Pengaruh tasawwufdalamgerakanikhwanulmuslimindimesir
1. PENGARUH TASAWWUF DALAM GERAKAN IKHWANUL
MUSLIMIN DI MESIR (1928-1948)
(JURNAL ARABIA, VOL. 11, NOMOR 22, OKTOBER2008-MARET 2009)
1. Latar Belakang
Ikhwanul Muslimin adalah sebuah gerakan Islam kontemporer yang cukup
berpengaruh saat ini. Gerakan yang didirikan oleh Hasan al-Banna (1908-1948) pada
tahun 1928 di Mesir ini banyak menarik perhatian para peneliti tentang Islam dan Timur
Tengah. Ini disebabkan karena pemikiran Islam yang dikembangkan oleh al-Banna
tentang Islam integral (din wa daulah) mampu mempengaruhi beberapa gerakan Islam
di belahan dunia Islam lainnya. Pengaruh pemikiran yang terwujud dalam gerakan
sosial dan politik ini termanifestasikan menjadi gerakan Islam yang beragam, mulai
gerakan yang moderat hingga yang radikal sekali pun. Bebarapa gerakan Islam dan
partai politik yang mengadopsi pemikiran Ikhwanul Muslimin ini antara lain Partai
AKP di Turki, Hammas di Palestina, Partai Keadilan Sejahtera di Indonesia, Angkatan
Belia Muslim di Malaysia dan beberapa gerakan sosial di Timur Tengah maupun di
Amerika Serikat dan Eropa.
Kemampuan Ikhwanul Muslimin untuk berkembang melampui batas-batas
negara (transnasional) disebabkan oleh pengaruh organisasi tradisional Tasawwuf yang
sejak awal memang cenderung tidak dibatasi oleh batasan regional. Organisasi
Tasawwuf memang dalam sejarahnya sering menjadi mediasi dalam menyatukan
kelompok yang tidak dibatasi oleh geografi, keluarga, maupun etnis.1
Tasawwuf yang terlembaga menjadi organisasi thariqah adalah bagian terpenting
sistem organisasi IM. Hanya saja banyak kalangan baik para peneliti maupun pengikut
gerakan ini yang tidak menyadari peran Tasawwuf membentuk orientasi gerakan. Akar
1
Ibid.
1
2. tradisionalisme Islam sebenarnya lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh
modernisme maupun puritanisme. Bahkan banyak pihak yang salah kaprah dengan
menyebutnya sebagai bagian dari gerakan Wahabi. Istilah-istilah yang dipakai oleh IM
adalah murni adopsi dari warisan Tasawwuf yang berakar dari Islam tradisionalis.
Sejauhmana pengaruh Tasawwuf dalam IM akan dibahas dalam artikel ini.
Artikel ini berusaha untuk menjelaskan aspek-aspek dalam IM yang terlupakan.
Sebagian besar penelitian dan penulisan tentang gerakan ini lebih banyak memfokuskan
pada aspek-aspek politik dan pengaruhnya dalam menciptakan radikalisasi. Akibatnya,
stigma tentang IM adalah lebih banyak memunculkan kesan fundamentalis dan radikal
daripada sikap moderat and kompromi. Peneliti seperti Christina Phelps Harris,
misalnya, menggambarkan kehidupan keagamaan al-Banna lebih banyak diisi oleh
pengaruh mazhab Hambali yang berorientasi fundamentalis.2
Biografi al-Banna
Apabila mempelajari biografi Hasan al-Banna akan nampak dengan jelas
bahwaa al-Banna mengembangkan ide-ide keislamannya berdasarkan pada konsep-
konsep Tasawwuf. Dalam beberapa tulisan-tulisannya, al-Banna lebih banyak
menggunakan istilah-istilah Tasawwuf dengan mengutip pemikiran klassik al-Ghazali
maupun Syafi’i. Buku yang ditulisnya sendiri dalam bentuk memoar sebagian besar
menceritakan perjalanan spiritualnya bersama tokoh-tokoh Tasawwuf yang terkenal di
Mesir. 3
Sejak kecil dia telah menjadi pengikut Tasawwuf al-Hasafiah karenanya istilah-
istilah dalam organisasi Ikhwanul Muslimin menggunakan nama-nama yang biasa
dipakai dalam khazanah Tasawwuf. Nama Ikhwanul Muslimin sendiri merupakan
mencirikan sebutan “ikhwan” yang biasa dipakai oleh kelompok Tasawwuf dalam
menyebut sesama anggota kelompok Tasawwuf. Keterlibatan al-Banna dalam kelompok
2
Christina Phelps Harris, Nationalism and Revolution in Egypt: the Role of the Muslim Brotherhood (The
Hague: Hoover Institution Publication, 1964), 143.
