Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 1. L E M B A G A K E P R E S I D E N A N D A N W A K I L P R E S I D E N L A N G S U N G O R A K Y A T
Similar to Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 1. L E M B A G A K E P R E S I D E N A N D A N W A K I L P R E S I D E N L A N G S U N G O R A K Y A T
Similar to Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 1. L E M B A G A K E P R E S I D E N A N D A N W A K I L P R E S I D E N L A N G S U N G O R A K Y A T (20)
FORMAT KELEMBAGAAN NEGARA DAN PERGESERAN KEKUASAAN DALAM UUD 1945
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - 1. L E M B A G A K E P R E S I D E N A N D A N W A K I L P R E S I D E N L A N G S U N G O R A K Y A T
1. [1]
LEMBAGA KEPRESIDENAN
DAN PEMILIHAN
PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
LANGSUNG OLEH RAKYAT
Absolutisme lembaga kepresidenan ini tidak terlepas dari kelemahan UUD 1945
dan system pemilihan presiden secara bertahap lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat,
MPR. Dengan memanfaatkan kelemahan itu, Soeharto bisa dipilih berkali-kali dan
berkuasa selama lebih dari 30 tahun.
Pemilihan kepala pemerintah secara bertahap lewat badan perwakilan rakyat atau
parlemen ini pada umumnya berlangsung dalam system parlemen. Indonesia, yang
menganut system presidensiil masih memilih presiden, yang merangkap jabatan kepala
negara dan kepala pemerintah sekaligus, melalui sebuah badan perwakilan rakyat seperti
MPR. Keadaan in dianggap sebagai sesuatu yang tidak umum.
Sebab, Presiden sebagai kepala pemerintah dan kepala negara dengan demikian
tidak mempertanggungjawabkan hasil pemerintahannya langsung kepada rakyat, tetapi
kepada MPR. Demikianlah kenyataannya selama rezim Orde Baru berkuasa, Presiden
Soeharto mampu mengelabui rakyat dengan memperlihatkan bahwa MPR selalu
menerima pertanggungjawaban meskipun rakyat mempunyai penilaian lain. Memang
tidak semua anggota MPR yang 1.000 orang itu adalah pilihan rakyat, sehingga mudah
diintervensi oleh kekuasaan besar seorang presiden. Pemilihan langsung oleh seluruh
rakyat tentu akan dijauhkan dari kemungkinan intervensi atau rekayasa untuk
memenangkan calon tertentu. Dengan pemilihan oleh MPR, Soeharto mampu menduduki
jabatan presiden hingga tujuh kali selama lebih dari 30 tahun. Bahkan, setiap kali
pemilihan, dia selalu menjadi calon tunggal.
Pemilihan Presiden RI oleh MPR juga menimbulkan kontradiksi dalam system
pemerintahan, antara presindentiil dan parlementer. Dan kontradiksi ini merupakan salah
satu kelemahan UUD 1945. Dalam Pasal 4(1) memang disebutkan kepala negara dan
kepala pemerintah menyatu di tangan presiden, yang menunjukkan ciri system
presidensiil. Dipertegas oleh pasal-pasal 10 sampai dengan 15 yang menunjukkan
kedudukan pesiden sebagai kepala negara. Sedang Pasal 6(2) yang mengatakan, bahwa
presiden dipilih oleh para wakil rakyat di MPR, yang dapat diartikan pula bahwa presiden
bisa dijatuhkan oleh MPR, menunjukkan ciri system parlementer. Apalagi mengingat
Pasal 1(2) menyebutkan, bahwa kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh MPR
seakan-akan wakil rakyat ini bisa melakukan apa saja termasuk menjatuhkan presiden,
lewat mosi tidak percaya, dalam sebuah Sidang Istimewa(SI) MPR sebagaimana
disebutkan oleh Penjelasan UUD-1945, misalnya.
Kontradiksi ini diperkuat oleh ketentuan dalam pasal 3 di mana MPR menetapkan
GBHN yang lalu disodorkan oleh MPR sebagai amanat yang harus dilaksanakan oleh
presiden. Kalau itu dilanggar(Penjelasan UUD 1945) oleh Presiden, maka DPR bisa
meminta diadakan SI-MPR. Penjelasan UUD 1945 tentang peranan SI-MPR ini tentu
tidak sama dengan prinsip impeachment yang dapat dilakukan oleh Kongres Amerika
Serikat terhadap Presiden. Sebaab di dalam sistem penyelenggaraan negara di AS tidak
dikenal GBHN(blue print pembangunan, khususnya ekonomo) seperti di Indonesia.
