Perjalanan yang belum selesai (7)
Pindah Pos sekaligus di Departeman Luar Negeri, Dalam Negeri dan Petambangan dan Energi. Pos di Depdagri bisa keliling Indonesia, pos di ESDM bisa keliling dunia. Batal umroh gratis, karena kekurangan dana membeli tiket, padahal sudah ‘’disangui’’ Direktur PT Tambang Timah Kuntoro Mangkusubroto dan Direktur Keuangan Erry Riyana Hardjapamekas. Aburizal Bakrie dan Arifin Panigoro, salah satu pengusaha ‘’pribumi’’ yang selalu dibawa Menteri Ginandjar Kartasasmita kalau dia melakukan kunjungan kerja ke lokasi tambang. Ketemu ‘’Bob Hasan’’ di Wina, Austria.
Oleh : Muhammad Jusuf*
Setelah sekitar enam bulan mendapat pos peliputan di Pengadilan dan wilayah kota Jakarta Timur, saya mendapat tugas meliput di Departemen Luar Negeri, Dalam Negeri, merangkap pos di Departemen Pertambangan dan Energi. Ketika itu Menteri Dalam Negerinya Soepardjo Roestam, Menteri Luar Negerinya Mochtar Kusumaatmadja, dan Menteri Pertambangan dan Energi Prof.Dr.Subroto.
Untuknya Gedung dan Press Room ketiga Departemen itu tidak jauh dari Kantor LKBN Antara di Wisma Antara, Jalan Merdeka Selatan No.17. Di samping Wisma Antara, kantor Departemen Pertambangan dan Energi, yang kini berganti nama menjadi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sehingga kalau ada acara dan pantauan pos, tinggal jalan kaki saya ke sebelah.
Pos di ESDM memang ketika itu cukup penting berita-beritanya, apalagi Indonesia ketika itu masih merupakan anggota Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), dan sebagian besar, bahkan bisa mencapai 70% devisa Negara berasal dari ekspor Minyak dan Gas Bumi (Migas). Tidak heran, ketika itu Prof.Dr.Subroto kerap menjadi incaran dan kejaran wartawan, bukan saja wartawan local, tetapi juga banyak wartawan asing, seperti wartawan Kantor Berita Reuters yang punya pos tetap di ESDM Muchlis Ali sampai kini. Markus Duan Allo sendiri, wartawan KOMPAS lama mengepos di ESDM, bahkan dia sendiri, termasuk saya sebagai Reporter Antara, kerap dikirim kantornya meliput berbagai konferensi mengenai Energi di luar negeri, termasuk siding-sidang OPEC, baik di markas besar OPEC di Wina, Austria, dan Negara lain, termasuk di Bali, ketika Indonesia menjadi tuan rumah KTT OPEC.
Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja sendiri sebagai Menteri Luar Negeri selalu mengadakan pertemuan rutin di kantornya dengan para wartawan. Biasanya Jumpa pers rutin itu dilakukan di Deplu setiap hari Jumat, usai Shalat Jumat. Kadang, hari lain, kalau Bapak Mochtar Kusumaatmadja ada acara lain. Namun, kami wartawan yang ‘’mengepos’’ di Departemen Luar Negeri biasanya selalu di ‘’atur’’ Humasnya, ke Bandara, bila Mochar Kusumaatmadja baru tiba dari suatu acara di luar negeri, sehingga dia melakukan Jumpa pers di Vip room Bandara Soekarno-Hatta, dulu namanya Bandara Cengkareng.
Diantara keiga Departemen ini, yang cukup sibuk adalah Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Banyak sekali acara dan kunjungan Soepardjo Roestam ke daerah-daerah yang harus kita ikuti. Berbeda dengan mereka yang mengepos di Departemen Luar Negeri , biasanya Menteri Dalam Negeri dalam kunjungannya ke berbagai daerah selalu membawa wartawan. Juga kalau ada acara di salah satu Dirjennya. Satu hal yang ketika itu berita-berita Departemen Dalam Negeri cukup produktif adalah, ketika itu Kepala Biro Humas Departemen Dalam Negeri Faisal Tamin, juga bertindak sebagai Jurubicara Departemen, sehingga banyak sekali berita-berita seputar Politik Dalam negeri yang terlontar dari mulut ‘’Bapak’’ Faisal Tamin.
