HdH diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi sarana informasi, komunikasi dan dialog antar komunitas yang kini tengah diberdayakan oleh LBH Masyarakat. Publikasi ini hendak menyasar pembaca utamanya di lingkungan orang yang hidup dengan HIV/AIDS, pemakai narkotika, pekerja seks dan waria/transjender. Publikasi ini juga bertujuan untuk memicu diskusi di antara anggota komunitas-komunitas tersebut. Tentu inisiatif ini tidak lepas sebagai bentuk upaya untuk melengkapi pemberdayaan hukum masyarakat yang tengah kami lakukan di empat komunitas tersebut.
Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Hak Asasi Manusia dan HIV, No. 6, 2010 - LBH Masyarakat
1. hak asasi manusia dan hiv
Edisi Khusus: Nomor 06, Desember 2010 - Januari 2011
Kabar Komunitas
Mengupas kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat di empat komunitas yang
tengah diberdayakan yakni di komunitas Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pemakai narkotika, pekerja seks,
dan wanita-pria.
• Tugas Pertama Setelah Menjadi Paralegal
• Membangun Semangat Komunitas
• Pembekalan Paralegal sebagai Persiapan Rangkaian Penyuluhan di Komunitas ODHA
Mari Bicara Hukum dan HAM
Seringkali persoalan biaya menjadi penghalang bagi mereka yang kurang mampu untuk mendapatkan hak
atas kesehatannya. Padahal, hak atas kesehatan adalah juga hak asasi manusia yang telah dijamin oleh
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kolom ini, akan sedikit mengurai persoalan seputar SKTM, Gakin dan
Jamkesmas dan bagaimana peran ketiganya sebagai upaya untuk memperoleh hak atas kesehatan.
Suara Komunitas
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat bertanya kepada paralegal komunitas dan anggota komunitas mengenai
harapan mereka terhadap LBH Masyarakat di ulang tahun kami yang ketiga, 8 Desember 2010 silam.
2. HdH | 1
Daftar Isi
Dari Meja Redaksi
Kabar Komunitas
Tugas Pertama Setelah Menjadi Paralegal
Membangun Semangat Komunitas
Pembekalan Paralegal
Mari Bicara Hukum dan HAM
Suara Komunitas
Galeria
1
2
2
3
5
7
9
10
Yang terhormat pembaca budiman,
Edisi HdH kali ini adalah edisi khusus, edisi dua bulan terbit yaitu Desember 2010 dan Januari 2011. Penerbitan edisi
khusus ini dilatarbelakangi fakta bahwa hari efektif kerja di dua bulan tersebut tidak terlalu banyak. Dengan waktu yang
terbatas itu, tentu penulisan, pencetakan dan distribusi akan terhambat pengerjaannya. Oleh karena itulah, kami
memutuskan untuk menerbitkan edisi dua‐bulan sebagai edisi khusus.
Di edisi HdH ini kami menyajikan 2 (dua) tulisan di rubrik Kabar Komunitas yang ditulis oleh paralegal LBH Masyarakat.
Dalam tulisan tersebut keduanya merefleksikan pengalamannya sebagai paralegal dalam kerja penanganan kasus dan
juga dalam perannya untuk membangun komunitas. Diharapkan dengan diterbitkannya dua tulisan dari paralegal LBH
Masyarakat, akan semakin banyak lagi paralegal dan anggota komunitas lainnya yang terdorong untuk menulis. Hal ini
penting karena dengan menulis, kita akan menuangkan ide‐ide kita secara tertulis yang artinya siapapun akan
mengetahuinya dan bisa terlacak dengan baik (karena terdokumentasikan). Di samping itu, dengan menulis, sedikit
banyak akan berpengaruh mendorong budaya baca juga karena untuk menulis kita membutuhkan membaca juga
sebagai referensi. Selain itu, di kolom Mari Bicara Hukum dan HAM, kami terbitkan tulisan umum seputar SKTM,
Jamkesmas dan perannya untuk meringankan/membebas‐biayakan biaya rumah sakit bagi mereka yang berasal dari
latar belakang ekonomi kurang mampu.
Akhir kata, semoga informasi yang kami sajikan dalam HdH edisi khusus ini dapat memberikan banyak manfaat bagi
para pembaca sekalian. Kritik yang membangun dan saran‐saran untuk pengembangan HdH dapat ditujukan kepada
redaksi yang informasinya termuat di bawah ini.
Terima kasih, dan salam hangat
Dari Meja Redaksi
Dewan Redaksi: Ricky Gunawan, Dhoho A. Sastro, Andri G.
Wibisana, Ajeng Larasati, Alex Argo Hernowo, Answer C.
