SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 50
Descargar para leer sin conexión
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
PEDOMAN PENGENDALIAN
HEPATITIS VIRUS
DIREKTORAT JENDERAL PP & PL
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TAHUN 2012
Lampiran II
Keputusan Direktur Jenderal PP dan PL
Nomor : HK.03.05/D/I.4/2012
Tanggal : 2012
TUGAS TIM PENYUNTING DAN PENYUSUN PEDOMAN
PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA
a. Melakukan pengumpulan dan pengelolaan referensi dalam
rangka penyusunan Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di
Indonesia;
b. Melakukan penyusunan rancangan Pedoman Pengendalian
Hepatitis Virus di Indonesia;
c. Menyiapkan dan melaksanakan pembahasan Pedoman
Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia
d. Menyiapkan dan melaksanakan finalisasi penyusunan Pedoman
Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia; dan,
e. Melakukan penyuntingan terhadap Pedoman Pengendalian
Hepatitis Virus di Indonesia
Direktur Jenderal PP dan PL
Prof.dr.Tjandra Yoga Aditama
Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE
NIP: 195509031980121001
90
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
11. Dr.dr. Julitasari Sundoro, MSc-PH
12. dr. Rossa Avrina
13. dr. Sukmawati Dunuyaali
14. dr. Ignatius Bima Prasetya
15. dr. Anandhara Indriani
16. dr. Karnely Herlena, M.Epid
17. Agus Handito, SKM, M.Epid
18. dr. Marolop Binsar Silaen
Sekretariat : 1. Arman Zubair, S.Sos
2. Muhamad Purwanto, SKM
Organisasi
Profesi : 1. PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia)
2. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)
Direktur Jenderal PP dan PL
Prof.dr.Tjandra Yoga Aditama
Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE
NIP: 195509031980121001
89
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
KATA PENGANTAR
Hepatitis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia terutama Hepatitis A sering muncul dalam bentuk Kejadian
Luar Biasa (KLB) yang sangat meresahkan masyarakat. Sementara
Hepatitis B dan C seringkali diketahui apabila sudah terjadi sirosis
atau kanker hati (Hepatocarcinoma Celluler). Sesuai dengan resolusi
WHA ke 63 tahun 2010, Indonesia dan Brazil merupakan negara
yang berinisiatif mengusulkan atau ditetapkannya resolusi WHA
tersebut, yang isinya bahwa sudah saatnya negara-negara di dunia
mulai melaksanakan pengendalian dan penanggulangan Hepatitis.
Untuk menindak lanjuti resolusi WHA tersebut perlu disusun
pedoman Pengendalian Hepatitis, sebagai acuan bagi petugas
kesehatan, baik di rumah sakit maupun di Puskesmas.
Puji syukur kehadirat Allah SWT bahwa kami telah dapat
menyelesaikan penyusunan Pedoman Pengendalian Hepatitis.
Pedoman ini disusun melalui beberapa tahapan kegiatan seperti
penelusuran referensi, penyusunan draf, uji coba, seminar dan
dibahas dengan para ahli Hepatology yang berasal dari berbagai
fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan di Indonesia untuk
memperkaya pedoman pengendalian Hepatitis ini.
Terima kasih saya sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan penyusunan buku pedoman Pengendalian
Hepatitis Virus ini. Saya berharap agar buku pedoman ini dapat
bermanfaat bagi pengendalian penyakit Hepatitis di Indonesia.
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama
NIP 195509031980121001
i
Lampiran I
Keputusan Direktur Jenderal PP dan PL
Nomor : HK.03.05/D/I.4/2012
Tanggal : 2012
SUSUNAN TIM PENYUNTING DAN PENYUSUN PEDOMAN
PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA
Penasehat : Direktur Jenderal PP dan PL
Pengarah : 1. Sekretaris Direktorat Jenderal PP dan PL
2. Direktur Pengendalian Penyakit Menular
Langsung
Ketua : Kepala Subdit Diare & ISP
Ketua Komite Ahli Diare, Hepatitis dan ISP,
Kementerian Kesehatan
Ketua Bidang Hepatitis Komite Ahli Diare, Hepatitis
dan ISP, Kementeri Kesehatan.
Penyunting : 1. Prof.dr.David Handojo Muljono, Ph. D, SpPD
2. dr. Nyoman Kandun, MPH
3. Dr. dr.Rino A. Gani, SpPD – KGEH
4. dr. Irsan Hasan, SpPD – KGEH
5. Dr. dr.Hanifah Oswari SpA (K)
Penyusun : 1. Prof.dr.David Handojo Muljono, Ph. D, SpPD
2. dr. Nyoman Kandun, MPH
3. Prof.dr. Ali Sulaiman, SpPD – KGEH
4. Dr. dr.Rino A. Gani, SpPD – KGEH
5. Dr. dr.Hanifah Oswari SpA (K)
6. dr. Irsan Hasan, SpPD – KGEH
7. drg. Rini Noviani
8. dr. Yullita Evarini Yuzwar, MARS
9. dr. Armaji Kamaludin Syarif
10. dr. Rini Rohaeni
88
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
ii
sektor, serta para pakar/ahli dan instansi lain
yang relevan.
Keempat : Tim bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
melalui Direktur Pengendalian Penyakit Menular
Langsung serta menyampaikan laporan kegiatan
secara berkala setiap 1 (satu) bulan.
Kelima : Segala biaya yang timbul akibat pelaksanaan tugas
Tim dibebankan pada DIPA Direktorat Pengendalian
Penyakit Menular Langsung Tahun Anggaran 2012.
Keenam : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal :
Direktur Jenderal PP dan PL
Prof.dr.Tjandra Yoga Aditama
Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE
NIP: 195509031980121001
87
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................. i
DAFTAR ISI ......................................................................... iii
DAFTAR ISTILAH ................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................ 1
B. Tujuan ........................................................ 2
C. Sasaran....................................................... 3
D. Dasar Hukum ............................................. 3
E. Kebijakan .................................................... 5
F. Strategi ....................................................... 6
G. Kegiatan ...................................................... 6
BAB II ANALISIS SITUASI .......................................... 9
A. Beban Penyakit ........................................... 9
B. Kondisi Lingkungan .................................... 12
C. Perilaku Berisiko ......................................... 12
D. Sosial Ekonomi ........................................... 13
E. Landasan Hukum ....................................... 14
F. Analisis S-W-O-T ......................................... 14
G. Hasil Analisis Situasi .................................. 16
BAB III HEPATITIS AKIBAT VIRUS.............................. 19
A. Hepatitis A ................................................. 19
B. Hepatitis B .................................................. 23
C. Hepatitis C .................................................. 28
D. Hepatitis D .................................................. 32
E. Hepatitis E .................................................. 33
BAB IV SURVEILANS EPIDEMIOLOGI ........................ 37
A. Epidemiologi................................................ 37
1. Hepatitis A ............................................ 37
2. Hepatitis B ............................................ 37
iii
15. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1144/MENKES/PER/VIII/2010, tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan RI;
16. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1438/MENKES/PER/IX/2010, tentang Standar
Pelayanan Kedokteran;
17. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1501/MENKES/PER/X/2010, tentang Jenis
Penyakit Menular tertentu yang dapat
Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangan;’
18. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
021/MENKES/SK/I/2011, tentang Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2010-2014;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN
LINGKUNGAN TENTANG TIM PENYUNTING DAN
PENYUSUN PEDOMAN PENGENDALIAN
HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA
Kesatu : Susunan Tim Penyusun dan Penyunting Pedoman
Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia ini
terlampir dalam keputusan.
Kedua : Tim sebagaimana dimaksud pada dictum kesatu
memiliki tugas yang terlampir dalam keputusan
ini.
Ketiga : Dalam melaksanakan tugasnya, Tim bekerja sama
dan berkoordinasi dengan lintas program, lintas
86
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
iv
3. Hepatitis C ............................................ 38
4. Hepatitis Delta (D) ................................. 39
5. Hepatitis E ............................................ 39
B. Surveilans Hepatitis .................................... 40
C. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) Hepatitis A 41
D. Kejadian Luar Biasa (KLB)........................... 42
1. Penetapan KLB...................................... 42
2. Penyelidikan Epidemiologi ..................... 43
3. Langkah-langkah Penyelidikan
Epidemiologi.......................................... 43
4. Upaya Penanggulangan KLB ................. 45
5. Pemutusan Rantai Penularan................ 45
BAB V PENGEMBANGAN PROGRAM........................... 47
A. Penapisan Hepatitis B Pada Ibu Hamil ........ 47
B. Penapisan dan Pencegahan Penularan
Hepatitis B pada Keluarga atau Orang yang
Tinggal Serumah dengan Penderita
Hepatitis B .................................................. 49
C. Penapisan dan Pencegahan Penularan
Hepatitis B pada Tenaga Medis ................... 50
D. Penapisan dan Pencegahan Penularan
Hepatitis B pda PSK, Orang dengan Pasangan
Seksual Multipel, dan IVDU ........................ 51
E. Penapisan dan Pencegahan Penularan
Hepatitis B pada Populasi Umum ................ 53
F. Profilaksis Pasca Pajanan Hepatitis B.......... 54
G. Terapi Penderita Hepatitis B ........................ 54
H. Aspek Legal pada Hepatitis B ...................... 55
BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI ........................ 57
A. Pemantauan ................................................ 57
1. Pengertian ............................................. 57
2. Tujuan .................................................. 57
3. Kegiatan Yang Dipantau........................ 57
4. Alat Pantau ........................................... 60
5. Cara Pemantauan ................................. 60
B. Evaluasi ...................................................... 60
1. Pengertian ............................................. 60
7. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3637);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998
tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1998 Nomor 138, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
8781);
9. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010,
tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014;
10. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1457/MENKES/SK/X/2003, tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di
Kabupaten/Kota;
11. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1116/MENKES/SK/VIII/2003, tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan;
12. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1479/MENKES/SK/X/2003, tentang
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi
Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular;
13. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
949/MENKES/SK/VIII/2004, tentang Sistem
Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa;
14. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
206/MENKES/SK/II/2008, tentang Komite Ahli
Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan;
85
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus v
2. Tujuan .................................................. 60
3. Cara Evaluasi ........................................ 61
BAB VII SARANA............................................................ 63
A. Perencanaan Kebutuhan ............................. 63
1. Reagen/Bahan Pemeriksaan Untuk
Penegakan Diagnosis............................. 63
a. Hepatitis A ..................................... 63
b. Hepatitis B ..................................... 63
c. Hepatitis C ..................................... 65
2. Penyediaan Obat ................................... 65
3. Media KIE ............................................. 66
B. Penganggaran.............................................. 66
1. Pusat..................................................... 66
2. Daerah .................................................. 67
BAB VIII PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM
PENGENDALIAN HEPATITIS .......................... 69
A. Pusat........................................................... 69
B. UPT Pusat (BBTKL, BTKL, KKP)................... 69
C. Propinsi....................................................... 70
D. Kabupaten/Kota ......................................... 70
E. Unit Pelayanan Kesehatan........................... 70
1. Puskesmas ............................................ 70
2. Rumah Sakit ......................................... 71
3. Klinik dan Praktek Swasta .................... 71
F. Organisasi Profesi ....................................... 71
G. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan
Organisasi Masyarakat Peduli Penyakit
Hepatitis ..................................................... 71
H. Akademi/Perguruan Tinggi ......................... 72
KONTRIBUTOR .......................................................... 73
LAMPIRAN
Form 1 Formulir Penyaringan Penderita Hepatitis
Tahap Awal ................................................... 75
Form 2A Formulir Penyaringan Penderita Hepatitis
Tahap Lanjutan Diagnosa Klinis Hepatitis
dan HBsAg Positif ......................................... 76
Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia No.4
Tahun 1984, tentang Wabah Penyakit menular
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1984 No. 20 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor : 327;
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah (Lembaga Negara Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4431);
4. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009, Nomor 144 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2009, tentang Rumah Sakit;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991,
tentang Penanggulangan Wabah Penyakit
Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3447);
84
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
vi
From 2B Formulir Penyaringan Penderita Hepatitis
Tahap Lanjutan Diagnosa Klinis Bukan
Hepatitis dan HBsAg Positif .......................... 77
Form 3 Formulir Pemantauan Pengobatan Penderita
Hepatitis ....................................................... 78
Form 4 Formulir Pemantauan Hepatitis .................... 79
DAFTAR PUSTAKA............................................................. 81
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PP DAN PL
TENTANG TIM PENYUNTING & PENYUSUN PEDOMAN
PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA ......... 83
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN
NOMOR : HK.03.05/III.4/1615/2012
TENTANG
TIM PENYUNTING DAN PENYUSUN
PEDOMAN PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA
DIREKTUR JENDERAL
PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN,
Menimbang : a. bahwa hingga saat ini Hepatitis A, B, dan C
masih menjadi masalah kesehatan dunia yang
serius termasuk di Indonesia karena berpotensi
menimbulkan dampak morbiditas dan
moralitas, dan memerlukan perhatian dari
berbagai pihak, baik dari pemerintah, lembaga
non pemerintah, maupun masyarakat;
b. bahwa dalam rangka menurunkan angka
kesakitan dan kematian karena Hepatitis
perlu dilakukan upaya pengendalian yang
komprehensif, terintegrasi, dan
berkesinambungan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan b, perlu menyusun
Pedoman tentang Pengendalian Hepatitis Virus
di Indonesia;
d. bahwa bersadarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf c, perlu membentuk Tim
Penyusun Rancangan Pedoman Pengendalian
Hepatitis Virus di Indonesia yang ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan;
83
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus vii
DAFTAR ISTILAH
Hepatitis
VHA : Virus Hepatitis A
VHB : Virus Hepatitis B
VHC : Virus Hepatitis C
VHD : Virus Hepatitis D
VHE : Virus Hepatitis E
HBsAg : Hepatitis B surface Antigen
HBcAg : Hepatitis B core Antigen
HBeAg : Hepatitis B envelope Antigen
LFT : Liver Function Test ( Test Fungsi Hati )
AST : Asparlate Aminotransferase
ALT : Alanine Aminotransferase
Anti HBs : Antibody to Hepatitis B surface antigen
IgM anti-HBc : Immunoglobulin M. anti to Hepatitis B core
IgG anti-HBc : Immunoglobulin G. anti to Hepatitis B core
Anti-HBe : Antibody to Hepatitis B envelope
HBIG : Hepatitis B Immunoglobulin
HIV : Human Imunodeficiency Virus
Oro-fecal/fecal-oral : Penularan dari tinja ke mulut
Masa Inkubasi : Masa antara masuknya kuman penyakit dan
munculnya gejala
CTPS : Cuci Tangan Pakai Sabun
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
MSM : Man Sex Man (hubungan sex antara laki-laki
dengan laki-laki)
IDUs : Injection Drug Users (Pengguna obat terlarang
dengan cara suntik)
KLB : Kejadian Luar Biasa
Morbiditas : Angka Kesakitan
Mortalitas : Angka Kematian
Insidens rate : Proporsi antara jumlah penderita dengan
jumlah penduduk
82
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2004,
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1116/MENKES/SK/VIII/
2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi
Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2004,
Buku Pedoman Penyelidikan Dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa (KLB).
Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2011, Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 1502/Menkes/Per/X/2010 tentang
Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan
Wabah dan Upaya Penanggulangan
Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2011, Buku
Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa
Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi
Penyakit), Edisi Revisi Tahun 2011.
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
viii
Isolasi : Dilakukan terhadap penderita, dengan
memisahkan penderita dengan orang sehat
untuk mencegah dan mengurangi terjadinya
penularan baik langsung maupun tidak
langsung.
Karantina : Pembatasan kegiatan penderita, dicurigai
penderita atau orang yang telah kontak dengan
penderita selama masa penularan.
SWOT : Strength Weakness Opportunity Threat
(Analisa berdasarkan kekuatan, kelemahan,
peluang dan Ancaman)
WHA : World Health Assembly
WHD : World Hepatitis Day (Hari Hepatitis Sedunia,
diperingati setiap tanggal 28 Juli).
81
DAFTAR PUSTAKA
http://www.who.int/mediacentre/factasheets/fs328/en/index.html.
Hepatitis A.
Wurie,IM, Wurie, AT, Gevao,SM. Sero-prevalence of Hepatitis B virus
among middle to high-socio economic antenatal population
in Sierra Leone. WAJM Vol 24 No.1, January – March, 2005.
Yoshida T et all. Epidemiological Investigation and Analysis of
Hepatitis A Virus Genomes in the Three Cases of Hepatitis of
Hepatitis A Infections That Occured in April-May 2010.
Jpn.J.Infect. Dis., 64, 2011.
Umid M. Sharapov US-CDC, http://wwwnc.cdc.gov/travel/
yellowbook/ 2012/chapter-3-infectious-disease-related-to travel/
Hepatitis-a.htm. Hepatitis A.
Goldstein GS, The Influence of Socioeconomic Factors On The
Distribution of Hepatitis In Syracuse N.Y.: Vol.49, No.4, A.J.P.H.
Hepatitis A, Fact sheet No 328, May 2008.
Chin J, Kandun IN, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Ed
17 tahun 2000.
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2004,
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.949/MENKES/SK/VIII/2004
tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini
Kejadian Luar Biasa (KLB).
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2004,
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1479/MENKES/SK/X/2003
tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi
Penyakit Menular Dan Penyakit Tidak Menular Terpadu.
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat
di negara berkembang di dunia, termasuk di Indonesia. VHB
telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia dan sekitar
240 juta merupakan pengidap virus Hepatitis B kronis, penderita
Hepatitis C di dunia diperkirakan 170 juta orang dan sekitar
1.500.000 penduduk dunia meninggal setiap tahunnya
disebabkan oleh infeksi VHB dan VHC. Indonesia merupakan
negara dengan pengidap Hepatitis B nomor 2 terbesar sesudah
Myanmar diantara negara-negara anggota WHO SEAR (South East
Asian Region). Sekitar 23 juta penduduk Indonesia telah terinfeksi
Hepatitis B dan 2 juta orang terinfeksi Hepatitis C. Penyakit
Hepatitis A sering muncul dalam bentuk KLB seperti yang terjadi
di beberapa tempat di Indonesia.
Menurut hasil Riskesdas tahun 2007, hasil pemeriksaan Biomedis
dari 10.391 sampel serum yang diperiksa, prevalensi HBsAg
positif 9.4% yang berarti bahwa diantara 10 penduduk di
Indonesia terdapat seorang penderita Hepatitis B virus.
Pada tanggal 20 Mei 2010 World Health Assembly (WHA) dalam
sidangnya yang ke 63 di Geneva telah menyetujui untuk
mengadopsi Resolusi WHA 63.18 tentang Hepatitis Virus, yang
menyerukan semua negara anggota WHO untuk melaksanakan
pencegahan dan penanggulangan hepatitis virus secara
komprehensif. Sebagai pemrakarsa resolusi ini adalah tiga negara
anggota WHO, yaitu Indonesia, Brazil dan Columbia. Dalam
resolusi ini, ditetapkan tanggal 28 Juli menjadi Hari Hepatitis
Sedunia atau World Hepatitis Day. Peringatan hari Hepatitis
Sedunia bermaksud untuk meningkatkan kepedulian
pemerintah, masyarakat dan semua pihak terhadap pengendalian
penyakit Hepatitis. Dalam resolusi tersebut, WHO akan
menyediakan bantuan bagi negara berkembang dalam
80
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
2
pengembangan strategi nasional, program surveilans yang efektif,
pengembangan vaksin dan pengobatan yang efektif.
Memperhatikan pentingnya isu ini dan telah diterimanya resolusi
Hepatitis virus oleh WHO, dalam pertemuan WHA ke 63 tersebut
di atas, maka diperlukan kerjasama internasional yang erat
diantara negara-negara di dunia dalam upaya menanggulangi
Hepatitis virus. Indonesia bersama Brazil merupakan sponsor
utama yang berjuang untuk melahirkan resolusi WHO tersebut
sehingga peranan yang penting tersebut dapat dipakai sebagai
landasan yang kokoh bagi terwujudnya Pengembangan Program
Pengendalian Hepatitis di Indonesia.
Sebagai salah satu Negara yang menjadi sponsor utama dalam
resolusi WHO mengenai Hepatitis, maka Kementerian Kesehatan
perlu mengembangkan Program Pengendalian Hepatitis di
Indonesia. Sebagai langkah awal, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP
dan PL), menyusun buku Pedoman Pengendalian Penyakit
Hepatitis yang merupakan panduan bagi petugas kesehatan baik
di pusat maupun daerah untuk pengembangan Program
Pengendalian Penyakit Hepatitis.
B. TUJUAN
1. Umum
Tersusunnya pedoman pengendalian Hepatitis virus dan
terselenggaranya kegiatan pengendalian Hepatitis dalam
rangka menurunkan angka kesakitan dan angka kematian
akibat Hepatitis di Indonesia.
2. Khusus
a. Tersedianya panduan bagi penentu kebijakan dalam
pelaksanaan dan pengembangan program pengendalian
Hepatitis virus di Indonesia.
b. Tersedianya panduan dalam pelaksanaan deteksi dini
Hepatitis di fasilitas kesehatan.
79
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 3
c. Tersedianya panduan dalam meningkatkan pengetahuan
petugas dan masyarakat dalam pengendalian Hepatitis
virus.
d. Tersedianya panduan dalam pelaksanaan surveilans
epidemiologi penyakit Hepatitis virus dan upaya
pengendaliannya.
e. Tersedianya panduan untuk sistem pencatatan,
pelaporan, monitoring dan evaluasi program pengendalian
Hepatitis virus.
f. Tersedianya panduan dalam pengadaan logistik untuk
pengendalian Hepatitis virus.
g. Terbentuknya jejaring kerja dalam pengendalian Hepatitis
virus.
C. SASARAN
Sasaran buku pedoman ini adalah pemangku kebijakan dan
petugas kesehatan di setiap jenjang pelayanan kesehatan sesuai
dengan peran dan fungsinya.
D. DASAR HUKUM
Pelaksanaan Program Pengendalian Penyakit Hepatitis dilakukan
atas dasar beberapa landasan hukum antara lain :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984,
tentang Wabah penyakit menular (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1984 No. 20 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3273).
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004,
tentang Pemerintahan Daerah.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004,
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteraan (Lembaran Negara Republik
78
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
4
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4431).
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor
144 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063).
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009,
tentang Rumah Sakit.
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009,
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991, tentang
Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447).
9. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1996
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3637).
10. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1998 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
8781).
11. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010, tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun Tahun
2010-2014.
12. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/MENKES/PER/
IX/ 2010, tentang Standar Pelayanan Kedokteran.
13. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501/MENKES/
PER/X/2010, tentang Jenis Penyakit Menular tertentu yang
dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.
14. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/MENKES/ SK/
X/2003, tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan di Kabupaten/Kota.
77
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 5
15. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/MENKES/ SK/
VIII/2003, tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
16. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1479/MENKES/ SK/
X/2003, tentang Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi
Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular.
17. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 949/MENKES/ SK/
VIII/2004, tentang Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar
Biasa.
18. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2410/MENKES/SK/XII/2011, tentang Komite Ahli Hepatitis,
Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan.
19. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1144/MENKES/
PER/VIII/2010, tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan RI.
20. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 021/MENKES/SK/I/
2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
Tahun 2010-2014.
E. Kebijakan
Kebijakan Program Pengendalian Penyakit Hepatitis virus adalah
sebagai berikut:
1. Pengendalian Hepatitis berdasarkan pada partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat serta disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan masing-masing daerah (local area specific).
2. Pengendalian Hepatitis dilaksanakan melalui pengembangan
kemitraan dan jejaring kerja secara multi disiplin, lintas
program dan lintas sektor.
3. Pengendalian Hepatitis dilaksanakan secara terpadu baik
untuk pencegahan primer (termasuk didalamnya imunisasi),
sekunder, dan tersier.
4. Pengendalian Hepatitis dikelola secara profesional,
berkualitas, merata dan terjangkau oleh masyarakat melalui
penguatan seluruh sumber daya.
76
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
6
5. Penguatan sistem surveilans Hepatitis sebagai bahan
informasi bagi pengambilan kebijakan dan pelaksana
program.
6. Pelaksanaan kegiatan pengendalian Hepatitis harus
dilakukan secara efektif dan efisien melalui pengawasan
yang terus ditingkatkan intensitas dan kualitasnya
dengan pemantapan sistem dan prosedur, bimbingan dan
evaluasi.
F. STRATEGI
1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup
sehat (PHBS) sehingga terhindar dari penyakit Hepatitis.
2. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi dan
peran serta masyarakat untuk penyebar luasan informasi
kepada masyarakat tentang pengendalian Hepatitis.
3. Mengembangkan kegiatan deteksi dini yang efektif dan efisien
terutama bagi masyarakat yang berisiko.
4. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang berkualitas melalui peningkatan sumber daya
manusia dan penguatan institusi, serta standarisasi
pelayanan.
5. Meningkatkan surveilans epidemiologi Hepatitis di seluruh
fasilitas pelayanan kesehatan.
6. Mengembangkan jejaring kemitraan secara multi disiplin
lintas program dan lintas sektor di semua jenjang baik
pemerintah maupun swasta.
G. KEGIATAN
1. Advokasi dan sosialisasi kepada pemangku kepentingan.
2. Sosialisasi dan edukasi tentang pengendalian Hepatitis
kepada petugas kesehatan terkait.
3. Promosi kesehatan kepada masyarakat melalui media
komunikasi baik cetak maupun elektronik.
75
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 7
4. Upaya pencegahan yang melibatkan lintas program, lintas
sektor dan masyarakat.
5. Penyusunan dan pengembangan pedoman teknis
pengendalian Hepatitis virus.
6. Deteksi dini dan tatalaksana kasus sesuai standar.
7. Surveilans epidemiologi dan bantuan teknis dalam
penanggulangan KLB Hepatitis.
8. Pengelolaan logistik sebagai sarana penunjang program.
9. Pemantauan dan evaluasi secara berkala dan
berkesinambungan.
10. Pengembangan program berbasis riset baik riset operasional
maupun riset klinis sebagai acuan kebijakan pengendalian
Hepatitis Virus secara komprehensif.
74
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
8 73
KONTRIBUTOR
A. TIM PENYUNTING
1. Prof.dr.David Handojo Muljono, Ph. D, SpPD
2. dr. Nyoman Kandun, MPH
3. Dr. dr.Rino A. Gani, SpPD – KGEH
4. dr. Irsan Hasan, SpPD – KGEH
5. Dr. dr.Hanifah Oswari SpA (K)
B. TIM PENYUSUN
1. Prof.dr.David Handojo Muljono, Ph. D, SpPD
2. dr. Nyoman Kandun, MPH
3. Prof.dr. Ali Sulaiman, SpPD – KGEH
4. Dr. dr.Rino A. Gani, SpPD – KGEH
5. Dr. dr.Hanifah Oswari SpA (K)
6. dr. Irsan Hasan, SpPD – KGEH
7. drg. Rini Noviani
8. dr. Yullita Evarini Yuzwar, MARS
9. dr. Armaji Kamaludin Syarif
10. dr. Rini Rohaeni
11. Dr.dr. Julitasari Sundoro, MSc-PH
12. dr. Rossa Avrina
13. dr. Sukmawati Dunuyaali
14. dr. Ignatius Bima Prasetya
15. dr. Anandhara Indriani
16. dr. Karnely Herlena, M.Epid
17. Agus Handito, SKM, M.Epid
18. Arman Zubair, S.Sos
19. Muhamad Purwanto, SKM
20. dr. Marolop Binsar Silaen
C. ORGANISASI PROFESI
1. PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia)
2. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 9
BAB II
ANALISIS SITUASI
Dalam rangka melaksanakan pengendalian Hepatitis di Indonesia,
ada beberapa hal yang perlu perhatikan, antara lain kondisi penyakit
Hepatitis di masyarakat saat ini (epidemiologi, etiologi, kondisi
lingkungan di daerah endemis, perilaku masyarakat terhadap faktor
risiko penyakit dll), peraturan-peraturan yang terkait, sosial ekonomi,
pengetahuan para pemangku kepentingan dan masyarakat tentang
Hepatitis, sumber daya yang tersedia, sehingga dari kondisi yang
ada dapat dikelompokkan setiap unsur dalam bagian-bagian menurut
analisis SWOT. Setiap keadaan yang ada saat ini dikelompokkan
dalam bagan termasuk dalam Peluang, Kekuatan, Kelemahan atau
Ancaman. Analisis SWOT diperlukan dalam merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi suatu Kebijakan yang akan
ditetapkan dalam Pengendalian Hepatitis di Indonesia.
A. BEBAN PENYAKIT
Hepatitis A, WHO memperkirakan di dunia setiap tahunnya ada
sekitar 1,4 juta penderita Hepatitis A. Di Amerika insidens
Hepatitis A adalah 1 per 100.000 penduduk, dengan estimasi
21.000 orang (Tahun 2009). Di Eropa insidens Hepatitis A adalah
3,9 per 100.000 penduduk (Publikasi tahun 2008). Di Indonesia,
Hepatitis A sering muncul dalam Kejadian Luar Indonesia (KLB).
Tahun 2010 tercatat 6 KLB dengan jumlah penderita 279, jumlah
kematian 0, CFR 0 sedangkan tahun 2011 tercatat 9 KLB, jumlah
penderita 550, jumlah kematian 0, CFR 0. Tahun 2012 sampai
bulan Juni, telah terjadi 4 KLB dengan jumlah penderita 204,
jumlah kematian 0, CFR 0.
Data lain menunjukkan pada tahun 1998, di Kabupaten Bogor,
Jawa Barat telah terjadi KLB Hepatitis A dengan jumlah kasus
74 orang (AR = 1,4%) dan golongan umur terbanyak 19-25 tahun
(AR = 3,4%), di Provinsi Jawa Timur yatu di Kabupaten Bondowoso
(Kecamatan Sukosari) dan Kabupaten Malang (Kecamatan
Wonosari) di 7 desa dengan jumlah kasus 998, tahun 2004 di
72
dalam sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat untuk peduli
dan ikut berperan aktif dalam mensukseskan upaya-upaya
pengendalian Hepatitis.
H. AKADEMISI/PERGURUAN TINGGI
Akademisi/perguruan tinggi diharapkan dapat mendukung
upaya pengendalian Hepatitis dengan melakukan penelitian,
seminar ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan petugas dan
masyarakat sehingga dapat berperan aktif dalam pengendalian
Hepatitis.
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
10
Kecamatan Tegal Ampel, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 47
