Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang berlangsung dari 1-5 Januari 1947. Pada hari pertama, terjadi serangan artileri Belanda dari RS Charitas ke pos-pos pasukan Indonesia. Pada hari kedua, Belanda berupaya menduduki Masjid Agung Palembang dengan tank dan kendaraan lapis baja, namun berhasil dipertahankan oleh pasukan Indonesia dengan bantuan masyarakat. Pertempuran semakin sengit pada hari ketiga dengan tewasnya
2. UPAYA MENGHADAPI SERANGAN BELANDA PADA PERTEMPURAN
LIMA HARI LIMA MALAM DI PALEMBANG
Palembang saat perang 5 hari 5 malam 1-5 Januari 1947
Pengantar
Palembang merupakan kota yang sangat strategis di Sumatera Selatan. Sebagai kota tua,
Palembang banyak menyimpan sejarah perjuangan rakyat. Keberadaan Palembang yang dibagi
oleh Sungai Musi menambah eksotismenya. Ciri khas kota
Palembang sebagai kota yang sangat didominasi oleh air,
bahkan oleh Belanda sebelum Perang Dunia II, pernah
dipromosikan sebagai “Venetie van het Verre Oasten”
atau “Venesia dari Timur Jauh”. Kekayaan alam Sumatera
Selatan menjadi kebanggaan sekaligus ancaman dari
bangsa asing.
Setelah Perang Dunia II, Sekutu memboncengi NICA ke
Indonesia dengan maksud agar Belanda dapat kembali
menguasai Indonesia. Konflik RI dan Belanda semakin
menimbulkan ketegangan. Para pasukan RI, lasykar dan
rakyat berusaha mempertahankan kemerdekaan yang
telah dicapai pada 17 Agustus 1945. Usaha untuk
mencapai kepentingan Belanda berlanjut dengan
pertempuran besar. Pertempuran besar yang
menentukan antara lain Bandung Lautan Api,
Pertempuran Ambarawa, Medan Area, Puputan
Margarana dan lain-lain. Di Sumatera Selatan pun terjadi
pertempuran besar yang dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang.
pertempuran ini terjadi pada tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan perang tiga matra yang pertama
kali kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang tersebut terjadi melibatkan kekuatan darat,
laut, dan udara. Belanda sangat berkepentingan untuk menguasai Palembang secara total
karena tinjauan Belanda terhadap Palembang dari aspek politik, ekonomi dan militer. Dalam
aspek politik, Belanda berusaha untuk menguasai Palembang karena ingin membuktikan
kepada dunia internasional bahwa mereka benar-benar telah menguasai Jawa dan Sumatera.
Ditinjau dari aspek ekonomi berarti jika Kota Palembang dikuasai sepenuhnya maka berarti
juga dapat menguasai tempat penyulingan minyak di Plaju serta Sei Gerong. Selain itu, dapat
pula me- manfaatkan Palembang sebagai pusat perdagangan karet dan hasil bumi lainnya
untuk tujuan ekspor. Sedangkan jika ditinjau dari segi militer, sebenarnya Pasukan TRI dan
pejuang yang dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan pasukan yang relatif mempunyai
persenjataan yang terkuat, jika dibandingkan dengan pasukan–pasukan yang berada di luar
kota. Oleh karena itu, jika Belanda berhasil menguasai Kota Palembang secara total, maka akan
mempermudah gerakan operasi militer mereka ke daerah-daerah pedalaman.
3. Peranan rakyat sangat besar dalam pertempuran Lima Hari Lima Malam. Motivasi perjuangan
rakyat Indonesia umumnya dan khususnya para pejuang di daerah Sumatera Selatan yakni
adanya “sense to be a nation”, rasa harga diri sebagai suatu bangsa yang telah merdeka.
Semboyan “Merdeka atau Mati” yang berkumandang semasa periode Perang Kemerdekaan
adalah wujud usaha untuk menjaga agar tetap berdirinya Negara Republik Indonesia.