Boleh di kata, setiap kunjungan Menteri Dalam Negeri, salah satu Dirjen, bahkan kadang ada undangan Gubernur di daerah kami meliput langsung ke daerah, apalagi pada masa itu, Kantor Berita Antara masih menjadi andalan media cetak dan radio di dalam negeri. Tidak heran, bila saya pernah meliput di hamper seluruh propinsi di Indonesia, mulai dari Banda Aceh sampai Jayapura di Papua, bahkan pernah ikut kunjungan Soepardjo Rustam meninjau propinsi ‘’ki
BERKELAS!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Harga Pintu Aluminium Kamar Mandi di...
Perjalanan Yang Belum Selesai (7)
1. Perjalanan yang belum selesai (7)
Pindah Pos sekaligus di Departeman Luar Negeri, Dalam Negeri dan Petambangan dan Energi. Pos di
Depdagri bisa keliling Indonesia, pos di ESDM bisa keliling dunia. Batal umroh gratis, karena kekurangan
dana membeli tiket, padahal sudah ‘’disangui’’ Direktur PT Tambang Timah Kuntoro Mangkusubroto dan
Direktur Keuangan Erry Riyana Hardjapamekas. Aburizal Bakrie dan Arifin Panigoro, salah satu
pengusaha ‘’pribumi’’ yang selalu dibawa Menteri Ginandjar Kartasasmita kalau dia melakukan
kunjungan kerja ke lokasi tambang. Ketemu ‘’Bob Hasan’’ di Wina, Austria.
Oleh : Muhammad Jusuf*
Setelah sekitar enam bulan mendapat pos peliputan di Pengadilan dan wilayah kota Jakarta Timur, saya
mendapat tugas meliput di Departemen Luar Negeri, Dalam Negeri, merangkap pos di Departemen
Pertambangan dan Energi. Ketika itu Menteri Dalam Negerinya Soepardjo Roestam, Menteri Luar
Negerinya Mochtar Kusumaatmadja, dan Menteri Pertambangan dan Energi Prof.Dr.Subroto.
Untuknya Gedung dan Press Room ketiga Departemen itu tidak jauh dari Kantor LKBN Antara di Wisma
Antara, Jalan Merdeka Selatan No.17. Di samping Wisma Antara, kantor Departemen Pertambangan dan
Energi, yang kini berganti nama menjadi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sehingga
kalau ada acara dan pantauan pos, tinggal jalan kaki saya ke sebelah.
Pos di ESDM memang ketika itu cukup penting berita-beritanya, apalagi Indonesia ketika itu masih
merupakan anggota Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), dan sebagian besar, bahkan bisa
mencapai 70% devisa Negara berasal dari ekspor Minyak dan Gas Bumi (Migas). Tidak heran, ketika itu
Prof.Dr.Subroto kerap menjadi incaran dan kejaran wartawan, bukan saja wartawan local, tetapi juga
banyak wartawan asing, seperti wartawan Kantor Berita Reuters yang punya pos tetap di ESDM Muchlis
Ali sampai kini. Markus Duan Allo sendiri, wartawan KOMPAS lama mengepos di ESDM, bahkan dia
sendiri, termasuk saya sebagai Reporter Antara, kerap dikirim kantornya meliput berbagai konferensi
mengenai Energi di luar negeri, termasuk siding-sidang OPEC, baik di markas besar OPEC di Wina,
Austria, dan Negara lain, termasuk di Bali, ketika Indonesia menjadi tuan rumah KTT OPEC.
Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja sendiri sebagai Menteri Luar Negeri selalu mengadakan pertemuan
rutin di kantornya dengan para wartawan. Biasanya Jumpa pers rutin itu dilakukan di Deplu setiap hari
Jumat, usai Shalat Jumat. Kadang, hari lain, kalau Bapak Mochtar Kusumaatmadja ada acara lain.
Namun, kami wartawan yang ‘’mengepos’’ di Departemen Luar Negeri biasanya selalu di ‘’atur’’
Humasnya, ke Bandara, bila Mochar Kusumaatmadja baru tiba dari suatu acara di luar negeri, sehingga
dia melakukan Jumpa pers di Vip room Bandara Soekarno-Hatta, dulu namanya Bandara Cengkareng.
