Dokumen tersebut membahas pentingnya netralitas aparatur sipil negara dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah, legislatif, dan presiden agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan sumber daya birokrasi untuk kepentingan politik. Beberapa peraturan seperti UU ASN, UU Pilkada, dan PP tentang Disiplin PNS mengatur larangan bagi ASN untuk terlibat dalam kegiatan kampanye dan mendukung calon tertentu agar tet
1. Netralitas dalam pilkada, sebuah keharusan!
Dewi Sartika, SE., MM
Peneliti Muda PKP2A III LAN, anggota tim Kajian Penyusunan Pedoman
Kebijakan dan Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2018,
pemilihan legislative (pileg) tahun 2019, dan pemilihan presiden (pilpres) tahun
2019. Perhelatan akbar ini menjadi ajang perebutan pengaruh dan kekuasaan.
Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki hak pilih dan dipilih, sekaligus menjadi
sasaran empuk bagi kepentingan politik praktis. Jumlah aparatur sipil Negara
yang terdiri dari PNS, TNI dan Polri bukanlah jumlah yang sedikit. Pegawai
Negeri Sipil sekitar 4,3 juta orang setara 1,7% jumlah penduduk Indonesia.
PNS Pusat berjumlah 918.444 orang, PNS provinsi berjumlah 301.781 orang
dan PNS Kabupaten/Kota berjumlah 3.154.124 orang. (BKN, 2017). Jumlah
TNI sekitar 1.118.410 orang dan jumlah Polri sekitar 387.470 orang
(Wikipedia). Jumlah yang menggoda untuk diperebutkan. Wajah birokrat masa
depan memiliki karakter professional. Dalam rangka profesionalisme itulah
pelayanan publik diberikan dengan prima dan kompeten, bebas dari intervensi
politis. Harapan yang kuat dari netralitas ASN ini adalah menghindari adanya
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) terhadap birokrasi, baik itu
dalam bentuk penempatan jabatan dalam birokrasi dipenuhi unsur intervensi
politik timbang pertimbangan prestasi (merit system) ataupun hubungan
pribadi (impersonal). Ataupun, sumber daya birokrasi dijadikan modalitas
politik. Hingga keberpihakan pada kelompok sealiran politik dengan birokrat.
Dimana ujungnya adalah mengembalikan birokrasi pada khittah nya yaitu
sebagai instrument pelayan publik. Karenanya terbitlah regulasi yang
mengatur tentang etika netralitas ASN, diantaranya :
2. a. Undang – undang (UU) Nomor 5/2014 tentang ASN bahwa : ASN berpegang
pada asas netralitas yaitu tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh
manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun; PNS
diberhentikan dengan tidak hormat karena menjadi anggota dan/atau
pengurus partai politik: PNS yang mencalonkan diri sebagai bakal calon
(balon)/pasangan calon (paslon) pilkada wajib menyatakan pengunduran diri
secara tertulis sebagai PNS sejak ditetapkan dan dijatuhi hukuman disipilin
jika mengabaikan.
b. UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU NO 1/2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) No.1 tentang pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang. Memuat tentang diantaranya :
balon/paslon dilarang melibatkan ASN, anggota POLRI/ TNI; balon/paslon
dilarang melibatkan kades/lurah/perangkat desa/kelurahan; Pejabat Negara,
pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI/Polri dilarang membuat keputusan
dan/atau tindakan yang menguntungkan/merugikan salahsatu balon/paslon;
Kepala Daerah dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan
sebelum tanggal penetapan balon/paslon sampai dengan akhir masa jabatan
kecuali disetujui tertulis dari Menteri; kepala daerah dilarang menggunakan
kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan/merugikan
balon/paslon baik di daerah sendiri/daerah lain dalam waktu 6(enam) bulan
sebelum tanggal penetapan balon/paslon sampai terpilih; kepala daerah
seperti yang dimaksud diatas, termasuk juga pejabat gubernur atau pejabat
bupati/walikota.
