Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang hukuman cambuk bagi pelaku zina dalam hukum pidana Islam, termasuk pengertian zina, dasar hukum, dan penerapan hukuman cambuk berdasarkan pengadilan Syariah di Lhokseumawe.
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
08_33020210054_M. Atho'illah Shohibul Hikam.pdf
1. PENERAPAN HUKUMAN CAMBUK TERHADAP PELAKU JARIMAH ZINA DALAM HUKUM
PIDANA ISLAM
M. Athoillah Shohibul Hikam
UIN-SALATIGA
athoillahhikam180@gmail.com
Abstrak
Islamic criminal law assumes that every adulterer or person Is sex outside of marriage
punishable? Whether the perpetrators are married or not, like it or not, is up to Jarimah
adultery (criminal) in Islamic law is classified as hudud jarimah. This The formulation of the
problem in this article is as follows, what is the law perpetrators of adultery in Islamic criminal
law, how to apply sanctions/ The punishment for adultery in Islamic criminal law, how is the
judge Legal considerations in applying spanking to adulterers based on the decision of the
Lhokseumawe Syar'iyah court. This type of research in this case This research is a normative
legal research with a legal approach. Standard Legal studies is also known as theoretical legal
studies, where law is conceptualized as what is written in the laws and regulations (laws in
books) and studies of the legal system This can be done if there are statutory provisions or
written laws. Data The collection technique used in this research is library research which
means "research to obtain something description or information about searches similar to and
related to the current issue have studied. The provisions of caning for adultery perpetrators in
Islamic criminal law are: whipped one hundred times according to the word of Allah SWT.
Surat an-Nur Paragraph 2 Whereas Article 33 (1) Aceh Qanun Number 6 of 2014 concerning
The Jinayat Law states that anyone who deliberately commits adultery is threatened 'uqubat
hudud, 100 (one hundred) whips. Aceh Qanun No 6 of 2014 is present Jinayat law does not
differentiate between muhshan and ghairu muhshan, which means adultery in Acehnese,
married and unmarried, accept weighing as much as 100 (one hundred) whips. Apply
punishment/whipping adultery punishment in Islamic criminal law must be implemented and
witnessed by a group of believers, meaning that it must be done in public and is permissible
seen by others. The goal is to find out and prevent, both for the author criminals themselves
and others.
Keyword: cambuk, jarimah, pidana Islam.
2. Pendahuluan
Perzinaaan dalam Hukum Islam dianggap sebagai perbuatan besar dan dianggap
sebagai jarimah. Pendapat ini disepakati oleh para ulama, kecuali perbedaan ukumnya.
Menurut beberapa ulama terlepas dari pelakunya, baik dilakukan oleh orang yang belum
menikah atau mereka yang menikah, asalkan hubungan seksual di luar kerangka pernikahan,
itu disebut perzinahan dan dianggap sebagai tindakan ilegal. Juga tidak mengurangi nilai
kepidanaanya, meskipun dilakukan dengan sengaja atau suka suka. Meskipun tidak ada yang
merasakan kerugian, perzinaan dipandang oleh Islam sebagai pelanggaran berat terhadap seks
yang sangat tercela, tidak ada preferensi dan diharamkan dalam segala keadaan.1
Sudut pandang hukum pidana Islam bahwa setiap pezina atau orang yang melakukan
hubungan kelamin di luar nikah diancam dengan hukuman, , baik pelakunya sudah kawin atau
belum, baik dilakukan suka sama suka atau tidak, karena jarimah (tindak pidana) zina dalam
hukum Islam masuk dalam kategori hudud jarimah. Jarimah hudud, yaitu jarimah (kejahatan)
yang bersifat menentukan jenis dan jumlah yang Menjadi hak Allah yaitu hak masyarakat
berarti bahwa hakim (yang berdaulat) hanya berkewajiban menerapkan hukuman berdasarkan
Quran dan Sunnah dan tidak berhak menambah atau mengurangi hukuman.2
Berhubungan dengan hukuman zina, para ulama sepakat mengkategorikan berdasarkan