Diantara keiga Departemen ini, yang cukup sibuk adalah Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Banyak
sekali acara dan kunjungan Soepardjo Roestam ke daerah-daerah yang harus kita ikuti. Berbeda dengan
mereka yang mengepos di Departemen Luar Negeri , biasanya Menteri Dalam Negeri dalam
kunjungannya ke berbagai daerah selalu membawa wartawan. Juga kalau ada acara di salah satu
2. Dirjennya. Satu hal yang ketika itu berita-berita Departemen Dalam Negeri cukup produktif adalah,
ketika itu Kepala Biro Humas Departemen Dalam Negeri Faisal Tamin, juga bertindak sebagai Jurubicara
Departemen, sehingga banyak sekali berita-berita seputar Politik Dalam negeri yang terlontar dari mulut
‘’Bapak’’ Faisal Tamin.
Boleh di kata, setiap kunjungan Menteri Dalam Negeri, salah satu Dirjen, bahkan kadang ada undangan
Gubernur di daerah kami meliput langsung ke daerah, apalagi pada masa itu, Kantor Berita Antara masih
menjadi andalan media cetak dan radio di dalam negeri. Tidak heran, bila saya pernah meliput di
hamper seluruh propinsi di Indonesia, mulai dari Banda Aceh sampai Jayapura di Papua, bahkan pernah
ikut kunjungan Soepardjo Rustam meninjau propinsi ‘’kita’’ ketika itu ke Dilli dan kota-kota di sekitarnya
di Timor Timur
Setiap Pemilu pun para wartawan di Departemen Dalam negeri di bagi dalam beberapa zona, untuk
pemantauan. Saya ketika itu, ikut memantau pemilu tahun 1987 ke kawasan Tapal Kuda di Jawa Timur
yang ketika itu cukup surprise, karena Partai Persatuan Pembangunan cukup banyak pendukungnya di
kawasan ini, walau secara nasional Golkar unggul mayoritas, meninggalkan PPP dan Partai Demokrasi
Indonesia.
Berbeda dengan ‘’ngepos’’ di Departemen Dalam Negeri dan Departemen ESDM, ‘’Ngepos di
Departemen Luar Negeri, walaupun Menterinya kerap ke luar negeri, namun wartawannya ‘’sama
sekali’’ tidak pernah ‘’diundang’’ meliput ke luar negeri. Cukup di Press Room bandara, atau Press Room
Departemen Luar Negeri. Mungkin satu-satunya yang pernah, para wartawan di undang keluar negeri
adalah ketika ‘’Gedung KBRI” yang baru di Singapura di resmikan. Itu pun yang berangkat adalah
Saudara rekan saya satu angkatan di Susdape IV, Dadut Priambodo, yang ketika pertama kali menjadi
reporter Antara ditugaskan ‘’mengepos’’ di Deplu. Saya ketika itu ‘’ngepos’’ di Jakarta Timur.
Saya beruntung ditugaskan Kepala Biro Koordinator Reporter LKBN Antara ketika itu Alwi Shahab yang
menggantikan Bapak Soegianto, sehingga saya juga di poskan di Departemen ESDM, karena dari pos
inilah saya berpengalaman meliput sampai ke manca Negara, baik Konperensi OPEC di Wina, Austria,
sampai konferensi mengenai Energi di Spanyol, Singapura, Jepang dan beberapa Negara lain. Memang,
ngepos di Departemen Luar Negeri, bukan berarti saya tidak pernah ditugaskan meliput masalah-
masalah luar negeri di luar negeri. Seperti sekitar tahun 1986’an, ketika Pemerintah Oman mengundang
para wartawan dari segala penjuru dunia, termasuk dua wartawan di Indonesia, saya termasuk yang
ditugaskan Antara meliput Konferensi Dewan Kerjasama Teluk (GCC) yang dilakukan di Ibukota Oman,
Muscat.
Sebenarnya, pemerintah Oman ketika itu mengundang selain wartawan Antara, juga wartawan senior
Anie Berthasimamora dari Sinar Harapan. Namun, ketika itu Anie Berthasimamora tengah berhalangan.