kasus. Tahun 2006 di Kecamatan Pakem, Kabupaten Bondowoso,
Jawa Timur 65 kasus. (Surveilans Prop Jawa Timur). Tahun 2008
di Provinsi DIY tercatat 1.160 kasus dengan hasil pemeriksaan
anti-HAV positif yaitu di Kodya Yogyakarta 287 kasus, Kabupaten
Bantul 48 kasus, Kulon Progo 6 kasus, Gunung Kidul 11 kasus
dan Sleman 808 kasus serta KLB di Pulau Panggang dengan 57
kasus. Tahun 2009 di Kabupaten Ngawi dengan 146 kasus.
Hepatitis B prevalensi pengidap Hepatitis B tertinggi ada di
Afrika dan Asia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun
2007 menunjukkan bahwa Hepatitis klinis terdeteksi di seluruh
propinsi di Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang:
0,2%-1,9%). Hasil Riskesdas Biomedis tahun 2007 dengan jumlah
sampel 10.391 menunjukkan bahwa persentase HBsAg positif
9,4%. Persentase Hepatitis B tertinggi pada kelompok umur 45-
49 tahun (11,92%), umur >60 tahun (10.57%) dan umur 10-14
tahun (10,02%). HBsAg positif pada kelompok laki-laki dan
perempuan hampir sama (9,7% dan 9,3%). Hal ini menunjukkan
bahwa 1 dari 10 penduduk Indonesia telah terinfeksi virus
Hepatitis B.
Dari data yang telah terkumpul, angka prevalensi HBsAg pada
donor darah di Indonesia tahun 1981 dengan metode
pemeriksaan RPHA (Reverse Passive Haemaglutination)
menunjukkan rata-rata 5,2% (rentangan 2,4-9,1%), dan tahun
1993 dengan metode pemeriksaan ELISA rata-rata 9,4%,
rentangan 2,5 -36,1% (Sulaiman et al., 1998).
Angka penularan secara vertikal dari ibu pengidap Hepatitis B
kepada bayinya cukup tinggi. Berdasarkan penelitian beberapa
rumah sakit di Indonesia, prevalensi HBsAg pada ibu hamil
berkisar 2,1—5,2% (Soewignyo, 1992).
Data di RSUP Sanglah, Denpasar menunjukkan bahwa dari hasil
uji survei 3.943 ibu hamil didapatkan hasil 80 ibu hamil dengan
HBsAg positif, prevalensi HBsAg 2,03% dan HBeAg positif 50 %.
Hasil pemeriksaan HBsAg tali pusat positif 12 % dari ibu hamil
pengidap Hepatitis B (Surya, 1995). Peneliti lain melaporkan
bahwa hasil uji saring pada 1.800 wanita hamil di Indonesia
71
Dalam hal pengendalian Hepatitis Puskesmas melakukan:
 Promotif, dengan penyuluhan termasuk pemberdayaan
masyarakat dalam kegiatannya.
 Preventif, dengan melakukan vaksinasi yaitu program
imunisasi Hepatitis B pada bayi.
 Rawat jalan dan rujukan
 Pelaporan
2. Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan unit pelayanan rujukan dengan
sarana pelayanan laboratorium yang dapat mendeteksi dini
Hepatitis, baik rujukan maupun langsung. Rumah sakit di
Provinsi diharapkan dapat melayani diagnosa, pengobatan
dan rehabilitatif atau pelayanan suportif bagi penderita
Hepatitis.
3. Klinik dan Praktek Swasta
Secara umum konsep pelayanan di klinik hampir sama
dengan pelaksanaan di Puskesmas. Dalam hal tertentu, klinik
dapat merujuk penderita dan spesimen ke Puskesmas atau
rumah sakit terdekat yang mempunyai fasilitas memadai.
F. ORGANISASI PROFESI
Organisasi profesi terkait diharapkan ikut berperan dalam
seluruh proses pengendalian Hepatitis. Mulai dari pengendalian
faktor risiko, peningkatan surveilans epidemiologi, penemuan dan
tatalaksana penderita, peningkatan imunisasi dan komunikasi,
informasi dan edukasi (KIE), terutama hasil kajian/penelitian
yang dapat diaplikasikan untuk mendukung pengendalian
penyakit Hepatitis.
G. LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DAN ORGANISASI
MASYARAKAT PEDULI PENYAKIT HEPATITIS
LSM dan organisasi kemasyarakatan diharapkan terlibat dalam
kegiatan yang terkait dengan pengendalian Hepatitis, terutama
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 11
ditemukan 61 ibu hamil (3,4%) dengan HBsAg positif
(Suparyatmo).
Hepatitis C, berdasarkan hasil Surveilans Hepatitis C oleh
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan pada tahun 2010-2011 yang dilaksanakan di 21
propinsi, 53 rumah sakit, 49 laboratorium dan 26 Unit Transfusi
Darah (UTD) PMI, dengan jumlah 1.825.823 sampel, kasus positif
29.480 orang, jumlah kasus terbanyak didapatkan pada golongan
umur 20-40 tahun sebanyak 58,5% sedangkan proporsi menurut
jenis kelamin menunjukkan bahwa pada kelompok laki-laki 83%
dan 17% pada perempuan.
Prevalensi anti-VHC pada beberapa donor di Indonesia berkisar
0,5-3,4%. Prevalensi Anti-VHC pada virus Hepatitis Akut
9,5-20%, prevalensi Anti-VHC pada sirosis hati berkisar
30,8-89,2 persen.
Data ko-infeksi diperoleh dari beberapa penelitian, Rino S Gani
(FK-UI, RSCM) penderita dengan HIV (IVDU), ko infeksi 80%,
penderita ko infeksi dengan Hepatitis B berkisar 10-19%,
Suryanto Sidik (RS Mintoharjo) pada penderita denga HIV, 31,6%
ko infeksi dengan VHC.
Hepatitis D, dapat terjadi dalam bentuk superinfeksi dari
pengidap kronik virus Hepatitis B atau simultan dengan infeksi
virus Hepatitis B (ko-infeksi). Pada suatu penelitian selama
10 tahun oleh Smedie et all, ternyata Hepatitis B dengan
Hepatitis D prognosanya menjadi lebih buruk. Data di Indonesia,
dari 72 carier Hepatitis dari donor darah dan diuji dengan RIA
method didapatkan hasil anti-VHD positif pada dua orang (2,7%).
Hepatitis D erat hubungan dengan infeksi VHB, maka secara
langsung setiap usaha pencegahan terhadap Hepatitis B,
mencegah terhadap Hepatitis D juga.
Hepatitis E, pada tahun 1987 di Indonesia pernah dilaporkan
terjadinya KLB tersangka Hepatitis E di desa Sayan, Tanah Pinoh
dan Sokan, Kabupaten Sintang, Propinsi Kalimantan Barat
dengan jumlah kasus 2.500 orang. Pada saat investigasi selama
9 hari ditemukan kasus Hepatitis yang terdiri atas 44 penderita
laki-laki berusia 3-50 tahun dan 38 penderita perempuan berusia
70
C. PROVINSI
Dinas Kesehatan Propinsi bertanggung jawab dalam pelaksanaan
pengendalian Hepatitis di tingkat propinsi:
1. Melakukan diseminasi informasi kepada pihak dan instansi
terkait di tingkat propinsi.
2. Membangun jejaring kerja Hepatitis baik lintas program
maupun lintas sektor di tingkat propinsi.
3. Memantau pengelolaan stok logistik Hepatitis untuk tingkat
kabupaten/kota.
4. Melakukan pemantauan terhadap pengendalian Hepatitis di
tingkat kabupaten/kota.
5. Melakukan rekapitulasi pencatatan dan pelaporan
Hepatitis di tingkat propinsi.
6. Memberikan umpan balik hasil kegiatan.
D. KABUPATEN/KOTA
1. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah pelaksana upaya
pengendalian Hepatitis di tingkat kabupaten/kota.
2. Melakukan pembinaan pada unit pelayanan kesehatan dalam
upaya peningkatan kinerja pelaksanaan pengendalian
Hepatitis
3. Penyediaan, penyimpanan serta pendistribusian logistik
Hepatitis.
E. UNIT PELAYANAN KESEHATAN
Dilaksanakan oleh puskesmas, rumah sakit, klinik, laboratorium
dan praktek swasta.
1. Puskesmas
Puskesmas sebagai unit pelaksana pelayanan kesehatan
primer mempunyai fungsi promotif, preventif, dan kuratif.
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
12
1
The ABC of Hepatitis www.cdc.gov/Hepatitis
6-70 tahun. Pada tahun 1991, KLB Hepatitis E kembali terjadi
di kecamatan Kayan Hilir yang menyerang 10 desa dengan jumlah
kasus 1.262 orang dan kematian 12 orang. Data lain adalah hasil
penelitian pada kasus Hepatitis akut dari penderita rawat inap
di rumah sakit, dari 64 kasus ternyata 16 kasus positif VHE
(25%), (Sulaiman, 1993). Data lain yang diperoleh dari KLB yang
terjadi di Kabupaten Bawen, Jawa Timur 1992, 2 kasus positif
VHE dari 34 sample darah (Sub.Dit Surveilans, 1993). Laporan
dari peneliti lain, 83 sampel darah Hepatitis akut dari beberapa
rumah sakit di Jakarta yang diperiksa ditemukan anti VHE positif
pada 4 kasus (Legowo D, 1994). Bulan Januari 1998 dilaporkan
terjadi KLB Hepatitis di Kabupaten Bogor dengan jumlah kasus
74 (Attack Rate 1,4%) dan golongan umur terbanyak 19-25 tahun
(AR= 3,4%) dan kebanyakan dari kasus adalah mahasiswa IPB,
dari gejala klinis yang dilaporkan mengarah ke Hepatitis E
(Surveilans Kabupaten Bogor, 1998).
B. KONDISI LINGKUNGAN
Diantara beberapa jenis penyakit Hepatitis, Hepatitis A dan
Hepatitis E mempunyai mekanisme penularan oro-fecal
(ditularkan melalui makanan dan/atau minuman yang
sudah terkontaminasi tinja (faeces) yang mengandung virus
Hepatitis A maupun E). Hal ini sangat berhubungan dengan
kondisi lingkungan yang tidak baik, seperti kurangnya
penyediaan air bersih, pembuangan air limbah dan sampah yang
tidak saniter, kebersihan perorangan dan sanitasi yang buruk.
C. PERILAKU BERISIKO1
Risiko tinggi terhadap Hepatitis A dan Hepatitis E, terdapat
pada :
 Orang yang mengunjungi atau tinggal di negara endemis
Hepatitis A dan Hepatitis E.
 Tinggal di daerah dengan kondisi lingkungan yang buruk
(penyediaan air minum dan air bersih, pembuangan air
69
BAB VIII
PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN
DALAM PENGENDALIAN HEPATITIS
A. PUSAT
1. Membuat pedoman dan rumusan kebijakan teknis
pelaksanaan pengendalian Hepatitis secara berjenjang dari
Pusat, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan Puskesmas.
2. Penyediaan stock dan pendistribusian logistik Hepatitis pada
wilayah yang membutuhkan.
3. Melakukan diseminasi informasi bagi pihak dan instansi
terkait di tingkat pusat dan daerah.
4. Membangun jejaring kerja dengan lintas program dan lintas
sektor baik di pusat maupun daerah.
5. Melakukan kajian pengendalian Hepatitis dari kegiatan yang
telah ada baik di dalam maupun diluar negeri.
6. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan
pengendalian Hepatitis.
7. Memberikan umpan balik hasil pemantauan dan evaluasi
terhadap pelaksanaan kegiatan pada daerah uji coba dan
replikasi.
B. UPT PUSAT (BBTKL, BTKL, KKP)
1. Sebagai pelaksana teknis pengendalian Hepatitis tingkat
pusat di daerah.
2. Berkoordinasi dengan Subdit Diare & ISP dalam upaya
pengendalian Hepatitis
3. Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Propinsi dan
kabupaten/kota dalam upaya pengendalian Hepatitis di
daerah.
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 13
limbah, pengelolaan sampah, pembuangan tinja yang tidak
memenuhi syarat).
 Personal hygiene yang rendah antara lain: penerapan PHBS
masih kurang, cara mengolah makanan yang tidak memenuhi
persyaratan kesehatan.
Risiko tinggi terhadap Hepatitis B, terdapat pada:
 Anak yang dilahirkan dari ibu penderita Hepatitis B.
 Pasangan Penderita Hepatitis B.
 Orang yang sering berganti pasangan sex.
 MSM (Man Sex Man).
 IDUs (Injection Drug User).
 Kontak serumah dengan penderita.
 Penderita hemodialisis.
 Pekerja kesehatan, petugas laboratorium.
 Berkunjung ke wilayah dengan endemisitas tinggi.
Risiko tinggi terhadap Hepatitis C terdapat pada :
 Pengguna jarum suntik tidak steril (tato, tindik).
 Pengguna obat obatan terlarang dengan cara injeksi.
 Pekerja yang berhubungan dengan darah dan produk darah
penderita VHC.
 Penderita HIV.
 Bayi yang lahir dari ibu penderita VHC.
Risiko tinggi terhadap Hepatitis D terdapat pada :
 Orang yang kontak langsung dengan darah penderita
Hepatitis D.
D. SOSIAL EKONOMI
Daerah dengan tingkat sosial ekonomi penduduk yang rendah,
mempunyai sanitasi lingkungan yang rendah pula. Pola
penularan Hepatitis A dan Hepatitis E yang melalui oro-fecal
sangat dipengaruhi kualitas sanitasi lingkungan setempat,
68
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
2
Sulaiman, Ali
3
Sulaiman, Ali
14
sehingga penduduk yang tinggal di daerah endemis dan atau
daerah dengan kualitas sanitasi yang rendah akan mempunyai
risiko lebih besar untuk menderita Hepatitis A maupun
Hepatitis E. Studi yang dilakukan oleh FKUI2
di Jakarta
menunjukkan bahwa tingkat sosial ekonomi rendah merupakan
salah satu faktor risiko Hepatitis B dan Hepatitis C, yang ditandai
dengan hasil pemeriksaan HBsAg (+) (OR 18.09; 95% CI 2.35-
139.50). Hal lain yang dapat diketahui adalah bahwa penduduk
kelompok ras chinese mempunyai risiko 2.97 lebih tinggi untuk
terinfeksi VHB dibandingkan dengan kelompok ras melayu (OR
2,97 ; 95% CI 1,22-7,83).
Dari suatu studi yang dilakukan di Korea3
dapat diketahui bahwa
pada kelompok masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
menengah dan atas mempunyai kecenderungan obesitas karena
pola makan yang salah. Obesitas memberikan kontribusi yang
nyata pada perkembangan penyakit kronis (salah satunya
Hepatitis B dan Hepatitis C) menjadi liver cirrhosis.
E. LANDASAN HUKUM
Landasan hukum yang mendasari kegiatan dalam pengendalian
Hepatitis ini lihat Bab I point D.
F. ANALISIS S-W-O-T (STRENGTH-WEAKNESS-OPPORTUNITY-
THREAT)
Dalam rangka melaksanakan Pengendalian Hepatitis di
Indonesia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain
adalah, kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang
(opportunity) dan ancaman (threat), tentang kemungkinan
terlaksananya Program Pengendalian Hepatitis ini.
1. Kekuatan
a. Peraturan perundang-undangan yang mendukung dan
mendasari terlaksananya program Pengendalian
Hepatitis.
67
2. Daerah
Untuk pengadaan logistik dapat menggunakan dana
dari APBD, atau dana alokasi khusus (DAK) serta dana
tugas perbantuan (TP).
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 15
b. Tersedianya sumber daya manusia kesehatan pada
semua jenjang dari pusat sampai daerah.
c. Dukungan organisasi profesi, organisasi international,
dan organisasi masyarakat.
2. Kelemahan
a. Sistem surveilans Hepatitis belum berjalan baik.
b. Kualitas Sumber Daya Manusia masih kurang.
c. Sarana dan prasarana laboratorium di Pusat Kesehatan
Masyarakat untuk penegakkan diagnosis masih sangat
kurang.
3. Peluang
a. Adanya program pencegahan yang sudah berjalan yaitu
Program Imunisasi (Program Imunisasi Hepatitis B
Nasional) dan Promosi Kesehatan.
b. Program pengendalian faktor risiko penyakit (Penyehatan
Lingkungan).
c. Program Surveilans Terpadu Penyakit (STP) di Puskesmas
dan Rumah Sakit.
4. Ancaman
a. Adanya perubahan iklim secara global yang
mempengaruhi agent, seperti terjadinya mutasi dari jenis
virus tertentu.
b. Kualitas kesehatan lingkungan yang tidak merata (ada
yang sudah baik tetapi masih banyak yang masih rendah).
c. Pengetahuan masyarakat tentang Hepatitis masih kurang
d. Perilaku berisiko masih banyak dilakukan oleh
masyarakat.
Situasi tersebut di atas juga mengacu pada hal-hal antara lain :
1. Hepatitis akut dan kronis tidak terlaporkan pada sistem
surveilans penyakit menular sehingga tidak diketahui beban
yang sesungguhnya
2. Banyak orang secara individu tidak mengetahui bahwa
dirinya termasuk dalam risiko tinggi dan bagaimanana
mencegah terinfeksi
66
 Lamivudine,
 Adefovir,
 Entecavir,
 Telbivudine,
 Tenofovir.
Sedangkan obat non NA yang diberikan secara parenteral
Interferon alfa-2b yang sudah diganti oleh Peginterferon
alfa-2a,
c. Hepatitis C
Pegylated interveron + Ribavirin
Interferon konvensional + Ribavirin
3. Media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)
 Poster
 Leaflet
 Benner
 Lembar balik
 TV/radio Sport
 Kaos
 Topi
 Buku Saku
 Kipas
 Payung
 dll
B. PENGANGGARAN
1. Pusat
a. APBN
b. Dekonsentrasi
c. BOK (Bantuan Operasional Kesehatan)
d. BLN (Bantuan Luar Negeri)
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
16
3. Kelompok risiko tinggi belum mempunyai akses untuk
pelayanan pencegahan penyakit
4. Banyak orang yang telah terinfeksi dan kronis tetapi tidak
mengetahui bahwa dirinya telah terinfeksi
5. Banyak orang yang telah terinfeksi kronis, tidak menyadari
bahwa mereka membutuhkan perubahan perilaku (gaya
hidup) untuk menghindari komplikasi
6. Banyak petugas kesehatan tidak melakukan skrining pada
orang-orang yang memiliki risiko tinggi atau mereka tidak/
belum tahu bagaimana penatalaksanaan orang yang
terinfeksi.
7. Banyak orang yang telah terinfeksi tidak memiliki akses
untuk memiliki tes, dukungan sosial (asuransi) dan
pelayanan perawatan apabila tes menunjukkan yang
bersangkutan terinfeksi.
G. HASIL ANALISIS S-W-O-T
Diperlukan :
1. Adanya suatu petunjuk teknis yang mendukung upaya
perbaikan pada sistem surveilans Hepatitis yang dibutuhkan.
2. Adanya sosialisasi, advokasi pada pemangku kepentingan
baik tingkat pusat maupun daerah.
3. Adanya peningkatan KIE pada masyarakat tentang Hepatitis
dan faktor risikonya.
4. Adanya pelatihan program pengendalian Hepatitis baik bagi
petugas di tingkat pusat maupun di daerah.
5. Adanya suatu petunjuk teknis yang mendukung upaya
tersedianya sarana dan prasarana laboratorium untuk
penegakan diagnosa Hepatitis di Pusat Kesehatan Masyarakat
atau Laboratorium pendukung Puskesmas.
6. Meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan dengan upaya
perbaikan kualitas air minum, air bersih, pembuangan tinja,
65
Pemeriksaan HBV DNA dilakukan dengan metode PCR.
- LFT (SGPT) : test untuk mengetahui fungsi hati
Pemeriksaan SGPT menggunakan Blood Analyzer.
 Bahan dan alat yang digunakan unuk pemeriksaan:
tabung reaksi/vacuntainer, kapas, alkohol, sarung
tangan, jarum suntik sekali pakai, torniquet karet,
masker, pipet berskala/mikropipet, tip mikropipet,
sentrifuse/rotator, cryotube, kit ELISA (HBsAg, anti
HBs, Anti HBc), Aquabidest, Gelas Ukur, ELISA reader
dan/ELISA washer, mesin PCR, primer, Kit
PCR,Elektroforesis.
c. Hepatitis C
Untuk penegakkan diagnosa diperlukan :
 Test antibodi HCV
Pemeriksaan dilakukan dengan metode ELISA
 Test RNA HCV
Pemeriksaan dilakukan dengan metode PCR
 Bahan dan alat yang digunakan unuk pemeriksaan:
tabung reaksi/ vacuntainer, kapas, alkohol, sarung
tangan, jarum suntik sekali pakai, torniquet karet,
masker, pipet berskala/mikropipet, tip mikropipet,
sentrifuse/rotator, cryotube, kit ELISA (HBsAg, anti
HBs, Anti HBc), Aquabidest, Gelas Ukur, ELISA reader
dan/ELISA washer, mesin PCR, primer, Kit
PCR,Elektroforesis.
2. Penyediaan Obat
a. Hepatitis A
Tidak ada obat khusus untuk Hepatitis A
b. Hepatitis B
Pada saat ini terdapat 5 macam obat untuk Hepatitis
kronik yang telah disetujui oleh FDA yang termasuk
dalam Nucleoside Analog (NA)
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 17
pembuangan air limbah dan pengelolaan sampah dengan
partisipasi masyarakat serta melibatkan lintas sektor
terkait.
7. Perlu kegiatan deteksi dini pada Hepatitis yang bersifat kronis
(Hepatitis B dan C).
8. Perlu dilakukan kajian-kajian yang bersifat operasional
maupun klinis dalam upaya pengendalian Hepatitis.
64
sekali pakai, sentrifuse, box serum, mikropipet/
pipet skala, cryotube, masker, blood chemistry
analyzer, ELISA reader, ELISA washer, real time
PCR, tip mikropipet, rak tabung reaksi, torniquet
karet, rotator.
Pemeriksaan penapisan dilakukan dengan metode
ELISA.
 Bahan dan alat yang digunakan unuk
pemeriksaan : tabung reaksi/vacuntainer, kapas,
alkohol, sarung tangan, jarum suntik sekali
pakai, torniquet karet, masker, pipet berskala/
mikropipet, tip mikropipet, sentrifuse/rotator,
cryotube, kit ELISA (HBsAg, anti HBs, Anti HBc),
Aquabidest, Gelas Ukur, ELISA reader dan/ELISA
washer.
2) Pemeriksaan Lanjutan :
Pemeriksaan ini merupakan lanjutan pemeriksaan
yang dilaksanakan bagi seseorang dengan HBsAg positif,
yaitu :
- HBeAg : test untuk menetukan apakah telah terjadi
replikasi (memperbanyak diri) virus
- Anti HBe: tes untuk mengetahui apakah seseorang
telah mempunyai anti bodi
- HBV DNA : tes untuk mengetahui jumlah virus
Hepatitis B
- LFT (ALT) : test untuk mengetahui fungsi hati
- Bahan habis pakai : tabung reaksi/ vacuntainer,
kapas, alkohol, sarung tangan, jarum suntik sekali
pakai, sentrifuse, box serum, mikropipet/pipet skala,
cryotube, masker, blood chemistry analyzer, ELISA
reader, ELISA washer, real time PCR, tip mikropipet,
rak tabung reaksi, torniquet karet, rotator.
Pemeriksaan HBeAg, anti Hbe dilakukan dengan metode
ELISA.
- HBV DNA : tes untuk mengetahui jumlah virus
Hepatitis B
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
18 63
BAB VII
SARANA DALAM PENGENDALIAN HEPATITIS
A. PERENCANAAN KEBUTUHAN
1. Reagen/Bahan pemeriksaan untuk penegakan diagnosis:
a. Hepatitis A
 IgM anti HAV : untuk menentukan diagnosis
Hepatitis A. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan
Rapid Test Diagnostic (RDT).
Pemeriksaan VHA : untuk memeriksa faktor risiko
lingkungan terutama air tentang adanya Virus
Hepatitis A (VHA).
 Bahan dan alat yang digunakan unuk pemeriksaan:
Tabung reaksi/vacuntainer, kapas, alkohol, sarung
tangan, masker, jarum suntik sekali pakai, torniquet
karet, pipet berskala/mikropipet, tip mikropipet,
Rapid Test Diagnostic (RDT), Sentrifuse/rotator, botol
steril untuk tempat menampung sampel air.
b. Hepatitis B
1) Penapisan dengan test HBsAg test, anti HBs dan anti
HBc
 HBsAg : test untuk menentukan seseorang
pernah terinfeksi virus Hepatitis B.
 Anti HBs : test untuk menentukan seseorang
telah mempunyai kekebalan terhadap Virus
Hepatitis B.
 Anti HBc : test untuk menentukan seseorang
telah mempunyai kekebalan (adanya replikasi
inti sel) terhadap Virus Hepatitis B.
 Bahan habis pakai : tabung reaksi/vacuntainer,
kapas, alkohol, sarung tangan, jarum suntik
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 19
BAB III
HEPATITIS AKIBAT VIRUS
Hepatitis adalah peradangan pada hati yang disebabkan oleh berbagai
sebab seperti bakteri, virus, proses autoimun, obat-obatan,
perlemakan, alkohol dan zat berbahaya lainnya.
Bakteri, virus dan parasit merupakan penyebab infeksi terbanyak,
diantara penyebab infeksi tersebut. Infeksi karena virus Hepatitis A,
B, C, D atau E merupakan penyebab tertinggi dibanding penyebab
lainnya, seperti mononucleosis infeksiosa, demam kuning atau
sitomegalovirus. Sedangkan penyebab Hepatitis non virus terutama
disebabkan oleh alkohol dan obat-obatan.
A. HEPATITIS A
1. Etiologi
Penyebab penyakit adalah virus Hepatitis A (VHA), termasuk
famili picornaviridae berukuran 27 nanometer, genus
hepatovirus yang dikenal sebagai enterovirus 72, mempunyai
1 serotype dan 4 genotype, merupakan RNA virus. Virus
Hepatitis A bersifat termostabil, tahan asam dan tahan
terhadap empedu. Virus ini diketahui dapat bertahan hidup
dalam suhu ruangan selama lebih dari 1 bulan. Pejamu
infeksi VHA hanya terbatas pada manusia dan beberapa
binatang primata. Virus dapat diperbanyak secara in vitro
dalam kultur sel primer monyet kecil atau secara invivo pada
simpanse.
2. Cara Penularan
Virus Hepatitis A ditularkan secara fecal-oral. Virus ini masuk
kedalam saluran pencernaan melalui makanan dan minuman
yang tercemar tinja penderita VHA. Virus kemudian masuk
ke hati melalui peredaran darah untuk selanjutnya
62
2). Angka prevalensi Hepatitis pada kelompok risiko
tertentu.
Evaluasi berkala setiap 3 bulan atau 6 bulan sekali baik
manajemen maupun klinis dengan mengadakan
pertemuan.
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
20
menginvasi sel-sel hati (hepatosit), dan melakukan replikasi
di hepatosit. Jumlah virus yang tinggi dapat ditemukan dalam
tinja penderita sejak 3 hari sebelum muncul gejala hingga 1-
2 minggu setelah munculnya gejala kuning pada penderita.
Ekskresi virus melalui tinja pernah dilaporkan mencapai 6
bulan pada bayi dan anak. Sebagian besar kasus
kemungkinan tidak menular lagi pada minggu pertama
setelah ikterus. Ekskresi kronis pada VHA tidak pernah
terlaporkan
Infeksi Hepatitis A sering terjadi dalam bentuk Kejadian
Luar biasa (KLB) dengan pola common source, umumnya
sumber penularan berasal dari air minum yang tercemar,
makanan yang tidak dimasak, makanan yang tercemar, dan
sanitasi yang buruk. Selain itu, walaupun bukan merupakan
cara penularan yang utama, penularan melalui transfusi atau
penggunaan jarum suntik bekas penderita dalam masa
inkubasi juga pernah dilaporkan.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala awal infeksi virus Hepatitis A sangat
bervariasi dan bersifat tidak spesifik. Demam, kelelahan,
anoreksia (tidak nafsu makan) dan gangguan pencernaan
(mual, muntah, kembung) dapat ditemukan pada awal
penyakit. Dalam waktu 1 minggu, beberapa penderita dapat
mengalami gejala kuning disertai gatal (ikterus), buang air
kecil berwarna seperti teh, dan tinja berwarna pucat. Infeksi
pada anak berusia dibawah 5 tahun umumnya tidak
memberikan gejala yang jelas dan hanya 10% yang akan
memberikan gejala ikterus. Pada anak yang lebih tua dan
dewasa, gejala yang muncul biasanya lebih berat dan ikterus
terjadi pada lebih dari 70% penderita.
4. Masa Inkubasi
Masa inkubasi 15-50 hari, rata-rata 28-30 hari.
61
3. Cara Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan cara pengumpulan, pengolahan,
analisis data yang berasal dari hasil pemantauan atau laporan
rutin yang ada di setiap jenjang administrasi yaitu Dinas
Kesehatan Propinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas. Bila dalam
evaluasi ditemukan masalah, maka berikan saran pemecahan
atau bimbingan kepada pengelola program Hepatitis, agar
kegiatan program Pengendalian Hepatitis dapat dilaksanakan
sesuai rencana dan memberikan dampak seperti yang
diharapkan.
a. Analisa Data Rutin.
Dari hasil rekapitulasi data rutin di sarana kesehatan,
setiap tahun didapatkan:
1). Cakupan penemuan HBsAg positif pada kelompok
berisiko yang melakukan deteksi dini.
2). Cakupan skrining pada populasi dengan prevalensi
tinggi (HBsAg positif >8 %) dimana telah ditetapkan
jumlah/persentase target skrining.
3). Cakupan Pelayanan:
a). Jumlah penderita Hepatitis B yang diobati.
b). Persentase penderita Hepatitis B yang selesai
diobati (succes rate).
b. Analisa data hasil Pemantauan/Supervisi
Untuk mendapatkan gambaran tentang:
1). Cakupan penemuan kasus Hepatitis.
2). Cakupan Pelayanan.
3). Pengetahuan petugas kesehatan tentang
Pengendalian Hepatitis.
c. Analisa Hasil Kajian Khusus
Untuk mendapatkan gambaran:
1). Angka prevalensi Hepatitis pada kelompok usia >15
tahun.
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 21
5. Diagnosis
Disamping gejala dan tanda klinis yang kadang tidak muncul,
diagnosis Hepatitis A dapat ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan IgM-antiVHA serum penderita.
6. Pencegahan
Hepatitis A memang seringkali tidak berbahaya, namun
lamanya masa penyembuhan dapat memberikan kerugian
ekonomi dan sosial. Penyakit ini juga tidak memiliki
pengobatan spesifik yang dapat mengurangi lama penyakit,
sehingga dalam penatalaksanaan Hepatitis A, tindakan
pencegahan adalah yang paling diutamakan. Pencegahan
Hepatitis A dapat dilakukan baik dengan pencegahan non-
spesifik (perubahan perilaku) maupun dengan pencegahan
spesifik (imunisasi).
6.1. Pencegahan Non-Spesifik
Perubahan perilaku untuk mencegah Hepatitis A terutama
dilakukan dengan meningkatkan sanitasi. Petugas kesehatan
bisa meningkatkan hal ini dengan memberikan edukasi yang
sesuai, antara lain:
a. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) secara benar pada 5
saat kritis, yaitu:
1. sebelum makan
2. sebelum mengolah dan menghidangkan makanan
3. setelah buang air besar dan air kecil
4. setelah mengganti popok bayi
5. sebelum menyusui bayi
b. Pengolahan makanan yang benar, meliputi:
1. Menjaga kebersihan
 Mencuci tangan sebelum memasak dan keluar
dari toilet
 Mencuci alat-alat masak dan alat-alat makan
 Dapur harus dijaga agar bersih
60
j. Surveilans Epidemiologi
 Laporan Sistem Terpadu Penyakit (STP) yang
dilakukan setiap bulan (untuk puskesmas dan
Rumah sakit)
 SKD KLB, khususnya Hepatitis A dan Hepatitis E (bila
ada)
k. Promosi Kesehatan
Kegiatan Advokasi, Bina suasana, Gerakan
pemberdayaan masyarakat dan ketersediaan media KIE.
4. Alat Pemantau
Menggunakan formulir isian dan wawancara.
5. Cara pemantauan
Pemantauan dilakukan dengan melakukan wawancara
dengan petugas dan memantau catatan atau laporan yang
ada di setiap jenjang administrasi yaitu Dinas Kesehatan
Propinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas. Bila dalam
pemantauan ditemukan masalah, maka berikan saran
pemecahan atau bimbingan kepada pengelola program
Hepatitis, agar kegiatan program Hepatitis dapat
dilaksanakan sesuai rencana.
B. EVALUASI
1. Pengertian
Evaluasi adalah suatu kegiatan penilaian terhadap hasil
pelaksanaan program dalam kurun waktu tertentu.
2. Tujuan
Mengetahui hasil kegiatan pengendalian penyakit
Hepatitis, permasalahan yang ada dan untuk perencanaan
kegiatan pada tahun yang akan datang.
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
22
2. Memisahkan bahan makanan matang dan mentah
 Menggunakan alat yang berbeda untuk keperluan
dapur dan untuk makan
 Menyimpan bahan makanan matang dan mentah
di tempat yang berbeda
3. Memasak makanan sampai matang
 Memasak makanan pada suhu minimal 85 0
C,
terutama daging, ayam, telur, dan makanan laut
 Memanaskan makanan yang sudah matang
dengan benar
4. Menyimpan makanan pada suhu aman
 Jangan menyimpan makanan pada suhu ruangan
terlalu lama
 Memasukan makanan yang ingin disimpan ke
dalam lemari pendingin
 Jangan menyimpan makanan terlalu lama di
lemari pendingin
5. Menggunakan air bersih dan bahan makanan yang
baik
 Memilih bahan makanan yang segar (belum
kadaluarsa) dan menggunakan air yang bersih
 Mencuci buah dan sayur dengan baik
6. Membuang tinja di jamban yang saniter
 Menyediakan air bersih di jamban
 Memastikan sistem pendistribusian air dan
pengelolaan limbah berjalan dengan baik
6.2. Pencegahan Spesifik (Imunisasi)
Pencegahan spesifik Hepatitis A dilakukan dengan imunisasi.
Proses ini bisa bersifat pasif maupun aktif. Imunisasi pasif
dilakukan dengan memberikan Imunoglobulin. Tindakan ini
dapat memberikan perlindungan segera tetapi bersifat
sementara. Imunoglobulin diberikan segera setelah kontak
atau untuk pencegahan sebelum kontak dengan 1 dosis
secara intra-muskular. Efek proteksi dapat dicapai bila
Imunoglobulin diberikan dalam waktu 2 minggu setelah
terpajan.
59
 Jumlah penderita yang mendapat pengobatan
lengkap (HBeAg negatif dan HBV DNA <104
dan
dilanjutkan selama 1 tahun).
f. Upaya pencegahan yang melibatkan lintas program, lintas
sektor dan masyarakat.
g. Pengelolaan logistik sebagai sarana penunjang
program. Ketersediaan logistik Hepatitis meliputi
kecukupan akan kebutuhan logistik, pengadaan,
penyimpanan dan distribusi.
h. Cakupan penemuan kasus dan prevalensi
Dalam kegiatan tatalaksana Hepatitis, hal-hal yang akan
dipantau adalah:
 Penetapan sasaran skrining penderita Hepatitis virus
yang dilayani di Puskesmas dan menjalani
pengobatan lengkap selama 1 tahun.
 Jumlah penderita HBsAg positif yang terjaring.
i. Penyelidikan Epidemiologi saat KLB ( khususnya
Hepatitis A dan E)
 Penegakkan diagnosis KLB
 Penanggulangan KLB
 Pemutusan rantai penularan,
 Menegakkan diagnosis
 Mengidentifikasi penyebab KLB
 Mengetahui distribusi penderita menurut waktu,
orang dan tempat,
 Mengidentifikasi sumber dan cara penularan,
 Mengidentifikasi populasi rentan
 Jumlah penderita Hepatitis virus (Hepatitis A,B
dan C)
 Jumlah penderita yang dirujuk dengan suspek
Hepatitis A
 Jumlah penderita yang dirujuk dengan HBsAg positip
 Jumlah penderita dengan suspek Hepatitis C
 Jumlah penderita yang mendapatkan pengobatan
(Hepatitis B dan C)
 Jumlah penderita yang perlu dipantau secara berkala.
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 23
Imunisasi aktif, memberikan efektifitas yang tinggi pada
pencegahan Hepatitis A. Vaksin dibuat dari virus yang
diinaktivasi (inactivated vaccine). Vaksin ini relatif aman dan
belum ada laporan tentang efek samping dari vaksin kecuali
nyeri ditempat suntikan. Vaksin diberikan dalam 2 dosis
dengan selang 6 – 12 bulan secara intra-muskular didaerah
deltoid atau lateral paha.
7. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
a. Pengobatan: tidak spesifik, utamanya meningkatkan daya
tahan tubuh (istirahat dan makan makanan yang bergizi),
rawat inap hanya diperlukan bila penderita tidak dapat
makan dan minum serta terjadi dehidrasi berat
b. Disinfeksi serentak terhadap bekas cairan tubuh dari
penderita
c. Isolasi tidak diperlukan
d. Imunisasi pasif pada orang yang terpajan cairan tubuh
penderita
e. Pencatatan dan pelaporan sesuai peraturan yang berlaku
(STP dan SIRS)
B. HEPATITIS B
1. Etiologi
Penyebab penyakit adalah virus Hepatitis B (VHB) yang
termasuk famili Hepadnavirus dan berukuran sangat kecil
(42 nm). Virus Hepatitis B merupakan virus DNA dan sampai
saat ini terdapat 8 genotip VHB yang telah teridentifikasi,
yaitu genotip A–H. VHB memiliki 3 jenis morfologi dan mampu
mengkode 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBeAg, HBcAg, dan
HBxAg. Virus Hepatitis B yang menginfeksi manusia bisa
juga menginfeksi simpanse. Virus dari Hepadnavirus bisa
juga ditemukan pada bebek, marmut dan tupai tanah, namun
virus tersebut tidak bisa menginfeksi manusia.
2. Cara Penularan
Virus Hepatitis B dapat ditemukan pada cairan tubuh
penderita seperti darah dan produk darah, air liur, cairan
58
e. Penanganan kasus sesuai standar
Tata laksana khususnya Hepatitis B, memerlukan
serangkaian pemeriksaan untuk memutuskan apakah
penderita tersebut perlu diobati atau belum/tidak perlu,
tetapi cukup dipantau secara berkala.
Yang dapat dilaksanakan di tingkat Puskesmas adalah
pemeriksaan awal untuk menentukan apakah orang
tersebut penderita Hepatitis B dengan melakukan
pemeriksaan laboratorium ( HBsAg), dan Puskesmas lebih
berperan dalam sistim rujukan. Pemantauan dilakukan
untuk mengetahui :
1) Puskesmas
 Petugas mampu mendiagnosis Hepatitis klinis
dan merujuk
 Puskesmas mampu melakukan tes serologi
Hepatitis A, B (Puskesmas Sentinel)
2) Rumah Sakit :
 Petugas mampu mendiagnosa (Hepatitis A, B,C,
D dan E)
 Sarana Laboratorium untuk tes serologi
Hepatitis A, B, C, D dan E
3) Surveilans epidemiologi Hepatitis.
Hepatitis A dan E
 Pelaksanaan SKD.
