Perempuan dan anak sangat rentan mengalami kekerasan baik fisik dan psikis. Untuk mencegahnya dibutuhkan upaya yang terus menerus dan berdampingan antara orang tua, masyarakat dan pemerintah.
MEDIUM Edisi IV akan mengupas tentang parenting education yang diterapkan lembaga PAUD dalam menggalang partisipasi orangtua untuk mewujudkan pendidikan yang ramah anak, upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka kekerasan di sekolah, dan informasi lainnya.
MEDIUM (Media Inovasi Perubahan Masyarakat) Edisi IV
1. YAYASAN SATU
KARSA KARYA
BULETIN
Edisi IV/Juni 2016
Kemandirian Ekonomi
untuk Kedaulatan Diri
Perempuan
Pendidikan Ramah
Anak Butuh
Dukungan Orang Tua
Upaya Menurunkan
Angka Kekerasan Anak
di Sekolah
Pendidikan Ramah
Anak Butuh
Dukungan Orang Tua
Kemandirian Ekonomi
untuk Kedaulatan Diri
Perempuan
Upaya Menurunkan
Angka Kekerasan Anak
di Sekolah
Angka Kekerasan
Tinggi, Pemerintah dan
Masyarakat Perlu
Bersinergi
Angka Kekerasan
Tinggi, Pemerintah dan
Masyarakat Perlu
Bersinergi
2. 2
DAFTAR ISI
Tim Redaksi
Alamat Redaksi:
Penanggungjawab : Kangsure SUROTO | Pemimpin Redaksi : Ana Susi Yuniasri | Dewan Redaksi :
Lusiningtias, Dewangga Saputra, Muhammad Histiraludin, Antonia Satrianti, Wahid Kurniawan, Sri
Wahyuni | Editor : Eko Bani | Layout : A. Supadmi | Distribusi: Divisi Pengelolaan Data & Informasi
Singopuran Rt.04/Rw.02 Kartasura Sukoharjo 57164 - Jawa Tengah | Telp./Fax.: *62-271784928 |
eMail: office@yskk.org | Website: www.yskk.org
02Salam Redaksi
03Fokus Utama
07Sekolah MANTAP
09Ekonomi Kerakyatan
11Kepemimpinan Perempuan
13Jejak Langkah
14Gagasan
15Profil
17Tips Sang Inovator
18Kabar Program
20 Agenda Program
Pendidikan Ramah Anak Butuh
Dukungan Orang Tua
Upaya Menurunkan Angka Kekerasan
Anak di Sekolah
Kemandirian Ekonomi untuk
Kedaulatan Diri
Perempuan
Kekerasan Terhadap Perempuan &
Anak, Butuh Sinergi Berbagai Pihak
Mencegah Kekerasan Terhadap Anak
Murjikem, Berdayakan Korban KDRT
dengan Kekuatan Jejaring
Pahami Karakter Anak, Menjadi Kunci
PAUD
Pembaca yang Budiman,
Perempuan dan anak sangat rentan
mengalami kekerasan baik fisik dan psikis.
Untuk mencegahnya dibutuhkan upaya yang
terus-menerus dan berdampingan antara
orangtua, masyarakat dan pemerintah.
MEDIUM Edisi IV akan mengupas tentang
parenting education yang diterapkan
Lembaga PAUD dalam menggalang partisipasi
orangtua untuk mewujudkan pendidikan yang
ramah anak, upaya yang dapat dilakukan
untuk menurunkan angka kekerasan di
sekolah, dan informasi lainnya.
Semoga apa yang kami kupas melalui buletin
ini dapat meningkatkan pemahaman pembaca
terkait kekerasan terhadap perempuan dan
anak dalam berbagai konteks. Selamat
membaca! Semoga bermanfaat,
Salam Redaksi,
From
the People of Japan
YAYASAN SATU
KARSA KARYA
4. anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminiasi.”
Hal ini diperkuat dalam pasal 19
(1) KHA, bahwa negara akan
mengambil semua langkah
legislatif, administratif, sosial dan
pendidikan untuk melindungi
anak dari semua bentuk
kekerasan fisik dan mental, cidera
atau penyalahgunaan,
penelantaran dan perlakuan salah
atau eksploitasi, termasuk
penyalahgunaan seksual,
sementara berada dalam asuhan
orangtua, wali atau orang lain
yang memelihara anak.
Guna menjamin implementasi
pemenuhan dan perlindungan
anak di lapangan, pemerintah
Indonesia mengeluarkan UU
Nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak, dan secara
khusus di sektor pendidikan
menerbitkan UU Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional serta Peraturan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (Permen PP
dan PA) Nomor 5 tahun 2011
tentang Pemenuhan Hak
Pendidikan Anak.
Meski demikian, berbagai
tindakan yang tidak responsif
pada perlindungan anak tetap
terjadi, hal ini tampak dari
pemberitaan-pemberitaan yang
mewarnai media massa baik
kasus kekerasan terhadap anak,
eksploitasi, penelantaran, dsb. Di
sektor pendidikan sendiri
berdasarkan data Komisi
Perlindungan Anak Indonesia
tahun 2013 terdapat 6.812 kasus
tindak kekerasan yang terjadi di
lingkungan sekolah. Sekolah
sebagai salah satu lingkungan
pendidikan bagi anak, sudah
semestinya menjadi tempat
terbaik, teraman dan ternyaman
bagi anak-anak untuk tumbuh
dan berkembang. Lembaga
pendidikan berkewajiban untuk
menjamin anak terbebas dari
ancaman dalam proses
mengembangkan segala potensi
yang dimilikinya dan wajib
memenuhi hak-hak anak dalam
proses di sekolah.
Hal ini pula yang harus
diperhatikan oleh Kabupaten
Sukoharjo yang sejak Desember
2014 lalu mencanangkan untuk
menjadi Kabupaten Layak Anak.
Kabupaten/Kota Layak Anak
(KLA) adalah salah satu upaya
yang dilakukan untuk pemenuhan
dan perlindungan hak anak.
Program ini diarahkan agar
kabupaten/kota memiliki sistem
pembangunan berbasis hak anak
melalui pengintegrasian
komitmen dan sumberdaya
pemerintah, masyarakat dan
dunia usaha yang terencana
secara menyeluruh dan
berkelanjutan dalam kebijakan,
program dan kegiatan untuk
menjamin terpenuhinya hak anak.
Upaya tersebut tentu harus
berpegang pada berbagai
indikator yang perlu dipenuhi
agar Sukoharjo bisa disebut
sebagai kabupaten yang layak
anak.
Terkhusus di sektor pendidikan
hal-hal yang harus diperhatikan
untuk menciptakan layak anak
meliputi: angka partisipasi
pendidikan anak usia dini,
persentase wajib belajar
pendidikan 12 tahun, persentase
sekolah ramah anak, jumlah
sekolah yang memiliki program,
sarana dan prasarana perjalanan
FOKUS UTAMA
4
5. anak ke dan dari sekolah serta
tersedianya fasilitas untuk
kegiatan kreatif dan rekreatif
yang ramah anak, di luar sekolah
yang dapat diakses semua anak.