Provokasi Belanda
Daerah Keresidenan Palembang pada masa-masa menjelang Pertempuran Lima Hari Lima
Malam memiliki keunikan tersendiri, bila dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia
lainnya yang telah diduduki oleh Sekutu (NICA), seperti Medan, Padang, Jakarta, Bandung, dan
lain-lainnya, yang masih terdapat pemerintahan RI lengkap dengan pasukan, karena
keberhasilan diplomasi yang dilakukan oleh kepala pemerintahan setempat. Setelah Belanda
menggantikan Inggris di Palembang pada 24 Oktober 1946, Kolonel Mollinger menjadi
Komandan territorial Belanda untuk Sumatera Selatan (Palembang, Lampung, Bangka, dan
Jambi). Penyerahan pendudukan Inggris kepada Belanda berlangsung pada 7 November 1946.
Setelah menggantikan Inggris, Belanda menuntut garis demarkasi yang lebih jauh. Untuk
mencegah timbulnya insiden dilakukanlah perundingan antara pihak Belanda dan RI pada
tanggal November 1946.
Hal terpenting dari perundingan itu antara lain tentara Belanda tidak akan memperluas atau
melewati batas daerah yang diserahkan kepadanya oleh Inggris dan akan memelihara status
quo. Sementara itu di Palembang mulai dilakukan pengembangan kekuatan militer oleh
Pasukan TRI sedangkan, pihak Belanda giat menyusun posisi dan memperkuat pasukannya di
Palembang.
Pada bulan Desember 1946, pihak Belanda telah menyusun pasukan-pasukannya di Kota
Palembang dan sekitarnya. Kapal-kapal perang Belanda mulai melakukan pencegahan terhadap
lalu lintas pelayaran antara Palembang – Lampung – Jambi – Singapura, yang bertujuan untuk
mengadakan blokade ekonomi dan militer. Blokade bertujuan agar hubungan timbal balik
antara Jambi, Lampung, Palembang dan Singapura terputus sehingga hasil bumi, barang
kebutuhan hidup dan senjata tidak dapat diimpor dan diselundupkan dari Singapura. Dr. A.K.
Gani melakukan kegiatan menembus blokade tersebut untuk memperkuat perjuangan
4. sehingga dia dijuluki “The biggest smuggler of South East”.
Panglima Komando Sumatera, Jenderal Mayor Suharjo Harjowardoyo mengeluarkan Perintah
Harian lewat corong Radio Republik Indonesia di Palembang pada akhir Desember 1946 yang
ditujukan kepada pasukan-pasukan RI di daerah pendudukan Belanda di Medan, Padang dan
terutama yang di Palembang untuk selalu siap siaga dan waspada menunggu instruksi dari
pemerintahan pusat.
Pada tanggal 28 Desember 1946, seorang anggota Lasykar Napindo bernama Nungcik ditembak
mati karena melewati pos pasukan Belanda di Benteng. Malam harinya Belanda melanggar
garis demarkasi yang telah ditentukan. Dua buah Jeep yang dikendarai oleh pasukan Belanda
dari Talang Semut melewati Jalan Merdeka, Jalan Tengkuruk (sekarang Jalan Sudirman), Rumah
Sakit Charitas sambil melepaskan tembakan-tembakan secara mem****buta. Pancingan itu
segera mendapat jawaban dari pasukan RI. Meletuslah pertempuran yang berlangsung sekitar
13 jam lamanya. Setelah terjadinya perang sekitar 13 jam, situasi Palembang dalam kondisi
cease fire. Insiden ini menunjukkan akan meletusnya perang yang lebih besar, karena Belanda
berusaha meningkatkan pertahanannya.
Penghentian tembak-menembak tersebut tidaklah berlangsung lama, Belanda kembali
melanggar kesepakatan pada 29 Desember 1946, berupa terjadinya penembakan terhadap
Letnan Satu A. Riva’i, Komandan Datasemen Divisi Dua, yang mengendarai sepeda motor
Harley Davidson saat sedang melakukan inspeksi kepada pasukan-pasukan dan pos-pos
pertahanan TRI-Subkoss/ Lasykar. Ketika melintas di depan Charitas, ia ditembak dengan
senjata otomatis oleh pasukan belanda yang berada di Charitas. Letnan Satu A. Riva’i berhasil
menyelamatkan diri walaupun tembakan itu tepat mengenai perutnya.