c. PP No. 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS,
menerangkan tentang diantaranya :
1) Etika PNS terhadap diri sendiri ; menghindari konflik interest dan
berpolitik praktis, yaitu a) lobi ke parpol; b) memasang spanduk/baliho
bacalon; c) mendeklarasikan diri sebagai balon/paslon; d) menghadiri
deklarasi balon/paslon dengan atau tanpa atribut balon/paslon/parpol;
e) mengunggah, menanggapi, menyebarluaskan gambar balon/paslon,
visi misi balon/paslon, atau keterkaitan lain dengan balon/paslon
melalui media online maupun media sosial; f) berfoto bersama dengan
balon/paslon dan mengikuti simbol tangan/gerakan bentuk
keberpihakan; g) pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan
parpol;
2) Pelanggaran dikenai sanksi moral;
3. 3) Rekomendasi Majelis Kode Etik (MKE) PNS yang melakukan pelanggaran
kode etik selain dikenakan sanksi moral, dikenakan tindakan
administratif sesuai dengan perundang-undangan;
4) Tindakan administratif; sanksi hukuman disiplin ringan maupun berat
sesuai pertimbangan Tim Pemeriksa;
5) Poin 4 diatas diatur dalam PP No. 53 tentang Disiplin PNS dan Perka
BKN No. 21/2010 tentang Disiplin PNS
6) PNS pada poin 1 diatas adalah PNS selain Sekretaris Daerah,
pembentukan MKE dan Tim Pemeriksa dilakukan oleh PPK Instansi
7) PNS pada poin 6 diatas adalah Sekda Provinsi, pembentukan MKE dan
Tim Pemeriksa dilakukan Mendagri
d. PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS ; diantaranya mengatur bentuk sanksi
hukuman disiplin pada pelanggaran pasal 4 (angka 14, 15) dijatuhi hukuman
disiplin pasal 12 (angka 8, 9) dan pasal 13 (angka 13) yaitu
1) Hukuman disiplin tingkat sedang berupa : (i) penundaan Kenaikan gaji
berkala (KGB) selama 1(satu) tahun; (ii) penundaan pangkat selama
1(satu) tahun; (iii) penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama
1(satu ) tahun, bagi PNS : a) memberikan dukungan dengan fotokofi KTP
atau Surat Keterangan KTP sesuai perUUan; b) terlibat kampanye
mendukung calon kepala daerah serta berkegiatan yang mengarah
kepada keberpihakan terhadap paslon sebelum, selama dan sesudah
masa kampanye;
2) Hukuman disiplin tingkat berat berupa : (i) penurunan pangkat
setingkat lebih rendah selama 3(tiga) tahun, (ii) pemindahan dalam
rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; (iii) pembebasan dari
jabatan; (iv) atau pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri sebagai PNS, bagi PNS : a) memberikan dukungan kepada
balon/paslon, dengan cara menggunakan fasilitas terkait jabatan dalam
kegiatan kampanye; b) membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu paslon selama masa
kampanye; c) penjatuhan hukuman disiplin sesuai peraturan terkait
Sebagai penutup, selain gencar mensosialisasikan kebijakan netralitas ini
ke seluruh aparatur sipil Negara, perlu dibangun kondusifitas iklim netralitas
dari semua pihak, diantaranya Komisi ASN sebagai pengawas ASN, pemimpin
puncak birokrasi (gubernur, bupati, walikota) sebagai pejabat publik, elit
parpol yang membebaskan birokrasi dari buhul kepentingan politisnya,
inspektorat daerah sebagai pengawas urusan pemeirntahan, Komisi Pemilihan
Umum (KPU) dan KPU di Daerah (KPU Provinsi, KPU Kota dan kabupaten)
4. sebagai penyelenggara pemilu dan pilkada, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
dan Pengawas pilkada di daerah (Bawaslu Provinsi dan Panitia Pengawas
Pemilu /Paswaslu kabupaten/kota) sebagai pengawas penyelenggaraan
pemilu, serta masyarakat sipil (civil society) dari unsur perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh masyarakat, media massa, pemuka
adat dan agama serta elemen masyarakat strategis lainnya membantu
mendukung dan mengawasi tanpa tendensi kenetralitasan ASN dalam kancah
demokrasi, serta warga masyarakat yang aktif berdayaguna terutama ketka
menemukan pelanggaran netralitas. Akhirnya, netralitas ini berpulang kepada
ASN itu dengan tetap taat aturan, menjaga kebersamaan dan jiwa korps dan
tidak terpengaruh kegiatan yang mengarah pada keberpihakan/indikasi
ketidaknetralan.