Ninil Jannah Lingkar Association: Disaster Risk Mitigation and Prevention for...
Ninil jannah lingkar association bagaimana hfa di praktekan di tingkat masyarakat
1. Bagaimana HFA dipraktekkan di
Tingkat Masyarakat?
Pengalaman Komunitas Praktisi PRBBK di Indonesia
Disampaikan Ninil Jannah
1
2. 5 Prioritas Aksi
1. Membuat pengurangan risiko bencana
sebagai prioritas.
2. Memperbaiki informasi risiko dan
peringatan dini.
3. Membangun budaya keamanan dan
ketahanan.
4. Mengurangi risiko pada sektor-sektor
utama.
5. Memperkuat kesiapan untuk bereaksi.
2
3. Komunitas
• Sekelompok orang yang berbagi satu atau
lebih hal yang sama
• Keprihatinan masalah yang sama, harapan,
dan mungkin pola prilaku yang sama
3
4. Hak Masyarakat
(Pasal 26 UU 24/2007)
• Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya
bagi kelompok masyarakat rentan bencana
• Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam
penyelenggaraan PB
• Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan
pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan
kesehatan termasuk dukungan psikososial dasar
• Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan
PB, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya
• Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur
atas pelaksanaan PB
4
5. Kewajiban Masyarakat
(Pasal 27 UU 24/2007)
• Menjaga kehidupan sosial masyarakat yang
harmonis, memelihara keseimbangan, keserasian,
keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup
• Melakukan kegiatan penanggulangan bencana
• Memberikan informasi yang benar kepada publik
tentang PB
5
7. PRBBK
• Pendekatan yang bersifat top-down dan
mengabaikan peran masyarakat di lokasi rawan
bencana dianggap tak lagi efektif
• community based disaster risk management
• Upaya pengelolaan risiko bencana yang melibatkan
secara aktif masyarakat yang berisiko dalam
mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, dan
mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi
kerentanannya dan meningkatkan kemampuannya
• Termasuk kemampuannya mengembangkan
kapasitas adaptif terhadap dampak buruk
perubahan iklim.
7
8. PRBBK
• memerlukan serangkaian proses termasuk melakukan
interpretasi sendiri atas ancaman dan risiko bencana yang
dihadapinya, melakukan prioritas penanganan/ pengurangan
risiko bencana yang dihadapinya, mengurangi serta memantau
dan mengevaluasi kinerjanya sendiri dalam upaya pengurangan
bencana.
• Sebagai pendekatan upaya pemberdayaan komunitas agar
dapat mengelola risiko bencana dengan tingkat keterlibatan
pihak atau kelompok masyarakat dalam perencanaan dan
pemanfaatan sumber daya lokal dalam kegiatan implementasi
oleh masyarakat sendiri.
• Pokoknya adalah penyelenggaraan yang seoptimal mungkin
memobilisasi sumber daya yang dimiliki komunitas dan yang
dikuasainya serta merupakan bagian integral dari kehidupan
keseharian komunitas.
8
9. Tahapan 1-2
1. Analisis situasi dan kondisi.
Prediksi kebutuhan untuk
penanggulangan bencana
agar terjadi kesesuaian antara
kebutuhan. Menyusun profil
masyarakat -memahami risiko
bencana melalui riset
partisipatif tentang: informasi
historis kebencanaan, ciri-ciri
geo-klimat, fisik, keruangan,
tatanan sosiopolitik dan
budaya, kegiatan ekonomik,
dan kelompok rentan.
2. Pemahaman konteks.
Memungkinkan masalah dapat
ditangani melalui intervensi
yang tepat. Kegiatan-kegiatan
untuk secara bersama- sama
menggeluti konteks risiko
bencana melalui pelatihan,
berbagi pengalaman dan
lainnya: manajemen bencana &
kedaruratan, penanganan
penderita gawat darurat,
pengamatan & pemantauan
bahaya, advokasi kebijakan,
ekonomi mikro dan lainnya
9
10. Tahapan 3-4
3. Pengkajian-risiko-partisipatif. Pengkajian
menyeluruh mengenai keterpaparan
komunitas terhadap bahaya, analisis
mengenai kerentanan mereka, serta kapasitas
mereka merupakan dasar dalam semua
aktivitas - proses partisipatif dalam
menentukan sifat, cakupan, dan besarnya
dampak negatif dari bahaya terhadap
komunitas dan rumah tangga di dalamnya.
Menentukan dampak negatif yang mungkin
atau cenderung terjadi (kerusakan dan
kerugian) pada aset penghidupan yang
berisiko. Meliputi: persepsi masyarakat atas
risiko, pemetaan (karakter) bahaya,
pemetaan kerentanan, pemetaan kapasitas
dalam menangani bahaya, pemetaan
kapasitas dalam menangani kerentanan,
identifikasi risiko, evaluasi dan penilaian
risiko, pemetaan potensi sumberdaya yang
tersedia dan mobilisasi sumberdaya, serta
analisis dan pelaporan bersama ke komunitas.
4. Perencanaan program dan formulasi rencana.
Tindakan perencanaan program dan
memformulasikan rencana dilakukan
berdasarkan hasil analisis risiko. Perencanaan
ini meliputi formulasi tujuan (meningkatkan
kapasitas & mengurangi kerentanan untuk
meningkatkan kemampuan mencegah,
memitigasi dan menyiapkan diri), manfaat dan
hasil (mengurangi risiko), merencanakan
kegiatan, mengidentifikasi dan mencari
dukungan finansial, memformulasikan rencana
kegiatan.
10
11. Tahapan 5-6
5. Pelaksanaan dan pemantauan
program. Menjalankan
kesepakatan perencanaan yang
telah diformulasikan yang
dianggap mampu mengurangi
risiko. Terdiri dari:
pengorganisasian pelaksana
kegiatan, memobilisasi
sumberdaya, melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang telah
direncanakan, melakukan
pemantauan kegiatan dan
menggunakan hasil
pemantauan untuk
memperbaiki rencana PRB
yang dilaksanakan.
6. Penilaian dan umpan balik.
Penilaian dan memberikan
umpan balik cenderung jarang
dilakukan. Menilai hasil
kegiatan yang disesuaikan
dengan hasil yang diharapkan
untuk mengurangi risiko
bencana diharapkan dapat
digunakan untuk sejak dini
mengetahui efektifitas usaha
yang telah dilakuakn. Untuk
selanjutnya menggunakan hasil
evaluasi untuk pemberdayaan
komunitas lain dalam
meningkatkan kemampuan.
11
12. Tahapan 7-8
7. Penyebarluasan dan
pengintegrasian.
Mendokumentasikan proses
pembelajaran dan penyebarluasan
praktik-praktik sukses ke
masyarakat dan wilayah lain
menjadi proses penting untuk
dapat mengurangi sebanyak
mungkin tumpang tindih tindakan
dalam PRB yang sama.
Penyebarluasan ini bukan hanya
dari sisi geografis, tetapi sekaligus
penyebarluasan secara sektoral
yang sekaligus juga mengupayakan
pengintegrasian usaha-usaha
peredaman risiko bencana pada
aspek pembangunan dan
perikehidupan lainnya dan untuk
pembudayaan usaha- usaha PRB.
8. Pelembagaan dan konsultasi.
Melengkapi kelembagaan
peredaman bencana yang
bertumpu pada kelompok siaga
bencana untuk menjaga
keberlanjutan, penyebarluasan dan
pengintegrasian. Dibangun
mekanisme konsultatif antara
(organisasi) masyarakat dengan
aktor lain, karena proses intervensi
peredaman risiko bencana yang
melibatkan pihak lain pada
umumnya bersifat ”sebagaian”
dari upaya pengurangan seluruh
risiko. Masyarakat secara mandiri
yang harus melanjutkan upaya-
upaya tersebut. Sebuah pemastian
bahwa upaya PRB tidak berhenti.