Sekolah Ramah Anak
Sejak Jenjang PAUD
Mendasarkan dari indikator di
atas jelas bahwa sekolah memiliki
tanggungjawab menciptakan
lingkungan belajar yang aman
dan nyaman bagi anak.
Penyelenggara pendidikan harus
sangat memperhatikan
kebutuhan dan hak-hak anak
dalam penyelenggaraan
pendidikan. Saat ini program
sekolah ramah anak sedang
digaungkan dari pusat hingga di
daerah. Sekolah ramah anak
merupakan sebuah satuan
pendidikan yang mampu
menjamin, memenuhi,
menghargai hak-hak anak, dan
perlindungan anak dari
kekerasan, diskriminasi, dan
perlakuan salah lainnya serta
mendukung partisipasi anak
terutama dalam perencanaan,
kebijakan, pembelajaran, dan
mekanisme pengaduan.
Pendidikan mendasar yang
penting dipenuhi saat ini dimulai
dari pendidikan anak usia dini
(PAUD). Berbicara pendidikan
anak usia dini yang ramah, tentu
akan terkait aspek akses PAUD
serta sekolah itu sendiri, maka
pelaksanaan program sekolah
ramah anak perlu dilakukan
mulai jenjang PAUD. PAUD
merupakan jenjang pendidikan
pertama seorang anak mengenal
lingkungan sekolah dan
diharapkan menjadi pelopor
layanan pendidikan yang ramah
untuk anak didiknya.
Di Kabupaten Sukoharjo pada
tahun 2015, menurut data Bidang
PNFI capaian APK 30,34 persen
(usia 0-6 tahun) atau 77,22
persen (usia 3-6 tahun). Di
Sukoharjo terdapat 647 Lembaga
PAUD yang melayani 32.756 anak
pada usia 0-6 tahun atau 31.660
anak pada usia 3-6 tahun. Dari
data tersebut akses anak usia dini
terhadap pendidikan di
Kabupaten Sukoharjo sudah
semakin terbuka. Jumlah anak
yang dilayani di jenjang PAUD ini
tidaklah sedikit sehingga perlu
memastikan anak-anak
mendapatkan pendidikan aman,
nyaman dan menyenangkan.
Program sekolah ramah anak
dirasa perlu dilakukan mulai dari
jenjang pendidikan anak sedini
mungkin. PAUD merupakan
jenjang pendidikan pertama
seorang anak mengenal
lingkungan sekolah dan
diharapkan menjadi pelopor
layanan pendidikan yang ramah
untuk anak didiknya. Diharapkan
dengan adanya Program Sekolah
Ramah Anak ini, anak-anak dapat
tumbuh dan berkembang dengan
segala keceriannya perlu
memastikan pendidikan mereka
tanpa ada kekerasan, tanpa ada
rasa takut sehingga anak mampu
mengeskpresikan dan
mengaktualisasikan dirinya
secara positif dalam berbagai
bentuk.
Butuh Dukungan Orang
Tua
Terselenggaranya sekolah ramah
anak di PAUD tentunya menjadi
tanggungjawab berbagai pihak
baik penyelenggara pendidikan,
masyarakat sekitar, dan tentu
orang tua/wali murid.
Penyelenggara pendidikan
termasuk didalamnya pendidik
sebagai elemen yang bersentuhan
langsung dalam proses stimulasi
tumbuh kembang anak usia dini
pendidik diharapkan dapat
memenuhi hak-hak anak di PAUD.
Masyarkaat memiliki peran dalam
menciptakan lingkungan
masyarakat di sekitar sekolah
yang mendukung terhadap
program ramah anak.
Begitu pula orang tua, adalah
elemen penting dalam
mewujudkan pendidikan anak
sejak usia dini yang ramah. Ada
berbagai bentuk dukungan orang
tua yang dapat dilakukan untuk
mendukung program ramah anak.
Mulai dari mendukung
lingkungan yang sehat di sekolah
dengan berpartisipasi dalam
menjaga kebersihan sekolah,
menyediakan menu sehat untuk
FOKUS UTAMA
5
Kegiatan Parenting Education yang diselenggarakan salah satu lembaga PAUD
dan YSKK beberapa waktu lalu mengangkat tema tentang Hak Anak.
6. anak, tidak merokok di
lingkungan sekolah. Atau dengan
menciptakan lingkungan yang
bebas kekerasan seperti selalu
bersikap ramah, murah senyum
kepada setiap anak, tidak
berbicara kasar pada anak, tidak
memarahi anak didepan teman-
temannya dan tidak
mencubit/menjewer anak.
Pentingnya dukungan orangtua
sangatlah berdampak penting
untuk mewujudkan program
sekolah ramah anak. Terkait
dengan hal itu maka perlu ada
strategi yang dikembangkan
untuk mendorong peran serta
orangtua dalam mewujudkan
PAUD Ramah Anak. Strategi yang
dilakukan Taman Pintar-Pos
PAUD di Kecamatan Weru untuk
mendorong dukungan orangtua
dengan menggunakan media
Parenting Education.
Parenting Education adalah
sebuah sarana transfer
pengetahuan, sikap dan
keterampilan kepada para
orangtua terkait dengan
pengasuhan anak usia dini.
Parenting education diyakini
mampu mentransfer mengenai
pendidikan ramah anak kepada
orangtua. Bahasan yang
diangkatpun beragam mulai dari
sosialisasi mengenai hak-hak
anak hingga diskusi mengenai
tips-tips mengasuh anak usia dini.
ungkap Pendidik PAUD Nurul
Amal, Bunda Istiyana.
“Parenting education,
menjadi sarana bagi
pendidik untuk
sosialisasi tentang hak
anak, untuk
menyampaikan
kepada orangtua agar
kekerasan tidak
terjadi lagi pada anak
seperti membentak
atau mencubit anak,”
Melalui kegiatan yang
dilaksanakan rutin bulanan ini
lahir berbagai kegiatan orangtua
guna mendukung program
sekolah ramah anak. Seperti
program penghijauan lingkungan
sekolah dengan tanaman buah
dan sayur, membuat mainan dari
barang bekas yang ramah
lingkungan atau program menu
sehat untuk anak. Kegiatan-
kegiatan tersebut diprogramkan
secara bersama sama antara
pendidik dan orangtua.
Melalui parenting education
jugalah pola pengasuhan yang
ramah anak di lingkungan
sekolah dapat dilanjutkan oleh
orangtua di lingkungan keluarga.
Orangtuapun akan tahu, sadar
dan siap untuk berkomitmen
mengasuh anak dengan kasih
sayang dan penuh keramahan.
