SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 62
Descargar para leer sin conexión
€rqe)
El"finT@TEffiq-$d
IEUOISENlsEul.rBdalllox
Enla}I
@
rsPui'JEddflulJ.
runlun^enla)
ffi
elsaroprlre{elodVuqql
lesndsruntued
€I0zunqEl
paloraOgaH)i(r;pnfuopernpglEuolsseJordrlllEeHtultr
:qelounsnslc
VISIINOONIUgXiIIOdVNV)IIOIONAdXIhIIIOV)TVHy)ISVN
NVHVSII9NIIdUVgh[lI'I
vIsiINo(INIISVI!{uv{I93NIINVnXflSdlIdISYISOSV
NV(I
VISIINOONIUID{IIIOdVNVIV)II
DAFTAR ISI
Hal
BAB I Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………………….. 1
1.2. Identifikasi Masalah ………………………………………………………….. 3
1.3. Tujuan dan Kegunaan ………………………………………………………. 4
1.3.1. Tujuan ………………………………………………………………… 4
1.3.2. Kegunaan …………………………………………………………….. 5
1.4. Metode / Pendekatan ……………………………………………………….. 5
BAB II Landasan Pemikiran ………………………………………………………………. 7
2.1. Landasan Historis ……………………………………………………………. 7
2.1.1. Sejarah Obat & Pengobatan ………………………………………... 7
2.1.2. Perkembangan Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia ………... 8
2.2. Landasan Filosofis …………………………………………………………… 10
2.3. Landasan Sosiologis ………………………………………………………… 12
2.4. Landasan Yuridis ……………………………………………………………. 13
BAB III Tinjauan Pustaka ………………………………………………………………….. 15
3.1. Praktik Kefarmasian ………………………………………………………… 15
3.1.1. Praktik Kefarmasian Global ………………………………………… 15
3.1.2. Praktik Kefarmasian Di Indonesia …………………………………. 16
3.2. Tenaga Kefarmasian Di Indonesia ………………………………………… 18
3.2.1. Peran Tenaga Kefarmasian Dalam Sistem Kesehatan
Nasional ………………………………………………………………. 18
3.2.2. Apoteker ………………………………………………………………. 19
3.2.3. Tenaga Teknis Kefarmasian ……………………………………….. 21
3.2.4. Harmonisasi & Mutual Recognition ………………………………… 21
3.3. Pendidikan Farmasi …………………………………………………………. 23
3.3.1. Jenis dan Jenjang Pendidikan Tinggi Farmasi …………………… 23
3.3.2. Pendidikan Akademis (S-1, S-2, dan S-3) ………………………… 24
3.3.3. Pendidikan Profesi (Apoteker dan Apoteker Spesialis) ………….. 24
3.3.4. Pendidikan Vokasi (D-3) ……………………………………………. 26
3.4. Penjaminan Mutu dan Akreditasi ………………………………………….. 26
3.4.1. Standar Pendidikan Apoteker ………………………………………. 27
3.4.2. Sistem Akreditasi …………………………………………………….. 28
BAB IV Pemikiran Konseptual Perubahan Pendidikan Apoteker Indonesia ………….. 29
4.1. Apoteker Sebagai Tenaga Kesehatan …………………………………….. 29
4.1.1. Keahlian dan Kewenangan Apoteker ……………………………… 29
4.1.2. Fungsi dan Peran Apoteker ………………………………………… 30
4.2. Konsep Pendidikan Apoteker ………………………………………………. 31
4.2.1. Kerangka Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia ………………. 31
4.2.2. Kompetensi Apoteker ………………………………………………... 32
4.2.3. Standar Dan Pedoman Pendidikan Apoteker …………………….. 33
4.2.4. Strategi Dan Proses Pendidikan Apoteker ………………………... 33
4.2.5. Penjaminan Mutu Pendidikan Apoteker …………………………… 36
4.3. Manajemen Perubahan Pendidikan Apoteker ……………………………. 38
BAB V Ruang Lingkup Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Pendidikan Apoteker Indonesia ………………………………………………….. 38
5.1. Konsiderans ………………………………………………………………….. 38
5.2. Dasar Hukum ………………………………………………………………… 39
5.3. Ketentuan Umum ……………………………………………………………. 39
5.4. Azas dan Tujuan ……………………………………………………………... 42
5.5. Materi Muatan Perundang-undangan ……………………………………… 43
BAB VI Kesimpulan dan Saran ……………………………………………………………. 53
6.1. Kesimpulan …………………………………………………………………… 53
6.2. Saran ………………………………………………………………………….. 54
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………….. 55
Tim Penyusun ……………………………………………………………………………….. 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran,
kemauan, serta kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan
tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat. Untuk
mewujudkannya diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh
dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat
(Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan). Upaya kesehatan
merupakan kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu,
terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau
masyarakat.
Mengingat pembangunan kesehatan merupakan investasi bagi pembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis, upaya pelayanan
kesehatan perlu terus ditingkatkan mutunya. Untuk itu dibutuhkan tenaga kesehatan,
termasuk diantaranya apoteker yang mampu melaksanakan pelayanan kefarmasian
secara professional serta mampu menjawab perkembangan kebutuhan masyarakat.
Apoteker sebagai tenaga profesi kesehatan mempunyai peran strategis dalam
pelayanan kesehatan yaitu “menjamin ketersediaan obat yang bermutu, menjamin
efektivitas pengelolaannya, serta menjamin keamanan dan kemanjuran obat melalui
pelayanan kefarmasian yang berfokus kepada pasien (pharmaceutical care)”.
Pharmaceutical care umum didefinisikan sebagai “the responsible provision of drug
therapy for the purpose of achieving definite outcomes that improve or maintain a
patient’s quality of life”1,2,3
..
Untuk menghasilkan apoteker yang bermutu dibutuhkan proses pendidikan
2
yang memenuhi standar pendidikan, namun sejak terbitnya Peraturan Pemerintah
Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, standar pendidikan
apoteker belum disusun dan ditetapkan. Standar pendidikan apoteker diperlukan
agar semua institusi pendidikan tinggi farmasi dapat menyelenggarakan pendidikan
apoteker yang terstandar sehingga mutu lulusannya dapat dijamin. Dalam rangka
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia, standar
pendidikan apoteker harus memperoleh pengakuan dari semua sektor terkait dan
dapat diimplementasikan secara nasional berdasar peraturan perundangan yang
berlaku. Dengan adanya standar pendidikan apoteker tersebut diharapkan semua
apoteker yang menjalankan praktik profesinya di Indonesia memiliki mutu yang
sama sehingga mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat
Indonesia serta mampu bersaing di lingkungan Asia Pasifik dan bahkan dunia
Internasional. Kompetensi dalam bentuk ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap dan
perilaku yang diperoleh selama pendidikan akan menjadi landasan dan modal utama
bagi apoteker untuk melakukan praktik kefarmasian secara profesional dan etis.
