Materi ini merupakan materi kuliah keempat dalam perkuliahan Filsafat Ilmu dan Pendekatan Pascadisiplin. Di dalamnya dibahas penerus Mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse yang membuat suatu kritik terhadap Masyarakat Industri dengan basis pada pemikiran Martin Heidegger soal teknologi, yang dibahas pula di awal presentasi. Pikiran Marcuse ini kemudian dikembangkan oleh Andrew Feenberg yang memberikan kontribusi penting dalam kajian filsafat teknologi melalui rumusannya atas Teori Kritis atas Teknologi. Kemudian, pada bagian kedua, dibahas materi yang berkaitan dengan soal Keperempuanan. Ia dimulai oleh bahasan yang terkait tentang bagaimana perempuan dipinggirkan dalam sejarah dan juga dalam sejarah filsafat, beserta kemunculan aliran Feminisme di pertengahan abad XIX.
4. KesadarandalamPemahamanHeidegger
Kesadaran manusia tidak hanya melulu akan sesuatu tetapi juga berupa kesadaran
dalam atau sebagai sesuatu. Oleh karena manusia hidup dalam ruang, maka
manusia menjadi sadar bahwa dirinya ada dalam sesuatu. Sesuatu yang
mewadahi kita untuk mengada ini turut mempengaruhi kita dengan cara yang
berbeda-beda. Misalnya saja, manusia yang berada di dalam rumah akan merasa
nyaman dan aman sebagai penghuni rumah itu karena ia terlindung dari ancaman
hewan liar yang berada di sekeliling rumahnya. Pada contoh ini dapat dikatakan
bahwa ketika seseorang berada dalam rumah, ia akan berlaku sebagai sesuatu
yang dipengaruhi oleh rumah tersebut (bdk. Hardiman, 2003, p. 28-29).
Dasein itu merupakan pengada yang sadar akan dirinya sekaligus sadar akan yang
lainnya, termasuk sadar akan Ada. Cara mengada Dasein menjadi sesuatu yang
unik dan khas. Adanya-di-dalam-dunia (in-der-Welt-sein) jelas menunjukkan
ketersingkapan akan dirinya itu sendiri melalui proses memahami dengan jalan
membicarakannya. Pada konteks Dasein, kesadaran telah didahului
kemengadaannya dan bukan sebaliknya. Inilah esensi dari fenomenologi Ada
Heideggerian (bdk. Hardiman, 2003, p. 55).
5. Manusia dan Sesuatu di Luar Dirinya
Apa yang ditemui oleh Dasein di dunia akan terdiri dari tiga hal, yaitu:
benda berupa peralatan, benda bukan peralatan, dan orang lainnya.
Benda berupa peralatan ini dijabarkan lebih jauh oleh Heidegger
sehingga mencakup makna yang luas sepanjang ia tersedia untuk
tangan (atau berpengertian zuhandenes) atau dapat dipakai untuk
sesuatu (atau memiliki struktur umzu).
Sebagai contoh, batu dapat menjadi peralatan jika ia tersedia untuk
digenggam tangan sebagai pelontar dalam mengambil buah mangga
dari pohonnya atau batu dapat berupa peralatan sepanjang ia dapat
dipakai untuk bahan bangunan. Kedua contoh ini mengandaikan
bahwa apa pun dapat menjadi peralatan bagi ada-di-dalam-dunia
sepanjang memenuhi kriteria fungsionalitasnya tersebut. Ketika
fungsionalitas ini tak terpenuhi dalam relasinya dengan ada-di-
dalam-dunia, maka benda tersebut hanya menjadi benda belaka yang
bukan peralatan meskipun ia tadinya adalah berupa peralatan
sebenarnya, seperti pisau dapur yang sudah patah menjadi dua
bagian
(bdk. Hardiman, 2003, pp. 55-56).
6. TeknologisebagaiCaraMenyingkapAda
Heidegger memandang teknologi sebagai suatu cara untuk menyingkap Ada.
Teknologi telah memungkinkan kita untuk membawa sesuatu yang tadinya tak
ada menjadi Ada ke hadapan kita (a way of revealing to bringing forth).
Menggunakan teori sebab, warisan Aristoteles, yang amat dikenal dalam kancah
filsafat, Heidegger pun lalu menjelaskan proses terjadinya benda teknologis.
