SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 19
Descargar para leer sin conexión
NAMA : Asep Muhamad Perdiana
NIM : 55117110181
DOSEN : Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA
MATA KULIAH : Bussines Ethic And Good Governance
FORUM PERTEMUAN KE 4
Menurut saya, menerapkan praktik good governance dapat dilakukan secara bertahap
sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah
satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui
penyelenggaraan pelayanan publik. Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan
publik menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance.
Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor
dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil
dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja
pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan
pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama,
perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah ,
warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur
governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini
mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata
melalui pelayanan public.
Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan,
misalnya prosedur pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang
menyebabkan pelayanan menjadi sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini
menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini
birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan
melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian
pelayanan publik, disamping permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan yang
diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan martabatnya sebagai warga Negara.
Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat birokrasi,
sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya.
Hal ini terjadi karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama ini bukan budaya
pelayanan, tetapi lebih mengarah kepada budaya kekuasaan.
Upaya untuk menghubungkan tata-pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik
barangkali bukan merupakan hal yang baru. Namun keterkaitan antara konsep good-
governance (tata-pemerintahan yang baik) dengan konsep public service (pelayanan
publik) tentu sudah cukup jelas logikanya publik dengan sebaik-baiknya. Argumentasi
lain yang membuktikan betapa pentingnya pelayanan publik ialah keterkaitannya
dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Inilah yang tampaknya harus dilihat secara jernih
karena di negara-negara berkembang kesadaran para birokrat untuk memberikan
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat masih sangat rendah.
Secara garis besar, permasalahan penerapan Good Governance meliputi:
1. Reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat
2. Tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan;
3. Masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek KKN, dan
masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur;
4. Makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik;
5. Meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik
antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada
hukum;
6. Meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan
pengambilan keputusan dalam era desentralisasi;
7. Rendahnya kinerja sumberdaya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem
kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan
daerah yang belum memadai;
Konsep Efektif Good Governance Bagi Indonesia Diantaranya sebagai berikut :
1. Tata pemerintahan yang berwawasan ke depan (visi strategis), Semua kegiatan
pemerintah di berbagai bidang dan tingkatan seharusnya didasarkan pada visi dan misi
yang jelas dan jangka waktu pencapaiannya serta dilengkapi strategi implementasi
yang tepat sasaran, manfaat dan berkesinambungan.
2. Tata pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan), Wujud nyata prinsip tersebut
antara lain dapat dilihat apabila masyarakat mempunyai kemudahan untuk mengetahui
serta memperoleh data dan informasi tentang kebijakan, program, dan kegiatan
aparatur pemerintah, baik yang dilaksanakan di tingkat pusat maupun daerah.
3. Tata pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat, Masyarakat yang
berkepentingan ikut serta dalam proses perumusan dan/atau pengambilan keputusan
atas kebijakan publik yang diperuntukkan bagi masyarakat, sehingga keterlibatan
masyarakat sangat diperlukan pada setiap pengambilan kebijakan yang menyangkut
masyarakat luas.
4. Tata pemerintahan yang bertanggung jawab/ bertanggung gugat (akuntabel),
Instansi pemerintah dan para aparaturnya harus dapat mempertanggungjawabkan
pelaksanaan kewenangan yang diberikan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Demikian halnya dengan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukannya dapat
dipertanggungjawabkan.
5. Tata pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum, Wujud nyata prinsip ini
mencakup upaya penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan
kesadaran HAM, peningkatan kesadaran hukum, serta pengembangan budaya hukum.
Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan menggunakan aturan dan prosedur yang
terbuka dan jelas, serta tidak tunduk pada manipulasi politik.
6. Tata pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada konsensus, Perumusan
kebijakan pembangunan baik di pusat maupun daerah dilakukan melalui mekanisme
demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Keputusan-keputusan yang
diambil antara lembaga eksekutif dan legislatif harus didasarkan pada konsensus agar
setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar merupakan keputusan bersama.
7. Tata pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetensi, Wujud nyata
dari prinsip profesionalisme dan kompetensi dapat dilihat dari upaya penilaian
kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan
profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari upaya perbaikan atau
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
8. Tata pemerintahan yang cepat tanggap (responsif), Aparat pemerintahan harus
cepat tanggap terhadap perubahan situasi/kondisi mengakomodasi aspirasi
masyarakat, serta mengambil prakarsa untuk mengatasi berbagai masalah yang
dihadapi masyarakat.
9. Tata pemerintahan yang menggunakan struktur & sumber daya secara efisien &
efektif, Pemerintah baik pusat maupun daerah dari waktu ke waktu harus selalu menilai
dukungan struktur yang ada, melakukan perbaikan struktural sesuai dengan tuntutan
perubahan seperti menyusun kembali struktur kelembagaan secara keseluruhan,
menyusun jabatan dan fungsi yang lebih tepat, serta selalu berupaya mencapai hasil
yang optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya yang tersedia
secara efisien dan efektif.
10. Tata pemerintahan yang terdesentralisasi, Pendelegasian tugas dan kewenangan
pusat kepada semua tingkatan aparat sehingga dapat mempercepat proses
pengambilan keputusan, serta memberikan keleluasaan yang cukup untuk mengelola
pelayanan publik dan menyukseskan pembangunan di pusat maupun di daerah.
11. Tata pemerintahan yang mendorong kemitraan dengan dunia usaha swasta dan
masyarakat, Pembangunan masyarakat madani melalui peningkatan peran serta
masyarakat dan sektor swasta harus diberdayakan melalui pembentukan kerjasama
atau kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Hambatan birokrasi yang
menjadi rintangan terbentuknya kemitraan yang setara harus segera diatasi dengan
perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat dan sektor swasta serta
penyelenggaraan pelayanan terpadu.
12. Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pengurangan kesenjangan,
Pengurangan kesenjangan dalam berbagai bidang baik antara pusat dan daerah
maupun antardaerah secara adil dan proporsional merupakan wujud nyata prinsip
pengurangan kesenjangan. Hal ini juga mencakup upaya menciptakan kesetaraan
dalam hukum (equity of the law) serta mereduksi berbagai perlakuan diskriminatif yang
menciptakan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat.
13. Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan hidup, Daya dukung
lingkungan semakin menurun akibat pemanfaatan yang tidak terkendali. Kewajiban
penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan secara konsekuen, penegakan
hukum lingkungan secara konsisten, pengaktifan lembaga-lembaga pengendali dampak
lingkungan, serta pengelolaan sumber daya alam secara lestari merupakan contoh
perwujudan komitmen pada lingkungan hidup.
QUIZ PERTEMUAN KE 4
1. Pengertian Board of Director
Board of Directors adalah istilah yang digunakan di Amerika Serikat untuk
kelompok pengawas dan pengelola perusahaan yang terdiri dari perwakilan
pemegang saham mayoritas, pendiri perusahaan, kreditor utama, dan orang-
orang yang berjasa pada perusahaan. Struktur perusahaan model Amerika
adalah seperti pada gambar 1-1. Model Amerika ini disebut one board system.
Dari Board of Directors, akan dipilih diantara mereka, paling tidak dua orang
untuk menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) dan Chief Financial
Officer (CFO), sering juga ditambah satu orang lagi yang menjabat sebagai Chief
Operating Officer (COO) Berbeda dengan model Amerika, model Eropa
menganut two tiers system (lihat gambar 1 dan 2) seperti yang diterapkan di
Indonesia. Dalam system dua tingkat (two tiers), Pemegang saham akan
menunjuk sekelompok pengelola operasi perusahaan (management) dan juga
pengawas dan penasihat manajemen yang disebut komisaris (Commissioners).
Permasalahan pengawasan perusahaan ini berkembang dari waktu ke waktu
karena luasan dan kepemilikan perusahaan.
Berkenaan dengan bentuk Dewan dalam sebuah perusahaan, terdapat
dua sistem yang berbeda yang berasal dari dua sistem hukum yang berbeda,
yaitu Anglo Saxon dan dari Kontinental Eropa. Sistem Hukum Anglo Saxon
mempunyai Sistem Satu Tingkat atau One Tier System. Di sini perusahaan
hanya mempunyai satu Dewan Direksi yang pada umumnya merupakan
kombinasi antara manajer atau pengurus senior (Direktur Eksekutif) dan Direktur
Independen yang bekerja dangan prinsip paruh waktu (Non Direktur Eksekutif).
Pada dasarnya yang disebut belakangan ini diangkat karena kebijakannya,
pengalamannya dan relasinya. Negara-negara dengan One Tier System
misalnya Amerika Serikat dan Inggris.
Sistem Hukum Kontinental Eropa mempunyai Sistem Dua Tingkat atau
Two Tiers System. Di sini perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu
Dewan Pengawas (Dewan Komisaris) dan Dewan Manajemen (Dewan FCGI 3
General Meeting of the Shareholders (GMoS) Board of Directors Executive
Director Non Executive Director (senior management) (part time independent
members) buku fcgi 05/06/01 10:50 AM Page 3 Direksi). Yang disebutkan
terakhir, yaitu Dewan Direksi, mengelola dan mewakili perusahaan di bawah
pengarahan dan pengawasan Dewan Komisaris. Dalam sistem ini, anggota
Dewan Direksi diangkat dan setiap waktu dapat diganti oleh badan pengawas
(Dewan Komisaris). Dewan Direksi juga harus memberikan informasi kepada
Dewan Komisaris dan menjawab hal-hal yang diajukan oleh Dewan Komisaris.
Sehingga Dewan Komisaris terutama bertanggungjawab untuk mengawasi
tugas-tugas manajemen. Dalam hal ini Dewan Komisaris tidak boleh melibatkan
diri dalam tugas-tugas manajemen dan tidak boleh mewakili perusahaan dalam
transaksi-transaksi dengan pihak ketiga. Anggota Dewan Komisaris diangkat dan
diganti dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Negara-negara dengan
Two Tiers System adalah Denmark, Jerman, Belanda, dan Jepang. Karena
sistem hukum Indonesia berasal dari sistem hukum Belanda, maka hukum
perusahaan Indonesia menganut Two Tiers System untuk struktur dewan dalam
perusahaan. Meskipun demikian dalam sistem hukum dewasa ini terdapat pula
perbedaan-perbedaan yang cukup penting termasuk di dalamnya adalah hak
dan kewajiban Dewan Komisaris dimana dalam keadaan yang umum tidak
termasuk kewenangan Dewan Komisaris untuk menunjuk dan memberhentikan
direksi.
Peranan Dewan Komisaris dalam Suatu Perusahaan.
Dewan Komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam
perusahaan, terutama dalam pelaksanaan Good Corporate Governance.
Menurut Egon Zehnder, Dewan Komisaris – merupakan inti dari Corporate
Governance – yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi
perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta
mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya, Dewan Komisaris
merupakan suatu mekanisme mengawasi dan mekanisme untuk memberikan
petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan. Mengingat manajemen yang
bertanggungjawab untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan –
sedangkan Dewan Komisaris bertanggungjawab untuk mengawasi manajemen –
maka Dewan Komisaris merupakan pusat ketahanan dan kesuksesan
perusahaan. (Egon Zehnder International, 2000 hal.12-13) Lebih lanjut tugas-
tugas utama Dewan Komisaris meliputi: 1. Menilai dan mengarahkan strategi
perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko,
anggaran tahunan dan rencana usaha; menetapkan sasaran kerja; mengawasi
pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta memonitor penggunaan modal
perusahaan, investasi dan penjualan aset; 2. Menilai sistem penetapan
penggajian pejabat pada posisi kunci dan FCGI 5 buku fcgi 05/06/01 10:50 AM
Page 5 penggajian anggota Dewan Direksi, serta menjamin suatu proses
pencalonan anggota Dewan Direksi yang transparan dan adil; 3. Memonitor dan
mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota
Dewan Direksi dan anggota Dewan Komisaris, termasuk penyalahgunaan aset
perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan; 4. Memonitor pelaksanaan
Governance, dan mengadakan perubahan di mana perlu; 5. Memantau proses
keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan.(OECD Principles of
Corporate Governance)
Dalam konsep corporate governance dikenal dua frameworkpengelolaan
korporasi, yaitu one tier system dan two tier system. One tier system merupakan
konsep pengelolaan yang umumnya digunakan oleh Anglo Saxon
Countries seperti UK, US dan Canada. Pada konsep ini fungsi pengelolaan dan
pengawasan dijadikan satu wadah/board. Sementara konsep Two Tier
System banyak digunakan di negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda dan
Finlandia dimana fungsi pengelolaannya dipisahkan dengan fungsi pengawasan
dalam dua wadah/board yang berbeda. Namun tidak dapat diabaikan bahwa
pada kenyataannya batasan wilayah negara menjadi sedikit kabur karena
terdapat beberapa perusahaan US yang juga menggunakan konsep two tier
system seperti negara Eropa daratan, dan sebaliknya terdapat negara Eropa
daratan yang menggunakan konsep one tier system seperti pengelolaan ala
US/UK. Dalam perkembangannya konsep two tier system lebih banyak
digunakan dalam praktek bisnis disebabkan keunggulannya dalam
mengakomodasi konflik kepentingan antara pemilik modal dan manajemen.
Konsep ini juga makin berkembang pesat setelah munculnya berbagai skandal
bisnis besar seperti Enron, World-com, HIH Insurance dan lain sebagainya.
United States (US) sendiri sebagai negara anglo saxon yang awalnya dikenal
menggunakan konsep one tier system akhirnya mengarah kepada konsep two
tier system dalam pengelolaannya.
Hal ini dapat dilihat pada struktur perusahaan-perusahaan US saat ini.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebagai negara bekas jajahan
Belanda menganut two tier system seperti pengelolaan yang digunakan oleh
Belanda. Dasar hukum yang mengatur tentang korporasi di Indonesia (biasa
disebut Perseroan Terbatas atau „PT‟) adalah UU No. 40 tahun 2007. Perseroan
Terbatas di Indonesia kemudian diwajibkan memiliki 3 organ, yaitu Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. RUPS merupakan
organ tertinggi yang memiliki wewenang yang tidak dimiliki oleh organ lainnya.
Direksi merupakan organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan. Sementara
Dewan Komisaris merupakan organ Perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberi nasihat kepada
Direksi. Permasalahan kemudian muncul ketika mencari terjemahan kata yang
tepat untuk menterjemahkan kata “Direksi” ke dalam Bahasa Inggris.
Pada umumnya istilah yang sering digunakan di dunia global untuk
menunjuk Board yang berfungsi melakukan daily
