SlideShare a Scribd company logo
1 of 8
Oleh : R. Heru Hendarto
(versi edit telah terbit di Majalah Garuda Inflight Juni 2011)

Pukul 15.10, kapal MV Sagori Express dari BauBau berlabuh sejenak di pelabuhan
Raha. Dua jam perjalanan laut yang penuh dengan pemandangan indah sepanjang
Selat Buton antara Pulau Buton dan Muna sungguh telah menghibur saya.
Selanjutnya saya pun turun dan menginjakkan kaki di kota kabupaten yang baru
berkembang ini. Riuh suara penumpang yang hendak turun ataupun naik
melanjutkan perjalanan ke Kendari, bercampur-baur dengan teriakan penjaja
makanan kecil, porter pelabuhan dan tukang ojek yang menawarkan jasanya. Saya
segera menghampiri Rahman, seorang tukang ojek yang sedang bediam diri di
pinggir dermaga, untuk mengantarkan saya ke tujuan pertama saya, kota Tua
Muna.
Perjalanan ke Kota Tua terasa menyiksa sekali, saya terguncang-guncang
melewati jalanan tanah berbatu sejauh 30 km ke selatan Raha. Satu-satunya
yang menghibur saya adalah hijaunya pemandangan kebun dan hutan yang
berjejer di pinggir jalan. Di beberapa tempat tampak rumah-rumah kayu khas
Muna yang tersebar terpencil di pinggir-pinggir jalan desa. Sore itu sepi sekali
jalanan kami rasa, kami hanya berpapasan dengan dua buah sepeda motor dan
sebuah mobil. Cemas sempat hinggap di perasaan saya, jika sampai kami
mengalami gangguan motor, misalnya ban bocor, maka dipastikan kami akan
bermalam di tempat itu.
Bertanya dua kali ke warga setempat yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan,
sampailah kami di pusat Kota Tua Muna. Kampung Lama, demikian banyak orang
menyebut daerah ini, saat ini hanya tersisa sebuah mesjid yang gagah berdiri di
tengah hijaunya lembah desa. Di sekelilingnya tampak putaran bukit gamping yang
berwarna putih abu-abu seolah-olah membentengi mesjid ini dari segala arah.
Saat itu waktu ashar telah tiba, saya menaiki undakan tangga mesjid dan
menemukan bahwa kami berdua lah yang hanya menjadi tamu mesjid itu.
Melongok ke dalam ruangan mesjid yang terkunci, saya baru sadar bahwa tempat
ini sudah dirombak total. Bangunan seluas 400m2 ini telah dipugar dan
menenggelamkan arsitektur awalnya yang konon sangat menarik. Di luar, puluhan
pilar dengan gagah berdiri di atas lantai beton yang menopang atapnya. Lumayan
modern tampaknya, dengan rangka-rangka besi yang menghubungkan bagian per
bagian. Namun di dalam, saya menemukan bahwa pondasi utama berupa sebuah
pilar yang kokoh masih menopang kubah dua tingkatnya yang menjadi penciri khas
mesjid ini. Tentu saja, pilar tersebut sudah digantikan dengan beton. Mihrab di
bagian depan tampak sederhana, hanya berupa meja kayu tinggi di pinggir kiri
dan di kanannya terdapat dua ruang untuk imam dan pengurus mesjid. Seperti
halnya mesjid-mesjid agung di daerah lain, seorang imam mesjid yang dituakan
akan dipilih untuk menjadi panutan umat. Demikian pulalah halnya yang dengan
Yaro Imamu Robine (petinggi Mesjid Agung) Muna, Wa Ode Ghito yang wafat
pada tahun 1963 dalam usia 120 tahun! Pusaranya diabadikan di sisi selatan
mesjid, bersandingan dengan cucu kesayangan beliau La Ode Manenti Woro.
Tampak sebuah batu nisan berbentuk yoni tegak berdiri diapit keramik pualam
hitam sebagai penanda makam imam besar tersebut.
Tertarik dengan cerita rakyat akan asal-usul Kerajaan Muna, kami kembali
meluncur ke selatan. Kira-kira 10 menit kemudian kami pun