Sampai saat ini praktik kefarmasian di Indonesia belum berjalan optimal. Peran
apoteker pada umumnya baru sebatas mengelola obat, akibatnya keberadaan dan
kemanfaatan profesi apoteker belum dirasakan oleh masyarakat. Sinergi dengan
tenaga kesehatan lainnya dalam sistem pelayanan kesehatan sebagai penerapan
konsep pharmaceutical care belum dapat berkembang antara lain disebabkan oleh
terbatasnya pengetahuan dan kemampuan apoteker dalam penatalaksaaan terapi
obat, identifikasi dan solusi masalah-masalah terkait obat (DRP’s), maupun teknik
komunikasi. Berbagai hal tersebut menyebabkan praktik kefarmasian belum optimal
dan apoteker kehilangan identitas serta rasa percaya diri dalam menjalankan praktik
kefarmasian sebagai bagian dari pelayanan kesehatan.
Jumlah apoteker di Indonesia saat ini mencapai sekitar 45.000 dengan tingkat
pertumbuhan sekitar 10% per tahun. Mengingat pentingnya peran apoteker dalam
layanan kesehatan, sudah selayaknya pendidikan profesi apoteker memperoleh
perhatian lebih agar kualitas pelayanan kefarmasian bagi masyarakat dapat dijamin.
Data Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) menunjukkan saat ini
terdapat 76 pendidikan tinggi farmasi (PTF), 26 diantaranya menyelenggarakan
3
pendidikan apoteker. Permasalahan utama yang dihadapi pendidikan tinggi farmasi
di Indonesia saat ini meliputi: (a) kesenjangan kualitas antar PTF, (b) orientasi
kurikulum belum sesuai dengan perkembangan praktik kefarmasian, (c) minimnya
modal pendidikan/investasi dan biaya per-unit (unit cost) serta ketersediaan sarana
dan prasarana termasuk tempat praktik kerja profesi, (d) belum tersedianya model
uji kompetensi untuk standarisasi lulusan, dan (e) kurangnya perhatian pemerintah
pada pengembangan pendidikan farmasi (termasuk pendidikan apoteker) maupun
pada implementasi praktik kefarmasian. Kondisi ini berpengaruh pada kelayakan
PTF dalam menyelenggarakan pendidikan farmasi, termasuk pendidikan apoteker
yang berdampak langsung pada kompetensi apoteker. Pendidikan apoteker perlu
dibenahi agar lulusan yang dihasilkan mampu menjawab tuntutan perkembangan
pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kefarmasian.
Upaya pembenahan pendidikan apoteker tidak bisa dilakukan sendiri oleh
institusi penyelenggara pendidikan farmasi. Dibutuhkan sinergi antara PTF melalui
APTFI dengan pemerintah, organisasi profesi (a.l. Ikatan Apoteker Indonesia), para
pengguna lulusan (rumah sakit, industri, apotik dll), serta stakeholders terkait lainnya
untuk merumuskan berbagai langkah strategis dalam penataan sistem pendidikan
farmasi di Indonesia. Penyelenggara pendidikan apoteker dan segenap pemangku
kepentingan profesi apoteker harus berjuang sekaligus memikul tanggungjawab
bersama untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensi profesi apoteker agar
keberadaannya bermanfaat bagi masyarakat. Kepercayaan masyarakat sebagai
atribut yang sangat bernilai bagi profesi apoteker harus terus diperjuangkan melalui
peningkatan mutu pendidikan apoteker dan peningkatan peran apoteker agar
pembangunan bidang kesehatan sebagai salah satu bagian dari tujuan nasional
yang dicita-citakan dapat diwujudkan.
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Berbagai permasalahan dalam pendidikan apoteker di Indonesia yang dijumpai
hingga saat ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Kualitas penyelenggaraan pendidikan apoteker sangat bervariasi dan terjadi
kesenjangan kompetensi lulusan.
4
2. Fleksibiltas kurikulum dan proses pembelajaran pendidikan apoteker belum
dirancang dan dikembangkan secara konseptual dan strategis untuk menjawab
dengan cepat perkembangan kebutuhan masyarakat.
3. Perubahan mendasar dalam pendidikan apoteker perlu dirumuskan secara
terstruktur, termasuk perubahan orientasi kebijakan dan penetapan deskripsi
kualifikasi lulusan mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI).
4. Konsep, strategi dan mekanisme yang mengatur peran pemerintah, organisasi
profesi, masyarakat dan stakeholders lainnya dalam pengembangan pendidikan
apoteker belum dirumuskan secara jelas dan terstruktur, khususnya dalam
penyediaan fasilitas praktik kerja profesi.
Mengingat banyaknya masalah krusial dalam pendidikan apoteker yang harus
dipecahkan, perlu disusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan tentang
Pendidikan Apoteker Indonesia yang diharapkan:
1. Mampu mengatasi berbagai permasalahan yang terkait dengan proses
belajar-mengajar, ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan termasuk
peralatan laboratorium dan tempat praktik, tenaga kependidikan, maupun
masalah pendanaan dalam penyelenggaraan pendidikan apoteker.
2. Memberi kepastian hukum, disamping Undang Undang yang sudah ada yaitu
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Praktek
Kefarmasian, sementara peraturan perundang-undangan yang secara
khusus mengatur Pendidikan Apoteker di Indonesia belum ada.
3. Memberikan acuan yang sama bagi penyelenggara pendidikan apoteker di
Indonesia.
1.3 TUJUAN DAN KEGUNAAN
1.3.1Tujuan
Naskah akademik tentang Pendidikan Apoteker Indonesia ini disusun dengan
tujuan untuk menelaah dan merumuskan:
5
1. Kesesuaian antara penyelenggaraan pendidikan apoteker dalam
menghasilkan apoteker sebagai tenaga kesehatan dengan ketentuan
perundang-undangan.
2. Validitas mutu lulusan pendidikan apoteker Indonesia
3. Harmonisasi antara standar pendidikan apoteker, standar profesi, standar
kefarmasian, sistem uji kompetensi dan akreditasi pendidikan apoteker.
4. Komitmen dalam pelaksanaan perubahan arah pendidikan apoteker
Indonesia.
5. Kontribusi stakeholders dalam pengembangan pendidikan apoteker melalui
peran-serta dalam penyediaan tenaga praktisi pendidik maupun dalam
proses pembelajaran praktik.
6. Pokok-pokok pikiran untuk digunakan sebagai dasar bagi pepnyusunan
Rancangan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Apoteker
Indonesia.
1.3.2 Kegunaan
Penulisan naskah akademik ini diharapkan dapat:
1. Memberikan pemahaman bagi segenap pihak terkait (stakeholders), khususnya
pemerintah tentang pendidikan apoteker;
2. Digunakan sebagai bahan dan landasan dalam menyusun pola pengembangan
pendidikan apoteker di Indonesia.
3. Memberikan kerangka hukum (legal framework) bagi perumusan ketentuan atau
pasal-pasal dalam Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Pendidikan Apoteker Indonesia.