operation adalah Executive Board/Board of Management. Itulah sebabnya Top
Management dalam beberapa perusahaan US sering disebut Chief Executive
Officer atau pada perusahaan UK disebut Managing Director. Sementara istilah
yang digunakan untuk menunjuk Board yang berfungsi melakukan pengawasan
kepada Executives adalah Board of Director/Supervisory Board. Pimpinan
tertinggi dari Board of Directorsering disebut Chairman. Jika „Direksi‟ yang
digunakan dalam UU No. 40 tahun 2007 diterjemahkan sebagai Director, maka
„Dewan Direksi‟ jika diterjemahkan akan menjadi Board of Director. Hal ini akan
rancu jika dibandingkan dengan praktek bisnis dunia yang menggunakan
istilah Board of Director sebagai wakil pemegang saham (setara komisaris di
Indonesia).
Apple contohnya, sebagai sebuah perusahaan multinasional Amerika
yang membuat produk-produk elektronik, software dan PC, membagi
pengelolaan perusahaan ke dalam 2 Board, yaitu Board yang berfungsi
menjalankan roda operasional perusahaan (disebut Executives Team)
dan Board yang terdiri dari wakil pemegang saham dan berfungsi melakukan
pengawasan kepada Manajemen (disebut Board of Directors). Uniknya, Tim
Cook yang merupakan CEO dari Apple juga merupakan anggota dari Board of
Directors bersama dengan wakil pemegang saham lain seperti Robert A Iger
(CEO Walt Disney), Ronald D Sugar (CEONorthrop Grumman), Arthur D
Levinson (CEO Genentech) dan member lainnya. Pengelolaan seperti Applejuga
teraplikasi dalam perusahaan US lain seperti Ford, Chevron, Mc Donald,
Procter&Gamble dan lain sebagainya. Hal tersebut juga terdapat pada
perusahaan UK seperti Vodafone dan British Petroleum. Perbedaannya adalah
di atas kertas perusahaan UK hanya memiliki satu Board yang disebut Board of
Directors, namun secara fungsi Board of Directors tersebut terbagi
dalam member yang melakukan fungsi pengawasan (biasa disebut Non
Executives Director) dan member dengan fungsi daily operation (biasa disebut
Executives). Berbeda dengan ThyssenKrupp dan Volkswagen asal Jerman atau
Philips asal Belanda yang membagi Board of Directors (setara komisaris di
Indonesia) dan Executive Board berisikan member yang berbeda satu sama lain.
Di negara-negara ASEAN seperti Malaysia atau Singapura pun Board of
Director digunakan untuk menunjuk wakil pemegang saham yang bertugas
mensupervisi Executives/Management team. Vietnam dengan TLCC misalnya
berbeda dengan Malaysia dan Singapura dalam penggunaan istilah, namun
Vietnam menggunakan Supervisory Board (setara komisaris di Indonesia)
dan Board of Management, bukan Board of Director, untuk menunjuk
Manajemennya. Kerancuan istilah Board of Director ini sewajarnya membuat
Indonesia harus kembali mengkaji istilah “Direksi” dalam UU No. 40 tahun 2007
agar dapat relevan dengan praktek bisnis yang umumnya terjadi di dunia.
Bukankah lebih baik jika istilah “Direksi” dalam Undang-Undang diganti menjadi
Eksekutif (terjemahan kata dari Executive) atau Manajemen (terjemahan kata
dari Management) atau kata lain yang tidak berpotensi memberikan kebingungan
bagi stakeholders khususnya yang bukan Warga Negara Indonesia. “Ah, kan
cuma istilah, yang penting kan sama-sama tau maksudnya.” Dalam dunia bisnis
terdapat sebuah kejadian menarik dimana FASB (Financial Accounting Standard
Boards), organisasi yang bertujuan mengembangkan prinsip-prinsip akuntansi
yang berlaku umum di Amerika Serikat tidak segan-segan untuk mengganti
istilah yang tidak tepat disebabkan alasan berikut. ”Information provided by
financial reporting should be comprehensible to those who have a reasonable
understanding of business and economic activities and are willing to study the
information with reasonable diligence” .
Dalam konteks dunia bisnis penggunaan istilah yang tepat dianjurkan
untuk digunakan karena pihak yang berkepentingan dengan informasi tersebut
adalah orang dengan kualifikasi tertentu dan terdidik. Selisih pemahaman
berpotensi untuk memberikan pengambilan keputusan yang tidak tepat sehingga
penggunaan istilah yang tepat diharapkan dapat membantu pengambilan
keputusan terbaik bagi stakeholders. Financial Reporting memiliki definisi yang
berbeda dengan Financial Report. Financial Reporting mencakup bidang yang
lebih luas seperti lembaga yang terlibat dan peraturan yang berlaku dalam
penyusunan laporan keuangan.
2. Pengertian Board Committes
Telah diketahui secara umum bahwa untuk dapat bekerja secara tepat
guna dalam suatu lingkungan usaha yang kompleks Dewan Komisaris harus
mendelegasikan beberapa tugas mereka kepada komite-komite. Adanya komite-
komite ini merupakan suatu sistem yang bermanfaat untuk dapat melaksanakan
pekerjaan Dewan Komisaris secara lebih rinci dengan memusatkan perhatian
Dewan Komisaris kepada bidang khusus perusahaan atau cara pengelolaan
yang baik (Governance) oleh manajemen. Komite-komite yang pada umumnya
dibentuk adalah Komite Kompensasi/Remunerasi untuk badan eksekutif dalam
perusahaan, Komite Nominasi, dan Komite Audit. Berdasarkan praktek yang
umum berlaku di dunia internasional disarankan bahwa anggota komite-komite
tersebut diisi oleh anggota Komisaris Independen. Walaupun komite-komite
tersebut belum merupakan hal yang umum terdapat di berbagai bagian dunia,
namun kecendurangan akan menyebar sejalan dengan perkembangan
perusahaan, serta masalah yang lebih kompleks dan yang lebih luas. Dewan
Komisaris harus mempertimbangkan untuk mengangkat seorang komisaris dan
menetapkan suatu kebijakan tentang pergantian ketua komite-komite tersebut.
Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa setiap komisaris mendapat
kesempatan untuk ikut serta sesuai dengan caranya dan masing-masing untuk
memperoleh pandangan-pandangan baru. FCGI 10 buku fcgi 05/06/01 10:50 AM
Page 10 Dalam Corporate Governance terdapat tiga komite yang memiliki
peranan penting, yaitu:
1. Komite Kompensasi/Remunerasi (Compensation/Remuneration Committee)
Membuat rekomendasi terhadap keputusan-keputusan yang menyangkut
remunerasi/kompensasi untuk Dewan Direksi dan kebijakan- kebijakan
kompensasi lainnya, termasuk hubungan antara prestasi perusahaan dengan
kompensasi bagi eksekutif perusahaan dalam hal ini CEO.
2. Komite Nominasi (Nomination/Governance Committee) Mengawasi proses
pencalonan komisaris dan direksi, menyeleksi para kandidat yang akan
dicalonkan, dan mengusulkan kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur
tentang struktur dewan dan proses nominasinya.
3. Komite Audit (Audit Committee) Memberikan suatu pandangan tentang masalah
akuntansi, laporan keuangan dan penjelasannya, sistem pengawasan internal
serta auditor independen.(Egon Zehnder International, 2000: p. 21)
Setiap perusahaan menghadapi ketidakpastian dan risiko yang menjadi
kendala bagi mereka dalam usaha mencapai visi dan misi mereka. Pemimpin
perusahaan, yaitu Direksi pada one-tier board system, atau Direksi dan Dewan
Komisaris pada two-tier board system, memiliki tanggung jawab dalam mejamin
penerapan manajemen risiko yang efektif pada perusahaan. Dalam menjalankan
tugas tersebut, pemimpin perusahaan dapat membentuk komite-komite
pembantu, misalnya Komite Audit, Komite Renumerasi dan Nominasi, dan
Komite Pemantau Risiko. Dalam artikel ini, penulis akan mengulas mengenai
Komite Pemantau Risiko sebagai salah satu organ pendukung perusahaan
dalam mengelola risiko. Di Indonesia, keberadaan Komite Pemantau Risiko telah
bersifat mandatory pada industri perbankan.
Fungsi dan Peran Komite Pemantau Risiko
Di Indonesia, keberadaan Komite Pemantau Risiko hanya diwajibkan
pada industri perbankan karena tingginya risiko yang melekat pada aktivitas
bisnis perbankan. Industri perbankan juga memiliki keunikan tersendiri,
ditunjukkan dari tingginya rasio hutang terhadap modal pada industri tersebut
(dapat mencapai 9:1). Selain itu, aktivitas industri perbankan juga memiliki
pengaruh yang besar pada masyarakat, karena sebagian besar dana yang
dihimpun dan disalurkan oleh bank adalah dari dan untuk masyarakat. Oleh
sebab itu, Komite Pemantau Risiko dibutuhkan untuk mendukung manajemen
risiko dan stabilitas perbankan.
Merujuk pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang
Pelaksanaan Good Corporate Governancepada Bank Umum, dapat disimpulkan
bahwa Komite Pemantau Risiko adalah komite yang dibentuk oleh dan
bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris dalam usaha mendukung
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris terkait penerapan dan
pengawasan manajemen risiko pada perusahaan. Pada beberapa jenis usaha di
Indonesia, seperti perbankan dan lembaga pembiayaan ekspor Indonesia (LPEI),
keberadaan Komite Pemantau Risiko dalam struktur organisasi telah diwajibkan
berdasarkan beragam peraturan yang ditetapkan pihak regulator terkait.
Peraturan tersebut ditetapkan demi mendukung peningkatan efektivitas
penerapan Good Corporate Governance (GCG) perusahaan.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia yang tertera di paragraf
sebelumnya, Dewan Komisaris wajib membentuk Komite Pemantau Risiko
dalam usaha pencapaian tata kelola perusahaan yang baik. Komite Pemantau
Risiko pada bank umum di Indonesia bertugas untuk:
1. Mengevaluasi kesesuaian kebijakan manajemen risiko dengan
pelaksanaannya; dan
2. Melakukan pengawasan dan evaluasi pada pelaksanaan tugas Komite
Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko.
Pada peraturan tersebut dijelaskan juga bahwa Komite Pemantau Risiko
wajib untuk diketuai oleh Komisaris Independen dan paling kurang 51% dari
keanggotaannya terdiri dari pihak independen. Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 141/PMK.010/2009 tentang Prinsip Tata Kelola Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia (LPEI) juga menegaskan kewajiban pembentukan Komite
Pemantau Risiko pada LPEI. Tugas Komite Pemantau Risiko di LPEI
menyerupai tugas Komite Pemantau Risiko pada perbankan, namun pada LPEI,
Komite Pemantau Risiko bertanggung jawab pada Direksi, bukan Dewan
Komisaris.
Sesuai dengan landasan hukum di atas, berbagai bank umum di
Indonesia telah membuat piagam Komite Pemantau Risiko dalam rangka
memperjelas peran, kewenangan, dan tanggung jawab Komite Pemantau Risiko.
Salah satu bank terbesar di Indonesia, PT Bank CIMB Niaga Tbk., telah
mempublikasikan piagam Komite Pemantau Risiko. Piagam tersebut secara jelas
menyatakan tujuan dari pembentukan Komite Pemantau Risiko di perusahaan
tersebut, yakni “untuk membantu Dewan Komisaris dalam memastikan
terlaksananya pengawasan dan pemberian nasehat kepada Direksi serta
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan internal Bank
yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Terlaksananya fungsi pengawasan manajemen risiko yang kuat;
2. Terbangunnya budaya manajemen risiko sehingga dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya frauds dan praktik-praktik perbankan yang tidak
sehat;
3. Teridentifikasinya hal-hal berkaitan dengan manajemen risiko yang
memerlukan perhatian Dewan Komisioner.”
Dijelaskan pula pada piagam Komite Pemantau Risiko PT Bank CIMB
Niaga Tbk. bahwa Komite Pemantau Risiko memiliki tugas dan tanggung jawab
untuk “memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisioner, termasuk namun
tidak terbatas pada hal-hal berikut:
1. Melakukan review kebijakan manajemen risiko Bank yang diwajibkan;
2. Melakukan evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko
dengan pelaksanaan kebijakan;
3. Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas Komite Manajemen
Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko;
4. Melakukan evaluasi laporan pertanggungjawaban Direksi yang antara lain
terdiri dari laporan regulatory kepada Otoritas Pengawas Bank, laporan
internal, dan laporan-laporan lain;
5. Menyampaikan rekomendasi kepada Dekom atas kebijakan yang telah
diambil oleh Direksi berkaitan dengan manajemen risiko;
6. Melakukan evaluasi kepatuhan Bank terhadap ketentuan Anggaran Dasar,
peraturan Otoritas Pengawas Bank dan Pasar Modal, serta peraturan
perundangan lainnya yang terkait dengan manajemen risiko;
7. Memberikan rekomendasi kepada Dekom tentang penetapan limit yang
memerlukan persetujuan Dekom sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam
Anggaran Dasar, dan yang ditetapkan oleh Otoritas Pengawas Bank dan
Pasar Modal;
8. Melakukan penilaian atas situasi yang diperkirakan dapat membahayakan
kelangsungan usaha Bank, agar Dekom dapat melaporkan kepada Otoritas
Pengawas Bank dan Pasar Modal dalam kurun waktu yang ditetapkan;
9. Melakukan evaluasi atas rekomendasi Direksi atas usulan pembagian dividen
interim;
10.Menyusun pedoman dan tata tertib kerja Komite (Piagam), dan melakukan
review sesuai kebutuhan minimal 3 tahun sekali;
11.Melaksanakan tugas dan tanggung jawab lain yang diberikan oleh Dekom
dari waktu ke waktu.”
Keberadaan Komite Pemantau Risiko di industri perbankan Indonesia
cukup berhasil dalam meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko perbankan.
Hal tersebut ditunjukkan dari menurunnya tingkat non-performing loans pada
penyaluran kredit perbankan dari tahun 2007-2012. Tingkat efisiensi perbankan
juga meningkat ditunjukkan dari indikator beban operasional pendapatan
operasional (BOPO) yang menurun dari tahun 2007-2012. Perkembangan ini
menunjukkan keberhasilan dari Komite Pemantau Risiko dalam meningkatkan
penerapan enterprise risk management (ERM) yang lebih efektif dan efisien. Di
sisi lain, pembentukan komite ini masih jarang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan non-bank di Indonesia.
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia
Berbeda dengan Indonesia, di Amerika Serikat fenomena keberadaan Komite
Pemantau Risiko telah berkembang pesat pada industri non-bank. Terdapat peraturan
yang dikeluarkan oleh Stock and Exchange Commission (SEC) pada 28 Februari 2010,
yaitu SEC 33-9089, yang isinya menyatakan bahwa Board of Directors (BOD) pada
perusahaan-perusahaan yang tercantum pada SEC wajib untuk melaporkan informasi
dan pernyataan mengenai:
1. Struktur kepemimpinan BOD dan perannya dalam memantau risiko;
2. Hubungan kebijakan kompensasi pada keseluruhan organisasi dan praktik
manajemen risiko perusahaan.
Sehubungan dengan peraturan tersebut, General Motors, salah satu perusahaan
otomotif terbesar di Amerika Serikat telah membuat Piagam Komite Keuangan dan
Risiko. Pada piagam tersebut, dijelaskan bahwa tujuan dari Komite Keuangan dan
Risiko pada General Motors adalah untuk membantu BOD dalam melakukan
pemantauan dalam hal:
1. Kebijakan keuangan, strategi, dan struktur permodalan serta membuat laporan
dan rekomendasi kepada BOD berkaitan dengan hal tersebut;
2. Strategi dan kebijakan manajemen risiko, termasuk melakukan pemantauan dan
pengawasan pada manajemen risiko pasar, kredit, likuiditas, dan pendanaan.
Komite tersebut memiliki tugas dan tanggung jawab dalam melakukan
pemantauan dan pengkajian pada manajemen risiko perusahaan, yaitu dengan
melakukan:
 Peninjauan bersama manajemen pada risk appetite dan risk tolerance dari
perusahaan;
 Peninjauan bersama manajemen pada kategori risiko yang dihadapi perusahaan;
 Peninjauan terhadap laporan dari manajemen, auditor independen, auditor
internal, konsultan legal, pembuat kebijakan, analis saham, dan ahli-ahli dari luar
perusahaan terkait risiko-risiko yang dihadapi perusahaan dan fungsi
manajemen risiko dari perusahaan;
 Peninjauan bersama manajemen pada desain fungsi manajemen risiko dari
perusahaan;
 Peninjauan terhadap implementasi kebijakan risiko dan menilai efektivitasnya.
Walau tidak tertulis secara eksplisit bahwa perusahaan-perusahaan yang
terdaftar pada SEC wajib untuk membentuk Komite Pemantau Risiko, namun dalam
rangka membantu BOD menjalankan oversight risk function dan memantau praktik
manajemen risiko perusahaan, perusahaan disarankan untuk membentuk Komite
Pemantau Risiko. Pada konteks ini, Komite Pemantau Risiko akan bertanggung jawab
langsung kepada BOD karena perusahaan di Amerika Serikat pada umumnya
menganut one-tier board system. Komite Pemantau Risiko di sini juga dapat berperan
dalam mendefinisikan arti risiko bagi perusahaan, dimulai dengan mengidentifikasi risk
appetite dan risk tolerance perusahaan sehubungan dengan tujuan perusahaan.
Keyakinan akan pentingnya peran organ Komite Pemantau Risiko pada tata kelola
perusahaan ditunjukkan dari semakin banyaknya pembentukan komite tersebut di
perusahaan-perusahaan bonafit dunia. Lalu, bagaimana perkembangan fenomena
