Dokumen tersebut membahas tentang perkembangan ejaan bahasa Indonesia mulai dari Ejaan van
Ophuysen hingga Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan van Ophuysen merupakan ejaan
pertama yang digunakan pada tahun 1901 hingga 1947. Kemudian digantikan oleh Ejaan
Suwandi pada tahun 1947 hingga 1972."
1. BAB I
PENDAHULUAN
I.1.LATAR BELAKANG
Dalam pemahaman umum, bahasa Indonesia sudah diketahui sebagai alat berkomunikasi.
Setiap situasi memungkinkan seseorang memilih variasi bahasa yang akan digunakannya.
Berbagai faktor turut menentukan pemilihan tersebut, seperti penulis, pembaca, pokok
pembicaraan, dan sarana.
Dalam situasi resmi, misalnya dalam kegiatan ilmiah, sudah sepantasnya digunakan bahasa
Indonesia ragam baku. Salah satu ciri ragam bahasa ilmiah ialah benar (Nazar, 2004: 101;
bandingkan pula Djajasudarma, 1999: 128). Pemahaman benar yaitu menyangkut kesesuaian
dengan kaidah bahasa Indonesia baku. Ragam bahasa baku dipahami sebagai ragam bahasa yang
dipandang sebagai ukuran yang pantas dijadikan standar dan memenuhi syarat sebagai ragam
bahasa orang yang berpendidikan. Kaidah yang menyertai ragam baku mantap, tetapi tidak kaku,
cukup luwes sehingga memungkinkan perubahan yang bersistem dan teratur di berbagai bidang.
Hal ini tentu saja dalam kerangka bahasa Indonesia yang baik dan benar. Baik dalam
pemahaman sesuai dengan situasi dan benar dalam pemahaman sesuai dengan kaidah tata bahasa
(Sugihastuti, 2003: 9).
Bahasa dalam laporan penelitian, sebagaimana telah dijelaskan, memilih ragam baku sebagai
sarananya, benar kaidahnya, dan memenuhi ciri sebagai ragam standar orang berpendidikan.
Namun, pada kenyataannya masih banyak ditemukan kesalahan dalam berbagai tataran bahasa,
termasuk dalam penggunaan Ejaan bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Ejaan
sebagaimana telah dipahami bersama adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan
bunyi-bunyi ujaran dan bagaimana antarhubungan antara lambang itu. Secara teknis yang
dimaksud ejaan adalah penulisan huruf, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca (Arifin &
Tasai, 2004: 170; baca pula Mustakim, 1996; Rahardi, 2003). Oleh karena itu, penguasaan ejaan
mutlak diperlukan bagi seseorang yang berkecimpung dalam kegiatan ilmiah. Berikut ini
disajikan kaidah ejaan yang sering dilanggar berikut pembetulannya (contoh-contoh diambil dari
Nazar, 2004).
Penerapan Kaidah Ejaan 1
2. I.2.RUMUSAN MASALAH
1. Apakah problematika pengucapan & Pengejaan?
2. Apakah yang dimaksud dengan ejaan ?
3. Bagaimana tahapan-tahapan ejaan bahasa Indonesia mulai dari Ejaan van
Ophuysen hingga Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)?
I.3.TUJUAN
1. Untuk mengetahui problematika pengucapan & pengejaan
2. Untuk mengetahui pengertian ejaan
3. Dapat menjelaskan tahapan-tahapan ejaan bahasa Indonesia mulai dari Ejaan van
Ophuysen hingga Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
4. Dapat menjelaskan tentang ejaan suwandi
5. Dapat menjelaskan tentang ejaan Melindo ( Melayu – Indonesia )
6. Dapat menjelaskan tentang ejaan suwandi
7. Dapat menjelaskan tentang Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
Penerapan Kaidah Ejaan 2
3. BAB II
PEMBAHASAN
II.1.PROBLEMATIKA PENGUCAPAN & PENGEJAAN
Usaha pembakuan bahasa Indonesia yang telah dirintis sejak tahun 1901 ternyata belum
menunjukkan hasil yang paripurna hingga saat ini.Dalam pemakaian bahasa Indonesia,masih
sering dijumpai kata-kata yang dieja atau diucapkan dengan tidak tepat.Umumnya kesalahan itu
perpangkal pada kesalahan ejaan sehingga sekaligus juga terjadi kesalahan pengucapan.Selain
itu,pembacaaan kata-kata yang sudah betul ejaannya terkadang masih dibaca dengan lafal yang
salah padahal dalam situasi resmi,seharusnya kesalahan seperti itu tidak terjadi.