1.4 METODE PENDEKATAN
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik ini adalah
metode deskriptif-analitis dengan langkah-langkah sebagai berikut:
6
1. Studi kepustakaan berupa kajian dan review terhadap berbagai data & informasi
yang dimuat dalam buku, majalah, surat kabar, website, peraturan perundang-
undangan, dokumen negara, publikasi hasil penelitian, berita di media terkait
dengan penyelenggaraan pendidikan apoteker dan praktik kefarmasian;
2. Fact finding untuk memperoleh fakta dan/atau data terkait pendidikan farmasi
dan pendidikan apoteker;
3. Konsultasi pakar/publik melalui diskusi, seminar dan/atau lokakarya dengan
melibatkan stakeholders dari berbagai latar belakang. Pendapat, pikiran, dan
persepsi para praktisi dan akademisi digali melalui proses brainstrorming dan
review hasil studi pustaka untuk mendapat gambaran aktual permasalahan
pendidikan apoteker Indonesia;
4. Analisis data/informasi yang diperoleh dari studi kepustakaan maupun konsultasi
pakar/ publik dilakukan menggunakan metode deskriptif-analitis, disajikan dalam
bentuk narasi.
7
BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN
2.1 LANDASAN HISTORIS
2.1.1Sejarah Obat dan Pengobatan
Sejak awal peradabannya, manusia dengan akal dan nalurinya telah berupaya
untuk mempertahankan kehidupannya dengan memanfaatkan sumber daya alam di
sekitarnya untuk “mengobati” dirinya. Budaya mengobati inilah yang dikemudian hari
berkembang menjadi “ilmu Farmasi”. Pengobatan berangsur-angsur berkembang di
berbagai belahan dunia mulai dari Persia kuno, Mesir kuno, Yunani kuno, Cina, India
dan sekitarnya, dan selanjutnya berkembang ke Eropa dan lain-lain. Obat pada awal
peradaban manusia umumnya berupa tanaman, hewan, serta mineral yang ada di
sekitarnya. Berbagai catatan tentang tanaman obat di Yunani kuno yang dibuat oleh
Theophrastus (dikenal sebagai bapak ilmu Botani), dikembangkan menjadi buku
Materia Medica oleh Dioscorides, dan selanjutnya berkembang menjadi cabang ilmu
farmasi yang pertama yaitu “Farmakognosi” (obat tradisional)4
.
Bentuk sediaan obat pada masa itu dibuat menggunakan teknologi sederhana
untuk merubah bahan obat (tanaman, hewan, mineral) menjadi sediaan (ramuan)
obat. Teknologi inilah yang menjadi awal mula dari ilmu “Farmasetika” (dosage-form
design). Pada masa itu, para pengobat atau “dukun ahli obat” memiliki kemampuan
untuk menyediaan obat maupun keahlian dalam memandu penggunaan obat1
.
Kemampuan dan keahlian inilah yang menjadi awal dari “Profesi Farmasi” yang
pada masa kini telah berkembang menjadi “Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical
care)” disertai perkembangan bidang keilmuannya melalui “Ilmu Farmakoterapi” dan
“Ilmu Farmasi klinis”. Pengetahuan dan keilmuan yang dimiliki oleh para “pengobat”
diwariskan secara turun menurun kepada para “muridnya”. Mereka mengajarkan
ilmu beserta pengalamannya kepada murid-muridnya. Inilah proses pendidikan
pedagogik-andragogik yang berfokus pada “pengalaman empiris” dan “pembelajaran
praktis (experiential learning)” di bawah bimbingan langsung dari praktisi sebagai
guru. Selanjutnya para murid akan menggantikan gurunya atau pindah ketempat lain
yang memerlukan “keahliannya” sehingga terjadi penyebaran ilmu kefarmasian.
8
Hipocrates (460-357 SM) merupakan tokoh dalam bidang pengobatan yang
mulai mengembangkan pendekatan rasional terhadap penyakit. Konsep inilah yang
menjadi dasar pengembangan ilmu kedokteran modern. Tonggak pemisahan bidang
farmasi dan kedokteran diawalai oleh Kaisar Frederik II melalui kodifikasi pemisahan
praktik farmasi dari praktik kedokteran pada tahun 1240. Ilmu farmasi mencapai
puncak kejayaannya pada abad pertengahan ditandai dengan berbagai penemuan
para ahli bidang obat dan pengobatan. Sejalan dengan itu, profesi farmasi juga
berkembang dengan diterbitkannya Farmakope diikuti berbagai peraturan/ketentuan
kefarmasian lainnya serta berdirinya organisasi profesi di berbagai negara4
.
2.1.2Perkembangan Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia
Pendidikan tinggi farmasi di Indonesia diawali dengan berdirinya Perguruan
Tinggi Ahli Obat (PTAO) pada tanggal 27 September 1946 di Klaten Jawa Tengah,
yang selanjutnya bergabung dalam Universitas Gajah Mada menjadi Fakultas
Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, dan Fakultas Farmasi. Setahun kemudian
(1947) di Bandung diresmikan Bagian Farmasi FIPIA UI yang kemudian berubah
menjadi Jurusan Farmasi FMIPA ITB, diikuti dengan berdirinya pendidikan farmasi di
berbagai perguruan tinggi pada periode 1960-1970 yaitu di Universitas Pajajaran,
Universitas Airlangga, Universitas Hasanudin, Universitas Katolik Widya Mandala,
Universitas Andalas, Universitas Indonesia, Universitas Pancasila, Universitas
Surabaya dan Universitas Sumatera Utara.
Pada umumnya Pendidikan Apoteker di Indonesia berupa program studi/
jurusan di Fakultas MIPA atau berdiri sendiri sebagai Fakultas Farmasi, berada pada
perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta. Beragamnya
kondisi Pendidikan Apoteker saat itu memunculkan gagasan untuk membentuk
asosiasi yang akhirnya terwujud pada tahun 2000 dengan terbentuknya Asosiasi
Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI). APTFI telah membangun berbagai
kesepakatan diantaranya tentang kurikulum nasional program studi sarjana maupun
kurikulum nasional pendidikan apoteker, namun sampai saat ini kualitas Pendidikan
Apoteker masih sangat bervariasi terutama dalam hal kualifikasi SDM serta
ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran termasuk fasilitas laboratorium
dan tempat praktik kerja. Hal ini berpengaruh pada kelayakan penyelenggaraan
9
pendidikan dan berdampak langsung pada kompetensi lulusan. Permasalahan yang
ada menjadi semakin parah dengan bermunculannya baru dengan modal dan
sumber daya minim serta kurang memperhatikan mutu lulusan.
Pada periode awal orientasi pendidikan farmasi lebih berfokus pada produk
(product oriented). Maraknya era industri farmasi pada masa itu menjadi penyebab
pendidikan dan praktik farmasi Indonesia lebih berfokus pada keahlian membuat dan
menyiapkan sediaan farmasi yang berkualitas, aman dan efektif, namun nyaris
belum menyentuh sisi lain terkait tanggungjawab penjaminan penggunaan obat
secara rasional. Titik balik mulai terjadi pada era 1990 dengan munculnya kesadaran
pada pentingnya kehadiran profesi farmasi pada tahap pemilihan obat dan
penggunaan obat oleh pasien.