Styannes, Pebri Rosmalina, Antonius Badar, Feri Sahputra,
Grandy Nadeak, Vina Fardhofa, dan Magdalena Blegur
Keuangan dan Sirkulasi: Fajriah Hidayati dan Zaki Wildan
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
Tebet Timur Dalam III B No. 10, Jakarta 12820
Telp. 021 830 54 50
Faks. 021 829 80 67
Email. contact@lbhmasyarakat.org
Website. http://www.lbhmasyarakat.org
HdH diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum
Masyarakat (LBH Masyarakat) dengan dukungan oleh
International Development Law Organization (IDLO) dan
OPEF Funds for International Development (OFID).
3. HdH | 2
Kabar Komunitas
Tugas Pertama Setelah Menjadi Paralegal
Oleh: Seruni
Sebelum dilantik menjadi paralegal, LBH Masyarakat telah melakukan beberapa kali penyuluhan hukum ke komunitas
Blora. Saat itu aku memilih untuk mengikuti penyuluhan tersebut, sambil mengisi waktu luang.
Aku dan komunitas merasa mendapatkan banyak hal baru yang bisa kami ketahui dari penyuluhan yang diberikan oleh
LBH Masyarakat. Setelah penyuluhan tersebut berjalan beberapa bulan, akhirnya aku dan 3 (tiga) orang teman lain dari
komunitas Blora terpilih untuk mengikuti pelatihan yang lebih intensif yang diadakan di hotel Cemara selama 3 (tiga)
hari untuk menjadi paralegal. Saat itu aku merasa senang sekali, karena tidak hanya dari komunitasku saja yang
mengikutinya tetapi dari komunitas lain pun bergabung.
Begitu banyak pelajaran dan pengetahuan yang aku dapat dari pelatihan tersebut terutama yang berkaitan dengan
hukum dan hak asasi manusia. Selain itu juga kami diberikan pengetahuan tentang proses persidangan dan lain‐lain.
Setelah semua proses penyuluhan dan pelatihan tersebut akhirnya kita semua dilantik menjadi paralegal untuk bisa
membantu masyarakat, khususnya bagi anggota komunitas yang membutuhkan bantuan hukum. Sehingga paralegal
dapat menjalankan tugasnya sebagai pemberi pertolongan pertama dalam suatu kasus hukum yang melibatkan anggota
komunitas.
Sejak pelantikan, aku selalu berusaha untuk mensosialisasikan pelajaran dan pengetahuan yang selama ini aku dapat.
Hal paling mengesankan setelah menjadi paralegal terjadi baru‐baru ini ketika aku mencoba untuk mempraktekkan
langsung ilmu yang didapat selama penyuluhan dan pelatihan tersebut ke dalam dunia nyata. Saat itu salah satu
temanku yang merupakan anggota komunitasku ditangkap oleh polisi. Sebenarnya kejadian ini sudah terjadi beberapa
bulan yang lalu. Namun kami kehilangan komunikasi dengan orang tersebut sehingga kami baru mengetahui
keadaannya beberapa minggu terakhir. Saat kami mendapatkan informasi tersebut, temanku itu sudah berada di Rumah
Tahanan (rutan) Salemba.
Pada saat mendengar hal ini aku dan beberapa temanku di komunitas Bagiku pengalaman tersebut sangat
Blora sempat kecewa karena temanku tersebut tidak mengabari kami yang berguna dan aku berpikir bahwa sangat
bermanfaat menjadi paralegal. Banyak
di Blora ini tentang keadaannya setelah ditangkap dan apa yang terjadi
pelajaran yang bisa kita petik dan
kepadanya. Sementara kami sudah lama hidup bersama di bawah satu kemudahan dalam membela teman kita.
atap dan sudah seperti keluarga. Kekecewaan ini terutama sangat Namun yang terpenting kita menjadi
dirasakan oleh Bunda Joice (orang yang dituai di komunitas Blora) yang tahu bagaimana cara melindungi diri
mendapatkan amanah dari kakaknya temanku ini untuk melindunginya.
apabila kita mendapat perlakuan yang
tidak baik, dan bisa membantu teman‐
Sempat juga beredar cerita simpang siur tentang kondisinya dia sekarang teman untuk bersikap apa yang
setelah tertangkap. Hal ini menambah kegundahan kami. Kami menjadi seharusnya bisa dilakukan apabila
sangat khawatir dan ingin mengetahui bagaimana keadaannya setelah mendapat perlakuan yang tidak baik
ditangkap, bagaimana proses hukum yang dijalaninya dan lain sebagainya
sehingga membuat kami ingin segera menemuinya namun kami mempunyai beberapa kegiatan yang harus segera kami
lakukan sehingga kami harus menunggu beberapa waktu. Sampai akhirnya tibalah di satu hari kami bisa bersama‐sama
menemuinya.
