Tinjauan terhadap rancangan peraturan daerah penataan ruang provinsi Kalimantan Barat menemukan beberapa kontradiksi, diantaranya:
1) Belum optimalnya keterlibatan masyarakat dalam penyusunan tata ruang setempat
2) Banyaknya konflik agraria akibat ketimpangan penguasaan sumber daya alam
3) Tumpang tindih antara wilayah kerja perusahaan dengan ruang kelola masyarakat setempat
Rancangan
2. K A B A R J K P P 1 7
2
KABAR JKPP 17
K A B A R REDA KSI
Pembaca yang budiman,
Kali ini KABAR JKPP hadir kembali setelah sekian
lama tidak menyapa para pembaca, tidak terasa
KABAR JKPP sudah sampai di edisi 17. Satu masa
yang sudah cukup panjang. Mudah-mudahan
perubahan tata letak dan perwajahan yang dimulai
pada angka ini dapat lebih membawa kesegaran
bagi para pembacanya.
KABAR JKPP edisi 17 ini, menyajikan tema “TATA
RUANG TANPA KARAKTER” seperti yang
dituliskan oleh Koordinator Nasional JKPP Kasmita
Widodo, Tanpa Karakter, karena kebijakan penataan
ruang yang hanya mengatur bagaimana mengelola
ruang berdasarkan keragaman aspek fisik dan
ekonomi tanpa memperhatikan sejarah asal usul
penguasaan ruang hanya akan mengulangi atau
melanjutkan kemiskinan, kehancuran ekologi, dan
hancurnya identitas masyarakat yang hidup di
wilayah tersebut. Pengabaian terhadap nilai-nilai
budaya, kharakteristik wilayah dan penguasaan
ruang akan menyulitkan tujuan penataan ruang itu
sendiri.
Kemudian edisi kali ini juga menyajikan 2 tulisan
dari alumni Sekolah Advokasi Tata Ruang (SATAR)
Angkatan 1, Fathur Roziqin Fen mengangkat
perjuangan untuk mengadvokasi kebijakan
penataan ruang dan penyelamatan sumber-sumber
kehidupan rakyat di Kalimantan Timur dan Husaini
mengangkat kesemrawutan tata ruang di wilayah
Pegunungan Kendeng Utara yang dieksploitasi oleh
kehadiran perusahaan semen.
Kabar lainnya dari Simpul layanan Pemetaan
Partisipatif (SLPP), Imam Hanafi mengangkat
tulisan mengenai proses pemetaan partisipatif yang
sedang berlangsung di Pulau Padang, diinisiasi oleh
SLPP Riau, dan Kabar Peta Kampung, M. Arie
Munir yang menceritakan inisiasi model
Pengelolaan Lahan Berkelanjutan (SLUP) di
Kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau,
Kalimantan Barat yang merupakan proses pasca
pemetaan partisipatif,
Penyerahan peta wilayah adat oleh Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
menyerahkan secara resmi peta wilayah adat yang
sudah terdaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat
(BRWA) kepada Badan Informasi Geospasial (BIG)
dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan
perkembangan Geodatabase Nasional (GDN) CSO
disajikan dalam Rubrik Kabar Geospasial.
Dan terakhir Kabar Ukur-ukur, satu rubrik yang
akan selalu mengangkat tema teknis
pemetaan,pengenalan dan penggunaan alat-alat
pemetaan hadir dengan judul Menggunakan GPS
dalam Pemetaan Partisipatif diangkat oleh Diarman.
Kami selalu membuka segala kritik, saran dan
tulisan dari para pembaca untuk memperkaya
media ini. Selamat Membaca !
Terima kasih
Redaktur
REDAKSI KABAR JKPP
Pemimpin Umum: Kasmita Widodo Pemimpin Redaksi: Ade Mutaqin,
Redaktur: Deny Rahadian Redaktur Pracetak: Rahmat Sulaiman, Ade Ikhzan
Reporter & Kontributor: M.Arie Munir, Imam Hanafi, Diarman, Restu
Achmaliadi, Albertus Hadi Pramono Sirkulasi & Distribusi: Risma
Rosmalawati, Riswanto
Alamat Redaksi :
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
Jl. Cimanuk Blok B7 No 6, Komp. Bogor Baru, Bogor 16152 INDONESIA
Telp. 62 – 251 8379143 Fax. 62 – 251 8314210
Email: kabar@jkpp.org Website : www.jkpp.org
Diterbitkan Atas Dukungan :
3. K A B A R J K P P 1 7
KABAR JKPP 17
3
TATA RUANG TANPA KARAKTER !
Tinjauan Rancangan Peraturan Daerah RTRW
Provinsi Kalimantan Barat - Kasmita Widodo
Yang Dapat Kami Kabari
“ Memperjuangkan Ruang Partisipasi Publik
Dalam Advokasi Tata Ruang Kalimantan Timur
-‐
Fathur
Roziqin
Fen
PEGUNUNGAN KENDENG UTARA
Dijaga Rakyat, Diincar Investor - Husaini
Menegaskan Klaim Atas Wilayah Masyarakat
11 Desa Di Pulau Padang Melalui Pemetaan
Partisipatif - Imam Hanafi
“
“
Menggapai Kesejahteraan Rakyat,
Pengembangan Model Rencana Penggunaan
Lahan Berkelanjutan (SLUP), di Kecamatan
Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau,
Kalimantan Barat – M. Arie Munir
Penyerahan Peta Wilayah Adat, Menghadirkan
Masyarakat Adat Dalam Negara – AMAN,
JKPP
Geodatabase Nasional (GDN), Database
Konflik Agraria dan PSDA – Deny Rahadian
Menggunakan
GPS
dalam
Pemetaan
Partisipatif
-‐
Diarman
“
“
“
“
“
Kabar Utama
Kabar Simpul
Kabar Peta Kampung
Kabar Geospatial
Kabar Ukur-ukur
4
11
14
20
23
27
28
30
4. K A B A R U T A M A
4
KABAR JKPP 17
1. Pengantar
Penyusunan kebijakan
penataan ruang2
berdasarkan UU Penataan
Ruang No.26/2007
seyogyanya menjadi
momentum bagi
pemerintah daerah untuk
memperbaiki tata kelola
dan tata kuasa ruang di
wilayah provinsi,
kabupaten maupun kota.
Kebijakan penataan ruang
yang hanya mengatur
bagaimana mengelola
ruang berdasarkan
keragaman aspek fisik dan
ekonomi tanpa
memperhatikan sejarah
asal usul penguasaan
ruang hanya akan
mengulangi atau
melanjutkan kemiskinan,
kehancuran ekologi, dan
hancurnya identitas
masyarakat yang hidup di
wilayah tersebut.
Pengabaian terhadap nilai-
nilai budaya,
kharakteristik wilayah dan
penguasaan ruang akan
menyulitkan tujuan
penataan ruang itu
sendiri.Pemerintah
Provinsi Kalimantan Barat
yang saat ini sedang
menyusun Rancangan
Peraturan Daerah
Penataan Ruang dalam
bentuk Rencana Tata
Wilayah Propinsi
(RTRWP). Dalam naskah
akademisnya tujuan
penataan ruang adalah
“Terwujudnya ruang
wilayah Provinsi
Kalimantan Barat yang
aman, produktif,
seimbang, terpadu, dan
berkelanjutan melalui
pengembangan wilayah
yang berbasis pada
agrobisnis, industri, dan
pariwisata untuk
meningkatkan daya saing
daerah, dengan
pengembangan kawasan
perbatasan negara sebagai
beranda depan negara
serta tetap memelihara
kelangsungan daya
dukung dan daya
tampung lingkungan
hidup.” Penjabaran dari
tujuan tersebut, pertama
mewujudkan tata ruang
yang aman dari segi
pertahanan dan keamanan
mengingat provinsi ini
berbatasan langsung
dengan negara lain,
produktif dalam artian
Provinsi Kalimantan Barat
mampu berdikari dan
berswasembada untuk
mengembangkan
wilayahnya sendiri,
Kasmita Widodo - Koord.
Nasional JKPP
TATA RUANG
TANPA KARAKTER !
Tinjauan Rancangan Peraturan Daerah RTRW Provinsi Kalimantan Barat
- Kasmita Widodo - Koordinator Nasional JKPP
5. K A B A R U T A M A
KABAR JKPP 17
5
seimbang dan terpadu merupakan
sebuah usaha untuk mewujudkan
pembangunan yang adil dan merata.
Berkelanjutan merupakan aspek
yang harus ditempuh untuk
menjaga kesinambungan lingkungan
dan masyarakat. Kedua,
pengembangan sektor unggulan di
Provinsi Kalimantan Barat, yaitu
agrobisnis, industri, dan
pariwisata.Untuk mencapai tujuan
penataan ruang perlu dijaga
konsistensi keterlibatan masyarakat
secara aktif dari mulai penyusunan
tata ruang,
pelaksanaan
dan
pengendaliannya. Dalam
penyusunan RTRW Provinsi
Kalimantan Barat, asepk partisipasi
masyarakat untuk pendalaman data
dan informasi dalam membangun
tata ruang yang memiliki
kharakteristik budaya yang
bertumpu pada modal sosial masih
belum menjadi perhatian yang
sungguh-sungguh dari pemerintah
Kalimantan Barat. Konflik agraria
dan sumberdaya alam akibat
ketimpangan dan ketidakadilan
penguasaan ruang masih sering
terjadi hingga hari ini. Pertumbuhan
ekonomi yang menjadi acuan utama
keberhasilan pembangunan telah
mendorong perluasan investasi
dengan industri padat modal sering
mengabaikan hak-hak atas tanah
dan kekayaan alam masyarakat.
Ranperda RTRWP Kalimantan Barat
diharapkan mampu menjawab dan
mengantarkan pada penyelesaian
persoalan tersebut dan memperbaiki
pengelolaan dan keadilan
penguasaan ruang.
2. Konflik Agraria dan Kekayaan
Alam di Kalimantan Barat
Dari hasil studi dan dikompilasi
data konflik di Kalimantan oleh Tim
Kerja Geodatabase Nasional yang
diolah dari data Walhi Daerah se-
Kalimantan dan Simpul Layanan
Pemetaan Partisipatif se-Kalimantan
tercatat di Kalimatan selama tahun
2012 terjadi pada 165 kelompok
masyarakat yang berkonflik. Sektor
perkebunan menjadi salah satu
pemicu terjadinya konflik dengan
jumlah 108 kasus, sektor kehutanan
berjumlah 28 kasus, pelanggaran
kebijakan penataan ruang sebanyak
16 kasus dan konflik dan di sektor
pertambangan berjumlah 13 kasus.
Kalimantan Timur tercatat ada 68
komunitas yang berkonflik,
Kalimantan Barat dengan 57 kasus,
Kalimantan Timur dengan 68 kasus
Kalimantan Tengah 22 kasus dan
Kalimantan Selatan 18 kasus.
Di Kalimantan Barat tercatat ada 57
komunitas yang berkonflik yang
terdiri dari 55 konflik di sektor
perkebunan, 1 konflik di sektor
pertambangan dan kebijakan
penataan ruang. Salah satu konflik
yang terjadi di sektor perkebunan
terjadi di komunitas Adat Baung
Sengetap di Kecamatan Ketungau
Hilir Kabupaten Sintang. Konflik
yang terjadi kebanyakan terjadi
dengan komunitas masyarakat adat
dengan jumlah 94 komunitas, dan 42
komunitas lokal. Kalimantan Barat
dan Timur, konflik yang terjadi
kebanyakan dengan masyarakat
adat. Sedangkan di Kalimantan
Selatan dan tengah sebaliknya,
konflik yang tercatat kebanyakan
konflik dengan komunitas lokal. Di
Kalimantan Barat 89% konflik yang
ada berada di kawasan adat, di
Kalimantan Timur 96%, Kalimantan
Tengah sebanyak 5% dan di
Kalimantan Selatan 14%. Lihat peta
sebaran konflik di Kalimantan Barat.
Dampak yang ditimbulkan dari
konflik tersebut antara lain: hilang
dan terancamnya sumber-sumber
produksi seperti lahan-lahan
pertanian, tempat mencari ikan
maupun hasil-hasil hutan baik kayu
maupun non kayu, penggusuran
perkampungan, konflik antar warga,
hilangnya makam leluhur akibat
kegiatan pertambangan, pencemaran
lingkungan yang berdampak
penyakit dan terganggunya
ekosistem, kriminalisasi masyarakat
dan tokoh adat, dan gangguan
kesehatan akibat limbah perusahaan.