Arah perkembangan praktik kefarmasian di Indonesia sudah mulai mengikuti
perkembangan kefarmasian dunia, yaitu berfokus pada manusia sebagai pengguna
obat (patient oriented). Peran apoteker mulai berkembang dari penyedia obat
sebagai komoditi menuju pelayanan kefarmasian yang komprehensif (patient care)
untuk menjamin terapi obat yang diberikan rasional dan optimal. Pendekatan yang
dikenal sebagai “pharmaceutical care” ini mulai diterapkan pada tahun 2004 dalam
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik dan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit.
Merespon kebutuhan masyarakat dan dunia kerja, beberapa penyelenggara
Pendidikan Apoteker telah mengembangkan kelompok minat “Farmasi Komunitas
dan Klinik”, minat “Sain dan Teknologi Farmasi” atau “Sain dan Industri”, serta minat
“Bahan Alam”. Program peminatan umumnya dikembangkan pada jenjang
pendidikan S-1 (sarjana farmasi). Beberapa perguruan tinggi farmasi telah
menyelenggarakan program S-2, program S-3, dan program spesialis, namun
nomenklaturnya belum tertata dengan baik. Sebagai contoh penyelenggaraan
pendidikan farmasi klinik bisa kita temukan pada jalur akademik (S-2) namun ada
pula yang berada pada jalur profesi (spesialis), pendidikan profesi (apoteker) ada
yang digabungkan dengan pendidikan akademik (S-2), dan ada juga program
Magister Manajemen Farmasi yang berada di S-2 Ilmu Farmasi yang seharusnya
menginduk ke Ilmu Manajemen (sesuai Lampiran Keputusan Dir. Jen. DIKTI No. 163
10
Tahun 2007). Pada jalur vokasi pendidikan farmasi umumnya diselenggarakan pada
jenjang D-3 dengan bidang peminatan Farmasi dan Analis Farmasi & Makanan.
Saat ini juga masih kita jumpai pendidikan farmasi pada jenjang Sekolah Menengah
Kejuruan.
Mengingat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kefarmasian maupun kebutuhan pelayanan kefarmasian yang profesional,
keberadaan pendidikan farmasi pada jenjang SMK perlu dipikirkan kembali.
Disamping itu juga perlu dirumuskan penataan ulang kesesuaian antara level
pengakuan dan kewenangan dengan kualifikasi dan kompetensi lulusan pada
masing-masing jenjang pendidikan farmasi.
2.2 LANDASAN FILOSOFIS
Filosofi belajar dalam pendidikan farmasi pada dasarnya mengacu kepada empat
pilar pembelajaran (The Four Pillars of Learning - UNESCO)5,6
yaitu:
(1) Pilar pertama “Learning to know” mengacu pada kemampuan pembelajar untuk
memahami alam, manusia dan lingkungannya, kehidupannya, serta merasakan
“senangnya” mengetahui, menemukan & memahami suatu proses (knowledge,
cognitive). Pada dasarnya pilar ini meletakkan dasar belajar sepanjang hayat.
(2) Pilar kedua “Learning to do” mengacu pada ketrampilan untuk mengaplikasikan
pengetahuan dalam praktik/ dalam kehidupan sehari-hari, belajar memecahkan
masalah dalam berbagai situasi, serta belajar berkerjasama dalam tim,
mengambil inisiatif, dan mengambil resiko (practice, psychomotoric, attitudes).
Pada perkembangannya “learning to do” bergeser dari ketrampilan (skill) menuju
kompeten (competence) diantaranya kemampuan komunikasi efektif, kecakapan
bekerja dalam tim, ketrampilan sosial dalam membangun relasi interpersonal,
kemampuan beradaptasi, kreatifitas dan inovasi, maupun kesiapan untuk
mengambil resiko dan mengelola konflik.
(3) Pilar ketiga “Learning to life together” mengacu pada kemampuan memahami
diri sendiri dan orang lain, mengembangkan empati, respek dan apresiasi pada
orang lain dalam berkehidupan bersama, menghargai perbedaan nilai dan
budaya, kesediaan untuk menyelesaikan konflik melalui dialog, dan kemampuan
untuk bekerjasama (team work, collaboration, growing interdependence).
11
(4) Pilar keempat “Learning to be” mengacu pada pengembangan kepribadian
individu secara utuh melalui penguasaan pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-
nilai (values) yang kondusif bagi pengembangan kepribadian, dalam dimensi
intelektual, moral, kultural, dan fisik (experience, affective, attitude, behavior).
Keempat pilar pembelajaran ini saling mendukung satu sama lain dan diaplikasikan
sebagai prinsip dasar pembelajaran serta diintegrasikan ke dalam setiap bidang
pembelajaran. Pada tahun 2009 UNESCO melengkapinya menjadi “Five pillars of
learning” dengan pilar kelima “learning to transform oneself and society” mengacu
pada pengembangan kepribadian dan kepedulian pada lingkungan dan masyarakat
melalui penguasaan pengetahuan, nilai-nilai (values), dan ketrampilan untuk
mentransformasi kebiasaan, perilaku dan gaya hidup yang berorientasi pada
pengembangan berkelanjutan7
.
Perkembangan praktik kefarmasian dari “product oriented” ke “patient oriented”
menuntut kesiapan apoteker untuk mampu melaksanakan pelayanan kefarmasian
secara komprehensif (pharmaceutical care) dan juga mampu menjamin ketersediaan
sediaan farmasi yang bermutu tinggi. Filosofi pharmaceutical care: “the responsible
provision of pharmacotherapy for the purpose of achieving definite outcomes that
improve or maintain a patient’s quality of life”1,2,3
harus digunakan sebagai dasar
pengembangan konsep pembelajaran pada pendidikan apoteker.
Sebagai respon terhadap perkembangan di tingkat nasional dan global,
Pendidikan Apoteker Indonesia juga harus memfasilitasi pengembangan kompetensi
peserta didik dan lulusannya dalam arti luas mencakup pengetahuan, sikap,
kecakapan/ketrampilan, dan perilaku untuk menjalankan peran dan tanggung
jawabnya dalam praktik kefarmasian yang berfokus pada pasien (pharmaceutical
care) maupun yang berfokus pada populasi (pharmaceutical public health). Pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kefarmasian menuntut apoteker
untuk mampu mengukur kemampuan diri dan terus berupaya meningkatkan
kemampuan profesinya dengan cara mengembangkan pengetahuan, ketrampilan,
dan/atau pengalamannya melalui pelatihan/ pendidikan berkelanjutan (CPD) sebagai
wujud filosofi life-long learner8
.
12
2.3 LANDASAN SOSIOLOGIS
Pada tingkat global, berbagai penemuan penyakit dan obat-obat baru, aplikasi
farmakogenomik, maupun kebutuhan terapi obat yang semakin bersifat individual
merupakan tantangan yang dihadapi oleh praktisi farmasi di seluruh dunia, termasuk
di Indonesia. Tantangan ini semakin berkembang dengan adanya AFTA, WTO, serta
ketentuan dan/ atau kebijakan globalisasi lainnya.
