Selasar Edisi 05 kali ini berisi ulasan singkat diskusi dengan Habib Ismail Fajri Alatas tentang Islam yang bersatu tanpa penyeragaman. Artikel Kedua dikirim oleh Rio H tentang Jurnalisme Keberagaman sebagai alternatif kenetralan berita terkait kasus-kasus intoleransi agama. SELASAR ini bisa diunduh dan disebarkan secara cuma-cuma. SELASAR dikelola oleh SekNas Jaringan GUSDURian. Bagi sahabat yang ingin berkontribusi melalui artikel, silahkan dikirim ke email redaksi: selasar.redaksi@gmail.com
1. Penanggung jawab:
SekNas JGD
Penasihat:
Alissa QM Wahid
Koordinator:
Tata Khoiriyah
Redaksi:
Nabilah Munyarihah, Zahro en
Lay out:
Fardan
Editor:
Abas Z g.
Kontributor:
GUSDURian di berbagai daerah
Sirkulasi:
SekNas Jaringan GUSDURian
Edisi 5/Juli 2013
Menafsirkan agama dari berbagai sudut pandang akan menghasilkan cara
pandang yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dari titik itu,
perbedaan kemudian mulai muncul. Semakin lama, perbedaan itu semakin
mengakar dan menjadi tradisi. Perbedaan itulah yang kemudian ke depan
menjadi peluang terjadinya perecahan
.
Habib Ismail Fajrie Alatas, kandidat doctor Michigan University mencoba
menawarkan solusi, Islam tanpa penyeragaman yang diulas begitu apik
dalam kerangka cara pandang tradisi dengan pisau analisis historisitas dan
historikalitas.
Media menjadi salah satu corong penting dalam penyuaraan ini. Dia dapat
berfungsi ganda, mendukung keragaman dapat pula menjadi pemicu
perpecahan berbasis SARA. Rio Tuasikal dalam hal konsumsi wacana ini juga
menawarkan solusi melalui jurnalisme keberagaman. Sekarang, bagaimana
kita bisa menjadi bijaksana dalam mengolah keberagaman yang ada tanpa
Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa ar kel, opini, berita melalui selasar.redaksi@gmail.com.
Redaksi dak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis.
Newsle er ini adalah produk nonprofit.
“ Saya mencita-citakan umat islam Indonesia menjadi umat beragama yang
berpandangan luas, mampu memahami orang lain, menumpahkan kebersamaan
yang utuh dengan segala pihak, menjunjung nggi kebebasan sebagai sarana
demokrasi “
K.H. Abdurrahman Wahid
Sekedar Mendahului
2. P
ada saat berbicara Islam sebagai tradisi, harus
berbicara pula tentang relasi antara yang transhistoris
dengan yang historis. Saat bicara tentang tradisi,
tentu harus berbicara tentang yang historis. Tetapi jangan
terjebak menganggap tradisi sebagai superstruktur dari
infrastruktur sejarah, setiap sejarah berubah, tradisi
berubah, Islam berubah.
Tradisi bukan hanya sebagai hasil dari sejarah.
Tradisi memiliki dinamika temporalnya sendiri, yang berdiri
sendiri namun memang terkait dengan sejarah. Tradisi juga
menghasilkan logika spasiotemporalnya sendiri. Untuk
menganalisa spasiotemporal ini saya menggunkan, seperti
istilah Hegel, historikalitas. Sebuah alur waktu tradisi.
Untuk menganalisa sejarah dan tradisi Islam adalah
dengan melihat titik waktu dan benturan antara historisitas
dan historikalitas. Dimana keduanya dimaknai sebagai suatu
struktur dan dinamika ruang dan waktu yang berbeda.
Intinya, tidak ada ruang dan waktu yang
membentuk tradisi, tetapi tradisi sudah membentuk alur
dan waktunya sendiri sehingga sejarah tidak bisa memiliki
keunggulan epistemis atas tradisi dalam konsep ruang dan
waktu.