3
Lihat Hasan al-Banna, Memoar Hasan al-Banna, terj. Salahuddin Abu Sayyid and Hawin Mustadho
(Solo: Era Intermedia, 2000).
2
3. Tasawwuf selama lebih dari 20 tahun tentu berbekas pada organisasi yang dibentuknya
terutama dalam hal rekruitmen anggota dan hubungan antara pemimpin dan anggota
jamaahnya.4
Bahkan tidak ada bukti yang dapat ditemukan dalam tulisan-tulisannya
maupun pernyataan saksi sejarah bahwa al-Banna menyatakan tidak lagi mengikuti
ajaran Tasawwuf.5
Semua ini tercermin dalam tulisan-tulisan dan program-program
dakwahnya yang cenderung mencari titik temu diantara perbedaan-perbedaan yang ada
di kalangan umat. Dimensi Tasawwuf juga nampak dalam bentuk kecenderungan untuk
berperan sebagai mediator dan bersikap kompromistis dalam setiap menghadapi
persoalan maupun konflik.6
Secara umum Hasan al-Banna adalah seorang guru yang memiliki latar belakang
religius yang kuat dengan orientasi tradisionalis dan modernis.7
Dia bukanlah tipikal
pemikir seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh maupun figur-figur
reformis Islam lainnya. Dia adalah seorang tokoh agama yang kharismatik dengan
kemampuan untuk mengarahkan individual untuk bergabung dalam sebuah kelompok
jamaah yang taat. Al-Banna mampu menciptakan sebuah wadah gerakan yang efektif
dan mampu untuk mengaplikasikan ide-ide keagamaannya. Keunikannya sosok ini
dibanding dengan tokoh-tokoh Islam sezamannya di samping kemampuannya sebagai
orator dan pemimpin gerakan adalah bahwa al-Banna tidak pernah mengikuti
pendidikan formal agama secara khusus. Dia adalah lulusan Universitas Darul Ulum di
Kairo dengan spesialisasi di bidang pendidikan.
Al-Banna dalam aktifitas dakwahnya selalu berusaha untuk menyatukan orang-
orang yang berasal dari aliran yang berbeda dan menghindari perselisihan dalam urusan
agama.8
Pengalaman keagamaan dalam persaudaraan Tasawwuf yang diterimahnya
4
Richard Mitchell, The Society of Muslim Brothers (London: Oxford University Press, 1969), 3.
5
Ibrahim M. Abu-Rabi, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab World (Albany:
State University of New York Press, 1996), 68-69.
6
Michael Gilsenan, Saint and Tasawwuf in Modern Egypt: an Essay on the Sociology of Religion,
(Oxford: The Clarendon Press, 1973), 4.
7
John Obert Voll, Islam Continuity and Change in the Modern World (Essex: Westview Press, 1982),
175.
8
Ishak Musa Husaini, The Muslim Brethren (Westport: Hyperion Press, 1986), 25.