Perubahan situasi sosiologis tersebut perlu memperoleh perhatian dan respon
serius dari penyelenggara pendidikan farmasi dan pemangku praktik kefarmasian di
Indonesia. Kebutuhan masyarakat akan obat dan sediaan farmasi lainnya beserta
layanan kefarmasian yang bermutu dan dapat dipercaya menuntut berkembangnya
peran apoteker beserta tenaga teknis kefarmasian dalam praktik kefarmasian di
Indonesia. Untuk menjawab kebutuhan tersebut implementasi berbagai kebijakan
terkait praktik kefarmasian perlu diperkuat, didukung dengan penyiapan SDM bidang
farmasi yang kompeten untuk tantangan tersebut.
Standardisasi Pendidikan Apoteker dan standardisasi kompetensi praktisi
farmasi merupakan kebutuhan mutlak dalam upaya penyiapan tenaga kefarmasian
mengacu pada standar global namun harus tetap memenuhi kebutuhan
lokal/nasional. Upaya standarisasi tersebut menjadi tanggungjawab bersama antara
penyelenggara pendidikan farmasi , AI, organisasi profesi (IAI), maupun pemerintah
selaku pemangku kepentingan. Sistem pendidikan farmasi perlu dirumuskan secara
jelas untuk mengatur jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, menetapkan deskripsi
kualifikasi kemampuan lulusan, serta mengatur standar-standar yang harus dipenuhi
mengacu pada standar nasional pendidikan. Kebijakan ini perlu ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan tentang Pendidikan Apoteker Indonesia.
Peningkatan mutu Pendidikan Apoteker ini harus disertai dengan upaya penataan
praktik kefarmasian beserta implementasinya. Kejelasan kualifikasi, fungsi, peran
dan kewenangan, maupun jenjang karir tenaga kefarmasian (apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian) perlu ditata lebih lanjut.
13
2.4 LANDASAN YURIDIS
Undang-undang Dasar 1945 pasal 28C ayat (1) menyatakan bahwa setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia. Selanjutnya pasal 31 mengamanatkan bahwa setiap
warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pemerintah berkewajiban
untuk mengalokasikan anggaran pendidikan guna memenuhi kebutuhan pendidikan
nasional. Upaya untuk mendapatkan pendidikan bagi semua warga negara sesuai
dengan minat dan kemampuannya telah memperoleh landasan hukum pada pasal-
pasal tersebut di atas. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional sebagaimana dinyatakan dalam pasal 12 ayat (1.b) serta pasal
20 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) mengamanatkan tentang perlunya pengaturan lebih
lanjut mengenai pendidikan, khususnya pendidikan tinggi yang sesuai dengan minat
dan keinginan peserta didik, secara terpadu dan sistematis.
Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyatakan bahwa praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “tenaga
kesehatan” dalam ketentuan ini adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian
dan kewenangannya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
baru mengatur sistem pendidikan nasional secara umum. Berbagai ketentuan
perundang-undangan lainnya yang ada juga belum mengatur lebih jauh pendidikan
farmasi secara khusus. Mengingat apoteker dan tenaga teknis kefarmasian memiliki
peran penting dalam pembangunan bidang kesehatan, pendidikan farmasi Indonesia
harus mampu menjamin ketersediaan dan kompetensi apoteker dan tenaga teknis
sesuai kebutuhan tersebut. Dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan
14
diatas dan untuk memenuhi amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 pasal 5 ayat (2), menjadi suatu keharusan secara yuridis bagi
Pemerintah Republik Indonesia untuk menyusun, merumuskan, dan menetapkan
Rancangan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Apoteker
Indonesia untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Upaya
pembaharuan ini juga harus menjamin peningkatan mutu, relevansi serta efisiensi
penyelenggaraan pendidikan, sekaligus pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan.
Upaya yang harus dilakukan meliputi penataan kembali jenis dan jenjang
pendidikan farmasi, penetapan standar kompetensi, penyesuaian kurikulum untuk
menjawab kebutuhan nasional maupun global, penetapan standar pendidikan, dan
akreditasi pendidikan profesi. Kualifikasi lulusan pendidikan farmasi harus mengacu
pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) agar memperoleh pengakuan
kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor pekerjaan di
tingkat lokal, nasional maupun global.
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 PRAKTIK KEFARMASIAN
3.1.1 Praktik Kefarmasian Global
Heppler & Strand (1990) menawarkan filosofi baru praktik kefarmasian sebagai
jawaban untuk mengatasi masalah-masalah terkait obat (drug-related morbidity and
mortality). Konsep ini disebut “pharmaceutical care” dan menuntut perubahan
mendasar fungsi profesi farmasi dalam pelayanan kesehatan. Pharmaceutical care
umum didefinisikan sebagai: “the responsible provision of pharmacotherapy for the
purpose of achieving definite outcomes that improve a patient’s quality of life”6
.
Definisi ini diadopsi oleh FIP pada tahun 1998 dengan amandemen yang bermakna
menjadi “...... achieving definite outcomes that improve or maintain a patient’s quality
of life”5,7
. Paradigma baru ini menumbuhkan kesadaran bahwa praktik kefarmasian
harus berfokus pada kesejahteraan pasien, memastikan penggunaan obat yang
sesuai dengan kebutuhan pasien, dan melindungi pasien terhadap kemungkinan
terjadinya efek-efek yang tidak dikehendaki terkait penggunaan obat. Perkembangan
ini menuntut tenaga kefarmasian untuk tidak hanya berperan sebagai penyedia obat
dan sediaan farmasi lainnya yang bermutu tinggi, namun bersama profesi kesehatan
lainnya juga merancang, mengimplementasikan, serta memonitor terapi obat untuk
meningkatkan keberhasilan terapi1,2,3
.
WHO dan FIP (1997) telah merumuskan “The Seven-Star Pharmacist” sebagai
peran esensial sekaligus minimal yang diharapkan dari apoteker. Ketujuh peran
tersebut adalah: (1) Care giver, (2) Decision maker, (3) Communicator, (4) Leader,
(5) Manager, (6) Life-long learner, dan (7) Teacher8,9
. Meningkatnya kompleksitas
permasalahan terkait obat membuat pilihan intervensi obat tidak lagi dapat hanya
didasarkan pada pilihan atau pengalaman pribadi. Dibutuhkan pembuktian berbasis
ilmu melalui riset yang bermutu untuk menjamin keberhasilan terapi. Kemampuan
tenaga kefarmasian sebagai “Researcher” dibutuhkan dalam hal pencarian obat
baru dan pengembangan bentuk sediaan baru (drug delivery system), maupun untuk
meningkatkan ketersediaan data dan informasi terkait obat yang dibutuhkan untuk
16
menetapkan pilihan intervensi obat dalam upaya menjamin keamanan, ketepatan
dan rasionalitas penggunaan obat (evidence-based pharmacy)3
.
Kesalahan yang berasal dari faktor manusia (human error) sangat mungkin
terjadi dalam memberikan pelayanan pengobatan (medication error), namun angka
kejadian dan tingkat keseriusannya dapat diturunkan melalui pendekatan secara
sistematik dan terpadu (kolaboratif) dengan melibatkan pasien, tenaga kefarmasian,
dokter, dan tenaga kesehatan lainnya. Mekanisme kolaboratif dikembangkan sesuai
dengan peran, fungsi dan kewenangan masing-masing tenaga kesehatan dilandasi
kode etik profesi dan hak pasien10
.