2. Kediktatoran Soeharto di atsas kekuasaan MPR, kalau mau jujur, pada hakekatnya
bermaksud menghilangkan kontradiksi tersebut. Sebab, dalam sistem presidensiil yang
kita sepakai berlaku dalam UUD 1945, juga berlaku concentration of power and
responsibility upon the president. Sehingga Soeharto sengaja “mengambil alih”
kekuasaan MPR yang dualistis dengan kekuasaan presiden itu. Pertama, 600 orang dari
1.000 orang anggota MPR diangkat sendiri oleh Soeharto, tidak lewat pemilu. Dan kedua,
GBHN juga dibuat sendiri oleh Soeharto dan orang-orangnya di MPR.
Gusdur-Megawati dan DPR/ MPR hasil Pemilihan Umum(Pemilu) 1999 tidak
menyadari adanya dualisme itu, sehingga terjadilah kekacauan dalam sistem
pemerintahan sekarang di mana pihak yang satu(pemerintah) merasa lebih “kuat”
daripada yang lain (MPR), dan sebaliknya. Gusdur terutama ngotot untuk tidak mau
dijatuhkan ditengah jalan, sedang MPR bersekukuh bisa memaksa Gusdur mundur karena
melanggar haluan negara.
Oleh sebab itu, sudah saatnya Indonesia memilih presidennya, dan wakilnya,
secara langsung oleh rakyat. Dengan cara itu, kontradiksi di atas dihilangkan melalui
penguatan sistem presidensiil, di mana presiden tidak bisa dijatuhkan oleh wakil rakyat
melalui mosi tidak percaya meskipun kekuasaannya dikurangi. Presiden dan wakil
Presiden adalah pasangan dalam satu paket ideologi, partai, atau kebijakan yang
berkarakter. Oleh sebab itu,kalau presiden berhalangan tetap, wakil presiden otomatis
segera menggantikannya sampai masanya habis.
Kalau akyat tidak puas terhadap pilihannya, maka pasangan presiden dan wakil
presiden itu tetap berkuasa sampai habis waktunya dalam periode pertama, tetapi bisa
tidak terpilih lagi dalam periode kedua. Hanya kalau presiden/ wakil presiden
melakukan pelanggaran nyata terhadap konstitusi atau melakukan tindak pidana,
mereka bisa dijatuhkan di tengah jalan.
UUD 1945 DAN ABSOLUTISME EKSEKUTIF
UUD 1945 dikenal sebagai excecutive heavy, karena memberi peluang kepada
pihak eksekutif(pemerintah, atau khususnya presiden) untuk berperan sangat dominan.
Bahkan, dominasi presiden bisa melebihi kekuasaan-kekuasaan penyelenggara negara
lainnya sehingga menjadi absolut.
Pemilihan Presiden diatur melalui dua pasal. Pasal 6(2) mengatakan, presiden dan
wakil dipilih o/ MPR berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan pasal 7 mengatakan bahwa
presiden dan wakil presiden dipilih untuk waktu lima tahun dan setelah itu bisa dipilih
kembali.
Pertama, melalui Pasal 1(2) yg mengatakan bahwa kedaulatan ada di tangan
rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh MPR. Kata “sepenuhnya” itu, maka rakyat pada
hakekatnya tidak lagi berdaulat. Di lain pihak, kata “sepenuhnya” itulah yang justru
dipegang teguh Soeharto. Dari sini Soeharto berusaha merekayasa keputusan-keputusan
MPR untuk selalu berpihak kepadanya sehingga seolah-olah berbagai keputusan tersebut
telah sesuai dengan dan bertumpu pada kehendak rakyat. Dengan cara itulah, Soeharto
“memegang kendali” atas MPR.
Kedua, melalui Pasal 5(1) yang mengadakan kekuasaan membuat undang-undang
ada di tangan Presiden. DPR hanya sekedar memberikan persetujuan. Sehingga, pasal
2(1) mengatakan bahwa susunan MPR ditetapkan dengan UU, maka Soeharto
“menyusun” MPR dengan cara mengangkat 60% dari anggota MPR bagi kepentingannya
3. sendiri, yaitu fraksi ABRI, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Di zaman Soekarno
manipulasi seperti ini sudah pernah terjadi, tetapi pada waktu itu ABRI dimasukkan
sebagai bagian dari Utusan Golongan (yaitu “golongan fungsionil”). Sedangkan di zaman
Soeharto, fraksi ABRI seakan-akan menjadi sebuah “golongan” di luar “utusan
golongan”.
