1. Makalah
Polemik Rancangan Undang-undang Pilkada
Dosen Pengajar
Drs. SUYONO, M.MPd
Oleh :
Nama :
Kelas : TI 6
NIM :
AKADEMI KOMUNITAS (POLTEK) NEGERI BOJONEGORO
JURUSAN D2. TEKNIK INFORMATIKA
BOJONEGORO 2014
3. 1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
makalah yang berjudul "Polemik Rancangan UU Pilkada". Atas dukungan
moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. SUYONO, M.MPd, selaku Dosen pembimbing kami untuk
matakuliah Pkn, yang memberikan materi pendukung , masukan, bimbingan
kepada penulis
2. Dan teman-teman, yang banyak memberikan dorongan, semangat kepada
penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini.
4. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................1
DAFTAR ISI ............................................................................................................2
BAB 1.......................................................................................................................3
PENDAHULUAN....................................................................................................3
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan. ...........................................................................................5
BAB II ......................................................................................................................6
PEMBAHASAN ......................................................................................................6
A. Pengertian RUU Pilkada..................................................................................6
B. Sistem RUU Pilkada ........................................................................................7
C. Pro dan Kontra RUU Pilkada. ..........................................................................9
D. Tujuan RUU Pilkada ....................................................................................12
BAB III...................................................................................................................14
PENUTUP ..............................................................................................................14
Kesimpulan .........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................15
5. 3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
RUU Pilkada saat ini tengah dibahas Panitia Kerja DPR. Mekanisme pemilihan
kepala daerah menjadi salah satu isu yang mendapat sorotan. Sebelum Pilpres
2014, tak ada parpol yang ingin jika kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Namun, kini semua parpol Koalisi Merah Putih, yakni Partai Golkar, Partai
Gerindra, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat
Nasional, ditambah Partai Demokrat, berubah sikap dan menginginkan agar
kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Berbagai pihak menolak usulan koalisi Merah Putih. Para bupati dan wali kota
yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia
(Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menolak
tegas pilkada oleh DPRD.
RUU Pilkada yang saat ini sedang dibahas DPR di Senayan menuai pro dan
kontra. Ada dua kubu yang bersebrangan yakni di satu pihak menghendaki
pemilihan kepala Daerah dilakukan oleh DPRD sedangkan di pihak lain tetap
mendukung dipilih langsung oleh rakyat. Sampai saat ini polemik ini masih
memanas dan dipublikasikan secara masih di semua media mainstream nasional.
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung
oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau
disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
6. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara
resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau
disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan
berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan
umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang
ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Sejak saat itulah hampir di semua wilayah di tanah air diadakan pemilihan kepala
daerah secara langsung.
7. 1.2 Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini dapat dirumuskan permasalahan dalam pertanyaan
“Apa sebenarnya RUU Pilkada di Indonesia itu?”
Dari rumusan permasalahan tersebut, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal:
a. Pengertian dari RUU Pilkada
b. Sistem RUU Pilkada
c. Pro dan kontra RUU Pilkada di Indonesia
d. Tujuan dari RUU Pilkada
5
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian dari RUU Pilkada.
b. Untuk mengetahui bagaimana Sistem RUU Pilkada
c. Untuk lebih mengetahui bagaimana UU Pilkada di Indonesia.
d. Untuk lebih tujuan dari pembentukan RUU Pilkada.
8. BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian RUU Pilkada
RUU ini disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri sejak 2010 dan
mengandung dua ketentuan baru yaitu:
Pilkada hanya memilih gubernur dan bupati/walikota
Wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan
PNS
gubernur tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD
provinsi
Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada)
sudah sejak 2010 disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Sesuai kesepakatan antara Komisi II DPR dengan Kemendagari, RUU Pilkada
akan diselesaikan sebelum penyelenggaraan Pemilu 2014. Dengan demikian
pilkada pasca-Pemilu 2014 sudah menggunakan undang-undang baru.