Dimensi baru dalam praktik kefarmasian saat ini mencakup 4 (empat) aktivitas
primer yaitu: (1) menjamin ketepatan dan keberhasilan terapi, (2) memberikan
layanan sediaan farmasi dan alat kesehatan disertai pemberian informasi terkait
penggunaan, penyimpanan, serta masalah-masalah yang dapat timbul pada
penggunaannya, (3) promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, (4) mengelola
pelayanan kefarmasian sebagai bagian dari pelayanan kesehatan7
. Untuk itu FIP
(2010) telah merekomendasikan “Global Competency Framework” dengan 4 (empat)
area kompetensi meliputi: (1) Pharmaceutical Care Competencies yang berfokus
pada kesehatan pasien, (2) Public Health Competencies yang berfokus pada
kesehatan masyarakat (populasi), (3) Organisation and Management Competencies
yang berfokus pada sistem, dan (4) Professional/Personal Competencies yang
berfokus pada kemampuan praktik11
.
3.1.2Praktik Kefarmasian Di Indonesia
Praktik kefarmasian di Indonesia meliputi pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian/
penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat dan obat tradisional (Pasal 108 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Secara implisit ketentuan
perundang-undangan tersebut menuntut peran dan tanggungjawab tenaga apoteker
dalam pelayanan kesehatan.
17
Ketentuan perundang-undangan tentang Pekerjaan Kefarmasian pada
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 menempatkan apoteker sebagai
penanggungjawab pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi, distribusi
atau penyaluran sediaan farmasi, maupun dalam pelayanan sediaan farmasi dan
alat kesehatan pada fasilitas pelayanan kefarmasian. Dalam bidang produksi
tanggungjawab apoteker adalah menjamin kesesuaian proses produksi dan mutu
produk terhadap ketentuan dan standar yang berlaku. Sejauh ini industri farmasi
Indonesia telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan obat nasional, namun belum
mampu menjawab kebutuhan bahan baku.
Dalam bidang distribusi atau penyaluran sediaan farmasi tanggungjawab
apoteker mencakup jaminan kesesuaian proses distribusi dan mutu produk terhadap
ketentuan dan standar yang berlaku, jaminan keamanan dan ketersediaan produk.
Walaupun regulator telah memberlakukan Cara Distribusi Obat Yang Baik sebagai
implementasi GDP (Good Distribution Practice) kondisi faktual menunjukkan praktik
kefarmasian dalam bidang distribusi masih jauh dari harapan. Obat keras, bahkan
psikotropika, dapat dibeli dengan mudah tanpa resep dokter dan banyak ditemukan
di toko obat maupun pedagang kaki lima, peredaran obat palsu, obat kadaluarsa dan
obat import ilegal masih sering ditemukan.
Kondisi yang masih menjadi masalah dalam pelayanan sediaan farmasi (obat,
obat tradisional, dan kosmetik), alat kesehatan, vaksin, perbekalan kesehatan rumah
tangga (PKRT), insektisida, dan reagensia adalah jaminan ketersediaan, keamanan,
manfaat dan mutu produk dengan jumlah dan jenis yang cukup, terjangkau, merata
dan mudah diakses oleh masyarakat.
Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian
(apotek, rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama) tugas
tenaga kefarmasian mencakup jaminan kesesuaian pelayanan kefarmasian
terhadap standar yang ditetapkan. Konsep pharmaceutical care telah digunakan
sebagai azas Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, di Puskesmas, dan di
Rumah Sakit. Namun implementasi pharmaceutical care dan standar praktik
kefarmasian yang baik (Good Pharmacy Practice GPP) dalam kenyataannya belum
berjalan dengan baik di semua fasilitas pelayanan kefarmasian.
18
Permasalahan utama saat ini adalah masih rendahnya tingkat kesadaran
tenaga kefarmasian akan peran, tugas dan kewenangannya seperti yang terlihat dari
rendahnya tingkat kehadiran apoteker di apotek, banyaknya tugas dan kewenangan
apoteker yang didelegasikan kepada tenaga teknis kefarmasian, rendahnya tingkat
implementasi standar pelayanan kefarmasian, serta rendahnya kesiapan maupun
kesediaan praktisi tenaga kesehatan untuk saling berkolaborasi dalam melakukan
pelayanan (interprofessional collaboration in health care). Masalah lain yang tidak
kalah penting adalah masih rendahnya pengakuan peran apoteker dalam Sistem
Kesehatan Nasional yang berakibat pada tidak terlibatnya peran apoteker dalam
mengatasi berbagai masalah kesehatan secara nasional seperti program Keluarga
Berencana dan penanggulangan HIV, dan juga tidak tegasnya pelaksanaan regulasi
termasuk rendahnya komitmen pemenuhan jumlah apoteker sesuai standar yang
telah ditetapkan.
Berbagai aspek penting yang perlu dibenahi adalah: (1) totalitas implementasi
konsep pharmaceutical care, kebijakan dan standar-standar pelayanan kefarmasian
yang telah ditetapkan melalui fungsi pengawasan dan evaluasi, (2) kesiapan
sumberdaya baik manusia maupun sarana dan prasarana pendukung, (3) sistem
pelayanan kesehatan termasuk koordinasi lintas profesi, serta (4) implementasi
ketentuan perundang-undangan, standar, maupun pedoman yang telah ditetapkan.
3.2 TENAGA KEFARMASIAN DI INDONESIA
3.2.1Peran Tenaga Kefarmasian Dalam Sistem Kesehatan Nasional
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah suatu tatanan yang menghimpun
berbagai upaya bangsa secara terpadu dan saling mendukung terselenggaranya
pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa (masyarakat, swasta maupun
pemerintah) secara sinergis, berhasil-guna serta berdaya-guna, sehingga derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagaimana amanat dalam
Pembukaan UUD 1945 dapat dicapai.
Tenaga kefarmasian sebagai salah satu pemberi pelayanan kesehatan kepada
masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan
penyediaan sediaan farmasi dan pemberian pelayanan kefarmasian. Geseran
19
paradigma pelayanan kefarmasian dari “product oriented” berkembang ke “patient
oriented” menuntut tenaga kefarmasian tidak hanya berfungsi sebagai pengelola
obat, namun dalam pengertian yang lebih luas yang mencakup pemberian informasi
untuk mewujudkan penggunaan obat secara rasional (a.l. cara pemakaian, efek
samping obat dan efek yang tidak dikehendaki, cara penyimpanan), monitoring
pencapaian tujuan terapi, serta identifikasi kemungkinan adanya kesalahan
pengobatan (medication error) dan masalah-masalah terkait obat (drug related
problems). Tenaga kefarmasian juga memiliki peran penting dalam upaya promosi
kesehatan maupun pencegahan penyakit di masyarakat.
Sisi lain yang tidak kalah pentingnya adalah peran tenaga kefarmasian dan
tenaga peneliti bidang kefarmasian (lulusan S-2 &/atau S-3) dalam pengembangan
senyawa obat baru, pengembangan produk obat (formulasi, sistem penghantaran
obat), maupun dalam proses produksi serta penjaminan mutu sediaan farmasi.
