Dokumen tersebut membahas tentang perlunya perubahan mentalitas guru dalam menghadapi kurikulum baru. Diskusi menyinggung tantangan implementasi kurikulum baru seperti Kurikulum 2013 yakni kurangnya kualitas SDM guru dan mindset guru yang kurang terbuka terhadap perubahan. Dokumen ini juga menyarankan diperlukannya kerja sama antar guru dan dukungan dari kepala sekolah dan dinas pendidikan untuk mendukung implementasi k
Analisis perbedaan kurikulum ktsp dan kurikulum 2013
Mental guru harus berubah
1. Mental Guru Harus Berubah
SELAMA enam bulan ke depan, akan berlangsung sosialisasi kurikulum pendidikan paling gress di negeri ini.
Seberapa dalam efektivitas sosialisasi itu di samping bergantung pada pihak yang paling berwenang, dalam hal
ini pemerintah, namun juga peran para pihak yang terkait di dalamnya, termasuk guru.
Pro-kontra masih terus mengemuka atas kurikulum tersebut, oleh masyarakat, pengamat pendidikan di
sejumlah media-maupun di pelbagai kesempatan. Hingga tulisan ini dibuat, pemerintah masih menunggu
masukan utamanya dari praktisi pendidikan dalam kesempatan uji publik dari dua alternatif yang disediakan.
Meski demikian, apapun pilihan dari alternatif tersebut kualitas dan mental pendidik dalam hal ini guru adalah
ujung tombak dari setiap berlakunya kurikulum baru di negeri ini.
Demikian, salah satu kesimpulan penting dalam diskusi terbatas beberapa waktu lalu yang diselenggarakan
Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII) di sekretariatnya, Jl Gubeng Kertajaya 9a no
21a Surabaya. Diskusi yang menghadirkan Isa Ansori, Ketua Dewan Pendidikan Surabaya, Maria Mumpuni
Purboningrum dari NGO Benih Matahari dan mengundang beberapa guru sekolah dasar ini dimoderatori oleh
Jairi Irawan dari WYDII.
“Kurikulum 2004 yang kita kenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi, red), kemudian 2006 kita kenal
dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, red) adalah konsep manajemen berbasis sekolah. Guru
ditantang untuk memiliki otoritas dan mengembangkan model pembelajaran yang dilakukan masing-masing.
Persoalannya ‘kebebasan’ yang diberikan kurikulum tidak mampu ditangkap oleh guru. Dampaknya, kurikulum
itu yang rasanya benda mati, menjadi mati. Dan Guru bingung bagaimana mengimplementasikannya dalam
proses pembelajaran,” terang Isa Ansori.
Bahkan Maria Mumpuni dari Benih Matahari menegaskan tidak ada perbedaan mencolok antara Kurikulum KBK,
KTSP dan 2013. “Namun demikian, saya melihat ada tiga aspek yang menjadi ruh setiap kurikulum. Materi,
peran guru-kepala sekolah dan manajemen perubahan,” tandas Maria.
Soal materi, guru kita nantinya tergantung teks book, yang artnya tergantung penerbit yang menerjemahkan
dan kemudian menjadi buku panduan itu.
Materi KTSP maupun kurikulum 2013—katanya adalah
penyederhanaan dari KTSP. “Buat saya ini nanti dikembalikan pada bagaimana materi buku panduan. Penuh
atau tidak. Karena pada saat materi itu penuh guru akhirnya akan mengajar satu arah lagi. Padahal kalau dilihat
inti dari KTSP, kalau guru bisa mengembangkan, guru bisa membuat materi sendiri,” katanya.
Dengan kata lain, baik Kurikulum KTSP maupun kurikulum 2013 sudah ada peluang guru untuk
mengembangkan. Walaupun perbedaannya, kurikulum sebelumnya dengan proyeksi dari mata pelajaran ke
tema, sementara pada kurikulum 2013 dari tema lalu ke mata pelajaran.
Lantas berkait dengan peran guru, dari pengamatan Maria, ditekankannya bahwa menurut dia, guru memang
berperan bagaimana guru mampu mengelola materi itu. Lalu, pada saat guru sudah mampu mengelola,
pertanyaannya kepala sekolah paham apa tidak dengan kerangka pembelajaran yang lebih aktif. Sehingga
kepala sekolah pun berperan memberi ruang sehingga guru aktif.