 Pencatatan, pelaporan, analisa dan diseminasi
data.
 Penanggulangan KLB.
 Jumlah penderita Hepatitis klinis.
 Jumlah penderita dengan IgM VHA positif.
Hepatitis B
 Jumlah penderita dengan HBsAg positif.
 Jumlah penderita HBsAg positif yang dirujuk.
 Jumlah penderita HBsAg positif yang mendapat
pengobatan maupun yang tidak.
 Jumlah penderita yang mendapat pengobatan
dan drop out.
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
24
serebrospinalis, peritonea, pleural, cairan amniotik, semen,
cairan vagina dan cairan tubuh lainnya. Namun tidak
semuanya memiliki kadar virus yang infeksius. Secara umum,
penularan bisa terjadi secara vertikal maupun horizontal.
Untuk saat ini, penularan VHB yang utama diduga berasal
dari hubungan intim dan transmisi perinatal. Transmisi
horizontal adalah penularan dari satu individu ke individu
lainnya. Selain lewat hubungan seksual tidak aman, transmisi
horizontal Hepatitis B juga bisa terjadi lewat penggunaan
jarum suntik bekas penderita Hepatitis B, transfusi darah
yang terkontaminasi virus Hepatitis B, pembuatan tato,
penggunaan pisau cukur, sikat gigi, dan gunting kuku bekas
penderita Hepatitis B. Sementara itu, berpelukan, berjabatan
tangan, atau berciuman dengan penderita Hepatitis B belum
terbukti mampu menularkan virus ini.
Penularan secara vertikal adalah penularan yang terjadi pada
masa perinatal yaitu penularan dari ibu kepada anaknya yang
baru lahir, jika seorang ibu hamil karier Hepatitis B dan
HBeAg positif maka bayi yang di lahirkan 90% kemungkinan
akan terinfeksi dan menjadi karier juga. Kemungkinan 25%
dari jumlah tersebut akan meninggal karena Hepatitis kronik
atau kanker hati. Transmisi perinatal ini terutama banyak
terjadi di negara-negara Timur dan negara berkembang.
Infeksi perinatal paling tinggi terjadi selama proses persalinan
dan diduga tidak berhubungan dengan proses menyusui
3. Tanda dan gejala
Seseorang yang terinfeksi VHB bisa mengalami Hepatitis B
akut. Penderita yang mengalami Hepatitis B akut akan
mengalami gejala prodromal yang sama dengan Hepatitis akut
umumnya, yaitu kelelahan, kurangnya nafsu makan, mual,
muntah, dan nyeri sendi. Gejala-gejala prodromal ini akan
membaik ketika peradangan hati, yang umumnya ditandai
dengan gejala kuning timbul. Walaupun begitu, 70%
penderita Hepatitis akut ternyata tidak mengalami kuning.
Sebagian dari penderita Hepatitis B akut lalu akan mengalami
kesembuhan spontan, sementara sebagian lagi akan
berkembang menjadi Hepatitis B kronik. Kemungkinan
57
BAB VI
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
HEPATITIS VIRUS
A. PEMANTAUAN
1. Pengertian
Pemantauan adalah kegiatan mengamati atas hasil
pelaksanaan kegiatan Pengendalian Hepatitis secara
berjenjang dan berkesinambungan (Propinsi, Kabupaten/
Kota dan Puskesmas).
2. Tujuan
a. Mengetahui komitmen penentu kebijakan dalam
program pengendalian Hepatitis
b. Memberikan bimbingan dalam pengelolaan program
Hepatitis virus di wilayah kerja masing-masing.
c. Memberikan umpan balik atau alternatif pemecahan
masalah yang ditemukan pada saat pemantauan.
3. Kegiatan yang dipantau
a. Advokasi dan sosialisasi kepada pemangku kepentingan.
 Dilakukan secara bertahap
 Diutamakan daerah yang memiliki komitmen
b. Sosialisasi dan edukasi tentang pengendalian
Hepatitis kepada petugas kesehatan terkait.
 Peningkatan pengetahuan petugas tentang
Hepatitis virus
c. Promosi kesehatan kepada masyarakat melalui media
komunikasi baik cetak maupun elektronik.
 Penyediaan media KIE
d. Deteksi dini
 Daerah yang telah melakukan kegiatan deteksi dini
 Petugas mampu laksana deteksi dini
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 25
menjadi Hepatitis B kronik ini menurun seiring bertambahnya
usia saat terinfeksi, pada neonatus kemungkinan menjadi
kronis mencapai 90% dan pada orang dewasa 5%. Hepatitis
kronis umumnya tidak menimbulkan gejala apa-apa. Sekitar
0,1-0,5% penderita dengan Hepatitis akut akan berkembang
menjadi Hepatitis fulminan. Penyebab dan faktor risiko
Hepatitis fulminan ini sampai sekarang masih belum
diketahui dengan jelas.
4. Masa Inkubasi
Masa inkubasi VHB berkisar antara 30–180 hari dengan rata-
rata 60–90 hari. Lama masa inkubasi tergantung banyaknya
virus yang ada dalam tubuh penderita, cara penularan dan
faktor pejamu. Jumlah virus dan usia merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan keparahan akut atau
kronik Hepatitis B.
5. Diagnosis
Sampai saat ini terdapat beberapa indikator laboratoris yang
bisa digunakan untuk menilai infeksi Hepatitis B. Pada infeksi
akut, antibodi terhadap HBcAg adalah yang paling pertama
muncul, diikuti dengan munculnya HBsAg dan HBeAg serum.
Bila penderita mengalami kesembuhan spontan setelah
Hepatitis B akut, maka akan terjadi serokonversi HBsAg dan
HBeAg, yang ditandai kadar kedua penanda tersebut tidak
akan dapat terdeteksi lagi di serum sementara anti-HBs dan
anti-HBe justru mulai terdeteksi. Sebaliknya, pada Hepatitis
B kronik, HBsAg dan HBeAg akan terus terdeteksi di serum
penderita. Pada penderita dengan Hepatitis B kronik, DNA
VHB sebaiknya diperiksa untuk memantau perjalanan
penyakit. Pada beberapa jenis virus mutan, HBeAg bisa tidak
terdeteksi di serum walaupun proses peradangan hati masih
terjadi dan kadar DNA VHB serum masih tinggi.
6. Pencegahan
Seperti pada penyakit infeksi lainnya, pencegahan infeksi
Hepatitis B bisa berupa pencegahan non-spesifik maupun
pencegahan spesifik.
56
menjadi sirosis atau kanker hati, seringkali tidak menunjukkan
gejala apapun dan tidak mengalami penurunan kemampuan
bekerja. Maka penyakit Hepatitis B seharusnya tidak
menghambat hak seseorang untuk bekerja atau bersekolah.
Sayangnya pada prakteknya seringkali didapatkan diskriminasi
terhadap orang yang sudah diketahui memiliki status
Hepatitis B (+). Kebanyakan diskriminasi ini disebabkan
kurangnya pengetahuan publik mengenai Hepatitis B. Alasan
yang umum yang dikemukakan adalah ketakutan akan risiko
penularan di tempat kerja dan ketidakmampuan orang yang
bersangkutan untuk bekerja dengan normal. Kedua hal ini
sebenarnya kurang relevan untuk dijadikan alasan, mengingat
infeksi Hepatitis B hanya bisa terjadi melalui kontak cairan tubuh
yang jarang sekali terjadi pada hampir segala jenis pekerjaan
dan sifat Hepatitis B yang tanpa gejala sampai timbul komplikasi.
Walaupun begitu, beberapa penyesuaian juga harus dilakukan
pada penderita Hepatitis B. Penderita tidak diperbolehkan bekerja
dengan pajanan tinggi benda-benda yang bersifat hepatotoksik
(pekerja pabrik cat atau bahan kimia lain). Alasan lain untuk
tidak mempekerjakan penderita Hepatitis B adalah masalah
asuransi. Untuk masalah ini, keputusan penerimaan akan dibuat
kebijakan khusus yang tidak merugikan dan melindungi
penderita untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.
Penderita Hepatitis B juga harus mendapat akses yang seluas-
luasnya untuk pendidikan dalam bidang apapun. Untuk
menghapus perbedaan perlakuan pada penderita Hepatitis B,
beberapa langkah konkret harus segera diambil. Langkah-
langkah ini mencakup penyuluhan kepada pihak-pihak pemberi
kerja, sekolah, maupun universitas mengenai Hepatitis B, dan
koordinasi dengan pembuat-pembuat keputusan untuk
melahirkan kebijakan-kebijakan yang melindungi hak-hak
penderita Hepatitis B di Indonesia.
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
26
6.1. Pencegahan Non-Spesifik
Pencegahan non-spesifik infeksi Hepatitis B dapat dilakukan
dengan menerapkan pencegahan universal yang baik dan
dengan melakukan penapisan pada kelompok risiko tinggi.
Prinsip-prinsip kewaspadaan universal, seperti menggunakan
sarung tangan ketika bekerja dengan cairan tubuh penderita,
penanganan limbah jarum suntik yang benar, sterilisasi
alat dengan cara yang benar sebelum melakukan prosedur
invasif, dan mencuci tangan sebelum menangani penderita
dapat mengurangi risiko penularan, terutama pada tenaga
medis, salah satu kelompok yang paling berisiko tertular
Hepatitis B. Selain itu, penapisan pada kelompok risiko tinggi
(orang yang lahir di daerah dengan endemisitas VHB tinggi,
orang dengan pasangan seksual multipel, homoseksual,
semua wanita hamil, penderita HIV dan Hepatitis C, pengguna
jarum suntik, penderita hemodialisis, penderita dengan terapi
imunosupresan, serta orang dengan kadar ALT/AST yang
tinggi dan menetap) sebaiknya dilakukan. Penderita yang
terbukti menderita Hepatitis B sebaiknya diberi edukasi
perubahan perilaku untuk memutus rantai infeksi
Hepatitis B.
Edukasi yang bisa diberikan mencakup:
1. Perlu dilakukan imunisasi pada pasangan seksual
2. Perlunya penggunaan kondom selama berhubungan
seksual dengan pasangan yang belum diimunisasi
3. Tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau
cukur
4. Menutup luka yang terbuka agar darah tidak kontak
dengan orang lain
5. Tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ,
ataupun sperma
6.2. Pencegahan Spesifik (Imunisasi)
Bagi orang yang tidak diimunisasi dan terpajan dengan
Hepatitis B, pencegahan postexposure berupa kombinasi
HBIG (untuk mencapai kadar anti-HBs yang tinggi dalam
waktu singkat) dan vaksin Hepatitis B (untuk kekebalan
55
dokter untuk evaluasi lebih lanjut. Penderita juga harus
diperiksakan status HBeAg, anti-HBe, DNA VHB, SGOT, dan
SGPT-nya untuk menentukan tingkat keparahan penyakit dan
saat terapi yang tepat. Pilihan terapi yang bisa digunakan
mencakup Interferon, Lamivudin, Adefovir, Telbivudin, Entecavir,
atau Tenofovir. Penjelasan mengenai tatalaksana akan diuraikan
secara lengkap pada buku Standar Diagnosa dan Terapi.
Selain itu, setiap penderita Hepatitis B juga harus mendapat
edukasi untuk menjaga kesehatan hatinya dan mencegah
penularan ke orang lain. Edukasi diberikan oleh dokter yang
merawat penderita dan harus mencakup hal-hal berikut:
 Penderita harus menghindari alkohol sama sekali dan
mengurangi makanan yang memiliki kemungkinan bersifat
hepatotoksik.
 Penderita harus berhati-hati dalam mengkonsumsi jamu,
suplemen, atau obat yang dijual bebas.
 Penderita harus memberitahukan status Hepatitis B-nya
apabila berobat ke dokter untuk menghindari pemberian
terapi yang bersifat hepatotoksik.
 Penderita yang berusia di atas 40 tahun harus menjalani
pemeriksaan USG dan AFP setiap 6 bulan sekali untuk deteksi
dini kanker hati.
 Perlu dilakukan imunisasi pada pasangan seksual.
 Perlunya penggunaan kondom selama berhubungan seksual
dengan pasangan yang belum diimunisasi.
 Penderita tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun
pisau cukur.
 Perlunya menutup luka yang terbuka agar darah tidak kontak
dengan orang lain.
 Penderita tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ,
ataupun sperma. Terapi secara rinci akan dibahas dalam
petunjuk teknis
H. ASPEK LEGAL PADA HEPATITIS B
Penderita dengan Hepatitis B kronik, sebelum berkembang
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 27
jangka panjang dan mengurangi gejala klinis) harus
diberikan. Untuk pajanan perinatal (bayi yang lahir dari ibu
dengan Hepatitis B), pemberian HBIG single dose, 0,5 mL
secara intra muskular di paha harus diberikan segera setelah
persalinan dan diikuti 3 dosis vaksin Hepatitis B (imunisasi),
dimulai pada usia kurang dari 12 jam setelah persalinan.
Pemberian HBIG dan Vaksin Hepatitis B dilakukan pada paha
yang berbeda. Untuk mereka yang mengalami inokulasi
langsung atau kontak mukosa langsung dengan cairan tubuh
penderita Hepatitis B, maka profilaksis yang digunakan
adalah HBIG single dose 0,06 mL/kg BB, yang diberikan
sesegera mungkin. Penderita lalu harus menerima imunisasi
Hepatitis B, dimulai dari minggu pertama setelah pajanan.
Bila pajanan yang terjadi adalah kontak seksual, maka
pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kg BB harus diberikan
sebelum 14 hari setelah pajanan, dan tentu diikuti dengan
imunisasi. Pemberian vaksin Hepatitis B dan HBIG bisa
dilakukan pada waktu bersamaan, namun di lokasi injeksi
yang berbeda.
Pencegahan spesifik pre-exposure dapat dilakukan dengan
memberikan vaksin Hepatitis B pada kelompok risiko tinggi.
Vaksin Hepatitis B yang tersedia saat ini merupakan vaksin
rekombinan HBsAg yang diproduksi dengan bantuan ragi.
Vaksin diberikan sebanyak 4 kali dengan cara injeksi intra
muskular (di deltoid, bukan gluteus) pada 0, 2,3 dan 4 bulan.
(program imunisasi nasional). Indonesia telah memasukkan
imunisasi Hepatitis B dalam program imunisasi rutin
Nasional pada bayi baru lahir pada tahun 1997.
Imunisasi Hepatitis B mampu memberikan perlindungan
terhadap infeksi Hepatitis B selama lebih dari 20 tahun.
Keberhasilan imunisasi dinilai dari terdeteksinya anti-HBs
di serum penderita setelah pemberian imunisasi Hepatitis B
lengkap (3-4 kali). Tingkat keberhasilan imunisasi ditentukan
oleh faktor usia penderita, dengan lebih dari 95% penderita
mengalami kesuksesan imunisasi pada bayi, anak dan
remaja, kurang dari 90% pada usia 40 tahun, dan hanya
65-70% pada usia 60 tahun. Penderita dengan sistem imun
yang terganggu juga akan memberikan respons kekebalan
54
 Pengetahuan tentang cara memeriksakan diri untuk
status Hepatitis B dan kemungkinan terapi serta jaminan
yang ada.
 Saran untuk tidak mendiskriminasikan orang yang menderita
Hepatitis B. Perlu juga dilakukan edukasi bahwa penyakit
ini tidak menular lewat penggunaan alat makan bersama,
berjabat tangan, berciuman, atau berpelukan dengan
penderita Hepatitis B.
F. PROFILAKSIS PASCA PAJANAN HEPATITIS B
Orang yang tidak memiliki kekebalan terhadap Hepatitis B atau
tidak diketahui status imunitasnya dan terpajan cairan tubuh
penderita Hepatitis B, baik secara perkutan maupun secara
seksual harus mendapatkan profilaksis pasca pajanan
secepatnya. Pada kasus pajanan pada cairan tubuh penderita
yang tidak diketahui status HBsAg-nya, sebaiknya sumber
pajanan diperiksa dahulu status HBsAg-nya. Apabila sumber
pajanan tidak mengidap Hepatitis B (HBsAg negatif), maka
profilaksis pasca pajanan tidak diperlukan, namun apabila status
HBsAg sumber pajanan (+) atau tidak dapat diketahui, maka
profilaksis wajib diberikan. Profilaksis yang digunakan adalah
HBIG single dose 0,06 mL/kg BB, yang diberikan sesegera
mungkin (maksimal 48 jam setelah pajanan). Penderita lalu harus
menerima imunisasi Hepatitis B, paling lambat pada minggu
pertama setelah pajanan. Bila pajanan yang terjadi adalah kontak
seksual, maka pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kg BB harus
diberikan sebelum 14 hari setelah pajanan, dan tentu diikuti
dengan imunisasi. Pemberian vaksin Hepatitis B dan HBIG bisa
dilakukan pada waktu bersamaan, namun di lokasi injeksi yang
berbeda. Status HBsAg dan anti-HBs penderita lalu diperiksa
kembali 1 bulan setelah pajanan. Apabila orang yang terpajan
terbukti memiliki kadar anti-HBs > 10 IU/L, maka profilaksis
pasca pajanan tidak perlu diberikan.
G. TERAPI PENDERITA HEPATITIS B
Penderita dengan HBsAg (+) harus segera dikonsultasikan dengan
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
28
yang lebih rendah. Bayi dari ibu dengan HBsAg (-) tidak akan
terpajan virus Hepatitis B selama proses persalinan, namun
risiko bayi tersebut untuk terpajan virus Hepatitis B tetap
tinggi, mengingat endemisitas penyakit ini di Indonesia.
Seperti telah disebutkan di atas, infeksi virus Hepatitis B
pada anak memiliki risiko perkembangan kearah Hepatitis
B kronis yang lebih besar. Maka setiap bayi yang lahir di
Indonesia diwajibkan imunisasi Hepatitis B. Vaksin yang
digunakan adalah vaksin rekombinan yang mengandung
HBsAg yang diproduksi ragi.
Vaksin ini diberikan secara intramuskular pada saat bayi
lahir dan dilanjutkan minimal pada bulan ke-1 dan ke-6.
Namun panduan imunisasi yang berlaku di Indonesia
menyarankan pemberian imunisasi pada saat bayi lahir, pada
bulan ke-2, bulan ke-3, dan bulan ke-4. Pemberian imunisasi
dilakukan oleh tenaga medis terlatih di masing-masing
daerah.
7. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
a. Monitoring secara berkala terhadap penderita yang belum
memerlukan pengobatan.
b. Pegobatan dengan Interferon, Lamivudin, Adefovir,
Telbivudin, Entecavir, atau Tenofovir bagi penderita yang
telah memenuhi kriteria terapi, dari hasil pemeriksaan
DNA VHB, HBeAg dan ALT.
c. Disinfeksi terhadap bekas cairan tubuh dari penderita.
d. Isolasi tidak diperlukan
e. Imunisasi pasif pada orang yang terpajan cairan tubuh
penderita
f. Pencatatan dan pelaporan sesuai peraturan yang berlaku
(STP dan SIRS)
C. HEPATITIS C
1. Etiologi
Penyebab penyakit Hepatitis C adalah virus Hepatitis C (VHC)
yang termasuk famili Flaviviridea genus Hepacivirus dan
53
medis dan meninggalkan kebiasaannya untuk mencegah
penularan Hepatitis B ke orang lain. Kelompok ini juga sebaiknya
diedukasi mengenai penyakit lain yang ditularkan lewat cairan
tubuh seperti HIV dan Hepatitis C.
E. PENAPISAN DAN PENCEGAHAN PENULARAN HEPATITIS B
PADA POPULASI UMUM
Indonesia termasuk negara endemis tinggi Hepatitis B, sehingga
setiap penduduk Indonesia memiliki risiko yang cukup besar
untuk terinfeksi Hepatitis B. Tetapi karena berbagai
pertimbangan, seperti efektivitas, kemampulaksanaan, dan biaya
maka pemeriksaan penapisan pada seluruh populasi umum di
Indonesia sampai saat ini belum menjadi rekomendasi. Tindakan
pencegahan selain imunisasi pada bayi adalah edukasi mengenai
Hepatitis B dan tindakan-tindakan pencegahan penularan
Hepatitis B segera diberikan pada masyarakat. Edukasi ini
diberikan oleh tenaga kesehatan dengan melibatkan lintas sektor
dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat baik di pusat
maupun di daerah.
Edukasi yang diberikan harus mencakup hal-hal berikut:
 Penjelasan umum mengenai penyebab, cara penularan,
perjalanan penyakit, gejala umum, terapi, dan komplikasi
Hepatitis B.
Cara-cara pencegahan umum infeksi Hepatitis B, antara lain:
o Menghindari kontak cairan tubuh yang tidak aman
dengan tidak melakukan hubungan seksual yang tidak
aman dan menggunakan jarum suntik atau alat yang
mungkin menimbulkan luka secara bergantian.
o Selalu membersihkan dengan baik alat-alat yang
mungkin menimbulkan luka pada orang lain, seperti
pisau cukur, sikat gigi, peralatan perawatan kuku, atau
alat tato. Lebih baik lagi bila alat-alat ini bisa digunakan
untuk sekali pakai saja atau hanya digunakan oleh satu
orang saja.
o Imunisasi dan pemeriksaan kekebalan terhadap
Hepatitis B.
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 29
merupakan virus RNA. Setidaknya 6 genotip dan lebih dari
50 subtipe VHC yang berbeda telah ditemukan.
2. Cara penularan
Cara penularan VHC yang paling umum adalah secara
parenteral, yaitu berkaitan dengan penggunaan bersama
jarum suntik yang tidak steril terutama pada pengguna obat-
obatan terlarang, tato, tindik, penggunaan alat pribadi seperti
pisau cukur, sikat gigi bersama penderita, transfusi darah,
operasi, transplantasi organ, dan melalui hubungan seksual.
VHC adalah penyebab utama dari Hepatitis yang diderita
setelah transfusi darah. Walaupun begitu, peraturan yang
memperketat pemeriksaan darah bagi donor darah telah
menurunkan risiko infeksi secara drastis. Penularan dapat
terjadi dalam waktu 1 minggu atau lebih setelah timbulnya
gejala klinis yang pertama pada penderita.
Penularan vertikal dari ibu ke bayi selama proses kelahiran
sangat jarang (sekitar 5-6%) dan menyusui tidak
meningkatkan resiko penularan VHC dari seorang ibu yang
terinfeksi ke bayinya. Hepatitis C tidak dapat menular melalui
jabat tangan, ciuman, dan pelukan.
3. Tanda dan gejala
Sebagian besar (>90%) kasus Hepatitis C akut bersifat
asimptomatik. Kejadian Hepatitis fulminan juga sangat kecil
pada infeksi VHC. Walaupun begitu, sebagian kecil penderita
bisa saja mengalami gejala prodromal seperti pada infeksi
virus pada umumnya. Sebagian besar (80%) dari penderita
yang mengalami Hepatitis C akut ini akan berkembang
menjadi Hepatitis C kronik yang umumnya juga bersifat
asimptomatik. Sekitar 20-30% dari jumlah ini akan
berkembang menjadi sirosis hati dalam waktu 20-30 tahun.
Kerusakan hati ini bersifat progresif lambat sehingga
seringkali penderita yang terinfeksi VHC pada usia lanjut
serngkali tidak mengalami gangguan hati sama sekali seumur
hidupnya.
52
kelompok berisiko tinggi tertular dan menularkan Hepatitis B.
Hal ini disebabkan sifat virus Hepatitis B yang menular lewat
kontak dengan cairan tubuh penderita. Penularan pada PSK dan
orang yang memiliki pasangan seksual multipel sebenarnya dapat
dicegah dengan mengurangi perilaku seksual tersebut atau
menggunakan kondom. Penularan pada kelompok IVDU juga
sebenarnya bisa dicegah dengan menghentikan kebiasaan
tersebut atau dengan tidak menggunakan jarum suntik berkali-
kali secara bergantian. Penularan pada kelompok ini umumnya
disebabkan karena rendahnya pengetahuan dan kepedulian
tehadap Hepatitis B maka sebaiknya pemberian edukasi dan
pembinaan terhadap kelompok ini perlu dilakukan. Edukasi yang
diberikan harus mencakup hal-hal berikut:
 Penjelasan umum mengenai penyebab, cara penularan,
perjalanan penyakit, gejala umum, terapi, dan komplikasi
Hepatitis B.
 Konseling untuk meninggalkan gaya hidup berisiko tersebut.
 Selalu menggunakan kondom apabila berhubungan seksual
dengan pasangan yang tidak diketahui status HBsAg-nya
 Pada IVDU, dianjurkan untuk tidak menggunakan jarum
suntik berkali-kali dan secara bergantian. IVDU juga
disarankan untuk membuang jarum suntik bekas di wadah
yang tertutup dan tahan tembus.
Setiap orang yang memiliki pasangan seksual multipel atau PSK
dan IVDU disarankan untuk segera melakukan pemeriksaan
penapisan dan kekebalan Hepatitis B. Apabila orang tersebut
belum memiliki kekebalan yang mencukupi terhadap
Hepatitis B, disarankan untuk imunisasi Hepatitis B. Apabila
yang bersangkutan belum pernah mendapat imunisasi
sebelumnya, vaksin harus diberikan dari awal sebanyak 3 kali
suntikan pada bulan 0 (kunjungan pertama), 1 (satu bulan
kemudian), dan 6 (enam bulan kemudian). Apabila yang
bersangkutan ternyata memiliki status HBsAg (+), maka dirujuk
ke dokter ahli untuk berkonsultasi mengenai kemungkinan
terapi penyakitnya dan melanjutkan pemeriksaan status HBeAg,
anti-HBe, DNA HBV, SGOT, dan SGPT-nya. Setiap orang yang
memiliki pasangan seksual multipel, PSK dan IVDU yang ternyata
positif menderita Hepatitis B agar berkonsultasi dengan tenaga
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
30
4. Masa Inkubasi
Masa inkubasi VHC berlangsung selama 15 hari sampai 2
bulan.
5. Diagnosis
Baku emas diagnosis Hepatitis C adalah ditemukannya RNA
VHC di serum penderita. Namun, mengingat mahal dan tidak
paktisnya pemeriksaan ini, pemeriksaan anti-VHC bisa
digunakan untuk menapis penderita-penderita yang dicurigai
menderita Hepatitis C. Namun, perlu diingat bahwa sebagian
kecil penderita Hepatitis C, terutama mereka yang mengalami
penurunan sistem imun, tidak akan memiliki antibodi anti-
VHC di darahnya. Pemeriksaan RNA VHC sendiri hanya
diindikasikan pada penderita yang positif anti-VHC, penderita
Hepatitis C kronik yang diterapi (untuk memantau respons
terapi), dan penderita dengan gangguan hati kronik dengan
anti-VHC negatif yang tidak diketahui penyebabnya (terutama
pada penderita dengan penurunan sistem imun).
Pemeriksaan genotip VHC juga wajib dilakukan pada semua
penderita yang akan menerima terapi antivirus untuk menilai
lama pengobatan yang diperlukan dan kemungkinan respon
terhadap terapi.
6. Pencegahan
Oleh karena sampai saat ini belum tersedia vaksin
Hepatitis C, maka pencegahan non-spesifik lebih di
prioritaskan dalam membatasi penularan VHC. Darah yang
didapat dari donor darah harus diperiksa secara ketat untuk
memastikan darah tersebut bebas VHC. Selain itu, prinsip-
prinsip kewaspadan universal juga harus diterapkan secara
sempurna dan konseling untuk memeriksakan diri harus
dilaksanakan pada kelompok-kelompok risiko tinggi.
Penderita-penderita yang diketahui menderita Hepatitis C
harus mendapat konseling untuk mengubah perilaku dan
untuk memutus rantai infeksi Hepatitis C.
Edukasi yang bisa diberikan mencakup:
1. Tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau
cukur.
51
 Menutupi semua luka dan abrasi dengan penutup tahan air.
 Membersihkan tumpahan darah dan cairan tubuh lainnya
secara segera dan hati-hati.
 Menggunakan sistem yang aman untuk penanganan dan
pembuangan limbah.
 Menggunakan prinsip sekali pakai untuk alat-alat yang bisa
digunakan sekali pakai (jarum suntik, scalpel, atau kasa)
atau melakukan sterilisasi yang adekuat untuk setiap alat
yang mungkin kontak dengan cairan tubuh penderita dan
akan dipakai kembali (alat-alat hecting, set partus, atau alat
bedah lainnya).
Mengingat tingginya risiko penularan Hepatitis B pada tenaga
medis, setiap tenaga medis juga diwajibkan untuk menjalani
pemeriksaan penapisan Hepatitis B dengan disertai pemeriksaan
status kekebalan. Metode penapisan HBsAg bisa menggunakan
pemeriksaan tes cepat sederhana/rapid test. Tenaga medis yang
memiliki satus HBsAg (-) dan kekebalan kurang terhadap
Hepatitis B wajib menjalani imunisasi Hepatitis B. Apabila tenaga
medis/paramedis yang bersangkutan belum pernah mendapat
imunisasi sebelumnya, vaksin harus diberikan dari awal
sebanyak 3 kali suntikan pada bulan 0 (pada saat datang),
suntikan ke 2 satu bulan kemudian dan suntikan ke 3 pada
bulan ke 6.
Tenaga medis yang terdiagnosis memiliki status HBsAg (+) harus
dirujuk ke dokter ahli untuk berkonsultasi mengenai
kemungkinan terapi penyakitnya. Penderita juga sebaiknya
diperiksa status HBeAg, anti-HBe, DNA HBV, SGOT, dan SGPT-
nya secara periodik sebagai upaya memantau perkembangan
penyakitnya. Sementara tenaga medis, paramedis dan tenaga
kesehatan yang memiliki status HBsAg (-) perlu melakukan
imunisasi.
D. PENAPISAN DAN PENCEGAHAN PENULARAN HEPATITIS B
PADA PSK, ORANG DENGAN PASANGAN SEKSUAL MULTIPEL,
DAN IVDU
Kelompok Pekerja Sex Komersil (PSK), orang dengan pasangan
seksual multipel, dan Intra Venous Drug User (IVDU) merupakan
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 31
2. Menutup luka yang terbuka agar darah tidak tersentuh
orang lain.
3. Penderita yang menggunakan obat-obatan terlarang
injeksi sebaiknya diminta berhenti, dan bila tidak bisa,
penderita diminta tidak menggunakan jarum suntik dan
alat-alat lain yang berhubungan dengan darah secara
bergantian dan untuk membuang jarum bekas ke tempat
khusus yang mencegah orang lain tertusuk secara tidak
sengaja.
4. Tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ,
ataupun sperma.
5. Penderita perlu diberitahu bahwa risiko penularan VHC
lewat hubungan seksual sebenarnya cukup rendah dan
penggunaan barier untuk pasangan monogamy
sebetulnya tidak begitu diperlukan, namun penderita
dengan pasangan multipel sebaiknya disarankan untuk
menghentikan kebiasaan tersebut.
7. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar
a. Pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan memberikan
Pegylated interferon alfa dan Ribavirin. Lama
pemberian terapi ditentukan berdasarkan genotip virus,
pada genotip 1 dan 4 diberikan selama 48 minggu,
sementara pada genotip 2 dan 3 diberikan selama 24
minggu. Pemantauan jumlah virus perlu dilakukan untuk
melihat respons terhadap terapi dengan interferon.
b. Disinfeksi terhadap bekas cairan tubuh dari penderita.
c. Isolasi tidak diperlukan
d. Pencegahan sekunder dan tersier bila seseorang terpajan
cairan tubuh penderita Hepatitis C dapat berupa:
1) Edukasi dan konseling untuk mendapatkan pilihan
pengobatan yang tepat.
2) Imunisasi Hepatitis A dan B untuk mencegah
terjadinya ko-infeksi dengan Hepatitis A dan B.
3) Pemeriksaan secara berkala untuk memantau
kemungkinan perkembangan penyakitnya.
4) Apabila terbukti positif terinfeksi Hepatitis C, maka
penderita harus diterapi sesuai jenis genotip
virus.
50
Apabila orang tersebut belum memiliki kekebalan terhadap
Hepatitis B, disarankan pemberian imunisasi Hepatitis B. Apabila
yang bersangkutan belum pernah mendapat imunisasi
sebelumnya, vaksin harus diberikan dari awal sebanyak 3 kali
suntikan. Apabila yang bersangkutan ternyata memiliki status
HBsAg (+), maka segera dirujuk ke dokter untuk berkonsultasi
lebih lanjut.
C. PENAPISAN DAN PENCEGAHAN PENULARAN HEPATITIS B
PADA TENAGA MEDIS
Tenaga medis merupakan salah satu kelompok paling berisiko
tertular Hepatitis B karena dalam melaksanakan pekerjaannya
terjadi kontak dengan cairan tubuh penderita. Petugas medis
bila tidak menerapkan prinsip-prinsip pencegahan universal yang
baik, hal ini bisa memacu penularan virus antar penderita atau
ke dirinya sendiri. Data dari berbagai literatur juga telah
membuktikan bahwa sejumlah besar penderita Hepatitis B
merupakan tenaga medis.
Untuk mencegah penularan Hepatitis B dari penderita
(pencegahan primer), setiap tenaga medis diwajibkan untuk
menerapkan prinsip-prinsip pencegahan universal. Edukasi dan
kontrol penerapan prinsip-prinsip pencegahan universal harus
dilakukan oleh penanggung jawab pusat pelayanan kesehatan
tempat tenaga medis tersebut bekerja dan dikoordinasikan
dengan Dinas Kesehatan setempat.
Prinsip-prinsip ini mencakup:
 Mencuci tangan setiap sesudah melakukan kontak langsung
dengan penderita.
 Tidak melakukan recapping jarum suntik dengan 2 tangan.
 Prosedur yang aman untuk mengumpulkan dan membuang
jarum dan benda tajam lainnya dengan menggunakan kotak
yang tahan tembus dan tahan cairan.
 Mengenakan sarung tangan untuk setiap kontak dengan
cairan tubuh, kulit yang tidak intak, dan mukosa.
 Mengenakan masker, pelindung mata, dan gawn (dan kadang
apron plastik) bila ada kemungkinan cipratan darah atau
cairan tubuh lainnya.
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus
32
e. Pencatatan dan pelaporan sesuai peraturan yang berlaku
(STP dan SIRS).
D. HEPATITIS D
1. Etiologi
Penyebab Hepatitis D adalah virus hepatitis delta (VHD) yang
ditemukan pertama kali pada tahun 1977, berukuran 35-37
nm dan mempunyai antigen internal yang khas yaitu antigen
delta. Virus ini merupakan virus RNA dengan defek, artinya
virus ini tidak mampu bereplikasi secara sempurna tanpa
batuan virus lain, yaitu virus Hepatitis B. Hal ini dikarenakan
VHD tidak mampu mensintesis protein selubungnya sendiri
dan bergantung ada protein yang disintesis VHB, termasuk
HBsAg. Maka dari itu, infeksi VHD hanya bisa terjadi pada
penderita yang juga terinfeksi VHB pada saat bersamaan atau
sudah terinfeksi kronik oleh VHB. Genom VHD terdiri dari
1.700 pasangan basa yang merupakan jumlah pasangan basa
terkecil untuk virus pada hewan.
2. Cara penularan
VHD ditularkan dengan cara yang sama denganVHB, yaitu
lewat pajanan terhadap caian tubuh penderita Hepatitis D.
Cara penularan yang paling utama diduga melalui jalur
parenteral.
3. Tanda dan gejala
Perjalanan penyakit Hepatitis D mengikuti perjalanan
penyakit Hepatitis B. Artinya, bila Hepatitis B yang diderita
penderita bersifat akut dan lalu sembuh, VHD juga akan
hilang seluruhnya. Namun bila VHD menginfeksi penderita
yang sudah menderita Hepatitis B kronik, maka penderita
tersebut juga akan menderita Hepatitis D kronik. Gejala
infeksi Hepatitis D sama persis dengan Hepatitis B, namun
kehadiran virus ini terbukti mempercepat proses fibrosis pada
hati, meningkatkan risiko kanker hati, dan mempercepat
dekompensasi pada keadaan sirosis hati.
49
B. PENAPISAN DAN PENCEGAHAN PENULARAN HEPATITIS B
PADA KELUARGA ATAU ORANG YANG TINGGAL SERUMAH
DENGAN PENDERITA HEPATITIS B
Keluarga atau orang yang tinggal serumah dengan penderita
Hepatitis B merupakan salah satu kelompok yang paling berisiko
tertular Hepatitis B. Pemakaian alat-alat rumah tangga bersama,
seperti gunting kuku, pisau cukur, atau sikat gigi terbukti bisa
menjadi sumber penularan Hepatitis B. Keluarga atau orang
yang tinggal serumah dengan penderita Hepatitis B harus
mendapatkan edukasi yang memadai untuk meminimalisir risiko
penularan.
Edukasi yang diberikan harus mencakup hal-hal berikut:
 Penjelasan umum mengenai penyebab, cara penularan,
perjalanan penyakit, gejala umum, terapi, dan komplikasi
Hepatitis B.
 Cara-cara pencegahan umum infeksi Hepatitis B, antara lain:
o Menghindari kontak cairan tubuh yang tidak aman
dengan tidak melakukan hubungan seksual yang tidak
aman dan menggunakan jarum suntik atau alat yang
mungkin menimbulkan luka secara bergantian.
o Selalu membersihkan dengan baik alat-alat yang
mungkin menimbulkan luka pada orang lain, seperti
pisau cukur, sikat gigi, peralatan perawatan kuku, atau
alat tato. Lebih baik lagi bila alat-alat ini bisa digunakan
untuk sekali pakai saja atau hanya digunakan oleh satu
orang saja.
 Pengetahuan tentang di mana dan cara memeriksakan diri
untuk status Hepatitis B dan kemungkinan terapi serta
jaminan yang ada.
 Saran untuk tidak mendiskriminasikan orang yang menderita
Hepatitis B. Perlu juga dilakukan edukasi bahwa penyakit
ini tidak menular lewat penggunaan alat makan bersama,
berjabat tangan, berciuman, atau berpelukan dengan
penderita Hepatitis B.
Setiap anggota keluarga atau orang yang tinggal serumah dengan
penderita Hepatitis B juga harus disarankan untuk segera
melakukan pemeriksaan penapisan dan kekebalan Hepatitis B.
Pedoman Hepatitis OK.pdf
Pedoman Hepatitis OK.pdf
Pedoman Hepatitis OK.pdf
Pedoman Hepatitis OK.pdf
Pedoman Hepatitis OK.pdf
Pedoman Hepatitis OK.pdf
Pedoman Hepatitis OK.pdf
Pedoman Hepatitis OK.pdf