12
15. Menjadikan Pengurangan Risiko
Bencana sebagai prioritas
• Ikut serta dalam dialog berbagai pemangku
kepentingan (multi-stakeholder) untuk
mendirikan basis bagi pengurangan risiko
bencana
• Menciptakan atau memperkuat mekanisme
untuk koordinasi yang sistematis dalam
mengurangi risiko bencana
• Menilai dan Mengembangkan Basis
Kelembagaan bagi PRB
• Memprioritaskan Pengurangan Risiko Bencana
dan Mengalokasikan Sumber yang Tepat
15
16. Praktik Prioritas Aksi 1
• Kebijakan/Peraturan di Desa/Kel
tentang PB/PRB
• Rencana Penanggulangan Bencana,
Rencana Aksi Komunitas, dan/atau
Rencana kontingensi
• Forum PRB
• Kerjasama antar pelaku dan wilayah
• Dana tanggap darurat
• Dana untuk PRB
• Legalisasi Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB) dan Rencana Aksi
Komunitas (RAK) PRB dengan
Peraturan Desa
• Forum Pengurangan Risiko Bencana
(FPRB) dibentuk untuk
merencanakan, melaksanakan,
memantau dan memonitoring
kegiatan PRB/PB.
• Perdes RPJM Desa; Pemaduan PRB
dalam pembangunan adalah upaya
menjadikan PRB sebagai bagian yang
tak terpisahkan dalam perencanaan
pembangunan desa (RPJMDes), atau
memasukkan kegiatan PRB yang
beririsan dengan bidang-bidang
dengan dimasukkan ke dalam
bidang-bidang yang ada, atau berdiri
sendiri sebagai bidang kebencanaan
• Alokasi dana desa untuk PRB
• Swadaya tenaga, material, waktu
dalam pelaksanaan aksi
• Adanya dana siap pakai pada
keadaan darurat yang dikelola
melalui koperasi simpan pinjam.
16
17. Meningkatkan informasi risiko dan
peringatan dini.
• Membuat Inisiatif untuk Penilaian Risiko di
Seluruh Negeri
• Tinjauan terhadap ketersediaan informasi
terkait risiko dan kapasitas untuk pengumpulan
dan penggunaan data
• Penilaian kapasitas dan penguatan sistem
peringatan dini
• Mengembangkan mekanisme komunikasi dan
sosialisasi informasi risiko bencana dan
peringatan dini
17
18. Praktik Prioritas Aksi 2
• Peta dan kajian risiko
• Sistem peringatan dini
• Kajian Partisipatif untuk
menemukenali dan
menganalisis ancaman,
kerentanan, kapasitas, dan
risiko
• Kajian PRA dengan alat kajian
Alur Sejarah, Sketsa Desa,
Transek, Kalender Musim, dan
Diagram Kelembagaan
menggali permasalahan dan
potensi desa perencanaan
pembangunan desa yang
berkelanjutan yang
memadukan PRB.
• Profil risiko komunitas (menjadi
dasar penyusunan RPJM Desa,
Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB), rencana aksi
masyarakat (RAK), dan Rencana
Kontinjensi)
• Radio komunitas
• Pendirian posko pemantauan
ancaman banjir dan tanah
longsor
• Pengadaan alat peringatan dini;
ekstensometer
18
19. Membangun sebuah budaya
keselamatan dan ketangguhan
• Mengembangkan program penyadartahuan
untuk meningkatkan pengetahuan
mengenai pengurangan risiko bencana, dan
Memasukkan Pengurangan Risiko Bencana
ke Sekolah
• Mengembangkan pelatihan mengurangi
risiko bencana untuk sektor- sektor penting
• Meningkatkan kumpulan, penyebaran dan
penggunaan informasi pengurangan risiko
19
20. KAP Survey
DRR Action Research by Lingkar in 3 village of Bantul District (2008)
Recapitulation (%) Respondents answer on Cause of Disasters
Cause of Disaster Answer
1. Development that does not pay attention to the environmental impact. 14,2%
2. Fate Almighty God that cannot be avoided. 38,2%
3. Natural conditions that cause disasters (volcanoes, fault areas, etc..) 15%
4. Supernatural powers other than God Almighty. 1,5%
5. Failure of technology. 0,3%
6. Climate change (global warming). 3,7%
7. Other (more than one answer choice). 27,1%
20
21. Praktik Prioritas Aksi 3
• Pelatihan untuk
pemerintah desa
• Pelatihan untuk tim
relawan
• Pelatihan untuk warga
desa
• Pelibatan/partisipasi
warga desa
• Pelibatan Perempuan
dalam tim relawan
• Diseminasi
pengetahuan tentang
bangunan yang aman-
bencana dalam
keluarga
• Pelatihan pertanian
terpadu organik dan
Pembangunan kebun
bibit komunitas
21
23. Mengurangi Risiko di Sektor-Sektor Kunci
• Lingkungan: Memadukan pengurangan risiko bencana dalam tata
laksana lingkungan dan sumber daya alam
• Kebutuhan sosial: Mengembangkan mekanisme untuk meningkatkan
ketahanan bagi rakyat miskin dan paling rentan
• Perencanaan fisik. Membuat tindakan-tindakan untuk memadukan
pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan kota dan
penggunaan lahan.
• Struktur: Memperkuat mekanisme untuk meningkatkan keamanan
bangunan dan perlindungan fasilitas-fasilitas penting.
• Merangsang Aktivitas Pengurangan Risiko Bencana dalam sektor
pelayanan dan produksi
• Instrumen keuangan/ekonomi: Menciptakan peluang untuk
keterlibatan sektor swasta dalam pengurangan risiko bencana alam
• Pemulihan bencana: Mengembangkan proses perencanaan pemulihan
yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana
23
24. Praktik Prioritas Aksi 4
• Pelaksanaan mitigasi
struktural (fisik)
• Pola ketahanan ekonomi
untuk mengurangi
kerentanan masyarakat
• Perlindungan kesehatan
kepada kelompok rentan
• Pengelolaan sumber daya
alam (SDA) untuk PRB
• Perlindungan aset produktif
utama masyarakat
• Rehabilitasi lahan dengan
melakukan rehabilitasi lahan
(reboisasi, terasiring, dan
penanaman vegetasi penutup
lahan) terutama pada lahan-
lahan kritis untuk ancaman
longsor dan kekeringan
• Perbaikan dan pembuatan
sarana air bersih,
Penampungan Air Hujan
(PAH)
• Pelatihan pertanian terpadu
organik dan Pembangunan
kebun bibit komunitas
• Pengembangan usaha
produktif rumah tangga
24
25. Menguatkan kesiapsiagaan untuk respon
• Menilai mekanisme dan kapasitas kesiapan
bencana, dan mengembangkan pemahaman
umum dan aktivitas dalam mendukung
kesiapsiagaan bencana
• Penguatan perencanaan dan pemrograman
dalam kesiapan bencana
25
26. Praktik Prioritas Aksi 5
• Kebijakan/Peraturan di
Desa/Kel tentang PB/PRB
• Peta dan jalur evakuasi serta
tempat pengungsian
• Rencana kontingensi
• Kerjasama antar pelaku dan
wilayah
• Relawan Penanggulangan
Bencana
• FPRB sebagai pelaksana
kegiatan pasca bencana
(Tanggap Darurat dan
pemulihan)
• Radio komunitas
• Pendirian posko pemantauan
ancaman banjir dan tanah
longsor
• Pelaksanaan simulasi/gladi
teknis penanganan longsor
dan banjir
• Pelatihan SAR dan evakuasi
dan manajemen pengungsian
• Pengadaan alat tanggap
darurat; tenda, HT, alat dapur
umum, generator set,
peralatan P3K, peralatan
evakuasi.