keberadaan Komite Pemantau Risiko pada industri non-bank yang ada di Indonesia?
Perkembangan Komite Pemantau Risiko pada Industri Non-Bank di Indonesia
Seiring berjalannya waktu, kesadaran akan kebutuhan pengelolaan risiko yang
lebih baik meningkat dalam rangka meningkatkan praktik GCG pada perusahaan.
Praktik GCG dibutuhkan perusahaan untuk mencapai keseimbangan kekuatan
wewenang yang dibutuhkan perusahaan, untuk menjamin kelangsungan eksistensinya
dan pertanggungjawabannya kepada stakeholders. Kebutuhan akan keberadaan
Komite Pemantauan Risiko pun berkembang hingga industri-industri pada sektor non-
bank. Hal ini ditunjukkan dengan kemunculan berbagai peraturan mengenai Komite
Pemantau Risiko pada perusahaan-perusahaan non-bank.
Dalam rangka meningkatkan GCG pada perusahaan di Indonesia, Komite
Nasional Kebijakan Governance (KNKG) mengeluarkan Pedoman Umum Good
Corporate Governance Indonesia. Pedoman yang diterbitkan pada tahun 2006 tersebut
menyebutkan bahwa Dewan Komisaris perlu untuk membentuk komite-komite
penunjang, salah satunya adalah Komite Kebijakan Risiko. Pedoman tersebut
menjelaskan bahwa Komite Kebijakan Risiko bertugas membantu Dewan Komisaris
dalam mengkaji sistem manajemen risiko yang disusun oleh Direksi serta memberikan
masukan dan rekomendasi mengenai risk tolerance yang dapat diambil oleh
perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Komite Pemantau Risiko
dibutuhkan dalam upaya memastikan terlaksananya GCG pada perusahaan.
Sejalan dengan pedoman yang diluncurkan oleh KNKG, Peraturan Menteri
Negara BUMN Nomor Per-10/MBU/2012 tentang Organ Pendukung Dewan
Komisaris/Dewan Pengawas BUMN mewajibkan BUMN di Indonesia untuk memiliki
Komite Pemantau Risiko pada struktur organisasinya. Pada peraturan tersebut
ditegaskan kembali bahwa Komite Pemantau Risiko bertanggung jawab langsung
kepada Dewan Komisaris/Dewan Pengawas. Komite Pemantau Risiko pada BUMN
bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan evaluasi pada penerapan
strategi, metode, kebijakan dan sistem manajemen risiko BUMN dalam usaha
meningkatkan efektivitas kegiatan ERM. Komite Pemantau Risiko juga harus memantau
risiko potensial yang dihadapi BUMN. Hal ini menunjukkan bahwa Komite Pemantau
Risiko akan berperan penting dalam penerapan ERM.
Keterkaitan Komite Pemantau Risiko Dengan ERM
Berdasarkan ISO31000, manajemen risiko adalah kegiatan-kegiatan
terkoordinasi yang bertujuan untuk mengarahkan dan mengontrol organisasi berkaitan
dengan risiko-risiko yang dihadapinya. Manajemen risiko mencakup prinsip-prinsip,
kerangka kerja, dan proses manajemen risiko yang digunakan perusahaan secara
berkelanjutan untuk mengelola risiko-risiko yang dihadapinya. Dengan merujuk pada
pendefinisian ini, maka ERM dapat dimaknai sebagai sebuah penerapan manajemen
risiko yang menyeluruh, mendetail, dan terintegrasi pada perusahaan. ERM diharapkan
dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan melalui pengelolaan terhadap risiko-
risiko perusahaan.
Tercermin dari tugas dan tanggung jawabnya, Komite Pemantau Risiko memiliki
peran penting pada pelaksanaan ERM, terutama dalam pemantauan dan
pengembangan kerangka kerja dan proses manajemen risiko perusahaan. Pada
kerangka kerja manajemen risiko, komite ini akan melaksanakan pemantauan dan
pengkajian, serta memberikan masukan untuk perbaikan yang berkesinambungan pada
kerangka kerja tersebut. Kegiatan tersebut dilakukan sesuai dengan salah satu prinsip
manajemen risiko yaitu perbaikan yang berkesinambungan pada pengelolaan risiko.
Dalam proses manajemen risiko, komite ini akan berkontribusi dalam melakukan
pemantauan dan pengkajian terhadap proses manajemen risiko, memantau kesesuaian
praktik manajemen risiko dengan kebijakannya, serta melakukan komunikasi dan
konsultasi pada pihak-pihak terkait proses manajemen risiko.
Komite Pemantau Risiko juga memiliki tanggung jawab dalam melakukan
komunikasi dan konsultasi dengan Dewan Komisaris perusahaan untuk memberikan
evaluasi dan saran berkaitan dengan proses manajemen risiko yang telah dilakukan
perusahaan.Dalam menjalankan tugasnya, Komite Pemantau Risiko hendaknya bekerja
sama dengan Komite Audit untuk memberi saran dan masukan lainnya mengenai risiko
potensial kepada BOD atau Dewan Komisaris. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan
yang erat antara Komite Pemantau Risiko dan Komite Audit.
Keterkaitan Komite Pemantau Risiko dengan Komite Audit
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/2006, Pedoman umum GCG
oleh KNKG, dan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-10/MBU/2012, untuk
menjamin tercapainya praktik terbaik GCG dibutuhkan kontribusi dari Komite Pemantau
Risiko dan Komite Audit dalam mendukung pelaksanaan tugas Dewan Komisaris. Pada
peraturan tersebut dijelaskan bahwa Komite Pemantau Risiko memiliki tanggung jawab
dalam pemantauan dan evaluasi pelaksanaan manajemen risiko pada perusahaan,
sedangkan Komite Audit bertanggung jawab dalam pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan audit, pengendalian proses internal, dan pelaporan keuangan. Kedua
komite pendukung Dewan Komisaris tersebut berperan sebagai organ komplementer
bagi satu sama lain dalam hal melakukan pengawasan pada perusahaan, tetapi
keduanya memiliki tanggung jawab di ranah yang berbeda.
Komite Audit memiliki peran penting dalam pengelolaan risiko fraud, risiko
keuangan, dan risiko kepatuhan pada perusahaan. Hal ini menunjukkan keterkaitannya
dengan Komite Pemantau Risiko yang bertugas memantau segala kegiatan manajemen
risiko pada perusahaan. Namun di Indonesia, tanggung jawab Komite Audit pada ranah
manajemen risiko lebih terbatas. Hal ini ditunjukkan pada tugas dan tanggung jawab
Komite Audit yang tertera pada PBI No.8/4/2006, Peraturan Menteri Negara BUMN
Nomor Per-10/MBU/2012, dan Pedoman Umum GCG oleh KNKG bahwa secara umum
Komite Audit hanya bertanggung jawab pada pengawasan dan evaluasi kegiatan audit
dan proses internal. Di sisi lain, Peraturan BAPEPAM Nomor IX.I.5 tentang
Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit menyatakan bahwa
komite audit memiliki tanggung jawab untuk memantau penerapan manajemen risiko
perusahaan apabila perusahaan tidak memiliki Komite Risiko. Peraturan tersebut
menunjukkan adanya rangkap tanggung jawab pada Komite Audit ke ranah manajemen
risiko pada beberapa perusahaan di Indonesia.
Mark S. Beasley, seorang Profesor ERM dari Delloitte, menyatakan bahwa tugas
dan tanggung jawab Komite Audit tidak berhenti pada pelaporan keuangan dan
pengendalian proses internal. Pada banyak kasus, BOD menyerahkan tanggung jawab
pemantauan proses manajemen risiko pada Komite Audit. Komite Audit juga
diharapkan dapat melakukan oversight function mengenai risiko potensial yang dapat
diidentifikasi olehnya dari laporan keuangan, proses internal perusahaan, dan faktor
eksternal perusahaan. Di satu sisi, tugas tambahan tersebut menunjukkan adanya
tumpang tindih antara tanggung jawab Komite Audit dengan Komite Pemantau Risiko.
Di sisi lain, adanya pemantauan terhadap risiko dan proses manajemen risiko dari dua
perspektif (Komite Audit dan Komite Pemantau Risiko) diharapkan dapat memperkaya
informasi yang dimiliki perusahaan dan meningkatkan efektivitas ERM perusahaan.
Sesuai dengan tugasnya yaitu menjamin penerapan ERM yang efektif pada
perusahaan, Komite Pemantau Risiko membutuhkan kompetensi-kompetensi khusus.
Kompetensi Manajemen Risiko yang Dibutuhkan Komite Pemantau Risiko
Kehadiran Komite Pemantau Risiko pada korporasi Indonesia merupakan hal
yang cukup baru, yaitu sejak tahun 2006 untuk sektor perbankan dan tahun 2012 untuk
BUMN. Pembentukan Komite Pemantau Risiko diwajibkan seiring meningkatnya
kesadaran otoritas mengenai pentingnya manajemen risiko pada perusahaan.
Efektivitas pelaksanaan fungsi dan peran Komite Pemantau Risiko diharapkan dapat
memberi nilai tambah dalam memperbaiki praktik GCG pada perusahaan, terutama
dalam memastikan diterapkannya ERM yang komprehensif oleh seluruh komponen
perusahaan. Dalam usaha pencapaian tujuan tersebut, Komite Pemantau Risiko tentu
akan menghadapi berbagai tantangan. Untuk itu, Komite Pemantau Risiko
membutuhkan kompetensi khusus untuk dapat menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya dengan baik.
Untuk sektor perbankan, berdasarkan laporan tahunan PT Bank Central Asia
Tbk., Pemimpin Komite Pemantau Risiko harus memiliki kompetensi di bidang ekonomi,
terutama pada bidang perbankan, moneter, dan keuangan. Sedangkan secara
keseluruhan, keanggotaan pada Komite Pemantau Risiko harus dilengkapi dengan
sumber daya insani yang memiliki kompetensi di bidang perbankan, moneter,
keuangan, teknologi informasi, dan manajemen risiko. Selain itu, seluruh anggota
Komite juga harus memiliki integritas, akhlak, dan moral yang baik.
Pengetahuan dan pemahaman manajemen risiko yang dimiliki oleh Komite
Pemantau Risiko akan sangat dibutuhkan oleh Dewan Komisaris dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan penerapan dan pemantauan ERM.
Untuk itu, menurut saya kompetensi kunci yang harus dimiliki oleh Komite Pemantau
Risiko adalah kompetensi manajemen risiko. Komite Pemantau Risiko harus mampu
mengidentifikasi, menilai, dan mengevaluasi risiko-risiko potensial yang dapat muncul
dan menjadi gangguan bagi perusahaan, baik akibat faktor internal maupun eksternal.
Selain itu, Komite Pemantau Risiko juga harus memiliki keahlian dalam penerapan
ERM, serta inovatif dalam melakukan pengembangan kerangka dan proses ERM agar
menjadi lebih efektif dan efisien dalam mengelola risiko perusahaan. Anggota Komite
Pemantau Risiko juga harus memiliki softskill berupa kemampuan komunikasi dan
kepemimpinan yang kuat.
Dalam usaha meningkatkan kompetensi di bidang manajemen risiko, para
anggota Komite Pemantau Risiko dan profesional lainnya di bidang manajemen risiko
dapat mengikuti pelatihan manajemen risiko dari berbagai lembaga penyedia pelatihan
manajemen risiko. Berbagai lokakarya dan practice sharing mengenai manajemen
risiko dapat diikutinya untuk memperluas pengetahuan dan wawasan. Mereka juga
dapat meningkatkan kredibilitas dan kualifikasi diri dengan mengambil ujian sertifikasi
manajemen risiko, seperti Enterprise Risk Management Certified Professional (ERMCP)
dan Certified in Enterprise Risk Governance (CERG) dari ERM Academy atau Certified
Fraud Examiners (CFE) dari Association of Certified Fraud Examiners (ACFE).
Berbagai kegiatan ini dibutuhkan bagi para anggota Komite Pemantau Risiko dalam
rangka meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya secara berkelanjutan.
3. Pengertian Board Power dan Board Composition
Board Power dan Board Composition merupakan wewenang dan susunan
dari dewan komisaris dalam suatu perusahaan. Sumber power bagi board
sangat tergantung pada: pengetahuan boards dan kekompakan boards sebagai
satu kesatuan. Board bekerja part time dalam perusahaan, sedangkan
manajemen adalah pekerja full time yang berkarir di perusahaan. Dilihat dari jam
kerjanya, tidak heran jika manajemen mempunyai pengetahuan yang lebih
tentang seluk beluk perusahaan, dibanding board. Dari perspektif manajemen,
pertemuan dengan boards sering dianggap sebagai alat bagi boards untuk
memperoleh informasi mengenai perusahaan dari manajemen. Board memang
memerlukan data perusahaan yang diperlukan, tetapi data tersebut harus diubah
menjadi informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan. Data keuangan
dan data lainya hanyalah bagian kecil dari cerita yang
sesungguhnya.Kemampuan mengolah data menjadi informasi dan pengetahuan
yang berguna sangat tergantung pada pengetahuan boards tentang bisnis
perusahaan. Pengetahuan yang superior mengenai perusahaan merupakan
sumber power bagi board.
Berikut ini merupakan Komposisi, Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota
Dewa Komisaris :
(a) Jumlah anggota Dewan Komisaris harus disesuaikan dengan kompleksitas
perusahaan dengan tetap memperhatikan efektivitas dalam pengambilan
keputusan.
(b) Dewan Komisaris dapat terdiri dari Komisaris yang tidak berasal dari pihak
terafiliasi yang dikenal sebagai Komisaris Independen dan Komisaris yang
terafiliasi. Yang dimaksud dengan terafiliasi adalah pihak yang mempunyai
hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali,
anggota Direksi dan Dewan Komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri.
Mantan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang terafiliasi serta karyawan
perusahaan, untuk jangka waktu tertentu termasuk dalam kategori terafiliasi.
(c) Jumlah Komisaris Independen harus dapat menjamin agar mekanisme
pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Salah satu dari Komisaris Independen harus mempunyai latar
belakang akuntansi atau keuangan.
(d) Anggota Dewan Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS melalui
proses yang transparan. Bagi Universitas Sumatera Utara perusahaan yang
sahamnya tercatat di bursa efek, badan usaha milik negara dan atau daerah,
perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan
yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan
yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, proses penilaian
calon anggota Dewan Komisaris dilakukan sebelum dilaksanakan RUPS melalui
Komite Nominasi dan Remunerasi. Pemilihan Komisaris Independen harus
memperhatikan pendapat pemegang saham minoritas yang dapat disalurkan
melalui Komite Nominasi dan Remunerasi. (e) Pemberhentian anggota Dewan
Komisaris dilakukan oleh RUPS berdasarkan alasan yang wajar dan setelah
kepada anggota Dewan Komisaris diberi kesempatan untuk membela diri.
Implementasinya dalam konteks GCG di Indonesia
Indonesia menganut sistem two-tier, yang membuat pemisahan pada
dewan komisaris dan dewan direksi, disatu sisi dewan direksi yang memiliki
peran dalam melaksanakan atau mengelola perusahaan dan disisi lain dewan
komisaris yang berperan dalam mengawasi dewan direksi dalam hal
pengelolaan perusahaan. Indonesia memiliki beberapa jenis perusahaan
diantaranya perusahaan swasta dan juga perusahaan BUMN. Kedua jenis
perusahaan ini memiliki perbedaan yang mendasar dalam hal pengangkatan
dewan komisaris dan dewan direksi, dimana pada perusahaan swasta
cenderung mengangkat keluarga dari pemilik perusahaan dan digabungkan
dengan beberapa orang professional serta karyawan yang memiliki karir
gemilang dan bisa masuk dalam dewan komisaris dan direksi. Sedangkan
dipihak BUMN, pengangkatan dewan komisaris dan dewan direksi sangat
dipengaruhi oleh pemerintah, dimana dalam hal ini diwakilkan oleh menteri
BUMN, jadi dalam hal ini menteri bisa mengangkat professional dari luar
perusahaan ataupun pejabat karir dari perusahaan itu sendiri.
Daftar Pustaka
(1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006. Diunduh dari
http://www.bpkp.go.id/public/upload/ unit/maluku/files/pbi8406%20GCG.pdf
(2) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-10/MBU/2012. Diunduh dari
http://www.bumn.go.id/wp-content/uploads/2012/07/PER-10-MBU-2012.pdf
(3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.010/2009. Diunduh
dari http://www.bapepam.go.id/p3/regulasi_p3/kepmen_p3/PMK_no_141_tahun_2009.p
df
(4) Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia oleh Komite Nasional
Kebijakan Governance. Diunduh dari
http://www.bapepam.go.id/pasar_modal/publikasi_pm/info_pm/Pedoman
%20GCG%20Indonesia%202006.pdf
(5) Komite Pemantau Risiko pada PT Bank CIMB Niaga Tbk. Diunduh dari
http://www.cimbniaga.com/index.php?ch=gen_about&pg=gen_about_us&ac=68
(6) General Motors Company Finance and Risk Committee Charter. Diunduh dari
http://www.gm.com/content/dam/gmcom/COMPANY/Investors/Corporate_Governance/
PDFs/2012-FRC-Finance-Risk-Committee-Charter.pdf
(7) Beasley,M. S. (2010). Board Audit Committee Involvement in Risk Management
Oversight.
Diunduhdari http://www.aicpa.org/ForThePublic/AuditCommitteeEffectiveness/AuditCom
mi…ableDocuments/board%20and%20audit%20com%20role%20in%20risk%20oversig
ht.pdf
(8)http://crmsindonesia.org/publications/fungsi-dan-peran-komite-pemantau-risiko-serta-
kontribusinya-dalam-penerapan-enterprise-risk-management-di-indonesia/
(9)https://farizadlanblog.wordpress.com/2017/03/27/perbedaan-antara-board-of-
director-board-committes-board-power-dan-board-composition-dalam-implmentasiko-
konteks-good-corporat-governance-di-indonesia/
(10)http://www.kompasiana.com/kurniawannova/menyoal-istilah-board-of-director-di-
indonesia_54f791dda33311a3738b4784

