2. KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS KINERJA
OTONOMIDAERAHDIWILAYAHKALIMANTAN
146+xiv,2007
PerpustakaanNasionalRI:
DataKatalogDalamTerbitan(KDT)
A. ISBN979-1176-11-8
1.PerimbanganKeuangan 2.OtonomiDaerah 3.KinerjaPemerintahDaerah
Tim Peneliti :
lTriWidodoW.Utomo,SH.,MA(PenelitiUtama) lDr.Meiliana,SE.,M.Si(Peneliti)
lSaidFadhil,S.IP(Peneliti) lSitiZakiyah,S.Si(Peneliti)
lWindraMariani,SH(Peneliti) lDrs.Tuparman,MM (Peneliti)
lDrs. Helmi Mas'ud, M.Si (Pembantu Peneliti) lBaharuddin, S.Sos., M.Pd (Pembantu
Peneliti)
lMustari Kurniawati, S.IP (Pembantu Peneliti) lIr. A. Fatah, M.Agr (Pembantu Peneliti)
lM. Nasir, S.PT, M.Si (Pembantu Peneliti) lMayahayati K., SE (Koordinator Peneliti)
Sekretariat:
lDra.Hj.ErnawatiSabran,MM. lIr.A.Sirodz,MP
lAritaSaidi lEllyana
lMuhammadSophiansyah lVeronikaHannaN,SS
lJosRizal lLennyVerawatiSilalahiR.,A.Md.
Editor:
lTriWidodoW.Utomo,SH.,MA lSaidFadhil,SIP
lSitiZakiyah,S.Si lIr.A.Fatah,M.Agr
lRustanAmrullah,SP lFajarIswahyudi,SE
lMariaAgustiniPermatasari,S.Sos.
DiterbitkanOleh:
PusatKajiandanPendidikandanPelatihanAparaturIII(PKP2AIII)
LANSamarinda
UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,-
(limamiliarrupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
dendapalingbanyakRp.500.000.000,-(limaratusjutarupiah).
3. KATA PENGANTAR
Idealnya, otonomi daerah menciptakan sistem pembiayaan yang adil dan
berimbang antara kebutuhan pembiayaan ditingkat pemerintah pusat dengan
kebutuhan pembiayaan pembangunan didaerah (vertikal dan horizontal) serta
memunculkan good governance dengan pengelolaan pembiayaan yang
akuntabel, transparan, pasti, serta partisipatif. Namun tidak dapat dipungkiri
bahwa, berbagai persoalan terkait dengan desentralisasi fiskal masih dihadapi
oleh negara ini. Baik dari aspek keadilan dan akuntabilitas yang dirasakan oleh
daerah masih rendah, maupun tingkat efektifitas dan optimalisasi pemanfaatan
pembiayaandidaerahyangmasihkurang.
Semenjak kebijakan desentralisasi dilakukan, ternyata tidak secara
otomatis memberikan implikasi positif kepada peningkatan kinerja pemerintah
daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Besarnya anggaran yang
dikucurkan oleh pemerintah pusat ke daerah, ternyata juga berimplikasi kepada
matinyadayakreatifitasdaripemerintahdaerahuntukmengoptimalkansumber-
sumberpembiayaanlainyangmemungkinkandilakukandidaerah.
Disamping itu juga, dengan kebijakan desentralisasi sepertinya, fungsi
pengawasan dan asistensi yang seharusnya tetap dilakukan oleh pemerintah
pusat, namun dalam perjalanannya terlihat semakin lemah. Hal ini berimplikasi
kepada rendahnya kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi-fungsi
utamapemerintahandidaerah.
Sehubungan dengan berbagai persoalan yang masih dihadapi terkait
dengan kebijakan perimbangan keuangan tersebut, PKP2A III LAN Samarinda
memandang penting untuk mengkaji lebih jauh terkait dengan Dampak
Perimbangan Keuangan Terhadap Kapasitas Kinerja Otonomi Daerah khususnya
di wilayah Kalimantan. Kami berharap hasil dari kajian ini dapat memberikan
sumbangsih pemikiran terkait dengan berbagai persoalan yang harus dibenahi
baikolehpemerintahdaerahmaupunpemerintahpusatterkaitdengankebijakan
perimbangankeuangan.
Kepada semua pihak yang telah membantu baik dari persiapan, masa
penelitian hingga penyusunan dan penerbitan laporan penelitian yang berupa
III)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
4. buku ini disampaikan ucapan terima kasih yang sangat mendalam, semoga kerja
keras dan kerjasama yang telah terjalin baik dalam penelitian ini dapat lebih erat
lagi untukpenelitian selanjutnya. Tentunya laporan hasil penelitian ini masih jauh
darisempurna,untukituberbagaikritikdansaranmembangunsangatdinantikan
demi perbaikan kita bersama. Akhirnya semoga Tuhan Yang Maha Kuasa
menyertai dan memberkahi usaha kita dan semoga hasil penelitian ini dapat
bermanfaatbaikbagidaerahsertabagisemuapihakyangterkait.
Samarinda, Desember 2007
Kepala PKP2A III LAN Samarinda,
Dr. Meiliana, SE.MM
(IV
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
5. DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………………..................... iii
Daftar Isi ……………………………………………………………………..…...................... v
Daftar Tabel ……………………………………………..……………………....................... x
Daftar Gambar ………………………………………………………………….................... xiii
Ringkasan Eksekutif …………………………………………………….......................... xv
Bab I Pendahuluan ........................……………………………………………….. 1
A. Latar Belakang ……………………………………………...................... 1
B. Perumusan Masalah .............…………………………………………... 3
C. Kerangka Pikir ...................................................................... 4
D. Ruang Lingkup Kajian …………………………………....................... 5
E. Tujuan ..........................………………………………………….............. 6
F. Target/Hasil yang Diharapkan ………………………………............ 6
G. Status dan Jangka Waktu ..................................................... 6
Bab II Kerangka Teoretis Desentralisasi Fiskal dan Kebijakannya di
Indonesia ................................................................................. 7
A. Hakekat Otonomi Daerah ................................................... 7
B. Desentralisasi Fiskal ............................................................ 11
C. Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ........................ 17
Bab III Tinjauan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ......... 19
A. Tinjauan Sejarah .................................................................. 19
B. Hubungan Antara Penyelenggaraan Urusan Pemerintah
dan Pendanaan .................................................................... 20
C. Reformasi Perencanaan dan Pengelolaan Keuangan
Dearah ................................................................................ 24
1. Reformasi Perencanaan dan Penganggaran ................... 24
2. Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah ..................... 27
3. Sumber Pembiayaan Pembangunan Daerah ................... 28
V)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
6. a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) .................................. 30
b. Pinjaman Daerah ....................................................... 30
c. Dana Perimbangan ..................................................... 32
d. Dana Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan .............. 35
e. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang .................. 35
D. Transfer Pemerintah Pusat ke Daerah ................................... 36
1. Perkembangan Alokasi Dana Desentralisasi/
Penyeimbang (2005 – 2007) ............................................ 36
2. Perkembangan Alokasi Anggaran Belanja APBN
ke Daerah (2005 – 2007 ) ................................................. 38
3. Profil Keuangan Daerah Indonesia (Tahun 2007) ............. 41
E. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemampuan
Pembiayaan Pembangunan Daerah di Indonesia ................. 36
Bab IV Dampak Perimbangan Keuangan Terhadap Kapasitas Kinerja
Otonomi Daerah Di Wilayah Kalimantan ............................... 45
A. Kondisi Umum Kemampuan Keuangan Daerah Provinsi
dan Beberapa Kabupaten di Kalimantan ............................... 45
1. Kondisi Umum Kemampuan Keuangan Daerah Provinsi
di Kalimantan ................................................................... 46
2. Kondisi Umum Kemampuan Keuangan Beberapa
Daerah Kabupaten di Kalimantan .................................... 52
B . Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Kota
Waringin Barat .................................................................... 55
1. Provinsi Kalimantan Tengah ........................................... 55
a). Gambaran Umum Daerah ......................................... 55
b). Perekonomian Daerah .............................................. 57
c). Keadaan Umum Sektor Kesehatan ........................... 59
d). Keadaan Umum Sektor Pendidikan .......................... 60
e). Potensi Sumberdaya Unggulan Provinsi
Kalimantan Tengah ................................................... 60
i. Sektor Perikanan dan Kelautan ........................... 60
ii. Sektor Perkebunan .............................................. 61
(VI
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
7. iii. Sektor Pertenakan ............................................... 62
iv. Sektor Kehutanan ................................................ 62
v. Sektor Pertambangan .......................................... 63
f). Review APBD Provinsi Kalimantan Tengah ................ 64
i. Pajak Daerah ........................................................ 65
ii. Retribusi Daerah .................................................. 68
iii. Dana Perimbangan .............................................. 68
g). Realisasi Anggaran Sektor Pembangunan Publik di
Provinsi Kalimantan Tengah ...................................... 69
i. Bidang Kesehatan ................................................ 70
ii. Bidang Pendidikan ............................................... 71
iii. Bidang Sarana dan Prasarana Wilayah .................. 72
h). Kinerja dan Permasalahan Sektor Pembangunan
Publik di Provinsi Kalimantan Tengah ....................... 73
i. Bidang Kesehatan ................................................ 73
ii. Bidang Pendidikan ............................................... 76
iii. Bidang Sarana dan Prasarana Wilayah ................ 80
i). Dampak Perimbangan Keuangan Terhadap
Kapasitas Kinerja Otonomi Daerah Di Provinsi
Kalimantan Tengah ................................................... 86
2. Kabupaten Kotawaringin Barat ...................................... 89
a). Gambaran Umum Daerah ......................................... 89
b). Dampak Perimbangan Keuangan Terhadap
Kapasitas Kinerja Otonomi Daerah Kabupaten
Kota Waringin Barat .................................................. 91
i. Dinas Kependudukan dan Keluarga
Berencana ............................................................ 103
ii. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi ................... 106
iii. Badan Kepegawaian Daerah ................................ 107
iv. Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya ...................... 110
C. Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Timur ...... 111
1. Provinsi Kalimantan Timur ............................................. 111
a) Gambaran Umum Daerah ......................................... 111
VII)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
8. b) Potensi Sumber Penerimaan Provinsi
Kalimantan Timur ..................................................... 113
c) Kinerja Sektoral ......................................................... 118
i. Sektor Kesehatan ................................................. 118
ii. Sektor Pendidikan ................................................ 118
iii. Sektor Sosial ........................................................ 119
2. Kabupaten Kutai Timur ................................................... 120
a) Gambaran Umum Daerah ......................................... 120
i. Kondisi Sosial dan Perekonomian ........................ 122
ii. Potensi Unggulan Daerah .................................... 128
b) Dana Perimbangan dalam APBD Kabupaten
Kutai Timur ................................................................ 132
c) Kinerja dan Permasalahan Sektor Pembangunan
Publik di Kabupaten Kutai Timur ............................... 135
i. Bidang Kesehatan ................................................ 135
ii. Bidang Pendidikan ............................................... 137
iii. Bidang Sarana dan Prasarana Wilayah ................. 137
d) Permasalahan dan Upaya Penyelesaiannya .............. 139
e) Tingkat Kinerja Pemerintah Kutai Timur ................... 141
D. Provinsi Kalimantan Selatan dan Kabupaten Tabalong ......... 143
1. Gambaran Umum Daerah .............................................. 143
a) Potensi Unggulan Daerah ......................................... 144
b) Pertumbuhan Ekonomi / PDRB ................................. 145
2. Komposisi Dana Perimbangan Provinsi
Kalimantan Selatan ........................................................ 149
E. Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Ketapang .......... 151
1. Provinsi Kalimantan Barat .............................................. 151
a) Gambaran Umum Daerah ......................................... 151
b) Sinergitas Keuangan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah ................................................... 152
c) Penerimaan Dana Perimbangan Keuangan
Kalimantan Barat ....................................................... 154
i. Dana Bagi Hasil .................................................... 154