Más contenido relacionado

Similar a Pedoman Hepatitis OK.pdf

Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19
Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19
Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19
Sendy Halim Toana
 
PNPK_HIV_Kop_Garuda__1_.pdf
PNPK_HIV_Kop_Garuda__1_.pdfPNPK_HIV_Kop_Garuda__1_.pdf
PNPK_HIV_Kop_Garuda__1_.pdf
Brian ER
 
Pedoman%20nasional%20penanggulangan%20tb
Pedoman%20nasional%20penanggulangan%20tbPedoman%20nasional%20penanggulangan%20tb
Pedoman%20nasional%20penanggulangan%20tb
rieogiq
 
Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)
Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)
Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)
Mamang Bagiansah
 
Penilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widya
Penilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widyaPenilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widya
Penilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widya
BidangTFBBPKCiloto
 
Penilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widya
Penilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widyaPenilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widya
Penilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widya
BidangTFBBPKCiloto
 
TATA LAKSANA TBC 2019.pdf
TATA LAKSANA TBC 2019.pdfTATA LAKSANA TBC 2019.pdf
TATA LAKSANA TBC 2019.pdf
ssuserd58201
 

Similar a Pedoman Hepatitis OK.pdf (20)

BUKU Surveilans difteri 0701.pdf
BUKU Surveilans difteri  0701.pdfBUKU Surveilans difteri  0701.pdf
BUKU Surveilans difteri 0701.pdf
 
Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19
Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19
Pedoman Pencegahan Corona Virus Disease 19 Covid-19
 