berhenti di persimpangan kecil. Diiringi seorang bapak tua, saya, Rahman, dan
seorang anak kecil sebagai guide berjalan menembus jalan setapak berbatu
menuju ke dalam perbukitan. Tiga ratus meter kemudian, Sang Bapak Tua
menunjuk sambil berkata : “Ini dia dek, tempatnya asal-usul kerajaan Muna itu”.
Saya pun teringat akan legenda terdamparnya kapal putra Raja Luwu,
Sawerigading dalam salah satu pelayarannya di salam satu pulau. Sebelum
kembali ke Luwu, Sawerigading meninggalkan anak buahnya sejumlah 40 orang,
mendirikan suatu kampung bernama Wamelai yang menjadi cikal-bakal penduduk
Muna. Kapal yang kandas tersebut dikisahkan membatu dan menjadi suatu bukit
yang disebut Bahutara yang berarti bahtera. Setengah mati saya berusaha
memvisualisasikan bentuk bukit di kanan saya agar mirip dengan perahu, namun
tidak pernah berhasil. Akhirnya, saya melewatkan tempat ini sementara dan
terus berjalan memasuki jalan menuju Kontu Kowuna. Lima belas menit langkah
saya terhenti saat Si Bapak menahan pundak saya. “Inikah Kontu Kowuna itu?”,
pikir saya dalam hati. Di luar dugaan saya, Kontu Kowuna yang berarti bukit
berbunga sebagai asal-muasal nama Muna ini ternyata terdiri dari tiga buah bukit
kecil. Bukit-bukit gersang tersebut tampak ditumbuhi sejenis rumput yang
berwarna putih tulang. Dahulu, rumput yang bertebaran memberi kesan
”berbunga” ini dipercaya memiliki kesaktian. Prajurit Muna yang hendak
berperang selalu mengambil rumput ini sebagai ajimat dan dipercaya mereka akan
kembali dengan selamat. Saat ini, masyarakat sekitar masih mempercayai
khasiatnya sebagai obat segala penyakit. Cukup dengan mengambil sejumput dan
diminum dengan air hangat maka dipercaya segala penyakit akan lenyap. Saya
sangat beruntung diberi sejumput bunga itu karena keberadaannya yang jarang
sekali.
Penasaran dengan Bahutara, kami pun melangkah kembali ke tempat semula.
Begitu saya lepas dari jejeran bukit-bukit mungil Kontu Kowuna, barulah mata
saya terbelalak. Saat itu tampak dengan jelas visualiasi perahu dari Bahutara
tegak menjulang di sisi kiri. Bukit berbentuk perahu dengan panjang kurang-lebih
40 meter itu memiliki haluan yang menghadap ke selatan. Semakin penasaran,
saya melangkahkan kaki mendaki sisi selatan bukit, saking semangatnya saya tiba
di bagian “buritan” dengan terengah-engah. Di atas, saya mendapati bahwa di
bagian tengah terdapat lorong berupa gua-gua kecil yang umum terdapat di dalam
bebatuan gamping. Ada sebuah gua yang lumayan besar dan mengarah ke bawah,
namun saya urungkan niat memasukinya karena tidak membawa peralatan yang
cukup. Saya hanya melongok sebentar dan takjub, ternyata keberadaan loronglorong gua ini cocok dengan cerita adanya ruangan di dalam kapal yang dulunya
berfungsi sebagai “kabin”. Rahman, si tukang ojek, pun tidak kalah antusiasnya
dari saya. “Maklum, saya asli dan besar di sini tapi baru pertama kali ke sini Pak!”,
imbuhnya sambil tersenyum malu. Saya hanya tertawa kecil, hal seperti itu bukan
barang baru buat saya.
Dari atas bukit Bahutara, saya melayangkan pandangan ke sekeliling. Di lembah di
bawah kaki, tampak atap hijau dua tingkat Mesjid Tua Muna yang saya
kunjungisebelumnya. Sayang sekali, benteng batu yang dikisahkan mengelilingi
kerajaan ini sepanjang 8 kilometer dan setebal 3 meter sudah tidak tampak. Jika
masih ada dan terjaga, pastilah mahakarya itu akan menjadi “saingan berat” dari
benteng kerajaan Buton di BauBau yang sedang menanti pengakuan sebagai
benteng terluas di dunia. Namun, pemandangan yang indah di bawah dari indahnya
lembah yang menghijau dipagari jejeran putihnya bukit-bukit gamping cukup
menghibur hati. Terlebih-lebih, baru saya sadari jika semua rumah di daerah ini
masih mempertahankan ciri tradisionalnya. Rumah-rumah panggung dengan bahan
kayu polos berwarna coklat tampak kuno dengan ornamen pintu dan jendelanya
yang khas. ”Walau sudah lebih ratusan tahun legenda berlalu, kami tetap
berusaha mempertahankan budaya warisan nenek moyang kami”, kata Pak Tua
dengan suara bergetar. Salut dengan semangat beliau, saya pun menyampaikan
rasa terima kasih tak terhingga atas kesediaannya mengantar kami walau pun
beliau bukan juru kunci daerah itu. Saya pun pamit dan kembali menuju Raha
sebelum malam tiba.
Esok paginya, saya kembali menyetop tukang ojek yang melintas di pinggir pesisir
Raha. Tawar-menawar kilat pun terjadi dan deal, saya pun diantarkan kembali ke
arah selatan menuju danau Napabale yang cukup terkenal. Saya baru sadar jika
perjalanan saya kemarin melewati persimpangan Napabale. Danau, atau lebih
tepatnya laguna seluas sepuluh kali lapangan bola ini terletak 15 km selatan Raha.
Airnya yang berwarna hijau tosca bening sangat memikat hati. Suasananya
sangat senyap, tidak ada debur ombak atau pun pantai di sini. Dasar danau
berupa pasir lembut berwarna putih hasil rombakan gamping terumbu. Di
beberapa tempat tampak mencuat pulau-pulau mini dari gamping, benar-benar
tempat yang romantis! Saya beruntung sekali karena di pagi yang sepi itu, saya
menemukan seorang pemuda yang bersedia mengantar saya mengelilingi danau
dan tentu saja, menembus melewati lorong menuju laut. Syaiful, pemuda lajang 19
tahun dengan cekatan mendayung perahunya mengelilingi sisi selatan danau.
Ternyata, sembari menuju lorong ke laut, di bagian itu terdapat beberapa rumah
nelayan yang difungsikan sebagai tempat pengolahan ikan. Berbagai ikan segar
hasil laut diawetkan dengan cara dijemur berjejeran dan digarami. Mereka
sepertinya jarang bertemu pelancong di hari biasa, tampak dari raut wajahnya
yang berubah ceria saat melihat saya dari kejauhan.
Debar jantung saya menjadi-jadi saat mendekati lorong menuju laut hasil
pahatan alam ini. Bukan apa-apa, muka air laut saat itu masih tinggi menurut saya,
namun Syaiful tenang-tenang saja. “Tenang saja Pak, air sudah mulai surut, kita
pakai perahu kecil jadi pasti sudah bisa lewat”, ujarnya penuh percaya diri.
“Okelah, penumpang turut supir “, jawab saya pendek. Memasuki mulut lorong,
sempit sekali rasanya bagi saya, walaupun lebarnya mencapai sekitar 9 meter
dengan panjang 30-an meter, kami hanya leluasa melalui jalur zig-zag selebar 3
meter saja. Beberapa kali saya harus menundukkan kepala menghindari tonjolantonjolan stalagtit kecil di atas lorong.