2. “Atmosphire, egoisme guru selama ini bahwa mata pelajaran satu lebih penting dari yang lain, menjadi
tantangannya. Kurikulum 2013 membutuhkan integrasi, butuh team work. Saya kira guru SMA paling berat
team worknya. Harus kerja sama,” tandas Maria.
Bukan hanya itu saja, lebih lanjut dikatakan, masyarakat pun harus cukup punya wacana, model, materi,
pembelajaran sekolah di lokal. Sehingga tidak terjadi sekolah diprotes oleh orangtua. Atau sudah ada guru yang
aktif tapi dari pengawasnya, dinasnya tak memiliki orientasi. “Jadi pendekatan sekolah secara menyeluruh itu
penting. Kepala Sekolah. Dinas juga harus pro aktif,” imbuh Maria.
Dan aspek lainnya, menurut Maria, adalah managemen perubahan. Ini serupa dengan arti kata dari bahasa Isa
Ansori—guru mencari cara nyaman. Padahal menurut Maria sekolah harus siap berubah. Maria pun
menyayangkan, apalagi sekarang ada sekolah Adi Wiyata Mandiri. Kesannya, setelah meraih sekolah Adi
Wiyata, sudah mapan dan tak perlu lagi ada perubahan. “Ini konsep yang salah kaprah. Tidak beda dengan
mencari cara yang nyaman,” ungkapnya.
Sikap Apatis Guru
Pada kenyataannya, lanjut Isa Ansori, guru lebih nyaman mengajarkan sesuatu yang sifatnya pilih yang paling
gampang, materi pembelajarannya, lalu membuat indikatornya dan kemudian membuat evaluasinya.
Lebih lanjut menurut pandangannya, ada tiga hal yang menjadi pijakannya dalam melihat kurikulum ini
sesungguhnya untuk siapa. Yang pertama, menurut Isa Ansori, ketika kurikulum 2004 dicanangkan, dia
membayangkan saat itulah tepat untuk kembali pada pada kompetensi yang dimiliki guru dan sekolah dengan
mengembangkan kecerdasan majemuk. Karena menurutnya kurikulum 2004 adalah wilayah otoritas guru,
sehingga guru punya hak untuk menjadikan hitam-putihnya anak.
“Lalu kurikulum 2006, 2008. Dan 2013, saya kira tidak ada pengurangan, justru jam guru lebih banyak dan
guru tidak punya kesempatan untuk bermain-main dalam proses pembelajaran. Karena berdasarkan kurikulum
2013 yang saya tangkap guru harus mengembangkan seluruh potensi dasar yang dimiliki oleh anak dan jam
belajar dari 32 sekarang 38,” paparnya.
Kemudian yang kedua, dari struktur kurikulum ini dirinya melihat ada potensi positifnya. Yaitu siswa didorong
punya ketrampilan lebih dalam. “Dan ini sebetulnya menjadi ruh dari KBK yang selama ini tidak berjalan, tidak
dilakukan oleh kawan-kawan guru. Ini yang saya pikir di kurikulum 2013, tentu dikembalikan,” tandas Isa.
Berikutnya, yang ketiga, sebetulnya kurikulum ini persoalan siapa? Inilah pertanyaan yang menurut Isa Ansori
tidak kalah pentingnya. Dikatakannya, menurut pengalaman dan pengamatan Isa, dalam proses
pendampingan yang dilakukan sejak tingkat SD-SMA, guru lebih nyaman dengan konsep pembelajaran yang
satu arah. Bahkan ada kekawatiran pendidik bahwa kurikulum 2004-2006, 2013 ini bagian dari dekonstruksi
otoritas guru.
“Saya pikir inilah yang menjadi kekawatiran guru, seolah-olah guru dianggap kemampuannya sama dengan
siswa dan ini menjadi persoalan sendiri bagi guru. Sebenarnya, menurut saya, proses belajar sekarang tidak
boleh ada yang merasa lebih tahu. Tetapi semua tahu, hanya berbeda satu sama lain. Ini yang harus
dikembangkan oleh sekolah karena inilah inti dari kurikulum 2004 dan 2013,” terang Isa yang pada kesempatan
itu juga menceritakan pengalamannya dipecat dari sebuah sekolah lantaran metode pengajarannya yang
dianggap nyleneh.