Mungkin, dia tengah persiapan menghadapi perayaan Natal, karena ketika itu jadwal konferensi GCC
mendekati hari-hari perayaan Natal.
Ada salah satu hal menarik ketika kami diundang Oman ini. Oman adalah salah satu Negara di Timur
Tengah yang cukup kaya, dan merupakan salah satu Negara di Timur Tengah yang pernah saya singgahi
3. untuk meliput. Berbeda dengan kota Dubai, saya hanya transit saja ke kota ini, sebelum melanjutkan
perjalanan ke Eropa misalnya (ke Belanda atau Negara lain seperti Jerman, Austria dan Hongaria).
Di dalam mengundang para wartawan ini, pemerintah Oman sadar betul akan pentingnya Public
Relations, sehingga untuk Negara-negara di Asia mereka menggunakan jasa konsultan dari Singapura
untuk meliput jalannya siding. Kami para wartawan tentu saja dimanjakan pemerintah Oman dalam
peliputan, kami disediakan hotel mewah, seperti Al-Bhustan hotel, kendaraan ‘’Mercedes Benz’’ untuk
putar-putar sekitar kota Oman, selain bis untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di Oman.
Namun, cita-cita saya, ketika sambil mengunjungi Oman adalah, saya tidak jadi Umroh Gratis ke
Mekkah. Padahal, sebelum berangkat ke Oman, saya sudah menyiapkan ‘’baju ihram’’ putih,
peninggalan almarhum mertua Mayor Dimyati saya yang meninggal ketika naik haji tahun 1982 lalu. Lagi
pula, saya pun mendapat ‘’visa gratis’’ dari Kedubes Arab Saudi di Jakarta. Belum lagi, Kepala Biro LKBN
Antara di Jeddah, ketika itu, ‘’menawarkan’’ services ‘’gratis’’ dari Jeddah ke Mekkah pulang pergi. Saya
ketika itu memang ‘’belum panggilan’’, karena ‘’uang saya’’ ternyata kurang US$ 100 dolar untuk
tambahan membeli tiket dari Muscat – Jeddah bolak-balik, karena Tiket dari Muscat – Bangkok – Jakarta
sudah disediakan pemerintah Oman.
Padahal, sebelum berangkat ke Oman, saya sudah lapor ke Direktur Utama PT Tambang Timah Kuntoro
Mangkusubroto dan Direktur Keuangannya Erry Riyana Hardjapamekas, kalau saya, selain meliput ke
Oman, juga akan Umroh. Karena niat baik saya itu, padahal keduanya sudah ‘’memberi sangu’’ Rp
500.000 rupiah. Namun, saya salah perhitungan, uang SPJ yang telah diberikan LKBN Antara dan
‘’bantuan Umroh’’ dari Bapak Kuntoro dan Bapak Erry Riyana itu sudah telanjur ‘’kepakai’’ membeli
oleh-oleh di pasar tradisional di Muscat untuk membeli topi haji, kurma dan lain-lain. Padahal, harga-
harga oleh-oleh di Muscat sangat mahal, apalagi nilai mata uang rial Oman ketika itu dua kali lipat dari
dolar AS, sehingga uang dikeluarkan ‘’tanpa terasa’’ nyaris habis, sehingga uang untuk tambahan tiket ke
Jeddah kurang. Kata orang sih, saya belum rezeki ‘’dipanggil’’ untuk Umroh. Mungkin juga hati saya
belum ‘’terlalu’’ bersih, karena di hati kecil, sebelum kembali ke Jakarta, dan singgah di Bangkok, banyak
teman wartawan di Jakarta agar saya mencari pengalaman dengan menonton berbagai pertunjukan
yang ‘’berbau porno’’ selama di Bangkok.
Ada hal yang menarik ketika saya dalam perjalanan dari Muscat ke Jakarta via Bangkok. Dalam
perjalanan saya pulang saya satu pesawat dengan sebagian besar warga Negara Oman yang tengah ingin
tamasya ke Bangkok. ‘’Anda ingin kemana,’’ Tanya saya ke salah satu penumpang, memakai surban dan
pakaian khas ‘’Arab’’. ‘’Saya mau pelesiran ke Bangkok,’’ kata penumpang ini. “Kenapa tidak singgah
juga ke Jakarta setelah dari Bangkok,’’ Tanya saya, penasaran. ‘’Di Indonesia, dan di Jakarta ngak banyak
ceweknya,’’ kata salah seorang penumpang tadi. Maksudnya, tidak banyak ‘’wanita penghibur’’. Karena,
saya takut ‘’berdosa’’ kasih tahu kalau di kota-kota di Indonesia juga banyak ‘’wanita penghibur’’, saya
hanya mengangguk saja ketika dia menjawab demikian.