Pada hari itu aku bersama dengan Bunda Joice dan teman‐teman dari LBH Masyarakat datang ke Rutan Salemba. Tujuan
kami menjenguknya adalah untuk mengetahui bagaimana kasus posisi yang menimpa temanku tersebut sehingga kami
bisa memberikan bantuan hukum yang dibutuhkannya. Pada saat itu kita sampai di Rutan siang hari tepat sekali dengan
jam istirahat kantor jadi kita tidak bisa menjenguk dan harus menunggu kurang lebih satu setengah jam. Niat kami untuk
memperjelas situasi temanku tersebut dan menawarkan diri untuk membantu menjadi terhambat. Dengan rasa kecewa
kami menunggu di depan Rutan Salemba.
4. HdH | 3
Tanpa putus asa, teman‐teman dari LBH Masyarakat mencoba untuk masuk dengan latar belakang kami sebagai kuasa
hukum temanku tersebut dan untuk kepentingan persidangannya dan saya sebagai paralegal. Setelah beberapa lama
negosiasi akhirnya kami diperbolehkan untuk masuk. Hal yang mengejutkan bagi saya adalah ketika kami bisa menemui
teman kami bukan di dalam ruang jenguk tahanan tetapi langsung di ruang salah satu kepala rutan. Bagi saya
pengalaman tersebut sungguh hebat, dalam ruangan tersebut kami mendengarkan kronologi bagaimana penangkapan
tersebut terjadi dan mengapa tidak ada surat pemberitahuan yang mengabarkan keluarga di Blora maupun keluarganya
di kampung.
Sayangnya, ternyata temanku sudah menjalani proses persidangan. Majelis hakim memvonisnya dengan hukuman
penjara. Temanku pun tidak mengajukan banding atas putusan tersebut. Terdapat penyesalan karena tidak mengetahui
kabar ini lebih cepat namun tidak ada yang bisa dilakukan kecuali bersabar dan menunggu sampai tiba saatnya temanku
itu dapat mengajukan Pembebasan Bersyarat.
Bagiku pengalaman tersebut sangat berguna dan aku berpikir bahwa sangat bermanfaat menjadi paralegal. Banyak
pelajaran yang bisa kita petik dan kemudahan dalam membela teman kita. Namun yang terpenting kita menjadi tahu
bagaimana cara melindungi diri apabila kita mendapat perlakuan yang tidak baik, dan bisa membantu teman‐teman
untuk bersikap apa yang seharusnya bisa dilakukan apabila mendapat perlakuan yang tidak baik. (SRN)
*Seruni adalah salah satu paralegal LBH Masyarakat
Membangun Semangat Komunitas
Oleh: Heru Pribadi
Di saat masyarakat korban narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sedang membangun kekuatan,
memperkokoh komunitas dan membangun aliansi, kepastian dan keadilan hukum dalam penanganan kasus narkotika
masih sangat belum berpihak pada perlindungan korban napza dalam upaya mengangkat derajat kesehatan dan
mengembalikan fungsi sosial pecandu di masyarakat.
Aparat penegak hukum belum bisa melepaskan ”setting‐an” cara‐cara lamanya dalam mengungkap kasus narkotika saat
ini. Kekerasan, intimidasi, pemerasan, kriminalisasi, pelecehan seksual, dan diskriminasi terhadap korban napza masih
terus berlangsung. Pecandu narkotika kerap kali dijadikan objek dalam pengungkapan kasus narkotika, salah satunya
melalui praktik yang dikenal dengan istilah ”tukar kepala”.
Pertengahan Juni 2008, Lembaga bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) dan Forum Korban NAPZA (FORKON)
bertemu dalam sebuah aksi massa peringatan Hari Anti Penyiksaan di depan Istana Negara. Pertemuan ini membuka
terciptanya ruang diskusi yang berkelanjutan sehingga melahirkan paralegal
Dengan menjadi paralegal, saya
angkatan pertama. Dari sinilah cikal bakal pembentukan paralegal komunitas
berharap masalah‐masalah yang timbul
korban napza dibentuk.
di komunitas napza bisa dicoba
diselesaikan bersama di komunitas.
Tidak mudah memang memahami Dari diskusi ini, tercetus rencana untuk membangun pasukan paralegal yang
hukum dan mengkritisi hukum akan dilatih khusus dalam bidang pengetahuan dan keterampilan hukum.
narkotika. Namun, rangkaian diskusi Nantinya, diharapkan paralegal ini dapat memberikan informasi dan
terkait hal tersebut membuatnya bantuan hukum guna menyelesaikan masalah‐masalah hukum di komunitas
menjadi mungkin.
korban napza. Keikutsertaan saya dalam kegiatan ini menjadi hal yang baru
dan tentunya sangat menantang.