3. “Pengalaman saya dan teman,” tutur Isa, “Saya guru dan pada 1996 saya dipecat dari sebuah sekolah karena
memberikan model pembelajaran yang berbeda dengan apa yang kebanyakan disampaikan kebanyakan guru
waktu ini. Saya pikir saya harus beda. Tetapi oleh kepala sekolah justru ditanya Pak Ansori ini mengajar apa
mainan? Begitu kira-kira.”
Justru bermula dari pengalaman pahit itu, masih menurut penuturan Isa, dirinya pada 1997-1998 malah
berkampanye dengan merekam dalam sebentuk dokumentasi tentang apa yang pernah dilakukannya. Alhasil,
tahun 1999 dokumentasi itujadi sebuah panduan dan dibiayai ADB (Asian Development Bank, red) untuk
melatih 28.000 guru dan 1500 kepala sekolah se jatim.
“Nah, inti dari yang saya tawarkan sebetulnya yakni bagaimana sekolah atau guru itu punya otoritas dalam
kontek pembelajaran yang dilakukannya,” tandasnya.
Salah seorang peserta diskusi, Wahyu Subagyo SDN Airlangga I, Surabaya membenarkan masalah rendahnya
SDM guru. Setidaknya, hal itu dari pengamatan selama 20 tahun mengajar di SD. Wahyu mengaku sudah
mengalami 3 perubahan kurikulum. Intinya, sebagus apapun kurikulum, ditegaskan Wahyu, kuncinya guru
tersebut mampu ataukah tidak mencerna perubahan.
“Kenyataannya, guru itu sulit menemui hal baru. Semua kurikulum, CBSA, KBK, KTSK. Intinya, ada paradigma
yang berkembang saat itu. Setiap ada perubahan kurikulum, SDM-nya sulit menerima. Padahal kalau kita
telaah, kurikulum 2013 ini KBK masuk, CBSA, masuk KTSK juga masuk. Tinggal menyempurnakan. Intinya
bagaimana prosesnya lebih bagus, dari sebelumnya. Kalau kita baca, kita menutupi kurikulum-kurikulum
sebelumnya,” ungkap Wahyu.
Wahyu sendiri mempertanyakan objektivitas, kenyataan di lapangan, berapa prosen yang interest, yang betulbetul memikirkan kurikulum dengan mencari informasi, untuk ke sana sangat kecil. Dugaan Wahyu, sikap guru
sebagian besar akan apatis, “Alah, nanti kan tahu sendiri. Ini Apatis.”
Lebih lanjut, kepada pemerintah, Wahyu meminta kurikulum terbarunya disosialisasikan secepat dan sebaik
mungkin. Terlebih, hal ini mengingat tidak semua guru merasa memiliki kepentingan terhadap informasi itu, dan
enam bulan bukanlah waktu yang lama. “Bagi guru muda sadar IT, seperti saya bisa cari di internet. Kami pun
tidak hanya cari dari situs-situs, tapi juga menggali informasi. Termasuk dengan menghadiri pertemuanpertemuan ini. Tapi tidak semua guru punya kepedulian seperti ini,” tandasnya.
Tentu akan lebih baik lagi, lanjut Wahyu, jika pemerintah atau LSM dalam masa sosialisasi ke depan mengambil
sampel beberapa orang guru, lalu silakan dikembangkan KKG masing-masing. “Paling tidak seperti itu,
informasinya juga lebih afdol,” katanya.
Sementara itu, peserta lainnya, Anatasia Lestari R dari SD Santa Clara, Ngagel Madya Surabaya, berpendapat,
di lapangan kemungkinan besar guru sulit meninggalkan pandangan lama. Masih bercokol dalam benak mereka
bahwa behaviorisme dalam pengajaran masih kuat. “Tentu perubahan itu tantangan besar, bagaimanapun
perubahan kurikulum ini menuju lebih baik. Hanya bagaimana tanggapan kita di lapangan, tergantung
SDMnya,” katanya.