Sekitar kurang dari lima menit kami melewati lorong itu dan sampailah kami di
ujung. Fikir saya, muara lorong itu adalah laut luas Selat Buton, ternyata sisi
ujung itu bermuara ke tempat yang menurut saya masih saja tertutup. Jejeran
benteng perbukitan gamping yang mengitari dan pulau-pulau kecil yang mencuat
membuat saya seolah-olah memasuki Danau Napabale kedua. Bedanya, di sini
dasar laut tampak dalam sekali. Tidak tampak lagi dasar pasir putih di bawah,
hanya hijau kelam membayang. Di sisi-sisi pantai yang hanya secuil, tampak
beberapa rumah nelayan dan bagang-bagang. Bagang adalah rangkaian perahu
yang digunakan untuk menangkap ikan di malam hari. Jika kita melewati perairan
Sulawesi di malam hari dan melihat terangnya lampu neon atau petromaks di laut,
dipastikan itu adalah bagang atau wanggan, sebagai mana dilafalkan berbeda di
daerah lain. Daerah ini, menurut Syaiful, adalah “rest area” bagi nelayan di sini.
Para nelayan yang berdiam di desa Napabale, jika hendak kembali ke desa dan air
laut sedang naik maka mereka harus menunggu di sini sampai perahu kecil mereka
bisa menembus lorong danau.