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19)
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19)Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19)
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19)
 
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
 
pedoman Juknis_1_Rumah_1_Jumantik.pptx
pedoman Juknis_1_Rumah_1_Jumantik.pptxpedoman Juknis_1_Rumah_1_Jumantik.pptx
pedoman Juknis_1_Rumah_1_Jumantik.pptx
 
PETUNJUK TEKNIS PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN ISONIAZID UNTUK ODHA DI INDONESIA
PETUNJUK TEKNIS PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN ISONIAZID UNTUK ODHA DI INDONESIAPETUNJUK TEKNIS PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN ISONIAZID UNTUK ODHA DI INDONESIA
PETUNJUK TEKNIS PENGOBATAN PENCEGAHAN DENGAN ISONIAZID UNTUK ODHA DI INDONESIA
 
PNPK HIV Kop Garuda.pdf
PNPK HIV Kop Garuda.pdfPNPK HIV Kop Garuda.pdf
PNPK HIV Kop Garuda.pdf
 
PNPK_HIV_Kop_Garuda__1_.pdf
PNPK_HIV_Kop_Garuda__1_.pdfPNPK_HIV_Kop_Garuda__1_.pdf
PNPK_HIV_Kop_Garuda__1_.pdf
 
Permenkes HIV 2019.pdf
Permenkes HIV 2019.pdfPermenkes HIV 2019.pdf
Permenkes HIV 2019.pdf
 
PNPK_HIV_Kop_Garuda__1_.pdf
PNPK_HIV_Kop_Garuda__1_.pdfPNPK_HIV_Kop_Garuda__1_.pdf
PNPK_HIV_Kop_Garuda__1_.pdf
 
Pedoman%20nasional%20penanggulangan%20tb
Pedoman%20nasional%20penanggulangan%20tbPedoman%20nasional%20penanggulangan%20tb
Pedoman%20nasional%20penanggulangan%20tb
 
Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)
Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)
Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis cet 8 (2002)
 
Penilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widya
Penilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widyaPenilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widya
Penilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widya
 
Penilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widya
Penilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widyaPenilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widya
Penilaian angka kredit jf penyuluh kesehatan masyarakat edit210321 widya
 
Pedoman-Pelayanan-Kefarmasian-untuk-terapi-antibiotik.pdf
Pedoman-Pelayanan-Kefarmasian-untuk-terapi-antibiotik.pdfPedoman-Pelayanan-Kefarmasian-untuk-terapi-antibiotik.pdf
Pedoman-Pelayanan-Kefarmasian-untuk-terapi-antibiotik.pdf
 
Pedoman Visite Untuk Apoteker
Pedoman Visite Untuk Apoteker Pedoman Visite Untuk Apoteker
Pedoman Visite Untuk Apoteker
 
pedoman visite
pedoman visitepedoman visite
pedoman visite
 
TATA LAKSANA TBC 2019.pdf
TATA LAKSANA TBC 2019.pdfTATA LAKSANA TBC 2019.pdf
TATA LAKSANA TBC 2019.pdf
 
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis - 2013
 
Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID 19 di Indonesia
Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID 19 di IndonesiaPedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID 19 di Indonesia
Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID 19 di Indonesia
 

Último

IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONALIMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
BagasTriNugroho5
 
KETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptx
KETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptxKETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptx
KETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptx
Zuheri
 
DAM DALAM IBADAH HAJI 2023 BURHANUDDIN_1 (1).pptx
DAM DALAM IBADAH HAJI  2023 BURHANUDDIN_1 (1).pptxDAM DALAM IBADAH HAJI  2023 BURHANUDDIN_1 (1).pptx
DAM DALAM IBADAH HAJI 2023 BURHANUDDIN_1 (1).pptx
kemenaghajids83
 
RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.
RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.
RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.
RambuIntanKondi
 
pengertian mengenai BAKTERI dan segala bentuk bakteri.ppt
pengertian mengenai BAKTERI dan segala bentuk bakteri.pptpengertian mengenai BAKTERI dan segala bentuk bakteri.ppt
pengertian mengenai BAKTERI dan segala bentuk bakteri.ppt
RekhaDP2
 
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasiBLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
NezaPurna
 
materi tentang airway management terbaru
materi tentang airway management terbarumateri tentang airway management terbaru
materi tentang airway management terbaru
PrajaPratama4
 

Último (20)

Asuhan Keperawatan Jiwa Perkembangan Psikososial Remaja
Asuhan Keperawatan Jiwa Perkembangan Psikososial RemajaAsuhan Keperawatan Jiwa Perkembangan Psikososial Remaja
Asuhan Keperawatan Jiwa Perkembangan Psikososial Remaja
 
IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONALIMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
 
KETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptx
KETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptxKETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptx
KETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptx
 
High Risk Infant modul perkembangan bayi risiko tinggi
High Risk Infant modul perkembangan bayi risiko tinggiHigh Risk Infant modul perkembangan bayi risiko tinggi
High Risk Infant modul perkembangan bayi risiko tinggi
 
asuhan keperawatan jiwa dengan diagnosa keperawatan resiko perilaku kekerasan
asuhan keperawatan jiwa dengan diagnosa keperawatan resiko perilaku kekerasanasuhan keperawatan jiwa dengan diagnosa keperawatan resiko perilaku kekerasan
asuhan keperawatan jiwa dengan diagnosa keperawatan resiko perilaku kekerasan
 
DAM DALAM IBADAH HAJI 2023 BURHANUDDIN_1 (1).pptx
DAM DALAM IBADAH HAJI  2023 BURHANUDDIN_1 (1).pptxDAM DALAM IBADAH HAJI  2023 BURHANUDDIN_1 (1).pptx
DAM DALAM IBADAH HAJI 2023 BURHANUDDIN_1 (1).pptx
 
RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.
RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.
RTL PPI dr.Intan.docx puskesmas wairasa.
 
PAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.ppt
PAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.pptPAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.ppt
PAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.ppt
 
pengertian mengenai BAKTERI dan segala bentuk bakteri.ppt
pengertian mengenai BAKTERI dan segala bentuk bakteri.pptpengertian mengenai BAKTERI dan segala bentuk bakteri.ppt
pengertian mengenai BAKTERI dan segala bentuk bakteri.ppt
 
sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...
sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...
sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...
 
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasiBLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
 
Dbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitas
Dbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitasDbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitas
Dbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitas
 
Jenis-Jenis-Karakter-Pasien-Rumah-Sakit.pdf
Jenis-Jenis-Karakter-Pasien-Rumah-Sakit.pdfJenis-Jenis-Karakter-Pasien-Rumah-Sakit.pdf
Jenis-Jenis-Karakter-Pasien-Rumah-Sakit.pdf
 
PPT KELOMPOKperkembggannanan sdidtk pada anak1.pptx
PPT KELOMPOKperkembggannanan sdidtk pada anak1.pptxPPT KELOMPOKperkembggannanan sdidtk pada anak1.pptx
PPT KELOMPOKperkembggannanan sdidtk pada anak1.pptx
 
PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA
PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOAPROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA
PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA PROTOZOA
 
MEMBERIKAN OBAT INJEKSI (KEPERAWATAN DASAR).ppt
MEMBERIKAN OBAT INJEKSI (KEPERAWATAN DASAR).pptMEMBERIKAN OBAT INJEKSI (KEPERAWATAN DASAR).ppt
MEMBERIKAN OBAT INJEKSI (KEPERAWATAN DASAR).ppt
 
KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptx
KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptxKONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptx
KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptx
 
Statistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptx
Statistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptxStatistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptx
Statistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptx
 
Low Back Pain untuk Awam dan pekerja tahun 2024
Low Back Pain untuk Awam dan pekerja tahun 2024Low Back Pain untuk Awam dan pekerja tahun 2024
Low Back Pain untuk Awam dan pekerja tahun 2024
 
materi tentang airway management terbaru
materi tentang airway management terbarumateri tentang airway management terbaru
materi tentang airway management terbaru
 

