Pidato ini membahas pentingnya toleransi dalam kehidupan berdampingan di tengah kemajemukan Indonesia. Indonesia memiliki beragam suku, budaya, agama yang harus hidup berdampingan dengan damai. Sayangnya, intoleransi masih terjadi dan perlu upaya bersama untuk mewujudkan toleransi. Semua agama pada dasarnya menghormati agama lain. Kita perlu saling menghargai perbedaan dan hidup berdampingan dalam persatuan.
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Pidato "Hidup Berdampingan Itu Luar Biasa"
1. HIDUP BERDAMPINGAN ITU LUAR BIASA
Jason Matthew Cundrawijaya / XII MIPA 1 / 16
Selamat pagi/siang, yang saya hormati, Bapak Matias Sebastian Lumbantoruan
selaku Guru Bahasa Indonesia dan teman-teman muda kelas XII MIPA 1.
Pertama-tama, marilah kita mengucapkan puji dan syukur kepada Allah Bapa yang
Mahakuasa, karena atas segala rahmat dan karuniaNya kita masih diberikan kesempatan
untuk berkumpul bersama di tempat ini dalam kondisi yang sehat walafiat. Selain itu, saya
ucapkan terima kasih atas kesempatan yang sudah diberikan kepada saya untuk
menyampaikan pidato di hadapan anda semua.
Hari ini, saya akan menyampaikan pidato mengenai “Hidup Berdampingan itu Luar
Biasa.” Materi pidato ini terinspirasi dari kehidupan sosial di Desa Karangsoga dalam cerita
novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari yang tidak berbeda jauh dengan kondisi
kehidupan masyarakat Indonesia saat ini yang cukup memprihatinkan.
Dalam konteks hidup berdampingan, satu kata kunci yang sangat penting adalah
toleransi. Kata toleransi sendiri berasal dari bahasa latin “tolerantia” yang berarti
kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Dalam bahasa inggris “tolerance”
berarti membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa persetujuan.
Dan dalam bahasa arab istilah toleransi merujuk pada kata “tasamuh” yaitu saling
mengizinkan atau saling memudahkan. Adapun pengertian toleransi secara umum adalah
suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok atau individu dalam
masyarakat atau dalam lingkup kehidupan lainnya.
Seperti yang kita ketahui bersama, Indonesia terdiri atas begitu banyak
kemajemukan. Dengan 17.504 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau
Miangas sampai Pulau Rote, membuat Indonesia kaya akan suku, budaya, ras, dan agama.
Menurut data Sensus BPS tahun 2010, setidaknya ada 1.331 kelompok suku yang tersebar
di Indonesia. Selain itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan telah memetakan dan memverifikasi 652 bahasa daerah dan
angka ini terus bertambah. Selain itu, Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No
1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1,
Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen (Protestan),
Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Ini semua membuat Indonesia disebut
2. negara majemuk dan sekaligus tantangan terbesar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Untuk menyatukan segala kemajemukan itu, Indonesia menganut sistem unity in
diversity dan diimplementasikan dalam suatu semboyan yang bernama Bhinneka Tunggal
Ika. Semboyan ini berasal dari Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular yang berarti
“walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.” Harapannya, dengan adanya semangat ini,
masyarakat Indonesia dapat saling bekerja sama untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Namun, kondisi masyarakat saat ini dapat dikatakan jauh dari harapan para pendiri
bangsa. Sikap intoleransi masih muncul di tengah-tengah masyarakat dan menjadi sesuatu
yang besar beberapa tahun belakangan ini. Pada dasarnya, sikap intoleransi ini sudah ada
semenjak dahulu kala. Ketika masa Orde Baru, banyak masyarakat Indonesia yang
membenci masyarakat keturunan Tionghoa karena keiri hatian masyarakat terhadap
popularitas mereka di berbagai bidang. Ketika reformasi pun, sikap ini masih berakar kuat
di masyarakat, bahkan menjadi lebih buruk.
Setara Institute mencatat bahwa kasus intoleransi berupa pelanggaran terhadap
kebebasan beragama atau berkeyakinan ada 2.400 peristiwa di berbagai wilayah Indonesia
dalam 12 tahun terakhir. Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan kasus terbanyak dengan
629 kasus, disusul DKI Jakarta dengan 291 kasus, dan Jawa Timur dengan 270 kasus.
Tindakan tersebut sebagian besar dilakukan oleh kelompok warga, ormas keagamaan,
kepolisian, dan kementrian agama. Adapun ganggung terhadap rumah ibadah merupakan
pelanggaran terbanyak dalam 12 tahun terakhir. Adapun rinciannya adalah gangguan
terhadap Gereja sebanyak 199 gangguan, masjid 133 gangguan, rumah ibadat kepercayaam
32 gangguan, disusul wihara, kelenteng, pura, dan sinagoge.
Lalu, apa yang menyebabakan sikap intoleransi ini? Menurut Ketua Satgas Nusantara
sekaligus Wakil Kepala Kepolisian RI Komjen Gatot Eddy Pramono, ada beberapa faktor
yang menyebabkan sikap intoleransi ini muncul, seperti globalisasi. Globalisasi di satu sisi
sangat menguntungkan bagi kemajuan teknologi di negara kita. Namun, globalisasi
menyebabkan nilai-nilai ketimuran luntur, salah satunya adalah toleransi. Perkembangan
media sosial dan internet membuat orang lupa akan orang-orang di sekitarnya dan
menganggap dirinya atau kelompoknya adalah yang benar. Bahkan, media sosial sering
3. dimanfaatkan untuk menyebarkan ajakan intoleransi. Saat ini, musuh terbesar media sosial
ialah hoax dan ujaran kebencian, dan sebagian besar menyangkut masalah intoleransi.