Proses pewahyuan Al Qur'an, bahwa satu sisi Al
Qur'an adalah sesuatu yang kalam qadir, dimana ini berlaku
mutlak tanpa melihat ruang waktu manusia. Disisi lain,
kalam tersebut harus disuarakan dalam bahasa yang dapat
dipahami. Disinilah peran penting nabi sebagai manusia
disatu sisi, dan sebagai utusan Allah pada sisi yang lain.
Sehingga sebagai jembatan yang menghubungkan ruang dan
waktu ilahi dan ruang dan waktu manusia.
Melalui nabi, sisi transhistoris, yakni kalamullah
yang qadir ini bertemu dan berbenturan dengan sisi historis.
Pertemuan yang azali membawa dampak besar bagi konteks
historis. Bukan karena pewahyuan kepada Muhammad
kemudian membawa dampak besar bagi perubahan di
Jazirah Arab, tetapi konteks linguistiknya, bahasa Arabnya,
dengan wahyu berubah, karena kemasukan wahyu. Bahasa
Arab sebelum dan sesudah wahyu berbeda, terjadi
perubahan sematik.
Pendeknya, waktu kita, sejarah kita, itu menjadi
riil karena dibenturkan pada waktu
ilahi. Kalau tidak karena waktu
ilahiyah, maka tidak ada sejarah.
Itulah kenapa perlu mengkaji
historikalitas manusia. Bahwa ada
ruang dan waktu yang terhubung
dengan yang transhistoris yang
tidak melulu harus direduksi pada
sejarah. Bahwa ada ruang waktu
yang terpisah dengan sejarah dan
justru membuka dinamika itu
sendiri tanpa bergantung sejarah.
Saya mencontohkan, pada
saat kita berdzikir, kita meng-
hadirkan Tuhan dalam ruang dan
waktu kita. Pada saat kita
membacakan dan meriwayatkan
h a d i t s d e n g a n s a n a d , k i t a
menghadirkan nabi di ruang dan
waktu kita. Inilah sisi historiakali-
tas, dimana yang tadinya bukan
bagian dari sejarah kita, ikut masuk
dalam ruang dan waktu kita, dan
mengubahnya. Tetapi disaat yang
sama, pada saat kita meng-
hadirkan momen masa lalu di ruang
waktu kita, maka yang terjadi
adalah proses konteks-tualisasi.
A p a y a n g s u d a h d i -
k o n t e k s t u a l i s a s i k a n h a r u s
direentekstualisasi, dimasukkan
kembali kedalam tradisi. Sehingga
tradisinya tidak selalu sama,
tradisinya akan selalu berubah,
akan selalu mendapat sisa-sisa
historisitas yang dialami. Disinilah
terjadi perubahan tradisi, tidak lagi
s a m a a n t a r a s e b e l u m d i -
enterektualisasi dan sesudahnya.
Praktek-praktek tradisi
Menggerakan Tradisi
Islam Tradisi
Tanpa PenyeragamanOleh: Habib Ismail Fajrie Alatas
(kandidat doktor Universitas Michigan)
2
3. berkembang terjadi perdebatan yang
sangat besar. Saat Islam keluar dari
Madinah, terjadilah perdebatan
pertama antara Imam Malik dengan
Imam Laih bin Sahal. Imam Malik
beranggapan bahwa Madinah harus
menjadi standar Islam, semua negara
harus berstandar Madinah. Imam Laih
bin Sahal beranggapan bahwa konteks
lokal menjadi konten yang tidak bisa
diseragamkan.
Dalam perkembangan sejarah
Islam, setiap ulama yang menjadi
simbol otoritas, banyak tidak dikenali
karena keilmuannya, tetapi justru
mempunyai otoritas karena memiliki
kesalehan sosial. Maka tidak cukup
seorang ulama untuk memiliki akses
terhadap yang transhistoris, dia juga
harus menjadi bagian dari elemen
historis.