Ketika kami turun di Bangkok, ternyata selama di Ibukota Thailand ini, kami satu hotel, di tengah kota
Bangkok. Ketika tiba, saya pun lantas Chek in, dan sore harinya jalan-jalan mengelilingi kota di Bangkok,
termasuk beberapa tempat ‘’penari berbau porno’’ yang menjadi daya tarik umumnya para pelancong
4. dari mancanegara mengapa mereka memilih Thailand sebagai tempat persinggahan, selain mereka
memiliki banyak ‘’wanita penghibur’’.
Benar saja, ketika sekitar pukul 22.00 malam saya kembali ke Hotel, beberapa rekan warga Oman yang
satu pesawat tadi, kembali ke kamar hotel mereka sudah ‘’menggandeng’’ satu-satu para wanita
‘’penghibur’’ local. Mereka sudah tidak lagi menggunakan pakaian khas Arab, namun umumnya mereka
sudah mengenakan celana ‘’Jeans’’. Konon, diantara para turis dari Arab itu, bukan saja bujangan, tetapi
banyak diantara mereka bahkan sudah berkeluarga. ‘’Mereka’’ rupanya sengaja tidak membawa para
isteri dan anak mereka ke Bangkok, agar ‘’kenakalan’’ mereka tidak ketahuan para isteri mereka.
Kunjungi Tembagapura
Enam bulan menjelang masa sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, Prof.Dr.Subroto yang selama
ini banyak menghadiri siding OPEC dn konferensi energi di luar negeri, sehingga belum sempat
mengunjungi beberapa lokasi pertambangan di dalam negeri, sehingga dia memutuskan untuk
melakukan kunjungan kerja mengunjungi beberapa lokasi tambang, antara lain mengunjungi tambang
tembaga dan emas milik Freeport McMorant PT Freeport Indonesia di Tembagapura, di Papua,
kemudian mengunjungi tambang nikel milik PT Inco di Pomalaa di Sulawesi Selatan, melihat tambang
emas milik mantan anggota DPR Yusuk Merukh PT Lusang Mining di Lebong Tandai di Bengkulu, dank e
Tanjung Enim melihat lokasi tambang batubara yang dieksplorasi dan dieksploitasi PT Tambang Batubaa
Bukit ‘Asam (PTBA).
Ketika kami mengunjungi PT Lusang Mining di Bengkulu, kami dari Jakarta ke Palembang memang
menggunakan pesawat. Namun dari Palembang ke Lebong Tandai, di Bengkulu, kami menggunakan
kereta api, jadi kereta pengangkutan batubara yang gerbongnya diganti dengan ‘’gerbong’’ penumpang.
Satu tahun berikutnya, Presiden Soeharto ketika mengumumkan komposisi anggota kabinetnya,
Menteri Subroto yang sebelumnya beberapa kali menjadi Menteri di pos lain oleh Presiden Soeharto,
kali ini, Soeharto menunjuk Prof.Dr.Ginandjar Kartasasmita menjadi Menteri Pertambangan dan Energi
menggantikan Prof.Dr.Subroto. Subroto beberapa saat kemudian menduduki jabatan sebagai President
OPEC.
Departeman Pertambangan dan Energi yang dipegang Bapak Ginandjar, yang di dalam cabinet
sebelumnya menjabat sebagai Menteri Muda Pemberdayaan Penggunaan Produksi Dalam Negeri itu
terasa ‘’semakin hidup’’. Selain dia sendiri yang kerap ‘’banyak’’ bicara’’ kepada pers, baik soal-soal
minyak dan gas dan OPEC, juga sekitar masalah-masalah pertambangan lainnya. Para Direktur Utama
Badan Usaha Milik Negara, yang ketika itu masih di bawah payung Departemen Pertambangan dan
Energi, bukan Kementrian BUMN seperti sekarang, juga mengikuti gaya menterinya, yang sangat
terbuka kepada para wartawan.