26
27. Masyarakat Adat
• Undang-undang Desa telah memulihkan Otonomi Asli Desa Adat
berdasarkan hak asal-usul. Tetapi belum menjamin hak-hak kolektif lain
untuk menentukan nasib sendiri dan memilih model dan bentuk
Pembangunan.
• Pengelolaan risiko bencana berbasisi komunitas didalam komunitas
(masyarakat) hukum adat; perlu memastikan beberapa hal,
diantaranya: (1) Kejelasan dan kepastian wilayah kelola masyarakat
(Batas, tata ruang, lokasi-lokasi penting - menurut sejarah, fungsi
ekologis, budaya); (2) Kelembagaan (organisasi) masyarakat yang kuat
(Pengambilan keputusan adat, pelaksanaan keputusan/penegakan
hukum, penyelesaian sengketa); (3) Praktik-praktik kelola sumberdaya
alam yang berkelanjutan, (4) Kapasitas pelaksana/pengelola (sikap,
wawasan&ketrampilan) dan sosial (solidaritas, nilai-nilai pengikat); (5)
Kebijakan yang berpihak dan kelembagaan pemerintah untuk
pelayanan yang efektif (Undang-undang, peraturan daerah, dsb.)
27
28. ‘Desa Tanguh’
• BNPB dan BPBD di provinsi/kabupaten/kota - untuk
melindungi masyarakat yang tinggal di lokasi-lokasi rawan
bencana dari dampak bencana yang merugikan:
• Terkendala karena penerapan manajemen risiko bencana
belum dipayungi oleh bagaimana manajemen risiko
bencana di kota/kabupaten.
• Belum menyentuh aspek kerentanan komunitas
(misalnya tingginya tingkat kemiskinan). Walau telah
berhasil mendorong kerjasama diantara para
stakeholders dalam PRB, antara pemerintah
lokal/daerah, sektor swasta, universitas, organisasi non-
pemerintahan, dan kelompok-kelompok lainnya.
28
29. BP REDD - ‘Desa Hijau’
Desa dengan perikehidupan yang menyatu dengan alam, berbasis
SDA lokal dengan mata pencaharian yang berkelanjutan
(1) memanfaatkan sumberdaya lokal unggulan
(2) membangun kapasitas lokal untuk menciptakan mata-
pencaharian yang berkelanjutan
(3) menggali kearifan tradisional: gotong royong, menyatu
dengan alam, dll.,
(4) merehabilitasi hutan dan lahan gambut yang telah
terdegradasi, dan pertanian berkelanjutan yang tanpa
membakar lahan
(5) menjalin kemitraan dgn masyarakat adat dan LSM lokal, dan
(6) meningkatkan akses terhadap sarana produksi dan pasar
29
30. Jasa Ekosistem
• Strategi pengelolaan risiko bencana yang
mengacuhkan ekosistem. Biaya dan manfaat
ekosistem tidak dipertimbangkan dalam
kalkulasi untuk pengambilan kebijakan.
• Sementara pendekatan berbasis ekosistem
tidak dipertimbangkan sebagai pilihan bernilai
ekonomis, berkelanjutan dan berbiaya-efektif
dalam pelaksanaan kegiatan pengurangan
risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.
30
31. Manajemen Ekosistem
• Berbagai praktik-praktik PRBBK oleh telah
mengelola ekosistem menjadi lebih baik.
Pengurangan risiko bencana dan adaptasi
perubahan iklim bersama komunitas -
menggunakan strategi ‘manajemen ekosistem’
dan ‘restorasi ekosistem’. Termasuk mencegah
praktik-praktik ‘Mal-adaptasi’ pemerintah yang
berujung pada pembangunan yang tidak lestari
dan semakin meningkatkan risiko bencana
masyarakat.
31
32. Berbagai Inisiatif
• “sekolah lapang” pengurangan risiko bencana yang mengintegrasikan
adaptasi perubahan iklim. Kegiatan yang memungkinkan petani lokal
mengembangkan pengetahauan dan ketrampilannya beradaptasi
dengan dampak perubahan iklim berdasarkan pemahaman terhadap
masalah dan penyebab-penyebabnya. Proses learning by doing
memperbaiki kondisi ekologi tanah, mengelola ternak, dan
mengurangi gas metan secara bersamaan.
• Kelompok-kelompok ini juga mengembangkan dan memperkuat
praktek-praktek lumbung pangan tradisional di tingkat masyarakat
dan rumah tangga dalam rangka meningkatkan ketangguhan dan
mengurangi resiko bencana.
• Program PRBBK terkait adapasi perubahan iklim diantarnya: promosi
pertanian menetap dimusim tanam kedua, pertanian ramah
lingkungan, membuat lubang tanam sebagai penjebak Air hujan,
berbagi informasi terkait iklim dan kebencanaan.
32
33. Konvergensi PRB-API
• menghasilkan berbagai insiatif lokal dari pilihan
adaptasi perubahan iklim
• memunculkan model-model adaptasi
perubahan iklim yang berpusat pada kelompok
rentan
• menghasilkan berbagai praktik baik
pengarusutamaan PRB dan API yang bisa
diterapkan di berbagai wilayah (lain)
• memasukan PRB dan API ke dalam kurikulum di
sekolah dan meningkatkan keterlibatan kaum
muda.
33
35. Partisipasi
• Partisipasi komunitas merupakan suatu proses untuk memberikan
wewenang lebih luas kepada komunitas untuk secara bersama-sama
memecahkan berbagai persoalan. Pembagian kewenangan ini
dilakukan berdasarkan tingkat keikutsertaan (level of involvement)
komunitas dalam kegiatan tersebut.
• Partisipasi komunitas bertujuan untuk mencari jawaban atas masalah
dengan cara lebih baik, dengan memberi peran komunitas untuk
memberikan kontribusi sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih
efektif, efesien, dan berkelanjutan.
• Partisipasi komunitas dilakukan mulai dari tahapan kegiatan
pembuatan konsep, konstruksi, operasional-pemeliharaan, serta
evaluasi dan pengawasan.
• PRBBK fokus pada sejauh mana pengelolaan risiko bencana dilakukan
oleh masyarakat (community-managed) sehingga PRBBK tidak hanya
kegiatan service delivery atau penyediaan layanan kepada komunitas,
yang berlangsung di akar rumput.
35
36. Tingkat Partisipasi
• 7 (tujuh) tingkatan yang didasarkan pada
mekanisme interaksinya
i. penolakan
ii. berbagi informasi
iii. konsultasi tanpa komentar
iv. konsensus dan pengambilan kesepakatan
bersama
v. kolaborasi
vi. berbagi penguatan dan risiko
vii. pemberdayaan dan kemitraan
36
37. Pelembagaan (1)
• Kendati telah banyak organisasi mengadopsi PRBBK
dalam kegiatan kebencanaan dan ada dukungan
moril dari pemerintah, upaya pelembagaan atau
institusionalisasi PRBBK belum menunjukkan hasil
yang berarti.
• Di sisi lain, tampaknya ada saja komunitas atau
masyarakat di daerah rawan bencana yang tidak
siap mengambil semua inisiatif secara mandiri,
sehingga agak sukar untuk menerapkan PRBBK.
Belum lagi berurusan dengan proses pembuatan
kebijakan pemerintah yang minim koordinasi.
37
38. Pelembagaan (2)
• Pelembagaan (institusionalisasi) dianggap sebagai
harus dicapai oleh sebuah gerakan sosial. Tanpa
pelembagaan (adanya payung hukum, lembaga
formal, dan afirmasi anggaran), sebuah gerakan
dianggap tidak berhasil.