Seorang ulama tidak hanya
mengandalkan ilmu fiqh, hanya mengandalkan sisi tradisi
Islam, dia tidak dapat berbicara dengan masyarakat yang
memang tidak berbicara dengan ilmu fiqh. Di Maroko,
misalnya, seorang ulama harus mempelajari ilmu nasab
dan genealogi kabilah-kabilah yang ada, karena mereka
harus masuk dalam sistem sosial. Mereka harus bisa
menogisiasikan aspek-aspek syar'i dengan aspek-aspek
yang ada di tengah masyarakat.
Terkadang, kalau ada fatwa jauh dari aspek
lokalitas tersebut justru ditinggalkan oleh masyarakat.
Karena justru proses negosiasi tradisi adalah bagaimana
membenturkan dan membangun dialog antara yang
transhistoris dan yang historis. Dan demikian berarti
tidak bisa ada kesamaan karena konteks masing-masing
lokalitas antar daerah berbeda.
Inilah tugas penting mengapa seorang ulama
harus mampu menegosiasikan antara hukum syar'i dengan
konteks lokal di masing-masing daerah tanpa berpretensi
harus membangun keseragaman. Tetapi juga bukan
berarti, ulama tersebut bukan berarti ulama kampung.
Tetapi justru merekalah yang berhasil menerapkan
sistem ini. (red)
Menggerakan Tradisi
Menggerakan Tradisi
HALO
Oleh:
Rio Tuasikal (keluarga Jaringan Kerja
Antarumat Bergama (Jakatarub) Bandung.
Mahasiswa Jurnalis k Unikom Bandung)
JURNALISME
KEBERAGAMAN
Itulah keterangan foto yang ditulis
Republika di situs beritanya. Lengkap dengan istilah
“sesat” persis sebelum “Ahmadiyah”. Disadari atau
tidak, kalimat itu telah mengajak publik menolak
Ahmadiyah. Di akar rumput, berita ini bakal memicu
perpecahan, atau paling tidak, melanggengkan
kebencian.
Berita timpang begini cuma satu dari ribuan
bibit alergi beda. Banyaknya audiens dan pembaca
media semacam ini menjadi tantangan bagi
kepelangian Indonesia. Maka, guna menyelamatkan
kebhinnekaan, satu teknik peliputan baru
dirumuskan: jurnalisme keberagaman.
Memberitakan S-A-R-A
Jurnalis menulis berita berdasarkan tiga
aspek: diksi, angle dan framing. Diksi adalah pilihan
kata; angle adalah bagian kejadian yang diberitakan;
framing adalah kerangka pikirnya. Berita Republika
di atas akan bernuansa berbeda bila ketiga aspek ini
diubah.
Bila berita seorang jurnalis menyudutkan
SARA, ini bisa terjadi karena keteledoran atau
kesengajaan. Sisi keteledoran menjadi lazim akibat
“Pemkot Bekasi menyegel masjid Al
Misbah milik jemaah aliran sesat
Ahmadiyah di Pondok Gede, Bekasi,
Jumat (5/4).”
3
4. Menggerakan Tradisi
kurangnya pengetahuan jurnalis akan
keberagaman. Ada pun soal kesengajaan, inilah
yang dilakukan media intoleran.
Media-media yang menyuarakan
kebencian, lewat standar jurnalistik saja, masih
banyak kekurangannya. Prinsip “good
journalism” seperti netral dan cover both sides
sengaja diabaikan. Klarifikasi tidak mereka
lakukan, opini banyak diselipkan. Mereka pun
berperan ganda sebagai hakim keyakinan. Jenis
media demikian tak bisa dibenarkan.
Melirik Jurnalisme Keberagaman
Bila media bisa menambah konflik, dia
bisa berlaku sebaliknya. Perlu langkah lebih dari
sekadar memberitakan, jurnalisme harus pula
promosikan perdamaian. Inilah yang membuat
jurnalisme keberagaman jadi tepat waktu.
Usman Kansong menulis, jurnalisme ini
ditandai dengan beberapa karakteristik, yakni:
berpihak pada keberagaman dan perbedaan;
berpihak pada korban; berpihak pada minoritas;
sensitif gender; menjunjung HAM; dan
berperspektif jurnalisme damai.