Direktur Utama PT Tambang Timah ketika awal Ginandjar menjadi Menteri dipegang Kuntoro
Mangkusubroto menggantikan Sudjatmiko. Dua tahun kemudian, Kuntoro pindah menjadi Direktur PT
Tambang Batubara Bukut Asam. Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara dipegang Ermansyah Yamin,
sedangkan Direktur Utama Pertamina dipegang Abdurahman Ramly, setelah satu tahun kemudian
5. digantikan oleh Bapak Faisal Abda’oe. Konon, Faisal Abda’oe menjadi Dirut Pertamina, karena ‘’titipan’’
President Soeharto, karena ada cerita, Faisal Abda’oe di dalam zaman perjuangan melawan penjajah,
ketika di Yogyakarta, adalah ‘’kurir’’ Soeharto.
Di dalam masa Bapak Ginandjar Kartasasmita inilah ‘’saya naik daun’’. Karena, Bapak Handjojo, Pimpinan
Umum LKBN Antara, juga teman dekat Bapak Ginandjar Kartasasmita, sehingga bos saya, Bapak Alwi
Shahab dan Bapak Sugiarto tetap memutuskan saya tetap pada pos saya semula, dan diminta
‘’menempel’’ terus Bapak Ginandjar. Ini juga diteruskan pada masa kepemimpinan Bapak Parni Hadi,
Kepala Biro Koordinator Reportase menggantikan Bapak Soegiarto dan Bapak Alwi Shahab ketika itu.
Tidak heran, bila ada penugasan, baik atas undangan BUMN di Lingkungan Departemen Pertambangan
dan Energi, atau penugasan dari kantor LKBN Antara meliput OPEC dan konferensi energy di forum
Internasional, dimana Bapak Ginandjar Kartasasmita hadir, saya selalu ditugasi untuk meliputnya.
Ada salah satu semangat yang dimiliki Bapak Ginandjar Kartasmita ketika mempromosikan produksi
dalam negeri , ketika diangkat menjadi Menteri ESDM, dia selalu mengikut sertakan beberapa
pengusaha ‘’pribumi’’ seperti Aburizal Bakrie, Arifin Panigoro dan Bapak Fadel Muhammad. Kini
ketiganya sudah menjadi ‘’orang besar’’. Aburizal Bakrie, yang kini menjabat Ketua Umum Golkar
sebelumnya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Arifin Panigoro sendiri perusahaan minyaknya
Medco Group telah menjadi perusahaan migas swasta terbesar di Indonesia. Fadel Muhammad Sendiri
setelah sebelumnya menjabat sebagai Gubernur Gorontalo, kini menjabat sebagai Menteri Kelautan dan
Perikanan, menggantikan Freddy Numberi, yang kini menjadi Menteri Perhubungan pada cabinet
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua. Itulah sebabnya, ketika kami mengunjungi PT
Freeport di Tembagapura, selain dijemput langsung oleh CEO Freeport McMorant dari Amerika Serikat
Mr.Moffet di Halim Perdana Kusuma, Ginandjar dalam kunjungan beberapa kali ke Tembagapura selalu
membawa dua pengusaha ‘’pribumi’’ ini.
Ketika kami mengikuti kunjungan Menteri Ginandjar dan diikuti Bapak Aburizal Bakrie dan Arifin
Panigoro, kami sempat juga mengunjuhngi lembah Baliem, kawasan desa suku asmat di Papua. Kami
pun sempat ‘’melihat’’ salju di atas pegunungan di Jayapura, yang masuk lokasi pertambangan di
Tembagapura. Entahlah, apakah salju itu masih ada di Tembagapura, karena tentu saja eksploitasi
tembaga dan emas tentu saja sudah semakin meluas, sehingga berdampak pada perubahan lingkungan
dan suhu.