• Oleh karenanya, perubahan/pembuatan payung
hukum, pembentukan lembaga formal, dan alokasi
anggaran pemerintah dianggap sebagai indikator
keberhasilan suatu gerakan sosial, tidak terkecuali
dalam bidang Pengelolaan Risiko Bencana Risiko
Bencana Berbasis Komunitas.
38
39. Contoh Capaian Pelembagaan
• Dari sekadar aksi warga yang teroganisir,
menjadi aksi warga yang mempunyai dasar
kebijakan, dasar kelembagaan, melakukan
tanggap darurat sambil berinvestasi untuk
mengurangi risiko, memasukkannya dalam
program pendidikan dan memulai pengenalan
budaya sadar bencana.
• Perubahan ini belum sepenuhnya tercapai di
seluruh wilayah, pencapaiannya masih
sporadis.
39
40. Pelembagaan - Budaya
• Dalam konteks PRBBK, konsep institusionalisasi
kultural sesungguhnya merupakan salah satu proses
terpenting yang sangat diharapkan terjadi. Para
pendukung gerakan menginginkan masyarakat dan
pemerintah menjadikan PRBBK bagian yang normal
dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari maupun
perencanaan pembangunan.
• Institusionalisasi kultural tak diragukan lagi adalah
proses yang amat menantang. Bukan saja karena
besarnya sumber daya yang dibutuhkan untuk
mencapainya, tetapi juga karena diperlukan waktu
yang tidak sebentar dan komitmen yang kuat.
40
41. Formalisasi PRBBK
• PRBBK secara praktis juga dilakukan dengan
berbagai cara. Ada banyak strategi yang telah
dimunculkan untuk menciptakan kondisi atau
lingkungan yang memungkinkan PRBBK menjadi
konsep penting dalam agenda pemerintah,
masyarakat sipil, maupun sektor swasta.
• Berbagai bentuk ‘formalisasi’ – pelembagaan PRBBK
yang dilakukan oleh pemetingah yang bisa dikenali,
antara lain dibawah ini: (1) Desa Tangguh Bencana
oleh BNPB, (2) Desa Siaga Bencana oleh Kementrian
Kesehatan, (3) Desa Pesisir dan Pantai Tangguh oleh
Kementrian Kelautan dan Perikanan, (4) Desa Iklim
oleh Kementrian Lingkungan Hidup.
41
42. Thank You - Terimakasih
• Name of Organization: Perkumpulan Lingkar
• Office Address: Jl. Banteng Perkasa 40,
Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, D.I.Yogyakarta,
Indonesia – 55581
• Telephone/Fax: +62 274 886 320
• Email: lingkar06@yahoo.co.id
• Website: http://www.lingkar.or.id/
• Contact Person: Ninil R. Miftahul Jannah
(Executive Director) Email:
ecologidiot@gmail.com
42
Notas del editor
Good afternoon to you all, the conference participants. I would like to say thank you to NOSTE for the opportunity given to me to attend NOSTE Annual seminar workshop - and learn from the Philippine and you all. And I apologize if my english is not good, I know the Philippines speaks English better than ardinary Indonesian people like me. So, please interrupt me if there is a need to be clarified.
(I introduce myself, I am Ninil Jannah - an NGO worker from Indonesia. NGO named LINGKAR ASSOCIATION.)
As has been introduced by Moderator
HFA mengidentifikasi lima Prioritas Aksi yang spesifik :
1. Membuat pengurangan risiko bencana sebagai prioritas.
2. Memperbaiki informasi risiko dan peringatan dini.
3. Membangun budaya keamanan dan ketahanan.
4. Mengurangi risiko pada sektor-sektor utama.
5. Memperkuat kesiapan untuk bereaksi.
to capitalize on local and indigenous knowledge and wisdom concerning hazard and disaster prevention as well as long-proven local coping skills.
Walaupun tidak secara linier dan berurutan, beberapa tahapan tersebut di bawah ini dapat digunakan sebagai acuan:
1. Analisis situasi dan kondisi. Analisis situasi dan kondisi masyarakat dilakukan untuk prediksi kebutuhan untuk penanggulangan bencana. Hal ini perlu dilakukan agar terjadi kesesuaian antara kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya. Analisis situasi ini dapat mulai dengan menyusun profil masyarakat untuk memahami risiko bencana melalui riset partisipatif tentang: informasi historis kebencanaan, ciri-ciri geo-klimat, fisik, keruangan, tatanan sosiopolitik dan budaya, kegiatan-kegiatan ekonomik serta kelompok-kelompok rentan.
2. Pemahaman konteks. Melakukan mobilisasi untuk pemahaman konteks dilakukan untuk lebih memungkinkan masalah untuk ditangani melalui intervensi yang tepat. melakukan kegiatan-kegiatan untuk secara bersama- sama menggeluti konteks risiko bencana melalui pelatihan, berbagi pengalaman dan lainnya: manajemen bencana & kedaruratan, penanganan penderita gawat darurat, pengamatan & pemantauan bahaya, advokasi kebijakan, ekonomi mikro dan lainnya
3. Pengkajian-risiko-partisipatif. Pengkajian yang menyeluruh mengenai keterpaparan komunitas terhadap bahaya dan analisis mengenai kerentanan mereka serta kapasitas mereka merupakan dasar dalam semua aktivitas, proyek dan program untuk meredam risiko bencana. Pengkajian risiko bencana merupakan proses partisipatif dalam menentukan sifat, cakupan, dan besarnya dampak negatif dari bahaya terhadap komunitas dan rumah tangga di dalamnya dalam suatu periode waktu yang dapat diramalkan. Pengkajian risiko bencana komunitas juga memfasilitasi suatu proses menentukan dampak negatif yang mungkin atau cenderung terjadi (kerusakan dan kerugian) pada aset penghidupan yang berisiko. Pengkajian bersama tingkat risiko di masyarakat meliputi: persepsi masyarakat atas risiko, pemetaan (karakter) bahaya, pemetaan kerentanan, pemetaan kapasitas dalam menangani bahaya, pemetaan kapasitas dalam menangani kerentanan, identifikasi risiko, evaluasi dan penilaian risiko, pemetaan potensi sumberdaya yang tersedia dan mobilisasi sumberdaya, serta analisis dan pelaporan bersama ke komunitas.
4. Perencanaan program dan formulasi rencana. Tindakan perencanaan program dan memformulasikan rencana dilakukan berdasarkan hasil analisis risiko. Perencanaan ini meliputi formulasi tujuan (meningkatkan kapasitas & mengurangi kerentanan untuk meningkatkan kemampuan mencegah, memitigasi dan menyiapkan diri), manfaat dan hasil (mengurangi risiko), merencanakan kegiatan, mengidentifikasi dan mencari dukungan finansial, memformulasikan rencana kegiatan.
5. Pelaksanaan dan pemantauan program. Tahapan ini hampir selalu ditempatkan sebagai puncak upaya peredaman risiko bencana. Tahapan ini adalah menjalankan kesepakatan perencanaan yang telah diformulasikan yang dianggap mampu meredam risiko. Dalam tahapan ini terdapat serangkaian kegiatan yang terdiri dari: pengorganisasian pelaksana kegiatan, memobilisasi sumberdaya, melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan, melakukan pemantauan kegiatan dan menggunakan hasil pemantauan untuk memperbaiki rencana peredaman risiko yang dilaksanakan.
6. Penilaian dan umpan balik. Penilaian dan memberikan umpan balik cenderung jarang dilakukan. Menilai hasil kegiatan yang disesuaikan dengan hasil yang diharapkan untuk meredam bencana diharapkan dapat digunakan untuk sejak dini mengetahui efektifitas usaha yang telah dilakuakn. Untuk selanjutnya menggunakan hasil evaluasi untuk pemberdayaan komunitas lain dalam meningkatkan kemampuan peredaman bencana.