Lewat jurnalisme keberagaman,
jurnalis diharapkan menghargai perbedaan
suku, agama, ras, gender dan orientasi seksual.
Termasuk juga menolak diskriminasi, tidak
menghakimi, serta melawan radikalisme,
intoleransi dan eksklusivisme.
S e c a r a u m u m , j u r n a l i s m e
keberagaman menolak stigma, stereotip dan
prasangka. Artinya tidak menempelkan kata
sifat pada identitas tertentu. Misalnya 'Tionghoa
pemabuk', 'gay sadis' atau 'muslim teroris'.
Istilah-istilah yang menyudutkan pun
harus diganti. Istilah 'aliran sesat' untuk
Ahmadiyah jadi 'aliran berbeda' atau 'aliran
minoritas' atau 'Ahmadiyah' saja. Di sini, jurnalis
bertindak adil dan tidak menghakimi.
Di atas semuanya, jurnalis perlu
mengawal proses hukum pelaku hingga tuntas,
jangan sibuk pada kejadiannya semata. Dengan
mengikuti kaidah-kaidah di atas, berita yang
dihasilkan akan mendamaikan. Inilah namanya
jurnalisme keberagaman.
Pemahaman soal keberagaman pun
perlu ditanamkan kepada insan media. Hal ini
bisa dilakukan lewat pelatihan dari pegiat
keberagaman dan organisasi wartawan. Di sisi
lain, publik juga harus turut serta. Siapa pun
berhak mengawal proses yang menantang ini.
Saatnya publik vokal mengadukan berita yang
bikin gerah. Laporkan media cetak pada Dewan
Pers dan media elektronik pada KPI.
Sekarang, mari bawa karpet merah untuk
dibentangkan. Lalu bersama-sama kita
teriakkan, “Halo, jurnalisme keberagaman”
(Red.)
Ma Ketawa
MASA NGOMONG AJA NGGAK BOLEH?
Nyeleneh, kontroversi, ceplas-ceplos, humoris, cerdas dan seakan tak pernah kehabisan
akal. Begitulah beberapa karakter yang melekat pada diri KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Cucu Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari itu pun pernah
menjadi Presiden RI ke-4, meski kemudian dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) sebelum masa jabatannya berakhir.
Saat menjadi presiden, sikap kontroversinya pun kerap menuai protes dari banyak
kalangan. Tak hanya oleh lawan politiknya, keluarga Gus Dur sendiri tak jarang berbeda pendapat
terkait sikapnya yang seolah tak mau kompromi.
“Waktu jadi presiden, saya pernah bilang pada Gus Dur, 'Sampean itu jangan sering-
sering membuat pernyataan kontroversi yang membingungkan masyarakat',” kata Lily Khadijah
Wahid—adik kandung Gus Dur.
Tanpa pikir panjang, Gus Dur menjawab, “Saya ini udah nggak bisa ngeliat (melihat).
Masa ngomong aja nggak boleh?'. Jelas saja Lily Wahid pun tertawa terpingkal-pingkal.
4
5. A
'akAbdullahAl Kudus dikenal sebagai salah
satu aktivis lingkungan. Berkandang di
Kawasan Gunung Lemongan di Kabupaten
Lumajang dan Probolinggo, yang merupakan
bagian dari Pegunungan Hyang, pria berambut
gondrong ini aktif melakukan konservasi.
Sejak 2008, ia bersama pecinta alam,
mahasiswa, aktivis LSM dan berbagai elemen
masyarakat mendeklarasikan Laskar Hijau
untuk menyelamatkan gunung yang pada 1799-
1899 merupakan gunung yang paling aktif di
Jawa.
Dari sisi fisik, gunung
ini memiliki 60 titik pusat
erupsi paristik ada yang berupa
kerucut vulkanik dan maar.
Dari 27 maar yang berbentuk
cekungan, 13 diantaranya
terisi air dan menjadi ranu.
Namun karena pembabatan
hutan secara liar, 13 ranu yang
mengelililingi berangsur
kering, dan berdampak pada
pengairan sawah dan petani
ikan yang tak terairi.