Diharapkan kerjasama segenap
pihak termasuk pendidik dan
orangtua dapat mewujudkan
Sekolah Ramah Anak ini,
termasuk di jenjang PAUD.
Sekolah Ramah Anak sekolah
yang aman, nyaman dan
menyenangkan untuk anak.
FOKUS UTAMA
6
Sebagian besar anak menghabiskan waktu di dalam lingkungan keluarga,
untuk itu orangtua perlu memahami pola asuh yang sesuai anak.
8. Sebanyak 78.3 persen anak menjadi
pelaku kekerasan dan sebagian besar
disebabkan mereka pernah menjadi
korban kekerasan sebelumnya atau
pernah melihat kekerasan yang
dilakukan kepada anak lain dan
menirunya. Pelaku kekerasan pada
anak bisa dibagi menjadi tiga.
Pertama, orang tua, keluarga, atau
orang yang dekat di lingkungan
rumah. Kedua, tenaga kependidikan
yaitu guru dan orang-orang yang ada
di lingkungan sekolah seperti
cleaning service, tukang kantin,
satpam, sopir antar jemput yang
disediakan sekolah. Ketiga, orang
yang tidak dikenal. Artinya, anak
rentan menjadi korban kekerasan
justru di lingkungan rumah dan
sekolah. Lingkungan yang mengenal
anak-anak tersebut cukup dekat.
Dari penjelasan diatas terlihat,
lingkungan pendidikan memberi
pengaruh yang signifikan. Setidaknya
ada 1764 kasus dalam dunia
pendidikan dan sekolah menjadi
salah satu lokus terjadinya
kekerasan.
Meski demikian, sudah banyak
satuan pendidikan yang memiliki
upaya untuk meminimalisir
terjadinya kekerasan. Bagi mereka,
lingkungan pendidikan harus steril
dari kasus kekerasan. Hal ini
ditegaskan oleh Kepala Sekolah SDN
Kleco 1 Surakarta Joko Sudibyo dan
SMPN 16 Bandarlampung Purwadi.
“Sebagai lembaga pendidikan, kami
terus berupaya meminimalisir
bahkan menghapuskan kasus
kekerasan terhadap anak baik yang
dilakukan orang dewasa maupun
anak” ujar Joko Sudibyo yang ditemui
diruang kerjanya. Sebagai kepala
sekolah yang baru 1 tahun menjabat,
Joko terus menerus mengingatkan
guru untuk menjaga sikap pada
anak-anak. Termasuk mengawasi
anak-anak saat istirahat. Selain itu,
dalam berbagai kesempatan dirinya
juga menyampaikan tentang UUPA
sehingga guru memahami betul
fungsi pendidikan yang diembannya.
Salah satu jalan keluar bila muncul
masalah, harus diselesaikan secara
kekeluargaan. “Semua anak yang
terlibat pertengkaran, perkelahian
atau kasus lainnya kami undang ke
kantor beserta orang tuanya. Agar
semua tahu dan menyadari apa yang
terjadi untuk kemudian diselesaikan
secara kekeluargaan,” ungkap
mantan kepala sekolah SDN Bratan 1
Surakarta ini.
Sedangkan SMPN 16 Bandarlampung
mengantisipasi terjadinya kekerasan
terhadap anak dengan mengeluarkan
buku siswa. Buku ini merupakan
buku kontrol yang dipegang tiap
siswa dan berisi tentang catatan
perilakunya selama disekolah. “Yang
bisa dicatat disitu berupa point atas
pelanggaran yang dilakukannya.
Tidak hanya perkelahian tapi
termasuk jajan saat jam pelajaran,
membolos, hingga membuang
sampah sembarangan juga kena
point” urai Purwadi. Guru yang
memergoki perilaku siswa tersebut
langsung meminta buku siswa dan
menuliskan kesalahan serta dibubuhi
paraf. Bila point mencapai 50 akan
dipanggil ke BK beserta orang tua,
point 75 akan dibuat surat perjanjian
tidak mengulangi hingga permintaan
pengunduran diri.
Buku siswa diberikan saat awal
tahun ajaran dan orang tua siswa
juga diberitahukan. Buku itu tiap
bulan direkap di BK sehingga meski
buku tersebut hilang, rekapan masih
tersimpan jelas. Menghilangkan buku
ini juga termasuk pelanggaran yang
harus dicatat. Kini pria asal Jawa itu
tengah mendorong perubahan
perilaku tidak hanya di sekolah
tetapi juga dirumah, dilingkungan
tempat ibadah bahkan di media
sosial. Perkembangan teknologi
menjadi bagian yang tidak bisa
dihindarkan sehingga menjadi salah
satu hal yang ikut diperhatikan.
“Membully di medsos itu yang paling
rawan dan kami tidak boleh abai
mendidik perilaku anak termasuk di
medos” ujarnya yang dihubungi via
telepon.
Anak-anak SMPN 16 Bandarlampung
juga menandai nama akun
medsosnya dengan tambahan
“spanambelas”. Artinya ada
kebanggaan yang disandang.
“Menyandang nama spanambelas itu
harus menjaga citra atau ibaratnya
semacam duta anti bullying. Nama
itu membuat mereka harus menjaga
karena banyak alumni yang juga
turut menjaga adik kelasnya. Kalau
ada yang membully, bisa dilaporkan
ke sekolahan” urai pria yang sangat
ramah ini panjang lebar. Maka dari
itu Purwadi tidak jemu berpesan
dalam berbagai kesempatan,
pemakaian nama itu harus diiringi
rasa tanggungjawab menjaga citra
dan perilaku maupun tutur kata.
Etika pergaulan baik dalam
kehidupan dunia nyata ataupun
maya harus berstandar sama, punya
moral. Meski tidak mudah, Purwadi
menyadari hal itu menjadi salah satu
tugas sebagai pendidik. Setiap waktu
terus memikirkan langkah terbaik
agar anak-anak didiknya tumbuh dan
berperilaku positif.
Kedua kepala sekolah yang
berpredikat MANTAP (Manajemen
Transparan, Akuntabel dan
Partisipatif) rupanya tidak sekedar
menerapkan MANTAP dalam tata
kelola sekolah. Namun juga
melakukan upaya yang terbaik bagi
anak-anak didik mereka. Keduanya
menjawab tantangan terberat yakni
perkembangan teknologi yang makin
massif dan menjangkau ke semua
lapisan masyarakat sehingga
berpengaruh signifikan terhadap
pola pikir, cara berkomunikasi
hingga perilaku anak didik. Bagi
keduanya, sekolah harus mampu
membentuk pribadi anak yang
seutuhnya sesuai potensi dan
kemampuan yang dimiliki dengan
karakter diri yang kuat. Dengan
demikian tidak aka nada lagi
kekerasan yang terjadi baik di
sekolah, lingkungan maupun di
rumah.