7. Penyebarluasan dan pengintegrasian. Mendokumentasikan proses pembelajaran dan penyebarluasan praktik-praktik sukses ke masyarakat dan wilayah lain menjadi proses penting untuk dapat mengurangi sebanyak mungkin tumpang tindih tindakan dalam peredaman risiko bencana yang sama. Penyebarluasan ini bukan hanya dari sisi geografis, tetapi sekaligus penyebarluasan secara sektoral yang sekaligus juga mengupayakan pengintegrasian usaha-usaha peredaman risiko bencana pada aspek pembangunan dan perikehidupan lainnya dan untuk pembudayaan usaha- usaha peredaman risiko bencana.
8. Pelembagaan dan konsultasi. Akhir dari proses ini adalah melengkapi kelembagaan peredaman bencana yang bertumpu pada komunitas bencana) untuk menjaga keberlanjutan, penyebarluasan dan pengintegrasian. Pada tahap in pula dibangun mekanisme konsultatif antara organisasi rakyat dengan aktor lain. Hal ini penting dilakukan karena proses intervensi peredaman risiko bencana yang melibatkan pihak lain pada umumnya bersifat ”sebagaian” dari upaya peredaman seluruh risiko. Dalam posisi ini tentunya komunitas secara mandiri yang harus melanjutkan upaya-upaya peredaman tersebut. Pelembagaan ini pada dasarnya merupakan sebuah pemastian bahwa upaya peredaman risiko bencana tidak berhenti.
Undang-undang Desa telah memulihkan Otonomi Asli Desa Adat berdasarkan hak asal-usul. Tetapi belum menjamin hak-hak kolektif lain untuk menentukan nasib sendiri dan memilih model dan bentuk Pembangunan. Pengelolaan risiko bencana berbasisi komunitas didalam komunitas (masyarakat) hukum adat; perlu memastikan beberapa hal, diantaranya: (1) Kejelasan dan kepastian wilayah kelola masyarakat (Batas, tata ruang, lokasi-lokasi penting - menurut sejarah, fungsi ekologis, budaya); (2) Kelembagaan (organisasi) masyarakat yang kuat (Pengambilan keputusan adat, pelaksanaan keputusan/penegakan hukum, penyelesaian sengketa); (3) Praktik-praktik kelola sumberdaya alam yang berkelanjutan, (4) Kapasitas pelaksana/pengelola (sikap, wawasan&ketrampilan) dan sosial (solidaritas, nilai-nilai pengikat); (5) Kebijakan yang berpihak dan kelembagaan pemerintah untuk pelayanan yang efektif (Undang-undang, peraturan daerah, dsb.).
PRBBK dicirikan oleh nilai partisipatif dan prinsip inkusif. PLAN Internasional Indonesia menyatakan perlunya menjadi lebih sensitif kelompok rentan (khususnya anak dan kaum muda) dalam pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim dengan: (1) menghasilkan berbagai insiatif lokal dari pilihan adaptasi perubahan iklim, (2) memunculkan model-model adaptasi perubahan iklim yang berpusat pada kelompok rentan, (3) menghasilkan berbagai praktik baik pengarusutamaan PRB dan API yang bisa diterapkan di berbagai wilayah (lain), (4) memasukan PRB dan API ke dalam kurikulum di sekolah dan meningkatkan keterlibatan kaum muda.
‘Desa Hijau’ satu dari 10 program aksi yang dikelola Badan Pelaksana REDD+ Indonesia. Pada tahun 2014 sudah dilaksanakan di 12 Desa. DR. Rijal dari BP REDD+ menyampaikan bahwa prinsip program ‘Desa Hijau’ ini, yakni desa dengan perikehidupan yang menyatu dengan alam, berbasis SDA lokal dengan mata pencaharian yang berkelanjutan. Yang ditandai dengan (1) memanfaatkan sumberdaya lokal unggulan, (2) membangun kapasitas lokal untuk menciptakan mata-pencaharian yang berkelanjutan, (3) menggali kearifan tradisional: gotong royong, menyatu dengan alam, dll., (4) merehabilitasi hutan dan lahan gambut yang telah terdegradasi, dan pertanian berkelanjutan yang tanpa membakar lahan, (5) menjalin kemitraan dgn masyarakat adat dan LSM lokal, dan (6) meningkatkan akses terhadap sarana produksi dan pasar.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah di provinsi/kabupaten/kota menyampaikan refleksinya terhadap implementasi Program Desa Tangguh. Salah satu tujuan desa tangguh untuk melindungi masyarakat yang tinggal di lokasi-lokasi rawan bencana dari dampak bencana yang merugikan, masih terkendala karena penerapan manajemen risiko bencana belum dipayungi oleh bagaimana manajemen risiko bencana di kota/kabupaten. Program Desa Tangguh juga belum menyentuh aspek kerentanan komunitas (misalnya tingginya tingkat kemiskinan). Namun demikian telah berhasil mendorong kerjasama diantara para stakeholders dalam PRB, antara pemerintah lokal/daerah, sektor swasta, universitas, organisasi non-pemerintahan, dan kelompok-kelompok lainnya.
JICA dalam mendukung program Desa Tangguh merekomendasikan perlunya meningkatkan Kesadaran dari kepada daerah tentang pentingnya kegiatan PRBBK dalam mengurangi kerusakan bencana, sehingga perlu memberikan alokasi anggaran rutin untuk memastikan kegiatan PRBBK.
Wetlands Internasional Indonesia Programme – partner for reslilience; menyatakan keprihatinannya terhadap strategi pengelolaan risiko bencana yang mengacuhkan ekosistem. Biaya dan manfaat ekosistem tidak dipertimbangkan dalam kalkulasi untuk pengambilan kebijakan. Sementara pendekatan berbasis ekosistem tidak dipertimbangkan sebagai pilihan bernilai ekonomis, berkelanjutan dan berbiaya-efektif dalam pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.
Berbagai praktik-praktik PRBBK oleh telah mengelola ekosistem menjadi lebih baik. Pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim bersama komunitas - menggunakan strategi ‘manajemen ekosistem’ dan ‘restorasi ekosistem’. Termasuk mencegah praktik-praktik ‘Mal-adaptasi’ pemerintah yang berujung pada pembangunan yang tidak lestari dan semakin meningkatkan risiko bencana masyarakat.
Mercy Corp Bengkulu memberikan catatan bahwa (1) Infrastruktur buruk (transportasi, jalan, komunikasi), (2) Issu PRB belum menjadi prioritas, (3) Kelembagaan BPBD belum optimal (staf, kantor, peralatan, anggaran), dan (4) Sulitnya melibatkan sektor swasta; masih merupakan tantangan dalam upaya membangun ketangguhan dan pengurangan risiko bencana. Perlu advokasi ke parlemen, melibatkan sektor swasta, dan menguatkan kapasitas baik BPBD serta kelompok siaga bencana atau pengurangan risiko bencana di desa/kelurahan.
Kelompok Masyarakat dari Padang Pariaman menceritakan pengalaman “sekolah lapang” pengurangan risiko bencana yang mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim. Kegiatan yang memungkinkan petani lokal mengembangkan pengethauan dan ketrampilannya beradaptasi dengan dampak perubahan iklim berdasarkan pemahaman terhadap masalah dan penyebab-penyebabnya.Proses learning by doing memperbaiki kondisi ekologi tanah, mengelola ternak, dan mengurangi gas metan secara bersamaan. “Kami memahami iklim secara umum dan pengaruhnya terhadap sistem pertanian, gas rumah kaca dan pengaruhnya terhadap pemanasan global, dan bagaimana peternakan menghasilkan metan”. Kelompok ini juga mengembangkan dan memperkuat praktek-praktek lumbung pangan tradisional di tingkat masyarakat dan rumah tangga dalam rangka meningkatkan ketangguhan dan mengurangi resiko bencana.
CIS Timor, organisasi non-pemerintahan di Nusatenggara Timur menginisiasi ‘Rumah Belajar Timor Tahan Bencana” dan mengundang partisipasi berbagai organisasi non-pemerintah di Indonesia. Menjangkau sebanyak mungkin masyarakat melalui radio komunitas khusus untuk program pengurangan risiko bencana.
Program PRBBK terkait adapasi perubahan iklim diantarnya: promosi pertanian menetap dimusim tanam kedua, pertanian ramah lingkungan, membuat lubang tanam sebagai penjebak Air hujan, berbagi informasi terkait iklim dan kebencanaan.
Undang-undang Desa telah memulihkan Otonomi Asli Desa Adat berdasarkan hak asal-usul. Tetapi belum menjamin hak-hak kolektif lain untuk menentukan nasib sendiri dan memilih model dan bentuk Pembangunan. Pengelolaan risiko bencana berbasisi komunitas didalam komunitas (masyarakat) hukum adat; perlu memastikan beberapa hal, diantaranya: (1) Kejelasan dan kepastian wilayah kelola masyarakat (Batas, tata ruang, lokasi-lokasi penting - menurut sejarah, fungsi ekologis, budaya); (2) Kelembagaan (organisasi) masyarakat yang kuat (Pengambilan keputusan adat, pelaksanaan keputusan/penegakan hukum, penyelesaian sengketa); (3) Praktik-praktik kelola sumberdaya alam yang berkelanjutan, (4) Kapasitas pelaksana/pengelola (sikap, wawasan&ketrampilan) dan sosial (solidaritas, nilai-nilai pengikat); (5) Kebijakan yang berpihak dan kelembagaan pemerintah untuk pelayanan yang efektif (Undang-undang, peraturan daerah, dsb.).
PRBBK dicirikan oleh nilai partisipatif dan prinsip inkusif. PLAN Internasional Indonesia menyatakan perlunya menjadi lebih sensitif kelompok rentan (khususnya anak dan kaum muda) dalam pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim dengan: (1) menghasilkan berbagai insiatif lokal dari pilihan adaptasi perubahan iklim, (2) memunculkan model-model adaptasi perubahan iklim yang berpusat pada kelompok rentan, (3) menghasilkan berbagai praktik baik pengarusutamaan PRB dan API yang bisa diterapkan di berbagai wilayah (lain), (4) memasukan PRB dan API ke dalam kurikulum di sekolah dan meningkatkan keterlibatan kaum muda.
‘Desa Hijau’ satu dari 10 program aksi yang dikelola Badan Pelaksana REDD+ Indonesia. Pada tahun 2014 sudah dilaksanakan di 12 Desa. DR. Rijal dari BP REDD+ menyampaikan bahwa prinsip program ‘Desa Hijau’ ini, yakni desa dengan perikehidupan yang menyatu dengan alam, berbasis SDA lokal dengan mata pencaharian yang berkelanjutan. Yang ditandai dengan (1) memanfaatkan sumberdaya lokal unggulan, (2) membangun kapasitas lokal untuk menciptakan mata-pencaharian yang berkelanjutan, (3) menggali kearifan tradisional: gotong royong, menyatu dengan alam, dll., (4) merehabilitasi hutan dan lahan gambut yang telah terdegradasi, dan pertanian berkelanjutan yang tanpa membakar lahan, (5) menjalin kemitraan dgn masyarakat adat dan LSM lokal, dan (6) meningkatkan akses terhadap sarana produksi dan pasar.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah di provinsi/kabupaten/kota menyampaikan refleksinya terhadap implementasi Program Desa Tangguh. Salah satu tujuan desa tangguh untuk melindungi masyarakat yang tinggal di lokasi-lokasi rawan bencana dari dampak bencana yang merugikan, masih terkendala karena penerapan manajemen risiko bencana belum dipayungi oleh bagaimana manajemen risiko bencana di kota/kabupaten. Program Desa Tangguh juga belum menyentuh aspek kerentanan komunitas (misalnya tingginya tingkat kemiskinan). Namun demikian telah berhasil mendorong kerjasama diantara para stakeholders dalam PRB, antara pemerintah lokal/daerah, sektor swasta, universitas, organisasi non-pemerintahan, dan kelompok-kelompok lainnya.
JICA dalam mendukung program Desa Tangguh merekomendasikan perlunya meningkatkan Kesadaran dari kepada daerah tentang pentingnya kegiatan PRBBK dalam mengurangi kerusakan bencana, sehingga perlu memberikan alokasi anggaran rutin untuk memastikan kegiatan PRBBK.
Wetlands Internasional Indonesia Programme – partner for reslilience; menyatakan keprihatinannya terhadap strategi pengelolaan risiko bencana yang mengacuhkan ekosistem. Biaya dan manfaat ekosistem tidak dipertimbangkan dalam kalkulasi untuk pengambilan kebijakan. Sementara pendekatan berbasis ekosistem tidak dipertimbangkan sebagai pilihan bernilai ekonomis, berkelanjutan dan berbiaya-efektif dalam pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.
Berbagai praktik-praktik PRBBK oleh telah mengelola ekosistem menjadi lebih baik. Pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim bersama komunitas - menggunakan strategi ‘manajemen ekosistem’ dan ‘restorasi ekosistem’. Termasuk mencegah praktik-praktik ‘Mal-adaptasi’ pemerintah yang berujung pada pembangunan yang tidak lestari dan semakin meningkatkan risiko bencana masyarakat.
Mercy Corp Bengkulu memberikan catatan bahwa (1) Infrastruktur buruk (transportasi, jalan, komunikasi), (2) Issu PRB belum menjadi prioritas, (3) Kelembagaan BPBD belum optimal (staf, kantor, peralatan, anggaran), dan (4) Sulitnya melibatkan sektor swasta; masih merupakan tantangan dalam upaya membangun ketangguhan dan pengurangan risiko bencana. Perlu advokasi ke parlemen, melibatkan sektor swasta, dan menguatkan kapasitas baik BPBD serta kelompok siaga bencana atau pengurangan risiko bencana di desa/kelurahan.
Kelompok Masyarakat dari Padang Pariaman menceritakan pengalaman “sekolah lapang” pengurangan risiko bencana yang mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim. Kegiatan yang memungkinkan petani lokal mengembangkan pengethauan dan ketrampilannya beradaptasi dengan dampak perubahan iklim berdasarkan pemahaman terhadap masalah dan penyebab-penyebabnya.Proses learning by doing memperbaiki kondisi ekologi tanah, mengelola ternak, dan mengurangi gas metan secara bersamaan. “Kami memahami iklim secara umum dan pengaruhnya terhadap sistem pertanian, gas rumah kaca dan pengaruhnya terhadap pemanasan global, dan bagaimana peternakan menghasilkan metan”. Kelompok ini juga mengembangkan dan memperkuat praktek-praktek lumbung pangan tradisional di tingkat masyarakat dan rumah tangga dalam rangka meningkatkan ketangguhan dan mengurangi resiko bencana.
CIS Timor, organisasi non-pemerintahan di Nusatenggara Timur menginisiasi ‘Rumah Belajar Timor Tahan Bencana” dan mengundang partisipasi berbagai organisasi non-pemerintah di Indonesia. Menjangkau sebanyak mungkin masyarakat melalui radio komunitas khusus untuk program pengurangan risiko bencana.
Program PRBBK terkait adapasi perubahan iklim diantarnya: promosi pertanian menetap dimusim tanam kedua, pertanian ramah lingkungan, membuat lubang tanam sebagai penjebak Air hujan, berbagi informasi terkait iklim dan kebencanaan.