Kondisi tersebut
memancing Gus A'ak (sapaan
akrabnya) merasa perlu
bertindak. Dimulai dari 300
orang bergabung naik gunung membawa bibit
dan melakukan konservasi. Dari rencana
kegiatan setiap minggu, jumlah personil
semakin menurun, pada pertemuan kedua,
hanya didatangi 25 orang. Lalu ketiganya ia
hanya sendirian melakukan konservasi.
Pria berdarah Guluk-Guluk ini selama
setahun awal selalu aktif melakukan konservasi
sendirian. Hasilnya cukup bagus untuk tahapan
pertama. Namun, kurun waktu 2011-2012, 300
hektar dari 400 hektar lahan yang telah ia
tanami terbakar. “Ini sangat memukul dan ujian
berat,” tutur pria beranak tiga ini.
Terbakar tidak membuatnya putus asa.
Ia memulai lagi penanaman selanjutnya dengan
metode lebih rapi, menggunakan pupuk kompos
dan menanam varietas buah yang minim terjadi
pencurian kayu. Selain buah, ia juga menanam
bamboo. “Banyak manfaatnya, termasuk
menciptakan mata air baru,” papar peraih Satu
IndonesiaAward 2010 ini.
Untuk mengkampanyekan
konservasi, ia bahkan sempat difatwa
haram oleh MUI Kabupaten Lumajang
setelah mengeluarkan statemen
tentang dakwah hijau dengan istilah
Maulid Hijau sejak 2006. “Dianggap
tidak pantas membelokkan maulid
nabi dengan maulid hijau. Saya
mendapat dukungan Gus Dur,”
tuturnya.
Perjuangan panjangnya, kini
menjadikan Lemongan sebagai
g u n u n g y a n g t a m p i l c a n t i k
m e m p e s o n a . S e m a k r u m p u t
terhampar luas di sepanjang kaki
gunung, pada ketinggian 500 mdpl,
dibangun sebuah posko untuk kumpul.
Salah satu kegiatan unik yang pernah diadakan
di Lemongan adalah Multicultural Green Camp.
Kerja tulus Gus A'ak dan Laskar Hijau
pantas diapresiasi. Tantangan yang dihadapi
gerakan ini masih terhampar. Selain masih
luasnya kawasan yang belum tersentuh
konservasi, ada ancaman illegal logging,
swastanisasi, atau bahkan sengketa antarwarga
sendiri. [Nabila]
A'ak Abdullah Al Kudus
Pendekar Konservasi Gunung
Forum
5
6. Pergulatan
Menjadi mayoritas mungkin memang
nyaman sekali. Apalagi kalau komunalismenya
nggi, kekuatan kelompok jadi besar. Tetapi
kekuatan bersama ini bisa juga berbahaya
untuk kelompok minoritas yang dianggap liyan
oleh mayoritas.
Dengan kekuatan yang besar,
mayoritas memiliki tanggung jawab yang juga
dak main-main untuk menjaga keseimbangan
dan perdamaian. Mayoritas-minoritas itu dak
akan jadi masalah apabila prinsip kesetaraan
dipelihara.
Minoritas punya hak yang sama
dengan mayoritas. Kelompok Syiah Sampang,
misal, memiliki hak yang sama dengan
kelompok lainnya untuk memperoleh hidup
yang damai dan bebas dari paksaan. Tetapi itu
dak terjadi. Maka jelas ada yang salah
dengan komunalisme mayoritas kita. Lantas
apa yang salah?
Yang salah adalah komunalisme ini disertai
dengan fana sme bahkan kekerasan. Sungguh
kasihan agama jika pesan-pesannya yang baik
didestruksi oleh perilaku bagian minor dari
mayoritas yang sama sekali dak representa f.
Namun kalau di lik lebih dalam lagi,
sebenarnya masih banyak dari mayoritas yang
berlaku toleran. Hanya saja ada segilin r orang
dari mayoritas yang merusak dan
mengatasnamakan komunalisme bersama. Tak
hanya bawa nama sesama saudara mayoritas,
bahkan juga nama Tuhan. Padahal lebih berat
lagi tanggung jawab perilaku yang membawa
nama Tuhan.