(VIII
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
9. ii. Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK) ......................................................... 157
d) Analisis Proporsi Dana Perimbangan, Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Terhadap Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) Propinsi
Kalimantan Barat ...................................................... 159
2. Kabupaten Ketapang ...................................................... 168
a) Gambaran Umum Daerah ......................................... 168
b) Dana Perimbangan Keuangan ................................... 169
i. Dana Bagi Hasil .................................................... 171
ii. Dana Alokasi Umum ( DAU ) dan Dana Alokasi
Khusus ( DAK ) ...................................................... 173
c) Kesenjangan Proporsi Antara Pendapatan Asli
Daerah (PAD) & Dana Perimbangan dalam APBD
Kabupaten Ketapang ................................................. 174
Bab V Penutup .......................……………………………………………………… 180
A. Kesimpulan …………………………………………………..................... 180
B. Rekomendasi Kebijakan ...................................................... 182
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 184
LAMPIRAN
Lampiran 1 SK Tim Pelaksana Kajian
Lampiran 2 Instrumen Penelitian
IX)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
10. DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Daerah Sampel/Tujuan Kajian ............……………………………… 5
Tabel 4.1 Perbandingan Tingkat Kontribusi PAD dan DP terhadap
APBD Pemerintah Provinsi di Kalimantan (2003 - 2006) ...... 51
Tabel 4.2 Perbandingan Tingkat Kontribusi Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dan Dana Perimbangan (DP) terhadap APBD
Beberapa Kabupaten di Kalimantan (2003 – 2006) .............. 54
Tabel 4.3 Gambaran Keadaan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota
di Kalteng .............................................................................. 56
Tabel 4.4 Cadangan Tambang Provinsi Kalimantan Tengah .................. 63
Tabel 4.5 APBD Provinsi Kalimantan Tengah ........................................ 64
Tabel 4.6 PAD Provinsi Kalimantan Tengah ........................................... 65
Tabel 4.7 Realisasi Anggaran Dana Perimbangan Bagi Hasil (DBH)
Non Pajak Provinsi Kalimantan Tengah 2002 – 2006 ............ 69
Tabel 4.8 Tingkat Pembiayaan APBD pada Tiga Sektor
Pembangunan Provinsi Kalteng 2006 ................................... 70
Tabel 4.9 Perbandingan Anggaran Diknas Provinsi Kalteng
(2006 – 2007) ........................................................................ 72
Tabel 4.10 Tingkat Alokasi dan Realisasi Anggaran Sektor Kesehatan
Provinsi Kalteng 2006 ............................................................ 73
Tabel 4.11 Tingkat Alokasi dan Realisasi Anggaran Sektor Pendidikan
Provinsi Kalteng 2006 ........................................................... 76
Tabel 4.12 Tingkat Alokasi dan Realisasi Anggaran Sektor Sarana dan
Prasarana Provinsi Kalteng Tahun 2006 ................................ 80
Tabel 4.13 Komposisi PAD dan Dana Perimbangan terhadap APBD
Kabupaten Kotawaringin Barat ............................................. 91
Tabel 4.14 Komposisi Dana Perimbangan Pusat dalam APBD
Kabupaten Kotawaringin Barat ............................................. 92
Tabel 4.15 Alokasi DBH Pajak dan SDA pada SKPD Kabupaten
Kotawaringin Barat Tahun 2007 ............................................ 102
Tabel 4.16 Kondisi Ketenaga kerjaan Kotawaringin Barat
(2003 – 2006) ........................................................................ 106
(X
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
11. Tabel 4.17 Penduduk Kalimantan Timur (2002 – 2008) .......................... 112
Tabel 4.18 Potensi Sumberdaya Alam menurut Kabupaten/Kota .......... 113
Tabel 4.19 Penerimaan Dana Bagi Hasil Provinsi Kalimantan Timur
(2003 - 2007) ......................................................................... 115
Tabel 4.20 Pertumbuhan Penerimaan Sumberdaya Alam (SDA)
Provinsi Kalimantan Timur .................................................... 116
Tabel 4.21 Kontribusi Pajak dan Sumberdaya Alam dalam Dana Bagi
Hasil Provinsi Kalimantan Timur .......................................... 117
Tabel 4.22 Jumlah Penduduk Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) Di Provinsi Kalimantan Timur ........................ 120
Tabel 4.23 Perkembangan Kependudukan Kab Kutim 2001–2004 ......... 121
Tabel 4.24 Partisipasi Angkatan Kerja di Kab. KUTIM 2001-2004 ........... 122
Tabel 4.25 Jumlah Penduduk Miskin dan Rumah Tangga Miskin
Di Kab Kutim Tahun 2005 ...................................................... 123
Tabel 4.26 Perkembangan PDRB dan Pertumbuhan Ekonomi
Kab. Kutim (2000 – 2005) ...................................................... 125
Tabel 4.27 Target dan Realisasi Pendapatan Kabupaten Kutai Timur
TA. 2006 ............................................................................... 132
Tabel 4.28 Jenis SDA dan Besaran DBH non-Pajak Kabupaten Kutim
2002 – 2006 ......................................................................... 133
Tabel 4.29 Realisasi alokasi APBD Kabupaten Kutai Timur Tahun
2001-2006 ............................................................................ 135
Tabel 4.30 Kinerja bidang Kesehatan Kabupaten Kutai Timur
Tahun 2006 ........................................................................... 136
Tabel 4.31 Kinerja Fisik dan Keuangan dari Dana Alokasi Khusus
(DAK) Bidang Kesehatan Kabupaten Kutai Timur
Tahun 2006 .......................................................................... 136
Tabel 4.32 Kinerja Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Kab Kutim
tahun 2006 ........................................................................... 137
Tabel 4.33 Kinerja bidang sarana dan prasarana wilayah Kabupaten
Kutai Timur Tahun 2006 ........................................................ 138
Tabel 4.34 Perkembangan Jumlah Penduduk Provinsi Kalimantan
Selatan Menurut Jenis Kelamin (2002–2005) ....................... 144
XI)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
12. Tabel 4.35 PDRB Kalimantan Selatan Menurut Lapangan Usaha Atas
Dasar Harga Konstan 2000 ................................................... 148
Tabel 4.36 Komposisi APBD Provinsi Kalimantan Selatan
(2003 – 2006) ........................................................................ 150
Tabel 4.37 Data Perkembangan Realisasi Bagi Hasil Pajak (BHP)
APBD Provinsi Kalimantan Barat (2003 – 2007) .................... 154
Tabel 4.38 Data Perkembangan Realisasi Bagi Hasil Bukan Pajak /
SDA APBD Provinsi Kalimantan Barat (2003 – 2007) ............. 156
Tabel 4.39 Perkembangan Dana Perimbangan APBD Kalbar
(2003 – 2007) ........................................................................ 157
Tabel 4.40 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Kalimantan Barat (2003 - 2005) .................... 162
Tabel 4.41 Perkembangan APBD Kalimantan Barat (2003-2007) ......... 164
Tabel 4.42 Perkembangan Jumlah Murid, Guru, serta Sekolah
di Provinsi Kalimantan Barat ................................................. 166
Tabel 4.43 Perkembangan Sektor Kesehatan Sekolah di Provinsi
Kalimantan Barat Periode 2003 – 2005 ................................. 167
Tabel 4.44 Komposisi APBD Kabupaten Ketapang (2005 – 2007) ........... 170
Tabel 4.45 Perkembangan Dana Bagi Hasil dalam APBD Kab. Ketapang
Tahun 2005-1007 ................................................................. 171
Tabel 4.46 Data Proporsi BHP/BHBP, DAU & DAK dalam Dana
Perimbangan APBD Tahun 2005-2007 ................................. 173
Tabel 4.47 Ratio PAD dan Dana Perimbangan Terhadap APBD .............. 176
Tabel 4.48 APBD Kabupaten Ketapang Tahun Anggaran 2003-2007 ...... 178
(XII
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
13. DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Model Kerangka Pikir Kajian ...............………………………….. 4
Gambar 2.1 Pola Hubungan Keuangan Pusat Daerah
(sesuai UU 33/2004 dan UU 32/2004) ............................. 18
Gambar 3.1 Skema Pembiayaan Keuangan Pemerintah Pusat
Ke Daerah ......................................................................... 36
Gambar 3.2 Trend Dana Desentralisasi Berdasarkan Jenis Dana
Tahun 2005 – 2007 ........................................................... 38
Gambar 3.3 Komposisi Belanja APBN di Pusat dan di Daerah
(TA 2005) .......................................................................... 39
Gambar 3.4 Komposisi Belanja APBN di Pusat dan di Daerah
(TA 2006) .......................................................................... 40
Gambar 3.5 Komposisi Belanja APBN di Pusat dan di Daerah
(TA 2007) .......................................................................... 41
Gambar 4.1 Rasio PAD dan DP Terhadap APBD Propinsi
di Kalimantan ................................................................... 47
Gambar 4.2 Rasio PAD dan DP Terhadap APBD Beberapa
Kabupaten di Kalimantan ................................................. 54
Gambar 4.3 Perkembangan DAU dan DAK kabupaten
Kotawaringin Barat (2001-2006) ...................................... 94
Gambar 4.4 Komposisi Dana Perimbangan Pusat pada
Kotawaringin Barat Tahun 2003-2006 .............................. 95
Gambar 4.5 Petumbuhan Dana Perimbangan dalam Komposisi
APBD Kotawaringin Barat Tahun 2004-2006 .................... 96
Gambar 4.6 Komposisi Dana Bagi Hasil SDA Kabupaten
Kotawaringin Barat Tahun 2002-2007 ............................. 98
Gambar 4.7 Pertumbuhan Dana Bagi Hasil Kehutanan dan
Perikanan Kotawaringin Barat Tahun 2003-2006 ............. 99
Gambar 4.8 Prosentase DBHSDA terhadap APBD Kabupaten
Kotawaringin Barat Tahun 2001-2005 ............................ 100
XIII)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
14. (XIV
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
Gambar 4.9 Pertumbuhan DBHSDA Kabupaten Kotawaringin
Barat Tahun 2002-2006 ...................................................` 100
Gambar 4.10 Alokasi Dana Bagi Hasil terhadap Pembiayaan Program
dan Kegiatan Kabupaten Kotawaringin Barat
Tahun 2007 ...................................................................... 101
Gambar 4.11 Tren Dana Perimbangan Provinsi Kalimantan Timur
(2001 – 2007) ................................................................... 114
Gambar 4.12 Pertumbuhan Ekonomi Berdasakan Sektor di Kutim
(2004 – 2005) .................................................................. 126
Gambar 4.13 Struktur Perekonomian Kutai Timur Tahun 2005 ............ 127
Gambar 4.14 Trend Pertumbuhan DBH Non Pajak Kabuapten
Kutai Timur (2002 – 2006) .............................................. 134
Gambar 4.15 Komposisi DBH Non Pajak Kabupaten Kutai Timur
(2002 – 2006) .................................................................. 134
Gambar 4.16 Komposisi APBD Pro. Kalsel (2003 – 2006) ...................... 150
Gambar 4.17 Komposisi APBD Kabupaten Tabalong (2003-2006) ......... 151
Gambar 4.18 Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah ......................................................... 153
Gambar 4.19 Perkembangan Dana Perimbangan Provinsi Kalimantan
Barat (2003 – 2007) ......................................................... 158
Gambar 4.20 Komposisi PAD Provinsi Kalimantan Barat
(2003 – 2007) ................................................................... 159
Gambar 4.21 Komposisi APBD Kalimantan Barat Berdasarkan
Masing – Masing Komponen ........................................... 161
Gambar 4.22 PDRB dan Angka Perkapita Provinsi Kalimantan Barat
(2003 – 2005) .................................................................. 165
Gambar 4.23 Komposisi PAD Kab. Ketapang (2005 – 2007) .................. 175
15. RINGKASAN EKSEKUTIF
Terdapat satu kondisi di negara-negara berkembang pada umumnya
termasuk di Indonesia, dimana derajat sentralisasi keuangan masih cukup tinggi,
dalam hal ini pemerintah pusat lebih banyak membiayai kegiatan penyediaan
barang publik dan mengambil sebagian besar penerimaan negara yang berasal
dari pajak. Selain itu juga terdapat perbedaan yang variatif dalam hal kondisi dan
potensi antar daerah. Ada daerah yang memiliki sumberdaya alam yang cukup
dan ada daerah yang mempunyai potensi ekonomi yang cukup. Terdapat pula
daerah yang memiliki sumberdaya alam yang cukup tetapi potensi ekonominya
lemah. Selain itu, ada pula daerah yang memiliki potensi ekonomi baik tetapi
tidak memiliki sumberdaya alam yang memadai, dan bahkan ada pula yang tidak
memiliki kedua-duanya. Oleh karena itu kebijakan otonomi daerah akan memiliki
konsekuensi yang berbeda-beda terhadap keuangan daerah antara satu daerah
dengandaerahlain.