Meningkatnya peran tenaga kefarmasian dan geseran orientasi pelayanan
kefarmasian di berbagai sarana pelayanan kesehatan, maupun kebutuhan
pengembangan bahan obat, bahan baku, dan produk yang memenuhi standar mutu
menuntut peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya kefarmasian. Oleh karena
itu, peningkatan mutu dan standardisasi Pendidikan Apoteker maupun standardisasi
kualifikasi/kompetensi lulusannya menjadi kebutuhan mutlak.
Praktik kefarmasian di Indonesia dilakukan pada: (1) fasilitas produksi sediaan
farmasi yaitu industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional,
pabrik kosmetika dan pabrik lain yang memerlukan tenaga kefarmasian untuk
menjalankan tugas & fungsi produksi dan pengawasan mutu; (2) fasilitas distribusi/
penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan melalui pedagang besar farmasi,
penyalur alat kesehatan, dan instalasi sediaan farmasi dan alat kesehatan milik
pemerintah; (3) fasilitas pelayanan kefarmasian melalui praktek di apotek, instalasi
farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.
3.2.2Apoteker
Sebagai tenaga fungsional keahlian dengan kualifikasi profesional, apoteker
harus melaksanakan kewenangan profesinya berdasarkan keahlian yang dimilikinya,
20
menerapkan standar profesi, selalu berpegang teguh pada sumpah/janji apoteker
dengan berpedoman pada satu ikatan moral yaitu kode etik apoteker, didasarkan
pada standar kefarmasian dan standar prosedur operasional yang berlaku sesuai
fasilitas kesehatan dimana pekerjaan kefarmasian dilakukan.
Standar profesi harus ditetapkan melalui ketentuan perundang-undangan. Saat
ini standar profesi yang telah disusun dan ditetapkan oleh organisasi profesi (Ikatan
Apoteker Indonesia) terdiri dari Kode Etik Apoteker Indonesia (2010) dan Standar
Kompetensi Apoteker Indonesia (2010). Standar Kompetensi Apoteker Indonesia
2010 meliputi 9 (sembilan) area kompetensi yaitu:
1. Kemampuan melakukan praktik kefarmasian secara profesional dan etik.
2. Kemampuan menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan penggunaan
sediaan farmasi.
3. Kemampuan melakukan dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan.
4. Kemampuan memformulasi dan memproduksi sediaan farmasi sesuai standar
yang berlaku.
5. Ketrampilan dalam pemberian informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan.
6. Kemampuan berkontribusi dalam upaya preventif dan promotif kesehatan
masyarakat.
7. Kemampuan mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai dengan
standar yang berlaku.
8. Ketrampilan organisasi dan kemampuan membangun hubungan interpersonal
dalam melakukan praktik kefarmasian.
9. Karakter dan perilaku pembelajar sepanjang hayat (life-long learner) untuk
terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kefarmasian
secara berkelanjutan.
Untuk menjamin tercapainya kualifikasi dan kompetensi lulusan, sistem dan
prosedur uji kompetensi apoteker bagi lulusan baru perlu dirumuskan dan menjadi
bagian dari Standar Pendidikan Apoteker Indonesia.
21
3.2.3Tenaga Teknis Kefarmasian
Tenaga teknis kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker
dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya
Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
Dalam praktik kefarmasian di Indonesia, tenaga teknis kefarmasian berada
pada berbagai sektor. Pada sektor industri, tenaga teknis kefarmasian diserap oleh
industri farmasi (obat), industri obat tradisional, industri kosmetika, industri bahan
kimia, maupun industri makanan-minuman. Pada sektor distribusi, tenaga teknis
kefarmasian diserap oleh fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi seperti
pedagang besar farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi sediaan farmasi dan alat
kesehatan, maupun pada bidang pemasaran. Pada sektor pelayanan, tenaga teknis
kefarmasian diserap oleh apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik,
toko obat, maupun fasilitas praktek bersama.
Kualifikasi tenaga teknis kefarmasian yang dibutuhkan dalam praktik
kefarmasian di Indonesia perlu diidentifikasi secara cermat. Rumusan kualifikasi
ketrampilan tenaga teknis kefarmasian ini dibutuhkan untuk menata jalur, jenis dan
jenjang pendidikannya, menentukan ketrampilan yang harus dikuasai, dan sebagai
dasar penentuan tugas dan kewenangan tenaga teknis kefarmasian. Agar setara
dengan tenaga kesehatan lainnya, pendidikan tenaga teknis kefarmasian perlu
ditingkatkan ke jenjang pendidikan tinggi.
3.2.4Harmonisasi & Mutual Recognition
Globalisasi ekonomi mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai aspek di
seluruh dunia, diantaranya melemahnya batasan negara. Pesatnya perkembangan
teknologi informasi dan semakin meluasnya penggunaan internet membuat proses
pertukaran pengetahuan dan jejaring antar institusi pendidikan semakin mudah dan
lebih dekat. Globalisasi ekonomi juga mendorong terjadinya pertukaran tenaga kerja.
Seiring dengan meningkatnya aliran kapital/modal dan teknologi dalam bidang
kesehatan (termasuk dalam bidang pengobatan), juga terjadi pergerakan dinamis
pengetahuan tentang obat, tenaga kerja, maupun konsep baru dalam bidang
22
pengobatan. Secara internasional pergerakan teknologi dan tenaga kerja diakui
sebagai salah satu indeks penting dalam ekonomi global.
Perkembangan kebutuhan masyarakat dan meningkatnya tuntutan kualitas
pelayanan kesehatan, membuat banyak negara melakukan reformasi pendidikan
termasuk sistem pendidikan farmasi mengacu pada kerangka global. Namun variasi
kebijakan pendidikan maupun kebutuhan lokal dan/atau nasional di masing-masing
negara menyebabkan model pendidikan farmasi maupun standar lulusan masih
bervariasi. Adanya variasi ini dapat melemahkan upaya pengembangan bidang
kesehatan di suatu kawasan. Oleh karena itu dibutuhkan harmonisasi pendidikan
tenaga kerja, termasuk tenaga kefarmasian di seluruh area12
.
Tujuan yang ingin dicapai melalui harmonisasi pendidikan farmasi adalah
menjamin kualifikasi keahlian tenaga kefarmasian agar memperoleh pengakuan
kesetaraan (mutual recognition). Mutual recognition merupakan proses yang
memungkinkan kualifikasi yang diperoleh dalam satu negara (negara asal) diakui di
negara lain (negara tuan rumah). Prinsip saling pengakuan kualifikasi profesional
antar negara ini membutuhkan beberapa pra-kondisi sebagai berikut (WTO, 1997):
1. Persyaratan jenjang pendidikan saat memasuki (degree-entry level) praktik
profesi di kedua negara;
2. Kesesuaian dengan regulasi praktik profesi di negara tujuan;
3. Kesesuaian profesi, misalnya kegiatan professional yang dipraktekkan di
negara asal sebagian besar serupa dengan di negara tujuan;
4. Mekanisme adaptasi untuk mengatasi segala kekurangan dalam muatan dan
ruang lingkup pendidikan profesi dan pelatihan bagi tenaga pendatang;
5. Kemauan baik di pihak negara tuan rumah beserta badan/lembaganya untuk
memberikan penghargaan professional atau lisensi dan menerima prinsip
saling pengakuan (mutual recognition) sebagai penghargaan atas kualitas
pendidikan profesional & pelatihan di negara-negara lain, serta mempercayai
profesionalisme tenaga pendatang.