Saya tidak bernyali untuk meneruskan perjalanan ke luar menuju Selat Buton
hanya bermodalkan perahu kayuh kecil milik Syaiful tersebut. Akhirnya sisa
waktu hanya saya habiskan memutari tempat itu lalu kembali memasuki lorong
untuk kedua kalinya dan memutari sisi utara danau menikmati eksotisme
keindahan tempat ini. Tidak mengherankan, ratusan turis manca negara datang
ke tempat ini setiap tahunnya di musim panas hanya untuk menikmati jernihnya
hijau air Napabale dalam pahatan alam yang begitu indah hasil karya tiada tara
Sang Maha Pencipta.
Sejarah kabupaten muna

More Related Content

Viewers also liked

Viewers also liked (9)

La quiebra
La quiebraLa quiebra
La quiebra
 
Nigeria news
Nigeria newsNigeria news
Nigeria news
 
Contralínea 455
Contralínea 455Contralínea 455
Contralínea 455
 
Cumpleaños 5 años
Cumpleaños 5 añosCumpleaños 5 años
Cumpleaños 5 años
 
Documento_de_Apresenta__o_-_600_Anos_de_Empreendedorismo_Portugu_s
Documento_de_Apresenta__o_-_600_Anos_de_Empreendedorismo_Portugu_sDocumento_de_Apresenta__o_-_600_Anos_de_Empreendedorismo_Portugu_s
Documento_de_Apresenta__o_-_600_Anos_de_Empreendedorismo_Portugu_s
 
Waaleska Madrid
Waaleska MadridWaaleska Madrid
Waaleska Madrid
 
004 brewtech automation 2008
004 brewtech automation 2008004 brewtech automation 2008
004 brewtech automation 2008
 
Jenel Stevens stunt resume 11.30.15
Jenel Stevens stunt resume 11.30.15Jenel Stevens stunt resume 11.30.15
Jenel Stevens stunt resume 11.30.15
 
18 on thi dh khoi a
18 on thi dh khoi a18 on thi dh khoi a
18 on thi dh khoi a
 

More from Operator Warnet Vast Raha

Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiPermohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiOperator Warnet Vast Raha
 

More from Operator Warnet Vast Raha (20)

Stiker kk bondan
Stiker kk bondanStiker kk bondan
Stiker kk bondan
 
Proposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bolaProposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bola
 
Surat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehatSurat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehat
 
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajarSurat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
 
Halaman sampul target
Halaman sampul targetHalaman sampul target
Halaman sampul target
 
Makalah seni kriya korea
Makalah seni kriya koreaMakalah seni kriya korea
Makalah seni kriya korea
 
Makalah makromolekul
Makalah makromolekulMakalah makromolekul
Makalah makromolekul
 
126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul
 
Kafer akbid paramata
Kafer akbid paramataKafer akbid paramata
Kafer akbid paramata
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Mata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budayaMata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budaya
 
Lingkungan hidup
Lingkungan hidupLingkungan hidup
Lingkungan hidup
 
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiPermohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
 
Odher scout community
Odher scout communityOdher scout community
Odher scout community
 
Surat izin keramaian
Surat izin keramaianSurat izin keramaian
Surat izin keramaian
 
Makalah keganasan
Makalah keganasanMakalah keganasan
Makalah keganasan
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Makalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetikaMakalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetika
 
Undangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepaUndangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepa
 
Bukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajakBukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajak
 