Undang-undang Desa telah memulihkan Otonomi Asli Desa Adat berdasarkan hak asal-usul. Tetapi belum menjamin hak-hak kolektif lain untuk menentukan nasib sendiri dan memilih model dan bentuk Pembangunan. Pengelolaan risiko bencana berbasisi komunitas didalam komunitas (masyarakat) hukum adat; perlu memastikan beberapa hal, diantaranya: (1) Kejelasan dan kepastian wilayah kelola masyarakat (Batas, tata ruang, lokasi-lokasi penting - menurut sejarah, fungsi ekologis, budaya); (2) Kelembagaan (organisasi) masyarakat yang kuat (Pengambilan keputusan adat, pelaksanaan keputusan/penegakan hukum, penyelesaian sengketa); (3) Praktik-praktik kelola sumberdaya alam yang berkelanjutan, (4) Kapasitas pelaksana/pengelola (sikap, wawasan&ketrampilan) dan sosial (solidaritas, nilai-nilai pengikat); (5) Kebijakan yang berpihak dan kelembagaan pemerintah untuk pelayanan yang efektif (Undang-undang, peraturan daerah, dsb.).
PRBBK dicirikan oleh nilai partisipatif dan prinsip inkusif. PLAN Internasional Indonesia menyatakan perlunya menjadi lebih sensitif kelompok rentan (khususnya anak dan kaum muda) dalam pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim dengan: (1) menghasilkan berbagai insiatif lokal dari pilihan adaptasi perubahan iklim, (2) memunculkan model-model adaptasi perubahan iklim yang berpusat pada kelompok rentan, (3) menghasilkan berbagai praktik baik pengarusutamaan PRB dan API yang bisa diterapkan di berbagai wilayah (lain), (4) memasukan PRB dan API ke dalam kurikulum di sekolah dan meningkatkan keterlibatan kaum muda.
‘Desa Hijau’ satu dari 10 program aksi yang dikelola Badan Pelaksana REDD+ Indonesia. Pada tahun 2014 sudah dilaksanakan di 12 Desa. DR. Rijal dari BP REDD+ menyampaikan bahwa prinsip program ‘Desa Hijau’ ini, yakni desa dengan perikehidupan yang menyatu dengan alam, berbasis SDA lokal dengan mata pencaharian yang berkelanjutan. Yang ditandai dengan (1) memanfaatkan sumberdaya lokal unggulan, (2) membangun kapasitas lokal untuk menciptakan mata-pencaharian yang berkelanjutan, (3) menggali kearifan tradisional: gotong royong, menyatu dengan alam, dll., (4) merehabilitasi hutan dan lahan gambut yang telah terdegradasi, dan pertanian berkelanjutan yang tanpa membakar lahan, (5) menjalin kemitraan dgn masyarakat adat dan LSM lokal, dan (6) meningkatkan akses terhadap sarana produksi dan pasar.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah di provinsi/kabupaten/kota menyampaikan refleksinya terhadap implementasi Program Desa Tangguh. Salah satu tujuan desa tangguh untuk melindungi masyarakat yang tinggal di lokasi-lokasi rawan bencana dari dampak bencana yang merugikan, masih terkendala karena penerapan manajemen risiko bencana belum dipayungi oleh bagaimana manajemen risiko bencana di kota/kabupaten. Program Desa Tangguh juga belum menyentuh aspek kerentanan komunitas (misalnya tingginya tingkat kemiskinan). Namun demikian telah berhasil mendorong kerjasama diantara para stakeholders dalam PRB, antara pemerintah lokal/daerah, sektor swasta, universitas, organisasi non-pemerintahan, dan kelompok-kelompok lainnya.
JICA dalam mendukung program Desa Tangguh merekomendasikan perlunya meningkatkan Kesadaran dari kepada daerah tentang pentingnya kegiatan PRBBK dalam mengurangi kerusakan bencana, sehingga perlu memberikan alokasi anggaran rutin untuk memastikan kegiatan PRBBK.
Wetlands Internasional Indonesia Programme – partner for reslilience; menyatakan keprihatinannya terhadap strategi pengelolaan risiko bencana yang mengacuhkan ekosistem. Biaya dan manfaat ekosistem tidak dipertimbangkan dalam kalkulasi untuk pengambilan kebijakan. Sementara pendekatan berbasis ekosistem tidak dipertimbangkan sebagai pilihan bernilai ekonomis, berkelanjutan dan berbiaya-efektif dalam pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.
Berbagai praktik-praktik PRBBK oleh telah mengelola ekosistem menjadi lebih baik. Pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim bersama komunitas - menggunakan strategi ‘manajemen ekosistem’ dan ‘restorasi ekosistem’. Termasuk mencegah praktik-praktik ‘Mal-adaptasi’ pemerintah yang berujung pada pembangunan yang tidak lestari dan semakin meningkatkan risiko bencana masyarakat.
Mercy Corp Bengkulu memberikan catatan bahwa (1) Infrastruktur buruk (transportasi, jalan, komunikasi), (2) Issu PRB belum menjadi prioritas, (3) Kelembagaan BPBD belum optimal (staf, kantor, peralatan, anggaran), dan (4) Sulitnya melibatkan sektor swasta; masih merupakan tantangan dalam upaya membangun ketangguhan dan pengurangan risiko bencana. Perlu advokasi ke parlemen, melibatkan sektor swasta, dan menguatkan kapasitas baik BPBD serta kelompok siaga bencana atau pengurangan risiko bencana di desa/kelurahan.
Kelompok Masyarakat dari Padang Pariaman menceritakan pengalaman “sekolah lapang” pengurangan risiko bencana yang mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim. Kegiatan yang memungkinkan petani lokal mengembangkan pengethauan dan ketrampilannya beradaptasi dengan dampak perubahan iklim berdasarkan pemahaman terhadap masalah dan penyebab-penyebabnya.Proses learning by doing memperbaiki kondisi ekologi tanah, mengelola ternak, dan mengurangi gas metan secara bersamaan. “Kami memahami iklim secara umum dan pengaruhnya terhadap sistem pertanian, gas rumah kaca dan pengaruhnya terhadap pemanasan global, dan bagaimana peternakan menghasilkan metan”. Kelompok ini juga mengembangkan dan memperkuat praktek-praktek lumbung pangan tradisional di tingkat masyarakat dan rumah tangga dalam rangka meningkatkan ketangguhan dan mengurangi resiko bencana.
CIS Timor, organisasi non-pemerintahan di Nusatenggara Timur menginisiasi ‘Rumah Belajar Timor Tahan Bencana” dan mengundang partisipasi berbagai organisasi non-pemerintah di Indonesia. Menjangkau sebanyak mungkin masyarakat melalui radio komunitas khusus untuk program pengurangan risiko bencana.
Program PRBBK terkait adapasi perubahan iklim diantarnya: promosi pertanian menetap dimusim tanam kedua, pertanian ramah lingkungan, membuat lubang tanam sebagai penjebak Air hujan, berbagi informasi terkait iklim dan kebencanaan.
Undang-undang Desa telah memulihkan Otonomi Asli Desa Adat berdasarkan hak asal-usul. Tetapi belum menjamin hak-hak kolektif lain untuk menentukan nasib sendiri dan memilih model dan bentuk Pembangunan. Pengelolaan risiko bencana berbasisi komunitas didalam komunitas (masyarakat) hukum adat; perlu memastikan beberapa hal, diantaranya: (1) Kejelasan dan kepastian wilayah kelola masyarakat (Batas, tata ruang, lokasi-lokasi penting - menurut sejarah, fungsi ekologis, budaya); (2) Kelembagaan (organisasi) masyarakat yang kuat (Pengambilan keputusan adat, pelaksanaan keputusan/penegakan hukum, penyelesaian sengketa); (3) Praktik-praktik kelola sumberdaya alam yang berkelanjutan, (4) Kapasitas pelaksana/pengelola (sikap, wawasan&ketrampilan) dan sosial (solidaritas, nilai-nilai pengikat); (5) Kebijakan yang berpihak dan kelembagaan pemerintah untuk pelayanan yang efektif (Undang-undang, peraturan daerah, dsb.).