SEKOLAH MANTAP
8
10. memiliki “kuasa” terhadap kekayaan
keluarga yang dikelola serta tidak
memiliki akses ekonomi di ruang
publik karena keterbatasan
ketrampilan, keterbatasan jaringan,
keterbatasan pasar, keterbatasan di
bidang Teknologi Informasi (TI). Ini
semakin memiskinkan perempuan
sehingga pemenuhan hak ekonomi
perempuan tidak terpenuhi.
Kondisi di atas tentu saja telah
terpetakan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Gunungkidul, dan
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul
sendiri menargetkan untuk
menurunkan kemiskinan 15,6%
sampai dengan tahun 2021. Upaya
yang nampak seperti
penyelenggaraan Desa PRIMA,
Pembentukan kelompok-kelompok
produktif yang berbasis perempuan,
pelatihan ketrampilan teknis dan
usaha menengah kecil mikro
(UMKM), serta bantuan peralatan
untuk meningkatkan produktifitas
perempuan di sektor ekonomi.
Selain dari pemerintah daerah,
inisiasi dari masyarakat untuk
terlibat dalam menghadapi persoalan
di atas sangatlah dibutuhkan.
Keprihatinan terhadap kondisi
perempuan dan kemiskinan di 3
desa: Desa Watusigar Kecamatan
Ngawen, Desa Kampung Kecamatan
Ngawen dan Desa Semin Kecamatan
Semin mendorong beberapa aktivis
perempuan di desa melakukan
upaya-upaya konkrit untuk
mengatasi persoalan yang dihadapi
perempuan ini . Aktivis perempuan
ini merangkul perempuan-
perempuan di desa untuk
mengkonsilidasikan diri dalam
sebuah kelompok ekonomi produktif
dan sekarang telah menjelma diri
menjadi koperasi. Terdapat 3
koperasi perempuan yang diinisiasi
di desa Masing-masing, dimana saat
ini 3 koperasi tersebut telah
beranggotakan kurang lebih 250
orang. 3 koperasi tersebut adalah
Koperasi Karya Perempuan Mandiri
(KPM) di Desa Watusigar, Koperasi
Mitra Usaha Perempuan (MUP) di
Desa Kampung Kec. Ngawen, serta
Koperasi Sekar Arum (SA) di Desa
Semin kec. Semin.
Gerakan ekonomi produktif yang
diinisiasi ini ingin meningkatkan
posisi tawar perempuan di sektor
ekonomi. Ketika perempuan
memiliki sumber penghasilan sendiri
yang mampu memberikan
sumbangan bagi perekonomian
keluarga dan desa. Maka
kesejahteraaan perempuan dapat
terpenuhi. Koperasi sendiri memiliki
dua fungsi strategis yakni fungsi
produktif dan fungsi pendidikan bagi
anggotanya.
Fungsi Ekonomi Produktif berbicara
bagaimana koperasi mampu
memfasilitasi anggotanya secara
konsisten dan berkelanjutan
melakukan usaha produktif. Jalan
panjang harus mereka tempuh
dengan melunturkan stigma
masyarakat bahwa mereka bukan
“kelompok ubyang ubyung”
(kelompok kesana kemari) yang
tidak bermanfaat. Didampingi YSKK,
ketiga kelompok ini memberikan
wadah bagi perempuan dan
sekaligus mendorong perempuan
untuk mengembangkan usaha
produktif atau mendorong
bertumbuhnya perempuan
pengusaha di pedesaan. Usaha yang
dibangunpun didekatkan dengan
kehidupan mereka yaitu
meningkatkan nilai tambah hasil
pertanian yang mereka hasilkan.
Misalnya hasil bumi singkong,
mereka tidak harus menjual dalam
bentuk singkong saja namun bisa
diolah dan diinovasikan produknya
misalnya menjadi keripik balado,
keripik berasa, dsb.
Fungsi Pendidikan merupakan fungsi
dimana koperasi menjadi wadah bagi
perempuan untuk memperkaya
pengetahuan, ketrampilan serta
sikap anggota koperasi. Saling
bertukar pengalaman dan perasaan
serta menemukan solusi bersama
inilah yang menjadi kekuatan dan
pengikat antar anggota koperasi.
Sampai sekarang 3 koperasi ini
secara rutin menyelenggarakan
pertemuan sebulan sekali dan terus
berupaya menjaga konsistensi
pertemuan. Pertemuan inilah yang
menjadi sarana memperkaya diri
dan mengasah pikir perempuan.
Melalui pertemuan ini pengurus
menggulirkan persoalan-persoalan
yang up to date tidak hanya
persoalan mengenai ekonomi
produktif namun juga terhadap
persoalan perempuan lain seperti
kekerasan rumah tangga,
pembangunan desa, tehnologi
informasi, dsb. Meskipun pengurus
masih terbatas juga pengetahuannya,
tidak sedikit pula pengurus
melakukan konsultasi dengan
ekternal resource seperti YSKK,
Pemerintah Desa dan Kabupaten, dsb
untuk memperkaya wacana mereka.
Salah satu keunikan yang dilakukan
oleh salah satu Koperasi, yaitu
Koperasi Wanita KPM membuka
ruang konsultasi bagi anggotanya.
Ruang konsultasi ini memang tidak
sengaja ditemukan, pengurus belajar
dari pengalaman berelasi dengan
anggota ketika setiap anggota ke
sekretariat koperasi selain
memberikan angsuran pinjaman
anggota, mereka juga curhat
(curahan hati) ke pengurus. Isi dari
curhat sendiri beraneka ragam;
tentang usaha, tentang kesehatan,
tentang persoalan rumah tangga.
Belajar dari sinilah kemudian KPM
selalu membuka ruang konsultasi
dengan anggota. Ruang konsultasi ini
sangat bermanfaat karena bisa
membantu perempuan dalam
menghadapi persoalan, namun juga
melalui ruang konsultasi ini
memberikan pemahaman bagi
pengurus tentang persoalan-
persoalan yang dihadapi perempuan.
Peta persoalan ini yang kemudian
bisa menjadi bahan diskusi dengan
anggota serta pihak lain.
3 koperasi perempuan punya impian
besar untuk menjadi holding
company-nya hasil produk
perempuan. 3 dari 2 koperasi
perempuan sedang mempersiapkan
diri untuk menguatkan koperasi
sebagai pusat bisnis perempuan
serta meningkatkan kapasitas
perempuan dalam produktivitas
usahanya. Koperasi Karya
Perempuan Mandiri (KPM) misalnya
telah mengujicobakan koperasi
sebagai bisnis center, dan telah
membangun relasi dengan jaringan
pertokoan oleh-oleh. Dan hasil uji
tersebut masih perlu dibenahi agar
mampu mendukung tujuan utama
mereka agar menguntungkan bagi
perempuan.