3
4. selama menjadi anggota tarekat Hasafiyyah Shadziliyyah telah mengalami internalisasi
dan tercermin dalam personalitasnya. Namun demikian, orientasi Tasawwufnya tidaklah
membuat al-Banna kemudian melupakan persoalan-persoalan dunia tetapi sebaliknya
justru membuatnya untuk melakukan aktifitas-aktifitas sosial dan politik untuk
melakukan perubahan.9
Pada awalnya Ikhwanul Muslimin adalah organisasi keagamaan dan
kemasyarakatan yang bertujuan untuk meningkatkan aspek religius and sosial
masyarakat Mesir. Di samping itu gerakan ini juga bertujuan untuk menandingi gerakan
misionaris Kristen di Mesir yang sedang marak.10
Setelah mengamati berbagai persoalan
sosial dan politik negaranya yang lebih banyak mendapatkan pengaruh peradaban Barat,
al-Banna merasakan bahwa rakyat Mesir telah mengalami degradasi moral dan agama.
Masyarakat dianggapnya semakin jauh dari ajaran-ajaran Islam dan membuatnya
merasa perlu untuk mengembalikan masyarakat Mesir itu pada naungan Islam.11
Perkembangan selanjutnya IM mulai mengembangkan perannya untuk terlibat
secara aktif dalam perjuangan membebaskan Mesir dan dunia Arab dari dominasi dan
penjajahan asing. Untuk mencapai tujuannya, al-Banna menggagas sebuah pemikiran
keislaman dan gerakan yang berdasarkan pada gerakan ishlahul ummah (perbaikan
umat). Dakwah al-Banna mendapatkan sambutan luas masyarakat Mesir dan
berhadapan dengan rezim pemerintah yang korupsi dan pro penjajah.
IM adalah perpaduan antara dimensi spiritual dan sosial yang mampu untuk
menggerakkan anggota-anggotanya selalu meningkatkan kualitas moral spiritual guna
menciptakan perubahan sosial.12
Al-Banna memandang tidak ada kontradiksi antara
tujuan spiritual tasawuf dengan aktifitas sosial.13
Metode dan model dakwah IM
menurutnya merupakan proses transformasi intelektual dan sosial dari perjalanan
9
Rabi, Intellectual Origins of Islamic Resurgence, 67.
10
Al-Banna, Memoar Hasan al-Banna, 199.
11
Mitchell, The Society of Muslim Brothers, 6.
12
Mitchell, The Society of Muslim Brothers, 6.
13
Rabi, Intellectual Origins of Islamic Resurgence, 67.
4
5. Tasawwuf dalam hidupnya.14
Teman spiritual al-Banna sendiri ketika ketika bergabung
tarekat Hasafiah, Ahmad Syukri, diangkatnya sebagai wakil IM di Cairo.15
Gaya akomodasi Hasan al-Banna juga nampak dari usahanya untuk
mendeskripsikan gerakan IM sebagai wadah dari berbagai macam orientasi dan
pemikiran. Baginya IM adalah gerakan yang bercirikan pada (1) dakwah Salafiyah
(dakwah salafiyyah) yang berlandaskan pada Qur’an and Sunnah; (2) tarekat suni
(t}ari>qah sunniyyah) yang mencontoh perjalanan spiritual Nabi Muhammad; (3)
hakekat Tasawwuf (h}aqi>qah s}ufiyyah) yang mementingkan kebaikan dan kesucian;
(4) organisasi politik (hay’ah siya>siyyah) yang menginginkan perubahan politik dari
dalam; (5) asosiasi olahraga (jam>a’ah riya>d}yyah) yang mengutamakan kesehatan
dan kekuatan fisik; (6) jaringan intelektual dan budaya (rabi>t}ah ‘ilmiyyah
thaqafiyyah) yang berusaha meningkatkan kualitas intelektual dan pengetahuan
anggotanya; (7) amal usaha (shirkah iqtis}a>diyyah) yang menganjurkan anggota untuk
melakukan aktifitas ekonomi; (8) organisasi sosial (jam>a’ah ijtima>’iyyah) yang
berusaha untuk mengembangkan kekuatan masyarakat.16
2. Revitalisasi Konsep Tasawwuf
Dengan pengalaman panjang sebagai penganut tarekat Hasafiyah, al-Banna
mampu untuk melakukan revitalisasi konsep tasawwuf sebagai fondaasi utama dalam
organisasi IM. IM kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan sosial keagamaan
yang terus berkembang mulai dari wilayah-wilayah pedesaan sampai perkotaan di
Mesir. Struktur dan metode dalam IM adalah adopsi dari konsep tarekat yang telah
dimodifikasi. Meskipun, al-Banna tidak menyebut kelompok tarekat tertentu, tetapi
penggunaan dan praktik tasawwuf banyak dijumpai dalam struktur organisasinya. Al-
Banna menyebut pengikutnya dengan istilah al-ikhwa>n (brothers) dan memakai
julukan al-mursyid (pembina). Dia juga menggunakan istilah bay’ah (ikrar) dalam
14
Al-Banna, Memoar Hasan al-Banna, 42-43.
