2. Pengertian Pendidikan Agama Inklusif
Pendidikan agama inklusif adalah pendidikan yang mengajarkan tentang
bagaimana menghargai perbedaan antara agama yang satu dengan
agama yang lain dan peka akan nilai-nilai kemanusiaan secara universal.
Pendidikan agama yang inklusif juga harus memberi wawasan tentang
kehidupan secara utuh dan memberikan kesadaran bahwa tujuan hidup
tertinggi adalah mengabdi kepada sesama. Pendidikan agama inklusif
merupakan proses transformasi pendidikan agama dari yang berorientasi
pada penguatan doktrin dan keyakinan agama sendiri ke penguatan
karakter dan penerimaan terhadap keanekaragaman, tanpa mengabaikan
keyakinan agama masing-masing.
3. Tujuan Pendidikan Agama Inklusif
Tujuan dari pendidikan agama yang inklusif adalah mengajak
para murid untuk merefleksikan realitas kemajemukan dan
menekankan nilai-nilai pluralism serta kebersamaan
4. PERAN GURU DALAM MEMBANGUN KEBERAGAMAAN INKLUSIF DI SEKOLAH
1) Seorang guru atau dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap
maupun perkataannya (tidak boleh diskriminatif).
2) Guru atau dosen harus tertarik pada peristiwa tertentu yang ada hubungannya
dengan agama (multicultural minded).
3) Guru atau dosen harus menjelaskan bahwa tujuan ajaran agama adalah
menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, dan segala
bentuk kekerasan dilarang dalam agama.
4) Guru atau dosen mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan
diskusi dalam penyelesaian berbagai persoalan yang berkaitan dengan keragaman
budaya, suku, dan agama.
5. 1) Sekolah harus membuat dan melaksanakan peraturan daerah, yaitu peraturan
sekolah yang khusus diterapkan pada satu sekolah tertentu.
2) Untuk membangun rasa saling pengertian sejak dini antara siswa yang berbeda
keyakinan, sekolah harus berperan aktif dalam menggalakkan dialog
antaragama dengan bimbingan para guru di sekolah.
3) Yang terpenting dalam penerapan pendidikan multikultural adalah kurikulum
dan buku teks yang digunakan dan diterapkan di sekolah.
PERAN SEKOLAH DALAM MEMBANGUN KEBERAGAMAAN INKLUSIF
6. 1. Aspek materi. Gagasan paradigma Islam inklusif
kaitannya dengan pendidikan adalah adanya bahasan
khusus yang terkait dengan hak minoritas khususnya
minoritas dalam kehidupan sosial beragama.
2. Aspek evaluasi. Rangkaian terakhir dari proses
pendidikan adalah evaluasi, tak terkecuali pada proses
pendidikan Islam.
Kurikulum dalam pendidikan Islam yang inklusif dapat terlihat
dalam dua aspek yaitu:
7. 1. Metode Dialogis
Program dialog antar agama, misalnya: dialog tentang “puasa” yang bisa menghadirkan
ulama, pendeta, bikhsu, atau bahkan pemuka aliran kebatinan tertentu.
2. Metode Inovasi
Program road show lintas agama. Program road show lintas agama ini adalah program nyata
untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain.
3. Metode Pembelajaran Langsung (Metode Keteladaan)
Pembelajaran langsung menekankan belajar sebagai perubahan tingkah laku melalui peniruan.
Spiritual Work Camp (SWC), dimana peserta didik dari latar belakang agama yang berbeda
disatukan dalam perkemahan.
4. Metode Pembelajaran Kooperatif
Kerja sosial bersama, yaitu kegiatan pengabdian kepada masysrakat yang dilakukan oleh
peserta didik yang berasal dari berbagai latar belakang agama.
Metode dan kegiatan yang bisa diprogramkan di sekolah
8. 1. Pendidikan agama harus berdampingan dan berintegrasi dengan pendidikan
umum dengan menyisipkan nilai-nilai agama yang terkait.
2. Pendidikan agama juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan yang
berbasis pada pluralitas.
3. Pendidikan agama harus mempunyai karakter sebagai institusi pendidikan yang
menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan.
Pentingnya menggagas pendidikan agama berbasis inklusivisme dengan
menonjolkan beberapa karakter adalah sebagai berikut:
9. Model Pendidikan Agama Inklusif melalui dua pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan pendidikan inklusif kepada guru agama
Berupa modul-modul substantif yang isinya mengacu pada prosedur kerja
intersubjektif. Pendekatan ini mengacu pada teori Amin Abdullah.
2. Pendekatan pendidikan inklusif berbasis budaya oleh guru kepada siswa
Mengacu pada teori-teori Lickona tentang pengembangan budaya sekolah yang
meliputi enam unsur, yaitu: (1) kepemimpinan dan keteladanan moral, (2) kedisiplinan
secara keseluruhan, (3) kedisiplinan secara keseluruhan. menumbuhkan rasa
persaudaraan, (4) suasana demokratis, (5) kerjasama yang harmonis, dan (6)
mengagendakan waktu khusus dalam membahas masalah-masalah karakter
MODEL PENDIDIKAN AGAMA INKLUSIF
10. Jack Seymour dan Tabita Kartika Christiani mengemukakan ada tiga model
pendidikan agama yaitu:
1. in the wall
Pendidikan agama in the wall berarti hanya mengajarkan agama sesuai agama
tersebut tanpa dialog dengan agama lain.
2. at the wall
Ppendidikan agama at the wall tidak hanya mengajarkan agama sendiri, tetapi
sudah mendiskusikannya dengan agama lain.
3. beyond the wall.
pendidikan agama beyond the wall tak sekedar berorientasi untuk berdiskusi dan
berdialog dengan orang yang berbeda agama.
11. Pendidikan agama yang eksklusif adalah Proses pendidikan dengan
kurikulum dan materi ajar yang diberikan kepada siswa lebih
menekankan pada pengajaran doktrin agama secara sempit.
Pendidikan agama yang ekslusif secara nyata telah menjadikan
tumbuh dan berkembangnya radikalisme, ekstrimisme, dan
terorisme.
Pengertian Pendidikan Agama
Eksklusif
12. a. Pemahaman keagamaan yang eksklusif, hal ini dapat dilihat dari:
1) Sebanyak 62% guru meyakini bahwa agamanya adalah agama yang paling benar dan
agama lain salah dan sesat
2) Sebanyak 53% guru meyakini bahwa hanya agamanya saja yang dapat menjamin
keselamatan kehidupan di dunia dan di akhirat.
3) Sebanyak 40% guru merasa kesal pemahaman agamanya dikritik orang lain.
4) Sebanyak 42% guru merasa wajib memperjuangkan agama jika agama/kepercayaan dihina
oleh agama lain
5) Sebanyak 42% guru berpendapat bahwa pemahaman mereka terhadap ajaran agamanya
adalah pemahaman yang paling benar
Permasalahan dalam implementasi pendidikan agama dalam lingkungan
multikultural di sekolah dasar di Indonesia, yaitu:
13. b. Kehidupan sosial yang masih eksklusif, dapat dilihat dari:
1) Sebanyak 58% guru agama merasa agama lain selalu memanfaatkan
kebaikan agamanya untuk kepentingan agamanya.
2) Sebanyak 64% ustadz sering mengancam keyakinannya terhadap kehidupan
beragama.
c. Pelaksanaan pembelajaran di kelas kurang memberikan bobot nilai pada
penanaman nilai toleransi, mereka hanya memiliki sedikit pemahaman toleransi.