EKONOMI KERAKYATAN
10
12. pemerintah, kepolisian, dinas-dinas
terkait dengan isu perempuan dan
anak, serta tak terkecuali lembaga
swadaya masyarakat (LSM).
Angka kekerasan terhadap
perempuan dan anak dapat ditekan
apabila ada sinergitas berbagai
pihak untuk bersama melakukan
pencegahan dan tindakan jika
terjadi kekerasan. Pasalnya kasus
kekerasan terhadap perempuan
dan anak memang sudah
seharusnya menjadi perhatian
seluruh elemen masyarakat,
terlebih bagi pemerintah baik dari
level desa, daerah bahkan sampai
ke pusat.
Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK)
sebagai salah satu organisasi
masyarakat sipil yang fokus dalam
isu perempuan dan anak, tahun
2015 lalu mengkonsolidasikan
kembali pos data dan informasi
perempuan dan anak tingkat desa
yang telah dirintis sejak tahun
2012. Pos data dan informasi yang
diberi tajuk TIFA (Tim Informasi
dan Advokasi) dan TAPA (Tim
Advokasi Perempuan dan Anak) ini
tersebar di 8 desa yang terletak di
5 kecamatan Kabupaten
Gunungkidul. Delapan desa
tersebut antara lain 2 desa di
Kecamatan Ngawen yakni
Watusigar dan Sambirejo, 2 desa di
Kecamatan Semin yaitu Semin dan
Kalitekuk, 2 Desa di Kecamatan
Karangmojo yaitu Ngawis dan
Karangmojo, desa Kemiri di
Kecamatan Tanjungsari, dan desa
Natah di Kecamatan Nglipar.
Pos informasi ini selain sebagai
pusat data dan informasi tentang
perempuan dan anak di tingkat
desa, para kader perempuan yang
kebetulan mendominasi
kepengurusan di dalam tim ini
sepakat untuk melakukan upaya
pencegahan dan penanganan kasus
kekerasan terhadap perempuan
dan anak yang terjadi di desa
mereka. Sebagai elemen
masyarakat yang turut
bertanggung jawab terhadap nasib
generasi penerus bangsa,
kelompok perempuan tingkat desa
bersama dengan pemerintah desa
melalui pos informasi ini
mengupayakan pencegahan di
tingkat masyarakat dengan
melakukan sosialisasi-sosialisasi
kekerasan terhadap perempuan
dan anak baik di kalangan remaja,
forum-forum PKK serta forum
RT/RW di padukuhan-padukuhan.
Melalui kegiatan semacam ini
diharapkan kesadaran kritis
masyarakat mengenai pentingnya
menekan dan mencegah terjadinya
kekerasan dapat terbangun.
Hal ini serupa dengan yang
dilakukan TIFA Desa Ngawis yang
dipelopori Murjikem, selama
kurang lebih 1 tahun sudah
melakukan pendampingan korban
KDRT yang ada di Desa tersebut.
Selain itu juga rutin melakukan
sosialisasi-sosialisasi anti
kekerasan terhadap perempuan
dan anak melalui forum-forum
padukuhan yang ada. Dalam
melakukan sosialisasi, TIFA ini
menggandeng beberapa pihak
berkepentingan dan kompeten di
bidangnya masing-masing.
Upaya-upaya preventif dan
penanganan kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak ini
jelas tidak bisa hanya dilakukan
sendiri oleh satu kelompok atau
elemen saja. Butuh sinergi antar
pihak agar sistem pencegahan dan
penanganan kekerasan dapat
berjalan dengan optimal. Hal ini
dibuktikan tim TIFA yang ada di
Desa Ngawis, Kecamatan
Karangmojo dalam melakukan
penanganan kasus kekerasan yang
terjadi di Desa Ngawis. Mereka
berjejaring dengan beberapa pihak
diantaranya kepolisian dalam
upaya hukum dan pengamanan,
pemerintah desa, tokoh agama,
tokoh masyarakat, serta dinas
terkait seperti BPMP&KB
Kabupaten Gunungkidul kaitannya
dengan akses penguatan ekonomi
pasca penanganan kasus.
Sinergi semacam ini jelas menjadi
kebutuhan mutlak dalam upaya
pencegahan dan penanganan kasus
kekerasan terhadap perempuan
dan anak. Karena tanpa adanya
sinergi antar pihak (keluarga,
masyarakat, sekolah, aparat
penegak hukum, serta pemerintah
mulai dari level desa, daerah,
sampai dengan pusat), maka
niscaya angka kekerasan di
Kabupaten Gunungkidul tidak bisa
ditekan.
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
12
“Dalam bekerja atau
menangani kasus
kekerasan yang ada di
level desa pun kita (TIFA)
tidak bisa bekerja
sendirian, karena susah.
Makanya kita selalu
melibatkan pemerintah
desa, tokoh-tokoh
masyarakat, BPMPKB,
bahkan juga pihak
Polsek (Kepolisian
Sektor) untuk
mendukung serta
bersama-sama dengan
kami mengurai masalah
kekerasan terhadap
perempuan dan anak,”
ujar Ketua TIFA Desa Ngawis,
Murjikem.
Kelompok perempuan saat audiensi dengan
Kaukus Perempuan Parlemen Gunungkidul.
13. JEJAK LANGKAH
13
Sebuah Upaya Membangun PAUD Ramah Anak
ersoalan akses Pendidikan Anak Usia Dini sekiranya bukan menjadi persoalan urgent lagi, namun
persoalan baru adalah bagaimana meningkatkan kualitas layanan PAUD. Salah satu aspek yang
Pperlu diperhatikan adalah bagaimana pendidikan yang diselenggarakan ramah terhadap anak,
dimana sekolah secara sadar berupaya menjamin dan memenuhi seluruh aspek kehidupan anak. Hal ini
kemudianmenjadilandasanpikirYSKKmendorongLPAUDuntukmenyelenggarakanPAUDRamahAnak.
Mengembangkan
Indeks PAUD
Ramah Anak
Memperkuat
kapasitas pengelola
dan kelembagaan
PAUD agar Ramah
Anak
Membangun
sinergitas dengan
berbagai pihak
Mendorong
kebijakan PAUD
yang Ramah Anak
Strategi yang digunakan:
14. GAGASAN
14
emakin meningkatnya
angka kekerasan terhadap
Sanak, baik yang terjadi
dalam keluarga, di sekitar
lingkungan, serta di sekolah
dengan pelaku orang dewasa
maupun anak. Sebagai orang tua,
dimana merupakan orang yang
paling dekat dengan anak
sungguh harus memperhatikan
dan mengupayakan untuk
melakukan pencegahan
kekerasan minimal terhadap anak
sendiri. Sebagai orang tua tentu
tidak mungkin untuk mengurung
anak agar terhindar kekerasan,
dan tindakan ini sendiri
merupakan bentuk kekerasan.