15
Ibid., 132
16
Al-Banna, Risalah Pergerakan 2, 227-229.
5
6. merekrut anggota baru dan mewajibkan kepada para anggota untuk membaca wirid-
wirid tertentu yand dikenal dengan waz}i>fah (prayers). Perasaan kebersamaan dan
persaudaraan di antara anggota-anggota IM juga menunjukkan pengaruh kuat dari
tasawwuf yang ditandai dengan penggunaan istilah persaudaraan (ukhuwah) dan
keluarga (usrah).17
Al-ikhwan (saudara) mengandung arti khusus yang menunjukkan tingkat
kebersamaan dan persaudaraan di antara sesama anggota sebuah tarekat. Dalam arti
yang lebih sempit istilah al-ikhwan merujuk pada identitas dan simbol keanggotaan
kelompok tarekat, seperti ikhwan Naqsyabandiyyah, Tijaniyyah, Qadiriyyah, dan
sebagainya. Ada semacam kewajiban saling menanggung sebagai anggota sebuah
tarekat bahwa seorang ikhwan itu biasa melakukan perjalanan jauh dan mendapatkan
penerimaan dan pelayanan baik di suatu dari dari ikhwan lainnya. Aturan dalam
ikhwan memberikan jaminan kepada saudara-saudara sesama anggota tarekat untuk
mendapatkan penginapan maupun makanan secara cuma-cuma.18
Sejak awal berdirinya IM tidak bermaksud untuk menjauhkan diri dari
kelompok mainstream Muslim di Mesir. Alih-alih menyebut kelompoknya sebagai
bagian dari persaudaraan tarekat tertentu, al-Banna lebih suka untuk menamai
organisasinya sebagai “saudara bagi kaum muslimin” (al-ikhwan al-muslimun).19
Dia
pun menghindari setiap perselisihan antar mazhab maupun perbedaan-perbedaan antar
tarekat yang berbedan karena dapat membatasi gerak organisasinya dalam masyarakat.
Dia berusaha untuk berdakwah kepada semua masyarakat secara umum tanpa melihat
latar belakang pemikiran dan oreintasi keagamaan mereka. Dakwahnya pun dilandasi
pada tiga fondasi utama; ilmu pengetahuan (al-ilmu), pendidikan (tarbiyah) dan jihad
17
The Tasawwuf model of brotherhood or family is the best way of disseminating Islamic teachings. The
organised Tasawwufs, under their charismatic leader, easily expanded their influence beyond national
borders. Some tarekat also served as clandestine organizations that aimed to challenge the authority of an
unjust ruler of the day. See Abu Bakar Acheh, Pengantar Sejarah Tasawwuf dan Tasauf (Kelantan:
Pustaka Amar Press, 1977), 313.
18
A member of the tarekat may stay in the zawiyah (contemplation room) or the house of al-ikhwan. See
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), 15.
19
Al-Banna, Memoar Hasan Al-Banna, 43.
6
7. (al-jihad). His organization had to address all levels of the broader society, based on
three fundamentals – knowledge (al-‘ilm), education (al-tarbiyyah) and striving (al-
jiha>d). Namun demikian al-Banna tetap memberikan ruang kepada anggota-
anggotanya yang menginginkan mempraktikkan persaudaraan khusus ala tarekat.20
Namun demikian, organisasi ini pun kemudian tidak bisa melepaskan diri dari
kecenderungan sikap-sikap yang eksklusif.