Pernah suatu ketika, ketika tengah meliput Konferensi Sidang OPEC di Wina, Austria, ketika saya tengah
akan mengirim berita ke kantor pos, saya jalan kaki dari Hotel, maklum ketika itu mengirim berita ke
Antara belum menggunakan mesin fax atau email seperti sekarang. Ketika itu kami mengirim berita
menggunakan telex. Karena, kalau menggunakan operator mahal bayarannya di Austria, terpaksa saya
mengirimnya mengetik sendiri. Namun, ketika, akan pulang kembali ke Hotel dari Kantor Pos di Wina,
saya ketemu pengusaha nasional dan mantan Menteri Perdagangan Muhammad Hasan, yang dikenal
dipanggil ‘’Bob Hasan’’.
6. Ketika saya jalan, Bob Hasan yang didampingi Sekjen Persatuan Atletik Indonesia itu tengah menikmati
alam kota Wina, termasukGereja Tuanya yang indah. ‘’Hei Bapak Bob Hasan, apa kabar,’’ sapa aku.
‘’Kabar baik, Anda dari mana,’’ Tanya Bob Hasan. ‘’Saya reporter Antara, Muhammad Jusuf,’’ kata saya.
‘’Oh , ya, saya kenal baik bos Anda Bapak Handjojo. Ada acara apa di Wina ini,’’ Tanya Bob Hassan. ‘’Saya
lagi meliput sidang OPEC,’’ kata saya. ‘’Bapak Bob Hasan sendiri dari mana dan sedang apa,’’ Tanya saya,
penasaran. ‘’Saya tengah berkunjung ke beberapa di Skandinavia untuk mencari pabrik kertas,’’ jawab
Bob Hasan. Memang, Bob Hasan, ketika itu, selain dikenal sebagai pengusaha di bidang industry
perkayuan, juga dikenal tengah merintis industry kertas, seperti Pulp PT Kiani Kertas di Kalimantan
Timur, yang kini dimiliki pengusaha Pak Hashim dan Prabowo Subianto. ‘’Ayo kita ke restaurant terdekat,
sambil ngobrol-ngobrol,’’ ajak Bob Hasan. ‘’Ok, kata ku’’. Lalu, setibanya di sebuah restaurant ‘’cina’’,
kami lebih dari tiga jam mengobrol panjang lebar dengan Bob Hasan.
Setibanya di Hotel, saya ketemu Wartawan Kompas, yang ditugasi meliput sidang OPEC ketika itu,
Saudara Chris Kelana. ‘’Dari mana Suf,’’ kata Chris. ‘’Aku dari kirim berita di Kantor Pos. Eh, tadi aku
ketemu Bob Hasan dan ditraktir makan,’’ kataku. ‘’Dimana, aku juga pengen ketemu dia,’’ Tanya Chris
Kelana penasaran. ‘’Tadi dia ada di tengah kota, dekat Kantor Pos, saya sih sudah kasih tahu hotel kita
Marriot ke Bapak Bob Hasan,’’ kataku.
Benar saja, esoknya ketika Konferensi OPEC dibuka dan dimulai, Bob Hasan sudah masuk dalam jajaran
barisan tempat duduk delegasi Indonesia, termasuk Direktur Utama Pertamina Faisal Abdaoe, dan para
pejabat dan staf ahli lainnya di lingkungan Departemen Pertambangan dan Energi.
Sepulangnya dari Wina inilah, kemudian Chris Kelana ‘’hengkang’’ ke Televisi Rajawali Citra Televisi
Indonesia (RCTI). Rupanya, Chris Kelana baru saja dibajak Peter F Gontha untuk menjadi Pemimpin
Redaksi Seputar Indonesia di RCTI.
Salah satu kepuasan saya di dalam meliput sidang-sidang OPEC itu adalah, banyak berita-berita saya
yang di ‘’kutip’’ Koran utama di tanah air, seperti Sinar Harapan, Berita Buana, Merdeka, Koran Bahasa
Inggris ‘’The Indonesian Times” dan ‘’The Indonesian Observer’’ dan banyak Koran daerah lain. Saya
memang bekerja di LKBN Antara mulai tahun 1984 sampai tahun 1989, setelah tahun 1990 saya pindah
ke Majalah Mingguan ‘Ekonomi’ Prospek milik pengusaha Soetrisno Bachir, yang kini Ketua Umum Partai
Amanat Nasional (PAN) sebagai Kepala Biro Jakarta, atau Koodinator Reportase.
• Wartawan Freelance dan Dosen Komunikasi (Jurnalistik) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE)
Hidayatullah.
•