status atas status yang disandang pelaku tersebut “Ada dua jenis hukuman untuk perzinaaan,
tergantung pada keaaan pelakunya apakah belum menikah (ghairu muhshan) atau sudah
menikah (muhshan)". Zina ghairu muhshan adalah perzinahan antara laki-laki dan perempuan
yang belum menikah (Lajang). hukuman zina untuk ghairu muhshan Ada dua jenis: didera
seratus kali dan diasingkan/dipenjara selama satu tahun. zina Muhshan adalah perzinahan
antara seorang pria dan wanita yang terikat oleh pernikahan (suami atau istri). Hukuman untuk
zina muhshan ini ada dua: didera seratus kali dan dilempari batu/rajam.3
Penetapan seseorang telah melakukan zina terlebih dahulu harus dibuktikan di
pengadilan agar hakim memiliki peran penting dalam memberikan bukti yang mengarah pada
perzinaan seseorang. Bukti zina adalah kesaksian (syahadah) dan pengakuan (iqrar).4
1
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm 69
2
Makhrus Munajat, Fiqh Jinayah, Nawesea Press, Yogyakarta, 2010, hlm 110
3
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm 29
4
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm 40
3. Pengertian Dan Dasar Hukum Zina
Zina dalam hukum pidana Islam adalah “perbuatan seksual yang diharamkan di
kemaluan oleh dua orang atau lebih yang bukan suami istri". Pengertian zina tidak hanya
berlaku bagi orang yang sudah memiliki pasangan, namun juga berlaku bagi yang belum
menikah.5
Perzinahan mencakup semua jenis fiqih jinayah. Zina adalah persetubuhan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dan
dilakukan dengan sengaja dan tanpa unsur curiga/syubhat. Zina ditegaskan dalam Al-Qur'an
dan As-Sunnah. Hukuman bagi pezina yang belum menikah (ghairu muhsan) berdasarkan ayat
Al-Qur'an, yaitu dipukul/didera sebanyak seratus kali. Sedangkan pezina muhsa dihukum
rajam. Rajam secara harfiah berarti melepari batu. Rajam adalah melempari pezina muhsan
sampai mati.6
Dalam kamus bahasa Indonesia lengkap, zina adalah perbuatan asusila yang dilakukan
oleh seorang pria dan seorang wanita di luar ikatan perkawinan yang sah. Sedangkan Menurut
Al-Jurjani, zina dapat dikatakan ketika:
1. Adanya persetubuhan (sexual intercourse) antara dua orang yang berlawanan jenis
kelamin (heteroseksual).
2. Tidak ada kesamaan atau kesalahan (syubhat) dalam perbuatan seksual.
Para fuqaha (para ahli hukum Islam) mendefinisikan zina sebagai “hubungan seksual
dalam arti memasukkan zakar (alat kelamin laki-laki) ke dalam vagina wanita yang dinyatakan
haram, tidak karena syubhat, dan atas dasar syahwat”. Ulama Hanafiyah mendefinisikan zina
sebagai perbuatan haram pada kemaluan depan seorang wanita yang masih hidup dan bernafsu
dalam keadaan suka rela yang dilakukan oleh kemauan sendiri di wilayah-wilayah yang diatur
oleh pemerintahan Islam, yang dikuasai dan dilakukan oleh mereka yang diwajibkan
menerapkan syariat Islam. . Bukan karena dasar kepemilikan, hubungan suami istri atau
syubhat.7
Menurut ulama Syafi'iyah, zina adalah "memasukkan zakar ke dalam farji secara tidak
sah tanpa adanya keraguan dan keinginan naluriah". Secara umum zina dapat dipahami sebagai
5
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Ghalia Indah, Jakarta, 2009. Hlm 24
6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Al-Maarif, Bandung, 1996, hlm 86-87
7
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 37
4. persetubuhan yang dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar hubungan
suka sama suka tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah diantara mereka.8
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa zina adalah tindakan yang
sangat dilarang dan ,merupakan dosa besar. selain itu juga akan memberikan peluang bagi
perilaku memalukan lainnya yang akan menghancurkan fondasi keluarga, akan menyebabkan
konflik dan pembunuhan, dan akan menyebarkan segala macam penyakit fisik dan mental. .