Dalam causa materialis, aspek materi bendanya itu dijelaskan. Misalnya saja,
lumbung padi itu dibuat dari kayu dan ijuk. Kemudian, masuk pada causa formalis,
penjelasan pun bergerak ke arah bentuk dari bendanya itu. Bersambungan dengan
contoh lumbung padi, bentuk lumbung padi akan serupa gudang dengan atap ijuk.
Sebab berikutnya, yaitu causa finalis, akan memaparkan tujuan penggunaan dari
benda tersebut. Pada konteks lumbung padi, hal ini digunakan untuk menyimpan
padi sebagai persediaan di masa paceklik.Yang terakhir, causa efficiens, adalah
yang membawakan atau bertanggung jawab agar benda teknis itu mengada.
Lumbung padi diadakan oleh sekelompok petani untuk kebutuhan keluarga dan
masyarakatnya. Pada prosesnya tersebut, Heidegger memberikan catatan kalau
sekelompok tani ini bukanlah causa efficiens itu sendiri karena pada kenyataannya
mereka hanya melaksanakan fungsi transformasi atas pengubahan kayu dan ijuk
agar dapat menjadi lumbung padi (bdk. Heidegger, 1977, pp. 6-10).
9. Sejak awal, setiap teori kritis masyarakat dihadapkan pada masalah
objektivitas historis, masalah yang muncul pada dua titik di mana analisisnya
menyiratkan pertimbangan nilai:
1. Pertimbangan bahwa kehidupan manusia layak untuk dijalani, atau lebih
tepatnya, dapat dan harus dibuat layak untuk dijalani. Penilaian ini mendasari
semua upaya intelektual; itu adalah a priori teori sosial, dan penolakannya
(yang sangat logis) menolak teori itu sendiri;
2. Pertimbangan bahwa, dalam masyarakat tertentu, kemungkinan-
kemungkinan khusus ada untuk perbaikan kehidupan manusia dan cara-cara
serta cara-cara khusus untuk mewujudkan kemungkinan-kemungkinan ini.
Analisis kritis harus menunjukkan validitas objektif dari penilaian ini, dan
demonstrasinya ini harus dilanjutkan atas dasar empiris. Masyarakat yang
sudah mapan memiliki sumber daya intelektual dan material dalam jumlah
dan kualitas yang pasti. Bagaimana sumber daya ini dapat digunakan untuk
pengembangan dan kepuasan optimal kebutuhan individu dan kemampuan
dengan sedikit kerja keras dan kesengsaraan? Teori sosial adalah teori sejarah,
dan sejarah adalah ranah kesempatan dalam ranah kebutuhan. Oleh karena
itu, di antara berbagai cara yang mungkin dan aktual untuk mengatur dan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia, manakah yang menawarkan
peluang terbesar untuk pengembangan yang optimal?
(Marcuse, 2007, p. xli)
Catatan Marcuse atas Objektivitas Historis
10. Kemajuan teknis, yang diperluas ke seluruh sistem dominasi dan koordinasi, menciptakan
bentuk-bentuk kehidupan (dan kekuasaan) yang tampak mendamaikan kekuatan-kekuatan
yang menentang sistem dan mengalahkan atau menyangkal semua protes atas nama
prospek historis kebebasan dari kerja keras dan dominasi. Masyarakat kontemporer
tampaknya mampu menahan perubahan sosial — perubahan kualitatif yang pada dasarnya
akan membentuk institusi yang berbeda, arah baru dari proses produktif, mode baru
eksistensi manusia. Pengendalian perubahan sosial ini mungkin merupakan pencapaian
paling luar biasa dari masyarakat industri maju.
Masyarakat industri modern adalah identitas yang tersebar luas dari pertentangan-
pertentangan ini (karena produktif dan desktruktif sekaligus) — keseluruhanlah yang
dipertanyakan. Pada saat yang sama, posisi teori tidak bisa menjadi spekulasi belaka. Ini
harus menjadi posisi historis dalam arti bahwa itu harus didasarkan pada kemampuan
masyarakat tertentu.
Situasi ambigu ini melibatkan ambiguitas yang lebih mendasar. Manusia Satu-Dimensi akan
terombang-ambing di antara dua hipotesis yang kontradiktif: (1) bahwa masyarakat
industri maju mampu menahan perubahan kualitatif di masa mendatang; (2) bahwa ada
kekuatan dan kecenderungan yang dapat mematahkan penahanan ini dan meledakkan
masyarakat. Saya tidak berpikir bahwa jawaban yang jelas dapat diberikan. Kedua
kecenderungan itu ada, berdampingan — dan bahkan yang satu berada dalam yang
lainnya.