Pasal 19 mengatakan bahwa susunan DPR ditetapkan dengan UU, maka Soeharto
juga “menyusun” DPR dengan membuat Paket Lima UU Politik, antara lain, UU
Kepartaian, UU Pemilu dan UU Susunan DPR/ MPR sesuai dengan seleranya.
Ditundukkanlah partai-partai dan para pemimpinnya, dan dicurangi pulalah Pemilu.
Dibangunlah banyak organisasi massa melalui UU Organisasi Kemasyarakatan.
Semuanya itu utk menghasilkan Pemilu yang harus dimenangkan Golkar, partai
pendukungnya.
Khusus melalui Pasal 5(1) tersebut, rezim Orba memanipulasi lebih lanjut pasal-
pasal lain dalam UUD 1945 untuk menampilkan peranan presiden pemegang kekuasaan
membuat UU. Dari ketentuan dalam Pasal 23, maka presidenlah yang dianggap
mempunyai kekuasaan menetapkan belanja negara, sehingga tidak pernah dalam sejarah
Orba rancanan UU APBN yang dibuat oleh pemerintah bisa diubah sesenpun o/ DPR.
Pasal 24 dan 25. Undang-undang yang mengatur pengangkatan hakim dan
kekuasaan kehakiman itu berada di bawah mengaruh kekuasaan presiden. Penjelasan
UUD 1945 yang mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari kekuasaan
pemerintah ternyata tidak ada artinya.
Dalam pasal 28, kemerdekaan berkumpul, berserikat dan menyampaikan pikiran
yang merupakan HAM juga harus diartikan tergantung kemauan Presiden.
Dalam pasal 16 UUD 1945 dikenal Dewan Pertimbangan Agung sebagai sebuah
lembaga tertinggi negara yang berfungsi penasehat kepada presiden dan pemerintah.
Soeharto memanfaatkannya, dan mengatur siapa yang harus duduk sebagai anggota
dewan tersebut. Karena tidak jelas kewenangannya, DPA tidak perlu ada dalam Indonesia
Baru.
Dibangunlah pula ABRI menjadi sebuah kekuatan politik untuk mendukung
rezim Orba. Demikian pula diciptakanlah pengertian, bahwa Presiden adalah Mandataris
MPR. Sehingga, seakan-akan Presiden adalah MPR sendiri, dan dia pulalah
“penjelmaan” kedaulatan rakyat.
Khusus tentang peranan ABRI dalam politik, Soeharto mengikuti jejak
pendahulunya, Soekarno, yang menggabungkan Angkatan Kepolisian dan TNI beberapa
waktu sebelum Soekarno jatuh. Pasal 10 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden
memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, & AU ikut memudahkan manipulasi
Soeharto dengan “mengikutsertakan”militer dalam politik penyelenggaraan negara untuk
mendukung kekuasaannya. Padahal, pasal tersebut seharusnya hanya berlaku ketika
keadaan negara dalam bahaya atau perang.
Terakhir, diterbitkan UU Referendum (dalam paket Lima UU Politik) dan
ketetapan (Tap) MPR (No. 1 dan IV tahun 1983) dengan tujuan melestarikan UUD 1945.
dengan pelestarian itu, Soeharto dapat memanfaatkan pula berbagai kelemahan pasal-
pasal konstitusi di atas untuk mendukung kemauannya.
Ketiga, Pasal 6(2). Presiden Soeharto mengartikan pemilihan o/ MPR
“berdasarkan suara terbanyak” dengan menabukan pemungutan suara(voting), sebab
voting diartikan sebagai demokrasi liberal. Menurut Soeharto, “suara terbanyak” yang
4. sesuai dengan Demokrasi Pancasila adalah “fraksiisme”: anggota DPR/ MRP dilarang
bersuara lain dari suara fraksi. Dan jumlah suara fraksi yang dominan dan berpihak
kepada Soeharto itulah yang harus diikuti oleh fraksi-fraksi lain sehingga membangun
suara aklamasi. Sehingga tidak ada suara yang terpecah(tapi bulat), dan dengan begitu
calon presiden harus pula bulat atau tunggal.