Menyikapi kondisi tersebut, tuntutan perubahan orientasi dan sistem
pemerintahan dari sentralistik kepada sistem pemerintahan yang memberi
kewenangan yang lebih luas kepada daerah telah direspon oleh sengenap
komponen penyelenggara negara yaitu dengan melaukan amandemen terhadap
konstitusidanaturanperundangan-undanganyangterkaitlainnya.
Kebijakan otonomi daerah (desentralisasi) dilaksanakannya dengan
tujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatnya
kemakmuran rakyat, meningkatnya akuntabilitas dan partisipasi publik, dan
mempereratpersatuanbangsa.
Dalam rangka mewujudkan tujuan otonomi daerah tersebut diperlukan
berbagai kebijakan turunan selanjutnya diantaranya adalah terciptanya
keseimbangan antara kewenangan/urusan dan tanggung jawab yang diserahkan
kepada daerah dengan disertai sumber pendanaan untuk melaksanakan
kewenangan tersebut. Dengan kata lain, diperlukan adanya pengaturan
desentralisasifiskal.
Desentralisasi fiskal dalam konteks tersebut dituangkan di dalam UU No.
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
XV)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
16. Pemerintahan Daerah selain sebagai alat untuk mendukung pelaksanaan
otonomi daerah juga bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara
PemerintahdanPemerintahanDaerahdanantar-PemerintahDaerah.
Namun dalam pelaksanaanya, tujuan mulia dari desentralisasi baik
politik maupun fiskal ternyata tidak begitu saja dapat dicapai. Berbagai kendala
dan problematika baik ditingkat pemerintah pusat maupun daerah masih banyak
ditemukan.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka kajian ini mencoba untuk melakukan
analisissejauhmanakebijakanperimbangankeuanganantarapemerintaahpusat
dan daerah memberi dampak terhadap kapasitas kinerja otonomi daerah
khususnyadiwilayahKalimantan.
Dari hasil penelitian ditemukan beberapa fenomena dan permasalahan
seputar desentralisasi khususnya dibidang keuangan ini baik di level
pengimplementasianmaupunditingkatkebijakan,diantaranyayaitu:
1. Kebijakan desentralisasi fiskal (perimbangan keuangan) telah berimplikasi
kepada meningkatkan kemampuan keuangan untuk pembiayaan
pembangunandidaerah;
2. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir besaran tranfer anggaran APBN
kepada pemerintah daerah terus menunjukkan peningkatan walaupun belum
terlalu signifikan, dimana pada tahun 2005 rasio dana desentralisasi dalam
APBN sebesar Rp. 153,40 Trilyun (27, 15%), pada tahun 2006 sebesar Rp.
220,85 Trilyun (31.55%) dan pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp. 258.79
Trilyun(33.89%);
3. Walaupun secara nasional besaran dana perimbangan terus mengalami
peningkatan, namun untuk beberapa jenis pembiayaan seperti Dana Bagi
Hasil (DBH) oleh beberapa daerah masih dirasakan belum memadai, bahkan
untuk beberapa komponen proses penghitungannya dianggap tidak mudah
untukdiaksesolehpemerintahdaerah;
4. Kebijakan perimbangan keuangan yang berimplikasi kepada meningkatkan
kemampuan pembiayaan pembangunan didaerah ternyata tidak serta merta
berimplikasi langsung kepada meningkatnya pelayanan khususnya pelayanan
dasar kepada masyarakat, hal ini dilatarbelakangi kepada komposisi
pembiayaan pembangunan di daerah yang sebagian besar lebih banyak
dialokasikankepadabelanjarutindibandingkandenganbelanjapublik;
(XVI
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
17. 5. Dengan adanya jaminan besaran pembiayaan pembangunan di daerah
melalui transfer pembiayaan dari pemerintah pusat ke daerah, di satu sisi
telah menyebabkan rendahnya kreatifitas pemerintah daerah untuk
mengoptimalkan potensi pembiayaan yang bersumber dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD), hal ini dapat dilihat dari komposisi APBD daerah baik provinsi
maupun kabupaten yang lebih di dominasi oleh dana perimbangan. Sebagai
gambaran dari kompisisi APBD Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2006
menunjukkan besarnya PAD daerah belum mencapai 25% dari total APBD,
begitu juga halnya dengan Provinsi Kalimantan Timur dimana dalam kurun
waktu 6 (enam) tahun terakhir (2001-2006) rata-rata komposisi PAD hanya
mencapai 23% dari total APBD, Provinsi Kalimantan Barat hanya mencapai
39.92%. Kondisi lebih memprihatinkan terjadi pada pemerintahan ditingkat
Kabupaten, sebagai contoh rasio PAD di Kabupaten Kotawaringin Barat yang
hanya mencapai angka tertinggi 10,92% pada tahun 2005 namun kembali
menurunmenjadi9.16%padatahun2006,kondisiyanglebihmemprihatinkan
ditemukan di Kabupaten Ketapang dimana rasio PAD terhadap APBD hanya
mencapai angka rata-tara 2.12% atau dengan kata lain, hampir 100% sumber
pembiayaanpembangunannyadiperolehdaridanaperimbangan;
6. Selain berorientasi kepada upaya terus mengoptimalkan komposisi dana
perimbangan yang semakin berpihak kepada daerah, sebenarnya banyak
potensi-potensi lain yang bisa dioptimalkan oleh pemerintah daerah yang
dapat berkontribusi kepada PAD, sehingga tingkat kemandirian daerah
semakinbaik.KondisiinitelahdicapaiolehdaerahProvinsiKalimantanSelatan
dimana tingkat kontribusi PAD terhadap total APBD mencapai diatas 50%.
Dimana capaian paling tinggi diraih pada tahun 2005 dimana PAD mencapai
57.37% dan mengalami sedikit penurunan pada tahun 2007 yaitu sebesar
50.91%. Kondisi ini memperlihatkan, bahwasannya banyak potensi-potensi
daerah yang bisa dioptimalkan tidak semata-mata hanya mengandalkan dana
perimbangan.
7. Kebijakan desentralisasi berimplikasi kepada berkurangnya porsi
pengendalian yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini,
ternyata juga mempengaruhi tingkat kualitas dan akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dimana tingkat partisipasi dan
kontrol publik di daerah (lokal) terhadap penyelenggaraan pemerintahan
masihdirasakankurang.
XVII)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
18. Dari beberapa temuan diatas, dapat diajukan beberapa rekomendasi
baik kepada Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang mungkin dapat
berkontribusi positif kepada upaya optimalisasi kinerja otonomi daerah
khususnya melalui instrumen desentralisasi keuangan dimasa yang akan datang.
Pertama, seiring dengan kebijakan desentralisasi dimana porsi
kewenangan penyelenggaraan pemerintahan telah diberikan secara lebih luas
kepada pemerintah daerah, maka sudah sewajarnya porsi pembiayaan
pembangunan didaerah melalui penyaluran dana perimbangan perlu untukterus
ditingkatkan.
Kedua, diperlukan upaya nyata dari pemerintah daerah untuk
mengoptimalkan sektor-sektor potensi yang dapat berkontribusi kepada
peningkatan PAD daerah dengan tetap memperhatikan aspek legalitas hukum,
iklim usaha dan berinvestasi yang tetap kondusif serta tidak memberatkan
masyarakatdidaerah.
Ketiga, diperlukan instrumen yang lebih komprehensif untuk menjawab
kesenjangan pembiayaan antara daerah, terutama daeah-daerah yang kurang
memiliki potensi sumber daya alam dan potensi ekonomi. Dimana instrumen
tersebut, lebih diarahkan kepada upaya memfasilitasi daerah untuk menumbuh
kembangkanpotensi-potensipembiayaandidaerah.
Keempat, kebijakan desentralisasi khususnya dari aspek politik, telah
berimplikasi kepada berkurangnya fungsi kontrol dari pemerintah pusat, kondisi
ini menuntut kepada adanya instrumen partisipasi masyarakat setempat dalam
proses pengambilan keputusan, tidak hanya melalui lembaga perwakilan resmi
yangtelahada.Fungsipengawasandanpartisipasipublikditingkatlokastersebut,
diperlulan mulai proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan maupun
prosesevaluasipenyelenggaraanya.
Kelima, dalam upaya menjawab tuntutan transparansi dalam proses
formulasi dana perimbangan khususnya dana bagi hasil perlu adanya sebuah
instrumenyangjugadapatdiaksesdanmelibatkanpemerintahdaerah.
(XVIII
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
19. BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Dalam sambutan pada acara Workshop Nasional Peluang dan
Tantangan Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Jakarta, menurut Menteri
Kuangan, Sri Mulyani bahwa tujuan dilaksanakannya desentralisasi adalah
untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan efisiensi,
mempererat persatuan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Apabila desentralisasi berjalan dengan baik maka akan membawa dampak
positif pada semakin baiknya pelayanan kepada masyarakat, meningkatnya
akuntabilitas dan partisipasi publik, dan meningkatnya kemakmuran rakyat.
Untuk mencapai tujuan desentralisasi tersebut, ditegaskan oleh Sri Mulyani,
diperlukan adanya keseimbangan antara kewenangan/urusan dan tanggung
jawab yang diserahkan kepada daerah dengan sumber pendanaan untuk
melaksanakankewenangantersebut.
Kebijakan yang terkait dengan Otonomi Daerah yang dituangkan di
dalamUUNo.32Tahun2004tentangPemerintahanDaerahberorientasipada
mendekatkan pemerintah kepada rakyat. Dalam konteks tersebut,
pemerintah diharapkan lebih memahami bahwa eksisnya suatu
pemerintahan adalah karena dibutuhkan oleh rakyatnya dan bahkan suatu
pemerintahan itu sendiri merupakan bagian dari rakyat. Melalui filosofi ini
diharapkan pelayanan publik dapat dirasakan lebih cepat, lebih baik, lebih
terjangkau,danlebihadil.
Berkaitandenganhalitutentunyapelaksanaanotonomidaerahharus
didukung dengan instrumen untuk mencapai hasil yang lebih optimal dalam
penyelenggaraan otonomi daerah. Sehubungan dengan hal itu diterbitkan
juga UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
1)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
20. tersebut tentunya sebagai alat untuk mendukung pelaksanaan otonomi
daerah.
Perlu dipahami bahwa di Indonesia dan umumnya negara
berkembang lain, derajat sentralisasi keuangan masih cukup tinggi, dimana
pemerintahpusatlebihbanyakmembiayaikegiatanpenyediaanbarangpublik
dan mengambil sebagian besar penerimaan negara yang berasal dari pajak.
Selain itu juga terdapat perbedaan yang variatif dalam hal kondisi dan potensi
antardaerah.Adadaerahyangmemilikisumberdayaalamyangcukupdanada
daerah yang mempunyai potensi ekonomi yang cukup. Terdapat pula daerah
yang memiliki sumberdaya alam yang cukup tetapi potensi ekonominya
lemah. Selain itu, ada pula daerah yang memiliki potensi ekonomi baik tetapi
tidak memiliki sumberdaya alam yang memadai, dan bahkan ada pula yang
tidak memiliki kedua-duanya. Oleh karena itu kebijakan otonomi daerah akan
memiliki konsekuensi yang berbeda-beda terhadap keuangan daerah antara
satudaerahdengandaerahlain.
Sebagaimana dituangkan di dalam UU No. 33 Tahun 2004,
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
dimaksudkan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi yang lebih baik dalam
penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber pendanaan.