Untuk meningkatkan kualitas spiritual, IM menggunakan metode tarbiyah yang
dipakai dalam pembinaan moral dan kekuatan jiwa (tarbiyah ruhiyah). Langkah-
langkah yang digunakan untuk mencapai ketakwaan yang sempurna adalah melalui
usaha-usaha spiritual, seperti mu’ahadah (janji setia), muroqobah (pengawasan),
muhasabah (instrospeksi), mua’qobah (memberi hukuman) dan mujahadah
(optimalisasi ibadah).21
Usaha-usaha spiritual ini dilakukan untuk mendapatkan
kepekaan jiwa yang bermanfaat dalam mengendalikan nafsu karena nafsu tidak dapat
dikendalikan kecuali dengan takwa (rasa takut) kepada sang Pencipta. Akal dan hati
nurani tidak dapat ditaklukkan hanya dengan perdebatan intelektual maupun diskusi-
diskusi tetapi dengan menumbuhkan furqon dalam hati yang mampu menyingkap jalan
kehidupan. Semua ini tidak dapat dilukiskan dalam kata-kata tetapi hanya bisa dirasakan
hakekatnya.22
Tentu saja konsep-konsep seperti ini merupakan pokok-pokok bahasan
yang tidak asing dalam khazanah tasawwuf terutama yang dikembangkan oleh al-
Gazhali.
Pemimpin tertinggi IM dikenal dengan sebutan Mursyid Am (Pengarah dan
Pembina Umum). Sebutan ini merupakan penamaan yang biasa dipakai oleh kelompok
tarekat dalam menyebut sang guru pemberi arahan dan petunjuk. Pemakaian istilah
mursyid dalam IM dapat dipastikan bukan karena kebetulan tetapi lebih banyak
20
Ibid., 116.
21
Abdullah Nashih Ulwan, terj. Tarbiyah Ruhiyah: Petunjuk Praktis Mencapai Derajat Takwa (Jakarta:
Robbani Press, 2004), hal. 10-20.
22
Ibid. hal. 6
7
8. dipengaruhi obsesi al-Banna yang menginginkan hubungan pemimpin dan anggota IM
tidak sekedar bersifat struktur organisasi. Mursyid secara literal bermakna “orang yang
memberikan panduan sprititual kepada para muridnya.” Dalam literatur Tasawwuf,
mursyid atau disebut juga syaikh memiliki kemampuan khusus untuk membawa murid-
muridnya menjadi lebih dekat kepada Tuhan. Mursyid adalah orang yang memiliki
kemampuan memberikan inspirasi untuk membuka tabir-tabir misteri kehidupan karena
dia adalah sosok yang bersikap dengan hati.23
Hal yang paling utama dalam praktik
tasawwuf adalah bagaimana untuk dapat menemukan seorang pembimbing yang baik
yang menjadi tumpuan spiritual para anggotanya. Para anggota diharapkan dapat
memberikan loyalitas dan ketaataannya kepada Mursyid secara total.24
Pemilihan dan penekanan pada aspek-aspek tasawwuf seperti ini telah membuat
hubungan yang khusus antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin
dalam tradisi Tasawwuf memiliki kelebihan otoritas kepemimpinan personal dan ini
dapat dijumpai dalam gerakan IM. Ketaatan dan loyalitas anggota adalah hal yang
utama sehingga anggota IM dikenal memiliki militansi dan soliditas tinggi terutama
dalam hal ketaataan kepada pemimpin. Namun demikian, Al-Banna tidak menggunakan
semua otoritas pemimpin seorang mursyid itu untuk mendapatkan ketaatan tanpa
reserve tetapi dia berusaha untuk merubahnya pada ketaatan yand dilandasi oleh
pengetahuan. Al-Banna lebih menekankan pada kewajiban yang tidak dapat ditawar-
tawar dalam hal menjalankan ibadah berupa shalat, zikir dan akhlak.25
Meskipun al-
Banna mendasarkan kepemimpinannya pada otoritas kharismaik tetapi dia berusaha
untuk membatasinya dalam lingkup birokrasi dan hirarki organisasi modern.26
Al-Banna
juga memberikan koreksi bahwa tidak semua perintah mursyid itu harus dijalankan,
23
Gilsenan, Saint and Tasawwuf in Modern Egypt, 73.