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

Analisis kinerja birokrasi pemerinta.doc
Analisis kinerja birokrasi pemerinta.docAnalisis kinerja birokrasi pemerinta.doc
Analisis kinerja birokrasi pemerinta.doc
mandala72
 
Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
Septyarini Emppink
 
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Operator Warnet Vast Raha
 
PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI
PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI
PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI
Heru Fernandez
 
Makalah good governance
Makalah good governanceMakalah good governance
Makalah good governance
Khuzain Achmed
 
Tgas pkn good governance
Tgas pkn good governanceTgas pkn good governance
Tgas pkn good governance
Ukhty Shèýza
 

La actualidad más candente (20)

Reformasi administrasi
Reformasi administrasiReformasi administrasi
Reformasi administrasi
 
Good governance
Good governanceGood governance
Good governance
 
Analisis kinerja birokrasi pemerinta.doc
Analisis kinerja birokrasi pemerinta.docAnalisis kinerja birokrasi pemerinta.doc
Analisis kinerja birokrasi pemerinta.doc
 
Pelayanan prima
Pelayanan primaPelayanan prima
Pelayanan prima
 
Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
 
Good clean governance-libre
Good clean governance-libreGood clean governance-libre
Good clean governance-libre
 
Etika sektor publik
Etika sektor publikEtika sektor publik
Etika sektor publik
 
BE & GG, Poltak Bobby, Hapzi Ali, Good Corporate Governance, Universitas Merc...
BE & GG, Poltak Bobby, Hapzi Ali, Good Corporate Governance, Universitas Merc...BE & GG, Poltak Bobby, Hapzi Ali, Good Corporate Governance, Universitas Merc...
BE & GG, Poltak Bobby, Hapzi Ali, Good Corporate Governance, Universitas Merc...
 
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
 
Etika Pelayanan Publik
Etika Pelayanan PublikEtika Pelayanan Publik
Etika Pelayanan Publik
 
Etika profesi PNS
Etika profesi PNSEtika profesi PNS
Etika profesi PNS
 
Makalah jadi
Makalah jadiMakalah jadi
Makalah jadi
 
Good Governance dan Pelayanan Publik
Good Governance dan Pelayanan PublikGood Governance dan Pelayanan Publik
Good Governance dan Pelayanan Publik
 
PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI
PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI
PRIVATISASI DAN REFORMASI ADMINISTRASI
 
Good government (kel 10)
Good government (kel 10)Good government (kel 10)
Good government (kel 10)
 
Government dan Manajemen
Government dan Manajemen Government dan Manajemen
Government dan Manajemen
 
Makalah good governance
Makalah good governanceMakalah good governance
Makalah good governance
 
Lingkungan administrasi publik
Lingkungan administrasi publikLingkungan administrasi publik
Lingkungan administrasi publik
 
Tgas pkn good governance
Tgas pkn good governanceTgas pkn good governance
Tgas pkn good governance
 
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...
 

Similar a Be & gg, Asep Muhamad Perdiana, Hapzi Ali, Board of Director,Board Committes, Board Power dan Board Composition, Universitas Mercubuana 2017

Materi kuliah Pengantar Ilmu Administrasi Negara, tentang Good Governance 1.ppt
Materi kuliah Pengantar Ilmu Administrasi Negara, tentang Good Governance 1.pptMateri kuliah Pengantar Ilmu Administrasi Negara, tentang Good Governance 1.ppt
Materi kuliah Pengantar Ilmu Administrasi Negara, tentang Good Governance 1.ppt
DedenSuhendar5
 
11Tata_Kelola_Pemerintahan_Yang_Baik_Dan_Bersih_Lusia_Herni_P.MTK_1 (1).pptx
11Tata_Kelola_Pemerintahan_Yang_Baik_Dan_Bersih_Lusia_Herni_P.MTK_1 (1).pptx11Tata_Kelola_Pemerintahan_Yang_Baik_Dan_Bersih_Lusia_Herni_P.MTK_1 (1).pptx
11Tata_Kelola_Pemerintahan_Yang_Baik_Dan_Bersih_Lusia_Herni_P.MTK_1 (1).pptx
UmmuFaizah7
 
Kewarrganegaraan 666666
Kewarrganegaraan 666666Kewarrganegaraan 666666
Kewarrganegaraan 666666
Ardi88
 

Similar a Be & gg, Asep Muhamad Perdiana, Hapzi Ali, Board of Director,Board Committes, Board Power dan Board Composition, Universitas Mercubuana 2017 (20)

BE & GG, Rizki Aditama, Hapzi Ali, Good Government Corporate Governance , Uni...
BE & GG, Rizki Aditama, Hapzi Ali, Good Government Corporate Governance , Uni...BE & GG, Rizki Aditama, Hapzi Ali, Good Government Corporate Governance , Uni...
BE & GG, Rizki Aditama, Hapzi Ali, Good Government Corporate Governance , Uni...
 