Hampir semua konflik tersebut
muncul karena pemanfaatan ruang
di sektor perkebunan,
pertambangan, dan kehutanan
menimbulkan ketegangan dengan
ruang-ruang produksi dan sosial
budaya masyarakat. Tumpang
tindih klaim antara wilayah kerja
(perijinan) dengan ruang kelola
masyarakat menunjukkan
pengaturan pola ruang yang
asimetris antara arahan kebijakan
ruang oleh pemerintah dengan
sistem dan tata ruang oleh
masyarakat.
3. Kontradiksi Ranperda RTRWP
Kalbar dan Wilayah Kelola Rakyat
Penataan Ruang Tanpa
Karakteristik Kalimantan Barat.
Berdasar data sensus penduduk
tahun 2010 oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) Jumlah penduduk
Provinsi Kalimantan Barat sebanyak
4.395.983 jiwa yang mencakup
mereka yang bertempat tinggal di
daerah perkotaan sebanyak 1.328.185
jiwa (30,21 persen) dan di daerah
perdesaan sebanyak 3.067.798 jiwa
(69,79 persen). Dalam naskah
akademis Ranperda RTRWP
Kalimantan Barat ada 64,16%
angkatan kerja yang bekerja di
sektor pertanian. Salah satu potensi
Kalimantan Barat dalam Naskah
Akademik Ranperda RTRWP Kalbar
yaitu potensi budaya dan pariwisata.
Dituliskan dalam naskah akademik
“
Berkelanjutan
merupakan
aspek
yang
harus
ditempuh
untuk
menjaga
kesinambungan
lingkungan
dan
masyarakat.”
6. K A B A R U T A M A
6
KABAR JKPP 17
tersebut terdapat 164 bahasa daerah,
152 diantaranya bahasa adalah
bahasa Subsuku Dayak dan 12
sisanya bahasa Subsuku Melayu.
Dokumen naskah akademik tersebut
juga menuliskan sejumlah adat
istiadat yang masih lestari di
Kalimantan Barat. Karakteristik
geografis Kalimantan Barat yang
didominasi daerah perdesaan dan
keberadaan komunitas-komunitas
adat yang masih hidup dengan adat
istiadat sepatutnya menjadi dasar
kebijakan arahan pola maupun
stuktur ruang dalam Ranperda
RTRWP Kalimantan Barat. Namun,
dari naskah akademik dan ranperda
mengenai strategi kebijakan ruang
dan arahannya tidak memunculkan
informasi dan arahan spesifik
perlindungan wilayah-wilayah yang
dikelola masyarakat berdasar
pengetahuan lokal kelompok-
kelompok masyarakat adat setempat
sebagai karakteristik arahan
kebijakan pola ruang.
Pola penggunaan lahan dan praktek
masyarakat adat di Kalimantan
Barat dalam mengatur ruangnya
dapat dilihat dari hasil pemetaan
partisipatif yang difasilitasi oleh
beberapa lembaga di Kalimantan
Barat. Berikut ini beberapa contoh
penggunaan lahan hasil pemetaan
partisipatif yang menggambarkan
pola penggunaan lahan,
kepemilikan dan pengaturannya
Sub-suku Dayak Koman di
kampung Cenayan, Nanga Mahap,
Kabupaten Sekadau :
1. Wilayah yang tanahnya dapat
dimiliki warga untuk keperluan
tempat tinggal dan tempat
berusaha; kampokng
(pemukiman), muh doih (lahan
menanam padi darat dan sayur
mayur), muh lompak (ladang),
jamih (bekas ladang yang baru
pertama kali).
2. Wilayah yang tanahnya dapat
dimanfaatkan tetapi tidak dapat
dimiliki oleh orang-perorang;
tomawakng (kawasan berisi
tanaman buah-buahan), tapiatn
(tempat pemandian warga di
tepi sungai), pahantu
(pemakaman). Kepemilikan
wilayah ini oleh kampung atau
keluarga besar.
3. Wilayah yang tidak boleh
digarap atau dibuka untuk
usaha (dijual-belikan); humpo
(hutan sekunder, kayunya
Gambar 1. ! Peta sebaran konflik agraria dan sumberdaya alam di Kalimantan Barat (Sumber: Hasil olahan Tim Geodata
Nasional, 2012)
7. K A B A R U T A M A
KABAR JKPP 17
7
Gambar 3. ! Peta kesesuaian penggunaan lahan masyarakat dengan pola ruang dalam Ranperda RTRW Kalimantan
Barat (Sumber: PPSDAK-Pancur Kasih diolah oleh JKPP 2012)
8. K A B A R U T A M A
8
KABAR JKPP 17
“ Namun, dari naskah akademik dan ranperda mengenai strategi kebijakan ruang dan
arahannya tidak memunculkan informasi dan arahan spesifik perlindungan wilayah-wilayah
yang dikelola masyarakat berdasar pengetahuan lokal kelompok-kelompok masyarakat adat
setempat sebagai karakteristik arahan kebijakan pola ruang. “
diambil untuk bangunan rumah
sendiri yang pengambilannya
atas ijin pengurus adat dan
pengurus kampung). Hasil
hutan tidak boleh dijual-belikan.
4. Wilayah yang tidak boleh
digarap atau dibuka ; hima tutup
yaitu rimba yang tidak boleh
dijadikan ladang karena
merupakan sumber mata air,
pelestarian tumbuhan dan
hewan.
Praktek pengelolaan ruang oleh
masyarakat adat tersebut berlaku
pengaturannya secara mikro pada
unit-unit sosial (wilayah sub-suku)
masing-masing. Inilah salah satu
contoh yang dimaksud dalam
naskah akademik bahwa adat
istiadat masih lestari di Kalimantan
Barat. Tidak hanya berkaitan dengan
aspek-aspek yang sering menjadi
tontonan seperti tarian, pakaian adat
dan benda-benda bersejarah, tapi
lebih dalam berkaitan dengan hak-
hak atas tanah dan pengaturan
ruang.
Pengabaian terhadap karakteristik
budaya Kalimantan Barat semakin
jelas dalam Ranperda Pasal 40
mengenai penetapan kawasan
strategis provinsi, dimana tidak ada
yang berbasis pada kepentingan
sosial dan budaya sesuai Pasal 38,
huruf (c). Hanya tiga aspek
kepentingan dalam penetapan
kawasan strategis provinsi, yaitu
kepentingan pertumbuhan ekonomi,
pendayagunaan sumberdaya alam/
teknologi tinggi dan kepentingan
fungsi daya dukung lingkungan.
Dua aspek pertama sangat
berorientasi pada aktivitas ekonomi,
sedangkan aspek daerah
perlindungan lebih pada kawasan-
kawasan hutan yang sudah ditunjuk
oleh Kementerian Kehutanan bukan
karena aspek perlindungan oleh
masyarakat.
4.
Arahan pola ruang Ranperda
RTRWP vs penggunaan lahan
masyarakat
Untuk melihat perbedaan kondisi
penggunaan lahan masyarakat
dengan arahan pola ruang dalam
Ranperda dilakukan dengan
menganalisis data penggunaan
lahan masyarakat dari hasil
pemetaan partisipatif yang
difasilitasi oleh PPSDAK-Pancur
Kasih. Hingga akhir tahun 2012 ini
PPSDAK-Pancur Kasih telah
memfasilitas 371 kampung dengan
total luas 1,5 juta hektar.
Untuk membandingkan kedua hal
tersebut, maka penggunaan lahan
tradisional seperti Belian, Danau-
rawa, Kebun Durian, Gupung,
Hutan (Adat, Garapan, Lindung,
Tutupan), Julut, Kebun Rotan,
Kelampai, Kompokng Nyatu,
Perkuburan, Pulo, Rimba, Sungkai,
Tagua, Tanah Mali, Tembawang,
Tengkawang, dikelompokkan
menjadi wilayah perlindungan
karena pemanfaatannya yang
terbatas berdasar aturan adat
setempat. Sedangkan penggunaan
lahan tradisional seperti Kebun
Sagu, Sawah,. Bawas, Kakao, Karet,
Kelapa Hibrida, Kelapa Sawit,
Kemiri, Kopi, Lada, Lalang, Nenas,
Pasir,
Pemukiman ini
dikelompokkan
sebagai wilayah
produksi atau
wilayah
budidaya.
Dari 1.519.268,88 hektar luas
pemetaan partisipatif penggunaan
lahan tradisional masyarakat untuk
wilayah perlindungan seluas
915.064,71 hektar, sedangkan
wilayah budidaya sekitar 604.204.71
hektar. Peta penggunaan lahan
masyarakat ini kemudian di overlay
dengan peta pola ruang dalam
dokumen Ranperda RTRW, maka
maka didapatkan titik-titik (spasial)
pemanfaatan yang berbeda dan juga
“
Praktek
pengelolaan
ruang
oleh
masyarakat
adat
tersebut
berlaku
pengaturannya
secara
mikro
pada
unit-‐unit
sosial
(wilayah
sub-‐suku)
masing-‐masing.
“
9. K A B A R U T A M A
KABAR JKPP 17
9
Gambar 2. ! Peta penggunaan lahan masyarakat hasil pemetaan partisipatif yang sudah dikategorikan sebagai wilayah
budidayan dan perlindungan (Sumber: Peta PPSDAK-Pancur Kasih diolah oleh JKPP 2012)
10. K A B A R U T A M A
10
KABAR JKPP 17
yang sama seperti disajikan pada
tabel 1 di diatas.
Dari tabel dan peta-peta di diatas
ada sekitar 240.174,20 hektar
wilayah budidaya masyarakat
yang berada di wilayah lindung
dalam arahan pola ruang. Namun
ada sekitar 167.880,28 hektar
daerah lindung menurut
masyarakat ternyata masuk dalam
wilayah budidaya dalam arahan
pola ruang. Dua kondisi ini
berpotensi konflik dalam
pemanfaatan ruang oleh
masyarakat. Jika masyarakat
melakukan usaha pertaniannya di
daerah lindung menurut arahan
pola ruang maka akan ada batasan
dan bisa jadi memiliki implikasi
hukum, seperti pelanggaran
melakukan aktivitas produksi di
kawasan lindung.
Begitu juga sebalikanya, jika
wilayah perlindungan masyarakat
akan digunakan untuk kegiatan
budidaya karena adanya perijinan
maka akan berbenturan dengan
kepentingan masyarakat.
Dengan melihat data konflik
pemanfaatan ruang dan analisis
kesesuaian pola ruang pemerintah
dengan penggunaan lahan oleh
masyarakat, maka beberapa hal
penting dari Ranperda RTRWP
Kalimantan Barat :
1. Ranperda RTRWP Kalimantan
Barat belum memuat modal
sosial seperti pengetahuan
lokal masyarakat adat/lokal
dalam pengelolaan ruang
sebagai komponen basis
penyusunan kebijakan, strategi
dan arahan pola dan struktur
ruang sehingga Ranperda ini
tidak memiliki karakteristik
yang khas. Perlu ada arahan
kebijakan penataan ruang
provinsi maupun kabupaten
yang melindungi praktek dan
filosofis pengelolaan ruang oleh
masyarakat adat/lokal.
2. Pola ruang dan arahan
pemanfaatan ruang berpotensi
meningkatkan konflik di
masyarakat karena tidak
memperhatikan hak-hak
masyarakat adat/lokal
berkaitan dengan tenurial,
penggunaan lahan tradisional
oleh masyarakat setempat.
Rencana tata ruang wilayah yang
cenderung seragam pada orientasi
pertumbuhan ekonomi tanpa
memperhatikan karakteristik
wilayah dan masyarakatnya akan
menimbulkan benturan di tingkat
tapak ketika dilaksanakan. Hal ini
terlihat dari kasus-kasus yang
disampaikan pada bagian awal
tulisan ini.
Konflik-konflik agraria dan
sumberdaya alam salahnya satu
ditimbulkan oleh kebijakan
penataan ruang yang mengabaikan
karakteristik wilayah dan hak-hak
masyarakat. Pengulangan terhadap
penyusunan tata ruang tanpa
karakter hanya akan menghasilkan
dokumen tata tuang yang kembali
dilumuri konflik. (***)
1) Tulisan
ini
pernah
penulis
sampaikan
dalam
Diskusi
Fokus
Eksaminasi
Ranperda
RTRWP
Kalimantan
Barat
yang
diselenggarakan
oleh
Gemawan
dan
ICW,
14
Desember
2012
di
Pontianak.
Penulis
melakukan
perubahan
pada
judul
dan
beberapa
perbaikan
dan
tambahan
isinya.
2) Penataan
ruang
secara
normatif
berdasar
UU
Penataan
Ruang
No.26
Tahun
2007
adalah
adalah
suatu
sistem
proses
perencanaan
tata
ruang,
pemanfaatan
ruang,
dan
pengendalian
pemanfaatan
ruang
Refferensi :
1. Hermanto, 2012. Orang Dayak
Koman: Memperkuat Identitas,
Mempertegas Batas Wilayah Adat.