24
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), 83.
25
Al-Banna, Memoar Hasan al-Banna, 80.
26
Brynjar Lia, The Society of the Muslim Brothers in Egypt: the Rise of an Islamic Mass Movement 1928-
1942 (Readings: Ithaca Press, 1998), 115.
8
9. terutama dalam hal yang berkaitan dengan persoalan duniawi. Al-Banna dalam Risalah
Pergerakan menyebutkan:
Pendapat pemimpin maupun wakilnya yang berkenaan dengan isu-isu yang tidak secara
tegas diatur oleh teks agama dan memiliki kemungkinan perbedaan interpretasi harus
didasarkan pada konsep maslahat ummat. Kemaslahatan umat harus dikedepankan
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam syariah. Pendapat itu
mungkin saja berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Intinya, ibadah
membutuhkan penyerahan total tanpa harus menimbang arti tetapi untuk urusan dunia
harus diuji dulu arti dan tujuannya.27
Memang al-Banna untuk beberapa hal masih mempertahankan gaya
kepemimpinan ala mursyid tarekat dalam menjalankan organisasi IM. Dia adalah
pemimpin kharismatik dan tidak ada wakil-wakilnya yang mampu membatasi
keinginanannya. Sebagai Mursyid Am, al-Banna menampakkan keinginan kuat untuk
mendapatkan loyalitas total para anggotanya dan memegang otoritas kepemimpinan
secara kuat dan secara personal mampu mengarahkan program dan kebijakan
organisasi.28
Karakter personal yang kuat terutama dalam hal spiritualitas dan intelektual
semakin menumbuhkan ketaatan para anggota IM. Banyak orang mengagumi sifat dan
keistimewaannya walaupun bukan anggota IM:
Al-Banna dipercaya memiliki tiga kualitas utama kepemimpinan. Dia adalah sosok
yang memiliki daya tarik dan magnit bagi para pengikutnya. Dia seorang orator ulung
yang mampu mempengaruhi perasaan pendengar-pendengarnya. Kemampuan
berbahasa yang luar biasa. Dalam tradisi Arab orang yang memiliki kemampuan
berbahasa yang sempurna tentu mendapatkan penghormatan tinggi.29
However, it is because of his Tasawwuf style of leadership that many writers on
the Muslim Brothers have criticised his leadership: it was not democratic in nature. For
instance, Zakariyya Sulayman Bayumi contended that the autocratic style of Hasan al-
Banna and lack of democracy in the Muslim Brothers were serious defects in the
organization.30
Furthermore, a number of leftist Egyptian historians, such as Rif’at al-
27
Al-Banna, Risalah Pergerakan 2, 163.
28
Harris, Nationalism and Revolution in Egypt, 143.
29
Ibid., 152.
30
See Zakariyya Sulayman Bayumi, The Muslim Brothers and the Islamic Associations in the Egyptian
Political Life, 1928-1948 (Cairo: Maktabah al-Wahda, 1978) as quoted by Lia, The Society of the Muslim
Brothers in Egypt, 9.
9
10. Said31
and Tariq al-Bisri32
accused the movement of representing the opponents of the
democratic forces because of its alignment with the “autocratic” and “fascist” forces of
the palace.33
Another term borrowed from the t}ari>qah and applied by al-Banna is bay’ah,
the oath taken by the seeker of mystical wisdom to abide by the organization’s rules and
guidelines. Strictly speaking, none of the Tasawwuf orders accept new members of the
t}ari>qah without the swearing of this covenant. Only those to have taken the vow of
allegiance to the leader of the order are allowed to begin practising the rituals. Before
taking the oath, the candidate should make sincere repentance before God and renounce
his or her past sins.34
The new student places his hand in the hand of the murshid and the
murshid administers the covenant that he or she accepts the murshid as his or her
guide.35
It should be noted that each Tasawwuf order has its own particular details and
ways of proceeding in performing the ceremony of covenant taking.