(Marcuse, 2007, pp. xliii & xlv)
Perspektif atas Masyarakat Industri
11. Teknologi berfungsi untuk melembagakan bentuk kontrol sosial dan kohesi sosial yang
baru, lebih efektif, dan lebih menyenangkan. Kecenderungan totaliter dari kontrol-kontrol
ini tampaknya menegaskan dirinya dalam arti lain lagi — dengan menyebar ke wilayah yang
kurang berkembang dan bahkan ke wilayah pra-industri di dunia, dan dengan menciptakan
kesamaan dalam perkembangan kapitalisme dan komunisme.
Dalam menghadapi ciri-ciri totaliter masyarakat ini, gagasan tradisional tentang "netralitas"
teknologi tidak dapat lagi dipertahankan.Teknologi seperti itu tidak dapat dipisahkan dari
kegunaannya; masyarakat teknologi adalah sistem dominasi yang sudah beroperasi dalam
konsep dan konstruksi teknik.
Cara masyarakat mengatur kehidupan anggotanya melibatkan pilihan awal antara
alternatif sejarah yang ditentukan oleh tingkat warisan budaya material dan intelektual.
Pilihan itu sendiri dihasilkan dari permainan kepentingan yang dominan. Ia mengantisipasi
cara-cara khusus untuk mengubah dan memanfaatkan manusia dan alam dan menolak
cara-cara lain. Ini adalah salah satu "proyek" realisasi di antara yang lain.Tetapi begitu
proyek telah beroperasi di institusi dan relasi dasar, ia cenderung menjadi eksklusif dan
menentukan perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Sebagai suatu semesta
teknologi, masyarakat industri maju adalah semesta politik, tahapan terakhir dalam
realisasi proyek sejarah tertentu — yaitu, pengalaman, transformasi, dan pengorganisasian
alam sebagai bahan dominasi belaka.
(Marcuse, 2007, pp. xlvi)
Kecenderungan Totaliterian dariTerapanTeknologi
13. DasarPemikiranTeoriKritisatasTeknologi
Tesis Netralitas: hanya ada satu penerapan teknologi yang efektif dalam
setiap tahap perkembangannya, maka manfaat yang diperoleh beberapa
kelompok dari adaptasi masyarakat yang sedang berlangsung terhadap
teknologi baru terikat erat dengan kemajuan teknis.
Klaim: teknologi itu buta secara politis.
MazhabTeori Kritis: teknologi melayani tujuan umum seperti meningkatkan
kekuatan manusia atas alam, desain dan terapannya melayani dominasi atas
manusia oleh manusia (lainnya). Dalam pengertian ini, sarana (teknologi)
tidak benar-benar “bebas nilai” tetapi memasukkan dalam strukturnya tujuan
untuk memajukan organisasi masyarakat tertentu. Singkatnya, teknologi
adalah politik.
(Feenberg, 1990, pp. 17-18)
14. CatatanPentingdariLukacsdanMarcuse
Teori ReifikasiGeorg Lukacs: reifikasi secara harfiah berarti proses membuat res
atau “benda,” khususnya, memperlakukan manusia dan relasinya sebagai benda
dan relasi antar benda. “Sesuatu” dalam pengertian ini harus dipahami secara
sempit sebagai entitas yang berdiri sendiri dan terisolasi yang tunduk pada hukum
seperti yang ada di alam. Lukacs menyerang praktik kapitalis yang memecah-
belah pekerjaan dan para pekerja hidup menjadi “hal-hal” seperti itu yang lebih
baik untuk mengontrol mereka melalui manipulasi teknis.
Pendekatan Marcuse: di satu sisi, Marcuse menunjukkan karakter ideologis,
penerapan rasionalitas teknis di luar domain teknis khusus yang diterapkan
dengan benar, menunjukkan bagaimana perluasan teknologi yang berlebihan ini
mensterilkan ruang publik dan memblokir diskusi politik. Di sisi lain, argumen
Marcuse yang lebih radikal mengklaim bahwa, bahkan dalam domainnya sendiri,
teknologi modern memiliki tanda asalnya dalam mode produksi otoriter. Dengan
demikian, teknologi tidak netral bahkan dalam bidang teknis, tetapi politik melalui
dan melalui. Posisi terakhir ini sangat cocok dengan aktivis lingkungan radikal,
dengan penolakan sistematisnya terhadap model industrialisme yang dominan.