Hal demikian dapat disimak di dalam konsideran huruf c yang menyebutkan
sebagaiberikut:
"bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui
penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan
Pemerintah Pusat, Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berupa sistem
keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas,
dantanggungjawabyangjelasantarsusunanpemerintahan”
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
menyebutkan perihal penerimaan daerah di dalam Pasal 5 ayat (1), sebagai
berikut:
(1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas
PendapatanDaerahdanPembiayaan.PendapatanDaerahsebagaimana
dimaksudpadaayat(1)bersumberdari:
(2
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
21. a. PendapatanAsliDaerah;
b. DanaPerimbangan;dan
c. Lain-lainPendapatan.
Berkaitan dengan Dana Perimbangan, Dalam penelitian tentang
Dampak Dana Perimbangan terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan
Antar wilayah, Siregar (2005) menemukan bahwa dana perimbangan
berpengaruh nyata terhadap peningkatan anggaran pendapatan dan belanja
daerah. Selain itu ditemukan juga bahwa belanja rutin dan belanja
pembangunan pemerintah daerah berpengaruh signifikan terhadap
perekonomiandaerah.
Dana perimbangan itu sendiri terdiri atas beberapa komponen,
sebagaimanatersebutdidalamPasal10,yaitusebagaiberikut:
(1) DanaPerimbanganterdiriatas:
a. DanaBagiHasil;
b. DanaAlokasiUmum;dan
c. DanaAlokasiKhusus.
(2) Jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkansetiaptahunanggarandalamAPBN.
Apabila Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh
Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, maka di pihak lain, Dana Perimbangan
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka
pelaksanaanDesentralisasi. DidalamDanaPerimbanganterdapatkomponen
dana bagi hasil yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhanDaerahdalamrangkapelaksanaanDesentralisasi.
B. PerumusanMasalah
Dari uraian pada latar belakang diatas dapatlah ditarik sebuah
hipotesis awal bahwa perubahan proporsi pembagian dana perimbangan
terutama di Kalimantan sebagai daerah yang kaya sumberdaya alam akan
mempengaruhi kinerja dari sektor-sektor pembangunan sehingga perlu
dicari:
3)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
22. 1. Besaran dan bagaimana distribusi dana perimbangan keuangan di
Kalimantan?
2. Bagaimana tingkat pembiayaan keuangan di masing-masing daerah di
Kalimantan?
3. Apa saja sektor-sektor potensial dalam penguatan kapasitas
anggaran/pendapatandaerah?
C. Kerangka Pikir
Gambar 1.1
Model Kerangka Pikir Kajian
(4
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
Desentralisasi dilaksanakannya dengan tujuan untuk mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat, meningkatnya kemakmuran rakyat,
meningkatnya akuntabilitas dan partisipasi publik, dan mempererat
persatuan bangsa. Dalam rangka mewujudkan hal dimaksud diantaranya
diperlukan terciptanya keseimbangan antara kewenangan/urusan dan
tanggung jawab yang diserahkan kepada daerah dengan disertai sumber
pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Oleh karena itu
diperlukan adanya pengaturan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal
dalam konteks tersebut dituangkan di dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
selain sebagai alat untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah juga
bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan
PemerintahanDaerahdanantar-PemerintahDaerah.
Perimbangan keuangan tersebut mengandung beberapa prinsip,
yaitu:
23. 1. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian
tugasantaraPemerintahdanPemerintahDaerah.
2. Pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah dalam
rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh
Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas
dankeseimbanganfiskal.
3. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan.
Tujuan kebijakan desentralisasi dan desentralisasi fiskal diarahkan
untuk memacu peningkatan seluruh sektor pembangunan daerah --terutama
sektor-sektor yang dipandang mendasar dan prioritas-- sesuai dengan urusan
masing-masingberdasarkanasasdesentralisasi,dekonsentrasi,maupuntugas
pembantuan.Dengan skenario seperti ini diharapkan otonomi daerah mampu
mencapaikinerjaoptimal.
D. RuangLingkup
Kajian ini akan diarahkan untuk melihat bagaimana komposisi
keuangan pemerintah daerah dan implikasi pemanfaatannya terhadap sektor
pembangunan yang sifatnya mendasar yang meliputi sektor pendidikan,
kesehatan,dansaranadanprasaranaumum.
Adapun penentuan sampelnya dilakukan secara random bertujuan
(purposiverandomsampling)dengandaerah-daerahyangditeliti:
5)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
Tabel 1.1 Daerah Sampel/Tujuan Kajian
No. Wilayah
24. E. Tujuan
Dari rumusan permasalahan diatas, maka dapat ditetapkan
adanyatujuankajianyangingindicapaidarikegiatankajianinisebagaiberikut:
1. Untuk mengidentifikasi besaran dan distribusi dana perimbangan
keuangandiKalimantan.
2. Untuk mengidentifikasi tingkat pembiayaan keuangan di masing-masing
daerah.
3. Untuk mengidentifikasi sektor-sektor potensial dalam penguatan
kapasitasanggaran/pendapatandaerah.
Adapun kegunaan hasil kajian ini adalah untuk mendorong
terciptanyapeningkatansistemdanakuntabilitaspenyelenggaraanpelayanan
publik yang pada akhirnya diharapkan akan berdampak kepada peningkatan
kinerjapemerintahdaerahdalampenyelenggaraanpembangunan.
F. Target/HasilYangDiharapkan
Hasil akhir yang ingin dicapai dari kajian ini adalah tersusunnya
sebuah laporan kajian yang memuat deskripsi tentang komposisi pembiayaan
pembangunan di daerah seiring dengan kebijakan perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dah daerah, serta implikasi pemanfaatannya bagi
sektor-sektor pembangunan yang sifatnya mendasar, meliputi sektor
pendidikan,kesehatan,dansaranadanprasaranaumum.
G. StatusDanJangkaWaktu
Kajian ini merupakan program baru yang dilaksanakan untuk wilayah
Kalimantan. Adapun jangka waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kajian
iniadalah1tahunanggaran,yakniperiodeJanuari-Desember2007.
(6
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
25. BAB II
KERANGKA TEORETIS DESENTRALISASI FISKAL
DAN KEBIJAKANNYA DI INDONESIA
A. HakekatOtonomiDaerah
Kebijakan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) tidak terlepas dari ketentuan mengenai
pemerintahan daerah sebagaimana diatur Bab VI UUD 1945 yang kemudian
dirumuskan secara singkat dan padat di dalam Pasal 18 beserta
penjelasannya. Beberapa aspek terkait dengan pemerintahan daerah seperti
hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah, pengaturan keberadaan
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, dan
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
diaturdalampasal18Adan pasal18B.
Ditinjau dari segi tata negara dan tata pemerintahan, penyelenggara
pemerintahan negara diwajibkan melaksankan kebijakan desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam melaksanakan tugas,
wewenang, kekuasaan dan tanggung jawabnya. Hal demikian tidak lain untuk
dapat mewujudkan dayaguan dan hasil guna dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Dengan demikian sentralisasi kewenangan dapat dihindari
tanpamengabaikanpemisahankewenangan.
Oleh karena itu diadakannya pembagian kewenangan, baik antara
jajaran penyelenggara pemerintahan negara di tingkat pusat, yaitu Lembaga
Tertinggi dan Tinggi Negara, dan antar penyelenggara tata pemerintahan
sendiri, yaitu Presiden dengan pembantu-pembantunya maupun antara
perangkat pusat dan daerah serta perangkat pusat dengan perangkatnya di
daerah.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, asas desentralisasi
dan asas dekonsentrasi sama pentingnya, oleh karena itu dilaksanakan secara
7)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
26. bersama-sama.Selainitudimungkinkanjugapelaksanaantugaspembantuan.
Dalam pelaksanaannya, antara ketiga asas tersebut terjalin konteksitas erat
dan harus diarahkan pada tindakan pola hubungan yang saling menunjang
1
dansalingmelengkapisecaradinamis.
Untuk merealisasikan prinsip-prinsip otonomi daerah yang nyata,
dinamis, serasi dan bertanggung jawab maka faktor-faktor kemampuan,
kondisi dan kebutuhan daerah harus diperhitungkan dan dipertimbangkan
dalam penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah. Proses
pemberian otonomi daerah pada dasarnya berawal dari penyerahan sebagian
urusan pemerintahan sebagai kewenangan pangkal dalam undang-undang
pada waktu pembentukan suatu daerah otonom dan penambahan atau
penyerahan urusan pemerintahan yang dilaksanakan melaui Peraturan
Pemerintah.
Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, setiap
penambahan atau penyerahan urusan pemerintahan harus disertai juga
dengan penyerahan personil, peralatan dan sumber pembiayaannya. Proses
penambahan atau penyerahan urusan pemerintahan merupakan landasan
hukum yang kuat untuk terwujudnya asas desentralisasi dalam sistem
pemerintahan di Indonesia. Kemudian dari pada itu, dengan urusan-urusan
yang telah dimiliki berikut kewenangan-kewenangannya, Pemerintah Daerah
1 Asas Desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari Pemerintah
Pusat atau dari Pemerintah Daerah dengan tingkat yang lebih tinggi kepada Pemerintah Daerah dengan tingkat
yang lebih rendah. Oleh karenanya prakarsa, wewenang, dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan yang
diserahkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah yang bersangkutan, baik mengenai politik
kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan hingga aspek-aspek pembiayaannya. Yang menjadi perangkat
pelaksana dalam konteks ini adalah perangkat daerah itu sendiri. Asas Dekonsentrasi adalah asas yang
menyatakan pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada kepala wilayah atau kepala instansi vertical
pada tingkat yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Tanggung jawab tetap ada pada Pemerintah
Pusat. Selain itu perencanaan dan pelaksanaan maupun pembiayaannya tetap menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat. Unsur pelaksananya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya sebagai wakil
Pemerintah Pusat. Latar belakang diadakannya kebijakan dekonsentrasi adalah dikarenakan tidak semua
urusan Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah menurut asas desentralisasi. Asas
tugas pembantuan adalah asas yang menyatakan tugas turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang
ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang
memberitugas.
(8
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
27. menyelenggarakan pemerintahan secara otonom untuk bidang-bidang
tertentuyangtelahmenjadiurusanrumahtangganya.
Sebuah dasar umum dibentuknya suatu pemerintahan daerah dalam
suatu negara dengan wilayah yang luas adalah dikarenakan tidak mungkinnya
pengelolaan pemerintahan yang efisien dan efektif jika hanya dilakukan dari
Pusat. Alasan inilah yang kemudian menjadi dasar pertimbangan untuk
membentukpemerintahandaerahdengankebijakandesentralisasi.
DalamsebuahpenelitianyangdilakukanolehHutherdanShah(1998)
di 80 negara, menunjukkan bahwa desentralisasi memiliki korelasi positif
dengan kualitas pemerintahan yang meliputi variabel gabungan dari
partisipasi masyarakat, orientasi pemerintah, pembangunan sosial, dan
manajemen ekonomi (makro), semakin tinggi derajad desentralisasi yang ada
di suatu negara semakin baik pula partisipasi masyarakatnya, orientasi
pemerintah, pembangunan sosial dan manajemen ekonominya (dalam
Mardiasmo,2002)
Menurut Menteri Dalam Negeri (1996) bahwa beberapa prinsip
fundamental otonomi daerah di dalam sistem pemerintahan daerah yang
2
harusdipahamiadalahsebagaiberikut :
1. Daerah merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia. Sehubungan dengan hal itu daerah juga mempunyai kewajiban
dan tanggung jawab terhadap pencapaian tujuan nasional dalam
penyelenggaraanpemerintahandanpembangunan.
2. Pembinaan teknis terhadap urusan pemerintahan yang telah diserahkan
tetap menjadi tanggung jawab instansi yang bersangkutan. Selain itu
tanggung jawab terakhir terhadap keberhasilan penyelenggaraan urusan
pemerintahan dimaksud juga tetap berada pada instansi dimaksud. Oleh
karena itu tidak tepat apabila muncul sinyalemen bahwa fungsi instansi
yangbersangkutantelahberkurang.