Salah eja dan salah ucap itu biasanya terjadi karena pengaruh bahasa daerah.Kata-kata
nomor,besok,Rabu,Kamis biasanya dieja dan diucapkan nomer,besuk,dan Rebo, oleh orang-
orang yang bahasa pertamanya ( mother tongue ) bahasa Jawa.Kadang ejaannya sudah benar
tetapi diucapkan dengan tidak benar,misalnya: fakultas,ke mana,dan jalan diucapkan
pakultas,komana dan jalang oleh orang Bugis-Makassar.Selain itu,kesalahan ucapan dapat
disebabkan adanya bunyi yang berbeda tetapi dalam ejaan tidak dibedakan.Contohnya kata
„peka‟(sensitif) sering dilafalkan pepet padahal seharusnya dilafalkan seperti kata
teras(serambi).Kata „teras‟ yang dilfalkan menggunakan „e‟,pepet akan memiliki arti lain yaitu
inti kayu.
Kesalahan ucapan juga sering kali disebabkan penggunaan ejaan bahasa daerah Jawa
seperti huruf a yang harus dibaca seperti o dalam bahasa Indonesia.Misalnya,nama
„Poerwadarminta‟ yang seharusnya dibaca Purwodarminto dan „Poejasemedi‟ yang seharusnya
dibaca Pujosemedi.
Salah eja juga sering terjadi pada penulisan kata-kata yang berasal dari bahasa asing
seperti sistim,kongkrit,tehnik,extra thesis,kwitansi, dan resiko,yang seharusnya ejaannya adalah
system,konkret,teknik,ekstra,tesis,kuitansi, dan risiko.
Kesalahan pengucapan yang sudah menjadi kebiasaan dan akan sulit dibetulkan seperti
yang dialami kalangan generasi tua.Untuk itu,hendaknya kesalahan yang demikian dihindari dan
Penerapan Kaidah Ejaan 3
4. tidak menular pada generasi muda.Salah satu cara menghindarinya adalah mempelajari dan
memahami sedini mungkin tentang seluk-beluk ejaan.
II.2.PENGERTIAN EJAAN
Ejaan ialah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang
distandardisasikan. Lazimnya, ejaan mempunyai tiga aspek, yakni :
Aspek fonologis yang menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan
penyusunan abjad .
Aspek morfologi yang menyangkut penggambaran
satuan-satuan morfemis
Aspek sintaksis yang menyangkut penanda
ujaran tanda baca (Badudu, 1984:7).
Keraf (1988:51) mengatakan bahwa
ejaan ialah keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan
lambang-lambang bunyi ujaran dan bagaimana interrelasi antara
lambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu
bahasa. Adapun menurut KBBI (1993:250) ejaan ialah kaidah-kaidah cara
menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk
tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca. Dengan demikian,
secara sederhana dapat dikatakan bahwa ejaan adalah seperangkat kaidah
tulis-menulis yang meliputi kaidah penulisan huruf, kata, dan tanda
baca.
Walaupun sistem ejaan sekarang didasarkan atas sistem fonemis, yaitu satu tanda untuk satu
bunyi, namun masih terdapat kepincangan-kepincangan. Ada fonem yang masih dilambangkan
dengan dua tanda (diagraf), misalnya ng, ny, kh, dan sy. Jika kita menghendaki kekonsekuenan
terhadap prinsip yang dianut, maka diagraf-diagraf tersebut harus dirubah menjadi monograf
(satu fonem satu tanda). Di samping itu masih terdapat kekurangan lain yang sangat mengganggu
terutama dalam mengucapkan kata-kata yang bersangkutan, yaitu ada dua fonem yang
dilambangkan dengan satu tanda saja yakni e (pepet) dan e (taling). Ini menimbulkan dualisme
dalam pengucapan.
Penerapan Kaidah Ejaan 4
5. Ejaan suatu bahasa tidak saja berkisar pada persoalan bagaimana melambangkan bunyi-
bunyi ujaran serta bagaimana menempatkan tanda-tanda baca dan sebagainya, tetapi juga
meliputi hal-hal seperti: bagaimana menggabungkan kata-kata, baik dengan imbuhan-imbuhan
maupun antara kata dengan kata. Pemotongan itu berguna terutama bagaimana kita harus
memisahkan huruf-huruf itu pada akhir suatu baris, bila baris itu tidak memungkinkan kita
menulils seluruh kata di sana. Apakah kita harus memisahkan kata bunga menjadi bu – nga atau
b – unga . Semuanya ini memerlukan suatu peraturan umum, agar jangan timbul kesewenangan.
II.3.PEMBINAAN EJAAN BAHASA INDONESIA
Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai
berikut :
a. Ejaan van Ophuysen(1901-1947)
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk
membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para
pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena
telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi
bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan
penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa
Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat.
Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada
tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris
mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu
(dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma‟moer dan Moehammad
Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur
("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka.
Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman
Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa
instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah
terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa
Penerapan Kaidah Ejaan 5
6. persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa
Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan,
dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya,
hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan
Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa
pergaulan atau bahasa persatuan."
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh
sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir
Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak
mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang
dibantu oleh Nawawi Soetan Ma‟moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan
baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van
Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan
tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y
seperti dalam Soerabaïa.
2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer,
’akal, ta’, pa’, dsb.
b. Ejaan Suwandi(1947-1972)
Selama Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan agar ejaan itu lebih banyak
diinternasionalisasikan. Dan memang dalam perkembangan selanjutnya terutama sesudah
Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang praktis yang harus
disempurnakan. Sebenarnya perubahan ejaan itu telah dirancangkan waktu pendudukan Jepang.
Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan penetapan baru oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan
dan Kebudayaan Suwandi (SK No. 264/Bag.A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia;
sebab itu ejaan ini kemudian terkenal dengan nama Ejaan Suwandi.
Penerapan Kaidah Ejaan 6
7. Sebagai dampak dalam keputusan di atas, bunyi oe tidak semuanya diganti dengan u. Baru
pada tahun 1949, menurut surat edaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanda oe mulai
1 Januari 1949 diganti dengan u.
Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini
juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang
mendampinginya.
c. Ejaan Melindo (Melayu – Indonesia) 1966
Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 kembali mempersoalkan masalah ejaan. Sesuai
dengan usul Kongres, kemudian dibentuk sebuah panitian dengan SK No. 44876 tanggal 19 Juli
1956. Panitia ini berhasil merumuskan patokan-patokan baru pada tahun 1957. namun keputusan
ini tidak dapat dilaksanakan karena ada usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan
Melayu. Sebab itu pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil
merumuskan suatu konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo
(Melayu – Indonesia). Tetapi konsep ejaan ini juga tidak jadi diumumkan karena perkembangan
politik kemudian.
d. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)1972
Karena laju perkembangan pembangunan, maka dirasakan bahwa ejaan perlu
disempurnakan. Sebab itu, di tahun 1966 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sarino
Mangunpranoto dibentuk lagi sebuah Panitia Ejaan Bahasa Indonesia, yang bertugas menyusun
konsep baru, yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang terdahulu. Sesudah berkali-
kali diadakan penyempurnaan, maka berdasarkan Kepurusan Presiden No. 57 tahun 1972
diresmikan ejaan baru yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1972, yang dinamakan Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD).
Penerapan Kaidah Ejaan 7
8. Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik
Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan
dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.
Perubahan yang paling penting dalam EYD adalah:
No. Ejaan lama EYD
Indonesia Malaysia Contoh Contoh
Sejak 1972
(pra-1972) (pra-1972)
1. Tj Ch Tjakap C Cakap
2. Dj J Djalan J Jalan
3. Ch Kh tarich Kh Tarikh
4. Nj Ny njonja Ny nyonya
5. Sj Sh sjarat Sy Syarat
6. J Y Pajung Y Payung
Catatan: Tahun 1947 "oe" sudah digantikan dengan "u".
* Kedua gabungan huruf ini sebenarnya tidak terdapat dalam ejaan lama. Di samping itu
diresmikan pula huruf-huruf berikut di dalam pemakaian:
f maaf, fakir
v valuta, universitas
z zeni, lezat
q, x huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai.
Penerapan Kaidah Ejaan 8
9. Motif lahirnya Ejaan yang Disempurnakan ialah sebagai berikut :
1. Menyesuaikan ejaan bahasa Indonesia dengan perkembangan bahasa.
2. Membina ketertiban dalam penulisan huruf dan tanda baca.
3. Mulai usaha pembakuan bahasa Indonesia secara menyeluruh.
4. Mendorong pengembangan bahasa Indonesia (Ambo Enre, 1984:38)
Adapun hal-hal yang diatur penggunaannya dalam EYD,yaitu sebagai berikut:
1.Penulisan Huruf
Dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan,penulisan huruf menyangkut dua
masalah,yaitu (1) penulisan huruf besar atau huruf kapital dan (2) penulisan huruf miring.
a.Penulisan huruf besar atau huruf kapital
Dalam kaidah penulisan huruf besar dan huruf kecil,terdapat aturan yang dinamis sesuai
dengan ketetapan dalam EYD. Berikut ini dipaparkan kaidah penulisan huruf kapital.
1) Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal
kalimat.Misalnya:Dia mengantuk..
2) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.
Misalnya: Adik bertanya, “Kapan kita pulang?”
“Besok pagi,” kata Ibu, “Dia berangkat.”
3) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan
nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan.
Misalnya: Allah Alkitab Islam
Yang Mahakuasa Quran Kristen
4) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan,keturunan, dan
keagamaan yang diikuti nama orang.
Misalnya: Sultan Hasanuddin
Nabi Ibrahim
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan,keturunan, dan
keagamaan yang tidak diikuti nama orang.
Misalnya: Tahun ini ia pergi naik haji.
Penerapan Kaidah Ejaan 9
10. 5) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti
nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang terentu,nama instansi, atau
nama tempat.
Misalnya: Wakil Presiden Jusuf Kalla
Profesor Supomo
Gubernur Sulawesi Selatan
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang
tidak diikuti nama orang atau nama tempat.
Misalnya: Siapa gubernur yang baru dilantik itu?
Kemarin Brigadir Jenderal Ahmad dilantik menjadi mayor jenderal.
6) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang.
Misalnya: Amir Hamzah
7) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa,suku,dan bahasa.
Misalnya: bangsa Indonesia
suku Sunda
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa,suku,dan bahasa yang
dipakai sebagai benttuk dasar kata turunan.
Misalnya: mengindonesiakan kata asing
8) Huruf kapital dipakai ssebagai huruf pertama nama tahun,bulan,hari,hari raya, dan
peristiwa sejarah.
Misalnya: bulan Agustus hari Natal
hari Jumat perang Diponegoro
tahun Hijriah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai
sebagai nama.
Misalnya: Soekarno dan Hatta memprolamasikan kemerdekaan bangsanya.
Penerapan Kaidah Ejaan 10
11. 9) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.
Misalnya: Asia Tenggara,Danau Toba,Pegunungan Jayawijaya
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi
unsur nama diri.
Misalnya: berlayar ke teluk
Pergi ke arah tenggara
10) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama Negara,lembaga
pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata seperti dan.
Misalnya: Republik Indonesia
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Keputusan Presiden Republik Indonesia, Nomor 57,Tahun 1972.
11) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang
terdapat pada nama badan, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta dokumen
asli.
Misalnya: Perserikatan Bangsa-Bangsa
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
12) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur kata
ulang sempurna) di dalam nama buku,majalah,surat kabar, dan judul karangan kecuali
kata seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal.
Misalnya: Bacalah majalah Bahasa dan Sastra
Saya telah membaca buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
13) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan ,nama gelar, pangkat, dan
sapaan.
Misalnya: Dr. doktor Prof. profesor
S.H. sarjana hukum Tn. tuan
14) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti
bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan
pengacuan.
Misalnya: Surat Saudara sudah saya terima.
Mereka pergi ke rumah Pak Camat.
Penerapan Kaidah Ejaan 11
12. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan
yang tidak dipakai dalam pengacuan atau penyapaan.
Misalnya: Kita harus menghormati bapak dan ibu kita.
15) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti Anda.
Misalnya: Surat Anda telah kami terima.
b.Huruf Miring
Berbeda dengan penulisan huruf kapital,penulisan huruf miring tidak memiliki
kondisi dinamis yang rumit.Kekeliruan penulisan huruf miring umumnya terjadi hanya
pada penggunaan variasi tulisan dalam pengetikan menggunakan komputer.Berikut
kaidah penulisan dan penggunaan huruf miring:
1. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku,majalah, dan surat
kabar yang dikutip dalam tulisan.
Misalnya: Majalah Bahasa dan Kesusastraan.
Surat kabar Tribun Timur.
2. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf,
bagian kata, kata, kelompok kata.
Misalnya: Huruf pertama kata abad ialah a.
Dia bukan menipu,tetapi ditipu.
3. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan kata nama ilmiah atau
ungkapan asing kecuali yang telah disesuaikan ejaanya.
Misalnya: Nama ilmiah buah manggis adalah Carcinia mangostana.
Politik devide et impera pernah merajalela di negeri ini.
2. Penulisan Kata
Penulisan kata adalah salah satu aspek bahasa yang sering diabaikan kaidah baku dalam
pemakainnya.Kadang dijumapai kata-kata yang bentuknya tidak lengkap awalan dan
akhirannya,seperti pada kalimat Dilarang jualan di tepi jalan dan Saya keberatan terhadap usul
itu.Seharusnya ‘jualan’ ditulis dengan ditambahkan awalan ber- sehingga menjadi Dilarang
berjualan di tepi jalan dan ‘keberatan’ ditulis dengan menambahkan awalan ber- sehingga
menjadi Saya berkeberatan terhadap usul itu.
Penerapan Kaidah Ejaan 12
13. Kesalahan juga terjadi pada pemenggalan akhiran kata dalam kalimat misalnya, Saya
sudah katakan; Saudara sudah ketahui; dan Tuan telah ambil; Jika yang dimaksud adalah
bentuk pasif maka seharusnya ditulis sudah saya katakan, telah Tuan ambil, dan sudah saudara
ketahui.Apabila yang dimaksud bentuk aktif maka seharusnya ditulis Saya sudah
mengatakan,Tuan telah mengambil, dan Saudara telah mengetahui.
Selain bentuk-bentuk awalan yang tidak tepat,kadang juga ditemui penggunaan kata yang
tidak tepat misalnya pada kalimat Saya berangkat duluan, Sepeda yang hilang itu telah
diketemukan, dan Cita-citanya tidak kesampaian.Harusnya ditulis dalam bentuk kalimat: Saya
berangkat lebih dulu, Sepeda yang hilang itu telah ditemukan kembali, dan Cita-citanya tidak
tercapai.
Sekilas,biang kesalahan pada bentuk di atas hanya terletak pada persoalan diksi,imbuhan,
dan awalannya saja. Akan tetapi bagaimana dengan kata pengrajin dan perajin. Bisakah
keduanya saling menggantikan atau tidak ada kata pengrajin berdasarkan prinsip persengauan
dan yang ada hanya kata perajin.
Dalam bahasa Indonesia,awalan peN- menyatakan „pelaku dari suatu perbuatan,‟
misalnya penulis berarti „orang yang menulis,‟ tetapi peN- yang dirangkaikan dengan kata sifat
menyatakan „orang yang mempunyai sifat‟ misalnya pemalas (dari kata malas).Dalam hal
ini,perajin berarti orang yang memiliki sifat rajin bukan orang yang membuat barang-barang
kerajinan.Di sisi lain, perajin dalam arti „pembuat kerajinan‟ tidak selamanya memiliki sifat
rajin.Dengan demikian, kata perajin dan pengrajin tidak boleh saling menggantikan dan
memiliki makna sendiri-sendiri.
Penerapan Kaidah Ejaan 13
14. BAB III
PENUTUP
III.1.KESIMPULAN
a. ) Ejaan ialah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang
distandardisasikan. Ejaan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam hal (1) landasan
pembakuan tata bahasa, (2) landasan pembakuan kosakata dan peristrilahan, dan (3) alat
penyaring masuknya unsur-unsur bahasa lain ke dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, ejaan
mempunyai fungsi praktis yaitu membantu pemahaman pembaca di dalam mencerna informasi
yang disampaikan secara tertulis.
b. ) Pada tahun 1900, Ch. van Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan
Melayu dengan mempergunakan aksara Latin. Ejaan tersebut tidak sekali jadi tapi tatap
mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926 mendapat bentuk yang tetap.
Dalam perkembangan selanjutnya terutama sesudah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada
beberapa hal yang kurang praktis yang harus disempurnakan. Pada tanggal 19 Maret 1947
dikeluarkan penetapan baru oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Suwandi (SK
No. 264/Bag.A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini kemudian
terkenal dengan nama Ejaan Suwandi. Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 kembali
mempersoalkan masalah ejaan pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu
berhasil merumuskan suatu konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan
Melindo (Melayu – Indonesia). Karena laju perkembangan pembangunan, maka dirasakan bahwa
ejaan perlu disempurnakan. Sesudah berkali-kali diadakan penyempurnaan, maka berdasarkan
Kepurusan Presiden No. 57 tahun 1972 diresmikan ejaan baru yang mulai berlaku pada tanggal
17 Agustus 1972, yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
III.2.SARAN
Pemahaman pada ejaan yang benar kiranya dapat mendorong kita pengguna bahasa
Indonesia harus terus meningkatkan kualitas bahasa Indonesia. Dengan demikian, bahasa
Indonesia dapat menjadi bahasa modern yang dapat mengaktualisasikan konsep-konsep ipteks.
Penerapan Kaidah Ejaan 14
15. DAFTAR PUSTAKA
Nazar, Noerzisri. 2004. Bahasa Indonesia dalam Karangan Ilmiah. Bandung: Huma-
niora.
Sugono, Dendy (Penyunting). 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1 & 2. Jakarta:
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 2004. Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Mustakim. 1996. Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia untuk Umum. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Syahruddin,Ga‟ga Mansur,dkk.2011.Mari Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar. Makassar:Permata
Ilmu.
Penerapan Kaidah Ejaan 15