dengan
angka kematian < 3
juta kasus setiap
tahunnya.
Vitriana (2012). Spondilitis Tuborkulosa. Jakarta FK –UI
Tutik K, Hapsari PN (2016). Pott’s Diaseas. Jurnal Respirasi. Vol.2 No.3 . Surabaya FK UNAIR.
12. PENATALAKSANAAN
A. TERAPI KONSERVATIF
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin
(RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).
Terapi dapat diberikan selama 6-12 bulan atau hingga foto rontgen
menunjukkan adanya resolusi tulang.
3. Istirahat tirah baring (resting)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada
turning frame / plaster bed atau continous bed rest dapat dilakukan dengan
memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi
terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif.
Vitriana (2012). Spondilitis Tuborkulosa. Jakarta FK -UI
13. B. TERAPI OPERATIF
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu
pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi
konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik.
INDIKASI:
1. Terdapat devisit neurologis berupa paraplegia
2. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk
melakukan biopsi
3. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
4. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
5. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang
nyata dan mengancam atau kifosis berat saat ini
6. Penyakit yang rekuren
PENATALAKSANAAN
Vitriana (2012). Spondilitis Tuborkulosa. Jakarta FK -UI
14. KOMPLIKASI
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat
terjadi karena adanya tekanan ekstradural
sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra
tulang, sekuester dari diskus intervertebralis
(contoh : Pott’s paraplegia) atau dapat juga
langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh
jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :
menigomyelitis). Jika cepat diterapi sering
berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis
pada tumor).
1. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses
paravertebral di torakal kedalam pleura.
Vitriana (2012). Spondilitis Tuborkulosa. Jakarta FK -UI
15. PROGNOSIS
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat
tergantung dari usia dan kondisi kesehatan umum pasien,
derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang
diberikan.
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami
penurunan seiring dengan ditemukannya kemoterapi
(menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan
patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat)
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang
diterapi antibiotik dengan regimen medis saat ini
dan pengawasan yang ketat hampir mencapai
0,001%
Vitriana (2012). Spondilitis Tuborkulosa. Jakarta FK -UI