Dokumen tersebut membahas proses pembahasan revisi Undang-Undang Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi oleh DPR dan pemerintah. Beberapa poin penting yang diangkat antara lain perdebatan mengenai usia pensiun hakim agung, kriteria seleksi hakim agung, dan pengawasan terhadap hakim agung. Dokumen ini menganalisis berbagai masalah dan memberikan rekomendasi terkait ketentuan-ketent
1. Catatan Koalisi Nasional untuk Peradilan Bersih (KNPB) dan
Aliansi Penyelamat Mahkamah Agung
Terhadap Proses dan Substansi Revisi UU MA, KY
Tradisi emoh diawasi yang ada pada Mahkamah Agung, telah melahirkan kegeraman
bagi sebagian hakim agung, ketika ada lembaga Komisi Yudisial yang diberi wewenang
untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perlilaku
mereka. Akibatnya, 31 orang hakim agung pun segera melakukan serangkaian upaya
penggembosan atas kewenangan KY tersebut. Salah satu cara yang ditempuh, ialah
dengan memohonkan judicial review UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
pada Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta uji konstitusionalitas kewenangan yang
dimiliki KY, dengan sandaran Pasal 24B UUD 1945. Pada initinya, hakim agung tidak
merasa bagian dari yang diawasi KY, karena Pasal 24B tidak secara tersurat
menyebutkan kata hakim agung, tetapi sekedar kata hakim, artinya hakim di bawah
Mahkamah Agung. Parahnya, MK membenarkan tafsir ini, bahwa kata hakim, di
dalamnya tidak mengandung terminology hakim agung. Selain itu, MK juga memberi
tafsir bahwa Pasal 24B tidak mengamanatkan adanya kewenangan KY untuk
mengawasi hakim konstitusi, meski perihal ini tidak dimintakan oleh pemohon.
Imbasnya, KY pada akhirnya hanya mempunyai kewenangan mengusulkan
pengangkatan hakim agung, serta menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, dan perlilaku hakim di bawah MA (hakim agung). Melihat centang-
perenangnya hubungan antara KY, MA, dan MK, khususnya pascadipangkasnya
kewenangan KY, selanjutnya MK menyarankan kepada organ pembentuk undang-
undang untuk:
“… karena itu, Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan kepada DPR
dan Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah penyempurnaan UU
KY. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk melakukan perbaikan-
perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan perubahan dalam
rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UUKK, UUMA, UUMK, dan undang-
undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu…”1
Memerhatikan karut-marutnya relasi antar tiga lembaga yudisial (KY, MA, MK), sebagai
implikasi dari tidak adanya sinergisitas perundang-undangan yang mengatur ketiganya,
serta saran dari MK, untuk segara melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat
integral terhadap UUKY, UUMA, dan UUMK, sebagai langkah harmonisasi dan
sinkronisasi, DPR bersama pemerintah tengah melakukan proses pembahasan, atas
tiga UU tersebut. Proses pembahasan ini dimulai semenjak awal September 2008, dan
rapat kerja antara Komisi III DPR dengan pemerintah, pada Senin (15/9/2008), telah
menyepakati pembentukan panitia kerja (panja), untuk membahas masing-masing RUU
tersebut. disepakati pula, bahwa proses pembahasan revisi UUMA menjadi prioritas
utama pembahasan, yang akan diselesaikan sebelum masa sidang berakhir
(24/10/2008). Sementara, apabila kita mencermati daftar inventaris masalah (DIM),
yang dibuat oleh DPR dan pemerintah, masih banyak permasalahan krusial yang patut
untuk diperdebatkan kembali.
Catatan atas Proses dan Substansi Pembahasan Revisi UUMA-UUKY
1 Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 201.
2. Dalam proses pembahasan revisi UUMA, sejauh ini DPR terkesan melakukannya secara
tertutup atau ditutup-tutupi. Pada satu sisi, publik tidak pernah mendapatkan informasi
jadwal proses pembahasan RUU MA dilakukan. Dan di sisi lain, Komisi III DPR juga
tidak pernah membuka ruang publik lebih luas untuk memberikan masukan terhadap
subtansi yang sedang dibahas. Proses pembahasan yang dilakukan secara tertutup
selain menimbulkan kecurigaan juga berdampak pada menurunnya citra DPR di mata
masyarakat.
Selain itu patut dipertanyakan mengenai motif Komisi III DPR yang lebih
memprioritaskan pembahasan RUU MA daripada RUU yang lain seperti RUU Komisi
Yudisial (KY) dan RUU Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini Komisi III DPR tidak pernah
menjelaskan kepada publik mengenai pilihan prioritas pembahasan tersebut. Muncul
kekhawatiran pembahasan UU MA lebih diutamakan karena adanya keberpihakan dari
Komisi III kepada MA. Kekhawatiran ini juga didasarkan fakta bahwa sebagian anggota
Komisi III DPR memiliki latar belakang advokat.
Berdasarkan uraian diatas bersama ini kami meminta Komisi III DPR membahas RUU
MA secara terbuka dan partisipatif serta membuka ruang bagi publik untuk melakukan
pemantauan selama proses panja RUU MA berlangsung dan menerima masukan dari
berbagai kalangan seperti akademisi, praktisi hukum, maupun KY.
Subtansi dalam RUU MA.
Secara subtansi dalam RUU MA terdapat beberapa hal krusial penting dicermati.
Ketentuan ini antara lain:
a. Usia pensiun hakim agung
Meski dalam RUU MA versi DPR menyebutkan usia pensiun hakim agung 65 tahun,
namun pemerintah justru mengusulkan bahwa usia pensiun hakim agung yaitu 70
tahun. Usulan ini sudah selayaknya ditolak dengan beberapa alasan. Pertama, angka
harapan hidup dan tingkat kesehatan. Menurut data statistik dari BPS (Badan Pusat
Statistik) dan dari Depkes tahun 2003, angka harapan hidup orang Indonesia paling
rendah se ASEAN yaitu 65 tahun. Tahun 2006 angkanya naik menjadi 66,2 tahun.
Artinya diatas usia 66 tahun, kondisi orang Indonesia menurun karena dipengaruhi
banyak hal.
Kedua, usia 70 tahun tergolong usia tidak produktif. Menurut BPS, usia penduduk
dikelompokkan menjadi 3 yaitu belum produktif (0-14 tahun), produktif (15-65) dan
tidak produktif 66 keatas. Berdasarkan kategorisasi itu, jelas bahwa hakim agung
dengan usia 70 tahun termasuk yang tidak produktif. Dihubungkan dengan beban
perkara MA saat ini, usia hakim agung yang terlalu tua tentu akan sangat menghambat
proses percepatan reformasi MA dari pengurangan tumpukan perkara. Saat ini,
tunggakan di MA ditambah perkara yang masuk mencapai 20 ribu perkara. Dengan
beban kerja menyelesaikan tunggakan perkara di MA yang berat dan menyangkut,
nasib masyarakat luas, tentu usia pensiun 65-67 tahun sudah merupakan usia
maksimal.
Ketiga, perbandingan dengan profesi atau lembaga lainnya. Alasan penetapan angka
70 tahun tidak jelas, dan lebih tinggi dibanding sejumlah jabatan publik lainnya.
Misalnya untuk Hakim Mahkamah Konstitusi usia pensiun adalah 67 tahun, Polisi dan
Jaksa usia pensiun adalah 58-60 tahun, Pegawai Negeri Sipil usia pensiun 56 tahun.
3. Upaya memperpanjang usia pensiun hakim agung hingga 70 tahun seperti yang
diusulkan berbahaya bagi semangat pembersihan MA dari Mafia Peradilan dari
perspektif REGENERASI. Semakin lama kekuatan status quo bertahan di MA, maka
semakin sulit melakukan reformasi di MA.
Isu delegitimasi KY pun menjadi relevan dibicarakan. Bila usia diperpanjang menjadi 70
tahun, tentu hingga 3-5 tahun mendatang KY tidak melakukan seleksi hakim agung.
Atau, pantas publik khawatir, rencana perpanjangan usia pensiun ini berada dibalik
upaya memperpanjang masa jabatan Ketua MA saat ini, mengingat beberapa kali
bahkan Bagir Manan telah mencoba memperpanjang usia pensiunnya sendiri.
Mengangkat diri sendiri dengan SK sendiri.
Aliansi sendiri mengusulkan usia pensiun hakim agung maksimal yaitu 67 tahun dan
tanpa perpanjangan. (sepertihalnya usia pensiun hakim Mahkamah Konstitusi).
b. Seleksi Hakim Agung
Terdapat beberapa hal penting terkait dengan proses seleksi calon hakim agung.
Pertama, prioritas Calon Hakim Agung. Sistem rekruitmen dilakukan terbuka (artinya
calon hakim agung berasal dari hakim karir dan hakim non karier), namun demikian
perlu adanya afirmasi untuk profesi hakim misalnya mengenai kriteria masa
pengabdian dan pendidikan. Calon hakim agung dari non karir syaratnya memiliki
pengalaman 25 tahun maka calon hakim agung dari karir harus memiliki pengalaman
minimal 20 tahun. Syarat pendidikan minimal hakim agung non karir adalah Doktor
Hukum (S3) dan hakim agung karir adalah Magister Hukum (S2). Afirmasi ini
mempertimbangkan profesi hakim merupakan profesi hukum paling tertinggi.
Kedua, syarat usia calon hakim agung. Pemerintah mengusulkan syarat usia sebagai
calon hakim agung adalah minimal 50 tahun dan tanpa adanya batas maksimal. Untuk
tujuan regenerasi dilingkungan Mahkamah Agung dan efektivitas pelaksanaan tugas
sebagai Hakim Agung, maka syarat usia calon hakim agung sebaiknya adalah berusia
sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam
puluh) tahun.
Ketiga, pelaksanaan proses seleksi calon hakim agung yang dilakukan oleh KY .
Berdasarkan UU KY , proses seleksi baru dilakukan jika ada posisi yang lowong akibat
adanya pensiun hakim agung. Artinya jika tidak ada hakim agung yang pensiun, maka
KY tidak melakukan seleksi hakim agung. Oleh karena itu perlu ada perbaikan aturan
mengenai proses seleksi calon hakim agung yang dilakukan oleh KY, tidak saja
mempertimbangkan untuk mengisi kekosongan akibat adanya hakim agung yang akan
pensiun namun yang lebih penting adalah melihat pada kebutuhan hakim agung.
Misalnya, saat ini Mahkamah Agung kekurangan hakim agung untuk bidang Tata Usaha
Negara, meski tidak ada hakim agung yang pensiun, namun karena Mahkamah Agung
membutuhkan maka KY untuk mengisi kekosongan hakim agung tersebut. Perlu
diketahui dari batas maksimal jumlah 60 orang hakim agung sebagaimana yang
ditentukan oleh UU, saat ini yang baru terisi adalah 51 orang hakim agung.
Keempat, jumlah calon hakim agung yang diusulkan dari Komisi Yudisial kepada DPR
untuk diseleksi. Pasal 8 ayat (2a) RUU MA Versi DPR menyebutkan quot;Calon hakim agung
yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh
DPR 1 (satu) orang dari 3 nama calon untuk setiap lowonganquot; Pada prakteknya selama
dua tahun terakhir, KY sendiri mengalami kesulitan untuk mendapatkan calon hakim
4. agung yang memenuhi kriterai yang ditetapkan oleh Undang-Undang maupun kriteria
bersih, bekualitas dan berintegritas. Oleh karena itu standar perbandingan calon Hakim
Agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dengan yang dipilih DPR, idealnya adalah
dua kali kebutuhan dari posisi hakim agung yang kosong.
c. Pengawasan dan Pemberhentian Hakim Agung
Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan
peradilan dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman ada pada Mahkamah
Agung. Namun demikian terkait dengan pengawasan terhadap kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku Hakim Agung tetap dilakukan oleh Komisi Yudisial. Dalam
pemberian sanksi terhadap hakim agung, Mahkamah Agung perlu memperhatikan
rekomendasi yang diberikan oleh KY.
Berkaitan dengan proses pemberhentian hakim agung, maka hal-hal penting yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Untuk menghindari politisasi, maka proses pemberhentian Hakim Agung tidak
melibatkan DPR.
2. Hakim Agung sebelum diajukan pemberhentian, maka yang bersangkutan
diberi hak untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim (MKH):
3. MKH dibentuk oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial; bersifat ad hoc
(kasus per kasus); dan keanggotaan MKH terdiri dari unsur MK, KY, dan
akademisi.
4. Apabila salah satu pihak baik MA ataupun KY menolak untuk membentuk
MKH, maka sanksi dapat dijatuhkan.
Kemudian terkait dengan revisi UU Komisi Yudisial, meski berdiri sendiri, tetapi UUKY
memiliki irisan yang kuat dengan revisi UUMA maupun MK.