BE & GG, Rizki Aditama, Hapzi Ali, Good Government & Corporate Governance , U...
BE & GG, Rizki Aditama, Hapzi Ali, Good Government & Corporate Governance , U...BE & GG, Rizki Aditama, Hapzi Ali, Good Government & Corporate Governance , U...
BE & GG, Rizki Aditama, Hapzi Ali, Good Government & Corporate Governance , U...
 
Materi kuliah Pengantar Ilmu Administrasi Negara, tentang Good Governance 1.ppt
Materi kuliah Pengantar Ilmu Administrasi Negara, tentang Good Governance 1.pptMateri kuliah Pengantar Ilmu Administrasi Negara, tentang Good Governance 1.ppt
Materi kuliah Pengantar Ilmu Administrasi Negara, tentang Good Governance 1.ppt
 
Penerapan prinsip GOOD GOVERNANCE dalam sektor publik
Penerapan prinsip GOOD GOVERNANCE dalam sektor publikPenerapan prinsip GOOD GOVERNANCE dalam sektor publik
Penerapan prinsip GOOD GOVERNANCE dalam sektor publik
 
Good goveernance & otonomi daerah Semester 2
Good goveernance & otonomi daerah Semester 2Good goveernance & otonomi daerah Semester 2
Good goveernance & otonomi daerah Semester 2
 
1_TKMRP1_Tata Kelola_net.pptx
1_TKMRP1_Tata Kelola_net.pptx1_TKMRP1_Tata Kelola_net.pptx
1_TKMRP1_Tata Kelola_net.pptx
 
11Tata_Kelola_Pemerintahan_Yang_Baik_Dan_Bersih_Lusia_Herni_P.MTK_1 (1).pptx
11Tata_Kelola_Pemerintahan_Yang_Baik_Dan_Bersih_Lusia_Herni_P.MTK_1 (1).pptx11Tata_Kelola_Pemerintahan_Yang_Baik_Dan_Bersih_Lusia_Herni_P.MTK_1 (1).pptx
11Tata_Kelola_Pemerintahan_Yang_Baik_Dan_Bersih_Lusia_Herni_P.MTK_1 (1).pptx
 
Sari
SariSari
Sari
 
BE & GG, Eko BUdi SUdrajat, Hapzi Ali, Good Governemt Corporate Governance, U...
BE & GG, Eko BUdi SUdrajat, Hapzi Ali, Good Governemt Corporate Governance, U...BE & GG, Eko BUdi SUdrajat, Hapzi Ali, Good Governemt Corporate Governance, U...
BE & GG, Eko BUdi SUdrajat, Hapzi Ali, Good Governemt Corporate Governance, U...
 
BE & GG, Eko Budi Sudrajat, Hapzi Ali, Good Government Corporate Governance, ...
BE & GG, Eko Budi Sudrajat, Hapzi Ali, Good Government Corporate Governance, ...BE & GG, Eko Budi Sudrajat, Hapzi Ali, Good Government Corporate Governance, ...
BE & GG, Eko Budi Sudrajat, Hapzi Ali, Good Government Corporate Governance, ...
 
BE & GG, Eko Budi Sudrajat, Hapzai Ali, Good Government Corporate Governance,...
BE & GG, Eko Budi Sudrajat, Hapzai Ali, Good Government Corporate Governance,...BE & GG, Eko Budi Sudrajat, Hapzai Ali, Good Government Corporate Governance,...
BE & GG, Eko Budi Sudrajat, Hapzai Ali, Good Government Corporate Governance,...
 
Proposal Pendahuluan PENGARUH KEPUASAN PEGAWAI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA PE...
Proposal Pendahuluan PENGARUH KEPUASAN PEGAWAI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA PE...Proposal Pendahuluan PENGARUH KEPUASAN PEGAWAI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA PE...
Proposal Pendahuluan PENGARUH KEPUASAN PEGAWAI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA PE...
 
KONSEPSI GG.pdf
KONSEPSI GG.pdfKONSEPSI GG.pdf
KONSEPSI GG.pdf
 
Kewarrganegaraan 666666
Kewarrganegaraan 666666Kewarrganegaraan 666666
Kewarrganegaraan 666666
 
ppt birokrasi.ppt
ppt birokrasi.pptppt birokrasi.ppt
ppt birokrasi.ppt
 
Kelompok 1.pptx
Kelompok 1.pptxKelompok 1.pptx
Kelompok 1.pptx
 
Pembangunan Masyarakat Kota
Pembangunan Masyarakat KotaPembangunan Masyarakat Kota
Pembangunan Masyarakat Kota
 
Rangkuman asp
Rangkuman aspRangkuman asp
Rangkuman asp
 
Kebijakan publik sbg keputusan mengandung konsekuensi moral
Kebijakan publik sbg keputusan mengandung konsekuensi moralKebijakan publik sbg keputusan mengandung konsekuensi moral
Kebijakan publik sbg keputusan mengandung konsekuensi moral
 
Materi 7
Materi  7Materi  7
Materi 7
 

Último (8)

MATERI SOSIALISASI TRIBINA (BKB, BKL, BKR) DAN UPPKS BAGI KADER DESA PKK POKJ...
MATERI SOSIALISASI TRIBINA (BKB, BKL, BKR) DAN UPPKS BAGI KADER DESA PKK POKJ...MATERI SOSIALISASI TRIBINA (BKB, BKL, BKR) DAN UPPKS BAGI KADER DESA PKK POKJ...
MATERI SOSIALISASI TRIBINA (BKB, BKL, BKR) DAN UPPKS BAGI KADER DESA PKK POKJ...
 
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administratorevaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
 
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdfRUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
 
Slide-AKT-301-07-02-2017-konsep-pelayanan-publik (3).ppt
Slide-AKT-301-07-02-2017-konsep-pelayanan-publik (3).pptSlide-AKT-301-07-02-2017-konsep-pelayanan-publik (3).ppt
Slide-AKT-301-07-02-2017-konsep-pelayanan-publik (3).ppt
 
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptxSOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
 
PELATIHAN BAPELKES ANTIKORUPSI 0502.pptx
PELATIHAN BAPELKES ANTIKORUPSI 0502.pptxPELATIHAN BAPELKES ANTIKORUPSI 0502.pptx
PELATIHAN BAPELKES ANTIKORUPSI 0502.pptx
 
Agenda III - Organisasi Digital - updated.pdf
Agenda III - Organisasi Digital - updated.pdfAgenda III - Organisasi Digital - updated.pdf
Agenda III - Organisasi Digital - updated.pdf
 
Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Arsiparis.pptx
Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Arsiparis.pptxStandar Kompetensi Jabatan Fungsional Arsiparis.pptx
Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Arsiparis.pptx
 

Be & gg, Asep Muhamad Perdiana, Hapzi Ali, Board of Director,Board Committes, Board Power dan Board Composition, Universitas Mercubuana 2017