Pengetahuan dan keterampilan hukum adalah hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh masyarakat. Sayangnya, hal
tersebut terkesan sebagai sesuatu yang eksklusif dimiliki oleh orang‐orang yang mampu menempuh pendidikan tinggi di
bidang hukum. Dengan adanya paralegal, pengetahuan dan keterampilan hukum diharapkan tidak lagi menjadi hal yang
eksklusif. Satu orang paralegal bisa berbagi pengetahuannya dengan anggota komunitas lainnya dan seterusnya,
sehingga perlahan akan banyak jumlah masyarakat yang memiliki pengetahuan hukum.
5. HdH | 4
Dengan menjadi paralegal, saya berharap masalah‐masalah yang timbul di komunitas napza bisa dicoba diselesaikan
bersama di komunitas. Tidak mudah memang memahami hukum dan mengkritisi hukum narkotika. Namun, rangkaian
diskusi terkait hal tersebut membuatnya menjadi mungkin.
Pemberian informasi mengenai peraturan hukum yang mengatur tentang peredaran narkotika di komunitas korban
napza awalnya terasa sangat sulit. Hal ini dikarenakan oleh cara pandang dari pecandu atau anggota komunitas itu
sendiri yang sudah pesimis dan apatis terhadap hukum dan keadilan di negara ini. Keadaan semakin parah dengan
adanya cara pandang dari penegak hukum yang mengkriminalisasi pecandu narkotika. Butuh waktu dan strategi yang
tepat untuk membongkar cara pandang tersebut.
Bermacam‐macam strategi telah kami aplikasikan. Tidak bisa dibilang sukses besar, tetapi kami terus berusaha mencari
strategi yang tepat. Strategi yang menurut saya cukup efektif dilakukan adalah dengan mengadakan diskusi‐diskusi di
basis‐basis komunitas. Diskusi ini dimulai dengan bagaimana menyikapi kasus yang pernah terjadi di komunitas atau
pada individu komunitas, yang kemudian dikaitkan dengan teori hukum yang telah saya dapatkan sebagai paralegal, di
antaranya adalah tentang upaya paksa kepolisisan, proses persidangan pidana dan UU Narkotika.
Kepesimistisan komunitas terhadap keadaan hukum, dengan didukung oleh stigmatisasi terhadap diri mereka sebagai
pecandu kerap kali membuat mereka selalu memvonis diri mereka sebagai orang yang bersalah. Hal ini berdampak pada
keengganan mereka melakukan pembelaan terhadap hak‐hak mereka yang terlanggar. Padahal, tersangka atau
terdakwa pun juga memiliki hak yang harus diperjuangkan. Cara pandang ini selalu dimanfaatkan oleh aparat penegak
hukum, sehingga posisi mereka akan semakin terpojok dan terlanggar hak‐haknya.
Apa yang kami lakukan sebagai paralegal dengan memberikan informasi hukum kepada komunitas korban napza
diharapkan akan memunculkan serta meningkatkan kesadaran akan hukum dan hak‐hak pengguna napza. Dengan
demikian, mereka akan memiliki pengetahuan dan informasi yang kuat dan cukup dalam menyelesaikan masalah yang
terjadi di komunitas.
Diskusi‐diskusi yang telah dilakukan akhirnya mendorong adanya komitmen bersama dalam hal‐hal yang lebih serius,
seperti penanganan kasus di komunitas. Komitmen dalam menangani kasus berangkat dari inisiatif komunitasnya itu
sendiri. Kepedulian dalam membantu sesama di komunitas jika ada teman yang berurusan dengan hukum menelurkan
semangat dan komitmen penanganan kasus tersebut. Sehingga, materi yang disampaikan dalam diskusi di komunitas
menjadi lebih luas, tidak hanya persoalan hukum, tetapi juga teknik‐teknik dasar dalam menangani kasus.
Salah satu materi diskusi mengenai teknik penanganan kasus adalah merangsang komunitas agar dapat mengatur
strategi seperti bagaimana mencari info kronologi, bagaimana membentuk tim kecil dari komunitas, bagaimana
membangun jaringan untuk advokasi melibatkan paralegal dan lembaga bantuan hukum dan melakukan penyadaran
kepada keluarga korban agar bisa terlibat dalam tim kecil yang dibangun.