Pedoman Hepatitis OK.pdf

  • 1. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus PEDOMAN PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DIREKTORAT JENDERAL PP & PL KEMENTERIAN KESEHATAN RI TAHUN 2012 Lampiran II Keputusan Direktur Jenderal PP dan PL Nomor : HK.03.05/D/I.4/2012 Tanggal : 2012 TUGAS TIM PENYUNTING DAN PENYUSUN PEDOMAN PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA a. Melakukan pengumpulan dan pengelolaan referensi dalam rangka penyusunan Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia; b. Melakukan penyusunan rancangan Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia; c. Menyiapkan dan melaksanakan pembahasan Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia d. Menyiapkan dan melaksanakan finalisasi penyusunan Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia; dan, e. Melakukan penyuntingan terhadap Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia Direktur Jenderal PP dan PL Prof.dr.Tjandra Yoga Aditama Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE NIP: 195509031980121001 90
  • 2. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 11. Dr.dr. Julitasari Sundoro, MSc-PH 12. dr. Rossa Avrina 13. dr. Sukmawati Dunuyaali 14. dr. Ignatius Bima Prasetya 15. dr. Anandhara Indriani 16. dr. Karnely Herlena, M.Epid 17. Agus Handito, SKM, M.Epid 18. dr. Marolop Binsar Silaen Sekretariat : 1. Arman Zubair, S.Sos 2. Muhamad Purwanto, SKM Organisasi Profesi : 1. PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) 2. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) Direktur Jenderal PP dan PL Prof.dr.Tjandra Yoga Aditama Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE NIP: 195509031980121001 89
  • 3. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus KATA PENGANTAR Hepatitis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama Hepatitis A sering muncul dalam bentuk Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sangat meresahkan masyarakat. Sementara Hepatitis B dan C seringkali diketahui apabila sudah terjadi sirosis atau kanker hati (Hepatocarcinoma Celluler). Sesuai dengan resolusi WHA ke 63 tahun 2010, Indonesia dan Brazil merupakan negara yang berinisiatif mengusulkan atau ditetapkannya resolusi WHA tersebut, yang isinya bahwa sudah saatnya negara-negara di dunia mulai melaksanakan pengendalian dan penanggulangan Hepatitis. Untuk menindak lanjuti resolusi WHA tersebut perlu disusun pedoman Pengendalian Hepatitis, sebagai acuan bagi petugas kesehatan, baik di rumah sakit maupun di Puskesmas. Puji syukur kehadirat Allah SWT bahwa kami telah dapat menyelesaikan penyusunan Pedoman Pengendalian Hepatitis. Pedoman ini disusun melalui beberapa tahapan kegiatan seperti penelusuran referensi, penyusunan draf, uji coba, seminar dan dibahas dengan para ahli Hepatology yang berasal dari berbagai fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan di Indonesia untuk memperkaya pedoman pengendalian Hepatitis ini. Terima kasih saya sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penyusunan buku pedoman Pengendalian Hepatitis Virus ini. Saya berharap agar buku pedoman ini dapat bermanfaat bagi pengendalian penyakit Hepatitis di Indonesia. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama NIP 195509031980121001 i Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal PP dan PL Nomor : HK.03.05/D/I.4/2012 Tanggal : 2012 SUSUNAN TIM PENYUNTING DAN PENYUSUN PEDOMAN PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA Penasehat : Direktur Jenderal PP dan PL Pengarah : 1. Sekretaris Direktorat Jenderal PP dan PL 2. Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Ketua : Kepala Subdit Diare & ISP Ketua Komite Ahli Diare, Hepatitis dan ISP, Kementerian Kesehatan Ketua Bidang Hepatitis Komite Ahli Diare, Hepatitis dan ISP, Kementeri Kesehatan. Penyunting : 1. Prof.dr.David Handojo Muljono, Ph. D, SpPD 2. dr. Nyoman Kandun, MPH 3. Dr. dr.Rino A. Gani, SpPD – KGEH 4. dr. Irsan Hasan, SpPD – KGEH 5. Dr. dr.Hanifah Oswari SpA (K) Penyusun : 1. Prof.dr.David Handojo Muljono, Ph. D, SpPD 2. dr. Nyoman Kandun, MPH 3. Prof.dr. Ali Sulaiman, SpPD – KGEH 4. Dr. dr.Rino A. Gani, SpPD – KGEH 5. Dr. dr.Hanifah Oswari SpA (K) 6. dr. Irsan Hasan, SpPD – KGEH 7. drg. Rini Noviani 8. dr. Yullita Evarini Yuzwar, MARS 9. dr. Armaji Kamaludin Syarif 10. dr. Rini Rohaeni 88
  • 4. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus ii sektor, serta para pakar/ahli dan instansi lain yang relevan. Keempat : Tim bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan melalui Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung serta menyampaikan laporan kegiatan secara berkala setiap 1 (satu) bulan. Kelima : Segala biaya yang timbul akibat pelaksanaan tugas Tim dibebankan pada DIPA Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung Tahun Anggaran 2012. Keenam : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : Direktur Jenderal PP dan PL Prof.dr.Tjandra Yoga Aditama Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE NIP: 195509031980121001 87
  • 5. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .............................................................. i DAFTAR ISI ......................................................................... iii DAFTAR ISTILAH ................................................................ v BAB I PENDAHULUAN ................................................ 1 A. Latar Belakang ............................................ 1 B. Tujuan ........................................................ 2 C. Sasaran....................................................... 3 D. Dasar Hukum ............................................. 3 E. Kebijakan .................................................... 5 F. Strategi ....................................................... 6 G. Kegiatan ...................................................... 6 BAB II ANALISIS SITUASI .......................................... 9 A. Beban Penyakit ........................................... 9 B. Kondisi Lingkungan .................................... 12 C. Perilaku Berisiko ......................................... 12 D. Sosial Ekonomi ........................................... 13 E. Landasan Hukum ....................................... 14 F. Analisis S-W-O-T ......................................... 14 G. Hasil Analisis Situasi .................................. 16 BAB III HEPATITIS AKIBAT VIRUS.............................. 19 A. Hepatitis A ................................................. 19 B. Hepatitis B .................................................. 23 C. Hepatitis C .................................................. 28 D. Hepatitis D .................................................. 32 E. Hepatitis E .................................................. 33 BAB IV SURVEILANS EPIDEMIOLOGI ........................ 37 A. Epidemiologi................................................ 37 1. Hepatitis A ............................................ 37 2. Hepatitis B ............................................ 37 iii 15. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan RI; 16. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010, tentang Standar Pelayanan Kedokteran; 17. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010, tentang Jenis Penyakit Menular tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan;’ 18. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 021/MENKES/SK/I/2011, tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TENTANG TIM PENYUNTING DAN PENYUSUN PEDOMAN PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA Kesatu : Susunan Tim Penyusun dan Penyunting Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia ini terlampir dalam keputusan. Kedua : Tim sebagaimana dimaksud pada dictum kesatu memiliki tugas yang terlampir dalam keputusan ini. Ketiga : Dalam melaksanakan tugasnya, Tim bekerja sama dan berkoordinasi dengan lintas program, lintas 86
  • 6. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus iv 3. Hepatitis C ............................................ 38 4. Hepatitis Delta (D) ................................. 39 5. Hepatitis E ............................................ 39 B. Surveilans Hepatitis .................................... 40 C. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) Hepatitis A 41 D. Kejadian Luar Biasa (KLB)........................... 42 1. Penetapan KLB...................................... 42 2. Penyelidikan Epidemiologi ..................... 43 3. Langkah-langkah Penyelidikan Epidemiologi.......................................... 43 4. Upaya Penanggulangan KLB ................. 45 5. Pemutusan Rantai Penularan................ 45 BAB V PENGEMBANGAN PROGRAM........................... 47 A. Penapisan Hepatitis B Pada Ibu Hamil ........ 47 B. Penapisan dan Pencegahan Penularan Hepatitis B pada Keluarga atau Orang yang Tinggal Serumah dengan Penderita Hepatitis B .................................................. 49 C. Penapisan dan Pencegahan Penularan Hepatitis B pada Tenaga Medis ................... 50 D. Penapisan dan Pencegahan Penularan Hepatitis B pda PSK, Orang dengan Pasangan Seksual Multipel, dan IVDU ........................ 51 E. Penapisan dan Pencegahan Penularan Hepatitis B pada Populasi Umum ................ 53 F. Profilaksis Pasca Pajanan Hepatitis B.......... 54 G. Terapi Penderita Hepatitis B ........................ 54 H. Aspek Legal pada Hepatitis B ...................... 55 BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI ........................ 57 A. Pemantauan ................................................ 57 1. Pengertian ............................................. 57 2. Tujuan .................................................. 57 3. Kegiatan Yang Dipantau........................ 57 4. Alat Pantau ........................................... 60 5. Cara Pemantauan ................................. 60 B. Evaluasi ...................................................... 60 1. Pengertian ............................................. 60 7. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8781); 9. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014; 10. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003, tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota; 11. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/MENKES/SK/VIII/2003, tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan; 12. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003, tentang Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular; 13. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 949/MENKES/SK/VIII/2004, tentang Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa; 14. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 206/MENKES/SK/II/2008, tentang Komite Ahli Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan; 85
  • 7. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus v 2. Tujuan .................................................. 60 3. Cara Evaluasi ........................................ 61 BAB VII SARANA............................................................ 63 A. Perencanaan Kebutuhan ............................. 63 1. Reagen/Bahan Pemeriksaan Untuk Penegakan Diagnosis............................. 63 a. Hepatitis A ..................................... 63 b. Hepatitis B ..................................... 63 c. Hepatitis C ..................................... 65 2. Penyediaan Obat ................................... 65 3. Media KIE ............................................. 66 B. Penganggaran.............................................. 66 1. Pusat..................................................... 66 2. Daerah .................................................. 67 BAB VIII PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGENDALIAN HEPATITIS .......................... 69 A. Pusat........................................................... 69 B. UPT Pusat (BBTKL, BTKL, KKP)................... 69 C. Propinsi....................................................... 70 D. Kabupaten/Kota ......................................... 70 E. Unit Pelayanan Kesehatan........................... 70 1. Puskesmas ............................................ 70 2. Rumah Sakit ......................................... 71 3. Klinik dan Praktek Swasta .................... 71 F. Organisasi Profesi ....................................... 71 G. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat Peduli Penyakit Hepatitis ..................................................... 71 H. Akademi/Perguruan Tinggi ......................... 72 KONTRIBUTOR .......................................................... 73 LAMPIRAN Form 1 Formulir Penyaringan Penderita Hepatitis Tahap Awal ................................................... 75 Form 2A Formulir Penyaringan Penderita Hepatitis Tahap Lanjutan Diagnosa Klinis Hepatitis dan HBsAg Positif ......................................... 76 Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1984, tentang Wabah Penyakit menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 No. 20 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor : 327; 2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaga Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548); 3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 4. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 144 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009, tentang Rumah Sakit; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991, tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447); 84
  • 8. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus vi From 2B Formulir Penyaringan Penderita Hepatitis Tahap Lanjutan Diagnosa Klinis Bukan Hepatitis dan HBsAg Positif .......................... 77 Form 3 Formulir Pemantauan Pengobatan Penderita Hepatitis ....................................................... 78 Form 4 Formulir Pemantauan Hepatitis .................... 79 DAFTAR PUSTAKA............................................................. 81 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PP DAN PL TENTANG TIM PENYUNTING & PENYUSUN PEDOMAN PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA ......... 83 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN NOMOR : HK.03.05/III.4/1615/2012 TENTANG TIM PENYUNTING DAN PENYUSUN PEDOMAN PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN, Menimbang : a. bahwa hingga saat ini Hepatitis A, B, dan C masih menjadi masalah kesehatan dunia yang serius termasuk di Indonesia karena berpotensi menimbulkan dampak morbiditas dan moralitas, dan memerlukan perhatian dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun masyarakat; b. bahwa dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian karena Hepatitis perlu dilakukan upaya pengendalian yang komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, perlu menyusun Pedoman tentang Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia; d. bahwa bersadarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf c, perlu membentuk Tim Penyusun Rancangan Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 83
  • 9. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus vii DAFTAR ISTILAH Hepatitis VHA : Virus Hepatitis A VHB : Virus Hepatitis B VHC : Virus Hepatitis C VHD : Virus Hepatitis D VHE : Virus Hepatitis E HBsAg : Hepatitis B surface Antigen HBcAg : Hepatitis B core Antigen HBeAg : Hepatitis B envelope Antigen LFT : Liver Function Test ( Test Fungsi Hati ) AST : Asparlate Aminotransferase ALT : Alanine Aminotransferase Anti HBs : Antibody to Hepatitis B surface antigen IgM anti-HBc : Immunoglobulin M. anti to Hepatitis B core IgG anti-HBc : Immunoglobulin G. anti to Hepatitis B core Anti-HBe : Antibody to Hepatitis B envelope HBIG : Hepatitis B Immunoglobulin HIV : Human Imunodeficiency Virus Oro-fecal/fecal-oral : Penularan dari tinja ke mulut Masa Inkubasi : Masa antara masuknya kuman penyakit dan munculnya gejala CTPS : Cuci Tangan Pakai Sabun PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat MSM : Man Sex Man (hubungan sex antara laki-laki dengan laki-laki) IDUs : Injection Drug Users (Pengguna obat terlarang dengan cara suntik) KLB : Kejadian Luar Biasa Morbiditas : Angka Kesakitan Mortalitas : Angka Kematian Insidens rate : Proporsi antara jumlah penderita dengan jumlah penduduk 82 Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2004, Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1116/MENKES/SK/VIII/ 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2004, Buku Pedoman Penyelidikan Dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB). Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2011, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1502/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2011, Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit), Edisi Revisi Tahun 2011.
  • 10. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus viii Isolasi : Dilakukan terhadap penderita, dengan memisahkan penderita dengan orang sehat untuk mencegah dan mengurangi terjadinya penularan baik langsung maupun tidak langsung. Karantina : Pembatasan kegiatan penderita, dicurigai penderita atau orang yang telah kontak dengan penderita selama masa penularan. SWOT : Strength Weakness Opportunity Threat (Analisa berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang dan Ancaman) WHA : World Health Assembly WHD : World Hepatitis Day (Hari Hepatitis Sedunia, diperingati setiap tanggal 28 Juli). 81 DAFTAR PUSTAKA http://www.who.int/mediacentre/factasheets/fs328/en/index.html. Hepatitis A. Wurie,IM, Wurie, AT, Gevao,SM. Sero-prevalence of Hepatitis B virus among middle to high-socio economic antenatal population in Sierra Leone. WAJM Vol 24 No.1, January – March, 2005. Yoshida T et all. Epidemiological Investigation and Analysis of Hepatitis A Virus Genomes in the Three Cases of Hepatitis of Hepatitis A Infections That Occured in April-May 2010. Jpn.J.Infect. Dis., 64, 2011. Umid M. Sharapov US-CDC, http://wwwnc.cdc.gov/travel/ yellowbook/ 2012/chapter-3-infectious-disease-related-to travel/ Hepatitis-a.htm. Hepatitis A. Goldstein GS, The Influence of Socioeconomic Factors On The Distribution of Hepatitis In Syracuse N.Y.: Vol.49, No.4, A.J.P.H. Hepatitis A, Fact sheet No 328, May 2008. Chin J, Kandun IN, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Ed 17 tahun 2000. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2004, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB). Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2004, Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1479/MENKES/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular Dan Penyakit Tidak Menular Terpadu.
  • 11. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang di dunia, termasuk di Indonesia. VHB telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia dan sekitar 240 juta merupakan pengidap virus Hepatitis B kronis, penderita Hepatitis C di dunia diperkirakan 170 juta orang dan sekitar 1.500.000 penduduk dunia meninggal setiap tahunnya disebabkan oleh infeksi VHB dan VHC. Indonesia merupakan negara dengan pengidap Hepatitis B nomor 2 terbesar sesudah Myanmar diantara negara-negara anggota WHO SEAR (South East Asian Region). Sekitar 23 juta penduduk Indonesia telah terinfeksi Hepatitis B dan 2 juta orang terinfeksi Hepatitis C. Penyakit Hepatitis A sering muncul dalam bentuk KLB seperti yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Menurut hasil Riskesdas tahun 2007, hasil pemeriksaan Biomedis dari 10.391 sampel serum yang diperiksa, prevalensi HBsAg positif 9.4% yang berarti bahwa diantara 10 penduduk di Indonesia terdapat seorang penderita Hepatitis B virus. Pada tanggal 20 Mei 2010 World Health Assembly (WHA) dalam sidangnya yang ke 63 di Geneva telah menyetujui untuk mengadopsi Resolusi WHA 63.18 tentang Hepatitis Virus, yang menyerukan semua negara anggota WHO untuk melaksanakan pencegahan dan penanggulangan hepatitis virus secara komprehensif. Sebagai pemrakarsa resolusi ini adalah tiga negara anggota WHO, yaitu Indonesia, Brazil dan Columbia. Dalam resolusi ini, ditetapkan tanggal 28 Juli menjadi Hari Hepatitis Sedunia atau World Hepatitis Day. Peringatan hari Hepatitis Sedunia bermaksud untuk meningkatkan kepedulian pemerintah, masyarakat dan semua pihak terhadap pengendalian penyakit Hepatitis. Dalam resolusi tersebut, WHO akan menyediakan bantuan bagi negara berkembang dalam 80
  • 12. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 2 pengembangan strategi nasional, program surveilans yang efektif, pengembangan vaksin dan pengobatan yang efektif. Memperhatikan pentingnya isu ini dan telah diterimanya resolusi Hepatitis virus oleh WHO, dalam pertemuan WHA ke 63 tersebut di atas, maka diperlukan kerjasama internasional yang erat diantara negara-negara di dunia dalam upaya menanggulangi Hepatitis virus. Indonesia bersama Brazil merupakan sponsor utama yang berjuang untuk melahirkan resolusi WHO tersebut sehingga peranan yang penting tersebut dapat dipakai sebagai landasan yang kokoh bagi terwujudnya Pengembangan Program Pengendalian Hepatitis di Indonesia. Sebagai salah satu Negara yang menjadi sponsor utama dalam resolusi WHO mengenai Hepatitis, maka Kementerian Kesehatan perlu mengembangkan Program Pengendalian Hepatitis di Indonesia. Sebagai langkah awal, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL), menyusun buku Pedoman Pengendalian Penyakit Hepatitis yang merupakan panduan bagi petugas kesehatan baik di pusat maupun daerah untuk pengembangan Program Pengendalian Penyakit Hepatitis. B. TUJUAN 1. Umum Tersusunnya pedoman pengendalian Hepatitis virus dan terselenggaranya kegiatan pengendalian Hepatitis dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat Hepatitis di Indonesia. 2. Khusus a. Tersedianya panduan bagi penentu kebijakan dalam pelaksanaan dan pengembangan program pengendalian Hepatitis virus di Indonesia. b. Tersedianya panduan dalam pelaksanaan deteksi dini Hepatitis di fasilitas kesehatan. 79
  • 13. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 3 c. Tersedianya panduan dalam meningkatkan pengetahuan petugas dan masyarakat dalam pengendalian Hepatitis virus. d. Tersedianya panduan dalam pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit Hepatitis virus dan upaya pengendaliannya. e. Tersedianya panduan untuk sistem pencatatan, pelaporan, monitoring dan evaluasi program pengendalian Hepatitis virus. f. Tersedianya panduan dalam pengadaan logistik untuk pengendalian Hepatitis virus. g. Terbentuknya jejaring kerja dalam pengendalian Hepatitis virus. C. SASARAN Sasaran buku pedoman ini adalah pemangku kebijakan dan petugas kesehatan di setiap jenjang pelayanan kesehatan sesuai dengan peran dan fungsinya. D. DASAR HUKUM Pelaksanaan Program Pengendalian Penyakit Hepatitis dilakukan atas dasar beberapa landasan hukum antara lain : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984, tentang Wabah penyakit menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 No. 20 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273). 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteraan (Lembaran Negara Republik 78
  • 14. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 4 Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431). 5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 144 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063). 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009, tentang Rumah Sakit. 7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009, tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. 8. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991, tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447). 9. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637). 10. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8781). 11. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun Tahun 2010-2014. 12. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/MENKES/PER/ IX/ 2010, tentang Standar Pelayanan Kedokteran. 13. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501/MENKES/ PER/X/2010, tentang Jenis Penyakit Menular tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan. 14. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/MENKES/ SK/ X/2003, tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. 77
  • 15. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 5 15. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/MENKES/ SK/ VIII/2003, tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan. 16. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1479/MENKES/ SK/ X/2003, tentang Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular. 17. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 949/MENKES/ SK/ VIII/2004, tentang Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa. 18. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2410/MENKES/SK/XII/2011, tentang Komite Ahli Hepatitis, Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan. 19. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1144/MENKES/ PER/VIII/2010, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan RI. 20. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 021/MENKES/SK/I/ 2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. E. Kebijakan Kebijakan Program Pengendalian Penyakit Hepatitis virus adalah sebagai berikut: 1. Pengendalian Hepatitis berdasarkan pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah (local area specific). 2. Pengendalian Hepatitis dilaksanakan melalui pengembangan kemitraan dan jejaring kerja secara multi disiplin, lintas program dan lintas sektor. 3. Pengendalian Hepatitis dilaksanakan secara terpadu baik untuk pencegahan primer (termasuk didalamnya imunisasi), sekunder, dan tersier. 4. Pengendalian Hepatitis dikelola secara profesional, berkualitas, merata dan terjangkau oleh masyarakat melalui penguatan seluruh sumber daya. 76
  • 16. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 6 5. Penguatan sistem surveilans Hepatitis sebagai bahan informasi bagi pengambilan kebijakan dan pelaksana program. 6. Pelaksanaan kegiatan pengendalian Hepatitis harus dilakukan secara efektif dan efisien melalui pengawasan yang terus ditingkatkan intensitas dan kualitasnya dengan pemantapan sistem dan prosedur, bimbingan dan evaluasi. F. STRATEGI 1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat (PHBS) sehingga terhindar dari penyakit Hepatitis. 2. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi dan peran serta masyarakat untuk penyebar luasan informasi kepada masyarakat tentang pengendalian Hepatitis. 3. Mengembangkan kegiatan deteksi dini yang efektif dan efisien terutama bagi masyarakat yang berisiko. 4. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas melalui peningkatan sumber daya manusia dan penguatan institusi, serta standarisasi pelayanan. 5. Meningkatkan surveilans epidemiologi Hepatitis di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan. 6. Mengembangkan jejaring kemitraan secara multi disiplin lintas program dan lintas sektor di semua jenjang baik pemerintah maupun swasta. G. KEGIATAN 1. Advokasi dan sosialisasi kepada pemangku kepentingan. 2. Sosialisasi dan edukasi tentang pengendalian Hepatitis kepada petugas kesehatan terkait. 3. Promosi kesehatan kepada masyarakat melalui media komunikasi baik cetak maupun elektronik. 75
  • 17. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 7 4. Upaya pencegahan yang melibatkan lintas program, lintas sektor dan masyarakat. 5. Penyusunan dan pengembangan pedoman teknis pengendalian Hepatitis virus. 6. Deteksi dini dan tatalaksana kasus sesuai standar. 7. Surveilans epidemiologi dan bantuan teknis dalam penanggulangan KLB Hepatitis. 8. Pengelolaan logistik sebagai sarana penunjang program. 9. Pemantauan dan evaluasi secara berkala dan berkesinambungan. 10. Pengembangan program berbasis riset baik riset operasional maupun riset klinis sebagai acuan kebijakan pengendalian Hepatitis Virus secara komprehensif. 74
  • 18. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 8 73 KONTRIBUTOR A. TIM PENYUNTING 1. Prof.dr.David Handojo Muljono, Ph. D, SpPD 2. dr. Nyoman Kandun, MPH 3. Dr. dr.Rino A. Gani, SpPD – KGEH 4. dr. Irsan Hasan, SpPD – KGEH 5. Dr. dr.Hanifah Oswari SpA (K) B. TIM PENYUSUN 1. Prof.dr.David Handojo Muljono, Ph. D, SpPD 2. dr. Nyoman Kandun, MPH 3. Prof.dr. Ali Sulaiman, SpPD – KGEH 4. Dr. dr.Rino A. Gani, SpPD – KGEH 5. Dr. dr.Hanifah Oswari SpA (K) 6. dr. Irsan Hasan, SpPD – KGEH 7. drg. Rini Noviani 8. dr. Yullita Evarini Yuzwar, MARS 9. dr. Armaji Kamaludin Syarif 10. dr. Rini Rohaeni 11. Dr.dr. Julitasari Sundoro, MSc-PH 12. dr. Rossa Avrina 13. dr. Sukmawati Dunuyaali 14. dr. Ignatius Bima Prasetya 15. dr. Anandhara Indriani 16. dr. Karnely Herlena, M.Epid 17. Agus Handito, SKM, M.Epid 18. Arman Zubair, S.Sos 19. Muhamad Purwanto, SKM 20. dr. Marolop Binsar Silaen C. ORGANISASI PROFESI 1. PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) 2. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)
  • 19. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 9 BAB II ANALISIS SITUASI Dalam rangka melaksanakan pengendalian Hepatitis di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu perhatikan, antara lain kondisi penyakit Hepatitis di masyarakat saat ini (epidemiologi, etiologi, kondisi lingkungan di daerah endemis, perilaku masyarakat terhadap faktor risiko penyakit dll), peraturan-peraturan yang terkait, sosial ekonomi, pengetahuan para pemangku kepentingan dan masyarakat tentang Hepatitis, sumber daya yang tersedia, sehingga dari kondisi yang ada dapat dikelompokkan setiap unsur dalam bagian-bagian menurut analisis SWOT. Setiap keadaan yang ada saat ini dikelompokkan dalam bagan termasuk dalam Peluang, Kekuatan, Kelemahan atau Ancaman. Analisis SWOT diperlukan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi suatu Kebijakan yang akan ditetapkan dalam Pengendalian Hepatitis di Indonesia. A. BEBAN PENYAKIT Hepatitis A, WHO memperkirakan di dunia setiap tahunnya ada sekitar 1,4 juta penderita Hepatitis A. Di Amerika insidens Hepatitis A adalah 1 per 100.000 penduduk, dengan estimasi 21.000 orang (Tahun 2009). Di Eropa insidens Hepatitis A adalah 3,9 per 100.000 penduduk (Publikasi tahun 2008). Di Indonesia, Hepatitis A sering muncul dalam Kejadian Luar Indonesia (KLB). Tahun 2010 tercatat 6 KLB dengan jumlah penderita 279, jumlah kematian 0, CFR 0 sedangkan tahun 2011 tercatat 9 KLB, jumlah penderita 550, jumlah kematian 0, CFR 0. Tahun 2012 sampai bulan Juni, telah terjadi 4 KLB dengan jumlah penderita 204, jumlah kematian 0, CFR 0. Data lain menunjukkan pada tahun 1998, di Kabupaten Bogor, Jawa Barat telah terjadi KLB Hepatitis A dengan jumlah kasus 74 orang (AR = 1,4%) dan golongan umur terbanyak 19-25 tahun (AR = 3,4%), di Provinsi Jawa Timur yatu di Kabupaten Bondowoso (Kecamatan Sukosari) dan Kabupaten Malang (Kecamatan Wonosari) di 7 desa dengan jumlah kasus 998, tahun 2004 di 72 dalam sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat untuk peduli dan ikut berperan aktif dalam mensukseskan upaya-upaya pengendalian Hepatitis. H. AKADEMISI/PERGURUAN TINGGI Akademisi/perguruan tinggi diharapkan dapat mendukung upaya pengendalian Hepatitis dengan melakukan penelitian, seminar ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan petugas dan masyarakat sehingga dapat berperan aktif dalam pengendalian Hepatitis.
  • 20. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 10 Kecamatan Tegal Ampel, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 47 kasus. Tahun 2006 di Kecamatan Pakem, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 65 kasus. (Surveilans Prop Jawa Timur). Tahun 2008 di Provinsi DIY tercatat 1.160 kasus dengan hasil pemeriksaan anti-HAV positif yaitu di Kodya Yogyakarta 287 kasus, Kabupaten Bantul 48 kasus, Kulon Progo 6 kasus, Gunung Kidul 11 kasus dan Sleman 808 kasus serta KLB di Pulau Panggang dengan 57 kasus. Tahun 2009 di Kabupaten Ngawi dengan 146 kasus. Hepatitis B prevalensi pengidap Hepatitis B tertinggi ada di Afrika dan Asia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan bahwa Hepatitis klinis terdeteksi di seluruh propinsi di Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang: 0,2%-1,9%). Hasil Riskesdas Biomedis tahun 2007 dengan jumlah sampel 10.391 menunjukkan bahwa persentase HBsAg positif 9,4%. Persentase Hepatitis B tertinggi pada kelompok umur 45- 49 tahun (11,92%), umur >60 tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun (10,02%). HBsAg positif pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir sama (9,7% dan 9,3%). Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk Indonesia telah terinfeksi virus Hepatitis B. Dari data yang telah terkumpul, angka prevalensi HBsAg pada donor darah di Indonesia tahun 1981 dengan metode pemeriksaan RPHA (Reverse Passive Haemaglutination) menunjukkan rata-rata 5,2% (rentangan 2,4-9,1%), dan tahun 1993 dengan metode pemeriksaan ELISA rata-rata 9,4%, rentangan 2,5 -36,1% (Sulaiman et al., 1998). Angka penularan secara vertikal dari ibu pengidap Hepatitis B kepada bayinya cukup tinggi. Berdasarkan penelitian beberapa rumah sakit di Indonesia, prevalensi HBsAg pada ibu hamil berkisar 2,1—5,2% (Soewignyo, 1992). Data di RSUP Sanglah, Denpasar menunjukkan bahwa dari hasil uji survei 3.943 ibu hamil didapatkan hasil 80 ibu hamil dengan HBsAg positif, prevalensi HBsAg 2,03% dan HBeAg positif 50 %. Hasil pemeriksaan HBsAg tali pusat positif 12 % dari ibu hamil pengidap Hepatitis B (Surya, 1995). Peneliti lain melaporkan bahwa hasil uji saring pada 1.800 wanita hamil di Indonesia 71 Dalam hal pengendalian Hepatitis Puskesmas melakukan:  Promotif, dengan penyuluhan termasuk pemberdayaan masyarakat dalam kegiatannya.  Preventif, dengan melakukan vaksinasi yaitu program imunisasi Hepatitis B pada bayi.  Rawat jalan dan rujukan  Pelaporan 2. Rumah Sakit Rumah sakit merupakan unit pelayanan rujukan dengan sarana pelayanan laboratorium yang dapat mendeteksi dini Hepatitis, baik rujukan maupun langsung. Rumah sakit di Provinsi diharapkan dapat melayani diagnosa, pengobatan dan rehabilitatif atau pelayanan suportif bagi penderita Hepatitis. 3. Klinik dan Praktek Swasta Secara umum konsep pelayanan di klinik hampir sama dengan pelaksanaan di Puskesmas. Dalam hal tertentu, klinik dapat merujuk penderita dan spesimen ke Puskesmas atau rumah sakit terdekat yang mempunyai fasilitas memadai. F. ORGANISASI PROFESI Organisasi profesi terkait diharapkan ikut berperan dalam seluruh proses pengendalian Hepatitis. Mulai dari pengendalian faktor risiko, peningkatan surveilans epidemiologi, penemuan dan tatalaksana penderita, peningkatan imunisasi dan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), terutama hasil kajian/penelitian yang dapat diaplikasikan untuk mendukung pengendalian penyakit Hepatitis. G. LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DAN ORGANISASI MASYARAKAT PEDULI PENYAKIT HEPATITIS LSM dan organisasi kemasyarakatan diharapkan terlibat dalam kegiatan yang terkait dengan pengendalian Hepatitis, terutama
  • 21. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 11 ditemukan 61 ibu hamil (3,4%) dengan HBsAg positif (Suparyatmo). Hepatitis C, berdasarkan hasil Surveilans Hepatitis C oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan pada tahun 2010-2011 yang dilaksanakan di 21 propinsi, 53 rumah sakit, 49 laboratorium dan 26 Unit Transfusi Darah (UTD) PMI, dengan jumlah 1.825.823 sampel, kasus positif 29.480 orang, jumlah kasus terbanyak didapatkan pada golongan umur 20-40 tahun sebanyak 58,5% sedangkan proporsi menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa pada kelompok laki-laki 83% dan 17% pada perempuan. Prevalensi anti-VHC pada beberapa donor di Indonesia berkisar 0,5-3,4%. Prevalensi Anti-VHC pada virus Hepatitis Akut 9,5-20%, prevalensi Anti-VHC pada sirosis hati berkisar 30,8-89,2 persen. Data ko-infeksi diperoleh dari beberapa penelitian, Rino S Gani (FK-UI, RSCM) penderita dengan HIV (IVDU), ko infeksi 80%, penderita ko infeksi dengan Hepatitis B berkisar 10-19%, Suryanto Sidik (RS Mintoharjo) pada penderita denga HIV, 31,6% ko infeksi dengan VHC. Hepatitis D, dapat terjadi dalam bentuk superinfeksi dari pengidap kronik virus Hepatitis B atau simultan dengan infeksi virus Hepatitis B (ko-infeksi). Pada suatu penelitian selama 10 tahun oleh Smedie et all, ternyata Hepatitis B dengan Hepatitis D prognosanya menjadi lebih buruk. Data di Indonesia, dari 72 carier Hepatitis dari donor darah dan diuji dengan RIA method didapatkan hasil anti-VHD positif pada dua orang (2,7%). Hepatitis D erat hubungan dengan infeksi VHB, maka secara langsung setiap usaha pencegahan terhadap Hepatitis B, mencegah terhadap Hepatitis D juga. Hepatitis E, pada tahun 1987 di Indonesia pernah dilaporkan terjadinya KLB tersangka Hepatitis E di desa Sayan, Tanah Pinoh dan Sokan, Kabupaten Sintang, Propinsi Kalimantan Barat dengan jumlah kasus 2.500 orang. Pada saat investigasi selama 9 hari ditemukan kasus Hepatitis yang terdiri atas 44 penderita laki-laki berusia 3-50 tahun dan 38 penderita perempuan berusia 70 C. PROVINSI Dinas Kesehatan Propinsi bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengendalian Hepatitis di tingkat propinsi: 1. Melakukan diseminasi informasi kepada pihak dan instansi terkait di tingkat propinsi. 2. Membangun jejaring kerja Hepatitis baik lintas program maupun lintas sektor di tingkat propinsi. 3. Memantau pengelolaan stok logistik Hepatitis untuk tingkat kabupaten/kota. 4. Melakukan pemantauan terhadap pengendalian Hepatitis di tingkat kabupaten/kota. 5. Melakukan rekapitulasi pencatatan dan pelaporan Hepatitis di tingkat propinsi. 6. Memberikan umpan balik hasil kegiatan. D. KABUPATEN/KOTA 1. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah pelaksana upaya pengendalian Hepatitis di tingkat kabupaten/kota. 2. Melakukan pembinaan pada unit pelayanan kesehatan dalam upaya peningkatan kinerja pelaksanaan pengendalian Hepatitis 3. Penyediaan, penyimpanan serta pendistribusian logistik Hepatitis. E. UNIT PELAYANAN KESEHATAN Dilaksanakan oleh puskesmas, rumah sakit, klinik, laboratorium dan praktek swasta. 1. Puskesmas Puskesmas sebagai unit pelaksana pelayanan kesehatan primer mempunyai fungsi promotif, preventif, dan kuratif.
  • 22. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 12 1 The ABC of Hepatitis www.cdc.gov/Hepatitis 6-70 tahun. Pada tahun 1991, KLB Hepatitis E kembali terjadi di kecamatan Kayan Hilir yang menyerang 10 desa dengan jumlah kasus 1.262 orang dan kematian 12 orang. Data lain adalah hasil penelitian pada kasus Hepatitis akut dari penderita rawat inap di rumah sakit, dari 64 kasus ternyata 16 kasus positif VHE (25%), (Sulaiman, 1993). Data lain yang diperoleh dari KLB yang terjadi di Kabupaten Bawen, Jawa Timur 1992, 2 kasus positif VHE dari 34 sample darah (Sub.Dit Surveilans, 1993). Laporan dari peneliti lain, 83 sampel darah Hepatitis akut dari beberapa rumah sakit di Jakarta yang diperiksa ditemukan anti VHE positif pada 4 kasus (Legowo D, 1994). Bulan Januari 1998 dilaporkan terjadi KLB Hepatitis di Kabupaten Bogor dengan jumlah kasus 74 (Attack Rate 1,4%) dan golongan umur terbanyak 19-25 tahun (AR= 3,4%) dan kebanyakan dari kasus adalah mahasiswa IPB, dari gejala klinis yang dilaporkan mengarah ke Hepatitis E (Surveilans Kabupaten Bogor, 1998). B. KONDISI LINGKUNGAN Diantara beberapa jenis penyakit Hepatitis, Hepatitis A dan Hepatitis E mempunyai mekanisme penularan oro-fecal (ditularkan melalui makanan dan/atau minuman yang sudah terkontaminasi tinja (faeces) yang mengandung virus Hepatitis A maupun E). Hal ini sangat berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tidak baik, seperti kurangnya penyediaan air bersih, pembuangan air limbah dan sampah yang tidak saniter, kebersihan perorangan dan sanitasi yang buruk. C. PERILAKU BERISIKO1 Risiko tinggi terhadap Hepatitis A dan Hepatitis E, terdapat pada :  Orang yang mengunjungi atau tinggal di negara endemis Hepatitis A dan Hepatitis E.  Tinggal di daerah dengan kondisi lingkungan yang buruk (penyediaan air minum dan air bersih, pembuangan air 69 BAB VIII PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGENDALIAN HEPATITIS A. PUSAT 1. Membuat pedoman dan rumusan kebijakan teknis pelaksanaan pengendalian Hepatitis secara berjenjang dari Pusat, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas. 2. Penyediaan stock dan pendistribusian logistik Hepatitis pada wilayah yang membutuhkan. 3. Melakukan diseminasi informasi bagi pihak dan instansi terkait di tingkat pusat dan daerah. 4. Membangun jejaring kerja dengan lintas program dan lintas sektor baik di pusat maupun daerah. 5. Melakukan kajian pengendalian Hepatitis dari kegiatan yang telah ada baik di dalam maupun diluar negeri. 6. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan pengendalian Hepatitis. 7. Memberikan umpan balik hasil pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan pada daerah uji coba dan replikasi. B. UPT PUSAT (BBTKL, BTKL, KKP) 1. Sebagai pelaksana teknis pengendalian Hepatitis tingkat pusat di daerah. 2. Berkoordinasi dengan Subdit Diare & ISP dalam upaya pengendalian Hepatitis 3. Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Propinsi dan kabupaten/kota dalam upaya pengendalian Hepatitis di daerah.
  • 23. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 13 limbah, pengelolaan sampah, pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat).  Personal hygiene yang rendah antara lain: penerapan PHBS masih kurang, cara mengolah makanan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Risiko tinggi terhadap Hepatitis B, terdapat pada:  Anak yang dilahirkan dari ibu penderita Hepatitis B.  Pasangan Penderita Hepatitis B.  Orang yang sering berganti pasangan sex.  MSM (Man Sex Man).  IDUs (Injection Drug User).  Kontak serumah dengan penderita.  Penderita hemodialisis.  Pekerja kesehatan, petugas laboratorium.  Berkunjung ke wilayah dengan endemisitas tinggi. Risiko tinggi terhadap Hepatitis C terdapat pada :  Pengguna jarum suntik tidak steril (tato, tindik).  Pengguna obat obatan terlarang dengan cara injeksi.  Pekerja yang berhubungan dengan darah dan produk darah penderita VHC.  Penderita HIV.  Bayi yang lahir dari ibu penderita VHC. Risiko tinggi terhadap Hepatitis D terdapat pada :  Orang yang kontak langsung dengan darah penderita Hepatitis D. D. SOSIAL EKONOMI Daerah dengan tingkat sosial ekonomi penduduk yang rendah, mempunyai sanitasi lingkungan yang rendah pula. Pola penularan Hepatitis A dan Hepatitis E yang melalui oro-fecal sangat dipengaruhi kualitas sanitasi lingkungan setempat, 68
  • 24. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 2 Sulaiman, Ali 3 Sulaiman, Ali 14 sehingga penduduk yang tinggal di daerah endemis dan atau daerah dengan kualitas sanitasi yang rendah akan mempunyai risiko lebih besar untuk menderita Hepatitis A maupun Hepatitis E. Studi yang dilakukan oleh FKUI2 di Jakarta menunjukkan bahwa tingkat sosial ekonomi rendah merupakan salah satu faktor risiko Hepatitis B dan Hepatitis C, yang ditandai dengan hasil pemeriksaan HBsAg (+) (OR 18.09; 95% CI 2.35- 139.50). Hal lain yang dapat diketahui adalah bahwa penduduk kelompok ras chinese mempunyai risiko 2.97 lebih tinggi untuk terinfeksi VHB dibandingkan dengan kelompok ras melayu (OR 2,97 ; 95% CI 1,22-7,83). Dari suatu studi yang dilakukan di Korea3 dapat diketahui bahwa pada kelompok masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi menengah dan atas mempunyai kecenderungan obesitas karena pola makan yang salah. Obesitas memberikan kontribusi yang nyata pada perkembangan penyakit kronis (salah satunya Hepatitis B dan Hepatitis C) menjadi liver cirrhosis. E. LANDASAN HUKUM Landasan hukum yang mendasari kegiatan dalam pengendalian Hepatitis ini lihat Bab I point D. F. ANALISIS S-W-O-T (STRENGTH-WEAKNESS-OPPORTUNITY- THREAT) Dalam rangka melaksanakan Pengendalian Hepatitis di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah, kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threat), tentang kemungkinan terlaksananya Program Pengendalian Hepatitis ini. 1. Kekuatan a. Peraturan perundang-undangan yang mendukung dan mendasari terlaksananya program Pengendalian Hepatitis. 67 2. Daerah Untuk pengadaan logistik dapat menggunakan dana dari APBD, atau dana alokasi khusus (DAK) serta dana tugas perbantuan (TP).
  • 25. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 15 b. Tersedianya sumber daya manusia kesehatan pada semua jenjang dari pusat sampai daerah. c. Dukungan organisasi profesi, organisasi international, dan organisasi masyarakat. 2. Kelemahan a. Sistem surveilans Hepatitis belum berjalan baik. b. Kualitas Sumber Daya Manusia masih kurang. c. Sarana dan prasarana laboratorium di Pusat Kesehatan Masyarakat untuk penegakkan diagnosis masih sangat kurang. 3. Peluang a. Adanya program pencegahan yang sudah berjalan yaitu Program Imunisasi (Program Imunisasi Hepatitis B Nasional) dan Promosi Kesehatan. b. Program pengendalian faktor risiko penyakit (Penyehatan Lingkungan). c. Program Surveilans Terpadu Penyakit (STP) di Puskesmas dan Rumah Sakit. 4. Ancaman a. Adanya perubahan iklim secara global yang mempengaruhi agent, seperti terjadinya mutasi dari jenis virus tertentu. b. Kualitas kesehatan lingkungan yang tidak merata (ada yang sudah baik tetapi masih banyak yang masih rendah). c. Pengetahuan masyarakat tentang Hepatitis masih kurang d. Perilaku berisiko masih banyak dilakukan oleh masyarakat. Situasi tersebut di atas juga mengacu pada hal-hal antara lain : 1. Hepatitis akut dan kronis tidak terlaporkan pada sistem surveilans penyakit menular sehingga tidak diketahui beban yang sesungguhnya 2. Banyak orang secara individu tidak mengetahui bahwa dirinya termasuk dalam risiko tinggi dan bagaimanana mencegah terinfeksi 66  Lamivudine,  Adefovir,  Entecavir,  Telbivudine,  Tenofovir. Sedangkan obat non NA yang diberikan secara parenteral Interferon alfa-2b yang sudah diganti oleh Peginterferon alfa-2a, c. Hepatitis C Pegylated interveron + Ribavirin Interferon konvensional + Ribavirin 3. Media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)  Poster  Leaflet  Benner  Lembar balik  TV/radio Sport  Kaos  Topi  Buku Saku  Kipas  Payung  dll B. PENGANGGARAN 1. Pusat a. APBN b. Dekonsentrasi c. BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) d. BLN (Bantuan Luar Negeri)
  • 26. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 16 3. Kelompok risiko tinggi belum mempunyai akses untuk pelayanan pencegahan penyakit 4. Banyak orang yang telah terinfeksi dan kronis tetapi tidak mengetahui bahwa dirinya telah terinfeksi 5. Banyak orang yang telah terinfeksi kronis, tidak menyadari bahwa mereka membutuhkan perubahan perilaku (gaya hidup) untuk menghindari komplikasi 6. Banyak petugas kesehatan tidak melakukan skrining pada orang-orang yang memiliki risiko tinggi atau mereka tidak/ belum tahu bagaimana penatalaksanaan orang yang terinfeksi. 7. Banyak orang yang telah terinfeksi tidak memiliki akses untuk memiliki tes, dukungan sosial (asuransi) dan pelayanan perawatan apabila tes menunjukkan yang bersangkutan terinfeksi. G. HASIL ANALISIS S-W-O-T Diperlukan : 1. Adanya suatu petunjuk teknis yang mendukung upaya perbaikan pada sistem surveilans Hepatitis yang dibutuhkan. 2. Adanya sosialisasi, advokasi pada pemangku kepentingan baik tingkat pusat maupun daerah. 3. Adanya peningkatan KIE pada masyarakat tentang Hepatitis dan faktor risikonya. 4. Adanya pelatihan program pengendalian Hepatitis baik bagi petugas di tingkat pusat maupun di daerah. 5. Adanya suatu petunjuk teknis yang mendukung upaya tersedianya sarana dan prasarana laboratorium untuk penegakan diagnosa Hepatitis di Pusat Kesehatan Masyarakat atau Laboratorium pendukung Puskesmas. 6. Meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan dengan upaya perbaikan kualitas air minum, air bersih, pembuangan tinja, 65 Pemeriksaan HBV DNA dilakukan dengan metode PCR. - LFT (SGPT) : test untuk mengetahui fungsi hati Pemeriksaan SGPT menggunakan Blood Analyzer.  Bahan dan alat yang digunakan unuk pemeriksaan: tabung reaksi/vacuntainer, kapas, alkohol, sarung tangan, jarum suntik sekali pakai, torniquet karet, masker, pipet berskala/mikropipet, tip mikropipet, sentrifuse/rotator, cryotube, kit ELISA (HBsAg, anti HBs, Anti HBc), Aquabidest, Gelas Ukur, ELISA reader dan/ELISA washer, mesin PCR, primer, Kit PCR,Elektroforesis. c. Hepatitis C Untuk penegakkan diagnosa diperlukan :  Test antibodi HCV Pemeriksaan dilakukan dengan metode ELISA  Test RNA HCV Pemeriksaan dilakukan dengan metode PCR  Bahan dan alat yang digunakan unuk pemeriksaan: tabung reaksi/ vacuntainer, kapas, alkohol, sarung tangan, jarum suntik sekali pakai, torniquet karet, masker, pipet berskala/mikropipet, tip mikropipet, sentrifuse/rotator, cryotube, kit ELISA (HBsAg, anti HBs, Anti HBc), Aquabidest, Gelas Ukur, ELISA reader dan/ELISA washer, mesin PCR, primer, Kit PCR,Elektroforesis. 2. Penyediaan Obat a. Hepatitis A Tidak ada obat khusus untuk Hepatitis A b. Hepatitis B Pada saat ini terdapat 5 macam obat untuk Hepatitis kronik yang telah disetujui oleh FDA yang termasuk dalam Nucleoside Analog (NA)
  • 27. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 17 pembuangan air limbah dan pengelolaan sampah dengan partisipasi masyarakat serta melibatkan lintas sektor terkait. 7. Perlu kegiatan deteksi dini pada Hepatitis yang bersifat kronis (Hepatitis B dan C). 8. Perlu dilakukan kajian-kajian yang bersifat operasional maupun klinis dalam upaya pengendalian Hepatitis. 64 sekali pakai, sentrifuse, box serum, mikropipet/ pipet skala, cryotube, masker, blood chemistry analyzer, ELISA reader, ELISA washer, real time PCR, tip mikropipet, rak tabung reaksi, torniquet karet, rotator. Pemeriksaan penapisan dilakukan dengan metode ELISA.  Bahan dan alat yang digunakan unuk pemeriksaan : tabung reaksi/vacuntainer, kapas, alkohol, sarung tangan, jarum suntik sekali pakai, torniquet karet, masker, pipet berskala/ mikropipet, tip mikropipet, sentrifuse/rotator, cryotube, kit ELISA (HBsAg, anti HBs, Anti HBc), Aquabidest, Gelas Ukur, ELISA reader dan/ELISA washer. 2) Pemeriksaan Lanjutan : Pemeriksaan ini merupakan lanjutan pemeriksaan yang dilaksanakan bagi seseorang dengan HBsAg positif, yaitu : - HBeAg : test untuk menetukan apakah telah terjadi replikasi (memperbanyak diri) virus - Anti HBe: tes untuk mengetahui apakah seseorang telah mempunyai anti bodi - HBV DNA : tes untuk mengetahui jumlah virus Hepatitis B - LFT (ALT) : test untuk mengetahui fungsi hati - Bahan habis pakai : tabung reaksi/ vacuntainer, kapas, alkohol, sarung tangan, jarum suntik sekali pakai, sentrifuse, box serum, mikropipet/pipet skala, cryotube, masker, blood chemistry analyzer, ELISA reader, ELISA washer, real time PCR, tip mikropipet, rak tabung reaksi, torniquet karet, rotator. Pemeriksaan HBeAg, anti Hbe dilakukan dengan metode ELISA. - HBV DNA : tes untuk mengetahui jumlah virus Hepatitis B
  • 28. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 18 63 BAB VII SARANA DALAM PENGENDALIAN HEPATITIS A. PERENCANAAN KEBUTUHAN 1. Reagen/Bahan pemeriksaan untuk penegakan diagnosis: a. Hepatitis A  IgM anti HAV : untuk menentukan diagnosis Hepatitis A. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan Rapid Test Diagnostic (RDT). Pemeriksaan VHA : untuk memeriksa faktor risiko lingkungan terutama air tentang adanya Virus Hepatitis A (VHA).  Bahan dan alat yang digunakan unuk pemeriksaan: Tabung reaksi/vacuntainer, kapas, alkohol, sarung tangan, masker, jarum suntik sekali pakai, torniquet karet, pipet berskala/mikropipet, tip mikropipet, Rapid Test Diagnostic (RDT), Sentrifuse/rotator, botol steril untuk tempat menampung sampel air. b. Hepatitis B 1) Penapisan dengan test HBsAg test, anti HBs dan anti HBc  HBsAg : test untuk menentukan seseorang pernah terinfeksi virus Hepatitis B.  Anti HBs : test untuk menentukan seseorang telah mempunyai kekebalan terhadap Virus Hepatitis B.  Anti HBc : test untuk menentukan seseorang telah mempunyai kekebalan (adanya replikasi inti sel) terhadap Virus Hepatitis B.  Bahan habis pakai : tabung reaksi/vacuntainer, kapas, alkohol, sarung tangan, jarum suntik
  • 29. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 19 BAB III HEPATITIS AKIBAT VIRUS Hepatitis adalah peradangan pada hati yang disebabkan oleh berbagai sebab seperti bakteri, virus, proses autoimun, obat-obatan, perlemakan, alkohol dan zat berbahaya lainnya. Bakteri, virus dan parasit merupakan penyebab infeksi terbanyak, diantara penyebab infeksi tersebut. Infeksi karena virus Hepatitis A, B, C, D atau E merupakan penyebab tertinggi dibanding penyebab lainnya, seperti mononucleosis infeksiosa, demam kuning atau sitomegalovirus. Sedangkan penyebab Hepatitis non virus terutama disebabkan oleh alkohol dan obat-obatan. A. HEPATITIS A 1. Etiologi Penyebab penyakit adalah virus Hepatitis A (VHA), termasuk famili picornaviridae berukuran 27 nanometer, genus hepatovirus yang dikenal sebagai enterovirus 72, mempunyai 1 serotype dan 4 genotype, merupakan RNA virus. Virus Hepatitis A bersifat termostabil, tahan asam dan tahan terhadap empedu. Virus ini diketahui dapat bertahan hidup dalam suhu ruangan selama lebih dari 1 bulan. Pejamu infeksi VHA hanya terbatas pada manusia dan beberapa binatang primata. Virus dapat diperbanyak secara in vitro dalam kultur sel primer monyet kecil atau secara invivo pada simpanse. 2. Cara Penularan Virus Hepatitis A ditularkan secara fecal-oral. Virus ini masuk kedalam saluran pencernaan melalui makanan dan minuman yang tercemar tinja penderita VHA. Virus kemudian masuk ke hati melalui peredaran darah untuk selanjutnya 62 2). Angka prevalensi Hepatitis pada kelompok risiko tertentu. Evaluasi berkala setiap 3 bulan atau 6 bulan sekali baik manajemen maupun klinis dengan mengadakan pertemuan.
  • 30. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 20 menginvasi sel-sel hati (hepatosit), dan melakukan replikasi di hepatosit. Jumlah virus yang tinggi dapat ditemukan dalam tinja penderita sejak 3 hari sebelum muncul gejala hingga 1- 2 minggu setelah munculnya gejala kuning pada penderita. Ekskresi virus melalui tinja pernah dilaporkan mencapai 6 bulan pada bayi dan anak. Sebagian besar kasus kemungkinan tidak menular lagi pada minggu pertama setelah ikterus. Ekskresi kronis pada VHA tidak pernah terlaporkan Infeksi Hepatitis A sering terjadi dalam bentuk Kejadian Luar biasa (KLB) dengan pola common source, umumnya sumber penularan berasal dari air minum yang tercemar, makanan yang tidak dimasak, makanan yang tercemar, dan sanitasi yang buruk. Selain itu, walaupun bukan merupakan cara penularan yang utama, penularan melalui transfusi atau penggunaan jarum suntik bekas penderita dalam masa inkubasi juga pernah dilaporkan. 3. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala awal infeksi virus Hepatitis A sangat bervariasi dan bersifat tidak spesifik. Demam, kelelahan, anoreksia (tidak nafsu makan) dan gangguan pencernaan (mual, muntah, kembung) dapat ditemukan pada awal penyakit. Dalam waktu 1 minggu, beberapa penderita dapat mengalami gejala kuning disertai gatal (ikterus), buang air kecil berwarna seperti teh, dan tinja berwarna pucat. Infeksi pada anak berusia dibawah 5 tahun umumnya tidak memberikan gejala yang jelas dan hanya 10% yang akan memberikan gejala ikterus. Pada anak yang lebih tua dan dewasa, gejala yang muncul biasanya lebih berat dan ikterus terjadi pada lebih dari 70% penderita. 4. Masa Inkubasi Masa inkubasi 15-50 hari, rata-rata 28-30 hari. 61 3. Cara Evaluasi Evaluasi dilakukan dengan cara pengumpulan, pengolahan, analisis data yang berasal dari hasil pemantauan atau laporan rutin yang ada di setiap jenjang administrasi yaitu Dinas Kesehatan Propinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas. Bila dalam evaluasi ditemukan masalah, maka berikan saran pemecahan atau bimbingan kepada pengelola program Hepatitis, agar kegiatan program Pengendalian Hepatitis dapat dilaksanakan sesuai rencana dan memberikan dampak seperti yang diharapkan. a. Analisa Data Rutin. Dari hasil rekapitulasi data rutin di sarana kesehatan, setiap tahun didapatkan: 1). Cakupan penemuan HBsAg positif pada kelompok berisiko yang melakukan deteksi dini. 2). Cakupan skrining pada populasi dengan prevalensi tinggi (HBsAg positif >8 %) dimana telah ditetapkan jumlah/persentase target skrining. 3). Cakupan Pelayanan: a). Jumlah penderita Hepatitis B yang diobati. b). Persentase penderita Hepatitis B yang selesai diobati (succes rate). b. Analisa data hasil Pemantauan/Supervisi Untuk mendapatkan gambaran tentang: 1). Cakupan penemuan kasus Hepatitis. 2). Cakupan Pelayanan. 3). Pengetahuan petugas kesehatan tentang Pengendalian Hepatitis. c. Analisa Hasil Kajian Khusus Untuk mendapatkan gambaran: 1). Angka prevalensi Hepatitis pada kelompok usia >15 tahun.
  • 31. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 21 5. Diagnosis Disamping gejala dan tanda klinis yang kadang tidak muncul, diagnosis Hepatitis A dapat ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan IgM-antiVHA serum penderita. 6. Pencegahan Hepatitis A memang seringkali tidak berbahaya, namun lamanya masa penyembuhan dapat memberikan kerugian ekonomi dan sosial. Penyakit ini juga tidak memiliki pengobatan spesifik yang dapat mengurangi lama penyakit, sehingga dalam penatalaksanaan Hepatitis A, tindakan pencegahan adalah yang paling diutamakan. Pencegahan Hepatitis A dapat dilakukan baik dengan pencegahan non- spesifik (perubahan perilaku) maupun dengan pencegahan spesifik (imunisasi). 6.1. Pencegahan Non-Spesifik Perubahan perilaku untuk mencegah Hepatitis A terutama dilakukan dengan meningkatkan sanitasi. Petugas kesehatan bisa meningkatkan hal ini dengan memberikan edukasi yang sesuai, antara lain: a. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) secara benar pada 5 saat kritis, yaitu: 1. sebelum makan 2. sebelum mengolah dan menghidangkan makanan 3. setelah buang air besar dan air kecil 4. setelah mengganti popok bayi 5. sebelum menyusui bayi b. Pengolahan makanan yang benar, meliputi: 1. Menjaga kebersihan  Mencuci tangan sebelum memasak dan keluar dari toilet  Mencuci alat-alat masak dan alat-alat makan  Dapur harus dijaga agar bersih 60 j. Surveilans Epidemiologi  Laporan Sistem Terpadu Penyakit (STP) yang dilakukan setiap bulan (untuk puskesmas dan Rumah sakit)  SKD KLB, khususnya Hepatitis A dan Hepatitis E (bila ada) k. Promosi Kesehatan Kegiatan Advokasi, Bina suasana, Gerakan pemberdayaan masyarakat dan ketersediaan media KIE. 4. Alat Pemantau Menggunakan formulir isian dan wawancara. 5. Cara pemantauan Pemantauan dilakukan dengan melakukan wawancara dengan petugas dan memantau catatan atau laporan yang ada di setiap jenjang administrasi yaitu Dinas Kesehatan Propinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas. Bila dalam pemantauan ditemukan masalah, maka berikan saran pemecahan atau bimbingan kepada pengelola program Hepatitis, agar kegiatan program Hepatitis dapat dilaksanakan sesuai rencana. B. EVALUASI 1. Pengertian Evaluasi adalah suatu kegiatan penilaian terhadap hasil pelaksanaan program dalam kurun waktu tertentu. 2. Tujuan Mengetahui hasil kegiatan pengendalian penyakit Hepatitis, permasalahan yang ada dan untuk perencanaan kegiatan pada tahun yang akan datang.
  • 32. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 22 2. Memisahkan bahan makanan matang dan mentah  Menggunakan alat yang berbeda untuk keperluan dapur dan untuk makan  Menyimpan bahan makanan matang dan mentah di tempat yang berbeda 3. Memasak makanan sampai matang  Memasak makanan pada suhu minimal 85 0 C, terutama daging, ayam, telur, dan makanan laut  Memanaskan makanan yang sudah matang dengan benar 4. Menyimpan makanan pada suhu aman  Jangan menyimpan makanan pada suhu ruangan terlalu lama  Memasukan makanan yang ingin disimpan ke dalam lemari pendingin  Jangan menyimpan makanan terlalu lama di lemari pendingin 5. Menggunakan air bersih dan bahan makanan yang baik  Memilih bahan makanan yang segar (belum kadaluarsa) dan menggunakan air yang bersih  Mencuci buah dan sayur dengan baik 6. Membuang tinja di jamban yang saniter  Menyediakan air bersih di jamban  Memastikan sistem pendistribusian air dan pengelolaan limbah berjalan dengan baik 6.2. Pencegahan Spesifik (Imunisasi) Pencegahan spesifik Hepatitis A dilakukan dengan imunisasi. Proses ini bisa bersifat pasif maupun aktif. Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan Imunoglobulin. Tindakan ini dapat memberikan perlindungan segera tetapi bersifat sementara. Imunoglobulin diberikan segera setelah kontak atau untuk pencegahan sebelum kontak dengan 1 dosis secara intra-muskular. Efek proteksi dapat dicapai bila Imunoglobulin diberikan dalam waktu 2 minggu setelah terpajan. 59  Jumlah penderita yang mendapat pengobatan lengkap (HBeAg negatif dan HBV DNA <104 dan dilanjutkan selama 1 tahun). f. Upaya pencegahan yang melibatkan lintas program, lintas sektor dan masyarakat. g. Pengelolaan logistik sebagai sarana penunjang program. Ketersediaan logistik Hepatitis meliputi kecukupan akan kebutuhan logistik, pengadaan, penyimpanan dan distribusi. h. Cakupan penemuan kasus dan prevalensi Dalam kegiatan tatalaksana Hepatitis, hal-hal yang akan dipantau adalah:  Penetapan sasaran skrining penderita Hepatitis virus yang dilayani di Puskesmas dan menjalani pengobatan lengkap selama 1 tahun.  Jumlah penderita HBsAg positif yang terjaring. i. Penyelidikan Epidemiologi saat KLB ( khususnya Hepatitis A dan E)  Penegakkan diagnosis KLB  Penanggulangan KLB  Pemutusan rantai penularan,  Menegakkan diagnosis  Mengidentifikasi penyebab KLB  Mengetahui distribusi penderita menurut waktu, orang dan tempat,  Mengidentifikasi sumber dan cara penularan,  Mengidentifikasi populasi rentan  Jumlah penderita Hepatitis virus (Hepatitis A,B dan C)  Jumlah penderita yang dirujuk dengan suspek Hepatitis A  Jumlah penderita yang dirujuk dengan HBsAg positip  Jumlah penderita dengan suspek Hepatitis C  Jumlah penderita yang mendapatkan pengobatan (Hepatitis B dan C)  Jumlah penderita yang perlu dipantau secara berkala.
  • 33. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 23 Imunisasi aktif, memberikan efektifitas yang tinggi pada pencegahan Hepatitis A. Vaksin dibuat dari virus yang diinaktivasi (inactivated vaccine). Vaksin ini relatif aman dan belum ada laporan tentang efek samping dari vaksin kecuali nyeri ditempat suntikan. Vaksin diberikan dalam 2 dosis dengan selang 6 – 12 bulan secara intra-muskular didaerah deltoid atau lateral paha. 7. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar a. Pengobatan: tidak spesifik, utamanya meningkatkan daya tahan tubuh (istirahat dan makan makanan yang bergizi), rawat inap hanya diperlukan bila penderita tidak dapat makan dan minum serta terjadi dehidrasi berat b. Disinfeksi serentak terhadap bekas cairan tubuh dari penderita c. Isolasi tidak diperlukan d. Imunisasi pasif pada orang yang terpajan cairan tubuh penderita e. Pencatatan dan pelaporan sesuai peraturan yang berlaku (STP dan SIRS) B. HEPATITIS B 1. Etiologi Penyebab penyakit adalah virus Hepatitis B (VHB) yang termasuk famili Hepadnavirus dan berukuran sangat kecil (42 nm). Virus Hepatitis B merupakan virus DNA dan sampai saat ini terdapat 8 genotip VHB yang telah teridentifikasi, yaitu genotip A–H. VHB memiliki 3 jenis morfologi dan mampu mengkode 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBeAg, HBcAg, dan HBxAg. Virus Hepatitis B yang menginfeksi manusia bisa juga menginfeksi simpanse. Virus dari Hepadnavirus bisa juga ditemukan pada bebek, marmut dan tupai tanah, namun virus tersebut tidak bisa menginfeksi manusia. 2. Cara Penularan Virus Hepatitis B dapat ditemukan pada cairan tubuh penderita seperti darah dan produk darah, air liur, cairan 58 e. Penanganan kasus sesuai standar Tata laksana khususnya Hepatitis B, memerlukan serangkaian pemeriksaan untuk memutuskan apakah penderita tersebut perlu diobati atau belum/tidak perlu, tetapi cukup dipantau secara berkala. Yang dapat dilaksanakan di tingkat Puskesmas adalah pemeriksaan awal untuk menentukan apakah orang tersebut penderita Hepatitis B dengan melakukan pemeriksaan laboratorium ( HBsAg), dan Puskesmas lebih berperan dalam sistim rujukan. Pemantauan dilakukan untuk mengetahui : 1) Puskesmas  Petugas mampu mendiagnosis Hepatitis klinis dan merujuk  Puskesmas mampu melakukan tes serologi Hepatitis A, B (Puskesmas Sentinel) 2) Rumah Sakit :  Petugas mampu mendiagnosa (Hepatitis A, B,C, D dan E)  Sarana Laboratorium untuk tes serologi Hepatitis A, B, C, D dan E 3) Surveilans epidemiologi Hepatitis. Hepatitis A dan E  Pelaksanaan SKD.  Pencatatan, pelaporan, analisa dan diseminasi data.  Penanggulangan KLB.  Jumlah penderita Hepatitis klinis.  Jumlah penderita dengan IgM VHA positif. Hepatitis B  Jumlah penderita dengan HBsAg positif.  Jumlah penderita HBsAg positif yang dirujuk.  Jumlah penderita HBsAg positif yang mendapat pengobatan maupun yang tidak.  Jumlah penderita yang mendapat pengobatan dan drop out.