Sejarah kabupaten muna

  • 1. Oleh : R. Heru Hendarto (versi edit telah terbit di Majalah Garuda Inflight Juni 2011) Pukul 15.10, kapal MV Sagori Express dari BauBau berlabuh sejenak di pelabuhan Raha. Dua jam perjalanan laut yang penuh dengan pemandangan indah sepanjang Selat Buton antara Pulau Buton dan Muna sungguh telah menghibur saya. Selanjutnya saya pun turun dan menginjakkan kaki di kota kabupaten yang baru berkembang ini. Riuh suara penumpang yang hendak turun ataupun naik melanjutkan perjalanan ke Kendari, bercampur-baur dengan teriakan penjaja makanan kecil, porter pelabuhan dan tukang ojek yang menawarkan jasanya. Saya segera menghampiri Rahman, seorang tukang ojek yang sedang bediam diri di pinggir dermaga, untuk mengantarkan saya ke tujuan pertama saya, kota Tua Muna. Perjalanan ke Kota Tua terasa menyiksa sekali, saya terguncang-guncang melewati jalanan tanah berbatu sejauh 30 km ke selatan Raha. Satu-satunya yang menghibur saya adalah hijaunya pemandangan kebun dan hutan yang berjejer di pinggir jalan. Di beberapa tempat tampak rumah-rumah kayu khas Muna yang tersebar terpencil di pinggir-pinggir jalan desa. Sore itu sepi sekali jalanan kami rasa, kami hanya berpapasan dengan dua buah sepeda motor dan sebuah mobil. Cemas sempat hinggap di perasaan saya, jika sampai kami mengalami gangguan motor, misalnya ban bocor, maka dipastikan kami akan bermalam di tempat itu.
  • 2. Bertanya dua kali ke warga setempat yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan, sampailah kami di pusat Kota Tua Muna. Kampung Lama, demikian banyak orang menyebut daerah ini, saat ini hanya tersisa sebuah mesjid yang gagah berdiri di tengah hijaunya lembah desa. Di sekelilingnya tampak putaran bukit gamping yang berwarna putih abu-abu seolah-olah membentengi mesjid ini dari segala arah. Saat itu waktu ashar telah tiba, saya menaiki undakan tangga mesjid dan menemukan bahwa kami berdua lah yang hanya menjadi tamu mesjid itu. Melongok ke dalam ruangan mesjid yang terkunci, saya baru sadar bahwa tempat ini sudah dirombak total. Bangunan seluas 400m2 ini telah dipugar dan menenggelamkan arsitektur awalnya yang konon sangat menarik. Di luar, puluhan pilar dengan gagah berdiri di atas lantai beton yang menopang atapnya. Lumayan modern tampaknya, dengan rangka-rangka besi yang menghubungkan bagian per bagian. Namun di dalam, saya menemukan bahwa pondasi utama berupa sebuah pilar yang kokoh masih menopang kubah dua tingkatnya yang menjadi penciri khas mesjid ini. Tentu saja, pilar tersebut sudah digantikan dengan beton. Mihrab di bagian depan tampak sederhana, hanya berupa meja kayu tinggi di pinggir kiri dan di kanannya terdapat dua ruang untuk imam dan pengurus mesjid. Seperti halnya mesjid-mesjid agung di daerah lain, seorang imam mesjid yang dituakan
  • 3. akan dipilih untuk menjadi panutan umat. Demikian pulalah halnya yang dengan Yaro Imamu Robine (petinggi Mesjid Agung) Muna, Wa Ode Ghito yang wafat pada tahun 1963 dalam usia 120 tahun! Pusaranya diabadikan di sisi selatan mesjid, bersandingan dengan cucu kesayangan beliau La Ode Manenti Woro. Tampak sebuah batu nisan berbentuk yoni tegak berdiri diapit keramik pualam hitam sebagai penanda makam imam besar tersebut. Tertarik dengan cerita rakyat akan asal-usul Kerajaan Muna, kami kembali meluncur ke selatan. Kira-kira 10 menit kemudian kami pun berhenti di persimpangan kecil. Diiringi seorang bapak tua, saya, Rahman, dan seorang anak kecil sebagai guide berjalan menembus jalan setapak berbatu menuju ke dalam perbukitan. Tiga ratus meter kemudian, Sang Bapak Tua menunjuk sambil berkata : “Ini dia dek, tempatnya asal-usul kerajaan Muna itu”. Saya pun teringat akan legenda terdamparnya kapal putra Raja Luwu, Sawerigading dalam salah satu pelayarannya di salam satu pulau. Sebelum kembali ke Luwu, Sawerigading meninggalkan anak buahnya sejumlah 40 orang, mendirikan suatu kampung bernama Wamelai yang menjadi cikal-bakal penduduk Muna. Kapal yang kandas tersebut dikisahkan membatu dan menjadi suatu bukit yang disebut Bahutara yang berarti bahtera. Setengah mati saya berusaha