3. Pembinaan teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang telah
diserahkan kepada daerah dilakukan oleh Menteri yang bersangkutan dan
2 Menteri Dalam Negeri. (1996). Kebijaksanaan Pemerintahan Dalam Peletakan Titik Berat otonomi pada daerah Tingkat II.
PenataranotonomiDaerahbagiPejabatEselonIdiJakarta.
9)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
28. pembinaan umum oleh Menteri Dalam Negeri. Sementara itu pembinaan
operasionaldilakukanolehGubernur.
4. Pembinaan teknis yang merupakan tanggung jawab Menteri/Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan, pada dasarnya
meliputi:
lmenentukan kebijakan dan strategi pencapaian tujuan secara nasional
ataspenyelenggaraanurusanpemerintahantertentu.
lmenetapkan kebijakan teknis, standar teknis, pedoman, petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis, pengawasan teknis, serta pedoman
teknis peningkatan kemampuan dan keterampilan teknis bagi pegawai
pemerintahandaerah.
5. Pelaksanaan pembinaan umum yang merupakan tanggung jawab Menteri
DalamNegeri,padadasarnyameliputi:
lmenetapkan pedoman organisasi, pembinaan kepegawaian,
pengelolaan keuangan daerah dan sumber pembiayaan lainnya,
pengelolaan dan administrasi barang, perlengkapan dan peralatan
sertakekayaanlainnya.
lMelakukan inventarisasi dan penilaian terhadap kekayaan daerah serta
pengawasan dan pengendalian umum terhadap penyelenggaraan
urusanpemerintahanyangdiserahkankepadadaerah.
6. Pembinaan operasional yang merupakan tanggung jawab Gubernur, pada
dasarnyameliputi:
lMelakukan koordinasi pelaksanaan tugas-tugas di Kabupaten dan Kota
agar tercapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara
kebijakanPemerintahPusat,ProvinsidanKabupaten/Kota.
lMelakukan pengawasan dan pengendalian operasional terhadap
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada
Kabupeten/Kota.
Beberapa elemen penting otonomi daerah yang perlu diperhatikan
dalam kaitannya dengan upaya pencapaian good governance, menurut Tim
3PenelitiFISIPUI(2001),diantaranyayaitu:
3 Tim Peneliti FISIP UI. (2001). Pelaksanaan Otonomi Daerah Mendukung Good Governance. Jurnal Forum Inovasi. November
2001.
(10
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
29. 1. Dalam otonomi terkandung makna self-initiative untuk mengambil
keputusandanmemperbaikinasibsendiri.
2. Daerah otonom harus memiliki power (termasuk dalam sumber-sumber
keuangan) untuk menjalankan fungsi-fungsinya, memberikan pelayanan
publik serta sebagai institusi yang mempunyai pengaruh agar ditaati
warganya.
B. DesentralisasiFiskal
Terwujudnya keselarasan dan keserasian antara kegiatan-kegiatan
pemerintahan di daerah terutama dalam penyelenggaran urusan otonomi
daerah dengan kebutuhan masyarakat merupakan landasan bagi
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan memberikan otonomi
kepada daerah diharapkan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat
akan lebih cepat terwujud, dan pengambilan keputusan setiap kebijakan di
daerah akan lebih cepat dilakukan. Selain itu dengan otonomi daerah akan
mendorong timbulnya prakarsa dan partisipasi aktif masyarakat dalam
penyelenggaraanpemerintahandanpelaksanaanpembangunan.
Melalui mekanisme otonomi diharapkan dapat diperkuat struktur
ekonomi nasional dan daerah serta meningkatkan kuantitas dan kualitas
produktivitas daerah. Dengan otonomi daerah diharapkan dapat
menghilangkan beragam kesenjangan yang bersumber dari bidang ekonomi.
Dalam upaya pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan dibuatlah sistem perimbangan
keuanganantarapemerintahdanpemerintahandaerah.
Desentralisasi menurut jenisnya dapat dibedakan dalam beberapa
konsep, yaitu (Campo dan Sundaram, 2002; Sidik (2002); Martinez-Vazquez
danMcNab(1997),):
(a) Desentralisasi geografis atau desentralisasi teritorial, yakni pembagian
suatu wilayah menjadi wilayah-wilayah yang lebih kecil dengan
kewenanganyurisdiksiyangjelasdiantaradaerah-daerahtersebut;
(b) Desentralisasi fungsional yakni pendistribusian kewenangan dan tanggung
jawab negara kepada unit-unit fungsional yang berbeda-beda dalam suatu
pemerintahan;
11)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
30. (c) Desentralisasi politik dan administrasi. Desentralisasi politik berkenaan
dengan kewenangan pembuatan keputusan yang bergeser dari
pemerintah yang lebih tinggi ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah.
Dalam konteks ini partisipasi masyarakat lokal dalam proses pembuatan
keputusan mendapat peluang yang sangat luas. Sedangkan desentralisasi
administratif erat kaitannya dengan desentralisasi politik, bahkan secara
faktual keduanya sulit dibedakan. Namun lebih difokuskan pada
operasionalisasi atau implementasi kebijakan/ keputusan publik agar
berhasilsecaraoptimal.
(d) Desentralisasi finansial, yakni berkaitan dengan pelimpahan tanggung
jawab pembelanjaan dan pendapatan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Bentuk-bentuk desentralisasi finansial ini antara lain
adalah self-financing beberapa penyelenggaraan pembangunan di daerah,
cofinancing atau coproduction dengan pihak-pihak swasta, intesifikasi dan
ekstensifikasi pajak-pajak daerah dan retribusi, pinjaman daerah, serta
transferatausubsidiantar tingkatanpemerintahan.
Berkaitan dengan desentralisasi fiskal atau disebut juga sebagai
desentralisasi di bidang ekonomi yakni adanya penyerahan sebagian
kewenangan Pemerintah kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan
fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi, bertujuan untuk
mengatur dan mengurus perekonomian daerah dalam rangka menciptakan
stabilitas perekonomian secara nasional (Suyono, 2003). Ketiga fungsi
tersebut menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat. Namun
untuk menuju kepada sistem pemerintahan yang lebih efektif dan efisien,
sebagian besar wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat tersebut
didesentralisasikan kepada pemerintah daerah, dimana tetap ada sebagian
wewenang dan tanggungjawab yang masih dikendalikan pemerintah pusat,
contohnyasepertikebijakanyangmengaturvariabelekonomimakro.
Komponen kunci dan utama dalam kebijakan desentralisasi adalah
desentralisasi fiskal, karena dengan desentralisasi fiskal wewenang
pengelolaan keuangan daerah menjadi lebih besar. Pengertian desentralisasi
fiskal adalah pelimpahan kewenangan kepada daerah untuk menggali dan
(12
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
31. menggunakan sendiri sumber-sumber penerimaan daerah sesuai dengan
potensinyamasing-masing(Sidik,2002).
Adapun kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia, menurut
Kadjatmiko (2002), dilakukan dengan tujuan yaitu: (1) Menjaga
kesinambungan kebijaksanaan fiskal dalam konteks kebijaksanaan ekonomi
makro; (2) Mengoreksi vertical imbalance, yaitu memperkecil ketimpangan
yang terjadi antara keuangan pemerintah pusat dan keuangan daerah yang
dilakukan dengan memperbesar taxing power daerah; (3) Mengoreksi
horizontal imbalance yaitu ketimpangan antar daerah dalam kemampuan
keuangannya; (4) Meningkatkan akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi dalam
rangka peningkatan kinerja Pemerintah Daerah; (5) Meningkatkan kualitas
pelayanan kepada masyarakat; dan (6) Meningkatkan partisipasi masyarakat
dalampengambilankeputusandisektorpublik.
Akan tetapi, banyak ahli berpendapatan, bahwa desentralisasi tidak
secara otomatis akan langsung berdampak positif. Pemberian porsi keuangan
yang lebih besar kepada daerah tidak selamanya akan berdampak kepada
meningkatkan kinerja pemerintah di daerah. Hal ini sangat terkait dengan
sejauh mana pemanfaatan anggaran yang dimiliki tersebut secara baik dan
bertanggungjawab.
Besarnya sumber pembiayaan pembangunan didaerah yang berasal
dari transfer pemerintah pusat, berimplikasi kepada rendahnya rasa memiliki
dan kepentingan masyarakat untuk mengontrol dan ikut terlibat secara
maksimal dalam proses pengelolaan anggaran itu sendiri. Sehingga banyak
ahli berpendapat bahwa, idealnya pelaksanaan desentralisasi fiskal lebih di
fokuskan kepada bagaimana mengoptimalkan sumber pembiayaan yang
berasaldaridaeah, yaituPendapatanAsliDaerah(PAD).
Penekanan mobilisasi pendapatan daerah pada sumber PAD,
terutama demi mendukung penguatan akuntabilitas pejabat lokal dan
tanggungjawab masyarakat lokal. Seperti ditegaskan Oates (1972),
International American Development Bank (1997) dan Bahl (1999),
keseimbangan yang lebih baik antara penyediaan layanan publik dan
kebutuhan penduduk, akan tercapai sepanjang biaya yang dibutuhkan terkait
dengan mobilisasi pendapatan yang dilakukan di wilayah yang sama.
Keterkaitan erat pengeluaran dan mobilisasi pendapatan lokal, akan dapat
13)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
32. mendorong membaiknya akuntabilitas tindakan pemerintah (Abed and
Gupta,2002:335).
Weisner (1995) mengemukakan alasan serupa, pentingnya
memperhatikan upaya fiskal daerah adalah berakar pada arti pentingnya
warga membayar pajak, apa yang mereka peroleh, sehingga pihak-pihak yang
membuat keputusan pengeluaran lokal akan terjaga akuntabilitasnya, melalui
lembaga politik lokal. World Bank (1995) menekankan pula bahwa apabila
kenaikan transfer tidak diimbangi kenaikan kontribusi lokal, betapa pun kecil
jumlahnya, kecil sekali kemungkinan manfaat penuh desentralisasi dapat
terwujud. Tanpa rasa memiliki dan tanggungjawab dari masyarakat setempat,
efisiensi pengeluaran kelihatannya sangat tidak mungkin ditingkatkan (Bird
danVaillancourt,2000:265).
Desentralisasi akan berjalan lebih baik jika dikaitkan erat ke struktur
masyarakat dan organisasi lokal. Lebih lanjut Bird dan Vaillancourt
menyatakan bahwa: “Pengalaman di berbagai situasi mengisyaratkan adanya
2 persyaratan yang sangat penting untuk kesuksesan desentralisasi. Pertama,
proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, yaitu
pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya harus transparan dan
pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan untuk mempengaruhi
keputusan-keputusan tersebut. Kedua, biaya-biaya dari keputusan yang
diambil, sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat setempat.
Maksudnya pemda perlu memiliki kontrol atas tarif (dan mungkin basis pajak,
obyek) dari paling tidak beberapa jenis pajak. Jika persyaratan-persyaratan
yang agak ketat ini dapat dipenuhi, devolusi atau otonomi barulah berarti.
Sebaliknya, bila tidak dapat diwujudkan maka desentralisasi mungkin tidak
akanmencapaisasarandantujuannya”(BirddanVaillancourt,2000:17).
Smoke (2001) lebih spesifik menyatakan bahwa mekanisme fiskal
tidak dapat diharapkan berfungsi jika tidak ada tingkat pengembangan politik
dan akuntabilitas lokal yang memadai (Smoke, 2001:32). Penegasan yang
sama dikemukaan Syah (2000) dimana pengalaman di Indonesia dan Pakistan,
telah memberikan pelajaran penting dalam melakukan reformasi fiskal di
NegaraBerkembangsepertiberikut:
1. Kelembagaanpartisipasimasyarakatdanakuntabilitasnyaharusdigiringke
arah reformasi sistem fiskal yang sungguh-sungguh. Meskipun dalam
(14
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
33. masyarakat yang primitif, seperti India sebelum dijajah Inggris, sistem
pemerintahan lokal berjalan efektif untuk memberikan pelayanan dan
pengumpulan pajak lokal, sebab ada pemahaman yang baik atas
mekanisme partisipasi dan akuntabilitas masyarakat. Sistem
pemerintahan lokal yang lebih modern, telah gagal karena ketiadaan suara
masyarakatdanpengendalianakuntabilitas.