PRBBK dicirikan oleh nilai partisipatif dan prinsip inkusif. PLAN Internasional Indonesia menyatakan perlunya menjadi lebih sensitif kelompok rentan (khususnya anak dan kaum muda) dalam pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim dengan: (1) menghasilkan berbagai insiatif lokal dari pilihan adaptasi perubahan iklim, (2) memunculkan model-model adaptasi perubahan iklim yang berpusat pada kelompok rentan, (3) menghasilkan berbagai praktik baik pengarusutamaan PRB dan API yang bisa diterapkan di berbagai wilayah (lain), (4) memasukan PRB dan API ke dalam kurikulum di sekolah dan meningkatkan keterlibatan kaum muda.
‘Desa Hijau’ satu dari 10 program aksi yang dikelola Badan Pelaksana REDD+ Indonesia. Pada tahun 2014 sudah dilaksanakan di 12 Desa. DR. Rijal dari BP REDD+ menyampaikan bahwa prinsip program ‘Desa Hijau’ ini, yakni desa dengan perikehidupan yang menyatu dengan alam, berbasis SDA lokal dengan mata pencaharian yang berkelanjutan. Yang ditandai dengan (1) memanfaatkan sumberdaya lokal unggulan, (2) membangun kapasitas lokal untuk menciptakan mata-pencaharian yang berkelanjutan, (3) menggali kearifan tradisional: gotong royong, menyatu dengan alam, dll., (4) merehabilitasi hutan dan lahan gambut yang telah terdegradasi, dan pertanian berkelanjutan yang tanpa membakar lahan, (5) menjalin kemitraan dgn masyarakat adat dan LSM lokal, dan (6) meningkatkan akses terhadap sarana produksi dan pasar.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah di provinsi/kabupaten/kota menyampaikan refleksinya terhadap implementasi Program Desa Tangguh. Salah satu tujuan desa tangguh untuk melindungi masyarakat yang tinggal di lokasi-lokasi rawan bencana dari dampak bencana yang merugikan, masih terkendala karena penerapan manajemen risiko bencana belum dipayungi oleh bagaimana manajemen risiko bencana di kota/kabupaten. Program Desa Tangguh juga belum menyentuh aspek kerentanan komunitas (misalnya tingginya tingkat kemiskinan). Namun demikian telah berhasil mendorong kerjasama diantara para stakeholders dalam PRB, antara pemerintah lokal/daerah, sektor swasta, universitas, organisasi non-pemerintahan, dan kelompok-kelompok lainnya.
JICA dalam mendukung program Desa Tangguh merekomendasikan perlunya meningkatkan Kesadaran dari kepada daerah tentang pentingnya kegiatan PRBBK dalam mengurangi kerusakan bencana, sehingga perlu memberikan alokasi anggaran rutin untuk memastikan kegiatan PRBBK.
Wetlands Internasional Indonesia Programme – partner for reslilience; menyatakan keprihatinannya terhadap strategi pengelolaan risiko bencana yang mengacuhkan ekosistem. Biaya dan manfaat ekosistem tidak dipertimbangkan dalam kalkulasi untuk pengambilan kebijakan. Sementara pendekatan berbasis ekosistem tidak dipertimbangkan sebagai pilihan bernilai ekonomis, berkelanjutan dan berbiaya-efektif dalam pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.
Berbagai praktik-praktik PRBBK oleh telah mengelola ekosistem menjadi lebih baik. Pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim bersama komunitas - menggunakan strategi ‘manajemen ekosistem’ dan ‘restorasi ekosistem’. Termasuk mencegah praktik-praktik ‘Mal-adaptasi’ pemerintah yang berujung pada pembangunan yang tidak lestari dan semakin meningkatkan risiko bencana masyarakat.
Mercy Corp Bengkulu memberikan catatan bahwa (1) Infrastruktur buruk (transportasi, jalan, komunikasi), (2) Issu PRB belum menjadi prioritas, (3) Kelembagaan BPBD belum optimal (staf, kantor, peralatan, anggaran), dan (4) Sulitnya melibatkan sektor swasta; masih merupakan tantangan dalam upaya membangun ketangguhan dan pengurangan risiko bencana. Perlu advokasi ke parlemen, melibatkan sektor swasta, dan menguatkan kapasitas baik BPBD serta kelompok siaga bencana atau pengurangan risiko bencana di desa/kelurahan.
Kelompok Masyarakat dari Padang Pariaman menceritakan pengalaman “sekolah lapang” pengurangan risiko bencana yang mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim. Kegiatan yang memungkinkan petani lokal mengembangkan pengethauan dan ketrampilannya beradaptasi dengan dampak perubahan iklim berdasarkan pemahaman terhadap masalah dan penyebab-penyebabnya.Proses learning by doing memperbaiki kondisi ekologi tanah, mengelola ternak, dan mengurangi gas metan secara bersamaan. “Kami memahami iklim secara umum dan pengaruhnya terhadap sistem pertanian, gas rumah kaca dan pengaruhnya terhadap pemanasan global, dan bagaimana peternakan menghasilkan metan”. Kelompok ini juga mengembangkan dan memperkuat praktek-praktek lumbung pangan tradisional di tingkat masyarakat dan rumah tangga dalam rangka meningkatkan ketangguhan dan mengurangi resiko bencana.
CIS Timor, organisasi non-pemerintahan di Nusatenggara Timur menginisiasi ‘Rumah Belajar Timor Tahan Bencana” dan mengundang partisipasi berbagai organisasi non-pemerintah di Indonesia. Menjangkau sebanyak mungkin masyarakat melalui radio komunitas khusus untuk program pengurangan risiko bencana.
Program PRBBK terkait adapasi perubahan iklim diantarnya: promosi pertanian menetap dimusim tanam kedua, pertanian ramah lingkungan, membuat lubang tanam sebagai penjebak Air hujan, berbagi informasi terkait iklim dan kebencanaan.
dalam pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim dengan: (1) menghasilkan berbagai insiatif lokal dari pilihan adaptasi perubahan iklim, (2) memunculkan model-model adaptasi perubahan iklim yang berpusat pada kelompok rentan, (3) menghasilkan berbagai praktik baik pengarusutamaan PRB dan API yang bisa diterapkan di berbagai wilayah (lain), (4) memasukan PRB dan API ke dalam kurikulum di sekolah dan meningkatkan keterlibatan kaum muda.
Good afternoon to you all, the conference participants. Previously I apologize if my english is not good, I know the Philippines speaks English better than many Indonesian people like me. So, please interrupt me if there is a need to be clarified.
I introduce myself, I am Ninil Jannah - an NGO worker from Indonesia. NGO named LINGKAR ASSOCIATION.
Tingkat partisipasi komunitas dalam kegiatan penanggulangan bencana terdiri dari 7 (tujuh) tingkatan yang didasarkan pada mekanisme interaksinya, yaitu: (1) penolakan; (2) berbagi informasi; (3) konsultasi tanpa komentar; (4) konsensus dan pengambilan kesepakatan bersama; (5) kolaborasi; (6) berbagi penguatan dan risiko; dan (7) pemberdayaan dan kemitraan. Lebih lanjut tingkat partisipasi ini dapat diperkuat dari kecenderungan partisipasi yang bermakna ”untuk komunitas, menjadi ”bersama” komunitas, dan akhirnya ”oleh” komunitas.