  • 1. NAMA : Asep Muhamad Perdiana NIM : 55117110181 DOSEN : Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA MATA KULIAH : Bussines Ethic And Good Governance FORUM PERTEMUAN KE 4 Menurut saya, menerapkan praktik good governance dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance. Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah , warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan public. Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya prosedur pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan menjadi sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian pelayanan publik, disamping permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan martabatnya sebagai warga Negara.
  • 2. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya. Hal ini terjadi karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah kepada budaya kekuasaan. Upaya untuk menghubungkan tata-pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik barangkali bukan merupakan hal yang baru. Namun keterkaitan antara konsep good- governance (tata-pemerintahan yang baik) dengan konsep public service (pelayanan publik) tentu sudah cukup jelas logikanya publik dengan sebaik-baiknya. Argumentasi lain yang membuktikan betapa pentingnya pelayanan publik ialah keterkaitannya dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Inilah yang tampaknya harus dilihat secara jernih karena di negara-negara berkembang kesadaran para birokrat untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat masih sangat rendah. Secara garis besar, permasalahan penerapan Good Governance meliputi: 1. Reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat 2. Tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan; 3. Masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur; 4. Makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik; 5. Meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum; 6. Meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan dalam era desentralisasi; 7. Rendahnya kinerja sumberdaya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan daerah yang belum memadai; Konsep Efektif Good Governance Bagi Indonesia Diantaranya sebagai berikut : 1. Tata pemerintahan yang berwawasan ke depan (visi strategis), Semua kegiatan pemerintah di berbagai bidang dan tingkatan seharusnya didasarkan pada visi dan misi yang jelas dan jangka waktu pencapaiannya serta dilengkapi strategi implementasi yang tepat sasaran, manfaat dan berkesinambungan. 2. Tata pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan), Wujud nyata prinsip tersebut antara lain dapat dilihat apabila masyarakat mempunyai kemudahan untuk mengetahui serta memperoleh data dan informasi tentang kebijakan, program, dan kegiatan aparatur pemerintah, baik yang dilaksanakan di tingkat pusat maupun daerah. 3. Tata pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat, Masyarakat yang berkepentingan ikut serta dalam proses perumusan dan/atau pengambilan keputusan atas kebijakan publik yang diperuntukkan bagi masyarakat, sehingga keterlibatan
  • 3. masyarakat sangat diperlukan pada setiap pengambilan kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. 4. Tata pemerintahan yang bertanggung jawab/ bertanggung gugat (akuntabel), Instansi pemerintah dan para aparaturnya harus dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Demikian halnya dengan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan. 5. Tata pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum, Wujud nyata prinsip ini mencakup upaya penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran HAM, peningkatan kesadaran hukum, serta pengembangan budaya hukum. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan menggunakan aturan dan prosedur yang terbuka dan jelas, serta tidak tunduk pada manipulasi politik. 6. Tata pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada konsensus, Perumusan kebijakan pembangunan baik di pusat maupun daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Keputusan-keputusan yang diambil antara lembaga eksekutif dan legislatif harus didasarkan pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar merupakan keputusan bersama. 7. Tata pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetensi, Wujud nyata dari prinsip profesionalisme dan kompetensi dapat dilihat dari upaya penilaian kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari upaya perbaikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia. 8. Tata pemerintahan yang cepat tanggap (responsif), Aparat pemerintahan harus cepat tanggap terhadap perubahan situasi/kondisi mengakomodasi aspirasi masyarakat, serta mengambil prakarsa untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. 9. Tata pemerintahan yang menggunakan struktur & sumber daya secara efisien & efektif, Pemerintah baik pusat maupun daerah dari waktu ke waktu harus selalu menilai dukungan struktur yang ada, melakukan perbaikan struktural sesuai dengan tuntutan perubahan seperti menyusun kembali struktur kelembagaan secara keseluruhan, menyusun jabatan dan fungsi yang lebih tepat, serta selalu berupaya mencapai hasil yang optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya yang tersedia secara efisien dan efektif. 10. Tata pemerintahan yang terdesentralisasi, Pendelegasian tugas dan kewenangan pusat kepada semua tingkatan aparat sehingga dapat mempercepat proses pengambilan keputusan, serta memberikan keleluasaan yang cukup untuk mengelola pelayanan publik dan menyukseskan pembangunan di pusat maupun di daerah. 11. Tata pemerintahan yang mendorong kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat, Pembangunan masyarakat madani melalui peningkatan peran serta masyarakat dan sektor swasta harus diberdayakan melalui pembentukan kerjasama atau kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Hambatan birokrasi yang menjadi rintangan terbentuknya kemitraan yang setara harus segera diatasi dengan
  • 4. perbaikan sistem pelayanan kepada masyarakat dan sektor swasta serta penyelenggaraan pelayanan terpadu. 12. Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pengurangan kesenjangan, Pengurangan kesenjangan dalam berbagai bidang baik antara pusat dan daerah maupun antardaerah secara adil dan proporsional merupakan wujud nyata prinsip pengurangan kesenjangan. Hal ini juga mencakup upaya menciptakan kesetaraan dalam hukum (equity of the law) serta mereduksi berbagai perlakuan diskriminatif yang menciptakan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. 13. Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan hidup, Daya dukung lingkungan semakin menurun akibat pemanfaatan yang tidak terkendali. Kewajiban penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan secara konsekuen, penegakan hukum lingkungan secara konsisten, pengaktifan lembaga-lembaga pengendali dampak lingkungan, serta pengelolaan sumber daya alam secara lestari merupakan contoh perwujudan komitmen pada lingkungan hidup. QUIZ PERTEMUAN KE 4 1. Pengertian Board of Director Board of Directors adalah istilah yang digunakan di Amerika Serikat untuk kelompok pengawas dan pengelola perusahaan yang terdiri dari perwakilan pemegang saham mayoritas, pendiri perusahaan, kreditor utama, dan orang- orang yang berjasa pada perusahaan. Struktur perusahaan model Amerika adalah seperti pada gambar 1-1. Model Amerika ini disebut one board system. Dari Board of Directors, akan dipilih diantara mereka, paling tidak dua orang untuk menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) dan Chief Financial Officer (CFO), sering juga ditambah satu orang lagi yang menjabat sebagai Chief Operating Officer (COO) Berbeda dengan model Amerika, model Eropa menganut two tiers system (lihat gambar 1 dan 2) seperti yang diterapkan di Indonesia. Dalam system dua tingkat (two tiers), Pemegang saham akan menunjuk sekelompok pengelola operasi perusahaan (management) dan juga pengawas dan penasihat manajemen yang disebut komisaris (Commissioners). Permasalahan pengawasan perusahaan ini berkembang dari waktu ke waktu karena luasan dan kepemilikan perusahaan. Berkenaan dengan bentuk Dewan dalam sebuah perusahaan, terdapat dua sistem yang berbeda yang berasal dari dua sistem hukum yang berbeda, yaitu Anglo Saxon dan dari Kontinental Eropa. Sistem Hukum Anglo Saxon mempunyai Sistem Satu Tingkat atau One Tier System. Di sini perusahaan hanya mempunyai satu Dewan Direksi yang pada umumnya merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (Direktur Eksekutif) dan Direktur Independen yang bekerja dangan prinsip paruh waktu (Non Direktur Eksekutif). Pada dasarnya yang disebut belakangan ini diangkat karena kebijakannya,
  • 5. pengalamannya dan relasinya. Negara-negara dengan One Tier System misalnya Amerika Serikat dan Inggris. Sistem Hukum Kontinental Eropa mempunyai Sistem Dua Tingkat atau Two Tiers System. Di sini perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu Dewan Pengawas (Dewan Komisaris) dan Dewan Manajemen (Dewan FCGI 3 General Meeting of the Shareholders (GMoS) Board of Directors Executive Director Non Executive Director (senior management) (part time independent members) buku fcgi 05/06/01 10:50 AM Page 3 Direksi). Yang disebutkan terakhir, yaitu Dewan Direksi, mengelola dan mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan pengawasan Dewan Komisaris. Dalam sistem ini, anggota Dewan Direksi diangkat dan setiap waktu dapat diganti oleh badan pengawas (Dewan Komisaris). Dewan Direksi juga harus memberikan informasi kepada Dewan Komisaris dan menjawab hal-hal yang diajukan oleh Dewan Komisaris. Sehingga Dewan Komisaris terutama bertanggungjawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen. Dalam hal ini Dewan Komisaris tidak boleh melibatkan diri dalam tugas-tugas manajemen dan tidak boleh mewakili perusahaan dalam transaksi-transaksi dengan pihak ketiga. Anggota Dewan Komisaris diangkat dan diganti dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Negara-negara dengan Two Tiers System adalah Denmark, Jerman, Belanda, dan Jepang. Karena sistem hukum Indonesia berasal dari sistem hukum Belanda, maka hukum perusahaan Indonesia menganut Two Tiers System untuk struktur dewan dalam perusahaan. Meskipun demikian dalam sistem hukum dewasa ini terdapat pula perbedaan-perbedaan yang cukup penting termasuk di dalamnya adalah hak dan kewajiban Dewan Komisaris dimana dalam keadaan yang umum tidak termasuk kewenangan Dewan Komisaris untuk menunjuk dan memberhentikan direksi. Peranan Dewan Komisaris dalam Suatu Perusahaan. Dewan Komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan Good Corporate Governance. Menurut Egon Zehnder, Dewan Komisaris – merupakan inti dari Corporate Governance – yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya, Dewan Komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan. Mengingat manajemen yang bertanggungjawab untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan – sedangkan Dewan Komisaris bertanggungjawab untuk mengawasi manajemen – maka Dewan Komisaris merupakan pusat ketahanan dan kesuksesan perusahaan. (Egon Zehnder International, 2000 hal.12-13) Lebih lanjut tugas- tugas utama Dewan Komisaris meliputi: 1. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha; menetapkan sasaran kerja; mengawasi
  • 6. pelaksanaan dan kinerja perusahaan; serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset; 2. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan FCGI 5 buku fcgi 05/06/01 10:50 AM Page 5 penggajian anggota Dewan Direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota Dewan Direksi yang transparan dan adil; 3. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat manajemen, anggota Dewan Direksi dan anggota Dewan Komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan; 4. Memonitor pelaksanaan Governance, dan mengadakan perubahan di mana perlu; 5. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan.(OECD Principles of Corporate Governance) Dalam konsep corporate governance dikenal dua frameworkpengelolaan korporasi, yaitu one tier system dan two tier system. One tier system merupakan konsep pengelolaan yang umumnya digunakan oleh Anglo Saxon Countries seperti UK, US dan Canada. Pada konsep ini fungsi pengelolaan dan pengawasan dijadikan satu wadah/board. Sementara konsep Two Tier System banyak digunakan di negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda dan Finlandia dimana fungsi pengelolaannya dipisahkan dengan fungsi pengawasan dalam dua wadah/board yang berbeda. Namun tidak dapat diabaikan bahwa pada kenyataannya batasan wilayah negara menjadi sedikit kabur karena terdapat beberapa perusahaan US yang juga menggunakan konsep two tier system seperti negara Eropa daratan, dan sebaliknya terdapat negara Eropa daratan yang menggunakan konsep one tier system seperti pengelolaan ala US/UK. Dalam perkembangannya konsep two tier system lebih banyak digunakan dalam praktek bisnis disebabkan keunggulannya dalam mengakomodasi konflik kepentingan antara pemilik modal dan manajemen. Konsep ini juga makin berkembang pesat setelah munculnya berbagai skandal bisnis besar seperti Enron, World-com, HIH Insurance dan lain sebagainya. United States (US) sendiri sebagai negara anglo saxon yang awalnya dikenal menggunakan konsep one tier system akhirnya mengarah kepada konsep two tier system dalam pengelolaannya. Hal ini dapat dilihat pada struktur perusahaan-perusahaan US saat ini. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda menganut two tier system seperti pengelolaan yang digunakan oleh Belanda. Dasar hukum yang mengatur tentang korporasi di Indonesia (biasa disebut Perseroan Terbatas atau „PT‟) adalah UU No. 40 tahun 2007. Perseroan Terbatas di Indonesia kemudian diwajibkan memiliki 3 organ, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. RUPS merupakan organ tertinggi yang memiliki wewenang yang tidak dimiliki oleh organ lainnya. Direksi merupakan organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan. Sementara Dewan Komisaris merupakan organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberi nasihat kepada