(Feenberg, 1990, pp. 18-19)
15. TeknologidanKapitalisme
Dalam masyarakat tradisional, teknik selalu dimasukkan ke dalam kerangka
hubungan manusia non-teknis yang lebih besar. Praktik teknik tidak hanya
melayani nilai-nilai ekstra-teknis (ia melakukannya di semua masyarakat,
termasuk kapitalisme). Lebih dari itu, praktik teknik hanyalah sebuah dimensi dari
berbagai praktik non-teknik yang tertanam di dalamnya, baik yang bersifat
keagamaan, politik, maupun kekeluargaan. Saat ini kita masih memiliki sisa-sisa
struktur seperti itu dalam peranan teknik yang bermain dalam praktik non-teknis
dalam membesarkan anak atau produksi artistik.
Kapitalisme berinovasi dalam mengintegrasikan sistem teknis total yang struktur
internalnya didasarkan pada nilai-nilai dan praktik teknik daripada non-teknik.
Teknik tidak lagi muncul sebagai sesuatu yang tertanam dalam berbagai
subsistem sosial yang dilayaninya, di mana ia akan dikendalikan oleh bentuk
tindakan non-teknis seperti otoritas moral agama atau ayah. Kapitalisme
membebaskan teknik dari kontrol internal semacam itu dan mengatur pekerjaan
dan sistem sosial dengan prinsip yang sama. Jadi, meskipun teknik itu sendiri
memiliki jejak yang sama dalam masyarakat pra-kapitalis dan kapitalis, hanya di
masyarakat kapitalis teknik itu merupakan takdir universal manusia.
(Feenberg, 1990, p. 26)
16. EmpatMomenReifikasidalamSistemKapitalisme
1. Momen dekontekstualisasi: pemisahan objek dari konteks. Contoh: pohon
dipisahkan (dan ditebang) dari hutan sebagai bahan bangunan atau pekerja
dipisahkan (dan dilucuti) dari masyarakatnya dalam perusahaan pada sistem
kapitalis.
2. Momen reduksionis: pemisahan kualitas primer dari kualitas sekunder. Contoh:
manajemen adalah sistem abstrak yang memiliki kualitas primer karena ia dapat
mengontrol dari atas.
3. Momen otonomisasi: pemisahan subjek dari objek. Contoh: meskipun dalam
sistem kapitalis antara pengusaha (pemegang kendali dari manajemen) dan pekerja
adalah sama-sama manusia, pekerja berada dalam posisi sebagai objek yang
terkendali dalam sistem yang otomatis melalui penerapan prosedur dan
mekanisme birokrasi.
4. Momen penempatan posisi: penempatan strategis subjek. Contoh: pengusaha
sebagai pengendali sistem kapitalis mengambil keuntungan dengan menempatkan
dirinya lebih tinggi dibanding pekerja karena ia berada di level yang mengendalikan
manajemen tersebut.
(bdk. Feenberg, 1990, pp. 26-31)
18. PenulisanKembaliSejarah
Seringkali, dalam penulisan sejarah, soal perempuan atau
keperempuanan dikesampingkan.
“Di sebagian besar masa lalu kita, orang tidak mengenal ayah.
Sama seperti hewan yang mengenali ibunya (yang juga
mengenal anaknya) tetapi tidak mengenali ayahnya (yang tidak
mengenalnya), manusia purba tidak menghubungkan tindakan
seks dengan konsekuensi yang tertunda dan acak. Lukisan dan
ukiran gua dari sekitar 5.000 SM menggambarkan hewan yang
bersanggama di musim semi dan betina hamil di musim panas,
jadi peran pria dalam prokreasi mungkin telah diketahui selama
kurun waktu 10.000 tahun.Tetapi, selama 125.000–275.000
tahun keberadaan Homo sapiens sapiens, perempuan
dipandang sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab atas
kehidupan. Jika ayah tidak diketahui, ibu adalah satu-satunya
orangtua. Orang-orang awal menghormati kekuatan
perempuan untuk berkembang biak dan untuk menjamin
kelangsungan komunitas.”