Apa yang kami lakukan sebagai Dengan materi‐materi diskusi tersebut, komunitas dapat memahami
paralegal dengan memberikan informasi tindakan yang harus dilakukan ketika ada anggota komunitas korban
hukum kepada komunitas korban napza napza menerima laboran kasus, di antaranya adalah kapan kronologi bisa
diharapkan akan memunculkan serta di dapat, kapan anggota komunitas menghubungi paralegal, kapan
meningkatkan kesadaran akan hukum perwakilan komunitas menggubungi keluarga, membangun jaringan
dan hak‐hak pengguna napza. Dengan seperti mengupayakan keterlibatan orang‐orang di luar komunitas, kapan
demikian, mereka akan memiliki harus melakukan kunjungan ke tahanan dan lain sebagainya.
pengetahuan dan informasi yang kuat
dan cukup dalam menyelesaikan
Membangun kesadaran hukum bagi keluarga korban napza adalah
masalah yang terjadi di komunitas.
tahapan yang juga cukup penting. Peran keluarga korban dalam
pendampingan dan penanganan kasus penting artinya. Keluarga korban juga dapat berperan sebagai jembatan dalam
membangun kepercayaan antara kuasa hukum dan paralegal. (HRP).
*Herru Pribadi adalah salah seorang paralegal LBH Masyarakat.
6. HdH | 5
Pembekalan Paralegal sebagai Persiapan Rangkaian Penyuluhan di Komunitas ODHA
Kamis, 27 Januari 2011, sekitar pukul 14.00 siang, dua orang paralegal datang ke kantor Lembaga Bantuan Hukum
Masyarakat (LBH Masyarakat). Kedua orang tersebut bernama Vivi dan Erdi. Mereka berdua adalah paralegal dari
komunitas ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dan komunitas metadon. Terapi Metadon adalah pelayanan
pemberian/penggantian jarum suntik steril kepada pecandu dan/atau pengganti jenis putaw (IDU/jarum suntik) ke
metadon (oral). Program terapi metadon ini adalah program resmi pemerintah. Keduanya hadir dalam rangka persiapan
untuk rangkaian penyuluhan ke beberapa komunitas di bulan Februari 2011. Untuk mengoptimalkan penyuluhan yang
nantinya akan disampaikan oleh mereka, maka paralegal tersebut perlu diberikan pembekalan materi lebih dalam dan
teknik presentasi yang komunikatif dan efektif.
Vivi datang pertama. Sambil menunggu Erdi yang agak terlambat datang, ia bercerita masalah pengalaman dengan
komunitas ODHA‐nya. “Iya mbak biasanya tuh kalau pas pendampingan, teman‐teman yang pernah ditangkap polisi,
biasanya suka mendapatkan penyiksaan,” ujar Vivi dengan wajah serius. Banyak lagi cerita Vivi yang membuat kami
betah untuk menunggu Erdi. Tidak lama kemudian Erdi pun datang.
Sebelum pembekalan ini dimulai, Alex Argo Hernowo, salah satu Asisten Manajer Bantuan Hukum dan HAM LBH
Masyarakat yang biasa mendampingi komunitas ODHA, memulai dengan menguraikan kerangka waktu penyuluhan
untuk komunitas dan juga pembekalan untuk paralegal sebagai persiapan penyuluhan. Alex, begitu ia biasa disapa,
menerangkan dengan detail masalah pembagian waktu. Hal ini diperlukan agar paralegal tidak bingung dengan masalah
waktu antara penyuluhan dan pembekalan. “Nanti sebelum penyuluhan, nanti kita pelatihan dulu untuk paralegal,” kata
Alex. Ia juga menyampaikan, “saya tidak mengharapkan nanti Mbak Vivi dan Mas Erdi untuk bisa menguasai dalam‐
dalam karena saya sadar bahwa sebagai orang awam tentu ada kesulitan untuk menguasai materi hukum, walaupun
kalau bisa menguasai tentu itu bagus sekali. Tetapi saya mengharapkan agar teman‐teman cukup mengenal dan tahu
saja. Apabila bingung, nanti silahkan ditanyakan kepada saya.”
Di hari itu, materi yang diberikan kepada mereka adalah mengenai proses persidangan pidana dan hak atas kesehatan
dan kesejahteraan. Materi disampaikan oleh para relawan LBH Masyarakat. Mengapa topik ini dipilih? Biasanya
pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus hukum yang dialami oleh orang dengan HIV/AIDS maupun pemakai
narkotika itu seputar proses upaya paksa, penyidikan, hingga dalam persidangan. Proses hukum tersebut seringkali tidak
berjalan sesuai dengan Kitab Undang‐Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Misalnya saja dalam hal penangkapan,
bahwa penangkapan untuk tindak pidana umum harus dilakukan maksimal 1x24 jam (satu kali dua puluh empat jam),
pada kenyataannya seringkali melebihi ketentuan ini. Pembekalan terhadap paralegal tersebut harus dilakukan dengan
tujuan agar mereka menguasai materi dan agar selanjutnya dapat menyampaikan kepada teman‐teman komunitasnya.
Materi pertama yaitu Hak atas Kesehatan dan Hak atas Pekerjaan, dijelaskan oleh Nirmalasari Ajeng, relawan LBH
Masyarakat. Penjelasan dimulai dengan definisi dan dasar hukum hak atas kesehatan, mengapa hak atas kesehatan
tergolong dalam hak asasi manusia, serta langkah hukum yang dapat ditempuh terkait dengan hak atas kesehatan
seperti mediasi. Di sesi ini, Vivi sempat bertanya, “bagaiamana kalau ODHA mendapat diskriminasi dari rumah sakit?”
Atas pertanyaan tersebut Alex menjawab, “kita dapat mengupayakan mediasi terlebih dahulu dengan rumah sakit,
mencari jalan keluar secara musyawarah, apabila jalan yang ditempuh ini tidak membuahkan hasil kita bisa kemudian
melakukan langkah hukum.” “Lalu proses mediasinya seperti apa?” tanya Di hari itu, materi yang diberikan kepada
Vivi kembali. “Tergantung kasusnya, misalnya apakah tidak mendapatkan mereka adalah mengenai proses
obat yang dibutuhkan atau mendapatkan pelayanan yang buruk. persidangan pidana dan hak atas
Semuanya itu bisa saja kita tempuh dengan mediasi terlebih dahulu kesehatan dan kesejahteraan. Materi
dengan pihak rumah sakit, dan tidak perlu sampai pada Menteri disampaikan oleh para relawan LBH
Masyarakat. Mengapa topik ini dipilih?
Kesehatan,” urai Alex.
Biasanya pelanggaran hukum yang terjadi
Nirmalasari kemudian melanjutkan presentasinya ke materi hak atas dalam kasus hukum yang dialami oleh
orang dengan HIV/AIDS maupun pemakai
pekerjaan. Ia memulai dengan definisi hak atas pekerjaan, dasar hukum
narkotika itu seputar proses upaya paksa,
hak atas pekerjaan, sengketa dalam hubungan kerja, pemutusan penyidikan, hingga dalam persidangan.
hubungan kerja, langkah hukum yang bisa ditempuh dalam hak atas Proses hukum tersebut seringkali tidak
pekerjaan seperti mediasi, konsiliasi, bipartit, arbitrase dan perselisihan berjalan sesuai dengan Kitab Undang‐
hubungan industrial. Di sesi ini terjadi tanya jawab yang cukup banyak, Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
seperti yang di tanyakan oleh Vivi. “Mas Alex bagaimana kalau kita
7. HdH | 6
misalnya lagi mau melamar pekerjaan, bisa ga sih kita jujur aja misalnya kalau kita ada penyakit HIV/AIDS?” tanya Vivi.
Lalu Alex menjawab, “sebaiknya tidak perlu diberitahu, karena memang tidak diwajibkan demikian. Itu ibarat kita
mempunyai penyakit misalnya kanker, dan selama urusan pekerjaan kita tidak ada hubungan dengan penyakit kita ya
tidak perlu diberitahukan juga. Apabila setelah nanti ODHA berkerja dan ketahuan status HIV/AIDS‐nya lalu dipecat,
maka itu dapat kita perkarakan, karena itu termasuk dalam perselisihan hak.” Lebih lanjut Alex menjelaskan bahwa
nanti dalam menyelesaikan sengketa dapat diupayakan melalui mediasi terlebih dahulu kalau tidak bisa mencapai titik
temu, baru kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan perselisihan hubungan industrial, apabila menyangkut
mengenai perselisihan hak biasanya akan diperkerjakan lagi atau tidak mendapatkan suatu kompesasi.
Setelah mendapatkan materi hak atas kesehatan dan pekerjaan, lalu sesi di pembekalan beralih ke materi kedua
mengenai proses persidangan pidana yang disampaikan oleh Ayudhia Utami, relawan LBH Masyarakat. Ayudhia
menjelaskan materi ini mulai dari terjadinya peristiwa hukum, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan
hingga putusan hakim, dan upaya hukum yang dapat ditempuh apabila tidak puas dengan putusan hakim. Nampaknya
proses persidangan pidana tidak mudah untuk dipahami mengingat banyak sekali istilah teknis hukum, sehingga Alex
perlu menjelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana. Di sesi ini Erdi sempat bertanya, “Mas Alex, kalau upaya hukum
itu bisa ga sih langsung kasasi aja?” Lalu Alex menjawab, “tidak bisa, karena harus melalui banding terlebih dulu baru
nanti bisa kasasi”. Setelah pembahasan selesai dituntaskan dan tidak ada pertanyaan lagi kemudian Alex menganjurkan
kepada Vivi dan Erdi untuk kembali membaca‐baca slide presentasi yang telah dibagikan dan brosur yang berisikan
materi yang telah dipresentasikan. Pembekalan pun kemudian berakhir sekitar sore hari pukul 17.30 WIB. (GPS).
8. HdH | 7
Mari Bicara Hukum dan HAM
SKTM, Gakin dan Jamkesmas sebagai Upaya Memperoleh Hak atas Kesehatan
Oleh: Alex Argo Hernowo
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia yang harus dipenuhi. Dalam konteks
kenegaraan, Indonesia telah menjamin pemenuhan kesehatan di dalam Konstitusi. Hal itu dapat dilihat dalam Undang‐
Undang Dasar 1945 Pasal 28H: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Lebih lanjut lagi,
Pasal 34 ayat (3) menyebutkan bahwa: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.” Kedua jaminan konstitusional tersebut juga dikuatkan dalam konsideran Undang‐
Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan
salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita‐cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di level implementasi, pemerintah pusat telah mengeluarkan sebuah program yang dinamakan Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas). Program ini bertujuan untuk memberi layanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang
menjadi pesertanya. Data warga misikin dari Badan Pusat Statistik (BPS) dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran
peserta secara nasional oleh Menteri Kesehatan. Namun nampaknya program Jamkesmas ini memiliki banyak
kekurangan sebab data warga miskin berdasarkan BPS dan data pemohon penerima Jamksesmas berbeda jauh. Hal ini
menjadi kesulitan tambahan bagi masyarakat miskin. Mereka yang sebelumnya sudah cukup sulit dalam
mempertahankan kesehatan mereka dan mengakses layanan kesehatan, menjadi lebih sulit lagi karena mereka harus
mengakses Jamkesmas dulu untuk mendapatkan akses layanan kesehatan, yang mana akses mendapatkan Jamkesmas
itu sendiri juga sulit. Substansi pemenuhan hak atas kesehatan semakin sulit karena dibenturkan dengan mekanisme
prosedural yang tidak tepat.
Menyiasati warga miskin yang tidak terdaftar sebagai peserta Jamkesmas
Bagaimana jika ada warga miskin yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan sedangkan dia tidak terdaftar sebagai
peserta Jamkesmas? Dalam kasus demikian warga miskin dapat menempuh prosedur pengurusan Gakin (warga miskin).
Berikut ini adalah tahapan pengurusan kartu Gakin:
Pasien memiliki Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta
Pasien/keluarga mengajukan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) pada RT /
Pasien/keluarga ke Kelurahan dan Kecamatan dengan membawa SKTM untuk dilegalisir
Pasien datang ke Puskesmas setempat dengan membawa SKTM yang telah dilegalisir
Pihak Puskesmas akan memverifikasi dengan melakukan survey ke rumah pasien
Setelah survey dilakukan, akan ditentukan apabila pasien berhak untuk mendapatkan surat Gakin/SKTM.
Setelah mendapat Hasil Laporan Verifikasi yang menyatakan pasien berhak mendapatkan surat Gakin/SKTM,
selanjutnya semua berkas diserahkan kepada pihak rumah sakit.
9. HdH | 8
Tahapan tersebut di atas dapat dilakukan juga apabila dalam hal pasien dalam keadaan darurat dan belum mengurus
Gakin (warga miskin) namun harus segra masuk rumah sakit. Caranya adalah:
1. Pasien dan keluarga membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Pengantar dari RT untuk pengurusan surat
keterangan tidak mampu (SKTM) serta Kartu Keluarga (KK) pasien dan menyerahkannya pada loket pendaftaran
pasien di Rumas sakit milik pemerintah (misalnya: RS Cipto Mangunkusumo)
2. Selanjutnya pada loket pendaftaran pasien, pasien didaftarkan dengan status menggunakan SKTM dalam data
informasi pasien di rumah sakit tersebut.
Namun proses ini hanya dapat berlaku sementara, pihak keluarga pasien tetap harus mengurus SKTM dan melakukan
verifikasi oleh pegawai puskesmas.
Kartu Gakin (Warga Miskin) versus Jamkesmas
Kedua program sama–sama merupakan program pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin atau kurang mampu.
Namun kartu Gakin cenderung lebih mudah diakses ketimbang Jamkesmas yang pemberian layanan kesehatannya
didasarkan pada kuota jumlah penduduk miskin. Gakin merupakan program yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Daerah, dalam hal ini Pemda DKI Jakarta, apabila di luar DKI namanya Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) sedangkan
Jamkesmas adalah program dari Pemerintah Pusat.