4. Masalah Ujian Nasional
Tantangan utama dari Kurikulum 2013 ini menurut Isa adalah pada kualitas komunitas guru atau guru KKG—
guru serumpun dalam menentukan tema bersama untuk proses pengajaran. “Problemnya tentu saja adalah
apakah mereka mau duduk bareng untuk itu?”
Sebab bila tidak demikian, akan banyak sekali hal yang sia-sia seperti pengalaman proses pengajaran selama
ini, ketika semua guru terbebani oleh 18 karakter untuk siswa sehingga semuanya mengajarkan hal itu.
“Mestinya, Kan bisa dibagi? Selama ini terjadi pengulangan yang buang-buang waktu.”
Demikian pula menurut Maria, tantangannya adalah dalam bahasanya– team teaching-nya. “Mulanya, cari tema
yang sama, lalu diantara tim itu harus ditentukan kompetensi dasarnya siapa yang penting?”
Sebagaimana kurikulum sebelumnya, Kurikulum 2013 ini selain masalah SDM, juga menjadi dilema bagi guru
dan pihak sekolah terkait penyelenggaraan Ujian Nasional (UN).
“Sebetulnya di satu sisi guru ingin mengembangkan sikap siswa. Di sisi lain ujian akhir ini beban dan kendala
kita,” ungkap Anatasia Lestari.
Terhadap hal ini, Isa Ansori menjelaskan memang negara punya tanggungjawab karena mengeluarkan dana.
Melalui standar komisi, sehingga UN adalah wilayah Jakarta.
“Saya kira itu tantangannya. Dua-duanya harus jalan. Dan sekolah punya otoritas juga. Karakter itu wilayah
sekolah. Dianggapnya UN seolah penentu, padahal tidak. Sekolah boleh tidak meluluskan. Hanya saja, memang
sekolah terbebani prosentase kelulusan,” jawabnya.
Dengan kata lain, menurut Isa Ansori, menghadapi kurikulum 2013 ini, persoalannya lebih pada SDM, apalagi
guru muda pun bisa tertular virus guru tua yang suka kemapanan. Yang kita butuhkan adalah guru yang
‘berani” melakukan yang terbaik untuk siswa, masyarakat harus membayar mahal. Dan Kurikulum 2013 tidak
butuh biaya tinggi. Tapi kreativitas guru sebagai tantangan. Kita butuh guru yang setiap minggu bisa
menawarkan perubahan.
“Kalau ada guru seperti itu, ini perubahan luar biasa. Guru yang bisa mengembangkan nalar, terintegrasi, soal
apapun tidak ada persoalan. Masalahnya sekolah tidak mau repot, perubahan selalu dianggap menakutkan,”
tandas Isa.
Dengan pola pikir guru yang luar biasa seperti ini, sebetulnya itu langkah maju daripada Kurikulum 2013 yang
bertahap dan dievaluasi setelah 3 tahun tersebut. Pola guru yang siap berubah seperti itu, jikapun ada
kurikulum yang berubah 6 bulan sekali, guru senantiasa siap.
“Tidak harus 3 tahun evaluasi. Seperti cari info kurikulum, bagi yang tinggal dikota-kota, tidak perlu waktu 6
bulan sosialisasi. Cukup sehari saja bisa cari dan dalami dari internet, dan sebulan cukup untuk memberi
masukan uji publik. Tetapi masalahnya adalah dari beberapa uji publik ini, guru malah tidak bicarakan?” ungkap
Isa.
Ditegaskannya, perubahan kurikulum tidaklah krusial karena kurikulum itu benda mati. Bahkan, menjawab
harapan Wahyu adanya guru-guru sampel yang perlu dilatih khusus, menurut Ansori, Pemprov Jatim yang lalulalu sudah melakukan pendampingan guru di sekolah.
“Pendampingan banyak dari pemerintah karena problemnya kalau di luar birokrasi agak itu sulit. Apalagi
kenyataannya, setelah pelatihan, kinerja guru juga kembali pada kemampuan seperti sebelumnya. Mental guru
seperti ini harus diubah. Seolah-olah pemerintah itu segala-galanya,” tandas Isa Ansori