  • 7. Direksi. Permasalahan kemudian muncul ketika mencari terjemahan kata yang tepat untuk menterjemahkan kata “Direksi” ke dalam Bahasa Inggris. Pada umumnya istilah yang sering digunakan di dunia global untuk menunjuk Board yang berfungsi melakukan daily operation adalah Executive Board/Board of Management. Itulah sebabnya Top Management dalam beberapa perusahaan US sering disebut Chief Executive Officer atau pada perusahaan UK disebut Managing Director. Sementara istilah yang digunakan untuk menunjuk Board yang berfungsi melakukan pengawasan kepada Executives adalah Board of Director/Supervisory Board. Pimpinan tertinggi dari Board of Directorsering disebut Chairman. Jika „Direksi‟ yang digunakan dalam UU No. 40 tahun 2007 diterjemahkan sebagai Director, maka „Dewan Direksi‟ jika diterjemahkan akan menjadi Board of Director. Hal ini akan rancu jika dibandingkan dengan praktek bisnis dunia yang menggunakan istilah Board of Director sebagai wakil pemegang saham (setara komisaris di Indonesia). Apple contohnya, sebagai sebuah perusahaan multinasional Amerika yang membuat produk-produk elektronik, software dan PC, membagi pengelolaan perusahaan ke dalam 2 Board, yaitu Board yang berfungsi menjalankan roda operasional perusahaan (disebut Executives Team) dan Board yang terdiri dari wakil pemegang saham dan berfungsi melakukan pengawasan kepada Manajemen (disebut Board of Directors). Uniknya, Tim Cook yang merupakan CEO dari Apple juga merupakan anggota dari Board of Directors bersama dengan wakil pemegang saham lain seperti Robert A Iger (CEO Walt Disney), Ronald D Sugar (CEONorthrop Grumman), Arthur D Levinson (CEO Genentech) dan member lainnya. Pengelolaan seperti Applejuga teraplikasi dalam perusahaan US lain seperti Ford, Chevron, Mc Donald, Procter&Gamble dan lain sebagainya. Hal tersebut juga terdapat pada perusahaan UK seperti Vodafone dan British Petroleum. Perbedaannya adalah di atas kertas perusahaan UK hanya memiliki satu Board yang disebut Board of Directors, namun secara fungsi Board of Directors tersebut terbagi dalam member yang melakukan fungsi pengawasan (biasa disebut Non Executives Director) dan member dengan fungsi daily operation (biasa disebut Executives). Berbeda dengan ThyssenKrupp dan Volkswagen asal Jerman atau Philips asal Belanda yang membagi Board of Directors (setara komisaris di Indonesia) dan Executive Board berisikan member yang berbeda satu sama lain. Di negara-negara ASEAN seperti Malaysia atau Singapura pun Board of Director digunakan untuk menunjuk wakil pemegang saham yang bertugas mensupervisi Executives/Management team. Vietnam dengan TLCC misalnya berbeda dengan Malaysia dan Singapura dalam penggunaan istilah, namun Vietnam menggunakan Supervisory Board (setara komisaris di Indonesia) dan Board of Management, bukan Board of Director, untuk menunjuk Manajemennya. Kerancuan istilah Board of Director ini sewajarnya membuat Indonesia harus kembali mengkaji istilah “Direksi” dalam UU No. 40 tahun 2007 agar dapat relevan dengan praktek bisnis yang umumnya terjadi di dunia.
  • 8. Bukankah lebih baik jika istilah “Direksi” dalam Undang-Undang diganti menjadi Eksekutif (terjemahan kata dari Executive) atau Manajemen (terjemahan kata dari Management) atau kata lain yang tidak berpotensi memberikan kebingungan bagi stakeholders khususnya yang bukan Warga Negara Indonesia. “Ah, kan cuma istilah, yang penting kan sama-sama tau maksudnya.” Dalam dunia bisnis terdapat sebuah kejadian menarik dimana FASB (Financial Accounting Standard Boards), organisasi yang bertujuan mengembangkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum di Amerika Serikat tidak segan-segan untuk mengganti istilah yang tidak tepat disebabkan alasan berikut. ”Information provided by financial reporting should be comprehensible to those who have a reasonable understanding of business and economic activities and are willing to study the information with reasonable diligence” . Dalam konteks dunia bisnis penggunaan istilah yang tepat dianjurkan untuk digunakan karena pihak yang berkepentingan dengan informasi tersebut adalah orang dengan kualifikasi tertentu dan terdidik. Selisih pemahaman berpotensi untuk memberikan pengambilan keputusan yang tidak tepat sehingga penggunaan istilah yang tepat diharapkan dapat membantu pengambilan keputusan terbaik bagi stakeholders. Financial Reporting memiliki definisi yang berbeda dengan Financial Report. Financial Reporting mencakup bidang yang lebih luas seperti lembaga yang terlibat dan peraturan yang berlaku dalam penyusunan laporan keuangan. 2. Pengertian Board Committes Telah diketahui secara umum bahwa untuk dapat bekerja secara tepat guna dalam suatu lingkungan usaha yang kompleks Dewan Komisaris harus mendelegasikan beberapa tugas mereka kepada komite-komite. Adanya komite- komite ini merupakan suatu sistem yang bermanfaat untuk dapat melaksanakan pekerjaan Dewan Komisaris secara lebih rinci dengan memusatkan perhatian Dewan Komisaris kepada bidang khusus perusahaan atau cara pengelolaan yang baik (Governance) oleh manajemen. Komite-komite yang pada umumnya dibentuk adalah Komite Kompensasi/Remunerasi untuk badan eksekutif dalam perusahaan, Komite Nominasi, dan Komite Audit. Berdasarkan praktek yang umum berlaku di dunia internasional disarankan bahwa anggota komite-komite tersebut diisi oleh anggota Komisaris Independen. Walaupun komite-komite tersebut belum merupakan hal yang umum terdapat di berbagai bagian dunia, namun kecendurangan akan menyebar sejalan dengan perkembangan perusahaan, serta masalah yang lebih kompleks dan yang lebih luas. Dewan Komisaris harus mempertimbangkan untuk mengangkat seorang komisaris dan menetapkan suatu kebijakan tentang pergantian ketua komite-komite tersebut. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa setiap komisaris mendapat kesempatan untuk ikut serta sesuai dengan caranya dan masing-masing untuk memperoleh pandangan-pandangan baru. FCGI 10 buku fcgi 05/06/01 10:50 AM Page 10 Dalam Corporate Governance terdapat tiga komite yang memiliki peranan penting, yaitu:
  • 9. 1. Komite Kompensasi/Remunerasi (Compensation/Remuneration Committee) Membuat rekomendasi terhadap keputusan-keputusan yang menyangkut remunerasi/kompensasi untuk Dewan Direksi dan kebijakan- kebijakan kompensasi lainnya, termasuk hubungan antara prestasi perusahaan dengan kompensasi bagi eksekutif perusahaan dalam hal ini CEO. 2. Komite Nominasi (Nomination/Governance Committee) Mengawasi proses pencalonan komisaris dan direksi, menyeleksi para kandidat yang akan dicalonkan, dan mengusulkan kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur tentang struktur dewan dan proses nominasinya. 3. Komite Audit (Audit Committee) Memberikan suatu pandangan tentang masalah akuntansi, laporan keuangan dan penjelasannya, sistem pengawasan internal serta auditor independen.(Egon Zehnder International, 2000: p. 21) Setiap perusahaan menghadapi ketidakpastian dan risiko yang menjadi kendala bagi mereka dalam usaha mencapai visi dan misi mereka. Pemimpin perusahaan, yaitu Direksi pada one-tier board system, atau Direksi dan Dewan Komisaris pada two-tier board system, memiliki tanggung jawab dalam mejamin penerapan manajemen risiko yang efektif pada perusahaan. Dalam menjalankan tugas tersebut, pemimpin perusahaan dapat membentuk komite-komite pembantu, misalnya Komite Audit, Komite Renumerasi dan Nominasi, dan Komite Pemantau Risiko. Dalam artikel ini, penulis akan mengulas mengenai Komite Pemantau Risiko sebagai salah satu organ pendukung perusahaan dalam mengelola risiko. Di Indonesia, keberadaan Komite Pemantau Risiko telah bersifat mandatory pada industri perbankan. Fungsi dan Peran Komite Pemantau Risiko Di Indonesia, keberadaan Komite Pemantau Risiko hanya diwajibkan pada industri perbankan karena tingginya risiko yang melekat pada aktivitas bisnis perbankan. Industri perbankan juga memiliki keunikan tersendiri, ditunjukkan dari tingginya rasio hutang terhadap modal pada industri tersebut (dapat mencapai 9:1). Selain itu, aktivitas industri perbankan juga memiliki pengaruh yang besar pada masyarakat, karena sebagian besar dana yang dihimpun dan disalurkan oleh bank adalah dari dan untuk masyarakat. Oleh sebab itu, Komite Pemantau Risiko dibutuhkan untuk mendukung manajemen risiko dan stabilitas perbankan. Merujuk pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governancepada Bank Umum, dapat disimpulkan bahwa Komite Pemantau Risiko adalah komite yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris dalam usaha mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris terkait penerapan dan pengawasan manajemen risiko pada perusahaan. Pada beberapa jenis usaha di Indonesia, seperti perbankan dan lembaga pembiayaan ekspor Indonesia (LPEI), keberadaan Komite Pemantau Risiko dalam struktur organisasi telah diwajibkan berdasarkan beragam peraturan yang ditetapkan pihak regulator terkait. Peraturan tersebut ditetapkan demi mendukung peningkatan efektivitas penerapan Good Corporate Governance (GCG) perusahaan.
  • 10. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia yang tertera di paragraf sebelumnya, Dewan Komisaris wajib membentuk Komite Pemantau Risiko dalam usaha pencapaian tata kelola perusahaan yang baik. Komite Pemantau Risiko pada bank umum di Indonesia bertugas untuk: 1. Mengevaluasi kesesuaian kebijakan manajemen risiko dengan pelaksanaannya; dan 2. Melakukan pengawasan dan evaluasi pada pelaksanaan tugas Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko. Pada peraturan tersebut dijelaskan juga bahwa Komite Pemantau Risiko wajib untuk diketuai oleh Komisaris Independen dan paling kurang 51% dari keanggotaannya terdiri dari pihak independen. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.010/2009 tentang Prinsip Tata Kelola Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) juga menegaskan kewajiban pembentukan Komite Pemantau Risiko pada LPEI. Tugas Komite Pemantau Risiko di LPEI menyerupai tugas Komite Pemantau Risiko pada perbankan, namun pada LPEI, Komite Pemantau Risiko bertanggung jawab pada Direksi, bukan Dewan Komisaris. Sesuai dengan landasan hukum di atas, berbagai bank umum di Indonesia telah membuat piagam Komite Pemantau Risiko dalam rangka memperjelas peran, kewenangan, dan tanggung jawab Komite Pemantau Risiko. Salah satu bank terbesar di Indonesia, PT Bank CIMB Niaga Tbk., telah mempublikasikan piagam Komite Pemantau Risiko. Piagam tersebut secara jelas menyatakan tujuan dari pembentukan Komite Pemantau Risiko di perusahaan tersebut, yakni “untuk membantu Dewan Komisaris dalam memastikan terlaksananya pengawasan dan pemberian nasehat kepada Direksi serta kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan internal Bank yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Terlaksananya fungsi pengawasan manajemen risiko yang kuat; 2. Terbangunnya budaya manajemen risiko sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya frauds dan praktik-praktik perbankan yang tidak sehat; 3. Teridentifikasinya hal-hal berkaitan dengan manajemen risiko yang memerlukan perhatian Dewan Komisioner.” Dijelaskan pula pada piagam Komite Pemantau Risiko PT Bank CIMB Niaga Tbk. bahwa Komite Pemantau Risiko memiliki tugas dan tanggung jawab untuk “memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisioner, termasuk namun tidak terbatas pada hal-hal berikut:
  • 11. 1. Melakukan review kebijakan manajemen risiko Bank yang diwajibkan; 2. Melakukan evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dengan pelaksanaan kebijakan; 3. Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko; 4. Melakukan evaluasi laporan pertanggungjawaban Direksi yang antara lain terdiri dari laporan regulatory kepada Otoritas Pengawas Bank, laporan internal, dan laporan-laporan lain; 5. Menyampaikan rekomendasi kepada Dekom atas kebijakan yang telah diambil oleh Direksi berkaitan dengan manajemen risiko; 6. Melakukan evaluasi kepatuhan Bank terhadap ketentuan Anggaran Dasar, peraturan Otoritas Pengawas Bank dan Pasar Modal, serta peraturan perundangan lainnya yang terkait dengan manajemen risiko; 7. Memberikan rekomendasi kepada Dekom tentang penetapan limit yang memerlukan persetujuan Dekom sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Anggaran Dasar, dan yang ditetapkan oleh Otoritas Pengawas Bank dan Pasar Modal; 8. Melakukan penilaian atas situasi yang diperkirakan dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank, agar Dekom dapat melaporkan kepada Otoritas Pengawas Bank dan Pasar Modal dalam kurun waktu yang ditetapkan; 9. Melakukan evaluasi atas rekomendasi Direksi atas usulan pembagian dividen interim; 10.Menyusun pedoman dan tata tertib kerja Komite (Piagam), dan melakukan review sesuai kebutuhan minimal 3 tahun sekali; 11.Melaksanakan tugas dan tanggung jawab lain yang diberikan oleh Dekom dari waktu ke waktu.” Keberadaan Komite Pemantau Risiko di industri perbankan Indonesia cukup berhasil dalam meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko perbankan. Hal tersebut ditunjukkan dari menurunnya tingkat non-performing loans pada penyaluran kredit perbankan dari tahun 2007-2012. Tingkat efisiensi perbankan juga meningkat ditunjukkan dari indikator beban operasional pendapatan operasional (BOPO) yang menurun dari tahun 2007-2012. Perkembangan ini menunjukkan keberhasilan dari Komite Pemantau Risiko dalam meningkatkan penerapan enterprise risk management (ERM) yang lebih efektif dan efisien. Di sisi lain, pembentukan komite ini masih jarang dilakukan oleh perusahaan- perusahaan non-bank di Indonesia.
  • 12. Sumber: Statistik Perbankan Indonesia Berbeda dengan Indonesia, di Amerika Serikat fenomena keberadaan Komite Pemantau Risiko telah berkembang pesat pada industri non-bank. Terdapat peraturan yang dikeluarkan oleh Stock and Exchange Commission (SEC) pada 28 Februari 2010, yaitu SEC 33-9089, yang isinya menyatakan bahwa Board of Directors (BOD) pada perusahaan-perusahaan yang tercantum pada SEC wajib untuk melaporkan informasi dan pernyataan mengenai: 1. Struktur kepemimpinan BOD dan perannya dalam memantau risiko; 2. Hubungan kebijakan kompensasi pada keseluruhan organisasi dan praktik manajemen risiko perusahaan. Sehubungan dengan peraturan tersebut, General Motors, salah satu perusahaan otomotif terbesar di Amerika Serikat telah membuat Piagam Komite Keuangan dan Risiko. Pada piagam tersebut, dijelaskan bahwa tujuan dari Komite Keuangan dan Risiko pada General Motors adalah untuk membantu BOD dalam melakukan pemantauan dalam hal: 1. Kebijakan keuangan, strategi, dan struktur permodalan serta membuat laporan dan rekomendasi kepada BOD berkaitan dengan hal tersebut; 2. Strategi dan kebijakan manajemen risiko, termasuk melakukan pemantauan dan pengawasan pada manajemen risiko pasar, kredit, likuiditas, dan pendanaan. Komite tersebut memiliki tugas dan tanggung jawab dalam melakukan pemantauan dan pengkajian pada manajemen risiko perusahaan, yaitu dengan melakukan:  Peninjauan bersama manajemen pada risk appetite dan risk tolerance dari perusahaan;  Peninjauan bersama manajemen pada kategori risiko yang dihadapi perusahaan;
  • 13.  Peninjauan terhadap laporan dari manajemen, auditor independen, auditor internal, konsultan legal, pembuat kebijakan, analis saham, dan ahli-ahli dari luar perusahaan terkait risiko-risiko yang dihadapi perusahaan dan fungsi manajemen risiko dari perusahaan;  Peninjauan bersama manajemen pada desain fungsi manajemen risiko dari perusahaan;  Peninjauan terhadap implementasi kebijakan risiko dan menilai efektivitasnya. Walau tidak tertulis secara eksplisit bahwa perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada SEC wajib untuk membentuk Komite Pemantau Risiko, namun dalam rangka membantu BOD menjalankan oversight risk function dan memantau praktik manajemen risiko perusahaan, perusahaan disarankan untuk membentuk Komite Pemantau Risiko. Pada konteks ini, Komite Pemantau Risiko akan bertanggung jawab langsung kepada BOD karena perusahaan di Amerika Serikat pada umumnya menganut one-tier board system. Komite Pemantau Risiko di sini juga dapat berperan dalam mendefinisikan arti risiko bagi perusahaan, dimulai dengan mengidentifikasi risk appetite dan risk tolerance perusahaan sehubungan dengan tujuan perusahaan. Keyakinan akan pentingnya peran organ Komite Pemantau Risiko pada tata kelola perusahaan ditunjukkan dari semakin banyaknya pembentukan komite tersebut di perusahaan-perusahaan bonafit dunia. Lalu, bagaimana perkembangan fenomena keberadaan Komite Pemantau Risiko pada industri non-bank yang ada di Indonesia? Perkembangan Komite Pemantau Risiko pada Industri Non-Bank di Indonesia Seiring berjalannya waktu, kesadaran akan kebutuhan pengelolaan risiko yang lebih baik meningkat dalam rangka meningkatkan praktik GCG pada perusahaan. Praktik GCG dibutuhkan perusahaan untuk mencapai keseimbangan kekuatan wewenang yang dibutuhkan perusahaan, untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawabannya kepada stakeholders. Kebutuhan akan keberadaan Komite Pemantauan Risiko pun berkembang hingga industri-industri pada sektor non- bank. Hal ini ditunjukkan dengan kemunculan berbagai peraturan mengenai Komite Pemantau Risiko pada perusahaan-perusahaan non-bank. Dalam rangka meningkatkan GCG pada perusahaan di Indonesia, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) mengeluarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Pedoman yang diterbitkan pada tahun 2006 tersebut menyebutkan bahwa Dewan Komisaris perlu untuk membentuk komite-komite penunjang, salah satunya adalah Komite Kebijakan Risiko. Pedoman tersebut menjelaskan bahwa Komite Kebijakan Risiko bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji sistem manajemen risiko yang disusun oleh Direksi serta memberikan masukan dan rekomendasi mengenai risk tolerance yang dapat diambil oleh perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Komite Pemantau Risiko dibutuhkan dalam upaya memastikan terlaksananya GCG pada perusahaan.