2. Kemampuan kelembagaan (administratif/manajemen) merupakan hal
kedua terpenting, dan seharusnya mendapat prioritas yang lebih rendah
dalam usaha reformasi. Kapasitas kelembagaan untuk membangun dan
mengembangkan praktek organisasi modern, memang penting, namun
seharusnya tidak dipandang sebagai kendala untuk desentralisasi.
Kemampuan teknis dapat dipinjam dari dukungan tingkatan pemerintah
yanglebihtinggidiberbagaitempat.
3. Pemisahan yang demikian jauh antara keputusan pembelanjaan dan
perpajakanmenyebabkankurangnyaakuntabilitassektorpemerintah.
4. Bagi hasil atas dasar basis per basis pajak mendistorsi insentif efisiensi
pemungutan pajak. Di Pakistan, bagi hasil pajak demi pajak atas
penerimaan dan penjualan telah menyembunyikan pajak perdagangan
darireformasi,sebabpajaktersebuttidakdibagidenganpropinsi.
5. Desentralisasi yang berhasil tidak dapat dicapai tanpa keberadaan
programtransferfiskalyangterancangbaik.
6. Lingkungan kelembagaan negara berkembang membutuhkan tingkatan
desentralisasi yang lebih besar daripada yang dibutuhkan negara industri.
Lingkungan sektor pemerintah yang lebih terbelakang lebih sesuai dengan
bentuk pemerintahan yang terdesentralisasi, sebab kebutuhan informasi
dan biaya transaksi dapat diminimalkan dengan cara menggeser
pengambilan keputusan lebih dekat ke masyarakat yang terpengaruh oleh
kebijakantersebut(BirddanVaillancourt,2000:204-209).
Penegasan tersebut menekankan pentingnya reformasi fiskal yang
secara sungguh-sungguh dipadukan (matching) dengan pelembagaan
demokrasi lokal. Pelembagaan demokrasi lokal ini, sudah saatnya
memperoleh perhatian serius. Sebab ada kecenderungan umum,
desentralisasi seringkali gagal mencapai tujuan yang diharapkan, karena
15)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
34. transfer kekuasaan yang dilakukan tidak mampu mengubah distribusi
kekuasaan yang mengarah pada terwujudnya kesamaan derajat antara
komponenpemerintahdannon-pemerintah.
Seperti ditegaskan Bailey (1999): “Desentralisasi merupakan sesuatu
yang sangat diperlukan (necessary) tetapi bukan kondisi yang mencukupi
(unsufficient) untuk mempromosikan kepentingan publik, baik melalui
peningkatan untuk dapat melakukan pilihan publik maupun penguatan suara
publik. Desentralisasi hanya menciptakan kesempatan (opportunity) untuk
meningkatkan responsivitas dalam pemberian pelayanan publik, tetapi tidak
mestimenjaminnya.Hasilnyatadaridesentralisasiakanlebihtergantungpada
distribusi kekuasaan (distribution of power) di antara berbagai kelompok yang
adadidalamdandisekitarinstitusipemerintahanlokal(Bailey,1999:77).
Pada bagian selanjutnya, Bailey (1999) menyatakan bahwa:
“Desentralisasi umumnya hanya memperluas bentuk-bentuk tradisional
demokrasi perwakilan (representative democracy), daripada demokrasi
partisipatoris (participatory democracy) pada tingkat lokal. Manajemen
desentralisasi lebih banyak terjadi di dalam lingkungan departemen daripada
melintasi antar departemen. Desentralisasi lebih berkaitan dengan masalah
access daripada decision-making. Desentralisasi lebih terkait dengan
pembuatan keputusan di dalam struktur lembaga pemerintah daripada
penyebaran kekuasaan (devolution of power) kepada komunitas di suatu
wilayah. Dan ini terjadi karena desentralisasi tidak secara fundamental
mengubahtatanankekuasaanpolitikdanmanajemen”(Bailey,1999:77-79).
Undang-undang32Tahun2004tentangPemerintahanDaerah,secara
formal mendasarkan diri pada prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat.
Namun secara substansial, transfer kekuasaan yang terjadi masih terbatas
pada lingkungan internal pemerintahan daerah. Terutama pada eksekutif dan
legislatif daerah. Sehingga proses politik pemerintahan daerah, cenderung
lebih menekankan pada mekanisme demokrasi perwakilan daripada
demokrasi partisipatoris. Sementara itu, tidak ada satu pun pasal yang
mengatur hak-hak penduduk, baik itu hak-hak untuk memperoleh pelayanan,
hak pengawasan terhadap eksekutif maupun legislatif daerah, baik secara
individu maupun institusi (Hardjosoekarto, 2002:12). Kontruksi kekuasaan
yang tidak seimbang ini, menjadi faktor krusial yang menyebabkan proses
(16
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
35. penentuan kebijakan publik, dimonopoli dan didominasi kepentingan
eksekutif dan legislatif daerah. Termasuk dalam kebijakan pendapatan dan
belanjadaerah.
C. KebijakanDesentralisasiFiskaldiIndonesia
Dalam rangka menciptakan suatu sistem perimbangan keuangan
yang proporsional, demokratis, adil, dan transparan berdasarkan atas
pembagian kewenangan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, maka telah diundangkan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah yang merupakan penyempurnaan dari Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
PemerintahPusatdanDaerah.
Penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang kemudian dijabarkan
lebih lanjut dengan PP No 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, antara
lain penegasan prinsip-prinsip dasar perimbangan keuangan Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah sesuai asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan, penambahan jenis Dana Bagi Hasil dari sektor Pertambangan
Panas Bumi, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri dan PPh Pasal 21, pengelompokan Dana Reboisasi yang semula
termasuk dalam komponen Dana Alokasi Khusus menjadi Dana Bagi Hasil,
penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Umum, dan
penyempurnaanprinsippengalokasianDanaAlokasiKhusus.
Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Pemerintahan
Daerah. Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil dari penerimaan
pajak dan SDA, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus merupakan
sumber pendanaan bagi daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, yang
alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain mengingat tujuan
masing-masingjenispenerimaantersebutsalingmengisidanmelengkapi.
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari APBN yang
dibagihasilkankepadaDaerahberdasarkanangkapersentasetertentudengan
memperhatikanpotensidaerahpenghasil.
17)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
36. Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan
kebutuhan belanja pegawai,kebutuhan fiskal,dan potensi daerah. Kebutuhan
daerah dicerminkan dari luas daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk,
tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dan tingkat
pendapatan masyarakat di daerah. Sedangkan kapasitas fiskal dicerminkan
dariPendapatanAsliDaerah,DanaBagiHasilPajak,danSumberDayaAlam.
Dana Alokasi Khusus dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus
yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan
fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang
tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan
prasaranapelayanandasarmasyarakat.
Melalui penyempurnaan prinsip-prinsip, mekanisme, dan
penambahan persentase beberapa komponen dana perimbangan diharapkan
daerah dapat meningkatkan fungsi pemerintahan daerah sebagai ujung
tombakdalammemberikanpelayanankepadamasyarakat
Lebih lengkap tentang pola hubungan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah sesuai dengan UU No 32 dan 33 Tahun 2004 dapat
dilihatpadaGambar2.1dibawahini.
Gambar. 2.1
Pola Hubungan Keuangan Pusat Daerah (sesuai UU 33/2004 dan UU 32/2004)
(18
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
37. BAB III
TINJAUAN PELAKSANAAN DESENTRALISASI
FISKAL DI INDONESIA
A. TinjauanSejarah
Para pemerhati otonomi daerah di Indonesia mencatat sejarah
panjang desentralisasi di Indonesia. Pada tahun 1903 Pemerintah Kolonial
Belanda mengeluarkan Desentralisatie wet yang merupakan dasar hukum
pertama berkaitan dengan desentralisasi di Indonesia. Pemberian
kewenangan yang semakin besar kepada pejabat-pejabat Belanda yang
bekerja di Indonesia, dilakukan tahun 1922 dan kemudian diteruskan oleh
TentaraPendudukanJepangpadasaatPerangDuniaII.
Segera setelah kemerdekaan, Pemerintah RI mengeluarkan UU No.1
Tahun 1945 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasar UU ini Kepala daerah
menjalankan dua fungsi yaitu sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai
Wakil Pemerintah Pusat. Karena itu kendatipun kehendak desentralisasi
cukup nyata, pelaksanaan dekonsentrasi sangat dominan. Dalam
perkembangannya, UU No.1 Tahun 1945 diganti dengan UU No. 22 Tahun
1948 yang lebih menekankan praktek demokrasi parlementer sesuai dengan
sistem pemerintahan saat itu. Secara keseluruhan bahwa berdasarkan UU No.
22 tahun 1948, kontrol pemerintah pusat kepada daerah masih sangat kuat.
Berdasarkan UU ini terdapat 15 jenis urusan pemerintahan yang benar-benar
diserahkan.
Dibawah UU No. 1 Tahun 1957 Kepala Daerah sama sekali tidak
bertanggung jawab kepada Pemenntahan Pusat Karena itu terjadi dualisme
kepemimpinan. Ada kepala daerah di satu sisi, dan ada pejabat pusat yang
ditempatkan di daerah. Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1957 tidak berjalan
lancar, bahkan mendapat tantangan kuat dari berbagai pihak termasuk
Angkatan Darat. Itulah sebabnya maka pada tahun 1959, Presiden RI
mengeluarkan Penetapan Presiden No. 6/1959 Tentang Pemerintahan
19)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
38. Daerah. Berdasarkan Penpres 6 tahun 1959 ini penekanan desentralisasi
beralihkepadakontrolpemerintahanpusatyangkuatterhadappemerintahan
daerah.
SekalilagiarusbalikterjadidengandikeluarkannyaUU18tahun1965.
Keadaan politik waktu itu menunjukkan bahwa partai-partai mendapatkan
kembali kekuasaan setelah masa sulit pada tahun 1950-an. Berdasarkan UU
18 Tahun 1965, para eksekutif daerah diperbolehkan menjadi anggota partai.
Berdasarkan ketentuan ini tumbuh loyalitas ganda Kepala Daerah yang tidak
sajakepadaPemerintahPusattetapijugakepadapartai.
Pendulum bergeser lagi secara signifikan dengan dikeluarkan UU No.
5Tahun1974.DenganUUinikontrolPusatsangatkuat.Daerahtidaklebihdari
perpanjangan tangan untuk mensukseskan program-program pemerintah
pusat. Harus diakui bahwa system ini telah menciptakan stabilitas di berbagai
daerah termasuk situasi yang kondusif bagi investor asing. Tetapi juga
disinyalir bahwa stabilitas yang terjaga selama 30 tahun telah menciptakan
ketergantungan daerah kepada pusat dalam hampir seluruh segi otonomi
daerah seperti kewenangan, keuangan, kelembagaan, personil, perwakilan
dan tentu saja pelayanan. Dapat diduga juga bahwa rendahnya kreatifitas dan
prakarsadaerahjugadisumbangolehsistemsepertiini.
Sementara itu, dibidang Perimbangan Keuangan sejak tahun 1956
telah dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1956. Tetapi UU ini tidak dapat
diberlakukan dengan baik oleh karena beberapa sebab, selain sebab-sebab
teknikaljugasebab-sebabpolitikal.
B. Hubungan Antara Penyelenggaraan Urusan Pemerintah dan
Pendanaan
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi, kabupaten dan Kota diatur dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah, sementara itu hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan
secaraadildanselaras.Pengaturanlebihlanjutmengenaihal-halpentingyang
berkaitan dengan hubungan wewenang dan penyelenggaraan urusan
(20
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
39. pemerintah tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang kemudian secara
lebih rinci dituangkan dalam PP No. 38 Tahun 2007, sedangkan yang berkaitan
dengan hubungan keuangan tertuang di dalam UU No. 33 Tahun 2004 yang
dijabarkan lebih lanjut dengan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan.
Urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
meliputi 6 urusan pemerintah yang bersifat mutlak/absolut (politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan
agama) dan urusan pemerintah di luar 6 urusan yang bersifat mutlak/absolut.
Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dimaksud, pemerintahan
dapat menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan,
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat
pemerintah/wakil pemerintah di daerah, atau menugaskan sebagian urusan
kepadapemerintahandaerahdan/ataupemerintahandesa.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria
ekternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Kriteria eksternalitas adalah
pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
mempertimbangkan siapa yang kena dampak dalam penyelenggaraan
urusan, maka merekalah yang berwenang untuk mengurus. Kriteria
akuntabilitas dalam hal ini adalah suatu pendekatan yang
mempertimbangkan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani urusan
adalah tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan dampak/akibat dari
urusan yang ditangani. Adapun kriteria efisiensi adalah suatu pendekatan
yang mempertimbangkan tersedianya sumber daya guna mendukung
terselenggaranyapembagianurusanpemerintahan.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
yang diselenggarakan berdasarkan kriteria diatas meliputi urusan wajib dan
urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan daerah yang berkaitan dengan
pelayanan dasar, sedangkan urusan pilihan adalah urusan daerah yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan,
dan potensi unggulan daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut
diatas ditempuh melalui mekanisme penyerahan dan/atau pengakuan atas
usulan daerah atas bagian urusan-urusan yang akan diatur dan diurusnya.
Berdasarkan usulan tersebut, Pemerintah melakukan verifikasi terlebih
21)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
40. dahulu sebelum memberikan pengakuan dan legalitas atas bagian urusan
yangakandilaksanakanolehdaerah.
Implementasi kebijakan otonomi daerah dilakukan melalui strategi
yang bersifat generik maupun bersifat khusus. Strategi kebijakan otonomi
yang bersifat generik mencakup berbagai aspek kebijakan, antara lain
penataan urusan pemerintahan, kelembagaan pemerintahan daerah,
penguatan pelayanan umum, kepegawaian, pembinaan dan pengawasan,
serta penataan pengelolaan keuangan daerah. Adapun strategi kebijakan
otonomi yang bersifat khusus antara lain penataan daerah otonom dan
wilayah perbatasan, penataan otonomi khusus di Provinsi Papua dan NAD,
serta pemberdayaan masyarakat dan desa. Khusus yang berkaitan dengan
penataan urusan pemerintahan dimaksudkan untuk memperjelas sekaligus
memproporsionalkan kewenangan, masing-masing tingkatan pemerintahan
agar nantinya prinsip structure follows function dan money follows function
dapat direalisasikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Konsep proporsionalitas dapat dicapai apabila di dalam masing-
masing tingkat pemerintahan terdapat adanya kejelasan tugas, fungsi, dan
tanggung jawab tentang siapa melakukan apa. Pertimbangan inilah yang
mendasaripentingnyapengaturandanpenegasankembalipembagianurusan
pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai
pengganti PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
KewenanganProvinsisebagaiDaerahOtonom.
Pengaturan pembagian urusan dimaksud tentunya akan memberikan
konsekuensi terhadap pola, sistem, dan mekanisme pendanaan, karena
pendanaan suatu urusan pemerintahan hanya dapat dilakukan apabila tugas
dan fungsi pada masing-masing tingkat pemerintahan sudah ditentukan
terlebihdahulumengenaibatasdanlingkupkewenangannya,satudanlainhal
agar dikemudian hari tidak terjadi tumpang tindih (overlapping) dalam
pengalokasian sumber-sumber pendanaan terhadap satu objek yang sama.
Dengan kata lain, kurang jelasnya pembagian urusan pemerintahan antara
pusat dan daerah dapat menimbulkan masalah kesimpangsiuran,
ketidakpastian, dan fragmentasi pendanaan, dimana satu fungsi tertentu
didanai dari beberapa sumber (misalnya kegiatan fisik tertentu yang menjadi
urusan daerah didanai dari dan atas beban APBN melalui Dokumen Isian
(22
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
41. Pelaksanaan Anggaran Kementerian dan Lembaga (DIPA-K/L), dan kegiatan
fisik tertentu yang menjadi urusan pusat didanai dari dan atas beban APBD
melalui Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah DPA-
SKPD). Sejalan dengan penataan dan pembagian urusan pemerintahan,
pengaturan sistem dan mekanisme pendanaan dilakukan berdasarkan asas
Desentralisasi,Dekonsentrasi,danTugasPembantuan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 155 UU Nomor 32 Tahun 2004
secara umum menggariskan perlunya pemisahan sumber-sumber pendanaan
dalam rangka penyelenggar.aan urusan pemerintahan. Penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas
beban APBD, sedangkan yang menjadi kewenangan pemerintah di daerah
didanai dari dan atas beban APBN. Secara lebih spesifik, pola pendanaan
urusan pemerintahan yang menganut prinsip money follows function juga
dipertegasdidalamPasal4UUNomor33Tahun2004,yaitu:
(1) Penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasididanaiAPBD;
(2) Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh
perangkat daerah provinsi dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi
didanaiAPBN;
(3) Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh
perangkatdaerahdalamtugaspembantuandidanaiAPBN;
(4) Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi
dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diikuti dengan pemberian
dana.
Pemberian dana dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan/ atau
tugas pembantuan dimaksud merupakan wujud penerapan prinsip money
follows function. Sementara itu, pemisahan sumber-sumber pendanaan dari
APBN dan APBD dimaksudkan agar penerapan prinsip money follows function
dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini memberikan indikasi
bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah hanya
menggunakan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan,
baik dalam konteks manajemen pemerintahan maupun manajemen
23)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
42. keuangan. Pendanaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan melalui
asas Dekonsetrasi/Tugas Pembantuan dapat dialokasikan pendanaan dari
bagian anggaran kementerian/lembaga dalam bentuk dana
dekonsentrasi/tugas pembantuan, sedangkan penyelenggaraan urusan
pemerintahan melalui asas Desentralisasi harus dialokasikan pendanaannya
dalam APBN dalam bentuk belanja transfer untuk daerah. Selain terdapat
pemisahan dalam pengalokasian sumber-sumber pendanaan, juga terdapat
pemisahandalampenatausahaandanpertanggungjawaban.
Administrasi pendanaan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dilakukan secara terpisah
dari administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Penerapan manajemen
pemerintahandanpendanaantersebutakantetapberlangsungselamadalam
penyelenggaraan pemerintahan masih digunakan asas Desentralisasi,
Dekonsentrasi,danTugasPembantuan
Demikianpulaeksistensipengalokasiandanadekonsentrasidandana
tugas pembantuan dapat dilakukan selama pihak kementerian/lembaga
masih ingin menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya di daerah, disamping melaluipenyerahan wewenang/urusan
kepada pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Hal
ini berarti bahwa dalam rangka pengalokasian dana dekonsentrasi/tugas
pembantuanyang merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga
tercermin adanya hubungan antara pembagian urusan pemerintahan dan
aspek-aspekpendanaannya.
C. ReformasiPerencanaandanPengelolaanKeuanganDaerah
1. ReformasiPerencanaandanPenganggaran
Indonesia telah melalui sejarah yang panjang dalam penerapan
berbagai sistem perencanaan dan penganggaran. Pada masa orde lama
ditetapkanRencanaPembangunanSemestaBerencanaDelapanTahun (1959-
1967) sebagai pedoman perencanaan pembangunan nasional. Pada masa
orde baru, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditetapkan sebagai
landasan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), dan untuk
selanjutnyadijabarkansetiaptahundalamAPBN.
(24
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
43. Dalam kurun waktu tahun 1999-2004, GBHN tidak lagi diikuti dengan
penyusunan Pelita, namun dituangkan lebih lanjut dalam Program
Pembangunan Nasional (Propenas). Selanjutnya Propenas dijabarkan dalam
Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang menjadi salah satu dasar
penyusunanAPBNsetiaptahun.
Pada kurun waktu 2004 hingga saat ini, Indonesia memasuki babak
baru dalam sistem perencanaan dan penganggaran nasional. Perubahan
tersebut ditandai dengan lahirnya Paket UU di bidang keuangan negara yang
mengatur tentang sistem perencanaan dan penganggaran serta
pertanggungjawabannya, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU
Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab
Keuangan Negara. Selain itu juga diterbitkan UU Nomor 25 Tahun 2004
tentangSistemPerencanaanPembangunanNasional.
UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN) yang menandai reformasi sistem perencanaan
pembangunan nasional, lahir sebagai konsekuensi dari amandemen UUD
1945, yang telah mengamanatkan perubahan dalam pengelolaan
pembangunan.Adapunamanatperubahandalampengelolaanpembangunan
tersebutmeliputi:
(i) PenguatankedudukanlembagalegislatifdalampenyusunanAPBN,
(ii) Ditiadakannya GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana
pembangunannasional,dan
(iii)Diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam
kerangkaNKRI.
Di dalam UU SPPN tercakup landasan hukum di bidang perencanaan
pembangunan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
SPPN dalam UU ini adalah satu kesatuan tata cara perencanaanpembangunan
untuk menghasilkan rencana pernbangunan dalam jangka panjang, jangka
menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara
pemerintahandipusatdandaerahdenganmelibatkanmasyarakat.
Untuk menghindari kemungkinan kegagalan perencanaan.
pembangunan yang diakibatkan oleh pola perencanaan yang terpusat (top-
25)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
44. down), sistem perencanaan pembangunan nasional menggunakan berbagai
pendekatanyangberbeda,yangdigunakansecarabersama-sama,yaitu:
a. Politik, yang memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala Daerah
adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat menentukan pilihannya
berdasarkan program pembangunan yang ditawarkan presiden/kepala
daerah;
b. Teknokratik, perencanaan dilaksanakan dengan menggunakan metode
dan kerangka berfikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja (satker) yang
secarafungsionalbertugasuntukitu;
c. Partisipatif,perencanaan dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak
yangberkepentingan(stakeholder);
d. Atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom-up), perencanaan hasil
prosesatas-bawahdanbawah-atasdiselaraskanmelaluimusyawarahyang
dilaksanakan, baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan,dandesa.
Dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 diperkenalkan dokumen
perencanaan yang lengkap, dari pusat sampai daerah, dari
Kementerian/Lembaga sampai satuan kerja, dari jangka panjang, menengah
sampai jangka pendek. Secara garis besar, jenis-jenis dokumen perencanaan
dalamSPPNadalahberupa:
a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), sebagai dokumen
perencanaanuntukperiode20tahun;
b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), sebagai dokumen
perencanaanuntukperiode5tahun;
c. RPJM Kementerian/Lembaga (Rencana Strategis/Renstra K/L), sebagai
dokumenperencanaanK/Luntukperiode5tahun;
d. RPJM Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD), sebagai dokumen
perencanaanSKPDuntukperiode5tahun;
e. Rencana Pembangunan Tahunan (RPT) Nasional, atau yang disebut
Rencana Kerja Pemerintah (RKP), sebagai dokumen perencanaan nasional
untukperiode1tahun,
f. RPT Daerah, yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD),merupakandokumenperencanaandaerahuntukperiode1tahun,
g. RPT K/L (Renja K/L), yang disebut dengan Rencana Kerja/Renja K/L,
merupakandokumenperencanaanK/Luntukperiode1tahun,
(26
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
45. h. RPT SKPD (Renja SKPD), sebagai dokumen perencanaan SKPD untuk
periode1tahun.
2. ReformasiPengelolaanKeuanganDaerah
Reformasi pengelolaan keuangan daerah tidak saja terfokus pada
kreatifitas daerah pada peningkatan pendapatan, namun juga pembenahan
peraturan perundangan di bidang pengelolaan keuangan daerah. Cakupan
dasar dari reformasi keuangan daerah meliputi beberapa dimensi perubahan,
yaitu:
a. Perubahankewenangandaerahdalammemanfaatkandanaperimbangan.
b. Perubahanprinsippengelolaankeuangandaerah
c. Perubahanprinsippenggunaandanapinjaman
d. Perubahanstrategipembiayaan
Pengelolaankeuangandaerahyangterdiridarikegiatanperencanaan,
pelaksanaan, pelaporan, evaluasi, dan pertanggungjawaban memerlukan
instrumen yang rigid dan terintegrasi. Ketidakharmonisan pengelolaan
keuangan daerah yang selama ini muncul, baik antar pemerintah daerah
dengan pemerintah pusat, antar eksekutif dengan legislatif daerah, ataupun
antara pemda-legislatif dengan masyarakat, lebih banyak disebabkan karena
tidak tersedianya instrumen pengelolaan keuangan daerah yang menyeluruh
danterintegrasi.