Lalu bagaimana orang tua dapat
melakukan pencegahan
kekerasan terhadap anak?
Tindakan pencegahan anak
antara anak usia dini dengan
anak usia SD sampai SMA tentu
akan berbeda. Orang tua perlu
mengambil tindakan preventif
yang sesuai dengan tingkat
perkembangan dan pemahaman
anak. Setidaknya ada 3 upaya
sederhana yang dapat dilakukan
oleh orang tua untuk pencegahan
kekerasan pada anak di usia di
bawah 6 tahun.
Pertama, orang tua perlu
mengenali lingkungan sekolah
tempat anak bersekolah.
Mengenali ini bermakna bahwa
orang tua tidak begitu saja
menyerahkan dan tidak tahu
menahu mengenai dinamika yang
terjadi di sekolah. Orang tua
punya tanggung jawab untuk
memonitoring perkembangan
anak di sekolah. Untuk
melakukan ini tentu saja orang
tua harus mengenali lingkungan
sekolahnya, mengenali
pendidiknya, bagaimana pola-
pola pendidik dalam
mendampingi anak, mengenali
teman-teman dari anaknya dan
orang tuanya. Sehingga memang
orang tua harus menyempatkan
diri ke sekolah untuk bisa
berkumpul dengan orang tua lain
dan menjadi penting untuk
mengenal bagaimana mereka, dan
melalui berkumpul ini orang tua
jadi tahu dinamika yang terjadi di
sekolah. Selain itu juga perlu
memastikan selama di lingkungan
sekolah dijaga aman oleh pihak di
sekolah. Misalnya apakah guru
masih menunggui ketika anak
belum dijemput orang tua.
Kedua, mengenali lingkungan
tempat anak sering bermain. Hal
ini penting karena anak usia dini
memang menjadi masa
bersosialisasi. Anak perlu
bermain dengan teman sebaya.
Ketika bermain awasi. Selain itu
orang tua juga harus mengenali
orang-orang yang tinggal di
dekatnya, dan tentu ketika
mengetahui gelagat yang tidak
baik dari orang lain bisa
melaporkan ke pihak yang
berwenang.
Ketiga, membangun komunikasi
dengan anak. Anak usia dini tentu
masih memiliki keterbatasan
pemahaman mengenai apakah
kekekerasan itu dan bagaimana
kekerasan terjadi. Ini akan mudah
kalau dengan anak yang usianya
lebih besar. Komunikasi tentu
harus menggunakan dengan
bahasa yang dipahami oleh anak.
Dengan pertanyaan yang
sederhana tentu sebagai orang
tua mampu mendeteksi gejala-
gejala kekerasan yang terjadi.
Orang tua harus menyempatkan
diri berkomunikasi dengan anak.
Misalnya: di sekolah hari ini
kegiatannya apa? Kegiatan apa
yang tidak kamu suka? Dsb.
Untuk meminimalisir dan
mencegah tindak kekerasan
terhadap anak memang sangat
membutuhkan partisipasi dan
kesadaran banyak pihak. Dalam
UU No 35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak disana
disebutkan siapa saja yang
memiliki kewajiban untuk
melakukan pemenuhan terhadap
hak anak, yaitu negara,
pemerintah Daerah, Masyarakat
dan Orangtua. Maka sangat
penting untuk kemudian semua
komponen – komponen ini
bersatu dan membangun
kesadaran yang sama akan
pentingnya perlindungan dan
pemenuhan hak anak. Dengan
demikian maka kekerasan
terhadap anak akan dapat
diminimalisir.
“ Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka kedua orang
tuanyalah yang membuat dia (memiliki karakter) yahudi, atau
(memiliki karakter) nasrani atau (memiliki karakter) majusi.”
( HR. Muslim )
Mencegah Kekerasan Terhadap Anak
Oleh: Lusiningtias, Kadiv Pemberdayaan Perempuan YSKK
16. PROFIL
16
Menurutnya menangani korban
KDRT membutuhkan kesabaran
yang luar biasa. Karena dari
pengalaman yang ia miliki,
korban seringkali berhenti di
tengah jalan—tidak melanjutkan
proses advokasi—karena takut
dengan suami yang dalam hal ini
melakukan tindak kekerasan.
“Pernah ada korban yang
disembunyikan di rumah
orangtuanya agar tidak bertemu
dengan pelaku yang pada saat itu
adalah suami. Untuk melakukan
ini kami (TIFA) bekerja sama
dengan pemerintah desa. Akan
tetapi, malamnya si korban ini
justru kabur bersama anaknya,
yang kemungkinan besar
bertemu dengan suaminya,”
kenangnya.
Kendati demikian, TIFA Desa
Ngawis, Karangmojo,
Gunungkidul yang telah diinisiasi
sejak tahun 2009 telah mampu
memberikan meningkatkan
kapasitas korban KDRT melalui
pelatihan yang diselenggarakan
BPMP&KB Kabupaten
Gunungkidul.
Perempuan-perempuan korban
yang kami dampingi ini lebih
banyak yang kategori ditinggal
suami karena faktor ekonomi.
Suami merantau dan tidak
kembali. Agar mereka berdaya
kami membangun jejaring dengan
BPMP&KB kabupaten.
Alhamdulillah ada alumni
peningkatan kapasitas yang
membuka salon dan ramai,” tutur
Murjikem.
Selain dengan BPMP&KB, TIFA
Desa Ngawis juga berjejaring
dengan Dinsos, Diperindagkop,
dan lain sebagainya. Melalui
jejaring yang dibangun, TIFA Desa
Ngawis menjadi rujukan data &
informasi bagi instansi
pemerintahan dalam mengakses
data terkait perempuan dan anak.
Perempuan dapat meminimalisir
terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga ketika mereka
dapat mandiri secara finansial
maupun wawasan. Untuk itu Ibu
dari dua orang anak perempuan
ini ingin perempuan—baik
korban KDRT maupun bukan,
Perempuan Mandiri
untuk mandiri. “Jangan hanya
mengandalkan lelaki atau suami,
selama masih diberi kesehatan
harus selalu berusaha melakukan
kegiatan yang berarti bagi diri
sendiri, oranglain dan
masyarakat,” ujarnya di lain
kesempatan.
Ia tidak menampik perempuan
yang telah berkeluarga akan
memiliki kesibukan dalam
mengurus rumah tangga. Tapi hal
tersebut dapat dikomunikasikan
dengan suami, agar ketikga
perempuan memiliki aktivitas di
luar rumah tidak menganggu
perannya sebagai seorang istri
dan ibu.
“Saya ini kalau ada aktivitas di
luar rumah dari pagi sampai sore
bahkan malam, suami tidak akan
bertanya ataupun mengeluh.
Karena sejak awal sudah ada
komunikasi yang baik antara saya
sebagai istri dan suami. Kan kalau
semua diawali dengan baik,
mengerjakan apa-apa juga enak,
hati dan pikiran tenang,”
pungkasnya.