Iklim demokrasi di Indonesia dinilai kurang ideal. demokrasi itu sangat ideal dalam
kondisi sosial masyarakat yang kelas menengahnya dominan. Akan tetapi, kondisi di
Indonesia didominasi masyarakat kelas bawah (low class). Masyarakat kelas bawah ini bisa
digolongkan sebagai masyarakat yang kurang beruntung dalam mendapat pendidikan, dalam
ekonomi, dan lain sebagainya. Dalam demokrasi, masyarakat yang low class ini cenderung
ingin melakukan suatu perubahan yang cepat, kritis, tetapi tidak rasional. Dengan demikian,
demokrasi Indonesia yang didominasi masyarakat kelas bawah itu kemudian dianggap
sebagai kondisi yang sebebas-bebasnya. Terlebih lagi, kondisi Indonesia amat majemuk dari
sisi agama, suku bangsa, etnis, budaya, dan sebagainya. Lambat laun, perbedaan ini terus
dicari celahnya sehingga muncul nilai primordialisme. Di sinilah muncul tindakan-tindakan
intoleransi terhadap sesama.
Semua agama dan budaya pada dasarnya tidak pernah menganggap rendah agama
dan budaya lain. Dalam ensiklik Nostra Aertate art. 2, dikatakan bahwa Gereja Katolik tidak
pernah menolak agama-agama lain, karena pada dasarnya semua agama itu mencerminkan
kebaikan dengan cara dan pandangan yang berbeda-beda. Bahkan, diyakini pula dalam
Gereja bahwa semua agama memiliki Tuhan yang sama. Sehingga, Gereja Katolik menolak
adanya sikap intoleransi. Islam pun juga mengakui dalam Al-Quran bahwa mereka
memperbolehkan orang lain beribadat sesuai keinginan masing-masing.
Saat ini, banyak sekali upaya dari para pemimpin agama maupun negara untuk
memperjuangkan adanya toleransi dalam masyarakat. Pada Februari 2019, Paus Fransiskus
bersama Imam Besar Al Azhar di Uni Emirat Arab menandatangai Deklarasi Abu Dhabi.
Deklarasi ini bertujuan mendorong hubungan yang lebih kuat antara umat manusia dan
mempromosikan hidup berdampingan antarumat beragama dalam melawan ekstremisme.
Menutur Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, Dokumen Abu Dhabi harus menjadi pegangan
bagi komunitas untuk membangun dan ikut terlibat dalam pembangunan manusia,
persaudaraan universal, dan persaudaraan di Indonesia. Selain itu, berbagai upaya
pemerintah kota Surabaya dilakukan untuk menjamin persatuan di wilayahnya, seperti
adanya dialog antar agama, perayaan ekumene, doa bersama memperingati tahun baru, dan
lain sebagainya.
4. Walaupun para pemimpin agama dan negara telah bersusah payah memperjuangkan
toleransi, kita sebagai masyarakat biasa juga harus berpartisipasi dalam upaya toleransi ini.
Cara yang paling mudah kita lakukan adalah biasakan untuk tidak membeda-bedakan orang
lain. Kita harus berani untuk dapat bersosialisasi dengan siapa saja tanpa membedakan latar
belakang dan tanpa adanya diskriminasi. Untuk menuju ke solusi ini, tentu harus ada
kesadaran dari diri sendiri bahwa setiap manusia adalah sama dan sederajat, tidak ada yang
berbeda. Seorang guru pernah mengatakan bahwa cara kita untuk memperjuangkan sesuatu
harus dari hal kecil dan dari diri sendiri. Akan menjadi suatu hal yang sukar jika tidak ada
kemauan dan niat untuk mau bersikap toleran pada orang lain. Selain itu, Kepolisian RI juga
meminta masyarakat untuk menggunakan media sosial dengan bijak. Artinya, media sosial
dipakai bukan untuk menyebarkan ujaran kebencian dan berita palsu (hoax), melainkan
untuk menyebarkan cinta kasih, perdamaian, persatuan, dan kekeluargaan.
Dari tindakan-tindakan kecil seperti itu, akan tumbuh secara alamiah sikap untuk
mau bersikap toleran terhadap orang lain. Banyak contoh yang dapat kita temui di
masyarakat, seperti para pengurus masjid yang ikut menjaga kendaraan milik umat kristiani
yang sedang beribadah, atau keikutsertaan remaja katolik dalam membagikan takjil pada
umat muslim yang berpuasa. Masih banyak cara yang dapat kita lakukan agar tindakan
toleransi ini berakar kuat di masyarakat. Yang penting, semua tindakan kita harus didasarkan
pada hukum yang paling utama dalam Gereja Katolik, yakni hukum cinta kasih.
Oleh karena itu, saya mengajak teman-teman muda sekalian, sebagai generasi
penerus bangsa, untuk bekerja sama mewujudkan sikap toleransi di tengah masyarakat. Kita
wujudkan negara Indonesia yang bersatu padu demi tercapainya Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Demikian pidato saya pada hari ini. Semoga apa yang saya sampaikan dapat berguna
bagi kita semua, khususnya dalam persiapan kita membangun negara menuju 100 tahun
Indonesia Merdeka(2045). Mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan di hati anda
semua. Akhir kata, marilah kita bersinergi bersama dalam cinta kasih dan toleransi.
Terima kasih atas perhatian yang diberikan. Saya, ..., undur diri, dan Selamat
(pagi/siang). Tuhan Memberkati.