The first members of the Muslim Brothers swore their allegiance to the murshid
al-Banna himself. They were six labourers working in the British Company of the Suez
Canal, and were seeking a guide able to improve their spiritual and social conditions.
Even though it has not been clearly described for posterity, the event of the covenant
taking by these ordinary people indicates the strong relations between leader and led.36
It explicitly shows the Tasawwuf code, when laymen surrendered themselves and all
their possessions - blood, soul and coin, to express their adherence to an honourable
spiritual Guide.37
Since that moment, al-Banna fulfilled his dream to become a respected
31
He wrote a book entitled Hasan al-Banna: Mata, Kaifa wa Li-mada? (Cairo: Maktabah Madbuli,
1977).
32
See his book al-Harakiyah al-Siyasiyah fi Misri 1945-1952 (Cairo: Dar al-Tawzi wa al-Nashr al-
Islamiyah, 1972).
33
Lia, The Society of the Muslim Brothers in Egypt, 7. The stance of the Muslim Brothers vis-a-vis the
palace indicates a certain Tasawwuf tradition more accommodating to rulers, and the way in which they
gave their support to combat secular and foreign forces in the country.
34
Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, 87.
35
Gilsenan, Saint and Tasawwuf in Modern Egypt, 95.
36
Mitchell, The Society of Moslem Brothers, 8.
37
Al-Banna formulated ten prerequisites of the covenant. These include understanding (al-fahm),
sincerity (al-ikhla>s}), action (al-‘amal), honest striving (al-jiha>d), sacrifice (al-tad}h>yyah),
obedience (al-t}a>’ah), perseverance (al-thabat)), authenticity (al-tajarrud), brotherhood (al-ukhuwwah)
10
11. Guide and teacher (murshid and mu’allim) and guided his followers accordingly.38
He
also successfully reformed the absolute dependence of students upon their teacher into
the concept of solidarity and brotherhood among the members, under the banner of the
Muslim Brothers, in which the murshid was included.
To realise commonality and the sharing of aims rather than a single-focussed
loyalty, al-Banna revised the concept and practice of attachment to the murshid
(rabit}ah murshid) to the attachment to fellow students (rabit}ah muri>din). When the
rabit}ah murshid is undertaken as a practice in certain other Tasawwuf orders, students
are instructed to visualise their master and sense his presence within their hearts. Al-
Banna’s newly devised rabit}ah however involved a process of communal visualisation
among fellow students.39
Thus the rabit}ah, understood as a special spiritual relation,
was not monopolised by the master but was shared by all members. In practising
rabit}ah, the Brothers were to visualise their fellow members’ faces and try to feel
spiritual contact with them (even those with whom they had no acquaintance). Then the
following prayer was recited
O Allah, indeed you know that our hearts have gathered for the sake of your love, met
for the purpose of obedience, united under your mission and promised to uphold your
path. O Allah! Strengthen our relations, endure our passion, and give us your light that
never reduces to a glimmer! Widen our hearts with full faith and the beauty of
submission and revive them with your knowledge. Show me the way of jihad. Surely,
you are the best Guide and Helper.40
3. Ikhwanul Muslimin: antara Tasawwuf dan Salafi
.
and trust (al-thiqah).
38
In his memoir, al-Banna includes a story which describes his goals after graduating from the University
of Darul Ulum. He dreamed he became a great teacher who took on a responsibility to educate people
through academic training and a great supervisor to extend spiritual guidance to people through the
Tasawwuf tradition. See Al-Banna, Memoar Hasan al-Banna, 96-100.
39
In the practice of the Naqsyabandiyah order, students are supposed to sense their teacher’s presence as
much as they can in order to strengthen their spiritual connection with him.
40
Hasan al-Banna, Al-Ma’tsurat Sughra: Doa & Dzikir Rasulullah SAW Pagi dan Petang (Jakarta:
Sholahuddin Press, 1996).
11