Pada tahap perencanaan keuangan daerah, instrumen yang minimal
harus tersedia adalah Peraturan Daerah (Perda) pokok-pokok pengelolaan
keuangan daerah dan dokumen perencana seperti renstra, properda, dan
dokumen lain yang merupakan hasil penjaringan aspirasi masyarakat. Pada
tahap pelaporan, maka diperlukan laporan keuangan daerah yang lengkap
yang disertai berbagai lampiran pendukung. Sedangkan pada tahap
pertanggungjawaban serta evaluasi atas pengelolaan keuangan daerah,
diperlukan kegiatan audit internal oleh Bawasda, dan kontrol DPRD. Selain itu,
dilakukan pula audit eksternal oleh BPK, serta kontrol sosial dari masyarakat.
Agar orientasi pengelolaan keuangan daerah yang transparansi dan akuntabel
tercapai, maka diperlukan instrumen pelaksanaan pengelolaan yang lengkap
27)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
46. dan memadai. Instrumen pada tingkat pelaksanaan tersebut antara lain
manual sistem akuntansi keuangan daerah (SAKD), tersedianya indikator
kinerja keuangan dan operasional, serta adanya mekanisme dan proses
pengawasan dan monitoring, baik oleh DPRD, Bawasda, BPK, maupun
masyarakat.
Proses transformasi kelembagaan dan manajemen sektor publik
sebagai konsekuensi dari implementasi otonomi daerah dalam rangka
mewujudkan tata kelola keuangan daerah yang baik masih diperlukan
perubahan dan reformasi lanjutan. Reformasi lanjutan dalam pengelolaan
keuangan daerah, antara lain reformasi sistem pembiayaan, reformasi sistem
penganggaran, reformasi sistem akuntansi, dan reformasi sistem
pemeriksaan. Rangkaian reformasi kelembagaan, instrumen, dan sistem
dalam pengelolaan keuangan daerah tidak lepas dari orientasi dasar dari
perubahan tersebut. Pada hakekatnya, orientasi reformasi pengelolaan
keuangan dimaksudkan agar pengelolaan uang rakyat dilakukan secara
transparan, baik dalam tahap penyusunan, penggunaan, dan
pertanggungjawaban dengan mendasarkan pada konsep tata kelola yang
baik.
Dalam proses reformasi pengelolaan keuangan daerah telah bergulir
beberapa perangkat perundang-undangan yang terkait.Perangkat tersebut
dimulai dengan diterbitkannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25
Tahun 1999 yang telah direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU
Nomor 33 Tahun 2004. Sedangkan peraturan pelaksanaan tentang
pengelolaan keuangan daerah juga mengalami perubahan dari PP Nomor 105
Tahun 2005 menjadi PP Nomor 58 Tahun 2005 yang diikuti juga dengan
perubahan peraturan teknis yang pada awalnya didasarkan pada
Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 telah direvisi menjadi Permendagri
Nomor13Tahun2006tentangpedomanPengelolaanKeuanganDaerah.
3. SumberPembiayaanPembangunanDaerah
Sesuai dengan UU No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah disebutkan bahwa
Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Adapun
(28
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
47. sumber pendapatan pemerintah daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD),DanaPerimbangandansumberpendapatanlainyangsah.
a. PendapatanAsliDaerah(PAD)
Sumber pendapatan utama yang sering kali menjadi parameter
untuk menentukan derajat otonomi fiskal yang dimiliki oleh suatu daerah
adalah pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah, yaitu pendapatan
yang diterima yang berasal dari sumber-sumber yang dikelola oleh
pemerintah daerah itu sendiri (local source). Yang termasuk ke dalam
kategori pendapatan ini adalah pajak daerah (local tax, sub national tax),
retribusi daerah (local retribution, fees, local licence) dan hasil-hasil badan
usaha (local owned enterprises) yang dimiliki oleh daerah. Ketiga jenis
pendapatan ini merupakan pendapatan yang digali dan ditangani sendiri
oleh pemerintah daerah dari sumber-sumber pendapatan yang terdapat
dalamwilayahyurisdiksinya.
Pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal antara lain dilakukan
melalui penyerahan sumber-sumber pendapatan kepada daerah dalam
bentuk pajak dan retribusi daerah. Penyerahan kewenangan untuk
memungut pajak dan retribusi daerah tersebut diatur dengan UU Nomor
34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan ketentuan
yang lebih teknis diatur dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak
DaerahdanPPNomor66Tahun2001tentangRetribusiDaerah.
UU tersebut menetapkan bahwa daerah dapat memungut 11 jenis
pajak yang terdiri dari 4 pajak provinsi dan 7 pajak kabupaten/kota. Pajak
provinsi terdiri dari Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air,
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Sementara itu, pajak
kabupaten/kota terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C dan Pajak Parkir. Provinsi tidak dapat memungut pajak lain
selain yang ditetapkan dalam undang-undang sedangkan Kabupatan/Kota
dapat memungut pajak lain, selain yang ditetapkan undang-undang tetapi
harusmemenuhikriteriatertentuyangditetapkanundang-undang.
29)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
48. Objek Retribusi Daerah terdiri dari Jasa Umum, Jasa Usaha dan
Perizinan Tertentu dan sesuai dengan objeknya, retribusi daerah
dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu Reribusi Jasa Umum Retribusi
JasaUsaha,danRetribusiPerizinanTertentu.Dariketigagolonganretribusi
tersebut PP Nomor 66 Tahun 2001 menetapkan 28 jenis retribusi yang
dapat dipungut oleh daerah. Namun demikian daerah dapat memungut
jenis retribusi lain asalkan memenuhi kriteria tertentu dan sesuai dengan
kewenanganotonominya.
Kedua jenis pendapatan asli daerah (PAD) tersebut (pajak dari
retribusi daerah) memberikan kontribusi yang sangat dominan dibanding
dengan jenis PAD yang lain. Pada umumnya, pendapatan dari pajak untuk
provinsi lebih besar dibanding pendapatan dari retribusi. Demikian juga
untuk sebagian besar di daerah kota, pendapatan pajak lebih besar
dibanding retribusi, tetapi untuk daerah kabupaten pada umumnya
pendapatan retribusi lebih besar dibanding pajak. Walaupun kedua jenis
pendapatandaerahtersebutjumlahnyacukupbanyaktetapikontribusinya
terhadap APBD tidak cukup signifikan. Dalam profile keuangan daerah
tahun 2007 memperlihatkan besaran pendapatan asli daerah provinsi
berasal dari pajak daerah sebesar Rp. 28,37 triliun atau 38,54% dari total
pendapatan, sedangkan retribusi daerah sebesar Rp. 1,85 triliun atau
2,51%daritotalpendapatan.(Depkeu:2007).
Relatif kecilnya peranan pajak dan retribusi daerah terhadap APBD
serta ada keleluasaan daerah khususnya Kota/Kabupaten untuk
memungut jenis pajak dan retribusi lain, selain yang ditetapkan dalam
peraturan perundangan telah menimbulkan permasalahan dalam
pelaksanaannya. Beberapa daerah telah memanfaatkan peluang untuk
meningkatkan pajak dan retribusisesuai ketentuan yang ada tetapi banyak
daerah telah memungut pajak dan retribusi dengan tidak memenuhi
kriteria yang ditetapkan dan bertentangan dengan kepentingan umum.
Pungutan daerah lebih banyak hanya berorientasi kepada peningkatan
PAD semata-mata dan belum melihatnya dari aspek yang lebih luas seperti
penciptaan iklim yang kondusif bagi investasi di daerah. Dari pelaksanaan
UU tentang Pajak Daerah dan RetribusiDaerah tersebut, banyak peraturan
daerah tentang pajak dan retribusi daerah yang bermasalah sehingga
(30
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
49. harus direvisi ataupun dibatalkan oleh Pemerintah Pusat karena tidak
sesuai dengan peraturan perudangan atau bertentangan dengan
kepentingan umum. Banyak pungutan daerah yang mengakibatkan
ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan Pusat atau
merintangiarusbarangdanjasaantardaerah.
Pada dasarnya penciptaan pungutan berbagai daerah yang tidak
sesuai dengan peraturan perundangan dan kepentingan umum dapat
diatasi oleh Pemerintah Pusat melalui pengawasan preventif, yaitu dengan
mengevaluasi Perda tentang pajak dan retribusi dan ini didukung dengan
adanya kewajiban daerah untuk menyampaikan perda pajak. dan retribusi
dalam jangka waktu 15 hari sejak ditetapkan. Undang-undang
memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk membatalkan
peraturan, daerah yang bertentangan dengan UU dan kepentingan umum.
Namun dalam kenyataannya, pengawasan tidak dapat berjalan efektif
karena banyak daerah yang tidak menyampaikan Perda kepada
Pemerintah dan beberapa Perda tetap dilaksanakan walaupun telah
dibatalkan.
b. PinjamanDaerah
UU Nomor 33 Tahun 2004 menetapkan bahwa Pinjaman Daerah
merupakan salah satu sumber Penerimaan Daerah dalam rangka
desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam APBD. Sesuai PP Nomor 54
Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, berdasarkan jangka waktunya
pinjaman daerah dibagi menjadi 3 yaitu: Pinjaman jangka pendek,
Pinjaman jangka menengah, dan Pinjaman jangka panjang. Pinjaman
jangka pendek hanya dipergunakan untuk menutup kekurangan arus kas
pada tahun anggaran yang bersangkutan. Pinjaman jangka menengah
dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan umum yang tidak
menghasilkan penerimaan, sedangkan pinjaman jangka panjang
dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan
penerimaan.
Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa Batas maksimal
kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak melebihi 60
persen dari Produk Domestik Bruto tahun yang bersangkutan. Selanjutnya
31)
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
50. Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif Pinjaman
Daerah secara keseluruhan paling lambat bulan Agustus untuk tahun
anggaran berikutnya dengan memperhatikan, keadaan dan prakiraan
perkembanganperekonomiannasional.
Dalam melakukan pinjaman, Pemerintah Daerah wajib memenuhi
beberapapersyaratansebagaiberikut:
mPersyaratanUmumPinjamanJangkaPendek:
lKegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman jangka pendek telah
dianggarkandalamAPBD.
lKegiatan yang akan didanai pinjaman jangka pendek ini merupakan
kegiatanyangbersifatmendesakdantidakdapatditunda.
lSyaratlainnyaditentukanolehcalonpemberipinjaman.
mPersyaratanUmumPinjamanJangkaMenengahatauJangkaPanjang:
lJumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan
ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD
tahunsebelumnya.
lRasioproyeksikemampuankeuangandaerahuntukmengembalikan
pinjaman(Debt ServiceCoverageRatio/DSCR)palingsedikit2,5.
lMendapatkanpersetujuanDPRD.
Untuk menghitung Rasio proyeksi kemampuan keuangan daerah
untukmengembalikanpinjaman,digunakanrumussebagaiberikut:
(PAD+(DBH-DBHDR)+DAU) - Belanja Wajib .
Angsuran Pokok Pinjaman+Bunga+Biaya Lain
DSCR =DebtServiceCoverageRatio
PAD =PendapatanAsliDaerah
DAU =DanaAlokasiUmum
DBH =DanaBagiHasil
DBHDR =DanaBagiHasilDanaReboisasi
Berdasarkan KMK Nomor 35/KMK.07/2003 tentang Perencanaan,
Pelaksanaan/ Penatausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar
Negeri Pemerintah Kepada Daerah, proyek daerah yang didanai dari
>2.5DSCR =
(32
KAJIAN EVALUASI DAMPAK PERIMBANGAN KEUANGAN TERHADAP KAPASITAS
KINERJA OTONOMI DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN