1. PEMBELAJARAN INQUIRY DAN DISCOVERY
Tujuan pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam GBHN adalah pembangunan
manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Hal ini berarti
bahwa pembangunan tidak hanya mengejar kepuasan lahiriah saja seperti sandang, pangan,
papan, dan kesehatan saja ataupun mengejar kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa aman,
bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab dan rasa keadilan saja, melainkan
antara pembangunan lahiriah dan batiniah tersebut haruslah berjalan seiring secara serasi.
Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional seperti yang tercantum di atas, maka sudah
barang tentu akan sangat diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam hal ini
pendidikan merupakan salah satu sarana untuk menciptakan sumber daya – sumber daya
manusia yang berkualitas tersebut.
Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan.
Sifatnya mutlak dalam kehidupan, baik dalam kehidupan seseorang, keluarga, maupun
bangsa dan Negara. Maju mundurnya suatu bangsa banyak ditentukan oleh maju mundurnya
pendidikan bangsa itu (Sudirman N, dkk, 1992 : 3).
Tujuan pendidikan dan pengajaran di Indonesia berlandaskan pada falsafah hidup bangsa,
yaitu Pancasila. Bila kita kaji lebih jauh lagi apa yang diuraikan dalam Pasal 4 UUSPN No. 2
tahun 1989, maka kita dapat mengetahui apa yang menjadi tujuan pendidikan di Indonesia
dimana Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Untuk mecapai tujuan pendidikan nasional tersebut, guru sebagai ujung tombak pelaksana
pendidikan di lapangan sangat menentukan keberhasilannya. Dalam hal ini guru dapat
dikatakan sebagai pemegang peranan utama dalam proses pendidikan yang tercermin dalam
proses belajar-mengajar di sekolah.
Dalam proses belajar-mengajar melibatkan banyak factor. Dapat dijelaskan bahwa masukan
(raw input) yang merupakan bahan dasar diberikan pengalaman belajar tertentu dalam proses
belajar-mengajar, dengan harapan dapat berubah menjadi keluaran (expected) input) yang
berupa hasil belajar yang diharapkan. Dalam proses belajar-mengajar diharapkan pula
sejumlah factor sarana dan factor lingkungan guna menunjang tercapainya keluaran yang
dikehendaki.
Pada saat proses belajar–mengajar berlangsung di kelas, akan terjadi hubungan timbal balik
antara guru dan siswa yang beraneka ragam, dan itu akan mengakibatkan terbatasnya waktu
guru untuk mengontrol bagaimana pengaruh tingkah lakunya terhadap motivasi belajar siswa.
Selama pelajaran berlangsung guru sulit menentukan tingkah laku mana yang berpengaruh
positif terhadap motivasi belajar siswa, misalnya gaya mengajar mana yang memberi kesan
positif pada diri siswa selama ini, strategi mana yang dapat membantu kejelasan konsep
selama ini, media dan metode mana yang tepat untuk dipakai dalam menyajikan suatu bahan
sehingga dapat membantu mengaktifkan siswa dalam belajar.
Hal tersebut memperkuat anggapan bahwa guru dituntut untuk lebih kreatif dalam proses
belajar – mengajar, sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan pada diri siswa
yang pada akhirnya meningkatkan motivasi belajar siswa.
Selanjutnya Djamarah Syaiful Bahri (2005) mengatakan bahwa kedudukan metode sebagai
alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar–mengajar hendaknya dipahami benar oleh
guru. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi, karena ada perangsang
2. dari luar. Sehingga metode dalam hal ini berkedudukan sebagai alat untuk meningkatkan
minat belajar siswa dari luar. Dalam menyampaikan suatu bahan pelajaran, guru harus
mampu melakukan pengorganisasian terhadap seluruh komponen pelajaran, yang salah
satunya adalah metode mengajar.
Syaiful bahri Djamarah, (1991) mengemukakan pendapatnya mengenai metode memgajar
sebagai berikut : “Metode adalah salah satu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar metode sangat diperlukan oleh setiap
guru yang penggunaannya sangat bervariasi sesuai dengan karakteristik tujuan yang ingin
dicapai setelah pembelajaran berakhir. Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya
bila tidak memguasai satu pun metode mengajar yang telah dirumuskan oleh para ahli
psikologi pendidikan”.
Pendapat terserbut didukung oleh Karo-karo Ing S. Ulih Bukit (1975) yang mengemukakan
bahwa metode mengajar ialah suatu cara tau jalan yang berfungsi sebagai alat yang
digunakan dalam pengajaran untuk mencapai tujuan pengajaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode mengajar merupakan suatu teknik atau
cara yang ditempuh guru dalam menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa dan melibatkan
interaksi yang aktif dan dinamis antara guru dan siswa, sehingga tujuan belajar yang telah
ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Metode Penemuan (Discovery-Inquiry)
Metode penemuan adalah cara penyajian pelajaran yang banyak melibatkan siswa dalam
proses-proses mental dalam rangka penemuannya. Menurut Sund (Sudirman N, 1992 ),
discovery adalah proses mental, dan dalam proses itu individu mengasimilasi konsep dan
prinsip-prinsip.
Istilah asing yang sering digunakan untuk metode ini ialah discovery yang berarti penemuan,
atau inquiry yang berarti mencari. Mengenai penggunaan istilah discovery dan inquiry para
ahli terbagi ke dalam dua pendapat, yaitu :
Istilah-istilah discovery dan inquiry dapat diartikan dengan maksud yang sama dan
digunakan saling bergantian atau keduanya sekaligus.
Istilah discovery, sekalipun secara umum menunjuk kepada pengertian yang sama
dengan inquiry, pada hakikatnya mengandung perbedaan dengan inquiry.
Moh. Amin (Sudirman N, 1992 ) menjelaskan bahwa pengajaran discovery harus meliputi
pengalaman-pengalaman belajar untuk menjamin siswa dapat mengembangkan proses-proses
discovery. Inquiry dibentuk dan meliputi discovery dan lebih banyak lagi. Dengan kata lain,
inquiry adalah suatu perluasan proses-proses discovery yang digunakan dalam cara lebih
dewasa. Sebagai tambahan pada proses-proses discovery, inquiry mengandung proses-proses
mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan problema sendiri, merancang
eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, menarik
kesimpulan, mempunyai sikap-sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka, dan
sebagainya.
Mengenai kelebihan dan kekurangan metode penemuan/discovery-inquiry diuraikan oleh
Sudirman N, dkk (1992) sebagai berikut :
Kelebihan metode penemuan/discovery-inquiry :
3. 1. Strategi pengajaran menjadi berubah dari yang bersifat penyajian informasi oleh guru
kepada siswa sebagai penerima informasi yang baik tetapi proses mentalnya berkadar
rendah, menjadi pengajaran yang menekankan kepada proses pengolahan informasi di
mana siswa yang aktif mencari dan mengolah sendiri informasi yang kadar proses
mentalnya lebih tinggi atau lebih banyak.
2. Siswa akan mengerti konsep-konsep dasar atau ide lebih baik.
3. Membantu siswa dalam menggunakan ingatan dan dalam rangka transfer kepada
siutuasi-situasi proses belajar yang baru.
4. Mendorong siswa untuk berfikur dan bekerja atas inisiatifnya sendiri.
5. Memungkinkan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar
yang tida hanya menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar.
6. Metode ini dapat memperkaya dan memperdalam materi yang dipelajari sehingga
retensinya 9tahan lama dalam ingatan) menjadi lebih baik.
Kekurangan metode penemuan/discovery-inquiry :
1. Memerlukan perubahan kebiasaan cara belajar siswa yang menerima informasi dari
guru apa adanya, ke arah membiasakan belajar mandiri dan berkelompok dengan
mencari dan mengolah informasi sendiri. Mengubah kebiasaan bukanlah sesuatu yang
mudah, apalagi kebiasaan yang telah bertahun-tahun dilakukan.
2. Guru dituntut mengubah kebiasaan mengajar yang umumnya sebagai pemberi
informasi menjadi fasilitator, motivator, dan pembimbing siswa dalam belajar. Inipun
bukan pekerjaan yang mudah karena umumnya guru merasa belum puas kalau tidak
banyak menyajikan informasi (ceramah).
3. Metode ini memberikan kebebasan pada siswa dalam belajar, tetapi tidak berarti
menjamin bahwa siswa belajar dengan tekun, penuh aktivitas, dan terarah.
4. Cara belajar siswa dalam metode ini menuntut bimbingan guru yang lebih baik.
Dalam kondisi siswa banyak (kelas besar) dan guru terbatas, agaknya metode ini sulit
terlaksana dengan baik.
Jenis-Jenis Metode Penemuan (Discovery-Inquiry)
Moh. Amin (Sudirman N, 1992) menguraikan tentang tujuh jenis inquiry-discovery yang
dapat diikuti sebagai berikut :
1. Guided Discovery-Inquiry Lab. Lesson
Sebagian perencanaan dibuat oleh guru. Selain itu guru menyediakan kesempatan bimbingan
atau petunjuk yang cukup luas kepada siswa. Dalam hal ini siswa tidak merumuskan
problema, sementara petunjuk yang cukup luas tentang bagaimana menyusun dan mencatat
diberikan oleh guru.
1. Modified Discovery-Inquiry
Guru hanya memberikan problema saja. Biasanya disediakan pula bahan atau alat-alat yang
diperlukan, kemudian siswa diundang untuk memecahkannya melalui pengamatan, eksplorasi
dan atau melalui prosedur penelitian untuk memperoleh jawabannya. Pemecahan masalah
dilakukan atas inisiatif dan caranya sendiri secara berkelompok atau perseorangan. Guru
berperan sebagai pendorong, nara sumber, dan memberikan bantuan yang diperlukan untuk
menjamin kelancaran proses belajar siswa.
4. 1. Free Inquiry
Kegiatan free inquiry dilakukan setelah siswa mempelajarai dan mengerti bagaimana
memecahkan suatu problema dan telah memperoleh pengetahuan cukup tentang bidang studi
tertentu serta telah melakukan modified discovery-inquiry. Dalam metode ini siswa harus
mengidentifikasi dan merumuskan macam problema yang akan dipelajari atau dipecahkan.
1. Invitation Into Inquiry
Siswa dilibatkan dalam proses pemecahan problema sebagaimana cara-cara yang lazim
diikuti scientist. Suatu undangan (invitation) memberikan suatu problema kepada siswa, dan
melalui pertanyaan masalah yang telah direncanakan dengan hati-hati mengundang siswa
untuk melakukan beberapa kegiatan atau kalau mungkin, semua kegiatan sebagai berikut :
merancang eksperimen, merumuskan hipotesis, menetapkan kontrol, menentukan sebab
akibat, menginterpretasi datadan membuat grafik
1. Inquiry Role Approach
Inquiry Role Approach
merupakan kegiatan proses belajar yang melibatkan siswa dalam tim-tim yang masing-
masing terdiri tas empat anggota untuk memecahkan invitation into inquiry. Masing-masing
anggota tim diberi tugas suatu peranan yang berbeda-beda sebagai berikut : koodinator tim,
penasihat teknis, pencatat data dan evaluator proses
1. Pictorial Riddle
Pendekatan dengan menggunakan pictorial riddle adalah salah satu teknik atau metode untuk
mengembangkan motivasi dan minat siswa di dalam diskusi kelompok kecil maupun besar.
Gambar atau peragaan, peragaan, atau situasi yang sesungguhnya dapat digunakan untuk
meningkatkan cara berfikir kritis dan kreatif siswa. Suatu ridlle biasanya berupa gambar di
papan tulis, papan poster, atau diproyeksikan dari suatu trasparansi, kemudian guru
mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan ridlle itu.
1. Synectics Lesson
Pada dasarnya syntetics memusatkan pada keterlibatan siswa untyuk membuat berbagai
macam bentuk metafora (kiasan) supaya dapat membuka intelegensinya dan mengembangkan
kreativitasnya. Hal ini dapat dilaksankan karena metafora dapat membantu dalam melepaskan
“ikatan struktur mental” yang melekat kuat dalam memandang suatu problema sehingga
dapat menunjang timbulnya ide-ide kreatif.
a. A. PENGERTIAN
Salah satu metode pembelajaran dalam bidang Sains, yang sampai sekarang masih tetap
dianggap sebagai metode yang cukup efektif adalah metode inquiry. David L. Haury dalam
artikelnya, Teaching Science Through Inquiry (1993) mengutip definisi yang diberikan oleh
Alfred Novak: inquiry merupakan tingkah laku yang terlibat dalam usaha manusia untuk
menjelaskan secara rasional fenomena-fenomena yang memancing rasa ingin tahu. Dengan
5. kata lain, inquiry berkaitan dengan aktivitas dan keterampilan aktif yang fokus pada
pencarian pengetahuan atau pemahaman untuk memuaskan rasa ingin tahu (Haury, 1993).
Alasan rasional penggunaan metode inquiry adalah bahwa siswa akan mendapatkan
pemahaman yang lebih baik mengenai Sains dan akan lebih tertarik terhadap Sains jika
mereka dilibatkan secara aktif dalam “melakukan” Sains. Investigasi yang dilakukan oleh
siswa merupakan tulang punggung metode inquiry. Investigasi ini difokuskan untuk
memahami konsep-konsep Sains dan meningkatkan keterampilan proses berpikir ilmiah
siswa. Diyakini bahwa pemahaman konsep merupakan hasil dari proses berfikir ilmiah
tersebut (Blosser, 1990).
Metode inquiry yang mensyaratkan keterlibatan aktif siswa terbukti dapat meningkatkan
prestasi belajar dan sikap anak terhadap Sains dan Matematika (Haury, 1993). Dalam
makalahnya Haury menyatakan bahwa metode inquiry membantu perkembangan antara lain
scientific literacy dan pemahaman proses-proses ilmiah, pengetahuan vocabulary dan
pemahaman konsep, berpikir kritis, dan bersikap positif. Dapat disebutkan bahwa metode
inquiry tidak saja meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep dalam Sains saja,
melainkan juga membentuk sikap keilmiahan dalam diri siswa.
Metode inquiry merupakan metode pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar
berfikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak
belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Siswa benar-benar
ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pembelajaran dengan metode
inquiry adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah yang
perlu disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa
masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh siswa. Tugas guru selanjutnya adalah
menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka memecahkan masalah. Bimbingan dan
pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan siswa dalam
pemecahan masalah harus dikurangi (Sagala, 2004).
Walaupun dalam praktiknya aplikasi metode pembelajaran inquiry sangat beragam,
tergantung pada situasi dan kondisi sekolah, namun dapat disebutkan bahwa pembelajaran
dengan metode inquiry memiliki 5 komponen yang umum yaitu Question, Student
Engangement, Cooperative Interaction, Performance Evaluation, dan Variety of Resources
(Garton, 2005).
Question. Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka yang
memancing rasa ingin tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan suatu fenomena. Siswa
diberi kesempatan untuk bertanya, yang dimaksudkan sebagai pengarah ke pertanyaan inti
yang akan dipecahkan oleh siswa. Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti atau
masalah inti yang harus dipecahkan oleh siswa. Untuk menjawab pertanyaan ini – sesuai
dengan Taxonomy Bloom – siswa dituntut untuk melakukan beberapa langkah seperti
evaluasi, sintesis, dan analisis. Jawaban dari pertanyaan inti tidak dapat ditemukan misalnya
di dalam buku teks, melainkan harus dibuat atau dikonstruksi.
Student Engangement. Dalam metode inquiry, keterlibatan aktif siswa merupakan suatu
keharusan sedangkan peran guru adalah sebagai fasilitator. Siswa bukan secara pasif
menuliskan jawaban pertanyaan pada kolom isian atau menjawab soal-soal pada akhir bab
sebuah buku, melainkan dituntut terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang
6. menunjukkan pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari atau dalam melakukan
sebuah investigasi.
Cooperative Interaction. Siswa diminta untuk berkomunikasi, bekerja berpasangan atau
dalam kelompok, dan mendiskusikan berbagai gagasan. Dalam hal ini, siswa bukan sedang
berkompetisi. Jawaban dari permasalahan yang diajukan guru dapat muncul dalam berbagai
bentuk, dan mungkin saja semua jawaban benar.
Performance Evaluation. Dalam menjawab permasalahan, biasanya siswa diminta untuk
membuat sebuah produk yang dapat menggambarkan pengetahuannya mengenai
permasalahan yang sedang dipecahkan. Bentuk produk ini dapat berupa slide presentasi,
grafik, poster, karangan, dan lain-lain. Melalui produk-produk ini guru melakukan evaluasi.
Variety of Resources. Siswa dapat menggunakan bermacam-macam sumber belajar, misalnya
buku teks, website, televisi, video, poster, wawancara dengan ahli, dan lain sebagainya.
B. Teori – teori Motivasi
Motivasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang memberikan energi
bagi seseorang dan apa yang memberikan arah bagi aktivitasnya. Motivasi kadang-kadang
dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil. Energi dan arah inilah yang menjadi inti
dari konsep tentang motivasi. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan
seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas
manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi,
dan insentif (Gage & Berliner, 1984). Dengan pengertian istilah motivasi seperti tersebut di
atas, kita dapat mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energi
untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa.
Secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut
pandangnya, yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic, humanistic, social learning, dan
social cognition.
1. Teori-teori Behavioral
Robert M. Yerkes dan J.D. Dodson, pada tahun 1908 menyampaikan Optimal Arousal
Theory atau teori tentang tingkat motivasi optimal, yang menggambarkan hubungan empiris
antara rangsangan (arousal) dan kinerja (performance). Teori ini menyatakan bahwa kinerja
meningkat sesuai dengan rangsangan tetapi hanya sampai pada titik tertentu; ketika tingkat
rangsangan menjadi terlalu tinggi, kinerja justru menurun, sehingga disimpulkan terdapat
rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu (Yerkes & Dodson, 1908).
Pada tahun 1943, Clark Hull mengemukakan Drive Reduction Theory yang menyatakan
bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati
posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir
selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang muncul mungkin
bermacam-macam bentuknya (Budiningsih, 2005). Masih menurut Hull, suatu kebutuhan
biologis pada makhluk hidup menghasilkan suatu dorongan (drive) untuk melakukan aktivitas
memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa makhluk hidup
ini akan melakukan respon berupa reduksi kebutuhan (need reduction response). Menurut
teori Hull, dorongan (motivators of performance) dan reinforcement bekerja bersama-sama
7. untuk membantu makhluk hidup mendapatkan respon yang sesuai (Wortman, 2004). Lebih
jauh Hull merumuskan teorinya dalam bentuk persamaan matematis antara drive (energi) dan
habit (arah) sebagai penentu dari behaviour (perilaku) dalam bentuk:
Behaviour = Drive × Habit
Karena hubungan dalam persamaan tersebut berbentuk perkalian, maka ketika drive = 0,
makhluk hidup tidak akan bereaksi sama sekali, walaupun habit yang diberikan sangat kuat
dan jelas (Berliner & Calfee, 1996).
Pada periode 1935 – 1960, Kurt Lewin mengajukan Field Theory yang dipengaruhi oleh
prinsip dasar psikologi Gestalt. Lewin menyatakan bahwa perilaku ditentukan baik oleh
person (P) maupun oleh environment (E):
Behaviour = f(P, E)
Menurut Lewin, besar gaya motivasional pada seseorang untuk mencapai suatu tujuan yang
sesuai dengan lingkungannya ditentukan oleh tiga faktor: tension (t) atau besar kecilnya
kebutuhan, valensi (G ) atau sifat objek tujuan, dan jarak psikologis orang tersebut dari tujuan
(e).
Force = f(t, G)/e
Dalam persamaan Lewin di atas, jarak psikologis berbanding terbalik dengan besar gaya
(motivasi), sehingga semakin dekat seseorang dengan tujuannya, semakin besar gaya
motivasinya. Sebagai contoh, seorang pelari yang sudah kelelahan melakukan sprint ketika ia
melihat atau mendekati garis finish. Teori Lewin memandang motivasi sebagai tension yang
menggerakkan seseorang untuk mencapai tujuannya dari jarak psikologis yang bervariasi
(Berliner & Calfee, 1996).
2. Teori-teori Cognitive
Pada tahun 1957 Leon Festinger mengajukan Cognitive Dissonance Theory yang
menyatakan jika terdapat ketidakcocokan antara dua keyakinan, dua tindakan, atau antara
keyakinan dan tindakan, maka kita akan bereaksi untuk menyelesaikan konflik dan
ketidakcocokan ini. Implikasi dari hal ini adalah bahwa jika kita dapat menciptakan
ketidakcocokan dalam jumlah tertentu, ini akan menyebabkan seseorang mengubah
perilakunya, yang kemudian mengubah pola pikirnya, dan selanjutnya mengubah lebih jauh
perilakunya (Huitt, 2001).
Teori kedua yang termasuk dalam teori-teori cognitive adalah Atribution Theory yang
dikemukakan oleh Fritz Heider (1958), Harold Kelley (1967, 1971), dan Bernard Weiner
(1985, 1986). Teori ini menyatakan bahwa setiap individu mencoba menjelaskan kesuksesan
atau kegagalan diri sendiri atau orang lain dengan cara menawarkan attribut-atribut tertentu.
Atribut ini dapat bersifat internal maupun eksternal dan terkontrol maupun yang tidak
terkontrol seperti tampak pada diagram berikut.
Internal Eksternal
Tidak terkontrol Kemampuan Keberuntungan
(ability) (luck)
8. Terkontrol Usaha (effort) Tingkat kesulitan
tugas
Dalam sebuah pembelajaran, sangat penting untuk membantu siswa mengembangkan atribut-
diri usaha (internal, terkontrol). Jika siswa memiliki atribut kemampuan (internal, tak
terkontrol), maka begitu siswa mengalami kesulitan dalam belajar, siswa akan menunjukkan
perilaku belajar yang melemah (Huitt, 2001).
Pada tahun 1964, Vroom mengajukan Expectancy Theory yang secara matematis dituliskan
dalam persamaan:
Motivation = Perasaan berpeluang sukses (expectancy) × Hubungan antara sukses dan
reward (instrumentality) × Nilai dari tujuan (Value)
Karena dalam rumus ini yang digunakan adalah perkalian dari tiga variabel, maka jika salah
satu variabel rendah, motivasi juga akan rendah. Oleh karena itu, ketiga variabel tersebut
harus selalu ada supaya terdapat motivasi. Dengan kata lain, jika seseorang merasa tidak
percaya bahwa ia dapat sukses pada suatu proses belajar atau ia tidak melihat hubungan
antara aktivitasnya dengan kesuksesan atau ia tidak menganggap tujuan belajar yang
dicapainya bernilai, maka kecil kemungkinan bahwa ia akan terlibat dalam aktivitas belajar.
3. Teori-teori Psychoanalytic
Salah satu teori yang sangat terkenal dalam kelompok teori ini adalah Psychoanalytic
Theory (Psychosexual Theory) yang dikemukakan oleh Freud (1856 – 1939) yang
menyatakan bahwa semua tindakan atau perilaku merupakan hasil dari naluri (instinct)
biologis internal yang terdiri dari dua kategori, yaitu hidup (sexual) dan mati (aggression).
Erik Erikson yang merupakan murid Freud yang menentang pendapat Freud, menyatakan
dalam Theory of Socioemotional Development (atau Psychosocial Theory) bahwa yang
paling mendorong perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah interaksi sosial (Huitt,
1997).
4. Teori-teori Humanistic
Teori yang sangat berpengaruh dalam teori humanistic ini adalah Theory of Human
Motivation yang dikembangkan oleh Abraham Maslow (1954). Maslow mengemukakan
gagasan hirarki kebutuhan manusia, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu deficiency
needs dan growth needs. Deficiency needs meliputi (dari urutan paling bawah) kebutuhan
fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan akan
penghargaan. Dalam deficiency needs ini, kebutuhan yang lebih bawah harus dipenuhi lebih
dulu sebelum ke kebutuhan di level berikutnya. Growth needs meliputi kebutuhan kognitif,
kebutuhan estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan kebutuhan self-transcendence. Menurut
Maslow, manusia hanya dapat bergerak ke growth needs jika dan hanya jika deficiency needs
sudah terpenuhi. Hirarki kebutuhan Maslow merupakan cara yang menarik untuk melihat
hubungan antara motif manusia dan kesempatan yang disediakan oleh lingkungan (Atkinson,
1983).
Teori Maslow mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut yang mencoba mengembangkan
sebuah teori tentang motivasi yang memasukkan semua faktor yang mempengaruhi motivasi
ke dalam satu model (Grand Theory of Motivation), misalnya seperti yang diusulkan oleh
9. Leonard, Beauvais, dan Scholl (1995). Menurut model ini, terdapat 5 faktor yang merupakan
sumber motivasi, yaitu 1)instrumental motivation (reward dan punishment), 2)Intrinsic
Process Motivation (kegembiraan, senang, kenikmatan), 3)Goal Internalization (nilai-nilai
tujuan), 4)Internal Self-Concept yang didasarkan pada motivasi, dan 5) External Self-Concept
yang didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995).
5. Teori-teori Social Learning
Social Learning Theory (1954) yang diajukan oleh Julian Rotter menaruh perhatian pada
apa yang dipilih seseorang ketika dihadapkan pada sejumlah alternatif bagaimana akan
bertindak. Untuk menjelaskan pilihan, atau arah tindakan, Rotter mencoba menggabungkan
dua pendekatan utama dalam psikologi, yaitu pendekatan stimulus-response atau
reinforcement dan pendekatan cognitive atau field. Menurut Rotter, motivasi merupakan
fungsi dari expectation dan nilai reinforcement. Nilai reinforcement merujuk pada tingkat
preferensi terhadap reinforcement tertentu (Berliner & Calfee, 1996).
6. Teori Social Cognition
Tokoh dari Social Cognition Theory adalah Albert Bandura. Melalui berbagai eksperimen
Bandura dapat menunjukkan bahwa penerapan konsekuensi tidak diperlukan agar
pembelajaran terjadi. Pembelajaran dapat terjadi melalui proses sederhana dengan mengamati
aktivitas orang lain. Bandura menyimpulkan penemuannya dalam pola 4 langkah yang
mengkombinasikan pandangan kognitif dan pandangan belajar operan, yaitu 1)Attention,
memperhatikan dari lingkungan, 2)Retention, mengingat apa yang pernah dilihat atau
diperoleh, 3)Reproduction, melakukan sesuatu dengan cara meniru dari apa yang dilihat,
4)Motivation, lingkungan memberikan konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku
yang akan muncul lagi (reinforcement and punishment) (Huitt, 2004).
C. Teori Curiosity Berlyne
Pada tahun 1960 Berlyne mengemukakan sebuah Teori tentang Curiosity atau rasa ingin
tahu. Menurut Berlyne, ketidakpastian muncul ketika kita mengalami sesuatu yang baru,
mengejutkan, tidak layak, atau kompleks. Ini akan menimbulkan rangsangan yang tinggi
dalam sistem syaraf pusat kita. Respon manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian
inilah yang disebut dengan curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity akan mengarahkan
manusia kepada perilaku yang berusaha mengurangi ketidakpastian (Gagne, 1985).
Dalam pembelajaran Sains, ketika guru melakukan demonstrasi suatu eksperimen yang
memberikan hasil yang tidak terduga, hal ini akan menimbulkan konflik konseptual dalam
diri siswa, dan ini akan memotivasi siswa untuk mengerti mengapa hasil eksperimen tersebut
berbeda dengan apa yang dipikirkannya. Dengan demikian, keadaan ketidakpastian yang
diciptakan oleh guru telah menimbulkan curiosity siswa, dan siswa akan termotivasi untuk
mengurangi ketidakpastian dalam dirinya tersebut. Dapat disimpulkan bahwa curiosity
merupakan hal penting dalam meningkatkan motivasi. Sejarah juga membuktikan bahwa
curiosity memiliki banyak peran dalam kehidupan para penemu (inventor), ilmuwan, artis,
dan orang-orang yang kreatif.
Salah satu metode pembelajaran yang melibatkan curiosity siswa adalah inquiry teaching.
Dalam metode ini, siswa lebih banyak ditanya daripada diberikan jawaban. Dengan
mengajukan pertanyaan, bukan hanya pernyataan-pernyataan, curiosity siswa akan meningkat
10. karena siswa mengalami ketidakpastian terhadap jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut
(Gagne, 1985).
B. TINGKATAN INQUIRY
Ada tiga tingkatan inkuiri berdasarkan variasi bentuk keterlibatannya dan intensistas
keterlibatan siswa, yaitu:
a. Inkuiri tingkat pertama
Inkuiri tingkat pertama merupakan kegiatan inkuiri di mana masalah dikemukakan oleh guru
atau bersumber dari buku teks kemudian siswa bekerja untuk menemukan jawaban terhadap
masalah tersebut di bawah bimbingan yang intensif dari guru. Inkuiri tipe ini, tergolong
kategori inkuiri terbimbing ( guided Inquiry ) menurut kriteria Bonnstetter, (2000); Marten-
Hansen, (2002), dan Oliver-Hoyo, et al (2004). Sedangkan Orlich, et al (1998) menyebutnya
sebagai pembelajaran penemuan (discovery learning) karena siswa dibimbing secara hati-hati
untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapkan kepadanya.
Dalam inkuiri terbimbing kegiatan belajar harus dikelola dengan baik oleh guru dan luaran
pembelajaran sudah dapat diprediksikan sejak awal. Inkuiri jenis ini cocok untuk diterapkan
dalam pembelajaran mengenai konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang mendasar dalam
bidang ilmu tertentu. Orlich, et al (1998) menyatakan ada beberapa karakteristik dari inkuiri
terbimbing yang perlu diperhatikan yaitu: (1) siswa mengembangkan kemampuan berpikir
melalui observasi spesifik hingga membuat inferensi atau generalisasi, (2) sasarannya adalah
mempelajari proses mengamati kejadian atau obyek kemudian menyusun generalisasi yang
sesuai, (3) guru mengontrol bagian tertentu dari pembelajaran misalnya kejadian, data, materi
dan berperan sebagai pemimpin kelas, (4) tiap-tiap siswa berusaha untuk membangun pola
yang bermakna berdasarkan hasil observasi di dalam kelas, (5) kelas diharapkan berfungsi
sebagai laboratorium pembelajaran, (6) biasanya sejumlah generalisasi tertentu akan
diperoleh dari siswa, (7) guru memotivasi semua siswa untuk mengkomunikasikan hasil
generalisasinya sehingga dapat dimanfaatkan oleh seluruh siswa dalam kelas.
b. Inkuiri Bebas
Inkuiri tingkat kedua dan ketiga menurut Callahan et al , (1992) dan Bonnstetter, (2000)
dapat dikategorikan sebagai inkuiri bebas (unguided Inquiry) menurut definisi Orlich, et al
(1998). Dalam inkuiri bebas, siswa difasilitasi untuk dapat mengidentifikasi masalah dan
merancang proses penyelidikan. Siswa dimotivasi untuk mengemukakan gagasannya dan
merancang cara untuk menguji gagasan tersebut. Untuk itu siswa diberi motivasi untuk
melatih keterampilan berpikir kritis seperti mencari informasi, menganalisis argumen dan
data, membangun dan mensintesis ide-ide baru, memanfaatkan ide-ide awalnya untuk
memecahkan masalah serta menggeneralisasikan data. Guru berperan dalam mengarahkan
siswa untuk membuat kesimpulan tentatif yang menjadikan kegiatan belajar lebih menyerupai
kegiatan penelitian seperti yang biasa dilakukan oleh para ahli. Beberapa karakteristik yang
menandai kegiatan inkuiri bebas ialah: (1) siswa mengembangkan kemampuannya dalam
melakukan observasi khusus untuk membuat inferensi, (2) sasaran belajar adalah proses
pengamatan kejadian, obyek dan data yang kemudian mengarahkan pada perangkat
generalisasi yang sesuai, (3) guru hanya mengontrol ketersediaan materi dan menyarankan
materi inisiasi, (4) dari materi yang tersedia siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan tanpa
bimbingan guru, (5) ketersediaan materi di dalam kelas menjadi penting agar kelas dapat
11. berfungsi sebagai laboratorium, (6) kebermaknaan didapatkan oleh siswa melalui observasi
dan inferensi serta melalui interaksi dengan siswa lain, (7) guru tidak membatasi generalisasi
yang dibuat oleh siswa, dan (8) guru mendorong siswa untuk mengkomunikasikan
generalisasi yang dibuat sehingga dapat bermanfaat bagi semua siswa dalam kelas.
c. Langkah-langkah pembelajaran dalam inkuiri
Langkah pembelajaran inkuri, merupakan suatu siklus yang dimulai dari:
1. Observasi atau pengamatan terhadap berbagai fenomena alam
2. Mengajukan pertanyaan tentang fenomena yang dihadapi
3. Mengajukan dugaan atau kemungkinan jawaban
4. Mengumpulkan data yang terkait dengan pertanyaan yang diajukan
5. Merumuskan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan data.
d. Sasaran Pembelajaran inkuiri
Sasaran pembelajaran yang dapat dicapai dengan penerapan inkuiri adalah:
Sasaran kognitif :
1. Memahami bidang khusus dari materi pelajaran
2. Mengembangkan keterampilan proses sains
3. Mengembangkan kemampuan bertanya, memecahkan masalah dan melakukan percobaan
4. Menerapkan pengetahuan dalam situasi baru yang berbeda.
5. Mengevaluasi dan mensintesis informasi, ide dan masalah baru
6. Memperkuat keterampilan berpikir kritis
Sasaran afektif :
1. Mengembangkan minat terhadap pelajaran dan bidang ilmu
1. Memperoleh apresiasi untuk pertimbangan moral dan etika yang relevan dengan bidang
ilmu tertentu.
2. Meningkatkan intelektual dan integritas
3. Mendapatkan kemampuan untuk belajar dan menerapkan materi pengetahuan.
12. Pendekatan discovery merupakan pendekatan mengajar yang memerlukan proses mental,
seperti mengamati, mengukur, menggolongkan, menduga, men-jelaskan, dan mengambil
kesimpulan.
Pada kegiatan discovery guru hanya memberikan masalah dan siswa disuruh memecahkan
masalah melalui percobaan. Pada pendekatan inquiry, siswa mengajukan masalah sendiri
sesuai dengan pengarahan guru. Keterampilan mental yang dituntut lebih tinggi dari
discovery antara lain: merancang dan melakukan percobaan, mengumpulkan dan
menganalisis data, dan mengambil kesimpulan.
Pendekatan inquiry adalah pendekatan mengajar di mana siswa merumuskan masalah,
mendesain eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data sampai mengambil keputusan
sendiri.
Pendekatan inquiry harus memenuhi empat kriteria ialah kejelasan, kesesuaian ketepatan dan
kerumitannya. Setelah guru mengundang siswa untuk mengajukan masalah yang erat
hubungannya dengan pokok bahasan yang akan diajarkan, siswa akan terlibat dalam kegiatan
inquiry dengan melalui 5 fase ialah:
Fase 1 : Siswa menghadapi masalah yang dianggap oleh siswa memberikan tantangan untuk
diteliti.