Murjikem saat terlibat dalam kegiatan konsolidasi TIFA-TAPA, 9 Februari 2016, di Balai Desa Ngawis, Karangmojo,
Gunungkidul.
18. KABAR PROGRAM
18
Sukoharjo – “Mendongeng itu
s a r a n a a t a u m e d i a u n t u k
membentuk karakter anak melalui
c e r i t a . A k t iv i t a s t e r s e b u t
memerlukan metode maupun
strategi, salah satunya metode CAS-
CIS-CUS.” Kata pendidik PAUD
Lazuardi Kamila Solo, Muhammad
Nasyir. Hal tersebut terungkap
dalam acara Temu Inspiratif
Pendidik PAUD yang difasilitasi
P r o g r a m P A U D D i v i s i
Pemberdayaan Anak Yayasan Satu
KarsaKarya(YSKK)Sukoharjo.
Kegiatan ini dilaksanakan pada
Sabtu, 23 April 2016 di Taman
Pintar Permata Hati Desa Ngreco,
Weru, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Workshop kali ini difasilitatori
Dewangga Saputra dan Antonia
Satrianti selaku pendamping PAUD
di beberapa desa di Kecamatan
Weru. Sekitar 21 perempuan
pendidik PAUD aktif mengikuti
Kegiatan ini dari jam 8.30 hingga
15.00.
K a k N a s y i r m e n g a t a k a n
mendongeng itu tidak perlu banyak
jenis suara dan tokoh, “Dalam
mendongeng terlalu banyak jenis
suara dan tokoh malah akan
merusak konsentrasi pendongeng.
Sehingga cukup dua tokoh dan dua
jenis suara saja, agar anak-anak
mudah menyerap pesan moral
dalam dongeng yang ibu-ibu
sampaikan. Dan dalam mendongeng
cukupgunakanCAS-CIS-CUSsaja”.
L e b i h l a n j u t , K a k N a s y i r
menjelaskan, “CAS singkatan dari
Cipta Aksi Super; CIS, Cipta
Imajinasi Super; dan CUS, Cipta
Usulan Super. CAS merupakan
pembuka dongeng dengan aksi yang
menggugah perhatian anak-anak.
CIS adalah imajinasi pendidik saat
menjelaskan cerita dongengnya.
Sementara CUS adalah internalisasi
pesan moral dongeng kepada anak-
anaksebagaipenutupdongeng”urai
Selesai mendengarkan presentasi
Tips dan Trik Mendongeng, para
pendidik praktik membuat dongeng
dan diperagakan di depan peserta
untuk dievaluasi. Tiga peserta
membawakan dongeng yang
dibuatnya dan mendapatkan
penghargaandaripenyelenggara.
Yatmini, salah satu pendidik PAUD
Permata Hati di akhir acara
mengatakan, “kegiatan semacam ini
p e n t i n g d i l a k u k a n u n t u k
menyegarkan dan memperbarui
strategi pembelajaran PAUD yang
s e r i n g d i l a k u k a n d e n g a n
mendongeng. Ke depan kami
berharap pelatihan mendongeng
dilakukan beberapa kali setiap
tahunnya.”(BonnieEB)
Mendongeng
dengan
CAS-CIS-CUS
Stakeholders sekolah turut
berperan serta dalam
menciptakan lingkungan sekolah
yang baik. Dalam hal ini,
keberadaan stakeholders seperti
orang tua siswa, komite sekolah
dan sekolah. Salah satu sekolah
dampingan YSKK, SDN Kleco 1
Surakarta , terdapat 1 komunitas
lagi yang turut mewarnai
dialektika dalam tata kelola
sekolah yakni paguyuban kelas.
Paguyuban itu semacam
organisasi orang tua siswa dalam
setiap kelas. Pada Senin, 11 April
2016 diselenggarakan pertemuan
Komite Sekolah membahas
sinergi antara sekolah, komite
sekolah maupun paguyuban wali
murid kelas. Hal ini dilakukan
dilatarbelakangi selama ini yang
berperan aktif berkomunikasi
dengan orang tua yakni
paguyuban kelas, dan jalur
komunikasi dengan komite
sekolah belum terbangun dengan
baik.
Disisi lain, secara formal
kelembagaan yang diakui secara
resmi sesuai PP 17 Tahun 2010
tentang Penyelenggaraan dan
Pengelolaan Pendidikan yakni
Komite Sekolah. Maka dari itu,
dibutuhkan sinergi dan penataan
yang jelas bagaimana kedudukan,
fungsi maupun mekanisme
hubungan antara orang tua siswa,
paguyuban, sekolah dan komite
sekolah. “Kami ingin
menginventarisir kebutuhan apa
yang memang harus dibenahi
agar dimasa mendatang
komunikasi yang terjalin antar
stakeholders di SDN Kleco bisa
makin baik” tegas Trijono, Ketua
Komite Sekolah SDN Kleco 1
Surakarta. Dalam pertemuan
tersebut terungkap beberapa hal
yang akan dibenahi sehingga
komunikasi yang terbangun
makin baik.
Penting(kah)
Sinergisitas
Stakeholder Sekolah
19. KABAR PROGRAM
19
Wonosari – Kelompok perempuan
di Kabupaten Gunungkidul
memerlukan kapasitas tertentu
dalam partisipasinya mengawal
pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(UU Desa). Hal tersebut
mengemuka dalam acara Seminar
Pengawalan Implementasi UU Desa
di Bangsal Sewoko Projo, Wonosari
pada Kamis (7/4).
Seminar ini menghadirkan 4
(empat) narasumber. Muhammad
Farkhan, Kasi Keuangan dan
Kekayaan Bagian Administrasi
Pemerintahan Desa; Tri Sutarno,
Kepala Desa Semin, Semin; Melisa
Rachmat, kader perempuan Desa
Sambirejo, Ngawen; dan
Lusiningtias, Kepala Divisi
Pemberdayaan Perempuan YSKK.
Melisa Rocmat (29 tahun)
mengatakan, kelompok perempuan
dan pemerintah desa perlu
bersinergi untuk mengawal
implementasi UU Desa. “Pertama,
perempuan harus tahu cara
membaca dokumen desa seperti
APBDes, RPJMDes, dan lainnya.
Kedua, pemerintah desa harus
menyediakan informasi tersebut
bagi masyarakat.”
Melisa menambahkan, “Perempuan
bisa mengawal UU Desa dengan
terlibat Musrenbangdes, untuk itu
harus memiliki dokumen desa.
Sehingga mereka dapat
memastikan usulan dan program
yang diprioritaskan bagi
kesejahteraan perempuan”. Melisa
menandaskan, sebelum terlibat
Musrenbangdes perempuan harus
menyiapkan basis data dan
informasi yang kuat terkait
perempuan dan anak agar
usulannya tidak dimentahkan oleh
perangkat desa.