PPSDAK-Pancur Kasih.
Pontianak
2. Naskah Akademik Revisi
RTRW Provinsi Kalbar
3. Draft Revisi RTRW Kalbar, 2011
Penggunaan lahan masyarakat
hasil pemetaan partisipatif
Arahan pola ruang
Ranperda RTRWP
Jumlah Lokasi Luas (Ha)
Budidaya Lindung 3.807 240.174,20
Lindung Lindung 3.298 247.184,41
Lindung Budidaya 4.395 167.880,28
Budidaya Budidaya 5.665 364.029.28
TOTALTOTALTOTAL 1.519.268,88
Tabel 1. Kesesuaian penggunaan lahan masyarakat dan arahan pemanfaatan ruang dalam ranpeda RTRWP !
! Kalimantan Barat
11. K A B A R U T A M A
KABAR JKPP 17
11
Pendahuluan
Luas wilayah Kalimantan Timur
yang mencapai 21.798.596 Ha
(19.695.875 Ha daratan dan 2.102.721
Ha, 4-12 Mil) kerap dijuluki “land of
hope” bagi investasi sumber daya
alam yang kian mengantri. Provinsi
ini sangat royal dalam memberikan
perijinan bagi pengambilan
kekayaan alam. Tidak kurang dari
2,5 juta Ha telah diberikan kepada
perkebunan sawit skala besar.
Terdapat setidaknya 145 perkebunan
swasta skala besar dengan luas 1,8
juta Ha yang memperoleh ijin dari
Bupati/Walikota, dimana 34
perusahaan dengan luas 380 ribu Ha
yang berpoduksi, 1,5 juta Ha untuk
pertambangan, 8,1 juta bagi
pengusahaan hutan terdiri dari 6,4
juta Ha HPH (88 perusahaan), dan
1,7 juta Ha HTI (25 perusahaan).
Ironisnya, luas lahan pertanian
justru kian menurun, yaitu sekitar
141 ribu Ha pada panen tahun 2005.
Hal ini menjadi kontraproduktif,
ketika dalam berbagai kesempatan,
Pemerintah Propinsi Kalimantan
Timur menyatakan siap menjadikan
Kalimantan Timur sebagai lumbung
pangan nasional melalui program
Food Estate yang telah dimulai sejak
setahun yang lalu, program Food
Estate ini mencanangkan 320 ribu
Ha di 10 Kabupaten. Padahal di
tahun ini terdapat 8,1 juta Ha lahan
kritis di wilayah Kalimantan Timur.
Pemerintah propinsi kemudian
mengklaim bahwa lahan kritis
tersebut dapat diselesaikan
dengan program “Kaltim
Green” yang mendorong
setiap orang menanam lima
pohon (one man five trees).
Sementara itu, ijin usaha yang
ditertibkan kepala daerah
sudah mencapai 2,6 juta Ha,
hal ini dapat berpotensi
sebagai konflik yang akan
mudah untuk disulut. Menurut
catatan WALHI Kalimantan Timur
terdapat 40 konflik terbesar dan
terjadi secara periodik sepanjang
tahun 1982 – 2011, mulai dari konflik
lahan dan replanting hingga
pencemaran. Kabupaten Paser
misalnya, merupakan kabupaten
yang lebih awal membuka diri
untuk perkebunan sawit skala besar
hingga kini tidak lepas dari konflik
lahan dengan masyarakat adat.
Belum lagi ekstraktif batu bara
PT.Kideko Jaya Agung yang
mencaplok lahan adat masyarakat
Fathur Roziqin Fen - Deputy Direktur
Walhi Kaltim
Memperjuangkan Ruang Partisipasi Publik
Dalam Advokasi Penataan Ruang
Provinsi Kalimantan Timur
- Fathur Roziqin Fen - WALHI Kaltim
12. K A B A R U T A M A
12
KABAR JKPP 17
Suku Paser di wilayah Batu Kajang dan Batu Engau,
Kabupaten Paser.
Pemerintah propinsi dan kabupaten saling tuding
merespon kondisi diatas, gubernur menilai tidak ada
koordinasi dalam penerbitan ijin yang dilakukan para
kepala daerah. Misalnya, ijin untuk perkebunan telah
dikeluarkan tetapi ijin peruntukan lainnya seperti KP
(Kuasa Pertambangan) dikeluarkan di dalam satu
lahan atau kawasan yang sama. Praktek saling tuding
tanggungjawab ini tidak juga menegaskan
keberpihakan atas kerusakan dan konflik yang terus
berkepanjangan.
Carut-marut pengelolaan sumber daya alam ini tidak
bisa dilepaskan dari pengabaian hak dan partisipasi
masyarakat. Gubernur Kalimantan Timur, Awang
Faroek mengakui persoalan konflik lahan menjadi salah
satu kendala dan tantangan realisasi Tata Ruang
Kalimantan Timur. Hingga saat ini, tercatat oleh
Propinsi terdapat 742 kasus atau sengketa lahan yang
terjadi akibat tumpang tindih lahan terkait pelaksanaan
program pembangunan di Klaimantan Timur. Kasus
terbanyak adalah tumpang tindih antara perkebunan
dan pertambangan, kehutanan maupun APL (areal
penggunaan lain) serta pembebasan atau status lahan
milik masyarakat.
Tumpang tindih persoalan yang terjadi salah satunya
disebabkan adanya perbedaan persepsi pembangunan
dan konsepsi tata ruang antara pemerintah daerah
dengan masyarakat sipil di Kalimantan Timur. Dampak
selanjutnya, seringkali konflik berakhir di ujung laras
aparat, intimidasi dan pembungkaman di atas meja
terhadap para tokoh masyarakat yang membangkang
terhadap investasi yang merampas ruang ruang hidup
mereka.
“
Gubernur
Kalimantan
Timur,
Awang
Faroek
mengakui
persoalan
konIlik
lahan
menjadi
salah
satu
kendala
dan
tantangan
realisasi
Tata
Ruang
13. K A B A R U T A M A
KABAR JKPP 17
13
RUANG ADVOKASI
Upaya advokasi kebijakan pun
menjadi mutlak. Salah satu yang
telah dan terus didorong oleh
gerakan masyarakat sipil yang
secara fokus mengadvokasi sumber-
sumber kehidupan rakyat adalah
dengan bersama masyarakat adat
melakukan pemetaan partisipatif
terhadap kawasan kelola mereka.
Kemudian menjadikannya sebagai
konsensus
bersama antar
wilayah kelola
adat hingga
dijadikan
penekan
kebijakan pada
level kabupaten
dan propinsi
untuk diakui
secara legal formal atas kelola
kawasan tersebut.
Saat ini sedang dilakukan di
Kabupaten Paser bersama
masyarakat adat Paser di kawasan
Gunung Lumut. Peta kawasan kelola
hutan adat dan lainnya yang telah
disusun hasil pemetaan partisipatif
kemudian disampaikan dalam
forum lokakarya kabupaten, untuk
disesuaikan dengan penataan ruang
kabupaten, sehingga mampu
mewujudkan kesepakatan dengan
pemerintah berupa penataan ruang
berbasis partisipasi masyarakat.
Upaya ini masih belum maksimal,
mengingat masi banyak kawasan
kelola adat dan masyarakat lokal
lainnya yang masih belum memiliki
peta kawasan kelola,
baik itu hutan adat
maupun hutan
produktif lainnya.
Maka konsolidasi
antar wilayah adat
dan penguasaan
komunal oleh
masyarakat lainnya
menjadi penting
untuk melakukan
upaya advokasi secara
bersama-sama hingga
memperoleh legitimasi
oleh pemerintah daerah kabupaten
dan propinsi. Konsolidasi ini akan
menarik garis Selatan – Utara
Kalimantan Timur.
Dalam konsolidasi tersebut, akan
dilakukan kajian kawasan DAS,
hutan adat, konflik agraraia hingga
potensi ancaman akibat dampak
pembangunan lainnya. Salah
satunya dengan mengupas sisi lain
dokumen Master Plan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) koridor
Kalimantan Timur. Dalam dokumen
tersebut Kalimantan dijadikan
sebagai “Pusat Produksi dan
Pengolahan Hasil Tambang dan
Lumbung Energi Nasional”.
Kalangan pegiat masyarakat sipil
menganggap, beberapa ambisi
proyek nasional dan daerah kerap
merampas sumber-sumber
penghidupan rakyat, hal ini telah
terbukti pada pembangunan dan
penerbitan ijin usaha lainnya di
bidang ekstraktif. Program nasional
yang didukung oleh beberapa
kementerian ini justru
menghadirkan segudang persoalan
baru, dimana persoalan lama pada
pengelolaan sumber daya alam
masih menyisakan konflik. Gerakan
masyarakat sipil di Kalimantan
Timur menganggap, selama
masyarakat tidak dilibatkan dalam
penentuan ruang dan kebijakan
lainnya, maka perampasan sumber-
sumber kehidupan dan peminggiran
hak akan terus terjadi. Kebutuhan
akan “nuansa lokal” dalam
penyusunan Rencana Tata Ruang
pada gilirannya harus dapat
diwujudkan melalui ruang
partisipasi publik yang dibuka
seluas-luasnya.
PENUTUP
Langkah advokasi kebijakan
penataan ruang dan penyelamatan
sumber-sumber kehidupan rakyat di
Kalimantan Timur merentang jalan
panjang, seiring laju modal yang
dihadirkan pada sektor sumber daya
alam. Sayangnya industrialisasi
yang masif tidak disertai dengan
pengembangan kapasitas sumber
daya manusia dalam mengelola
dan melindungi sumber-sumber
kehidupan yang berkelanjutan.
Kesadaran akan pemanfaatan
partisipasi publik dan advokasi
kebijakan harus didorong dalam
pengarusutamaan penataan ruang,
dengan tetap memaksimalkan
kesadaran kolektif masyarakat dan
membuka ruang perubahan
kebijakan. Sebab bumi ini tidak
hanya dimiliki oleh satu dua
generasi saja, sehingga
membutuhkan langkah-langkah
strategis untuk dapat
menjadikannya bermartabat bagi
generasi mendatang. Membuka
ruang untuk partisipasi publik
dalam penataan tata ruang di
Kalimantan Timur mungkin bukan
jalan keluar utama, tetapi langkah
itu diharapkan dapat menjadi kunci
pembuka bagi pintu-pintu
selanjutnya. (***)
“
Peta
kawasan
kelola
hutan
adat
dan
lainnya
yang
telah
disusun
hasil
pemetaan
partisipatif
kemudian
disampaikan
dalam
forum
lokakarya
kabupaten,
untuk
disesuaikan
dengan
penataan
ruang
kabupaten,
sehingga
mampu
mewujudkan
kesepakatan
dengan
pemerintah
berupa
penataan
ruang
berbasis
partisipasi
masyarakat.”
14. K A B A R U T A M A
14
KABAR JKPP 17
Dari sektor-sektor tersebut, sektor
pertanian merupakan potensi utama
Kabupaten Pati yang meliputi
tanaman pangan, perkebunan,
kehutanan, peternakan dan
perikanan. Kondisi alam Kabupaten
Pati juga memiliki potensi
pengembangan pariwisata. Sebaran
lokasi potensi wisata di wilayah Pati
bagaian selatan berada di
Kecamatan Sukolilo, Kayen dan
Tambakromo. Di tiga kecamatan
tersebut terdapat banyak goa (Goa
Wareh, Goa Lowo, Goa Pancur), dan
beberapa situs sejarah (Makan
Saridin, Makam Nyai Ageng
Ngerang, Sendang Ronggoboyo,
Makam Sawung Bronto Sawung
Branti, Pertapaan Watu Payung,
Peninggalan Kerajaan Malawapati).
Disamping itu, di Pegunungan
Kendeng Utara juga terdapat
ratusan mata air.
Dalam konteks pertanian, tiga
kecamatan itu merupakan lima
besar dari sebelas kecamatan di
Kabupaten Pati dalam menghasilkan
produksi pangan; terutama padi.
Produksi Gabah Kering Giling
(GKG) Kecamatan Sukolilo
sebanyak 75.934 ton/tahun,
Kecamatan Kayen sebesar 59.113
ton/tahun dan Kecamatan
Tambakromo 46.032 ton/tahun.
Diluar itu, ketiga kecamatan ini
merupakan sentra palawija;
diantaranya Jagung, Ketela Pohon,
Ketela Rambat, Kacang Tanah,
Kedelai dan Kacang Hijau. Artinya,
dalam konteks penyediaan pangan
local, ketiga kecamatan ini
merupakan lumbung pangannya
Kabupaten Pati.