Naskah akademik RUU Pilkada menyebutkan tiga tujuan: pertama, memberikan
arahan dalam penyusunan norma-norma pengaturan dalam undang-undang
tentang pemerintahan daerah; kedua, menyelaraskan pengaturan norma dalam
undang-undang sesuai dengan norma akademis, teoritis dan yuridis; ketiga,
memberikan penjelasan mengenai kerangka pikir dan tujuan norma-norma
pengaturan dalam undang-undang tentang pemilihan gubernur dan
bupati/walikota.
RUU Pilkada terdiri atas 7 bab dan 181. Dalam RUU ini terdapat dua ketentuan
baru yang berbeda secara signfikan dari ketentuan UU No. 32/2004: pertama,
pilkada hanya memimilih gubernur dan bupati/walikota, sementara wakil
9. 7
gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS; kedua,
gubernur dipilih tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, meliankan oleh DPRD
provinsi.
B. Sistem RUU Pilkada
UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD
Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara
berpasangan dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara
langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian
dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi
dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai
sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat
membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan
yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala
daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara
kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan
terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan.
Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu
dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak
mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan
wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa system demokrasi pada
umumnya dan system pilkada pada khususnya harus jujur diakui masih
mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang
“legal system” sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa sub-
10. sistem hukum terdiri atas substansi hukum (legal substance) berupa pelbagai
produk legislative yang mendasari system hukum tersebut; kemudian struktur
hukum (legal structure) berupa kelembagaan yang menangani system tersebut dan
budaya hukum (legal culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan
filosofi yang mendasari system hukum tersebut. Dalam ketiga sub-sistem tersebut
demokrasi dan termasuk pilkada masih memerlukan konsolidasi. Warna
transksional dan pragmatism masih menonjol , belum lagi munculnya mukti tafsir
dan sikap mendua (ambiquitas) dalam pelbagai hal. Aapalgi apabila budaya
hokum semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh
partai politik yang sering disebut sebagai “legal culture of the insider”.
11. 9
C. Pro dan Kontra RUU Pilkada
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dinilai sebagai bentuk pengkhianatan partai
terhadap masyarakat. Masyarakat menganggap hak politik mereka untuk memilih
pasangan calon pilihannya dicabut apabila kepala daerah dipilih DPRD.
Hal itu terungkap di dalam survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia
(LSI) pada 5-7 September 2014. Quick poll ini menggunakan metode multistage
random sampling dengan 1.200 responden di 33 provinsi di Indonesia dan margin
of error 2,9 persen.
Peneliti LSI Adjie Alfaraby menyebutkan, sebanyak 81,25 persen responden
memilih agar pemilihan kepala daerah secara langsung yang telah berjalan selama
9 tahun terakhir ini tetap dipertahankan. Penolakan pemilihan kepala daerah oleh
DPRD terutama terjadi di masyarakat di kota besar.
"Mereka yang tinggal di kota, berpendidikan tinggi, dan berstatus ekonomi
menengah-atas lebih tinggi penolakannya dibanding mereka yang tinggal di desa
dan wong cilik,” kata Adjie saat memaparkan hasil survei di Kantor LSI, Jakarta
Timur, Selasa (9/9/2014).
Menurut Adjie, demokrasi merupakan isu sensitif bagi masyarakat yang tinggal di
wilayah perkotaan. Hal itu menyebabkan gelombang penolakan atas rencana
tersebut lebih banyak terjadi di masyarkat kota besar. Selain itu, masyarakat
kelompok kelas menengah memiliki akses terhadap media massa yang lebih luas
dan variatif.
Adjie mencatat bahwa penolakan terhadap sistem pilkada oleh DPRD juga terjadi
di kalangan kader dan pendukung Koalisi Merah Putih. Mayoritas dari mereka
mendukung agar pilkada langsung tetap dipertahankan.
12. Dekonsolidasi demokrasi
Dalam konteks ini, yang dipertontonkan sejumlah elite di gedung parlemen
menunjukkan gerak mundur demokrasi. Dalam ungkapan lain, perjalanan
demokrasi mengalami dekonsolidasi atau penguraian kembali benang-benang
demokrasi yang telah terpintal dengan sedemikian rapi, rancak, dan apik.
Ironisnya, penguraian kembali benang-benang demokrasi bukan dilakukan oleh
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi kekuasaan di negeri ini, tetapi oleh
para elite partai politik sebagai wakil mereka! Sebuah gambaran sempurna dari
pemangkasan hak-hak politik warga untuk menentukan sendiri pemimpin yang
dikehendaki.