Keempat, Pasal 7. Soeharto mengartikan kata-kata “bisa dipilih kembali” bagi
seorang Presiden RI sebagai “bisa dipilih berkali-kali” lagi. Hal ini tentu merupakan akal-
akalannya Soeharto. Meskipun begitu, tidak ada yang bisa membantah, bahwa Pasal 7
tersebut memang multi interpretatif, meskipun dalam penjelasannya dikatakan “jelas”.
MENANTANG SOEHARTO DAN REZIM ORDE BARU.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa absolutisme kekuasaan presiden itu
tidak terlepas dari kelemahan UUD 1945 yg bersifat inheren, absolutisme mana dapat
dimanipulasi untuk menempatkan kedudukan presiden di atas konstitusi. Hal ini telah
disadari sepenuhnya o/ Sri Bintang Pamungkas, pada ceramahnya di Berlin pada awal
1995 yang menyatakan pendapatnya tentang Presiden Soekarno dan Soeharto, “… Jadi,
tentang Soekarno dan Soeharto itu sama saja. Mereka sebetulnya menyeleweng. Nah,
kalau orang menyeleweng dari UUD, ya seperti itulah jadinya. Dia akan jatuh atau
dijatuhkan. Dan saya melihat, bahwa keadaan ini tidak terlepas dari UUD kita yang
mempunyai kelemahan.”
Sri Bintang dituntut di pengadilan karena ucapan-ucapan yang dianggap
“menghina” Presiden Soeharto itu melanggar Pasal 134 KUHP, dan dijatuhi hukuman
penjara o/ rezim Soeharto dua tahun dan sepuluh bulan(Sri-Bintang, 2000, hal. 65-67).
Tetapi, kebenaran kata-kata itu, selain bisa dibuktikan o/ jatuhnya Presiden
Soekarno(1966), juga o/ jatuhnya Presiden Soekaro sendiri pada 21 Mei 1998, setelah
rakyat bergerak menentang kediktatoranya itu.
Jadi, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI langsung o/ rakyat bukan lagi
merupakan ide baru. Ide pertama kal di zaman Orde Baru itu dilontarkan dalam upacara
deklarasi pembentukan Partai Uni Dekomkrasi Indonesi(PUDI), tanggal 29 Mei 1996. ide
itu kemudian didemonstrasikan o/ Sri-Bintangm Ketua PUDI, dan Julius Usman, Wakil
Ketua PUDI, yang memproklamasikan dirinya masing-masing sebagai calon presiden dan
calon wakil presiden periode 1998-2003.
MEMILIH WAKIL PRESIDEN.
Menang Presiden dan wakil presiden seharusnya merupakan satu pasangan yang serasi.
Soeharto menggunakan dalil itu untuk memilih sendiri wakilnya setelah dirinya terpilih
menjadi presiden.
Tetapi sebelumnya, Presiden juga mempunyai tadisi untuk memilih calonnya dari
hasil pendapat beberapa orang atau pembantu dekatnya. Pra orang dekatnya tu
dimasukkannya ke dalam sebuah tim, Tim-11 yang terdiri dari lima orang sipil dan enam
orang anggota ABRI. Di antara orang-orang sipil itu adalah menterinya. Demikian pula di
antara anggota ABRI adalah Panglima ABRI sendiri. Dari Tim-11 itulah Soeharto
memperoleh nama calon wakil presiden yang kemudian “diajukannya” kepada pimpinan
MPR untuk “disetujui” MPR.
Tentu saja “prosedur” itu dilakukannya dari “balik tirai”. Dalam keadaan
sebenarnya, pimpinan MPR mengunjungi presiden terpilih untuk melakukan
5. “konsultasi”. Dan dari konsultasi tadi diperolehlah nama calon wakil presiden hasil dari
Tim-11 presiden itu.
Pasal 8 UUD 1945 yang mengatakan, bahwa jika presiden mangkat, berhenti atau
tidak bisa melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti o/ wakil presiden
sampai habis waktunya. Memang ada dua permasalah di situ yang patut menjadi
perhatian tentang absah atau tidaknya Pasal 8 digunakan dalam peristiwa itu.
Pertama, sesungguhnya berhentinya Presiden Soeharto tidak terlepas dari tuntutan
mahasiswa dan masyarakat yang meminta rezim Orde Baru mundur. Bukan sekedar
mundurnya Presiden Soeharto. Jadi, mestinya Wakil Presiden Habibie juga sekaligus
mundur, karena Habibie adalah bagian dari Orde Baru.