Jarimah zina termasuk dalam jarimah hudud, jarimah hudud adalah jarimah yang
terancam hukuman hadd. Had atau hudud meliputi seluruh atau sebagian jarimah, baik hudud,
qisas maupun diat itu sendiri, karena hukuman bagi semuanya telah ditentukan secara syara'.
Hal ini berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Sayyid Sabiq yang menjelaskan bahwa hudud
adalah “hukuman yang telah ditentukan karena menjalankan hak-hak Allah. Ta’zir dan qisas
tidak termasuk kedalam hudud, karena keputusan ta'zir dibuat atas saran hakim setempat,
sedangkan qisas adalah hak manusia lain untuk menuntut balas dan keadilan.
Siapapun yaang telah melakukan perzinaaan harus diteliti jangan sampai dia salah
dalam menjatuhkan hukuman. Karena jika salah maka akan merugikan orang lain, karena
tindak pidana zina merupakan hukuman yang sangat berat bagi pelakunya. Adapun dasar
penetapan zina adalah sebagai berikut:9
1. Ada kesaksian empat orang, laki-laki, dewasa, berakal dan adil. Keempat saksi
memberikan kesaksian yang sama tentang di mana, oleh siapa, kapan dan bagaimana
cara melakukanya. Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak dapat
dikatakan ia telah melakukan zina.
2. Pengakuan seorang pelaku yang dewasa dan berakal.
3. Qorinah atau tanda atau indikasi.
4. Qorinah yang dapat dianggap sebagai bukti zina yang sah adalah jelasnya kehamilan
wanita yang belum menikah. (tidak ada pemerkosaan).
Pada masa awal Islam, hukuman untuk perzinaaan adalah dipenjarakan di dalam
ruangan dan disakiti, baik dengan pukulan ke tubuh maupun dengan dipermemalukan.
Dasarnya adalah firman Allah dalam Q.S. an-Nisaa’ ayat 15 dan 16, yang artinya “Dan
(terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi
8
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm 6
9
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Amzah, Jakarta, 2014, hlm 14
5. diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian,
Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan
perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika
keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Setelah Islam mulai berkembang, ada beberapa perubahan dalam hukuman perzinaaan
ini, yaitu dengan turunya surah An-Nur ayat 2, yang artinya “Perempuan yang berzina dan laki-
laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa hukuman adalah tanggapan yang tepat
atas perbuatan pelaku kejahatan yang menyebabkan orang lain menjadi korban atas
perbuatannya. Adapun dasar penjatuhan hukuman tersebut antaranya Q.S. Shad ayat 26, yang
artinya “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamudari jalan Allah. Sesungguhnya orang- orang
yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan”.
Dengan diturunkannya surat An-Nur ayat 2 dan sabda Nabi Muhammad SAW ini, maka
hukuman zina yang tertera pada ayat 15 dan 16 Surat An-Nisaa di atas dihapuskan (mansukh).
Maka hukuman zina berdasarkan ayat dan hadits di atas dibagi menjadi dua bagian sebagai
berikut :10
1. Seratus pukulan dan satu tahun pengasingan bagi pezina yang belum berkeluarga
(ghairu muhshan).
2. Melempar batu/rajam kepada yang berkeluarga(muhshan) selain dipukul dengan
seratus kali cambukan.
10
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm 28
6. Ulama yang tidak menerima nasikh mansukh, surah an-Nisaa' ayat 15-16 tetap berlaku
dan tidak dihapus oleh surah an-Nur ayat 2. Hanya saja penggunaan dan penerapannya berbeda.
Ayat 15 Surat an-Nisaa berlaku untuk wanita yang melakukan hubungan intim dengan wanita
(lesbian), sedangkan ayat 16 berlaku untuk laki-laki yang melakukan homoseksualitas (liwath),
dan Ayat 2 Surat an-Nur berlaku untuk laki-laki atau perempuan yang berzina. Dari ayat dan
hadits yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa ada dua bentuk hukuman zina,
tergantung pada status pelakunya, apakah dia lajang (ghairu muhshan) atau menikah
(muhshan).