(French, 2008, pp. 24-25)
19. SejarahFilsafatdanPerempuan
Aspasia, yang meninggal sekitar 401 SM,
dikenal sebagai ahli retorika dan anggota
lingkaran filosofis Periclean. Reputasinya
sebagai filsuf telah diabadikan oleh Plato, yang
menjadikan Epitaphia sebagai subjek
percakapan Socrates di Menexenus. Dia juga
diabadikan dalam lukisan dinding di atas portal
Universitas Athena diYunani, ditampilkan
bersama teman Socrates, Phidias, pematung
(dengan pahat di tangan) yang memahat
patung Athena berbahan emas dan gading di
Akropolis pada tahun 438, SM, Sophocles,
penulis naskah, Pericles, jenderal Perang
Peloponnesia (dan pasangan Aspasia), Plato,
sebagai seorang pemuda (yang lahir setelah
Pericles meninggal),Antisthenes, (yang hidup
444-365 SM), Anaxagoras, ( yang hidup 500-
428 SM),Alcibiades muda, (450-404 SM),
Ictinus, arsitek Parthenon, (selesai 438 SM),
Polygnotus, dan Archimedes (yang hidup 287-
212 SM).
(Waithe, 1987, pp. iv & 75)
20. KriteriaFilsafatibagiTulisanPerempuan?
Sebelum mengumumkan pembentukan Proyek Sejarah Perempuan dalam Filsafat, saya
menyebutkan kepada seorang kolega pria bahwa saya telah menemukan beberapa tulisan
filsuf perempuan Pythagorean. Dia menjawab bahwa dia pernah mendengar tentang
beberapa filsuf perempuan kuno, “tetapi, bukankah mereka hanya menulis tentang ~ heh,
heh ~ ekonomi rumah tangga?” Khawatir bahwa apa yang saya temukan tidak benar-benar
filsafati, saya membaca kembali materi tersebut. Saya dapat melihat bagaimana
pandangan yang dangkal pada beberapa baris pertama dari beberapa huruf atau karya yang
terpisah-pisah dapat meninggalkan kesan bahwa pengikut Pythagorean memang menulis
tentang ekonomi rumah tangga.Topik mereka termasuk membesarkan anak dan peran
perempuan dalam masyarakat kuno.Tetapi, pembacaan yang lebih dekat dan lengkap dari
materi yang saya temukan menyangkal kesimpulan seperti itu. Para filsuf ini menganalisis
bagaimana konsep harmonia Pythagorean diterapkan pada struktur dan jalannya negara,
dan pada struktur serta jalannya keluarga, yang dipandang sebagai mikrokosmos negara.
Mereka membahas bagaimana seorang perempuan dapat menerapkan asas itu dalam
membesarkan anak-anak menjadi individu yang adil dan harmonis, dan bagaimana seorang
perempuan dapat menerapkan asas itu dalam bidang lain dalam kehidupan sehari-harinya.
Ini bukan ekonomi rumah tangga, ini teori etika terapan, lengkap dengan psikologi
perkembangan moral, teori kewajiban keluarga, dan masih banyak lagi. Namun pertanyaan
yang dikemukakan oleh komentar kolega saya relevan: kriteria apa yang akan saya gunakan
untuk mengidentifikasi karya yang benar-benar filsafati?
(Waithe, 1987, p. xi)
22. PermulaanFeminisme
Titik Berangkat:
MaryWollstonecraft dengan bukunya yang berjudul Vindication of the
Rights ofWoman (1792);
John Stuart Mill dan HarrietTaylor (Mill) yang menulis bersama buku
Early Essays on Marriage and Divorce (1832),Taylor yang menulis buku
Enfranchisement ofWomen” (1851), dan kemudian Mill yang menulis
buku Subjection ofWoman (1869); dan
Gerakan perempuan untuk hak suara (women’s suffrage) di pertengahan
abad XIX.
Masalah: subordinasi perempuan berasal dari serangkaian hambatan
berdasarkan adat kebiasaan dan hambatan hukum untuk berpartisipasi
dalam ruang publik.
(Tong, 2014)
23. VarianAlirandalamFeminisme
Feminis Liberal: keadilan gender menuntut kita untuk membuat permainan yang adil dan memastikan
tidak ada seorang pun yang dirugikan secara sistematis.
Feminis Radikal: sistem patriarkal ditandai oleh kuasa, dominasi, hierarkhi, dan kompetisi sehingga
perlu dicabut dan dilepaskan dari akar-akarnya.