  • 34. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 24 serebrospinalis, peritonea, pleural, cairan amniotik, semen, cairan vagina dan cairan tubuh lainnya. Namun tidak semuanya memiliki kadar virus yang infeksius. Secara umum, penularan bisa terjadi secara vertikal maupun horizontal. Untuk saat ini, penularan VHB yang utama diduga berasal dari hubungan intim dan transmisi perinatal. Transmisi horizontal adalah penularan dari satu individu ke individu lainnya. Selain lewat hubungan seksual tidak aman, transmisi horizontal Hepatitis B juga bisa terjadi lewat penggunaan jarum suntik bekas penderita Hepatitis B, transfusi darah yang terkontaminasi virus Hepatitis B, pembuatan tato, penggunaan pisau cukur, sikat gigi, dan gunting kuku bekas penderita Hepatitis B. Sementara itu, berpelukan, berjabatan tangan, atau berciuman dengan penderita Hepatitis B belum terbukti mampu menularkan virus ini. Penularan secara vertikal adalah penularan yang terjadi pada masa perinatal yaitu penularan dari ibu kepada anaknya yang baru lahir, jika seorang ibu hamil karier Hepatitis B dan HBeAg positif maka bayi yang di lahirkan 90% kemungkinan akan terinfeksi dan menjadi karier juga. Kemungkinan 25% dari jumlah tersebut akan meninggal karena Hepatitis kronik atau kanker hati. Transmisi perinatal ini terutama banyak terjadi di negara-negara Timur dan negara berkembang. Infeksi perinatal paling tinggi terjadi selama proses persalinan dan diduga tidak berhubungan dengan proses menyusui 3. Tanda dan gejala Seseorang yang terinfeksi VHB bisa mengalami Hepatitis B akut. Penderita yang mengalami Hepatitis B akut akan mengalami gejala prodromal yang sama dengan Hepatitis akut umumnya, yaitu kelelahan, kurangnya nafsu makan, mual, muntah, dan nyeri sendi. Gejala-gejala prodromal ini akan membaik ketika peradangan hati, yang umumnya ditandai dengan gejala kuning timbul. Walaupun begitu, 70% penderita Hepatitis akut ternyata tidak mengalami kuning. Sebagian dari penderita Hepatitis B akut lalu akan mengalami kesembuhan spontan, sementara sebagian lagi akan berkembang menjadi Hepatitis B kronik. Kemungkinan 57 BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI HEPATITIS VIRUS A. PEMANTAUAN 1. Pengertian Pemantauan adalah kegiatan mengamati atas hasil pelaksanaan kegiatan Pengendalian Hepatitis secara berjenjang dan berkesinambungan (Propinsi, Kabupaten/ Kota dan Puskesmas). 2. Tujuan a. Mengetahui komitmen penentu kebijakan dalam program pengendalian Hepatitis b. Memberikan bimbingan dalam pengelolaan program Hepatitis virus di wilayah kerja masing-masing. c. Memberikan umpan balik atau alternatif pemecahan masalah yang ditemukan pada saat pemantauan. 3. Kegiatan yang dipantau a. Advokasi dan sosialisasi kepada pemangku kepentingan.  Dilakukan secara bertahap  Diutamakan daerah yang memiliki komitmen b. Sosialisasi dan edukasi tentang pengendalian Hepatitis kepada petugas kesehatan terkait.  Peningkatan pengetahuan petugas tentang Hepatitis virus c. Promosi kesehatan kepada masyarakat melalui media komunikasi baik cetak maupun elektronik.  Penyediaan media KIE d. Deteksi dini  Daerah yang telah melakukan kegiatan deteksi dini  Petugas mampu laksana deteksi dini
  • 35. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 25 menjadi Hepatitis B kronik ini menurun seiring bertambahnya usia saat terinfeksi, pada neonatus kemungkinan menjadi kronis mencapai 90% dan pada orang dewasa 5%. Hepatitis kronis umumnya tidak menimbulkan gejala apa-apa. Sekitar 0,1-0,5% penderita dengan Hepatitis akut akan berkembang menjadi Hepatitis fulminan. Penyebab dan faktor risiko Hepatitis fulminan ini sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. 4. Masa Inkubasi Masa inkubasi VHB berkisar antara 30–180 hari dengan rata- rata 60–90 hari. Lama masa inkubasi tergantung banyaknya virus yang ada dalam tubuh penderita, cara penularan dan faktor pejamu. Jumlah virus dan usia merupakan faktor penting yang berhubungan dengan keparahan akut atau kronik Hepatitis B. 5. Diagnosis Sampai saat ini terdapat beberapa indikator laboratoris yang bisa digunakan untuk menilai infeksi Hepatitis B. Pada infeksi akut, antibodi terhadap HBcAg adalah yang paling pertama muncul, diikuti dengan munculnya HBsAg dan HBeAg serum. Bila penderita mengalami kesembuhan spontan setelah Hepatitis B akut, maka akan terjadi serokonversi HBsAg dan HBeAg, yang ditandai kadar kedua penanda tersebut tidak akan dapat terdeteksi lagi di serum sementara anti-HBs dan anti-HBe justru mulai terdeteksi. Sebaliknya, pada Hepatitis B kronik, HBsAg dan HBeAg akan terus terdeteksi di serum penderita. Pada penderita dengan Hepatitis B kronik, DNA VHB sebaiknya diperiksa untuk memantau perjalanan penyakit. Pada beberapa jenis virus mutan, HBeAg bisa tidak terdeteksi di serum walaupun proses peradangan hati masih terjadi dan kadar DNA VHB serum masih tinggi. 6. Pencegahan Seperti pada penyakit infeksi lainnya, pencegahan infeksi Hepatitis B bisa berupa pencegahan non-spesifik maupun pencegahan spesifik. 56 menjadi sirosis atau kanker hati, seringkali tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak mengalami penurunan kemampuan bekerja. Maka penyakit Hepatitis B seharusnya tidak menghambat hak seseorang untuk bekerja atau bersekolah. Sayangnya pada prakteknya seringkali didapatkan diskriminasi terhadap orang yang sudah diketahui memiliki status Hepatitis B (+). Kebanyakan diskriminasi ini disebabkan kurangnya pengetahuan publik mengenai Hepatitis B. Alasan yang umum yang dikemukakan adalah ketakutan akan risiko penularan di tempat kerja dan ketidakmampuan orang yang bersangkutan untuk bekerja dengan normal. Kedua hal ini sebenarnya kurang relevan untuk dijadikan alasan, mengingat infeksi Hepatitis B hanya bisa terjadi melalui kontak cairan tubuh yang jarang sekali terjadi pada hampir segala jenis pekerjaan dan sifat Hepatitis B yang tanpa gejala sampai timbul komplikasi. Walaupun begitu, beberapa penyesuaian juga harus dilakukan pada penderita Hepatitis B. Penderita tidak diperbolehkan bekerja dengan pajanan tinggi benda-benda yang bersifat hepatotoksik (pekerja pabrik cat atau bahan kimia lain). Alasan lain untuk tidak mempekerjakan penderita Hepatitis B adalah masalah asuransi. Untuk masalah ini, keputusan penerimaan akan dibuat kebijakan khusus yang tidak merugikan dan melindungi penderita untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Penderita Hepatitis B juga harus mendapat akses yang seluas- luasnya untuk pendidikan dalam bidang apapun. Untuk menghapus perbedaan perlakuan pada penderita Hepatitis B, beberapa langkah konkret harus segera diambil. Langkah- langkah ini mencakup penyuluhan kepada pihak-pihak pemberi kerja, sekolah, maupun universitas mengenai Hepatitis B, dan koordinasi dengan pembuat-pembuat keputusan untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang melindungi hak-hak penderita Hepatitis B di Indonesia.
  • 36. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 26 6.1. Pencegahan Non-Spesifik Pencegahan non-spesifik infeksi Hepatitis B dapat dilakukan dengan menerapkan pencegahan universal yang baik dan dengan melakukan penapisan pada kelompok risiko tinggi. Prinsip-prinsip kewaspadaan universal, seperti menggunakan sarung tangan ketika bekerja dengan cairan tubuh penderita, penanganan limbah jarum suntik yang benar, sterilisasi alat dengan cara yang benar sebelum melakukan prosedur invasif, dan mencuci tangan sebelum menangani penderita dapat mengurangi risiko penularan, terutama pada tenaga medis, salah satu kelompok yang paling berisiko tertular Hepatitis B. Selain itu, penapisan pada kelompok risiko tinggi (orang yang lahir di daerah dengan endemisitas VHB tinggi, orang dengan pasangan seksual multipel, homoseksual, semua wanita hamil, penderita HIV dan Hepatitis C, pengguna jarum suntik, penderita hemodialisis, penderita dengan terapi imunosupresan, serta orang dengan kadar ALT/AST yang tinggi dan menetap) sebaiknya dilakukan. Penderita yang terbukti menderita Hepatitis B sebaiknya diberi edukasi perubahan perilaku untuk memutus rantai infeksi Hepatitis B. Edukasi yang bisa diberikan mencakup: 1. Perlu dilakukan imunisasi pada pasangan seksual 2. Perlunya penggunaan kondom selama berhubungan seksual dengan pasangan yang belum diimunisasi 3. Tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau cukur 4. Menutup luka yang terbuka agar darah tidak kontak dengan orang lain 5. Tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ, ataupun sperma 6.2. Pencegahan Spesifik (Imunisasi) Bagi orang yang tidak diimunisasi dan terpajan dengan Hepatitis B, pencegahan postexposure berupa kombinasi HBIG (untuk mencapai kadar anti-HBs yang tinggi dalam waktu singkat) dan vaksin Hepatitis B (untuk kekebalan 55 dokter untuk evaluasi lebih lanjut. Penderita juga harus diperiksakan status HBeAg, anti-HBe, DNA VHB, SGOT, dan SGPT-nya untuk menentukan tingkat keparahan penyakit dan saat terapi yang tepat. Pilihan terapi yang bisa digunakan mencakup Interferon, Lamivudin, Adefovir, Telbivudin, Entecavir, atau Tenofovir. Penjelasan mengenai tatalaksana akan diuraikan secara lengkap pada buku Standar Diagnosa dan Terapi. Selain itu, setiap penderita Hepatitis B juga harus mendapat edukasi untuk menjaga kesehatan hatinya dan mencegah penularan ke orang lain. Edukasi diberikan oleh dokter yang merawat penderita dan harus mencakup hal-hal berikut:  Penderita harus menghindari alkohol sama sekali dan mengurangi makanan yang memiliki kemungkinan bersifat hepatotoksik.  Penderita harus berhati-hati dalam mengkonsumsi jamu, suplemen, atau obat yang dijual bebas.  Penderita harus memberitahukan status Hepatitis B-nya apabila berobat ke dokter untuk menghindari pemberian terapi yang bersifat hepatotoksik.  Penderita yang berusia di atas 40 tahun harus menjalani pemeriksaan USG dan AFP setiap 6 bulan sekali untuk deteksi dini kanker hati.  Perlu dilakukan imunisasi pada pasangan seksual.  Perlunya penggunaan kondom selama berhubungan seksual dengan pasangan yang belum diimunisasi.  Penderita tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau cukur.  Perlunya menutup luka yang terbuka agar darah tidak kontak dengan orang lain.  Penderita tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ, ataupun sperma. Terapi secara rinci akan dibahas dalam petunjuk teknis H. ASPEK LEGAL PADA HEPATITIS B Penderita dengan Hepatitis B kronik, sebelum berkembang
  • 37. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 27 jangka panjang dan mengurangi gejala klinis) harus diberikan. Untuk pajanan perinatal (bayi yang lahir dari ibu dengan Hepatitis B), pemberian HBIG single dose, 0,5 mL secara intra muskular di paha harus diberikan segera setelah persalinan dan diikuti 3 dosis vaksin Hepatitis B (imunisasi), dimulai pada usia kurang dari 12 jam setelah persalinan. Pemberian HBIG dan Vaksin Hepatitis B dilakukan pada paha yang berbeda. Untuk mereka yang mengalami inokulasi langsung atau kontak mukosa langsung dengan cairan tubuh penderita Hepatitis B, maka profilaksis yang digunakan adalah HBIG single dose 0,06 mL/kg BB, yang diberikan sesegera mungkin. Penderita lalu harus menerima imunisasi Hepatitis B, dimulai dari minggu pertama setelah pajanan. Bila pajanan yang terjadi adalah kontak seksual, maka pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kg BB harus diberikan sebelum 14 hari setelah pajanan, dan tentu diikuti dengan imunisasi. Pemberian vaksin Hepatitis B dan HBIG bisa dilakukan pada waktu bersamaan, namun di lokasi injeksi yang berbeda. Pencegahan spesifik pre-exposure dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Hepatitis B pada kelompok risiko tinggi. Vaksin Hepatitis B yang tersedia saat ini merupakan vaksin rekombinan HBsAg yang diproduksi dengan bantuan ragi. Vaksin diberikan sebanyak 4 kali dengan cara injeksi intra muskular (di deltoid, bukan gluteus) pada 0, 2,3 dan 4 bulan. (program imunisasi nasional). Indonesia telah memasukkan imunisasi Hepatitis B dalam program imunisasi rutin Nasional pada bayi baru lahir pada tahun 1997. Imunisasi Hepatitis B mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi Hepatitis B selama lebih dari 20 tahun. Keberhasilan imunisasi dinilai dari terdeteksinya anti-HBs di serum penderita setelah pemberian imunisasi Hepatitis B lengkap (3-4 kali). Tingkat keberhasilan imunisasi ditentukan oleh faktor usia penderita, dengan lebih dari 95% penderita mengalami kesuksesan imunisasi pada bayi, anak dan remaja, kurang dari 90% pada usia 40 tahun, dan hanya 65-70% pada usia 60 tahun. Penderita dengan sistem imun yang terganggu juga akan memberikan respons kekebalan 54  Pengetahuan tentang cara memeriksakan diri untuk status Hepatitis B dan kemungkinan terapi serta jaminan yang ada.  Saran untuk tidak mendiskriminasikan orang yang menderita Hepatitis B. Perlu juga dilakukan edukasi bahwa penyakit ini tidak menular lewat penggunaan alat makan bersama, berjabat tangan, berciuman, atau berpelukan dengan penderita Hepatitis B. F. PROFILAKSIS PASCA PAJANAN HEPATITIS B Orang yang tidak memiliki kekebalan terhadap Hepatitis B atau tidak diketahui status imunitasnya dan terpajan cairan tubuh penderita Hepatitis B, baik secara perkutan maupun secara seksual harus mendapatkan profilaksis pasca pajanan secepatnya. Pada kasus pajanan pada cairan tubuh penderita yang tidak diketahui status HBsAg-nya, sebaiknya sumber pajanan diperiksa dahulu status HBsAg-nya. Apabila sumber pajanan tidak mengidap Hepatitis B (HBsAg negatif), maka profilaksis pasca pajanan tidak diperlukan, namun apabila status HBsAg sumber pajanan (+) atau tidak dapat diketahui, maka profilaksis wajib diberikan. Profilaksis yang digunakan adalah HBIG single dose 0,06 mL/kg BB, yang diberikan sesegera mungkin (maksimal 48 jam setelah pajanan). Penderita lalu harus menerima imunisasi Hepatitis B, paling lambat pada minggu pertama setelah pajanan. Bila pajanan yang terjadi adalah kontak seksual, maka pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kg BB harus diberikan sebelum 14 hari setelah pajanan, dan tentu diikuti dengan imunisasi. Pemberian vaksin Hepatitis B dan HBIG bisa dilakukan pada waktu bersamaan, namun di lokasi injeksi yang berbeda. Status HBsAg dan anti-HBs penderita lalu diperiksa kembali 1 bulan setelah pajanan. Apabila orang yang terpajan terbukti memiliki kadar anti-HBs > 10 IU/L, maka profilaksis pasca pajanan tidak perlu diberikan. G. TERAPI PENDERITA HEPATITIS B Penderita dengan HBsAg (+) harus segera dikonsultasikan dengan
  • 38. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 28 yang lebih rendah. Bayi dari ibu dengan HBsAg (-) tidak akan terpajan virus Hepatitis B selama proses persalinan, namun risiko bayi tersebut untuk terpajan virus Hepatitis B tetap tinggi, mengingat endemisitas penyakit ini di Indonesia. Seperti telah disebutkan di atas, infeksi virus Hepatitis B pada anak memiliki risiko perkembangan kearah Hepatitis B kronis yang lebih besar. Maka setiap bayi yang lahir di Indonesia diwajibkan imunisasi Hepatitis B. Vaksin yang digunakan adalah vaksin rekombinan yang mengandung HBsAg yang diproduksi ragi. Vaksin ini diberikan secara intramuskular pada saat bayi lahir dan dilanjutkan minimal pada bulan ke-1 dan ke-6. Namun panduan imunisasi yang berlaku di Indonesia menyarankan pemberian imunisasi pada saat bayi lahir, pada bulan ke-2, bulan ke-3, dan bulan ke-4. Pemberian imunisasi dilakukan oleh tenaga medis terlatih di masing-masing daerah. 7. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar a. Monitoring secara berkala terhadap penderita yang belum memerlukan pengobatan. b. Pegobatan dengan Interferon, Lamivudin, Adefovir, Telbivudin, Entecavir, atau Tenofovir bagi penderita yang telah memenuhi kriteria terapi, dari hasil pemeriksaan DNA VHB, HBeAg dan ALT. c. Disinfeksi terhadap bekas cairan tubuh dari penderita. d. Isolasi tidak diperlukan e. Imunisasi pasif pada orang yang terpajan cairan tubuh penderita f. Pencatatan dan pelaporan sesuai peraturan yang berlaku (STP dan SIRS) C. HEPATITIS C 1. Etiologi Penyebab penyakit Hepatitis C adalah virus Hepatitis C (VHC) yang termasuk famili Flaviviridea genus Hepacivirus dan 53 medis dan meninggalkan kebiasaannya untuk mencegah penularan Hepatitis B ke orang lain. Kelompok ini juga sebaiknya diedukasi mengenai penyakit lain yang ditularkan lewat cairan tubuh seperti HIV dan Hepatitis C. E. PENAPISAN DAN PENCEGAHAN PENULARAN HEPATITIS B PADA POPULASI UMUM Indonesia termasuk negara endemis tinggi Hepatitis B, sehingga setiap penduduk Indonesia memiliki risiko yang cukup besar untuk terinfeksi Hepatitis B. Tetapi karena berbagai pertimbangan, seperti efektivitas, kemampulaksanaan, dan biaya maka pemeriksaan penapisan pada seluruh populasi umum di Indonesia sampai saat ini belum menjadi rekomendasi. Tindakan pencegahan selain imunisasi pada bayi adalah edukasi mengenai Hepatitis B dan tindakan-tindakan pencegahan penularan Hepatitis B segera diberikan pada masyarakat. Edukasi ini diberikan oleh tenaga kesehatan dengan melibatkan lintas sektor dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat baik di pusat maupun di daerah. Edukasi yang diberikan harus mencakup hal-hal berikut:  Penjelasan umum mengenai penyebab, cara penularan, perjalanan penyakit, gejala umum, terapi, dan komplikasi Hepatitis B. Cara-cara pencegahan umum infeksi Hepatitis B, antara lain: o Menghindari kontak cairan tubuh yang tidak aman dengan tidak melakukan hubungan seksual yang tidak aman dan menggunakan jarum suntik atau alat yang mungkin menimbulkan luka secara bergantian. o Selalu membersihkan dengan baik alat-alat yang mungkin menimbulkan luka pada orang lain, seperti pisau cukur, sikat gigi, peralatan perawatan kuku, atau alat tato. Lebih baik lagi bila alat-alat ini bisa digunakan untuk sekali pakai saja atau hanya digunakan oleh satu orang saja. o Imunisasi dan pemeriksaan kekebalan terhadap Hepatitis B.
  • 39. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 29 merupakan virus RNA. Setidaknya 6 genotip dan lebih dari 50 subtipe VHC yang berbeda telah ditemukan. 2. Cara penularan Cara penularan VHC yang paling umum adalah secara parenteral, yaitu berkaitan dengan penggunaan bersama jarum suntik yang tidak steril terutama pada pengguna obat- obatan terlarang, tato, tindik, penggunaan alat pribadi seperti pisau cukur, sikat gigi bersama penderita, transfusi darah, operasi, transplantasi organ, dan melalui hubungan seksual. VHC adalah penyebab utama dari Hepatitis yang diderita setelah transfusi darah. Walaupun begitu, peraturan yang memperketat pemeriksaan darah bagi donor darah telah menurunkan risiko infeksi secara drastis. Penularan dapat terjadi dalam waktu 1 minggu atau lebih setelah timbulnya gejala klinis yang pertama pada penderita. Penularan vertikal dari ibu ke bayi selama proses kelahiran sangat jarang (sekitar 5-6%) dan menyusui tidak meningkatkan resiko penularan VHC dari seorang ibu yang terinfeksi ke bayinya. Hepatitis C tidak dapat menular melalui jabat tangan, ciuman, dan pelukan. 3. Tanda dan gejala Sebagian besar (>90%) kasus Hepatitis C akut bersifat asimptomatik. Kejadian Hepatitis fulminan juga sangat kecil pada infeksi VHC. Walaupun begitu, sebagian kecil penderita bisa saja mengalami gejala prodromal seperti pada infeksi virus pada umumnya. Sebagian besar (80%) dari penderita yang mengalami Hepatitis C akut ini akan berkembang menjadi Hepatitis C kronik yang umumnya juga bersifat asimptomatik. Sekitar 20-30% dari jumlah ini akan berkembang menjadi sirosis hati dalam waktu 20-30 tahun. Kerusakan hati ini bersifat progresif lambat sehingga seringkali penderita yang terinfeksi VHC pada usia lanjut serngkali tidak mengalami gangguan hati sama sekali seumur hidupnya. 52 kelompok berisiko tinggi tertular dan menularkan Hepatitis B. Hal ini disebabkan sifat virus Hepatitis B yang menular lewat kontak dengan cairan tubuh penderita. Penularan pada PSK dan orang yang memiliki pasangan seksual multipel sebenarnya dapat dicegah dengan mengurangi perilaku seksual tersebut atau menggunakan kondom. Penularan pada kelompok IVDU juga sebenarnya bisa dicegah dengan menghentikan kebiasaan tersebut atau dengan tidak menggunakan jarum suntik berkali- kali secara bergantian. Penularan pada kelompok ini umumnya disebabkan karena rendahnya pengetahuan dan kepedulian tehadap Hepatitis B maka sebaiknya pemberian edukasi dan pembinaan terhadap kelompok ini perlu dilakukan. Edukasi yang diberikan harus mencakup hal-hal berikut:  Penjelasan umum mengenai penyebab, cara penularan, perjalanan penyakit, gejala umum, terapi, dan komplikasi Hepatitis B.  Konseling untuk meninggalkan gaya hidup berisiko tersebut.  Selalu menggunakan kondom apabila berhubungan seksual dengan pasangan yang tidak diketahui status HBsAg-nya  Pada IVDU, dianjurkan untuk tidak menggunakan jarum suntik berkali-kali dan secara bergantian. IVDU juga disarankan untuk membuang jarum suntik bekas di wadah yang tertutup dan tahan tembus. Setiap orang yang memiliki pasangan seksual multipel atau PSK dan IVDU disarankan untuk segera melakukan pemeriksaan penapisan dan kekebalan Hepatitis B. Apabila orang tersebut belum memiliki kekebalan yang mencukupi terhadap Hepatitis B, disarankan untuk imunisasi Hepatitis B. Apabila yang bersangkutan belum pernah mendapat imunisasi sebelumnya, vaksin harus diberikan dari awal sebanyak 3 kali suntikan pada bulan 0 (kunjungan pertama), 1 (satu bulan kemudian), dan 6 (enam bulan kemudian). Apabila yang bersangkutan ternyata memiliki status HBsAg (+), maka dirujuk ke dokter ahli untuk berkonsultasi mengenai kemungkinan terapi penyakitnya dan melanjutkan pemeriksaan status HBeAg, anti-HBe, DNA HBV, SGOT, dan SGPT-nya. Setiap orang yang memiliki pasangan seksual multipel, PSK dan IVDU yang ternyata positif menderita Hepatitis B agar berkonsultasi dengan tenaga
  • 40. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 30 4. Masa Inkubasi Masa inkubasi VHC berlangsung selama 15 hari sampai 2 bulan. 5. Diagnosis Baku emas diagnosis Hepatitis C adalah ditemukannya RNA VHC di serum penderita. Namun, mengingat mahal dan tidak paktisnya pemeriksaan ini, pemeriksaan anti-VHC bisa digunakan untuk menapis penderita-penderita yang dicurigai menderita Hepatitis C. Namun, perlu diingat bahwa sebagian kecil penderita Hepatitis C, terutama mereka yang mengalami penurunan sistem imun, tidak akan memiliki antibodi anti- VHC di darahnya. Pemeriksaan RNA VHC sendiri hanya diindikasikan pada penderita yang positif anti-VHC, penderita Hepatitis C kronik yang diterapi (untuk memantau respons terapi), dan penderita dengan gangguan hati kronik dengan anti-VHC negatif yang tidak diketahui penyebabnya (terutama pada penderita dengan penurunan sistem imun). Pemeriksaan genotip VHC juga wajib dilakukan pada semua penderita yang akan menerima terapi antivirus untuk menilai lama pengobatan yang diperlukan dan kemungkinan respon terhadap terapi. 6. Pencegahan Oleh karena sampai saat ini belum tersedia vaksin Hepatitis C, maka pencegahan non-spesifik lebih di prioritaskan dalam membatasi penularan VHC. Darah yang didapat dari donor darah harus diperiksa secara ketat untuk memastikan darah tersebut bebas VHC. Selain itu, prinsip- prinsip kewaspadan universal juga harus diterapkan secara sempurna dan konseling untuk memeriksakan diri harus dilaksanakan pada kelompok-kelompok risiko tinggi. Penderita-penderita yang diketahui menderita Hepatitis C harus mendapat konseling untuk mengubah perilaku dan untuk memutus rantai infeksi Hepatitis C. Edukasi yang bisa diberikan mencakup: 1. Tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau cukur. 51  Menutupi semua luka dan abrasi dengan penutup tahan air.  Membersihkan tumpahan darah dan cairan tubuh lainnya secara segera dan hati-hati.  Menggunakan sistem yang aman untuk penanganan dan pembuangan limbah.  Menggunakan prinsip sekali pakai untuk alat-alat yang bisa digunakan sekali pakai (jarum suntik, scalpel, atau kasa) atau melakukan sterilisasi yang adekuat untuk setiap alat yang mungkin kontak dengan cairan tubuh penderita dan akan dipakai kembali (alat-alat hecting, set partus, atau alat bedah lainnya). Mengingat tingginya risiko penularan Hepatitis B pada tenaga medis, setiap tenaga medis juga diwajibkan untuk menjalani pemeriksaan penapisan Hepatitis B dengan disertai pemeriksaan status kekebalan. Metode penapisan HBsAg bisa menggunakan pemeriksaan tes cepat sederhana/rapid test. Tenaga medis yang memiliki satus HBsAg (-) dan kekebalan kurang terhadap Hepatitis B wajib menjalani imunisasi Hepatitis B. Apabila tenaga medis/paramedis yang bersangkutan belum pernah mendapat imunisasi sebelumnya, vaksin harus diberikan dari awal sebanyak 3 kali suntikan pada bulan 0 (pada saat datang), suntikan ke 2 satu bulan kemudian dan suntikan ke 3 pada bulan ke 6. Tenaga medis yang terdiagnosis memiliki status HBsAg (+) harus dirujuk ke dokter ahli untuk berkonsultasi mengenai kemungkinan terapi penyakitnya. Penderita juga sebaiknya diperiksa status HBeAg, anti-HBe, DNA HBV, SGOT, dan SGPT- nya secara periodik sebagai upaya memantau perkembangan penyakitnya. Sementara tenaga medis, paramedis dan tenaga kesehatan yang memiliki status HBsAg (-) perlu melakukan imunisasi. D. PENAPISAN DAN PENCEGAHAN PENULARAN HEPATITIS B PADA PSK, ORANG DENGAN PASANGAN SEKSUAL MULTIPEL, DAN IVDU Kelompok Pekerja Sex Komersil (PSK), orang dengan pasangan seksual multipel, dan Intra Venous Drug User (IVDU) merupakan
  • 41. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 31 2. Menutup luka yang terbuka agar darah tidak tersentuh orang lain. 3. Penderita yang menggunakan obat-obatan terlarang injeksi sebaiknya diminta berhenti, dan bila tidak bisa, penderita diminta tidak menggunakan jarum suntik dan alat-alat lain yang berhubungan dengan darah secara bergantian dan untuk membuang jarum bekas ke tempat khusus yang mencegah orang lain tertusuk secara tidak sengaja. 4. Tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ, ataupun sperma. 5. Penderita perlu diberitahu bahwa risiko penularan VHC lewat hubungan seksual sebenarnya cukup rendah dan penggunaan barier untuk pasangan monogamy sebetulnya tidak begitu diperlukan, namun penderita dengan pasangan multipel sebaiknya disarankan untuk menghentikan kebiasaan tersebut. 7. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar a. Pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan memberikan Pegylated interferon alfa dan Ribavirin. Lama pemberian terapi ditentukan berdasarkan genotip virus, pada genotip 1 dan 4 diberikan selama 48 minggu, sementara pada genotip 2 dan 3 diberikan selama 24 minggu. Pemantauan jumlah virus perlu dilakukan untuk melihat respons terhadap terapi dengan interferon. b. Disinfeksi terhadap bekas cairan tubuh dari penderita. c. Isolasi tidak diperlukan d. Pencegahan sekunder dan tersier bila seseorang terpajan cairan tubuh penderita Hepatitis C dapat berupa: 1) Edukasi dan konseling untuk mendapatkan pilihan pengobatan yang tepat. 2) Imunisasi Hepatitis A dan B untuk mencegah terjadinya ko-infeksi dengan Hepatitis A dan B. 3) Pemeriksaan secara berkala untuk memantau kemungkinan perkembangan penyakitnya. 4) Apabila terbukti positif terinfeksi Hepatitis C, maka penderita harus diterapi sesuai jenis genotip virus. 50 Apabila orang tersebut belum memiliki kekebalan terhadap Hepatitis B, disarankan pemberian imunisasi Hepatitis B. Apabila yang bersangkutan belum pernah mendapat imunisasi sebelumnya, vaksin harus diberikan dari awal sebanyak 3 kali suntikan. Apabila yang bersangkutan ternyata memiliki status HBsAg (+), maka segera dirujuk ke dokter untuk berkonsultasi lebih lanjut. C. PENAPISAN DAN PENCEGAHAN PENULARAN HEPATITIS B PADA TENAGA MEDIS Tenaga medis merupakan salah satu kelompok paling berisiko tertular Hepatitis B karena dalam melaksanakan pekerjaannya terjadi kontak dengan cairan tubuh penderita. Petugas medis bila tidak menerapkan prinsip-prinsip pencegahan universal yang baik, hal ini bisa memacu penularan virus antar penderita atau ke dirinya sendiri. Data dari berbagai literatur juga telah membuktikan bahwa sejumlah besar penderita Hepatitis B merupakan tenaga medis. Untuk mencegah penularan Hepatitis B dari penderita (pencegahan primer), setiap tenaga medis diwajibkan untuk menerapkan prinsip-prinsip pencegahan universal. Edukasi dan kontrol penerapan prinsip-prinsip pencegahan universal harus dilakukan oleh penanggung jawab pusat pelayanan kesehatan tempat tenaga medis tersebut bekerja dan dikoordinasikan dengan Dinas Kesehatan setempat. Prinsip-prinsip ini mencakup:  Mencuci tangan setiap sesudah melakukan kontak langsung dengan penderita.  Tidak melakukan recapping jarum suntik dengan 2 tangan.  Prosedur yang aman untuk mengumpulkan dan membuang jarum dan benda tajam lainnya dengan menggunakan kotak yang tahan tembus dan tahan cairan.  Mengenakan sarung tangan untuk setiap kontak dengan cairan tubuh, kulit yang tidak intak, dan mukosa.  Mengenakan masker, pelindung mata, dan gawn (dan kadang apron plastik) bila ada kemungkinan cipratan darah atau cairan tubuh lainnya.
  • 42. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus 32 e. Pencatatan dan pelaporan sesuai peraturan yang berlaku (STP dan SIRS). D. HEPATITIS D 1. Etiologi Penyebab Hepatitis D adalah virus hepatitis delta (VHD) yang ditemukan pertama kali pada tahun 1977, berukuran 35-37 nm dan mempunyai antigen internal yang khas yaitu antigen delta. Virus ini merupakan virus RNA dengan defek, artinya virus ini tidak mampu bereplikasi secara sempurna tanpa batuan virus lain, yaitu virus Hepatitis B. Hal ini dikarenakan VHD tidak mampu mensintesis protein selubungnya sendiri dan bergantung ada protein yang disintesis VHB, termasuk HBsAg. Maka dari itu, infeksi VHD hanya bisa terjadi pada penderita yang juga terinfeksi VHB pada saat bersamaan atau sudah terinfeksi kronik oleh VHB. Genom VHD terdiri dari 1.700 pasangan basa yang merupakan jumlah pasangan basa terkecil untuk virus pada hewan. 2. Cara penularan VHD ditularkan dengan cara yang sama denganVHB, yaitu lewat pajanan terhadap caian tubuh penderita Hepatitis D. Cara penularan yang paling utama diduga melalui jalur parenteral. 3. Tanda dan gejala Perjalanan penyakit Hepatitis D mengikuti perjalanan penyakit Hepatitis B. Artinya, bila Hepatitis B yang diderita penderita bersifat akut dan lalu sembuh, VHD juga akan hilang seluruhnya. Namun bila VHD menginfeksi penderita yang sudah menderita Hepatitis B kronik, maka penderita tersebut juga akan menderita Hepatitis D kronik. Gejala infeksi Hepatitis D sama persis dengan Hepatitis B, namun kehadiran virus ini terbukti mempercepat proses fibrosis pada hati, meningkatkan risiko kanker hati, dan mempercepat dekompensasi pada keadaan sirosis hati. 49 B. PENAPISAN DAN PENCEGAHAN PENULARAN HEPATITIS B PADA KELUARGA ATAU ORANG YANG TINGGAL SERUMAH DENGAN PENDERITA HEPATITIS B Keluarga atau orang yang tinggal serumah dengan penderita Hepatitis B merupakan salah satu kelompok yang paling berisiko tertular Hepatitis B. Pemakaian alat-alat rumah tangga bersama, seperti gunting kuku, pisau cukur, atau sikat gigi terbukti bisa menjadi sumber penularan Hepatitis B. Keluarga atau orang yang tinggal serumah dengan penderita Hepatitis B harus mendapatkan edukasi yang memadai untuk meminimalisir risiko penularan. Edukasi yang diberikan harus mencakup hal-hal berikut:  Penjelasan umum mengenai penyebab, cara penularan, perjalanan penyakit, gejala umum, terapi, dan komplikasi Hepatitis B.  Cara-cara pencegahan umum infeksi Hepatitis B, antara lain: o Menghindari kontak cairan tubuh yang tidak aman dengan tidak melakukan hubungan seksual yang tidak aman dan menggunakan jarum suntik atau alat yang mungkin menimbulkan luka secara bergantian. o Selalu membersihkan dengan baik alat-alat yang mungkin menimbulkan luka pada orang lain, seperti pisau cukur, sikat gigi, peralatan perawatan kuku, atau alat tato. Lebih baik lagi bila alat-alat ini bisa digunakan untuk sekali pakai saja atau hanya digunakan oleh satu orang saja.  Pengetahuan tentang di mana dan cara memeriksakan diri untuk status Hepatitis B dan kemungkinan terapi serta jaminan yang ada.  Saran untuk tidak mendiskriminasikan orang yang menderita Hepatitis B. Perlu juga dilakukan edukasi bahwa penyakit ini tidak menular lewat penggunaan alat makan bersama, berjabat tangan, berciuman, atau berpelukan dengan penderita Hepatitis B. Setiap anggota keluarga atau orang yang tinggal serumah dengan penderita Hepatitis B juga harus disarankan untuk segera melakukan pemeriksaan penapisan dan kekebalan Hepatitis B.