Penerapan Hukuman Cambuk Terhadap Pelaku Jarimah Zina
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dikenal sebagai Serambi Mekkah
merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menganut Syariat Islam dan
memberlakukan hukuman cambuk bagi pelanggarnya. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014
tentang Hukum Jinayat bahwa penegakan hukum cambuk khususnya untuk pelaku khalwat di
aceh agar dapat memberikan efek jera kepada pelaku khalwat.
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat hendaknya menjadi
peringatan bagi masyarakat pada umumnya untuk menjauhi dan mengawasi setiap anggota
keluarga pada khususnya dan anggota masyarakat pada umumnya agar terhindar dari hal-hal
yang mengarah kepada perbuatan yang tidak baik, yang dekat dengan tindak pidana zina. Zina
merupakan kesalahan dalam hukum hudud. Hukuman pidana zina dijelaskan dalam Qanun
Jinayat Aceh pada bagian kelima tentang zina. Pasal 33 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Hukum Jinayat menyebutkan :
1. Barang siapa dengan sengaja melakukan kejahatan terhadap Jarimah Zina diancam
dengan 'Uqubat Hudud cambuk sebanyak 100 (seratus) kali.
2. Barang siapa mengulangi perbuatan yang disebutkan dalam ayat (1) diancam dengan
cambuk 'Uqubat Hudud sebanyak 100 (seratus) kali dan kemungkinan disertai dengan
'Uqubat Ta'zir dengan pidana denda paling banyak 120 (seratus dua puluh) gram emas
murni atau 'Uqubat Ta' zir d kurungan paling lama 12 (dua belas) bulan.
3. Setiap orang dan/atau badan usaha yang dengan sengaja menyediakan memasang atau
mempromosikan Jarimah Zina, diancam dengan 'Uqubat Ta'zir cambukan sampai
dengan 100 (seratus) dan/atau denda sampai dengan 1000 (seribu) gram emas murni
dan/atau pidana penjara paling lama 100 (seratus) bulan.
7. Pasal 33 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat mengatur tentang hukuman
bagi siapa saja yang dengan sengaja melakukan zina yaitu cambuk 100 kali, baik pezina yang
sudah menikah (mushan) maupun yang melakukan zina belum pernah menikah (ghairu
muhshan). Apalagi siapa pun yang melakukan perzinahan lagi harus dikenai Sanksi hadd zina
adalah cambuk 100 kali dengan hukuman ta'zir. pasal ini juga menetapkan bahwa setiap orang
perseorangan dan/atau badan usaha dengan sengaja memberikan kemudahan atau mendorong
zina, mereka dikenakan had zina dan/atau disertai dengan hukuman ta'zir. Larangan zina di
Aceh sejalan dengan pandangan Imam Madzhab bahwa zina dilarang karena banyaknya
dampak negatif yang ditimbulkannya, sedangkan dalam hal pembagian pelaku zina, Qanun
Jinayat Aceh tidak sesuai dengan niatnya. Imam madzhab, yang membagi zina menjadi dua,
yaitu zina mushan, yang dihukum dengan cambukan 100 (seratus) disertai dengan pengasingan,
dan ghairu muhshan, yang dapat dirajam. Di Qanun Jinayat Aceh pezina diancam dengan
pidana paling banyak 100 (seratus) kali cambuk atau 100 (seratus) kali cambuk. cambuk
menambahkan ta'zir terlepas dari status penulisnya.
Qanun Jinayat Aceh juga memberikan hukuman berat bagi orang dewasa yang
melakukan perzinaan dengan anak di bawah umur. Aturan ini tertuang dalam Pasal 34 Qanun
Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat sebagai berikut: “Setiap Orang dewasa
yang melakukan Zina dengan anak, selain diancam dengan ‘Uqubat Hudud sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat ditambah dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling
banyak 100 (seratus) kali atau denda paling banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau
penjara paling lama 100 (seratus) bulan”.