Beberapa Catatan untuk Substansi Revisi UUKY
Pertama, berkait dengan wewenang pengusulan hakim agung, seharusnya calon
hakimagung yang diusulkan kepada DPR bukan 3:1 melainkan 2:1 (dua orang calon
untuk setiap satu lowongan hakim agung). Dua orang calon tersebut bisa berasal dari
hakim karir dan non karir. Selain alasan yang telah dijelaskan di atas, hal ini penting
untuk diperdebatkan, sebab akan berkait erat dengan efisiensi anggaran yang
digunakan untuk pelaksanaan seleksi calon hakim agung, serta penggunaan waktu
seleksi yang tidak berkepanjangan. Pilihan 2:1 juga akan mengurangi banyaknya calon
hakim agung, yang sekedar memanfaatkan moment seleksi tersebut sebagai ajang
mencari pekerjaan, bukan didasarkan atas integritas, kredibilitas, dan keinginan
mengabdi. Kaitannya dengan keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor),
Komisi Yudisial seharusnya juga memiliki kewenangan untuk mengusulkan
pengangkatan hakim pengadilan tindak pidana korupsi.
Kedua, terkait dengan wewenang pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial, terdapat
beberapa hal yang musti ditegaskan, yaitu:
1. Penempatan KY sebagai satu-satunya lembaga, yang secara konstitusional
memiliki kewenangan pengawasan terhadap hakim, yang sifatnya eksternal dan
internal. Baik terhadap hakim di bawah Mahkamah Agung, hakim agung,
maupun hakim konstitusi. Karenanya wewenang pengawasan internal yang
sebelumnya ada pada Inspektorat Jenderal Departeman Kehakiman, sebaiknya
dilimpahkan kewenangannya kepada Komisi Yudisial. Pengecualian dari
5. kewenangan pengawasan ini hanya ada pada teknis yudisial. KY tidak memiliki
wewenang untuk mengawasi berjalannya fungsi yudisial dari badan peradilan,
hal ini demi tetap menjaga objektifitas, independensi, dan imparsialitas badan
peradilan.
2. Komisi Yudisial dilibatkan dalam penyusunan code of coduct hakim dan/atau
pedoman perilaku hakim, baik yang disusun oleh MA maupun MK. Artinya
penyusunan code of coduct hakim dan/atau pedoman perilaku hakim tidak
mutlak menjadi hak dari MA dan MK, tetapi Komisi Yudisial sebagai pengawas,
dilibatkan dalam penyusunannya.
3. Ruang lingkup pengawasan Komisi Yudisial sebaiknya menyangkut pula panitera
pengadilan, sebab kecenderungan yang berkembang saat ini, tidak hanya hakim
yang terlibat dalam mafia peradilan, tetapi juga mengikutsertakan panitera di
dalamnya.
4. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan pengawasan, Komisi Yudisial dapat
meminta keterangan pada pihak-pihak terkait, seperti: advokat, jaksa, dan
polisi, agar pengawasan bisa dilakukan secara komprehensif.
5. Sanksi teguran dalam bentuk tertulis, kepada hakim yang melanggar pedoman
perilaku hakim dan/atau kode etik hakim, bersifat mengikat.
6. Rekomendasi dari Komisi Yudisial sifatnya mengikat, yang harus segera
ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung, maupun Mahkamah Konstitusi.
7. Apabila terjadi pelanggaran, KY membentuk Majelis Kehormatan Hakim (MKH)
dengan komposisi tiga orang berasal dari KY dan dua orang dari MA, serta dua
orang akademisi. MKH sifatnya ad hoc kasus per kasus. Namun demikian, ke
depan sebaiknya mekanisme MKH ini ditiadakan, karena justru akan
memandulkan fungsi KY, khususnya yang berkait dengan fungsi penindakan
atas pengawasan yang sudah dilakukan.
8. Hakim yang dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhentian
oleh Komisi Yudisial, dapat melakukan pembelaan diri di hadapan Majelis
Kehormatan Hakim, atau jika MKH ditiadakan atau tidak terbentuk, pembelaan
dilakukan di depan Komisi Yudisial.
Demikian beberapa catatan atas proses dan substansi revisi UU MA dan UU KY.
Jakarta, 17 september 2008
Koalisi Nasional untuk Peradilan Bersih (KNPB)
Dan
Aliansi Penyelamat Mahkamah Agung