  • 14. Sejalan dengan pedoman yang diluncurkan oleh KNKG, Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-10/MBU/2012 tentang Organ Pendukung Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN mewajibkan BUMN di Indonesia untuk memiliki Komite Pemantau Risiko pada struktur organisasinya. Pada peraturan tersebut ditegaskan kembali bahwa Komite Pemantau Risiko bertanggung jawab langsung kepada Dewan Komisaris/Dewan Pengawas. Komite Pemantau Risiko pada BUMN bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan evaluasi pada penerapan strategi, metode, kebijakan dan sistem manajemen risiko BUMN dalam usaha meningkatkan efektivitas kegiatan ERM. Komite Pemantau Risiko juga harus memantau risiko potensial yang dihadapi BUMN. Hal ini menunjukkan bahwa Komite Pemantau Risiko akan berperan penting dalam penerapan ERM. Keterkaitan Komite Pemantau Risiko Dengan ERM Berdasarkan ISO31000, manajemen risiko adalah kegiatan-kegiatan terkoordinasi yang bertujuan untuk mengarahkan dan mengontrol organisasi berkaitan dengan risiko-risiko yang dihadapinya. Manajemen risiko mencakup prinsip-prinsip, kerangka kerja, dan proses manajemen risiko yang digunakan perusahaan secara berkelanjutan untuk mengelola risiko-risiko yang dihadapinya. Dengan merujuk pada pendefinisian ini, maka ERM dapat dimaknai sebagai sebuah penerapan manajemen risiko yang menyeluruh, mendetail, dan terintegrasi pada perusahaan. ERM diharapkan dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan melalui pengelolaan terhadap risiko- risiko perusahaan. Tercermin dari tugas dan tanggung jawabnya, Komite Pemantau Risiko memiliki peran penting pada pelaksanaan ERM, terutama dalam pemantauan dan pengembangan kerangka kerja dan proses manajemen risiko perusahaan. Pada kerangka kerja manajemen risiko, komite ini akan melaksanakan pemantauan dan pengkajian, serta memberikan masukan untuk perbaikan yang berkesinambungan pada kerangka kerja tersebut. Kegiatan tersebut dilakukan sesuai dengan salah satu prinsip manajemen risiko yaitu perbaikan yang berkesinambungan pada pengelolaan risiko. Dalam proses manajemen risiko, komite ini akan berkontribusi dalam melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap proses manajemen risiko, memantau kesesuaian praktik manajemen risiko dengan kebijakannya, serta melakukan komunikasi dan konsultasi pada pihak-pihak terkait proses manajemen risiko. Komite Pemantau Risiko juga memiliki tanggung jawab dalam melakukan komunikasi dan konsultasi dengan Dewan Komisaris perusahaan untuk memberikan evaluasi dan saran berkaitan dengan proses manajemen risiko yang telah dilakukan perusahaan.Dalam menjalankan tugasnya, Komite Pemantau Risiko hendaknya bekerja sama dengan Komite Audit untuk memberi saran dan masukan lainnya mengenai risiko potensial kepada BOD atau Dewan Komisaris. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara Komite Pemantau Risiko dan Komite Audit.
  • 15. Keterkaitan Komite Pemantau Risiko dengan Komite Audit Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/2006, Pedoman umum GCG oleh KNKG, dan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-10/MBU/2012, untuk menjamin tercapainya praktik terbaik GCG dibutuhkan kontribusi dari Komite Pemantau Risiko dan Komite Audit dalam mendukung pelaksanaan tugas Dewan Komisaris. Pada peraturan tersebut dijelaskan bahwa Komite Pemantau Risiko memiliki tanggung jawab dalam pemantauan dan evaluasi pelaksanaan manajemen risiko pada perusahaan, sedangkan Komite Audit bertanggung jawab dalam pemantauan dan evaluasi pelaksanaan audit, pengendalian proses internal, dan pelaporan keuangan. Kedua komite pendukung Dewan Komisaris tersebut berperan sebagai organ komplementer bagi satu sama lain dalam hal melakukan pengawasan pada perusahaan, tetapi keduanya memiliki tanggung jawab di ranah yang berbeda. Komite Audit memiliki peran penting dalam pengelolaan risiko fraud, risiko keuangan, dan risiko kepatuhan pada perusahaan. Hal ini menunjukkan keterkaitannya dengan Komite Pemantau Risiko yang bertugas memantau segala kegiatan manajemen risiko pada perusahaan. Namun di Indonesia, tanggung jawab Komite Audit pada ranah manajemen risiko lebih terbatas. Hal ini ditunjukkan pada tugas dan tanggung jawab Komite Audit yang tertera pada PBI No.8/4/2006, Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-10/MBU/2012, dan Pedoman Umum GCG oleh KNKG bahwa secara umum Komite Audit hanya bertanggung jawab pada pengawasan dan evaluasi kegiatan audit dan proses internal. Di sisi lain, Peraturan BAPEPAM Nomor IX.I.5 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit menyatakan bahwa komite audit memiliki tanggung jawab untuk memantau penerapan manajemen risiko perusahaan apabila perusahaan tidak memiliki Komite Risiko. Peraturan tersebut menunjukkan adanya rangkap tanggung jawab pada Komite Audit ke ranah manajemen risiko pada beberapa perusahaan di Indonesia. Mark S. Beasley, seorang Profesor ERM dari Delloitte, menyatakan bahwa tugas dan tanggung jawab Komite Audit tidak berhenti pada pelaporan keuangan dan pengendalian proses internal. Pada banyak kasus, BOD menyerahkan tanggung jawab pemantauan proses manajemen risiko pada Komite Audit. Komite Audit juga diharapkan dapat melakukan oversight function mengenai risiko potensial yang dapat diidentifikasi olehnya dari laporan keuangan, proses internal perusahaan, dan faktor eksternal perusahaan. Di satu sisi, tugas tambahan tersebut menunjukkan adanya tumpang tindih antara tanggung jawab Komite Audit dengan Komite Pemantau Risiko. Di sisi lain, adanya pemantauan terhadap risiko dan proses manajemen risiko dari dua perspektif (Komite Audit dan Komite Pemantau Risiko) diharapkan dapat memperkaya informasi yang dimiliki perusahaan dan meningkatkan efektivitas ERM perusahaan. Sesuai dengan tugasnya yaitu menjamin penerapan ERM yang efektif pada perusahaan, Komite Pemantau Risiko membutuhkan kompetensi-kompetensi khusus.
  • 16. Kompetensi Manajemen Risiko yang Dibutuhkan Komite Pemantau Risiko Kehadiran Komite Pemantau Risiko pada korporasi Indonesia merupakan hal yang cukup baru, yaitu sejak tahun 2006 untuk sektor perbankan dan tahun 2012 untuk BUMN. Pembentukan Komite Pemantau Risiko diwajibkan seiring meningkatnya kesadaran otoritas mengenai pentingnya manajemen risiko pada perusahaan. Efektivitas pelaksanaan fungsi dan peran Komite Pemantau Risiko diharapkan dapat memberi nilai tambah dalam memperbaiki praktik GCG pada perusahaan, terutama dalam memastikan diterapkannya ERM yang komprehensif oleh seluruh komponen perusahaan. Dalam usaha pencapaian tujuan tersebut, Komite Pemantau Risiko tentu akan menghadapi berbagai tantangan. Untuk itu, Komite Pemantau Risiko membutuhkan kompetensi khusus untuk dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Untuk sektor perbankan, berdasarkan laporan tahunan PT Bank Central Asia Tbk., Pemimpin Komite Pemantau Risiko harus memiliki kompetensi di bidang ekonomi, terutama pada bidang perbankan, moneter, dan keuangan. Sedangkan secara keseluruhan, keanggotaan pada Komite Pemantau Risiko harus dilengkapi dengan sumber daya insani yang memiliki kompetensi di bidang perbankan, moneter, keuangan, teknologi informasi, dan manajemen risiko. Selain itu, seluruh anggota Komite juga harus memiliki integritas, akhlak, dan moral yang baik. Pengetahuan dan pemahaman manajemen risiko yang dimiliki oleh Komite Pemantau Risiko akan sangat dibutuhkan oleh Dewan Komisaris dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan penerapan dan pemantauan ERM. Untuk itu, menurut saya kompetensi kunci yang harus dimiliki oleh Komite Pemantau Risiko adalah kompetensi manajemen risiko. Komite Pemantau Risiko harus mampu mengidentifikasi, menilai, dan mengevaluasi risiko-risiko potensial yang dapat muncul dan menjadi gangguan bagi perusahaan, baik akibat faktor internal maupun eksternal. Selain itu, Komite Pemantau Risiko juga harus memiliki keahlian dalam penerapan ERM, serta inovatif dalam melakukan pengembangan kerangka dan proses ERM agar menjadi lebih efektif dan efisien dalam mengelola risiko perusahaan. Anggota Komite Pemantau Risiko juga harus memiliki softskill berupa kemampuan komunikasi dan kepemimpinan yang kuat. Dalam usaha meningkatkan kompetensi di bidang manajemen risiko, para anggota Komite Pemantau Risiko dan profesional lainnya di bidang manajemen risiko dapat mengikuti pelatihan manajemen risiko dari berbagai lembaga penyedia pelatihan manajemen risiko. Berbagai lokakarya dan practice sharing mengenai manajemen risiko dapat diikutinya untuk memperluas pengetahuan dan wawasan. Mereka juga dapat meningkatkan kredibilitas dan kualifikasi diri dengan mengambil ujian sertifikasi manajemen risiko, seperti Enterprise Risk Management Certified Professional (ERMCP) dan Certified in Enterprise Risk Governance (CERG) dari ERM Academy atau Certified
  • 17. Fraud Examiners (CFE) dari Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). Berbagai kegiatan ini dibutuhkan bagi para anggota Komite Pemantau Risiko dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya secara berkelanjutan. 3. Pengertian Board Power dan Board Composition Board Power dan Board Composition merupakan wewenang dan susunan dari dewan komisaris dalam suatu perusahaan. Sumber power bagi board sangat tergantung pada: pengetahuan boards dan kekompakan boards sebagai satu kesatuan. Board bekerja part time dalam perusahaan, sedangkan manajemen adalah pekerja full time yang berkarir di perusahaan. Dilihat dari jam kerjanya, tidak heran jika manajemen mempunyai pengetahuan yang lebih tentang seluk beluk perusahaan, dibanding board. Dari perspektif manajemen, pertemuan dengan boards sering dianggap sebagai alat bagi boards untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan dari manajemen. Board memang memerlukan data perusahaan yang diperlukan, tetapi data tersebut harus diubah menjadi informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan. Data keuangan dan data lainya hanyalah bagian kecil dari cerita yang sesungguhnya.Kemampuan mengolah data menjadi informasi dan pengetahuan yang berguna sangat tergantung pada pengetahuan boards tentang bisnis perusahaan. Pengetahuan yang superior mengenai perusahaan merupakan sumber power bagi board. Berikut ini merupakan Komposisi, Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewa Komisaris : (a) Jumlah anggota Dewan Komisaris harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektivitas dalam pengambilan keputusan. (b) Dewan Komisaris dapat terdiri dari Komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi yang dikenal sebagai Komisaris Independen dan Komisaris yang terafiliasi. Yang dimaksud dengan terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota Direksi dan Dewan Komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri. Mantan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang terafiliasi serta karyawan perusahaan, untuk jangka waktu tertentu termasuk dalam kategori terafiliasi. (c) Jumlah Komisaris Independen harus dapat menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Salah satu dari Komisaris Independen harus mempunyai latar belakang akuntansi atau keuangan.
  • 18. (d) Anggota Dewan Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS melalui proses yang transparan. Bagi Universitas Sumatera Utara perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, badan usaha milik negara dan atau daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, proses penilaian calon anggota Dewan Komisaris dilakukan sebelum dilaksanakan RUPS melalui Komite Nominasi dan Remunerasi. Pemilihan Komisaris Independen harus memperhatikan pendapat pemegang saham minoritas yang dapat disalurkan melalui Komite Nominasi dan Remunerasi. (e) Pemberhentian anggota Dewan Komisaris dilakukan oleh RUPS berdasarkan alasan yang wajar dan setelah kepada anggota Dewan Komisaris diberi kesempatan untuk membela diri. Implementasinya dalam konteks GCG di Indonesia Indonesia menganut sistem two-tier, yang membuat pemisahan pada dewan komisaris dan dewan direksi, disatu sisi dewan direksi yang memiliki peran dalam melaksanakan atau mengelola perusahaan dan disisi lain dewan komisaris yang berperan dalam mengawasi dewan direksi dalam hal pengelolaan perusahaan. Indonesia memiliki beberapa jenis perusahaan diantaranya perusahaan swasta dan juga perusahaan BUMN. Kedua jenis perusahaan ini memiliki perbedaan yang mendasar dalam hal pengangkatan dewan komisaris dan dewan direksi, dimana pada perusahaan swasta cenderung mengangkat keluarga dari pemilik perusahaan dan digabungkan dengan beberapa orang professional serta karyawan yang memiliki karir gemilang dan bisa masuk dalam dewan komisaris dan direksi. Sedangkan dipihak BUMN, pengangkatan dewan komisaris dan dewan direksi sangat dipengaruhi oleh pemerintah, dimana dalam hal ini diwakilkan oleh menteri BUMN, jadi dalam hal ini menteri bisa mengangkat professional dari luar perusahaan ataupun pejabat karir dari perusahaan itu sendiri.
  • 19. Daftar Pustaka (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006. Diunduh dari http://www.bpkp.go.id/public/upload/ unit/maluku/files/pbi8406%20GCG.pdf (2) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-10/MBU/2012. Diunduh dari http://www.bumn.go.id/wp-content/uploads/2012/07/PER-10-MBU-2012.pdf (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.010/2009. Diunduh dari http://www.bapepam.go.id/p3/regulasi_p3/kepmen_p3/PMK_no_141_tahun_2009.p df (4) Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia oleh Komite Nasional Kebijakan Governance. Diunduh dari http://www.bapepam.go.id/pasar_modal/publikasi_pm/info_pm/Pedoman %20GCG%20Indonesia%202006.pdf (5) Komite Pemantau Risiko pada PT Bank CIMB Niaga Tbk. Diunduh dari http://www.cimbniaga.com/index.php?ch=gen_about&pg=gen_about_us&ac=68 (6) General Motors Company Finance and Risk Committee Charter. Diunduh dari http://www.gm.com/content/dam/gmcom/COMPANY/Investors/Corporate_Governance/ PDFs/2012-FRC-Finance-Risk-Committee-Charter.pdf (7) Beasley,M. S. (2010). Board Audit Committee Involvement in Risk Management Oversight. Diunduhdari http://www.aicpa.org/ForThePublic/AuditCommitteeEffectiveness/AuditCom mi…ableDocuments/board%20and%20audit%20com%20role%20in%20risk%20oversig ht.pdf (8)http://crmsindonesia.org/publications/fungsi-dan-peran-komite-pemantau-risiko-serta- kontribusinya-dalam-penerapan-enterprise-risk-management-di-indonesia/ (9)https://farizadlanblog.wordpress.com/2017/03/27/perbedaan-antara-board-of- director-board-committes-board-power-dan-board-composition-dalam-implmentasiko- konteks-good-corporat-governance-di-indonesia/ (10)http://www.kompasiana.com/kurniawannova/menyoal-istilah-board-of-director-di- indonesia_54f791dda33311a3738b4784