Feminis Marxis dan Sosialis: tidak mungkin bagi setiap orang, terutama perempuan, untuk mencapai
kebebasan yang sejati dalam suatu masyarakat berkelas dalam hubungan dominasi antara yang
berkuasa (pemilik modal dan laki-laki) dengan yang tidak berkuasa (buruh dan perempuan) pada sistem
kapitalis.
Feminis Psikoanalisis dan Jender: akar penindasan seorang perempuan berasal dari psike perempuan
dan itu bersumber dari proses pemilahan antara seorang anak dari ibunya saat menyusui. Perempuan
tidak terintegrasi secara utuh pada kebudayaan karena takut akan kekuatannya sendiri, sementara laki-
laki terpilah secara sempurna dan berelasi dengan ayahnya untuk menguasai alam dan perempuan.
Sementara itu, pada jender, perempuan dianggap sebagai “liyan” karena bukan laki-laki.
24. VarianAlirandalamFeminisme
Feminis Pascamodernis: menerima keliyanan sebagai suatu kondisi awal untuk kritis atas norma, nilai,
dan praktik-praktik yang dipaksakan oleh sistem patriarki pada semua orang.
Feminis Multikultural dan Global: bertumpu pada pemahaman Diri. Feminis Multikultural menyadari
bahwa perempuan dalam konteks budaya tertentu (sebagai imigran) akan menjadi Diri-nya bersama
keluarga dan menjadi yang liyan ketika berhubungan dengan masyarakat. Sejalan dengan ini, Feminis
Global menyatakan bahwa ada rasa skizoprenik atas Diri karena para penjajah telah merampok bukan
hanya tanah dan sumber daya tetapi juga identitas mereka, terutama yang berada di negara-negara
berkembang.
Ekofeminis: meluaskan perspektif hubungan dalam konteks Diri bersama liyan yang bukan manusia,
yaitu dunia, tumbuhan, dan binatang. Jika kita melupakan sisi ini maka dunia kita akan menjadi rusak
belaka di mana laki-laki menjadi pemeran utama dalam pengrusakan ini.
(Tong, 2014)
25. Referensi
Badry,A.I. (2019). Kerangka Kerja Pertimbangan Etis Atas Penalaan Manusia Suatu Perumusan Berdasar Analisis
Pascafenomenologis Ihdean (Disertasi). Depok: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Feenberg, A. (1990). “The CriticalTheory ofTechnology.” Capitalism Nature Socialism 1(5), pp. 17-45.
French, M. (2008). From Eve to Dawn, A History ofWomen in theWorldVolume I: Origins. NewYork:The Feminist
Press at City University of NewYork.
Hardiman, F.B. (2003). Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar menuju Sein und Zeit. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Heidegger, M. (1977). The Question ConcerningTechnology, and Other Essays. NewYork, NY & London: Harper &
Row, Publishers, Inc.
Marcuse, H. (2007). One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society. London & New
York: Routledge.
Tong, R. (2014). FeministThought: A More Comprehensive Introduction (4th Ed.). Colorado:Westview Press.
Waithe, M. E. (Ed.) (1987). A History ofWomen PhilosophersVolume 1: AncientWomen Philosophers 600 B.C. — 500
A.D. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers.
Sumber Gambar danVideo:
en.wikipedia.org
www.pexels.com
www.videvo.net
27. BiografiSingkat
Februari 2017–Sekarang
Dosen Luar Biasa • Sekolah Kajian Strategik dan Global, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Agustus 2003–Agustus 2020
DosenTetap • SekolahTinggi Hukum Galunggung,Tasikmalaya.
November 2017–Agustus 2019
Direktur Pendidikan Keunggulan Digital • Sakola,Tangerang.
Agustus 2018–November 2018
Koordinator Penyusun Masterplan Perpustakaan Umum DKI Jakarta 2018 •
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta, Jakarta.
Januari 2016–Desember 2016
Tenaga Ahli pada Program Usaha Bersama Komunitas • Kementerian Desa, IDT,
danTransmigrasi, Jakarta.
Juni 2013–Desember 2013
Konsultan Manajemen Organisasi & Koordinator Program Pelatihan Riset •
Desantara Foundation, Depok.
April 2009–Juni 2013
Konsultan Junior UMKM • Pusat Pengembangan dan Pendampingan Usaha Kecil
Menengah (P3UKM) Bank Indonesia,Tasikmalaya.
Catatan: Di Sakola, saya juga merangkap jabatan sebagai Duta Kecerdasan
DigitaI (Digital Intelligence Quotient Ambassador) dari DQ Institute di
Singapore.