Dalam Pasal 34, pidana yang ditentukan adalah maksimum pidana zina, yaitu cambuk
100 (seratus) ditambah pidana ta'zir. hukuman tambahan ditentukan oleh hakim berapa
pidananya sepanjang tidak melampaui batas diidentifikasi oleh Qanun.11
Selain itu, Qanun Jinayat Aceh juga mengatur tentang ibu hamil diluar nikah Pasal 36
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayat sebagai berikut : “Seorang wanita hamil di
luar nikah tidak dapat dituntut atas tindak pidana Jarimah Zina tanpa bukti yang cukup”.
Pasal 36 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum Jinayat menurut pendapat
mayoritas ulama madzhab yang menganggap bahwa hukuman tidak dapat dijatuhkan jika
hanya ada bukti kehamilan saja tanpa ada bukti yang sah, aturan lain. Di Provinsi Aceh, zina
11
Nasrullah Yahya, “Legislasi Hukum Positif (Fikih) Aceh: Tinjauan Pergumulan Qanun Hukum Jinayah”,
Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan,XIV, 2 (Desember, 2018, hlm 159
8. diatur dalam Bagian V tentang zina dalam Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014. Bagi siapa saja yang
melakukan zina, dikenakan hukuman cambuk 100 kali bagi dua orang pezina yang telah
menikah atau masih belum menikah. Selain itu, Qanun Jinayat Aceh juga menghukum zina
dengan 100 kali cambukan dan dapat dibarengi dengan hukuman ta’zir bagi pelanggar
berulang, organisasi bisnis atau individu yang memberi dasar atau mempromosikan zina, zina
dewasa dengan anak di bawah umur dan pelaku. pezina, yang dengan sengaja melakukan zina
dengan mahramnya.
Tentang hukuman zina, Qanun Aceh No 6 Tahun 2014 Mengenai hukum Jinayat, tidak
sepenuhnya menerima pendapat para imam madzhab. Pemerintah Aceh pun melakukan
reformasi dengan melaksanakan ijtihad sendiri sesuai dengan adat dan kondisi masyarakat
Aceh. Mereka mencoba menerapkan peraturan lama yang dianggap baik dan penelitian untuk
membangun peraturan baru yang lebih baik dan lebih baik untuk diterapkan.
Kesimpulan
Ketentuan tentang hukuman cambuk bagi pezina dalam hukum pidana Islam dicambuk ratusan
kali berdasarkan firman Allah SWT. an-Nur ayat 2 sedangkan Pasal 33(1) Qanun Aceh nomor
6 tahun 2014 tentang hukum Jinayat menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja
melakukan zina diancam dengan pemukulan 'uqubat hudud sebanyak 100 (seratus) kali. Qanun
Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang hukum Jinayat tidak membedakan antara pezina muhshan dan
ghairu muhshan, artinya pezina di Aceh, menikah dan tidak menikah, mendapat hukuman yang
sama beratnya, yaitu cambuk 100 (seratus). Penjatuhan sanksi/hukuman bagi pezina dalam
hukum pidana Islam harus dilakukan dan disaksikan oleh sekelompok orang yang beriman,
yaitu harus berada di tempat umum, terlihat oleh orang lain, untuk kepentingan penyidikan dan
pencegahan, baik terhadap pelaku maupun terhadap orang lain. Pertimbangan yuridis dalam
menerapkan hukum tamparan terhadap pelaku zina berdasarkan putusan Mahkamah Syar'iyah
Lhokseumawe No. 4/JN/2018/MS.Lsm adalah para terdakwa yang divonis dengan sengaja
melakukan zina, oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (1) Qanun Aceh No. 6
Tahun 2014 tentang hukum Jinayat, para terdakwa diancam dengan 'Uqubat hudud cambuk
100 (seratus) kali.
9. Daftar Pustaka
Nasrullah Yahya, “Legislasi Hukum Positif (Fikih) Aceh: Tinjauan Pergumulan Qanun
Hukum Jinayah”, Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan,XIV, 2
(Desember, 2018
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Amzah, Jakarta, 2014,
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Ghalia Indah, Jakarta, 2009
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Al-Maarif, Bandung, 1996
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Pustaka Setia, Bandung, 2010
Makhrus Munajat, Fiqh Jinayah, Nawesea Press, Yogyakarta, 2010
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta,
2006
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006