Dalam implementasi kesehariannya, program Jamkesmas ini menemui banyak tantangan, oleh karenanya,
pelaksanaannya harus segera diperbaiki mengingat Jamkesmas merupakan progam yang dilaksanakan oleh pemerintah
pusat yang mencakup seluruh wilayah Indonesia, dan hak atas kesehatan adalah hak asai manusia yang pemenuhannya
menjadi tanggung jawab Negara – sebagaimana telah disampaikan dalam paragraf awal tulisan ini. (AAH).
*Alex Argo Hernowo adalah salah satu Asisten Manajer Bantuan Hukum dan HAM di LBH Masyarakat.
10. HdH | 9
Suara Komunitas
Dalam rangka ulang tahun LBH Masyarakat yang ketiga, 8 Desember 2010, kami bertanya: “Apa harapan teman‐
teman semua terhadap LBH Masyarakat?”
Thalia, Paralegal Blora:
“Semoga LBH Masyarakat lebih sukses lagi dan jangan pernah menyerah dan lelah untuk memberdayakan seluruh
masyarakat Indonesia tentang hukum.”
Indra, Paralegal Klender:
“Semoga di tahun ke depan LBH Masyarakat makin memperluas paralegalnya, agar masyarakat awam lebih tahu
hukum.”
Ajid, remaja Kali Adem (REMKA):
“Selamat untuk LBH Masyarakat yang sudah berulang tahun yang ke‐3. Harapannya semoga LBH Masyarakat tetap jaya
dan akan selalu ada untuk kedepannya. Mudah‐mudahan LBH Masyarakat bisa membantu semakin banyak orang yang
membutuhkan bantuan hukum.”
Apay, Paralegal Forkon:
“Harapan saya untuk LBH Masyarakat semoga dapar menjadi lembaga yang benar‐benar mendampingi rakyat dan
kaum‐kaum minoritas terkait dengan permasalahan hukum yang ada di bumi pertiwi Indonesia.”
Beni, Paralegal Depok:
“Dengan penuh semangat, kami, paralegal dari komunitas kaum marjinal Depok, mengharapkan agar LBH Masyarakat
menjadi mitra kami dalam hal memperjuangkan permasalahan kesejahteraan sosial yang selalu dikalahkan oleh
hukum.”
Danang, Paralegal Klender:
“Semoga di tahun yang akan datang, LBH Masyarakat lebih tambah maju lagi dan lebih peduli kepada remaja agar para
remaja tidak terjebak ke arah yang salah!”
Aldi, Relawan LBH Masyarakat:
“Happy 3rd birthday LBH Masyarakat! Tetapkan visi setinggi langit. Tegakkan keadilan walaupun langit runtuh.”
Nur Aida, Paralegal Forkon:
“Semoga LBH Masyarakat mampu mendorong lahirnya kebijakan baru terkait Napza di Indonesia.”
Erdi, Paralegal:
“Harapan saya semoga LBH Masyarakat menjadi lembaga yang besar yang selalu membela hak‐hak kaum minoritas yang
tertindas dan selalu melakukan penyuluhan hukum kepada teman‐teman ODHA dan teman‐teman di komunitas
lainnya.”
12. HdH | 11
Tentang LBH Masyarakat
Berangkat dari ide bahwa setiap anggota masyarakat memiliki potensi untuk turut berpartisipasi aktif mewujudkan
negara hukum yang demokratis, sekelompok Advokat, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi mendirikan
sebuah organisisasi masyarakat sipil nirlaba bernama Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH
Masyarakat).
Visi LBH Masyarakat adalah terwujudnya partisipasi aktif dan solidaritas masyarakat dalam melakukan pembelaan dan
bantuan hukum, penegakan keadilan serta pemenuhan HAM. Sementara misinya adalah mengembangkan potensi
hukum yang dimiliki oleh masyarakat untuk secara mandiri dapat melakukan gerakan bantuan hukum serta penyadaran
hak‐hak warga negara, dari dan untuk masyakarat.
Secara ringkas, visi dan misi LBH Masyarakat diimplementasikan melalui tiga program kerja utama, yakni:
(1) Pemberdayaan hukum masyarakat melalui pendidikan hukum, penyadaran hak‐hak masyarakat, pemberian
informasi mengenai hukum dan hak‐hak masyarakat serta pelatihan‐pelatihan bantuan hukum bagi masyarakat;
(2) Advokasi kasus dan kebijakan publik;
(3) Penelitian permasalahan publik dan kampanye hak asasi manusia baik di tingkat nasional maupun internasional.