Provokasi Belanda terus terjadi pada 31 Desember 1946 menyebabkan insiden dengan pihak
TRI yang sifatnya sporadis. Belanda melakukan konvoi dari Talang Semut menuju arah Jalan
Jenderal Sudirman. Mobil tersebut melaju dengan kencang dan melepaskan tembakan-
tembakan. Kontak senjata tidak terelakkan di depan Masjid Agung dan sekitar rumah penjara
Jalan Merdeka. Pasukan TRI melakukan pengepungan dan serangan terhadap kekuatan
Belanda di Charitas sehingga tidak mungkin Belanda untuk keluar dan meneriman bantuan dari
luar. Akhirnya Belanda meminta bantuan Panglima Divisi II (Kol. Hasan Kasim) dan Gubernur
Sumatera Selatan (dr. M. Isa) untuk penghentian tembak-menembak (cease fire).
Tujuan dilakukan penghentian tembak-menembak bagi Belanda adalah untuk menyusun
kembali kekuatan tempurnya. Sebelum Belanda melakukan serangan udara itu memakan
waktu yang relatif singkat, yaitu beberapa jam sebelum matahari terbenam menjelang malam.
Belanda melakukan penembakan dengan mortir ke tempat dimana Pasukan TRI/ Lasykar
berada yaitu di Gedung Perjuangan (sekarang Pusat Perbelanjaan Bandung), di daerah dekat
Sungai Jeruju, daerah Tangga Buntung dan sebagainya. Dengan demikian telah berakhir
kesepakatan penghentian tembak-menembak oleh Belanda.
Insiden-insiden yang terjadi pada akhir tahun 1949 tersebut menjadikan situasi di Kota
Palembang dan sekitarnya menjadi panas (Perwiranegara, 1987 : 58). Insiden yang terjadi
sesungguhnya adalah cara Belanda untuk memicu keributan dengan tujuan agar terjadi
pertempuran yang lebih besar.
5. Pada hari Rabu, tanggal 1 Januari 1947, sekitar pukul 05.30 pagi, sebuah kendaraan Jeep yang
berisi pasukan Belanda keluar dari Benteng dengan kecepatan tinggi. Mereka melampaui
daerah garis demarkasi yang sudah disepakati. Ternyata mereka mabuk setelah pesta semalam
suntuk merayakan datangnya tahun baru. Kendaraan Jeep itu melintasi Jalan Tengkuruk
membelok dari Jalan Kepandean (sekarang Jalan TP. Rustam Efendi) lalu menuju Sayangan,
kemudian melintasi ke arah Jalan Segaran di 15 Ilir, yang banyak terdapat markas pasukan RI/
Lasykar seperti Markas Napindo, Markas TRI di Sekolah Methodist, rumah kediaman A.K. Gani,
Markas Divisi 17 Agustus, Markas Resimen 15 dan markas Polisi Tentara.
Pada kesempatan yang sama para pemimpin milter dan lasykar mengadakan rapat komando
untuk menentukan sikap dalam menghadapi provokasi Belanda. Rapat dihadiri pimpinan
pemerintah sipil Gubernur Muda M. Isa. Dalam rapat tersebut, Panglima Divisi II Kolonel
Bambang Utoyo, Gubernur Muda M. Isa maupun Panglima Lasykar 17 Agustus, Kolonel Husin
Achmad menyatakan bahwa dalam menghadapi provokasi Belanda, pihak RI bertindak tidak
lagi sekedar membalas serangan, melainkan harus berinisiatif untuk menggempur semua
kedudukan dan posisi pertahanan Belanda di seluruh sektor. Kepala staf Divisi II, Kapten
Alamsyah, mengeluarkan perintah “Siap dan Maju” untuk bertempur menghadapi Belanda.
Ringkasan
1 Januari 1947
Dari RS. Charitas terjadi rentetan tembakan disusul oleh ledakan-ledakan dahsyat kearah
kedudukan pasukan kita yang bahu membahu dengan� Tokoh masyarakat� bergerak dari
pos di Kebon Duku (24 Ilir Sekarang) mulai dari Jalan Jenderal Sudirman terus melaju
kearah Borsumij, Bomyetty Sekanak, BPM, Talang Semut.
2 Januari 1947
6. Diperkuat dengan Panser dan Tank Canggih Belanda bermaksud menyerbu dan menduduki
markas Tentara Indonesia di Masjid Agung Palembang. Pasukan Batalyon Geni dibantu
oleh Tokoh Masyarakat bahu membahu memperkuat barisan mengobarkan semangat jihad
yang akhirnya dapat berhasil mempertahankan Masjid Agung dari serangan sporadis
Belanda. Pasukan bantuan belanda dari Talang Betutu gagal menuju masjid agung karena
disergab oleh pasukan Lettu. Wahid Luddien sedangkan pada hari kedua Lettu Soerodjo
tewas ketika menyerbu Javache Bank. Diseberang ulu Lettu. Raden. M menyerbu
kedudukan strategis belanda di Bagus Kuning dan berhasil mendudukinya untuk
sementara. Bertepatan dengan masuknya pasukan bantuan kita dari Resimen XVII
Prabumulih
3 Januari 1947
Pertempuran yang semakin sengit kembali memakan korban perwira penting Lettu.
Akhmad Rivai yang tewas terkena meriam kapal perang belanda di sungai seruju.
Keberhasilan gemilang diraih oleh Batalyon Geni pimpinan Letda Ali Usman yang
suksesmenhancurkan Tiga Regu Kaveleri Gajah Merah Belanda. Meskipun Letda Ali
Usman terluka parah pada lengan.
Pasukan lini dua kita yang bergerak dilokasi keramat Candi Walang (24 Ilir) menjaga posisi
untuk menghindari terlalu mudah bagi belanda memborbardir posisi mereka. Sedangkan
pasukan Ki.III/34 di 4 Ulu� berhasil menenggelamkan satu kapal belanda yang sarat
dengan mesiu. Akibatnya pesawat-pesawat mustang belanda mengamuk dan menghantam
selama 2 jam tanpa henti posisi pasukan ini.
Pada saat ini pasukan bantuan kita dari Lampung, Lahat dan Baturaja tiba dikertapati
namun kesulitan memasuki zona sentral pertempuran diareal masjid agung dan sekitar
akibat dikuasainya Sungai Musi oleh Pasukan Angkatan Laut Belanda.
Pasukan Indonesia Menyebrangi Sungai Musi untuk Membantu Posisi Front
4 Januari 1947
Belanda mengalami masalah amunisi dan logistik akibat pengepungan hebat dari segala
penjuru oleh tentara dan rakyat, sedangkan tentara kita� mendapat bantuan dari Tokoh
masyarakat dan pemuka adat yang mengerahkan pengikutnya untuk membuka� dapur
umum dan lokasi persembunyian serta perawatan umum.
Pasukan� Mayor Nawawi� yang mendarat di keramasan terus melaju ke pusat kota
melalui jalan Demang Lebar Daun. Bantuan dari pasukan ke masjid agung terhadang di
Simpang empat BPM, Sekanak, dan Kantor Keresidenan oleh pasukan belanda sehingga
bantuan belum bisa langsung menuju kewilayah charitas dan sekitar.
5� Januari 1947
Pada hari ke Lima panser belanda serentak bergerak maju kearah Pasar Cinde namun
belum berani maju karena perlawanan sengit dari Pasukan Mobrig kita pimpinan Inspektur
Wagiman dibantu oleh Batalyon Geni. Sedangkan pasukat belanda dijalan merdeka mulai
sekanak tetap tertahan tidak mampu mendekati masjid agung. Akibat kesulitan tentara
belanda dibidang logistik dan kesulitan yang lebih besar pada pihak kita pada bidang
amunisi akhirnya dibuat kesepakatan untuk mengadakan Cease Fire.
Perundingan Cease Fire
Pasukan dari Kebun Duku diperintahkan untuk menyerang Jalan Jawa lama dan 11 Siang
telah menyusun barisan berangkat ke kenten. Tiba-tiba dalam perjalanan Kapal Belanda
menembaki rumah sekolah yang dihuni oleh Batalyon Geni dan Laskar Nepindo sehingga
pihak kita mengalami banyak kerugian dan korban jiwa.
Dalam Cease Fire TKR dan laskar serta badan-badan perlawanan rakyat diperintahkan
mundur sejauh 20 KM dari kota palembang atas perintah Komandan Divisi II Kolonel
Bambang Utoyo. Sedangkan dikota palembang hanya diperbolehkan pasukan ALRI dan
unsur sipil dari RI yang tinggal.