Menjadi mayoritas mes nya
dibersamai dengan kepekaan dan tanggung
jawab. Coba buk kan sendiri, bersikap rendah
ha itu memerlukan lebih sedikit energi
daripada ngotot merasa benar sendiri.
Hematlah energi apalagi ke ka tengah puasa
seper ini
Hemat Energi
Agenda
Bandung | 16 Juli Pukul 16.00 | Dialog Kemanusiaan bersama KKP, Yayasan Puan Amal Hayati,
dan Buka Bersma dengan Hj. Shinta Nuriyah Wahid | Halaman SD St. Yusup (Jl. Jawa no.2-4),
Bandung | Gratis & Umum
Depok | 16-18 Juli | Rangkaian acara dalam rangka Ulang tahun ke-1 AWC UI | Lokasi
Perpustakaan Pusat UI| Gratis & Umum | CP 082141232345
Bandung | 18 Juli pukul 16.00 | Silaturahmi Ramadhan bersama GKI Kebonjati & Pontren Daarut
Taubah | lokasi GKI, Jl. Kebonjati 100 | Gratis & Umum
Jogja | 26 Juli pukul 16.00 | Diskusi Forum Jumat Terakhir | Lokasi dalam konfirmasi | Gratis &
Umum | CP 082141232345
Jombang | 31 Juli pukul 16.00 | Buka bersama dengan Hj. Shinta Nuriyah | Lokasi dalam
konfirmasi | Gratis & Umum
6
7. GUS DUR BERTUTUR
aat membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan
Skepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian
buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak
diskusi, penulis mendapati pandangan-pandangannya
sendiri tentang Islam yang tengah mengalami
perubahan-perubahan besar. Semula, penulis mengikuti jalan
pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif
terhadap pola pemikiran “Barat”, seiring dengan kesediaan
penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di Jombang,
dalam tahun-tahun 50- an. Kemudian, penulis mempelajari
dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-tahun
60-an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-'arâbiyyah) di
Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun-tahun 70-an penulis
melihat Islam sebagai jalan hidup (syarî'ah) yang saling belajar
dan saling mengambil berbagai ideology non-agama, serta
berbagai pandangan dari agama-agama lain.
Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal
sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak
akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus
kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami
pengembaraan mereka sendiri.Apakah selama pengembaraan itu
berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan
pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil
sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman
pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang
lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan
pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.
Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan,
bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang
khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga
karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai
pengalaman pribadi, yang patut
diketahui orang lain tanpa
memiliki kekuatan pemaksa.
Kalau pandangan ini dipaksakan
juga, akan terjadi dislokasi pada
diri orang lain, yang justru akan
membunuh keindahan semula
dari pandangannya sendiri.
D a l a m b e r b e d a
pandangan, orang sering
memaksakan kehendak dan
menganggap pandangan yang
dikemukakannya sebagai satu-
s a t u n y a k e b e n a r a n , d a n
karenanya ingin dipaksakan
kepada orang lain. Cara seperti
ini tidaklah rasional, walaupun
kandungan isinya sangat
rasional. Sebaliknya, pandangan
spiritual yang irrasional dapat
ditawarkan kepada orang lain
tanpa paksaan, dengan dalih itu
pengalaman pribadi yang tidak
p e r l u d i i k u t i o r a n g .
Kebenarannya baru akan
terbukti jika hal-hal irrasional
itu benar-benar terjadi dalam
kehidupan nyata.
ISLAMKU,ISLAM ANDA, ISLAM KITA
< Bagian I >
7
8. JOMBANG
Perempuan Punya Cerita
STARAMUDA Jombang mengambil strategi
cukup tepat dalam kampanye terkait
perempuan. Melalui film, mereka
memaparkan berbagai fenomena tentang
perempuan dari berbagai sisi. Setelah
menonton, terjadilah dialog yang seru
membahas film-film ini.