Kawasan Karst Sukolilo –
Grobogan
Di Pegunungan Kendeng ini
terdapat Kawasan Karst Sukolilo -
Grobogan yang dicirikan oleh
bentukan bukit-bukit kapur kerucut,
sungai-sungai yang mengalir di
bawah tanah, serta munculnya mata
air di rekahan batuan. Penetapan
kawasan kars Sukolilo didasarkan
pada Kepmen ESDM No 0398 K/
40/MEM/2005 yang menjelaskan
kawasan ini melintasi Kecamatan
Sukolilo, Kecamatan Kayen,
Kecamatan Tambakromo, di
Kabupaten Pati, Kecamatan
Grobogan, Kecamatan Tawangharjo,
Husaini - Staf Advokasi dan
Pemberdayaan Masyarakat, Yayasan
SHEEP Indonesia – Jogjakarta
Pegunungan Kendeng Utara
“ Dijaga Rakyat, Diincar Investor “
- Husaini - Yayasan SHEEP Yogyakarta
Pegunungan Kendeng Utara di Kabupaten Pati terletak diwilayah Pati sebelah selatan. Di Jawa Tengah,
pegunungan ini memanjang dan secara administrative berada di lima (5) kabupaten; yakni Kabupaten Kudus,
Pati, Grobogan, Rembang dan Blora. Kabupaten Pati merupakan daerah yang strategis di bidang ekonomi sosial
dan budaya yang berasal dari sektor-sektor pertanian, peternakan, perikanan, perindustrian, pertambangan dan
pariwisata.
15. K A B A R U T A M A
KABAR JKPP 17
15
Kecamatan Wirosari dan Kecamatan
Ngaringan di Kabupaten Grobogan,
Kecamatan Todanan di Kabupaten
Blora Provinsi Jawa Tengah.
Keputusan ini merupakan landasan
bagi penetapan klasifikasi Kawasan
Kars Sukolilo.
Klasifikasi kawasan kars didasarkan
pada Kepmen ESDM No 1456 K/20/
MEM/2000 tentang Pedoman
Pengelolaan Kawasan Kars. Menurut
Pasal 11 pada peraturan tersebut,
Kawasan Kars diklasifikasikan
menjadi 3 kelas yaitu Kawasan Kars
Kelas I, Kawasan Kars Kelas II, dan
Kawasan Kars Kelas III. Selanjutnya,
karakteristik dari masing-masing
kelas dijelaskan dalam Pasal 12.
Dengan memperhatikan Pasal 14,
maka penambangan hanya dapat
dilakukan pada Kawasan Kars Kelas
II dan III.
Berdasarkan penelitian Wacana dkk
(2008), disimpulkan bahwa kawasan
kars Sukolilo–kawasan kars
Grobogan masuk dalam klasifikasi
Kawasan Kars Kelas 1 yang
merupakan kawasan lindung
sumberdaya alam. Kawasan ini
memiliki karakteristik yaitu masih
berlangsungnya proses
karsifikasi berupa
pembentukan gua-gua
dan sungai bawah tanah,
sungai-sungai bawah
tanah tersebut mengalir
secara terus-menerus
dan berfungsi sebagai
penyimpan air permanen, serta
kawasan kars juga berfungsi sebagai
pendukung ekosistem flora dan
fauna. Apabila ditinjau dari sisi
arkeologi, pegunungan Kendeng
terbukti menyimpan potensi temuan
arkeologis yang sangat kaya,
terutama untuk temuan ekofak
organik atau temuan fosil hewan
purba (Nurani, 1999).
Pro Penambangan
Pertimbangan untuk
mendukung program
penambangan di kawasan
kars Sukolilo lebih banyak
didasarkan pada
pertimbangan ekonomi.
Menurut Pemerintah
Kabupaten Pati (Kompas 2
Juni 2010), sekitar 85 %
Pegunungan Kendeng Utara
terdiri atas susunan bebatuan
gamping, silika, dan
lempung. Bebatuan
tersebut merupakan
bahan baku utama
semen. Hal inilah yang
mendasari penetapan
kawasan pertambangan
pada RTRW Provinsi
Jawa Tengah 2009-2029
dan RTRW Kabupaten
Pati 2010-2030 selain
mengacu pada fungsi
kawasan Pegunungan
Kendeng Utara didalam
RTRWN sebagai
pencadangan nasional.
Berdasarkan
pengalaman terdahulu
dengan rencana
pembangunan pabrik
oleh PT Semen Gresik,
studi kelayakan hanya
memuat perhitungan
ekonomi produksi dan tidak secara
rinci menjelaskan biaya-biaya apa
saja yang dibutuhkan dalam
pembangunan pabrik, sehingga
keuntungan bagi masyarakat lokal
tidak dapat dihitung. Menurut
perhitungan Ismalina (2007) dalam
Kodim (2009), keuntungan yang
diperoleh masyarakat dengan
adanya pertambangan batu gamping
tidak sebanding dengan keuntungan
“
Pertimbangan
untuk
mendukung
program
penambangan
di
kawasan
karst
Sukolilo
lebih
banyak
didasarkan
pada
pertimbangan
ekonomi.
“
16. K A B A R U T A M A
16
KABAR JKPP 17
“ Pokok utama penolakan masyarakat adalah terkait
dengan hal yang paling fundamental dalam
kehidupan manusia; yakni keberlangsungan hidup. “
ekonomi yang diperoleh dengan
tetap mempertahankan sektor
pertanian maupun peternakan saat
ini. Selain itu, jumlah tenaga kerja
yang terserap dalam sektor
pertanian jauh melebihi jumlah
tenaga kerja yang dapat diserap oleh
pertambangan.
Kerja-kerja pro-penambangan pada
kasus PT. SMS ini dilakukan oleh
Kantor Pelayanan dan Perijinan
Terpadu (KPPT) Pati dan Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Pati.
Bentunya adalah; KPPT
menerbitkan ijin-ijin mulai dari ijin
lokasi pabrik hingga ijin eksplorasi
penambangan batu kapur dan tanah
liat tanpa melakukan konsultasi
kepada masyarakat dan tanpa
didukung kajian-kajian ilmiah,
sedangkan BLH Pati disamping
berperan mengusahakan mulusnya
proses penyusunan Amdal, juga
memfasilitasi kegiatan kampanye-
kampanye investasi PT. SMS yang
sebenarnya bukan merupakan Tugas
Pokok dan Fungsi (TUPOKSI)
instansi tersebut.
Bahkan, karena sibuk berurusan
dengan berbagai persiapan yang
dilakukan PT. SMS, pada Tahun
Anggaran 2011, BLH Pati tidak
mampu menyerap anggaran di
APBD Pati yang dialokasikan untuk
instansi tersebut. Dalam dokumen
laporan posisi keuangan per-instasi
dituliskan bahwa BLH Pati pada
akhir Bulan Oktober
2011 baru mampu
menggunakan
anggaran sekitar 30
persen dari total
anggaran yang
disediakan di APBD
Pati 2011. Padahal,
dalam SLHD Tahun
2010, BLH merasa
tidak bisa berbuat banyak untuk
penyelamatan dan pengendalian
lingkungan di Kabupaten Pati
karena keterbatasan anggaran.
Awal Mula Konflik
Konflik antara masyarakat [baca:
petani] dan perusahaan semen
diwilayah Pegunungan Kendeng
Utara di Kabupaten Pati – Jawa
Tengah sudah berlangsung sejak
Tahun 2006. Pada periode 2006-2010,
masyarakat berkonflik dengan PT.
Semen Gresik, Tbk.
Situasi konflik saat itu seperti yang
terjadi berbagai tempat di Indonesia,
selalu melibatkan birokrasi
pemerintah, aparat keamanan dan
preman. Dalam konteks strategi,
praktik intimidasi, kampanye hitam
terhadap tokoh-tokoh kunci,
kriminalisasi hingga politik devide
et impera (politik adu-domba) juga
dimainkan guna menimbulkan
konflik horizontal di masyarakat.
Hal ini berdampak pada
dipenjaranya aktivis petani dan
perpecahan sosial.
Perusahaan ini kemudian
memutuskan untuk tidak
melanjutkan rencananya di
Pegunungan Kendeng Utara di
Kabupaten Pati; tepatnya di
wilayah Kecamatan Sukolilo dan
Kayen dikarenakan kuatnya
penolakan masyarakat dan
dianulirnya dokumen perijinan
yang dikeluarkan Kantor
Pelayanan dan Perijinan Terpadu
(KPPT) Kabupaten Pati oleh
Mahkamah Agung (MA) pada
Tahun 2010.
Pokok utama penolakan masyarakat
adalah terkait dengan hal yang
paling fundamental dalam
kehidupan manusia; yakni
keberlangsungan hidup. Bagi
masyarakat, keberlangsungan hidup
tidak hanya bisa ditentukan dengan
meningkatnya pendapatan
masyarakat secara ekonomi dan
bagusnya infrastruktur. Akan tetapi
persoalan-persoalan tentang
kehidupan yang damai, ketenangan
dan terbebasnya masyarakat dari
ancaman bencana merupakan syarat
mutlak untuk mewujudkan hidup
yang sejahtera.
Babak Baru Bersama PT. SMS
Belum lama menikmati rasa bebas
dari perginya ancaman dari PT.
Semen Gresik, Tbk, di akhir Tahun
2010 PT. Sahabat Mulia Sakti (PT.
SMS) yang merupakan anak
perusahaan PT. Indocement Tunggal
Prakarsa (PT. INTP) kembali
menteror masyarakat. Dengan
berbagai macam cara tanpa
diketahui legalitsanya, perusahaan
ini berusaha mempengaruhi
masyarakat agar bersedia
mendukung rencananya
membangun pabrik semen. Lokasi
yang dipilihnya adalah wilayah
Kecamatan Kayen dan Tambakromo
Kabupaten Pati.
Disamping membuat masyarakat
terusik, masyarakat juga mengalami
17. K A B A R U T A M A
KABAR JKPP 17
17
kebingungan dikarenakan selama ini
masyarakat tidak pernah
mendapatkan informasi dari
pemerintah tentang keberadaan PT.
SMS yang sedang menyiapkan
proyek pembangunan pabrik semen.
Selanjutnya, masyarakat—dengan
usahanya sendiri—mencari
informasi guna mendapatkan
kejelasan rencana
PT. SMS tersebut.
Pada Tahun 2011,
masyarakat
berhasil
menemukan
beberapa
dokumen perijinan; ada (1) ijin
pinjam pakai hutan dari
kementerian kehutanan yang sudah
habis masa perijinannya pada
tanggal 25 Mei 2011, (2) ijin usaha
pertambangan (IUP) eksplorasi
mineral bukan logam (tanah liat)
yang dikeluarkan oleh Dinas Enegi
dan Sumberdaya Mineral Jawa
Tengah atas Keputusan Gubernur
Jawa Tengah No: 603/07/C/2010
yang dikeluarkan pada tanggal 25
Mei 2010 untuk jangka waktu satu
tahun sejak surat tersebut
diterbitkan, (3) ijin usaha
pertambangan eksplorasi (IUP)
tanah liat dan batu kapur yang
dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan
dan Perijinan Terpadu (KPPT)
Kabupaten Pati yang keduanya
terbitkan secara serentak tertanggal
8 Agustus 2011; kedua ijin ini
berlaku untuk dua tahun semenjak
surat ijinnya diterbitkan dan (4) ijin
lokasi pabrik semen PT. Sahabat
Mulia Sakti dari Kantor Pelayanan
Perijinan Terpadu Kabupaten
(KPPT) Kabupaten Pati, Nomor
591/02/2011 tertanggal 18 Mei 2011.
Seiring dengan proses masyarakat
mendapatkan dokumen-dokumen
tersebut PT. SMS gencar melakukan
kampanye baik di desa hingga
kabupaten. Untuk membangun
opini bahwa perusahaan itu
melakukan proses sosialisasi dan
partisipasi masyarakat. Scenario
pelibatan masyarakat yang menolak
rencana pembangunan pabrik semen
juga dilakukan.
Akan tetapi pelibatan masyarakat
yang menolak rencana
pembangunan pabrik semen itu
ternyata hanya dihitung sebagai
cacah jiwa. Kehadirannya hanya
dihitung untuk kelengkapan
administrasi daftar hadir, tetapi
substansi masukan, usulan dan ide-
ide yang disampaikan tidak pernah
diperhitungkan. Diluar itu, dalam
semua forum yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun PT. SMS
yang membicarakan rencana
pembangunan pabrik semen
berbagai intimidasi kepada
masyarakat yang menolak rencana
pembangunan pabrik semen terjadi.