  • 4. memvisualisasikan bentuk bukit di kanan saya agar mirip dengan perahu, namun tidak pernah berhasil. Akhirnya, saya melewatkan tempat ini sementara dan terus berjalan memasuki jalan menuju Kontu Kowuna. Lima belas menit langkah saya terhenti saat Si Bapak menahan pundak saya. “Inikah Kontu Kowuna itu?”, pikir saya dalam hati. Di luar dugaan saya, Kontu Kowuna yang berarti bukit berbunga sebagai asal-muasal nama Muna ini ternyata terdiri dari tiga buah bukit kecil. Bukit-bukit gersang tersebut tampak ditumbuhi sejenis rumput yang berwarna putih tulang. Dahulu, rumput yang bertebaran memberi kesan ”berbunga” ini dipercaya memiliki kesaktian. Prajurit Muna yang hendak berperang selalu mengambil rumput ini sebagai ajimat dan dipercaya mereka akan kembali dengan selamat. Saat ini, masyarakat sekitar masih mempercayai khasiatnya sebagai obat segala penyakit. Cukup dengan mengambil sejumput dan diminum dengan air hangat maka dipercaya segala penyakit akan lenyap. Saya sangat beruntung diberi sejumput bunga itu karena keberadaannya yang jarang sekali. Penasaran dengan Bahutara, kami pun melangkah kembali ke tempat semula. Begitu saya lepas dari jejeran bukit-bukit mungil Kontu Kowuna, barulah mata saya terbelalak. Saat itu tampak dengan jelas visualiasi perahu dari Bahutara tegak menjulang di sisi kiri. Bukit berbentuk perahu dengan panjang kurang-lebih 40 meter itu memiliki haluan yang menghadap ke selatan. Semakin penasaran, saya melangkahkan kaki mendaki sisi selatan bukit, saking semangatnya saya tiba di bagian “buritan” dengan terengah-engah. Di atas, saya mendapati bahwa di bagian tengah terdapat lorong berupa gua-gua kecil yang umum terdapat di dalam bebatuan gamping. Ada sebuah gua yang lumayan besar dan mengarah ke bawah, namun saya urungkan niat memasukinya karena tidak membawa peralatan yang cukup. Saya hanya melongok sebentar dan takjub, ternyata keberadaan loronglorong gua ini cocok dengan cerita adanya ruangan di dalam kapal yang dulunya berfungsi sebagai “kabin”. Rahman, si tukang ojek, pun tidak kalah antusiasnya
  • 5. dari saya. “Maklum, saya asli dan besar di sini tapi baru pertama kali ke sini Pak!”, imbuhnya sambil tersenyum malu. Saya hanya tertawa kecil, hal seperti itu bukan barang baru buat saya. Dari atas bukit Bahutara, saya melayangkan pandangan ke sekeliling. Di lembah di bawah kaki, tampak atap hijau dua tingkat Mesjid Tua Muna yang saya kunjungisebelumnya. Sayang sekali, benteng batu yang dikisahkan mengelilingi kerajaan ini sepanjang 8 kilometer dan setebal 3 meter sudah tidak tampak. Jika masih ada dan terjaga, pastilah mahakarya itu akan menjadi “saingan berat” dari benteng kerajaan Buton di BauBau yang sedang menanti pengakuan sebagai benteng terluas di dunia. Namun, pemandangan yang indah di bawah dari indahnya lembah yang menghijau dipagari jejeran putihnya bukit-bukit gamping cukup menghibur hati. Terlebih-lebih, baru saya sadari jika semua rumah di daerah ini masih mempertahankan ciri tradisionalnya. Rumah-rumah panggung dengan bahan kayu polos berwarna coklat tampak kuno dengan ornamen pintu dan jendelanya yang khas. ”Walau sudah lebih ratusan tahun legenda berlalu, kami tetap berusaha mempertahankan budaya warisan nenek moyang kami”, kata Pak Tua dengan suara bergetar. Salut dengan semangat beliau, saya pun menyampaikan rasa terima kasih tak terhingga atas kesediaannya mengantar kami walau pun beliau bukan juru kunci