Kegiatan yang digelar 30 Juni lalu
menyajikan “Perempuan Punya Cerita”.
Dipotret untuk menjadi representasi tentang
perempuan di negeri ini. Ditengah kelemahan
perlindungan dan beban hukuman bagi pelaku
kejahatan terhadap perempuan.
”Perempuan Punya Cerita” adalah
kumpulan 4 film pendek yang dibuat tahun
2008. Film ini dibagi dalam segmen-segmen:
Cerita Pulau (sutradara Fatimah T. Rony dan
skenario Vivin Idris), Cerita Yogyakarta (Upi
dan Vivian Idris), Cerita Cibinong (Nia Dinata
dan Melissa Karim) dan Cerita Jakarta (Lasja
F. Sutanto dan Melissa Karim) yang
menceritakan tentang perilaku seks aktif
perkosaan, trafficking, perdagangan anak di
bawah umur dan HIV/AIDS.
“Ujung dari empat sekuel tersebut
adalah tentang kurangnya keberanian dan
pengetahuan. Saya pikir jika perempuan
korban tersebut pintar dan berani, tentu hal
seperti ini tidak akan terjadi,” kata Aan
Anshori, aktivis Staramuda Jombang. (Enny)
KONGKOW
KEBUMEN
Ramadhan Bersama Diffable
DIALOG antara masyarakat dengan
masyarakat diffable sangat dibutuhkan
sebagai bentuk saling mensupport antar
keduanya. Momen ramadhan dijadikan waktu
yang tepat oleh GUSDURian Kebumen dengan
Komunitas Diffa setempat untuk
merealisasikan hal tersebut. Mereka
menggagas kegiatan bersama di Mushalla Al
Furqan, Desa Kembaran, Kebumen 8-14 Juli
lalu.
Koordinator acara Muinatul
Khoiriyah mengatakan tujuan acara ini
adalah untuk membangun dialog antara
masyarakat dengan masyarakat diffabel.
Ruang dialog ini akan memberi support
solidaritas bagi masyarakat diffabel. “Ruang
dialog ini penting, sebagai media untuk
menciptakan solidaritas kepada para
diffabel,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, acara ini juga
untuk menyediakan ruang bagi para diffabel
untuk mengekpresikan karyanya. Ada banyak
warga diffabel yang tenyata mempunyai
karya semacam kerajinan tangan.
Ada beberapa rangkaian kegiatan
dalam acara Ramadan Bersama Diffabel ini.
Di antaranya adalah: pameran hasil karya
warga diffabel, pemutaran Film tentang
disabilitas, sarasehan disabilitas serta
pengajian bertema disabilitas. (bj)
TEMANGGUNG
Galang Dana Bencana Aceh
GUSDURian Kabupaten Temanggung dan PMII setempat melakukan penggalangan dana
yang disalurkan kepada korban bencana gempa di Aceh. Penggalangan dana sendiri dilakukan di
jalan protokol dan tempat publik seperti pasar dan taman kota dalam kurun waktu 4 hari setelah
bencana.
Kegiatan penggalangan ini sendiri didasari kepedulian terhadap kondisi para pengungsi
akibat gempa yang menggetarkan bumi Serambi Makkah hingga menewaskan puluhan warganya,
serta menyengsarakan ratusan warga. “Kami merasa harus berbuat sesuatu untuk itu,” kata
koordinator penggalagan dana, Rozaqul Yazid.
Penggalangan dana tersebut dilakukan secara kontinyu dalam empat hari berturut-turut.
Untuk kali pertama, penggalangan dana dilakukan di Terminal Induk Madureso dan perempatan
jalan Suwandi Suwardi.
Pada hari berikutnya selain di tempat yang sama juga dilakukan di Pasar Kliwon
Temanggung, dan berurutan di Taman Kartini, alun-alun dan sejumlah ruang publik lainnya.
“Hanya ini yang dapat kami lakukan, semoga bermanfaat bagi mereka,” tandasnya. (zah)
8