Melihat parameter di atas, menjadi tak relevan untuk mempertanyakan kembali
signifikansi pemilihan langsung dalam sistem demokrasi dengan dalih mahalnya
biaya politik dan maraknya politik uang. Bahwa terdapat banyak kekurangan
dalam pemilihan langsung tak berarti mekanisme ini harus dihapus dan diganti
dengan pemilihan tidak langsung oleh parlemen.
Selain argumentasi di atas, ada pula sejumlah pengusung pemilihan tidak
langsung yang mendasarkan argumentasinya pada pertentangan antara demokrasi
liberal Barat (sebagai representasi pemilihan langsung) dan Pancasila (sebagai
representasi sistem perwakilan atau pemilihan tidak langsung).
Demokrasi dan Pancasila bukanlah konsep yang ekuivalen untuk
diperbandingkan, terlebih diperhadapkan. Keduanya lebih merupakan flesh and
blood dalam sistem kehidupan bernegara dan berbangsa yang saling melengkapi.
Dalam konteks ini, pemilihan langsung ataupun tidak langsung jelas tidak ada
kaitan dengan Barat atau Timur, liberalisme atau Pancasila, bertuhan atau tidak
bertuhan, dan semacamnya. Memilih langsung seorang pemimpin—terutama
dalam sistem politik presidensialisme—merupakan bagian dari hak-hak dasar
warga (civic rights) yang tidak bisa diwakilkan. Sejalan dengan itu, pemenuhan
negara atas hak-hak sipil warga bukanlah soal pilihan, melainkan kewajiban
negara untuk terus mengawal dan melindungi.
13. Perlawanan rakyat semesta
Sampai di sini, rasanya kita sulit menampik kenyataan bahwa demokrasi kita
sedang mengalami titik kritis. Demokrasi kita mengalami kondisi darurat
pertolongan (SOS). Perlu langkah-langkah kolektif dan sistematis untuk
menyelamatkan demokrasi kita dengan cara menghentikan tindakan anarkistis
pihak-pihak tertentu yang coba memangkas dan melucuti hak-hak dasar warga.
Meskipun demikian, langkah-langkah penyelamatan mestinya tidak perlu terjadi
seandainya tidak ada ”dusta di antara kita” melalui aksi teatrikal sejumlah elite
partai politik di Senayan. Tidak perlu pula Presiden mengeluarkan jurus
”penyelamatan citra” melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu), seandainya setiap proses demokrasi tidak mengalami pereduksian dan
pendangkalan makna.
Namun, sudahlah. Mari kita apresiasi niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengeluarkan perppu. Ibarat pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak sama
sekali. Terpenting lagi, gerakan perlawanan harus dimulai dari semua elemen
masyarakat, seperti kelompok masyarakat sipil (LSM), tokoh agama, elite politik,
akademisi kampus, mahasiswa, dan masyarakat pinggiran. Artinya, langkah
menyelamatkan demokrasi harus dimulai dari setiap kita yang masih mencintai
Indonesia dan demokrasi. Tanpa gerakan perlawanan rakyat semesta, pengerdilan
dan pereduksian atas nama demokrasi akan terus terjadi di panggung politik kita.
Namun, kita tidak perlu menunggu masa lima tahun lagi untuk menentukan sikap
kita dalam menegakkan hak-hak dasar warga.
Yang perlu kita lakukan adalah mengingatkan para petinggi negeri ini bahwa
memelihara hak-hak dasar warga itu sama pentingnya dengan mengatasi sejumlah
kekurangan dalam pemilihan langsung, tidak malah menggantinya dengan sistem
dan mekanisme yang mundur ke belakang. Sebagaimana dikutip di awal tulisan
ini, raison d’etre institusi demokrasi adalah untuk menjamin, menjaga, dan
melindungi hak-hak dasar warga dalam menentukan pilihan politiknya. Kita
telanjur berada pada tahap point of no return dalam berdemokrasi.
11
14. D. Tujuan RUU Pilkada
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip
demokrasi. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara
demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur
mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara
langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol.
Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun
2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari
dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di
Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya good governance
karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini
merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi. Daerah
telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah
sampai pada taraf otonomi individu .
Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat
pentingnya pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk
mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua,
Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas
pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk
meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang
bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau
daerah.
Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih
langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu
yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum lagi
biaya yang begitu besar , baik dari segi politik (issue perpecahan internal parpol,
issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan
15. suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue tentang disintegrasi social
walaupun sementara, black campaign dll.) maupun financial. Hal ini kita lihat
pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi
Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel, pemilihan gubernur langsung diselenggarakan
sebanyak dua putaran karena ketidakpuasan salah satu calon atas hasil
penghitungan suara akhir.
Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang multidimensional.
Ada yang bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang bermotif
mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga kehormatan Parpol
pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk
maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan
daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami,
karena “politics is the struggle over allocation of values in society”.(Politik
merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam
masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti pemilu legislative atau
pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi,
pengawasan budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the process of
government) . Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat,
batgaining and compromise” seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam
Undang-undang tentang Partai Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan
UU No.2 Tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik.
Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur)
bersifat transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal financial
besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya
yang sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat
dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang
calon,serta banyak Perda-Perda yang bermasalah,dan memberatkan masyarakat
dan iklim investasi.
13
16. BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pelaksanaan Pilkada/Pemilukada yang telah berlangsung sejak Juni 2005 s/d saat
ini secara umum telah berlangsung secara aman, tertib, dan demokratis dengan
tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Meskipun demikian dalam penyelenggaraan
Pilkada ke depan masih perlu dilakukan berbagai penyempurnaan untuk
memperbaiki beberapa kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada,
yaitu :
1. Peningkatan akurasi daftar pemilih.
2. Peningkatan akuntabilitas proses pencalonan.
3. Masa kampanye yang lebih memadai.
4. Peningkatan akuntabilitas penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan
suara.
5. Peningkatan penyelenggara Pemilu yang adil dan netral
6. Minimalisasi Putusan MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
7. Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahu 2004 dan UU No. 12
Tahun 2008 terkait dengan pelaksanaan Pilkada.
8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu
pemilih dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
9. Minimalisasi politisasi birokrasi oleh kepala daerah/wakil kepala daerah
incumbent dalam Pilkada.
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
11. Peninjauan sistem pemilihan Gubernur.
12. Peninjauan sistem pemilihan wakil kepala daerah.
17. 15
DAFTAR PUSTAKA
Sofyan, Syafran. “Permasalahan dan Solusi Pemilukada.”
http://www.lemhannas.go.id/portal/daftar-artikel/1634-permasalahan-dan-solusi-
pemilukada.html (diakses pada tanggal 23 Oktober 2014)
Dirjen Otda Depdagri, 2009, Evaluasi Pemilu Kepala Daerah Periode 2005-
2008.
Sentosa Sembiring, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda), Bandung, Nuansa Aulia
Nugroho Dewanto, 2006, Pancasila dan UUD 1945, Bandung, Nuansa Aulia.
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Jogjakarta, Gradien
Mediatama.
Ari Pradhanawati, 2005, Pilkada Langsung, Tradisi Baru Demokrasi Lokal,
Surakarta, KOMPIP.
OC.Kaligis, 2009, Perkara-Perkara Politik dan Pilkada di Pengadilan,
Bandung, PT. Alumni.
Prabowo, Dani. (2014, 9, September). LSI: Mayoritas masyarakat setuju
pilkada langsung. Kompas [online] http://nasional.kompas.com . (diakses
pada tanggal 23 Oktober 2014).
Rumah Pemilu. (2014). Rancangan Undang-Undang tentang Pemilhan Kepala
Daerah. Rumahpemilu.org[online]. http://www.rumahpemilu.org. Diakses
pada tanggal 23 Oktober 2014
BBC Indonesia. (2014, 11, September) http://www.bbc.co.uk/indonesia/.
(diakses pada tanggal 23 Oktober 2014).
Hilmy, Masdar. (2014, 16, Oktober). Menyelamatkan Demokrasi. Kompas
[online] http://nasional.kompas.com. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2014