daerah itu. Saya pun pamit dan kembali menuju Raha sebelum malam tiba. Esok paginya, saya kembali menyetop tukang ojek yang melintas di pinggir pesisir Raha. Tawar-menawar kilat pun terjadi dan deal, saya pun diantarkan kembali ke arah selatan menuju danau Napabale yang cukup terkenal. Saya baru sadar jika perjalanan saya kemarin melewati persimpangan Napabale. Danau, atau lebih tepatnya laguna seluas sepuluh kali lapangan bola ini terletak 15 km selatan Raha. Airnya yang berwarna hijau tosca bening sangat memikat hati. Suasananya sangat senyap, tidak ada debur ombak atau pun pantai di sini. Dasar danau berupa pasir lembut berwarna putih hasil rombakan gamping terumbu. Di
  • 6. beberapa tempat tampak mencuat pulau-pulau mini dari gamping, benar-benar tempat yang romantis! Saya beruntung sekali karena di pagi yang sepi itu, saya menemukan seorang pemuda yang bersedia mengantar saya mengelilingi danau dan tentu saja, menembus melewati lorong menuju laut. Syaiful, pemuda lajang 19 tahun dengan cekatan mendayung perahunya mengelilingi sisi selatan danau. Ternyata, sembari menuju lorong ke laut, di bagian itu terdapat beberapa rumah nelayan yang difungsikan sebagai tempat pengolahan ikan. Berbagai ikan segar hasil laut diawetkan dengan cara dijemur berjejeran dan digarami. Mereka sepertinya jarang bertemu pelancong di hari biasa, tampak dari raut wajahnya yang berubah ceria saat melihat saya dari kejauhan. Debar jantung saya menjadi-jadi saat mendekati lorong menuju laut hasil pahatan alam ini. Bukan apa-apa, muka air laut saat itu masih tinggi menurut saya, namun Syaiful tenang-tenang saja. “Tenang saja Pak, air sudah mulai surut, kita pakai perahu kecil jadi pasti sudah bisa lewat”, ujarnya penuh percaya diri. “Okelah, penumpang turut supir “, jawab saya pendek. Memasuki mulut lorong, sempit sekali rasanya bagi saya, walaupun lebarnya mencapai sekitar 9 meter dengan panjang 30-an meter, kami hanya leluasa melalui jalur zig-zag selebar 3 meter saja. Beberapa kali saya harus menundukkan kepala menghindari tonjolantonjolan stalagtit kecil di atas lorong. Sekitar kurang dari lima menit kami melewati lorong itu dan sampailah kami di ujung. Fikir saya, muara lorong itu adalah laut luas Selat Buton, ternyata sisi
  • 7. ujung itu bermuara ke tempat yang menurut saya masih saja tertutup. Jejeran benteng perbukitan gamping yang mengitari dan pulau-pulau kecil yang mencuat membuat saya seolah-olah memasuki Danau Napabale kedua. Bedanya, di sini dasar laut tampak dalam sekali. Tidak tampak lagi dasar pasir putih di bawah, hanya hijau kelam membayang. Di sisi-sisi pantai yang hanya secuil, tampak beberapa rumah nelayan dan bagang-bagang. Bagang adalah rangkaian perahu yang digunakan untuk menangkap ikan di malam hari. Jika kita melewati perairan Sulawesi di malam hari dan melihat terangnya lampu neon atau petromaks di laut, dipastikan itu adalah bagang atau wanggan, sebagai mana dilafalkan berbeda di daerah lain. Daerah ini, menurut Syaiful, adalah “rest area” bagi nelayan di sini. Para nelayan yang berdiam di desa Napabale, jika hendak kembali ke desa dan air laut sedang naik maka mereka harus menunggu di sini sampai perahu kecil mereka bisa menembus lorong danau. Saya tidak bernyali untuk meneruskan perjalanan ke luar menuju Selat Buton hanya bermodalkan perahu kayuh kecil milik Syaiful tersebut. Akhirnya sisa waktu hanya saya habiskan memutari tempat itu lalu kembali memasuki lorong untuk kedua kalinya dan memutari sisi utara danau menikmati eksotisme keindahan tempat ini. Tidak mengherankan, ratusan turis manca negara datang ke tempat ini setiap tahunnya di musim panas hanya untuk menikmati jernihnya hijau air Napabale dalam pahatan alam yang begitu indah hasil karya tiada tara Sang Maha Pencipta.