Fase 2 : Siswa melakukan pengumpulan data untuk menguji kondisi, sifat khusus dari objek
teliti dan pengujian terhadap situasi masalah yang dihadapi.
Fase 3 : siswa mengumpulkan data untuk memisahkan variabel yang relevan, berhipotesis
dan bereksperimen untuk menguji hipotesis sehingga diperoleh hubungan sebab akibat.
Fase 4 : merumuskan penemuan inquiry hingga diperoleh penjelasan, pernyataan, atau prinsip
yang lebih formal.
Fase 5 : melakukan analisis terhadap proses inquiry, strategi yang dilakukan oleh guru
maupun siswa. Analisis diperlukan untuk membantu siswa terarah pada mencari sebab akibat.
Suka
Be the first to like this.
Metode Pembelajaran Discovery
Metode pembelajaran discovery (penemuan) adalah metode mengajar
yang mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang
sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya
ditemukan sendiri. Dalam pembelajarandiscovery (penemuan) kegiatan atau pembelajaran yang
dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip
melalui proses mentalnya sendiri. Dalam menemukan konsep, siswa melakukan pengamatan,
menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk
menemukan beberapa konsep atau prinsip.
Metode discovery diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran
perseorang, memanipulasi objek sebelum sampai pada generalisasi. Sedangkan Bruner
13. menyatakan bahwa anak harus berperan aktif didalam belajar. Lebih lanjut dinyatakan, aktivitas
itu perlu dilaksanakan melalui suatu cara yang disebut discovery. Discovery yang dilaksanakan
siswa dalam proses belajarnya, diarahkan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip.
Discovery ialah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip.
Proses mental yang dimaksud antara lain: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-
golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya.
Dengan teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental sendiri, guru
hanya membimbing dan memberikan intruksi. Dengan demikian pembelajarandiscovery ialah
suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat,
dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri.
Metode pembelajaran discovery merupakan suatu metode pengajaran yang menitikberatkan pada
aktifitas siswa dalam belajar. Dalam proses pembelajaran dengan metode ini, guru hanya
bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan konsep,
dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya.
Tiga ciri utama belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk
menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3)
kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.
Blake et al. membahas tentang filsafat penemuan yang dipublikasikan oleh Whewell. Whewell
mengajukan model penemuan dengan tiga tahap, yaitu: (1) mengklarifikasi; (2) menarik
kesimpulan secara induksi; (3) pembuktian kebenaran (verifikasi).
Langkah-langkah pembelajaran discovery adalah sebagai berikut:
1. identifikasi kebutuhan siswa;
2. seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi
pengetahuan;
3. seleksi bahan, problema/ tugas-tugas;
4. membantu dan memperjelas tugas/ problema yang dihadapi siswa serta peranan
masing-masing siswa;
5. mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan;
6. mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan;
7. memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan;
8. membantu siswa dengan informasi/ data jika diperlukan oleh siswa;
9. memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan
mengidentifikasi masalah;
10. merangsang terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa;
11. membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.
Salah satu metode belajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang sudah
maju adalah metode discovery. Hal ini disebabkan karena metode ini: (1) merupakan suatu cara
untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif; (2) dengan menemukan dan menyelidiki sendiri
konsep yang dipelajari, maka hasil yang diperoleh akan tahan lama dalam ingatan dan tidak
mudah dilupakan siswa; (3) pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-
betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain; (4) dengan menggunakan
strategi discovery anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang akan dapat
dikembangkan sendiri; (5) siswa belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan problema
yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan nyata.
Beberapa keuntungan belajar discovery yaitu: (1) pengetahuan bertahan lama dan mudah diingat;
(2) hasil belajar discovery mempunyai efek transfer yang lebih baik dari pada hasil lainnya; (3)
14. secara menyeluruh belajar discoverymeningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk
berpikir bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa
untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
Beberapa keunggulan metode penemuan juga diungkapkan oleh Suherman, dkk (2001: 179)
sebagai berikut:
1. siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan
untuk menemukan hasil akhir;
2. siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses
menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat;
3. menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin
melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat;
4. siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu
mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks;
5. metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.
Selain memiliki beberapa keuntungan, metode discovery (penemuan) juga memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya membutuhkan waktu belajar yang lebih lama dibandingkan dengan
belajar menerima. Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka diperlukan bantuan guru. Bantuan
guru dapat dimulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan dan dengan memberikan informasi
secara singkat. Pertanyaan dan informasi tersebut dapat dimuat dalam lembar kerja siswa (LKS)
yang telah dipersiapkan oleh guru sebelum pembelajaran dimulai.
Metode discovery (penemuan) yang mungkin dilaksanakan pada siswa SMP adalah metode
penemuan terbimbing. Hal ini dikarenakan siswa SMP masih memerlukan bantuan guru sebelum
menjadi penemu murni. Oleh sebab itu metode discovery (penemuan) yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah metode discovery (penemuan) terbimbing (guided discovery).
DAFTAR PUSTAKA
Suherman, dkk. (2001). Common TexBook Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.