Peran berbagai pihak untuk
mengawasi implementasi UU Desa
sangat diperlukan, tak terkecuali
kelompok perempuan. Terlebih
pada 2016 ini sebanyak 144 desa
se-Gunungkidul akan mengelola
dana desa sebesar Rp.
207.654.264.960,-. Agar dana desa
sebesar itu juga menyasar kepada
kelompok perempuan.(red)
Modal
Perempuan
Mengawal UU
Desa
Sukoharjo – Beberapa pepatah
bijak mengatakan, “Yang terucap
akan lenyap tertiup angin dan tak
berjejak, sedangkan yang tertulis
akan abadi.” Sejarawan, filsuf, dan
penulis Amerika Serikat
mengatakan, “Scripta manent verba
volant: kata-kata tertulis, abadi;
kata-kata terucap, lenyap.” Di sisi
lain, sebagai lembaga
pemberdayaan masyarakat sejak
2001, Yayasan Satu Karsa Karya
(YSKK) juga berkepentingan
mengendapkan hasil-hasil
pergumulannya dengan
masyarakat dalam bentuk
dokumentasi tertulis. Agar
tranformasi sosial yang terjadi di
masyarakat karena bersinggungan
dengan YSKK bisa menyebar luas
kepada masyarakat pembaca.
Filosofi dan tujuan itulah yang
mendasari Divisi Pengelolaan Data
dan Informasi (PD & I)
menyelenggarakan Dapur Inovasi –
Menulis Dokumentatif Catatan
Lapangan. Kegiatan tersebut
diselenggarakan pada Jumat (8/4)
di ruang pertemuan YSKK. Dapur
Inovasi kali ini difasilitasi oleh Ana
Susi Yuniasri selaku Kepala Divisi
PD & I. ”Catatan lapangan penting
dibuat menyesuaikan kebutuhan
lembaga. Sebab, hal tersebut akan
menjadi sumber informasi dan
memudahkan lembaga dalam
mengelolan data dan informasi
yang dihasilkan dari aktivitas
teman-teman pelaksana program.”
kata Ana Susi dalam pembukaan
Dapur Inovasi seri kedua ini.
Dapur Inovasi kali ini diikuti semua
Badan Pelaksana Program YSKK,
dari direktur eksektif, kepala divisi
hingga para pengelola/pelaksana
program. Kegiatan diawali
pemaparan singkat mengenai
kerangka penulisan catatan
lapangan yang dikonstruksi sesuai
kebutuhan lembaga. Selesai
mendengarkan pemaparan singkat,
peserta menanyakan beberapa hal
untuk memperdalam pemahaman
tentang penulisan dokumentatif
catatan lapangan. Aktivitas
dilanjutkan dengan proses
menuliskan aktivitas yang
dilakukan para peserta selama
seminggu terakhir. Dari hasil
penulisan, beberapa teman
menunjukkan peningkatan
signifikan dalam menulis catatan
lapangan.
Di akhir kegiatan, Kepala Divisi PD
& I berharap Dapur Inovasi kali ini
dapat membantu pelaksana
program menuliskan aktivitas
lapangannya secara terstruktur,
runtut, dan sistematis. Sehingga
aktivitas pemberdayaan
masyarakat YSKK dapat tersebar
luas ke masyarakat luar secara
informatif. Di sisi lain, imbuh Susi,
materi Dapur Inovasi kali juga
untuk menguatkan kapasitas para
pelaksana program. (Bonnie EB)
Menulis Catatan
Lapangan itu
Penting!
20. AGENDA PROGRAM
20
Divisi Pemberdayaan Perempuan
Divisi Pemberdayaan Anak
1) Workshop Pengembangan Usaha Koperasi dengan tema :“Gairah Koperasi Dalam
MembangunEkonomiPerempuan”–Mei2016
2) PelatihanKewirausahaanBagiAnggotaKoperasi–Juli2016
3) WorkshopKelembagaanPosInformasiPerempuandanAnakTingkatDesa–Mei2016
Tujuan dari kegiatan ini antara lain : 1) Mempersiapkan restrukturisasi Koperasi, 2)
Meningkatkan kemampuan pengurus koperasi dalam melakukan penggalangan modal
swadana,3)Mereviewkembalitujuan besarkoperasiperempuan.Kegiatan inidirencanakan
akan dilaksanakan pada minggu kedua bulan mei 2016 dan diikuti oleh 30 orang yang
merupakanpengurus,pengawasdananggotadari3KoperasiWanitayangdidampingiYSKK.
Dandifasilitasiolehtimdivisipemberdayaanperempuan.
Tujuan dari kegiatan ini adalah 1) Meningkatkan motivasi anggota koperasi dalam
mengelola usaha, 2) Meningkatkan kemampuan anggota koperasi dalam menyusun rencana
usaha. Hasil dari pelatihan ini antara lain 1) anggota koperasi memiliki motivasi yang kuat
untukmengelolausaha,2)anggotakoperasimemilikirancanganpengembanganusaha.
Tujuan dari kegiatan ini adalah 1) Merumuskan bentuk kelembagaan Pos Informasi
perempuan dan anak tingkat desa, seperti struktur kelembagaan, program dan kegiatan 2)
Merumuskanruanglingkupaktivitasdariposinformasi.HasilDarikegiataniniantaralain1)
Adanya rumusan bentuk/konsep kelembagaan pos informasi perempuan dan anak, 2)
adanya rumusan ruang lingkup aktivitas dari pos informasi perempuan dan anak tingkat
desa.
1) SeminarPendidikan–Mei2016
2) PertemuanStakeholderPAUDtingkatKecamatanWeru–April2016
3) PenelitianPenyusunanIndeksSekolahMANTAP–April-Juni2016
Seminar pendidikan yang digelar di Surakarta dengan mengambil tema “Mewujudkan Tata
Kelola Pendidikan Sebagai Alat Ukur Performance Sekolah, Mungkinkah ?” ini bertujuan
untuk membedah bagaimana konsep MBS yang dimaksudkan oleh UU No 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, mendapat gambaran tata kelola satuan pendidikan
yang sudah menerapkan MBS dan tantangan yang dihadapi, serta memperoleh gambaran
sejauh mana partisipasi masyarakat dalam tata kelola satuan pendidikan terutama
memenuhiprinsipakuntabilitasdanpartisipasi.
Tujuandarikegiatanpertemuanstakeholderiniadalahmensosialisasikanmengenaikondisi
Pendidikan Anak Usia Dini dan perkembangan PAUD di Kecamatan Weru, serta mendorong
peransertastakeholderdalammendukungkeberlanjutanPAUDdiKecamatanWeru.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan indikator tata kelola sekolah yang
manajemennya sudah TAP sekaligus merumuskan ukuran, rentang nilai, batas atas batas
bawahpoinTAP.