Intimidasi itu berupa teror
psikologis menggunakan berbagai
hujatan dan kata-kata kotor serta
ancaman tindak kekerasan.
Sejalan dengan itu, bermunculan
kelompok-kelompok baru
pendukung pabrik semen.
Kelompok-kelompok ini berperan
melakukan intimidasi kepada
masyarakat yang menolak rencana
pembangunan pabrik semen dengan
berbagai macam cara. Aktornya
adalah para preman dan aparat desa
terutama kepala desa. Aparat
kepolisian juga melakukan kerja-
kerja menghambat kegiatan
masyarakat yang melakukan
kampanye lingkungan dan menolak
rencana pabrik semen.
Proses AMDAL
Tanggal 30 Januari 2012, Komis
Penilai Amdal Kabupaten Pati
menyelenggarakan sidang komisi
pertama kali dengan agenda
membahsa Kerangka Acuan Andal
(KA-ANDAL) Rencana
Pembangunan Pabrik Semen dan
Pertambangan PT. SMS. Sidang ini
dijaga oleh ratusan polisi dan juga
ratusan barisan Serbaguna (Banser)
NU. Masih merasa kurang banyak,
beberapa preman juga disiagakan
dilokasi sidang; Hotel Pati.
Aroma persekongkolan
memuluskan jalannya sidang dan
selanjutnya mengesahkan Ka-Andal
untuk diteruskan dalam proses
Andal dan UKL, UPL sudah tercium
sejak awal sidang. Salah satu
anggota sidang Komisi dari Yayasan
SHEEP Indonesia (YSI); Adi
Nugroho menyatakan hal itu. Ia
mengaku berdebat sengit dengan
Ketua Komisi Penilai Amdal
dikarenakan dalam sidang tidak ada
kesepakatan soal tata tertib dan
“
Pokok
utama
penolakan
masyarakat
adalah
terkait
dengan
hal
yang
paling
fundamental
dalam
kehidupan
manusia;
yakni
keberlangsungan
hidup.
“
18. K A B A R U T A M A
18
KABAR JKPP 17
Hingga awal 2012, tensi pro-kontra (setuju dan
tidak setuju) rencana pembangunan pabrik semen
PT. SMS semakin meningkat. Mereka yang setuju
diwakili oleh para preman, perangkat desa dan
orang-orang bayaran, sementara yang tidak setuju
mayoritas adalah petani.
Pada tanggal 20 April 2011, masyarakat yang
melakukan penolakan rencana pembangunan
pabrik semen yang hendak menyampaikan
aspirasinya kepada pemerintah daerah dan DPRD
Pati dihadang preman bayaran di depan Polsek
Kayen. Lebih dari satu jam jalan raya Pati-
Purwodadi Km. 26 ini macet total. Sempat terjadi
adu pukul antara preman dan warga yang
melakukan aksi. Atas kegigihan warga, akhirnya
mereka bisa lolos dari hadangan preman dan
berhasil menyuarakan aspirasi mereka ke
pemerintah daerah dan DPRD melalui aksi
demonstrasi.
Pada 1 Januari 2012 peserta aksi pawai lingkungan
sempat dipukuli warga desa yang dilintasi pawai
dikarenakan provokasi dan adu domba kepala desa
dan preman-preman bayaran. Peristiwa ini terjadi
diwilayah Desa Keben Kecamatan Tambakromo.
Praktik kriminalisasi warga untuk membuat efek
jera dan takut bergerak menolak juga dilakukan
dengan sistematis. Kasus ini terjadi di Desa Brati
Kecamatan Kayen dimana salah seorang
perempuan bernama Jemi yang menolak rencana
pembangunan pabrik semen dilaporkan ke Polisi
hingga disidangkan di pengadilan karena tuduhan
menghina tetangganya—bahkan keponakannya
sendiri—bernama Wati yang mendukung rencana
pembangunan pabrik semen.
Oleh masyarakat Wati dinilai sebagai mata-mata
PT. SMS. Penilaian ini bukan tanpa dasar. Selama
ini masyarakat selalu menjumpai Wati bersama
dengan direktur PT. SMS; Alexander Frans, SH
dalam setiap pertemuan-pertemuan yang digelar
PT. SMS. Keakraban Wati dengan Alexander Frans,
SH ditengarai sebagai bentuk dukungan PT. SMS
atas proses hukum yang dilakukan Wati.
Dipersidangan, Jemi dituduh melanggar pasal 335
ayat (1) dan pasal 310 ayat (1) KUHP dengan
tuntutan denda 2,5 juta dan kurungan 2 bulan.
Hingga tulisan ini dibuat, proses hukum masih
berjalan.
Praktik-praktik intimidasi dan ancaman kekerasan
ini sudah dilaporkan oleh masyarakat kepada
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) pada Tanggal 17 Januari 2012. Perwakilan
masyarakat Kecamatan Sukolilo, Kayen dan
Tambakromo mendatangi Komnas HAM dengan
membawa laporan tertulis. Perwakilan warga
diterima oleh perwakilan Komnas HAM; Joni
Simanjutak dan Stanley Prasetyo. Kemudian
Komnas HAM menindaklanjuti dengan investigasi
lapangan pada Tanggal 1-2 Februari 2012.
Diluar itu, insiden-insiden di tingkat desa tensinya
semakin meningkat. Perlawanan yang dilakukan
masyarakat yang menolak rencana pembangunan
pabrik semen sudah sampai pada ranah hidup-
mati. Masyarakat desa yang sebelumnya tidak
memiliki peluang untuk menyuarakan pendapat
dan gagasannya kini mulai lantang bersuara.
Masyarakat yang pada awalnya tunduk dan takut
pada aparat desa, kini terang-terangan membangun
pertentangan karena aparat desa-nya mendukung
rencana pembangunan pabrik semen, sementara
mereka tidak setuju.
Memasuki pertengahan Bulan Februari 2012, sudah
ada enam (6) kepala desa yang digrudug warganya
terkait persoalan pro-kontra rencana pabrik semen.
Sikap kepala desa yang bertentangan dengan
keinginan warganya membuat masyarakat geram.
Para kepala desa itu dipaksa menandatangani
pernyataan resmi bahwa pemerintah desa bersama
masyarakat menolak rencana pendirian pabrik
semen.
Peristiwa itu setidaknya sudah terjadi di Desa Brati
Kecamatan Kayen, Desa Keben, Larangan, Maitan,
Karangawen dan Wukirsari Kecamatan
Tambakromo.
Tiada Hari Tanpa Insiden !
19. K A B A R U T A M A
KABAR JKPP 17
19
“ Ada banyak persoalan terkait dengan proses dan dokumen Ka-Andal.
Mulai dari proses yang mengabaikan pihak-pihak yang berkepentingan langsung
hingga soal metode pelingkupan yang tidak holistic. ”
identitas peserta sidang komisi. Sidang Komisi
Penilai Amdal justru dipenuhi oleh orang-orang
tidak dikenal yang arogan dan brangasan yang
selalu menyoraki dan meneriaki setiap pendapat
anggota Komisi Penilai yang dianggap kritis
terhadap proses persidangan. Tidak betah dengan
nuansa sidang yang intimidatif, akhirnya
perwakilan YSI walk-out. Sementara itu ribuan
masyarakat yang menolak rencana pembangunan
pabrik semen dari Kecamatan Sukolilo, Kayen dan
Tambakromo yang hendak datang ke Pati untuk
mendengarkan sidang Komisi Penilai Amdal
dengan menumpang sekitar 56 truk dihadang oleh
ratusan preman bayaran di depan Polsek Kayen.
Sebagian besar preman ini menggunakan seragam
berwarna putih-biru bertuliskan “Pro Investasi”.
Masyarakat akhirnya berhasil sampai di Pati setelah
bertempur dulu melawan preman bayaran. Polisi
dilokasi kejadian tidak berkutik dan cenderung
membiarkan kekerasan fisik terjadi. Di depan Hotel
Pati, masyarakat menggelar orasi dan yel-yel tolak
pabrik semen. Sementara didalam ruang pertemuan
hotel, sidang komisi masih berlangsung tanpa
diketahui proses dan hasilnya. Masyarakat
menuruti himbauan polisi untuk tidak masuk ke
halaman hotel.
Ada banyak persoalan terkait dengan proses dan
dokumen Ka-Andal. Mulai dari proses yang
mengabaikan pihak-pihak yang berkepentingan
langsung hingga soal metode pelingkupan yang
tidak holistic. Ada perwakilan kepala desa, Yayasan
SHEEP Indonesia dan beberapa akademisi yang
sudah memberikan masukan tertulis. Namun
hingga tulisan ini dibuat, masyarakat belum
mendapatkan informasi perkembangan preses
revisi Ka-Andal itu.
Ancaman Kehilangan Sumber Penghidupan
Di beberapa dukuh –yang dalam dokumen Ka-Andal
disebutkan akan menjadi
lokasi pertambangan
maupun tapak pabrik dan
harus direlokasi—banyak
warga masyarakat yang
gelisah; terutama para
perempuan. Beberapa
perempuan di Dukuh
Slening Desa Larangan
dan Dukuh Gower Desa
Karangawen mengaku
sering tidak bisa tidur jika
mengingat hal itu.
Di sisi lain, ada sekitar 2.756 hektar lahan Perhutani
yang saat ini dikelola oleh kelompok LMDH
(Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang sebagian
besar masuk diwilayah yang akan menjadi lahan
pertambangan PT. SMS. Artinya, jika diasumsikan
bahwa setiap orang menggarap 0,5 hektar, lanah
tersebut berarti digarap oleh 5.512 orang. Menurut
perkiraan JM-PPK, dari 5.512 orang tersebut, 65%
berada dilahan yang akan digunakan sebagai lahan
tambang PT. SMS. Maka sekitar 3.582 petani
pesanggem LMDH akan kehilangan pekerjaan.
Belum lagi ditambah dengan berapa keluarga yang
akan kehilangan lahan pertanian sawah, tegalan
dan lain-lain yang juga belum tentu bisa
mendapatkan pekerjaan lain sesuai harapan.
Sementara itu, pihak pabrik semen hanya
menyediakan lahan pekerjaan untuk 1.600 orang
pada saat konstruksi dan hanya 800 orang untuk
tahap operasi.
Alih fungsi lahan hutan, sungai dan lahan pertanian
menjadi lahan pertambangan juga berpotensi
mengurangi daerah resapan air. Padahal ratusan
hektar lahan pertanian di wilayah Kecamatan
Sukolilo, Kayen dan Tambakromo kebutuhan
airnya berasal dari Pegunungan Kendeng Utara.
(***)
20. K A B A R S I M P U L
20
KABAR JKPP 17
Menegaskan Klaim
Atas Wilayah Masyarakat 11 Desa di Pulau Padang, Riau
Melalui Pemetaan Partisipatif
- Imam Hanafi - Ka. Divisi Layanan dan Kaderisasi JKPP
Pulau Padang
Sejak kurang lebih tahun 1940-an,
masyarakat telah menempati Pulau Padang.
Wilayah Pulau Padang terdiri dari 14 Desa
yaitu: Kelurahan Teluk Belitung (1316 KK),
Meranti Bunting (329 KK), Lukit (437 KK),
Bagan Belibur (752 KK), Mengkirau (562
KK), Mengkopot (585 KK), Selat Akar (550
KK) Bandul (857 KK), Kudap (607 KK),
Dedap (660 KK), Tanjung Padang (561 KK),
Pelantai (487 KK), Tanjung Kulim (203 KK)
dan Mekarsari (300 KK), dengan jumlah
penduduk 35.224 Jiwa.
Pulau Padang ditunjuk sebagai kawasan
hutan oleh menteri kehutanan tanpa proses
pengukuhan kawasan. Pulau Padang memiliki luas
kurang lebih 111.500 Ha, termasuk wilayah/areal
yang di tetapkan untuk alokasi IUPPHK-HTI SK
Menhut No. 327 pada tahun 2009 kepada
perusahaan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).
PT. RAPP di blok Pulau Padang, sebelum proses
penghentian sementara ijin operasinya, telah
bekerja di Pulau padang (pembuatan kanal dan land
clearing) berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT)
PT RAPP tahun 2011 dengan luas 7000 Ha.
IUPHHK-HTI SK Menhut No. 327 yang mencakup
wilayah Pulau Rupat, Pulau Padang, Semenanjung
Kampar, seluruh wilayah ini merupakan kawasan
gambut dengan ketebalan gambut diatas 3 meter.
Lahan gambut yang di konversi ke HTI tentu akan
menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan.
Penambahan areal konsesi RAPP di Pulau Padang
sebesar 43.000 ha, sesuai dengan Surat Keputusan
nomor 327 Menteri Kehutanan Tahun 2009 tanggal
12 Juni 2009, tentang perubahan ketiga atas
Keputusan Menteri Nomor 130/KPTS-II/1993
Tanggal 27 Februari 1993 tentang pemberian Hak
Penguasaan Hutan Tanaman Industri kepada PT.
RAPP di Pulau Padang. Hal iniilah yang berpotensi
memicu terjadinya konflik agraria di pulau Padang,
Pemetaan Partisipatif Pulau Padang.
Pemetaan Partisipatif merupakan salah satu alat
yang digunakan dalam upaya penguatan hak
masyarakat atas sumberdaya alam. Pemetaan
partisipatif dimaksudkan untuk menginformasikan
dan mendokumentasikan keberadaan masyarakat
dan pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini
telah ada. Hal ini juga diharapkan dapat
mementahkan pernyataan Bupati Kabupaten
Meranti dan Menteri Kehutanan yang menyatakan
bahwa Pulau Padang adalah Pulau tidak
berpenghuni.
21. K A B A R S I M P U L
KABAR JKPP 17
21
Pemetaan Partisipatif di Pulau Padang saat ini baru di
laksanakan di dua desa yaitu: Desa Mengkirau dan
Lukit (sempat mengalami penundaan akibat situasi
konflik di tingkat lokal). Proses pemetaan dilakukan
untuk mendapatkan potret sebenarnya sistem tata
guna lahan oleh masyarakat di Pulau Padang, seperti
kebun sagu, mangrove, karet dan hutan. Hasil proses
pemetaan di harapkan dapat dimanfaatkan sebagai
media advokasi, negosiasi dan perencanaan oleh
masyarakat juga sebagai bahan untuk menunjukkan
pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat
terhadap pihak lain (BPN, Dinas Kehutanan, DPRD
dan lain-lain).
Target dan capaian yang ingin diraih dalam proses
pemetaan di Pulau Padang, secara sederhana SLPP
Riau mendeskripsikan catatan lapang hasil
musyawarah dengan masyarakat di Pulau Padang, di
antaranya meliputi :
1. Adanya kesepakatan dan kesamaan persepsi
tiap-tiap desa dalam upaya penyelesaian
konflik di pulau padang.
2. Adanya kejelasan ruang hidup dan wilayah
kelola masyarakat Pulau Padang beserta
rencana yang akan dikembangkan.
3. Adanya informasi spasial dan sosial terkait
keberadaan masyarakat lokal.
4. Digunakannya peta hasil pemetaan
partisipatif sebagai salah satu alat untuk
resolusi konflik dan perencanaan desa.
5. Peningkatan kapasitas masyarakat melalui
pemahaman ruang dan teknik pemetaan.
Proses yang Sedang Berjalan
Usulan proses pemetaan partisipatif sendiri
merupakan permintaan masyarakat Pulau Padang
kepada SLPP Riau untuk dibantu dalam proses
pemetaan. Proses ini sebenarnya sudah berjalan sejak
tahun 2011, namun sempat tertunda karena situasi
Pulau Padang
yang kurang
kondusif pasca
terjadinya
pembakaran alat-
alat berat PT.
RAPP. Baru di
akhir tahun 2012,
SLPP Riau kembali
melanjutkan kerja-
kerja yang
tertunda di Pulau
Padang, yaitu memfasilitasi masyarakat untuk
melaksanakan pemetaan tata batas wilayah
administrasi desa dan fungsi tata guna lahan desa di
Pulau Padang.
Kegiatan ini didukung oleh Jaringan Kerja Pemetaan
Partisipatif (JKPP), Pemerintahan Desa yang ada di
Pulau Padang, Koalisi Pendukung Perjuangan Rakyat
Kepulauan Meranti (KPPRM), sementara dilapangan
didukung oleh Sarikat Tani Riau (STR), dan Forum
Kepedulian Masyarakat (FKM).
Rencana pemetaan akan dilakukan di 10 Desa
diantaranya; Lukit, Tanjung Kulim, Sungai Tengah,
Pelantai, Meranti Bunting, Sungai Anak Kamal,
Mekar Sari, Bagan Melibur, Mayang Sari, dan
Mengkirau. Sosialisasi pemetaan sudah dilakukan di
sepuluh Desa, namun desa-desa yang secara cepat
merespon rencana tindak lanjut pasca sosialisasi baru
ada empat desa.
Respon awal keempat desa ini adalah dengan
mengadakan musyawarah desa, yang dihadiri
perangkat desa dan tokoh-tokoh masyarakat, untuk
pelaksanaan proses pemetaan wilayah desa,
diantaranya Mengkirau, Lukit, Pelantai, dan Sei Anak
Kamal. Dari pertemuan musyawarah desa ini
memunculkan rencana dan kesepakatan dalam proses
pemetaan yang nantinya akan dilakukan.
Beberapa hambatan proses pelaksanaan kegiatan,
selain situasi konflik dengan pihak PT. RAPP adalah
adanya kendala-kendala ditingkat lokal seperti
pemilihan Kepala Desa baru di 3 Desa yaitu, Bagan
Melibur, Sungai Tengah, dan Mayang Sari. Situasi
lainnya adalah belum redanya konflik horizontal di
desa. Kemudian ada rasa kekhawatiran dengan peta
yang dihasilkan nantinya belum menjawab persoalan
konflik kehutanan di Pulau Padang. (***)
22. K A B A R S I M P U L
22
KABAR JKPP 17
Sebagai bagian dari pelaksanaan 3 strategi pokok
JKPP dalam upaya mencapai mandat Forum
Anggota , yaitu 1). Meningkatkan daya jangkau
pelayanan pemetaan dan perencanaan partisipatif kepada
rakyat, 2). Membangun aliansi strategis dalam
peningkatan kapasitas anggota dan rakyat, 3).
Meningkatkan proses-proses advokasi kebijakan
keruangan, 4). Meningkatkan kualitas penggunaan
pemetaan partisipatif sebagai alat perencanaan,
pengorganisasian dan advokasi kebijakan, 5). Mengelola
arus informasi wilayah kelola rakyat yang efektif untuk
mendorong pengakuan dan perlindungan hak-hak
rakyat.
Dalam implementasinya kemudian diterjemahkan
dalam bentuk pengembangan Simpul-Simpul
Belajar Pemetaan Partisipatif diberbagai tempat di
Indonesia, yang selanjutnya disebut Simpul
Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP).
Simpul layanan pemetaan partisipatif (SLPP) yang
digagas oleh JKPP dan jaringan yang lain, dibentuk
untuk memberikan layanan pemetaan partisipatif
yang lebih cepat, lebih dekat dan lebih murah.
Suatu wadah fungsional bersama yang melibatkan
banyak mitra dan anggota dalam mengembangkan
suport sistem dan layanan pemetaan partisipatif
serta sebagai wahana untuk mengembangkan
kapasitas, informasi dan advokasi ruang di tiap-
tiap wilayah. Keberadaan simpul layanan ini secara
teknis diharapkan dapat memberikan layanan
pemetaan sesuai dengan harapan masyarakat yang
membutuhkan, baik fasilitator, peralatan dan
informasi lainnya.
Keberadaan SLPP ini juga merupakan media
penghubung yang memungkinkan bagi lembaga
dan individu non anggota JKPP untuk secara
organisasi beririsan secara langsung dengan JKPP
melalui program dan agenda kegiatan yang
dirumuskan dalam SLPP. Dengan demikian,
perluasan fungsi layanan JKPP secara organisasi
tidak terbatas hanya kepada anggota saja.
SLPP dapat dibentuk oleh beberapa lembaga yang
memandang pentingnya keberadaan SLPP sebagai
wadah bersama yang berfungsi sebagai media
koordinasi dan komunikasi terkait persoalan ruang
di tingkat lokal. Inisiasi pembentukan simpul
terdiri dari NGOs, organisasi rakyat dan
masyarakat adat/lokal, baik yang secara organisasi
merupakan anggota JKPP maupun lembaga mitra.
SLPP Riau
Pembentukan SLPP Riau di inisiasi melalui
workshop yang di laksanakan di secretariat Walhi
Riau. Inisiasi di hadiri oleh beberapa lembaga yang
menyetujui pembentukan SLPP diantaranya,
Hakiki, Scale-Up, Kaliptra Sumatera, Perkumpulan
Elang, Jikalahari, Walhi, AMAN Riau,
Perkumpulan Alam Sumatera, Greenpeace Riau,
Riau Women Working Group, Isec, Laksana
Samudra, Mitra Insani dan Badan Teritorial Telapak
Riau.
Dari hasil workshop inisiasi simpul layanan
pemetaan partisipatif (SLPP) di Riau merumuskan
peran dan fungsi sebagai berikut; menjadi central
data base pemetaan partisipatif, training center
pemetaan partisipatif, melayani dan memfasilitasi
pemetaan partisipatif, pusat kajian dan analisa
keruangan, diseminasi informasi penataan ruang
dan mendinamisasi gerakan pemetaan.
SLPP Riau yang berdiri sejak tanggal 30 Maret 2011
sampai saat ini masih dalam upaya menemukan
karakteristik dan model kelembagaan yang bisa
mengakselerasi tujuan pembentukannya. Pada
periode satu tahun ini SLPP telah mulai melakukan
persiapan dan penguatan kapasitas internal simpul
melalui proses pelatihan kader pemetaan. Paling
tidak, selama periode satu tahun, SLPP Riau telah 2
kali melakukan pelatihan kader pemetaan. Salah
satu focus kegiatan SLPP Riau saat ini adalah
memfasilitasi proses Pemetaan Partisipatif ruang
kelola masyarakat Pulau Padang, yang meliputi 11
Desa (Mengkirau, Lukit, Desa Anak Kamal, Bagan
Melibur, Meranti Bunting, Tanjung Kulim, Mekar
sari, Pelantai, Mayang sari, Sungai Penuh dan desa
Tanjung Balitung (kelurahan). (***)
Koordinator SLPP Riau : Akhwan Binawan
Host SLPP Riau : Yayasan Hakiki
SIMPUL LAYANAN PEMETAAN PARTISIPATIF
23. K A B A R P E T A K A M P U N G
KABAR JKPP 17
23
Menggapai
Kesejahteraan
Rakyat
Melalui
Pengembangan
Model
Rencana
Penggunaan
Lahan
Berkelanjutan
(SLUP)
Kecamatan
Nanga
Mahap,
Kabupaten
Sekadau,
Kalimantan
Barat
-‐
M.
Arie
Moenir
-‐
Ka.
Divisi
Advokasi
Tata
Ruang
JKPP
Program Pengembangan konsep perencanaan
penggunaan lahan yang berkelanjutan /
Sustainable Landuse Planning (SLUP)
merupakan salah satu pengembangan program
SUSPO (Scaling Up Sustainable Palm Oil)
memfokuskan pada tingkat partisipasi dan
penerimaan manfaat yang berdampak pada
komunitas, petani, buruh di rantai produksi
kelapa sawit.
Proses pelaksanaan program SLUP ini
didasari oleh UU No. 26/2007 tentang
penataan ruang, yang mana diatur mengenai
partisipasi masyarakat serta banyak pihak
dalam melakukan dialog di proses penataan
ruang. Karena biasanya penetaan ruang yang
terjadi sekarang prosesnya tidak transparan,
hanya mengedepankan kepentingan ekonomi
dengan skala besar dalam pemanfaatan dan
penguasaan lahan di masyarakat. Dengan
demikian hasilnya seperti sekarang ini,
dimana ekspansi perkebunan kelapa sawit
sangat berkontribusi dalam penghilangan dan
pergeseran serta konflik hak-hak lahan
masyarakat, selain itu juga mengakibatkan
degradasi dan deforestasi hutan untuk
perkebunan kelapa sawit. Dengan kondisi
demikian, maka diperlukan suatu keterlibatan
banyak pihak serta partisipatif masyarakat
dalam mengembangkan model perencanaan
penggunaan lahan dari dan untuk
dikembangkan juga di dalam komunitas
dalam penguasaan dan pengelolaan
kawasannya sendiri.
Kabupaten Sekadau telah mempunyai
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) 2005 – 2025. Saat ini
pelaksanaan pembangunan merupakan tahap
ke dua dari RPJPD berupa Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) 2011 – 2015 dengan prioritas pada
pengembangan kualitas sumber daya mansia
(SDM) melalui pengembangan pendidikan
dan kesejahteraan masyarakat; pembangunan
infrastruktur dasar (prasarana transportasi,
listrik, dan air bersih) di kawasan sentra
produksi dan pusat-pusat pertumbuhan di
Kecamatan dan Pedesaan; pengembangan
wilayah strategis dan cepat tumbuh di
kawasan Kecamatan maupun Pedesaan;
pengembangan investasi untuk memperkuat
basis ekonomi melalui pertumbuhan produk
unggulan daerah yang memberikan akselerasi
bagi pertumbuhan ekonomi daerah;
Peningkatan kapabilitas pemerintahan,
penguatan tatanan hukum serta konsolidasi
pelaksanaan otonomi daerah di bidang
24. K A B A R P E T A K A M P U N G
24
KABAR JKPP 17
pelayanan publik dan pranata
politik, sekaligus merancang
pemekaran Kecamatan2.
PENGEMBANGAN KONSEP
SLUP
SLUP (Sustainable Land Use Planning)
merupakan rencana penatagunaan
tanah yang berkelanjutan,
merupakan bagian dari Rencana
Pembangunan Berkelanjutan dengan
tujuan utamanya adalah untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penyesuaian dari dua model SLUP
yaitu model dari University of
Hawai’i at Mānoa dan model
menurut Konvensi AUMA telah
diadopsi dan dikembangkan untuk
diterapkan di Kecamatan Nanga
Mahap, Kabupaten Sekadau,
Kalimantan Barat3.
5 tahapan dalam pengembangan
model Land Use Planning AUMA,
yaitu :
1. Membuat suatu inisiasi project
dan analisis kelembagaan, yang
diturunkan ke dalam konsep
proposal dan assesment awal.
2. Melakukan evaluasi kondisi
yang sudah ada sebelumnya,
dimana membandingkan kondisi
pasca pemetaan dan
perencanaan partisipatif yang
telah dilakukan di Nanga Mahap
dengan kondisi sekarang. Hal
ini terkait dengan kondisi fisik
wilayah, sosial, aktivitas
ekonomi serta dokumen-
dokumen yang terkait dengan
arah pembangunan di
Kabupaten sekadau dan
kecamatan Nanga Mahap
khususnya.
3. Melakukan penilaian
pembangunan alternatife masa
depan, dimana melakukan
penelitian dan analisis dalam
mengembangan konsep
pembangunan alternatif yang
dapat dikembangkan di
komunitas maupun kabupaten
pada masa yang akan datang
melalui suatu perencanaan
wilayah.
4. Menghasilkan model SLUP
untuk pembanguan dan
perencanaan Kecamatan Nanga
Mahap dan Kabupaten Sekadau
5. Implementasi, berupa
pengembangan kegiatan ke
depannya serta pengawalan
model SLUP di Kecamatan
Nanga Mahap dan Kabupaten
Sekadau
Dari paparan di atas, dapat
disarikan bahwa SLUP yang
diterapkan di Nanga Mahap
merupakan sistem yang dapat
mengakomodasi rencana
pembangunan terkait
pemanfaatan tanah dan ruang.
Gambar 6 memperlihatkan
diagram dimana SLUP dirancang
untuk kesejahteraan masyarakat
dengan cara mengakomodasi visi
masyarakat setempat,
penggunaan dan pengasaan
lahan, kesesuaian lahan, RPJMD
terkait tanah dan ruang, RTRWK,
Rencana penggunaan tanah, dan
beberapa alternatif rencana yang
menghasilkan tatanan
penggunaan tanah berkelanjutan
untuk sebesar-besar
kemakmuran masyarakat.
Dengan demikian, konsep SLUP
mempunyai kriteria sebagai berikut:
1. SLUP disusun dengan tujuan
utamanya adalah untuk
kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat
2. SLUP di Kecamatan Nanga
Mahap, Kabupaten Sekadau
disusun untuk dapat
mengakomodasi dan
mendukung Rencana
Pembangunan Kabupaten
Sekadau yang disahkan oleh
DPRD Kabupaten Sekadau.
3. SLUP Nanga Mahap dilakukan
dengan memperhatikan program
pembangunan yang berkaitan
dengan pemanfaatan ruang yang
telah ditetapkan dalam RTRWK
dan dapat menjadi alat untuk
mensukseskan RPJMD dan
RPJPD Kabupaten Sekadau yang
sedang berjalan.
4. SLUP disusun untuk
mendukung dan memberi
masukkan kritis dan bermanfaat
pada Rencana Tata Ruang dalam
mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman,
25. K A B A R P E T A K A M P U N G
KABAR JKPP 17
25
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
dengan: Terwujudnya keharmonisan antara
lingkungan alam dan lingkungan buatan;
Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan
sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia; dan
terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang (Undang-Undang nomor
26 tahun 2007).
5. SLUP disusun untuk mendukung dan memberi
masukan kritis dan bermanfaat pada penatagunaan
tanah dalam mengatur penguasaan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan
kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah;
Mewujudkan penguasaan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan
arahan fungsi kawasan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah; Mewujudkan tertib
pertanahan yang meliputi penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah
termasuk pemeliharaan tanah serta
pengendalian pemanfaatan tanah;
Menjamin kepastian hukum untuk
menguasai, menggunakan dan
memanfaatkan tanah bagi masyarakat
yang mempunyai hubungan hukum
dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah yang telah ditetapkan (PP
no. 16/2004).
6. SLUP disusun dengan memperhitungkan
bahwa penggunaan tanah bersifat dinamis
sesuai dengan dinamika masyarakat yang
menggunakan tanah.
Dalam mengembangan model SLUP yang telah di
adopsi dari berbagai sumber di atas, Tim SLUP
mulai menjabar ke dalam skema langkah-langkah
yang akan dikembangkan di Kabupaten Sekadau
(diagram).
Dari gambar diatas, dapat diturunkan menjadi
suatu tahapan dalam pengembangan program
SLUP, dimana menjadi 3 tahapan besar, yaitu :
1. Tahap Pertama, ialah perencanaan dan
persiapan yang dikembangkan lagi melalui 4
langkah pelaksanaan, yaitu
a. Perencanaan Program SLUP;
b. Pengumpulan Data
c. Persiapan Pertemuan
d. Mengundang Peserta Pertemuan
2. Tahap Kedua, yaitu proses konsultasi, dimana
mengkomunikasi mengenai pengembangan
program SLUP kepada berbagai pihak sehingga
dapat memahami – memberikan masukan serta
memperlancar pelaksanaan pengembangan
progran SLUP ke dalam suatu kegiatan bersama.
3. Tahap Ketiga, yaitu tindak lanjut. Dimana
merangkum hasil-hasil kegiatan, kemudian
memadukan temuan lapangan dan hasil
penelitian dengan kebijakan pemerintah daerah,
merupakan kegiatan dalam merangkum semua
aktivitas pelaksanaan program dan memadukan
model pengembangan SLUP dengan aspirasi
masyarakat di setiap desa yang dilakukan
selama 2 bulan.
26. K A B A R P E T A K A M P U N G
26
Nullam arcu leo, facilisis ut
Pelaksanaan pengembangan
program SLUP harus
memperhatikan sinergisitas antar
pihak (masyarakat – pemerintah –
aparatur desa – dunia usaha),
sehingga adanya suatu dukungan
dalam memperlancar pelaksanaan
kegiatan di setiap tingkatan
(Kabupaten – Kecamatan – Desa).
Dengan ini ada beberapa syarat
dalam keberhasilan program SLUP :
• Tanggap terhadap
pengetahuan dan
kepentingan pembangunan
wilayah dan kesejahteraan,
termasuk dalam
pendistribusian informasi.
• Keterbukaan dalam
mempresentasikan data,
informasi serta
perencanaannya.
• Komitmen dan mempunyai
keinginan yang kuat dalam
mengkomunikasikan semua
informasi terkait
pembangunan wilayah.
• Keyakinan bahwa proses
perencanaan mendatangkan
keuntungan dalam jangka
pendek, menengah dan
panjang berkaitan dengan
keberlanjutan penggunaan
tanah.
• Tahapan kegiatan yang
cukup singkat maka
diperlukan pengetahuan dan
kepentingan seluruh unsur-
unsur yang dapat dipadukan.
• Sumber daya dan waktu
yang cukup untuk
mengerjakan program SLUP
berdasrkan tahapannya.
• Pemahaman bahwa data dan
informasi yang valid harus
dipersiapkan sebelumnya
agar tidak terjadi
penyimpangan dan mis
analisis.
Adapun manfaat dari
pengembangan program SLUP dapat
dibagi menjadi 3 komponen, yaitu :
Pertama, Bagi masyarakat secara
luas perencanaan penggunaan tanah
merupakan kesempatan dalam
mengutarakan kepentingan dan
kebutuhan yang berkaitan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam diwilayahnya.
Berbagai kepentingan dipadukan
dalam perencanaan pembangunan
wilayah berdasarkan kelayakannya
untuk jangka panjang,
proses ini mempunyai
dampak yang sesuai
dengan harapan dan
kebutuhan masyarakat.
Peranan masyarakat
sangat besar
pengaruhnya dalam
pengambilan keputusan
mengenai pembangunan,
hal ini akan
menumbuhkan rasa
memiliki dan
memberikan perhatian
terhadap pelaksanaan,
pemanfaatan dan
pengawasannya.
Kedua, Bagi pemerintah
daerah kegiatan
perencanaan penggunaan
tanah berkelanjutan sangat
membantu sekali dalam proses
pembangunan di wilayahnya untuk
jangka menengah dan jangka
panjang yang mendapat dukungan
dari masyarakat secara luas,
sehingga konflik akan berkurang.
Ketiga, Bagi perusahaan swasta
(investor) mendapat keuntungan
dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat dan rencana pemerintah.
Keputusan yang diambil oleh
masyarakat dan pemerintah akan
dapat dipertanggung-jawabkan,
diandalkan dan berdasarkan
pemahaman yang baik (jika
perusahaan mengerti kondisi
masyarakat dan jika pemerintah
terbuka dengan rencana-
rencananya). (***)
1
)
Peraturan
Daerah
Kabupaten
Sekadau
Tentang
Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Daerah
(RPJMD)
Kabupaten
Sekadau
Tahun
2011
–
2015.
Pemerintah
Kabupaten
Sekadau,
2011.
2
)
JKPP:
“Tinjauan
konsep
dan
kerangka
pemikiran”
untuk
kegiatan
penyusunan
SLUP
di
Kec.
Nanga
Mahap
2011,
Bogor
27. K A B A R G E O S P A S I A L
KABAR JKPP 17
27
Ini merupakan penyerahan peta
tahap awal yang dilakukan AMAN
dan JKPP. Untuk tahap awal, peta
wilayah adat yang diserahkan
sejumlah 265 peta wilayah adat
dengan total luasan 2.402.222,824
Ha.
Peta wilayah adat yang tersedia di
BRWA yang dalam prosesnya telah
difasilitasi baik secara langsung oleh
AMAN ataupun anggota JKPP serta
LSM pendukung masyarakat adat di
Nusantara merupakan informasi
penting untuk mendukung One
Map Indonesia yang sedang
dijalankan oleh pemerintah melalui
UKP4 dan BIG ini adalah gerakan
bersama seluruh pemangku
kepentingan termasuk masyarakat
demi perbaikan tata kelola Bangsa
dan Negara Indonesia yang lebih
baik.
“Dengan menghadirkan masyarakat
adat dalam Negara, akan membantu
pemerintah dalam mengelola
Negara yang Bhineka Tunggal Ika,
damai dan berkeadilan sesuai
dengan kondisi dan karakteristik
masyarakat adat di Nusantara” ujar
Koordinator Nasional JKPP, Kasmita
Widodo
Menurut Sekjen AMAN Abdon
Nababan, Penyerahan peta ini
bertujuan untuk menghadirkan
masyarakat adat dengan segala hak-
haknya atas tanah, wilayah adat dan
sumberdaya alam dalam Negara
Republik Indonesia. Karena
sebenarnya Indonesia sudah
mempunyai hukum konstitusi yang
mengakui masyarakat adat tetapi
belum mempunyai hukum
administrasi bagi keberadaan
masyarakat adat berikut hak-hak
kolektifnya. Sehingga kegiatan ini
merupakan bagian untuk
menyambut disahkannya RUU
PPHMA yang saat ini dibahas di
DPR RI yang nantinya akan
memberikan pengakuan,
perlindungan dan pelayanan bagi
masyarakat adat sebagai warga
Negara Indonesia.
“AMAN bersama JKPP ingin
mendorong agar seluruh sektor
pembangunan di Indonesia yang
dikelola saat ini secara sektoral
melalui Kementrian dan Lembaga
Non Departemen, agar bisa bekerja
sama dibawah kepemimpinan
presiden dalam memastikan
pembangunan nasional yang secara
signifikan dapat mengurangi konflik
tanah, wilayah dan sumberdaya
alam yang berpotensi menggagalkan
tujuan pembangunan,” papar
Abdon dan Dodo. (***)
Penyerahan Peta Wilayah Adat,
Menghadirkan Masyarakat Adat Dalam Negara
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
menyerahkan secara resmi peta wilayah adat yang sudah terdaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP4).
28. K A B A R G E O S P A S I A L
28
KABAR JKPP 17
Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam
(PSDA) dan Agraria baik di sektor
perkebunan, pertambangan, kehutanan dan
sektor-sektor lain sepertinya tidak kunjung
menurun bahkan kecenderungannya
bertambah dari tahun ke tahun.
Alih fungsi lahan dan hutan menjadi
perkebunan, pertambangan pada tahun
2012 semakin meningkat. Ketidakpastian
hukum dalam melakukan pedoman
penggunaan lahan untuk investasi
menimbulkan konflik sektoral, ditambah
dengan kesemrawutan dalam penataan
ruang suatu kawasan menambah panjang
data dan informasi terjadinya konflik
agraria dan PSDA di berbagai wilayah di
Indonesia.
Organisasi jaringan nasional seperti SW,
HuMA, JKPP, KpSHK, KPA dan JATAM
telah membangun inisiatif bersama untuk
membangun database wilayah kelola
rakyat, konfik PA-PSDA yang dilengkapi
dengan peta sebaran. Dasar pembangunan
sistem ini berawal dari banyaknya data
yang dikelola oleh kawan-kawan NGO
namun belum terkomunikasikan. Terdapat
kecenderungan kesamaan jenis data yang
telah dikumpulkan oleh beberapa NGO
namun data yang dikeluarkan berbeda
baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Melalui pengumpulan dan pengintegrasian
data konflik agraria dan PSDA bersama ini
sebenarnya dapat saling menguatkan
untuk digunakan bersama untuk
kebutuhan advokasi dan kampanye. Selain
itu konsolidasi data dan informasi ini juga
diharapkan dapat digunakan untuk
percepatan penyelesaian konflik agraria-
PSDA serta perluasan wilayah kelola
rakyat.
Geodatabase Nasional (GDN)
Sistem Informasi Konflik Agraria dan PSDA Nasional
Deny Rahadian - Programme & Knowledge Management JKPP
Anggota Tim Kerja GDN
29. K A B A R G E O S P A S I A L
KABAR JKPP 17
29
Hasil inisiatif ini telah menghasilkan
sistem informasi webgeodatabase
(www.geodata-cso.org) yang dapat
diakses oleh publik sebagai media
untuk diseminasi data dan informasi
hasil dari kompilasi dan analisis
berbagai organisasi jaringan diatas.
Pengembangan teknis memang
masih perlu dilakukan dalam sistem
webgeodatabase ini, misalnya
tampilan yang lebih user friendly,
kemudahan dalam input dan
berbagi data serta yang terpenting
adalah pemutakhiran data dan
informasi, sebab tanpa
pemutakhiran data dan informasi
suatu sistem informasi hanyalah
bagaikan benda mati.
Selain itu data dan informasi yang
sudah terkumpul dalam sistem perlu
dikembangkan dalam sebuah
produk. Salah satu produk dari hasil
kompilasi sistem informasi
Geodatabase Nasional ini adalah
Fact Sheet “Potret Krisis Ekologis
dan Sosial Pulau Kalimantan”, yang
sudah disampaikan pada akhir
tahun 2012, dalam Workshop Potret
Krisis Ekologidan Sosial Pulau
Kalimantan. (**)
Konflik mengenai pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di
Kalimantan selama tahun 2012 yang sudah dikumpulkan
oleh tim Geodatabase nasional (GDN) terjadi sebanyak 165
kasus, jika dibagi menurut sektor, Perkebunan menjadi
penyumbang kasus yang paling banyak yaitu sebanyak 65%
dari total konflik PSDA yang terjadi selama tahun 2012
disusul oleh sektor Kehutanan (16,97 %), Pelanggaran
Kebijakan Tata Ruang (9,70%) dan Pertambangan (7,88%).
NO SEKTOR KONFLIK JUMLAH
KONFLIK (2012)
1 Perkebunan 108
2 Kehutanan 28
3 Pelanggaran Kebijakan Tata Ruang 16
4 Pertambangan 13
TOTALTOTAL 165
65%
17%
10%
8%
Perkebunan
Kehutanan
Pelanggaran Kebijakan Tata Ruang
Pertambangan
NO SEKTOR KONFLIK JUMLAH
KONFLIK (2012)
1 Kalimantan Timur 68
2 Kalimantan Barat 57
3 Kalimantan Tengah 22
4 Kalimantan Selatan 18
TOTALTOTAL 165
Berdasarkan Propinsi
41%
35%
13%
11%
Kalimantan Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kaliamantan Selatan
Potret Krisis Ekologi dan Sosial
Pulau Kalimantan
30. K A B A R G E O S P A S I A L
30
K A B A R J K P P 1 7
Upaya Penyelesaian Konflik
Dari konflik yang terjadi, respon atau perlawanan masyarakat beragam cara untuk penyelesaian konflik
tersebut. Mulai dari menggunakan hal yang bersifat spiritual adat hingga aksi massa.
Respon terhadap konflik dapat dilihat dalam tabel berikut :
No Upaya Penyelesaian Konflik Jumlah
1 Aksi Massa 30
2 Pembuatan Surat Pengaduan 38
3 Dialog 24
4 Publikasi 18
5 Permohonan Pendampingan 23
6 Cara Spiritual Adat 3
7 Lain-lain 13
TOTALTOTAL 149
0 10 20 30 40
Menggunakan GPS
Dalam Pemetaan Partisipatif
- Diarman - Staff Layanan dan Kaderisasi JKPP
Pendahuluan
Pemetaan partisipatif adalah satu
metode pemetaan yang
menempatkan masyarakat sebagai
pelaku pemetaan wilayahnya,
sekaligus juga akan menjadi
penentu perencanaan
pengembangan wilayah mereka
sendiri.
Pemetaan partisipatif awalnya
hanya menggunakan alat kompas
dan meteran saja. Sehingga proses
pemetaan partisipatif tidak bisa
dilakukan dengan cepat,
khususnya dalam pengambilan
data di lapangan, apalagi dengan
kondisi wilayah yang luas. Selain
itu akurasi dan ketepatan perlu
diperhitungkan kembali.
Seiring dengan berjalannya waktu,
pada tahun 2000-an masyarakat
sipil sudah di perbolehkan untuk
mengguakan alat GPS. Sehingga
proses pengambilan data di
lapangan dalam proses pemetaan
partisipatif menjadi lebih mudah
dan cepat dilakukan oleh
masyarakat. Tingkat akurasi
penentuan titik-titik koordinat
data lapangan juga menjadi lebih
akurat. Saat ini jenis GPS yang
biasanya digunakan oleh pegiat
pemetaan partisipatif biasanya
adalah GPS Jenis Navigasi, dengan
pertimbangan agar masyarakat
yang dilatih menggunakan alat
K A B A R U K U R - U K U R
31. S E Q U O I A C L U B
KABAR JKPP 17
31
tersebut dapat mudah mempelajari dan
menggunakannya di saat pengambilan data survey
lapangan. Penggunaan GPS juga akan efektif
dilakukan bila wilayah yang akan dipetakan sangat
luas dan tidak memungkinkan untuk dilakukan
menggunakan kompas, juga dalam pembuatan peta
tematik yang membutuhkan banyak penandaaan titik-
titikpenting dalam peta tersebut.
Cara kerja dan Fungsi GPS
Sistem dari alat GPS ( Global Position System ) adalah
dengan menggunakan satelit, pada awalnya sistem
satelit tersebut sering di acak, sehingga terkadang
akurasi yang di dapatkan sangat kurang akurat.
Tetapi untuk saat ini sistem tersebut sudah berjalan
dengan baik tidak ada lagi sistem acak satelit.
Menggunakan GPS dalam pemetaan partisipatif oleh
masyarakat setidaknya diperlukan 1 orang pemegang
GPS, 1 orang pencatat data, 1 orang pemberi tanda/
patok dan melibatkan 1 orang yang sangat mengerti
wilayah yang akan dipetakan.
Alat-alat yang dibutuhkan antara lain :
1. GPS Navigasi
2. Alat Tulis
3. Tabel Isian Data
4. Patok penanda, dan cat untuk menandai lokasi
5. Kamera
Langkah Pengoperasian GPS
Garmin 76 CSX
1. Hidupkan GPS dengan
Tombol ON-OFF
2. Tekan “PAGE”
3. Tunggu 3D, speed = 0,00
dan Accuracy sekecil
mungkin
4. Tekan “MARK” yaitu
dengan menekan tombol
“ENTER” agak lama
5. Catat nomor patok dan
angka koordinat yang ada
di titik tersebut pada lembar
tabel isian data yang sudah
disiapkan
6. Geser layer ke Rata – Rata /
AVG untuk rata-rata “
ENTER”
7. Tekan “OK” untuk
menyimpan dengan tombol
“ENTER” (sambil
mengingat angka Accuracy
untuk di catat di buku
lapangan sebagai nilai EPE)
8. Kembalikan ke layar ok lalu
tekan “ ENTER”
9. Pastikan titik koordinat
tersimpan dan telah selesai
di catat
Akurasi merupakan tingkat error atau tingkat
kesalahan dari alat GPS yang di gunakan, khusunya
GPS Navigasi yang biasa di gunakan untuk
pemetaan partisipatif. Untuk GPS Garmin 76 sendiri
untuk tingkat akurasinya bisa sampai di bawah 5
( lima ), artinya tingkat kesalahan dari GPS tersebut
bisa kurang dari 5 (lima ) meter.
Dalam pemetaan partisipatif, dimana masyarakat
yang melakukan pemetaan tentu saja perlu diberikan
bekal pelatihan penggunaan GPS ini sebelum
melakukan proses pemetaan partisipatif, sehingga
efektifitas waktu dan tenaga dalam proses pemetaan
partisipatif dapat digunakan sebaik-baiknya. (***)
Waypoint Waktu Lokasi Koordinat GPS EPE Ketinggian Catatan
Tabel Isian Data
32. Sejak Mei 2012 JKPP dan Lanting Borneo sedang
menyelenggarakan pemetaan partisipatif sekala
luas di Kecamatan Embaloh Hulu (Kabupaten
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat) memakai
metodologi pemetaan partisipatif yang
dikembangkan oleh Center for the Support of
Native Lands (lebih dikenal dengan sebutan
Native Lands). Serangkaian kegiatan yang telah
dilaksanakan meliputi lokakarya pertama yang
dilanjutkan dengan serangkaian pendampingan
setelah lokakarya melalui diskusi dan pertemuan-
pertemuan di tiap kampung.
Pemetaan ini meliputi 19 kampung (dusun) yang
berada di dua ketemanggungan Tamambaloh dan
Iban Manua Sadap.
Pendampingan setelah Lokakarya Pertama telah
menghasilkan data dan informasi sosial dan
spasial (keruangan) dari masing-masing kampung
yang tertuang dalam peta sketsa dan dokumentasi
sosial. Semua data dan informasi tersebut dibahas
dalam Lokakarya Kedua meliputi serangkaian
kegiatan diantaranya; memindahkan data dan
informasi di dalam peta sketsa kedalam peta
bersekala, mendiskusikan dan menuliskan
kelengkapan data dan informasi sosial setiap
kampung dan juga ketemanggungan, serta
melakukan diskusi wilayah ketemanggungan
dengan komunitas-komunitas yang berbatasan
dengan wilayah yang dipetakan.
Dalam Lokakarya ini juga dibahas mengenai
rencana tindak lanjut menuju Lokakarya Ketiga,
yang merupakan lokakarya terakhir dalam
rangkaian pemetaan partisipatif sekala luas ini.
Lembaga yang terlibat dalam kegiatan ini adalah
Lanting Borneo, Jaringan Kerja Pemetaan
Partisipatif (JKPP), PPSDAK-Pancur Kasih dan
Samdhana Institute. (***)
Foto Atas: Memasukkan data ke dalam peta berskala (kiri),
Sambutan Wakil Bupati Kapuas Hulu (tengah), Klarifikasi batas
dengan Temanggung Jalai Lintang (kanan)
Foto Bawah : Diskusi data sosial (kiri), Sambutan Temanggung
Tamambaloh (tengah), Diskusi data sosial (kanan)
PEMETAAN SKALA LUAS
KETEMANGGUNGAN TAMAMBALOH DAN IBAN MANUA SADAP
KABUPATEN KAPUAS HULU, PROPINSI KALIMANTAN BARAT