Kedua, sehubungan dengan pasal 6(2) tentang pemilihan presiden dan wakil presiden o/
MPR berdasarkan suara terbanyak. Tersirat dalam pasal tersebut, bahwa calon presiden
dan wakil presiden harus ada dalam satu paket. Tetapi Soeharto dan Habibie,
sebagaimana praktek pemilihan wakil presiden Orba, tidak pernah merupakan pasangan
yang dipilih o/ MPR.
Jadi, sekiranya Pasal 8 UUD 1945 bisa digunakan hanya dengan syarat Pasal 6, dengan
pengertian selain presiden dan wakil presiden ada dalam satu paket tetapi juga satu
pasangan yang bersama-sama dipilih o/ MPR, maka sebetulnya Pasal 8 tidak bisa
digunakan untuk mengangkat Habibie menjadi Presiden. Jadi, pengangkatan Habibie
sebagai Presiden RI ketiga adalah tidak absah.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mensahkan
tiga keputusan(Loethan, 1972, hal. 260):
(1) UUD 1945 sebagai konstitusi RI;
(2) Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI;
(3) Presiden dibantu sementara waktu o/ sebuah Komite Nasional.
Dalam peristiwa itu, presiden dan wakil presiden dipilih sekaligus, bahkan sebagai Dwi-
Tunggal.
Memang dari Pasal 6(2) UUD 1945 tidak diperoleh kejelasan, apakah presiden dan wakil
harus berada dalam satu paket dan merupakan pasangan sejak dalam pencalonan atau
tidak. Akan tetapi mengingat bunyinya Pasal 8, maka menjadi jelas bahwa Presiden dan
wakil Presiden harus datang dari paket yang sama. Sebab, kalau tidak, maka wakil
presiden tidak bisa otomatis menggantikan presiden. Artinya, Pasal 8 dimaksudkan untuk
penggantian Presiden o/ wakil Presiden jika hanya jika keduanya, selain bisa bekerja
sama dan tidak saling beroposisi(satu pasangan), juga mempunyai ideologi yang sama
atau berasal dari kubu yang sama(satu paket).
Kalau memang demikian halnya, maka Megawati tidak mungkin menjadi
Presiden secara otomatis menggantikan Gusdur melalui Pasal 8 sekiranya Gusdur
berhalangan tetap di tengah jalan sebelum 2004, karena mereka tidak berada dalam satu
paket dan tidak menjadi satu pasangan. Syarat satu paket dan satu pasangan juga
mengundang kesalahan berikutnya yang juga dilakukan o/ MPR, baik secara sadar
ataupun tidak, yaitu ketika pemilihan presiden dan wakil presiden 1999 itu dilakukan
secara bertahap: presiden dipilih terlebih dahulu, baru wakil presiden dipilih kemudian.
Keadaan itu mengakibatkan calon-calon presiden yang “kalah”; lalu berubah pikiran
6. dengan ikut serta dalam pencalonan wakil presiden. Megawati melakukan itu, dengan
mencalonkan diri sebagai wakil presiden setelah dikalahkan dalam pemilihan presiden.
“Perubahan pikiran” itu mestinya mengurangi “kehormatan” Megawati yang dapat dinilai
hanya mau “cari tempat” saja.
Seharusnya MPR(dan para pimpinannya) digugat karena menyalahi ketentuan
UUD 1945, khususnya Pasal 6(2) dan Pasal 8. Dengan kata lain, pemilihan Gusdur dan
Megawati pada 21 Oktober 1999 yang lalu itu tidak absah secara hukum.
Ketua Amien Rais yang berubah-ubah dalam kurun tahun 2000 ini. Amien
menyatakan sekiranya Gusdur harus mundur, maka Wakil Presiden Megawati tidak bisa
naik menggantikan Gusdur menjadi Presiden, karena Megawati tidak satu paket dengan
Gusdur. Pernyataan berikutnya mengatakan, bahwa kalau Husdur akhirnya tergusur dan
Megawati naik menjadi presiden, maka Amien siap menjadi wakil presidennya. Tentu
pernyataan Amien ini menunjukkan ketidaktahuannya tentang sikap seharusnya seorang
negarawan dalam bernegara. Kalau pertanyaannya yang pertama betul, maka tentu
pernyataanya yang kedua salah besar, dan sebaliknya.