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (Indonesian Qualification Framework),
yang selanjutnya disingkat KKNI (IQF) adalah kerangka penjenjangan kualifikasi
kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan
23
antara jenjang pendidikan dan pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka
pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan yang ada
di berbagai sektor. KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri Bangsa Indonesia
terkait dengan sistem pendidikan dan pelatihan nasional yang dimiliki Indonesia13
.
Jenjang kualifikasi dalam KKNI adalah tingkat capaian pembelajaran yang
disepakati secara nasional, disusun berdasarkan ukuran hasil pendidikan dan/atau
pelatihan yang diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, informal, maupun
pengalaman kerja. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia terdiri dari 9 (sembilan)
jenjang kualifikasi, dimulai dari “
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) menyatakan KKNI terdiri atas 9 (sembilan)
jenjang kualifikasi, dimulai dari jenjang 1 (satu) sebagai jenjang terendah sampai
dengan jenjang 9 (sembilan) sebagai jenjang tertinggi. Jenjang kualifikasi KKNI
tersebut terdiri atas: (a) jenjang 1 sampai dengan jenjang 3 dikelompokkan dalam
jabatan operator; (b) jenjang 4 sampai dengan jenjang 6 dikelompokkan dalam
jabatan teknisi atau analis; (c) jenjang 7 sampai dengan jenjang 9 dikelompokkan
dalam jabatan ahli. Kualifikasi tenaga teknis kefarmasian
Deskriptor KKNI untuk masing-masing jenis dan jenjang pendidikan menjadi
dasar saling pengakuan atau mutual recognition sumberdaya manusia Indonesia
oleh negara lain. Agar lulusan pendidikan farmasi Indonesia juga memperoleh
pengakuan kesetaraan (mutual recognition) dengan lulusan dari negara lain, perlu
dirumuskan standar minimum kualifikasi yang harus dimiliki oleh lulusan pada
masing-masing jenjang Pendidikan Apoteker Indonesia, baik pada pendidikan
akademik (S-1, S-2, dan S-3), pendidikan profesi (apoteker dan apoteker spesialis),
dan pendidikan vokasi (D-1, D-2, dan D-3).
3.3 PENDIDIKAN FARMASI
3.3.1Jenis Dan Jenjang Pendidikan Tinggi Farmasi
Jenis dan jenjang Pendidikan Apoteker di Indonesia saat ini meliputi:
1. Program pendidikan akademik:
a. Pendidikan Sarjana (S-1), yaitu program Pendidikan Sarjana Farmasi
24
b. Pendidikan Magister/ Master (S-2), umumnya program Pendidikan Magister
Ilmu Farmasi.
c. Pendidikan Doktor (S-3).
2. Program pendidikan profesi:
a. Pendidikan profesi, yaitu program Pendidikan Apoteker.
b. Pendidikan spesialis, yaitu program Pendidikan Spesialis Farmasi Klinik.
3. Program pendidikan vokasi:
Pendidikan diploma III (D-3), yaitu program pendidikan Ahli Madya Farmasi dan
program pendidikan Analis Farmasi Dan Makanan.
Pendidikan akademik difokuskan pada penguasan disiplin ilmu pengetahuan
dan teknologi bidang kefarmasian, pendidikan profesi difokuskan pada penguasaan
keahlian profesional, sedangkan pendidikan vokasi difokuskan pada penguasaan
ketrampilan teknis di bidang kefarmasian. Melalui jenis dan jenjang pendidikan yang
ada, penyelenggara pendidikan farmasi mempersiapkan tenaga kefarmasian untuk
memenuhi kebutuhan di berbagai fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia.
3.3.2Pendidikan Akademis (S-1, S-2, & S-3)
Secara internasional jenjang pendidikan akademis memiliki pola yang sama,
yaitu Pendidikan Sarjana (4th: S-1), Master (2th: S-2), dan Doktor (3th: S-3). Pada
jenjang pendidikan S-1 di Indonesia secara umum terdapat 2 (dua) kelompok minat /
konsentrasi yaitu (1) Farmasi Klinik & Komunitas, dan (2) Sain & Teknologi Farmasi.
Kondisi yang sama dijumpai di Thailand yang juga mempunyai dua minat tersebut
pada program PharmD. Pada jenjang S-2 kelompok minat yang berkembang antara
lain bidang Pencarian Obat Baru, Analisis Farmasi, Teknologi Farmasi, Manajemen
Farmasi, Manajemen Farmasi Rumah Sakit, Bahan Obat Alam, dan Bioteknologi.
Sedangkan jenjang S-3 lebih bervasiasi dan bersifat spesifik bergantung pada fokus
penelitiannya.
Pendidikan pada jenjang S-2 dan S-3 secara internasional diselenggarakan
melalui 3 (tiga) pola pendidikan yaitu: (1) by research, (2) by course, (3) kombinasi
keduanya. Sedangkan pendidikan S-2 dan S-3 Farmasi di Indonesia umumnya
diselenggarakan dalam pola kombinasi antara kuliah dan penelitian.
25
3.3.3Pendidikan Profesi (Apoteker dan Apoteker Spesialis)
Apoteker memegang peranan penting dalam pelayanan kesehatan, mulai dari
pencarian senyawa obat baru, perancangan bentuk sediaan, produksi, distribusi,
sampai ke pelayanan sediaan farmasi dan edukasi kepada pasien. Profesi farmasi
terus berkembang seiring dengan meningkatnya keterlibatan tenaga kefarmasian
dalam hal penetapan dan pengelolaan terapi obat serta monitoring dan konsultasi
pasien.
Beberapa negara menyelenggarakan pendidikan profesi secara bertahap, yaitu
pendidikan sarjana dalam waktu 4 tahun dan dilanjutkan dengan pendidikan profesi
(pre-registration training; internship) selama 1 tahun. Pola ini bisa dijumpai di
Australia, Malaysia, Singapura, maupun Indonesia. Di beberapa negara (universitas)
pendidikan farmasi ada yang diselenggarakan melalui 2 jalur yaitu: (1) Bachelor of
Pharmacy, dan (2) Bachelor of Pharmaceutical Sciences. Program pendidikan
profesi dalam bentuk pre-registration training selama 1 tahun hanya dapat diikuti
oleh mahasiswa yang telah menyelesaikan program Bachelor of Pharmacy.
Setelah menyelesaikan jenjang S-1 mahasiswa dapat melanjutkan ke jenjang
S-2 (a.l. minat Kimia Medisinal, Formulasi, Farmasi Klinik) atau melanjutkan ke
jenjang S-3. Beberapa negara a.l. Jepang, Korea, dan Singapura menyelenggarakan
program PharmD dengan lama pendidikan 6 tahun, ada juga yang diselenggarakan
secara bertahap melalui pendidikan Sarjana 4 tahun ditambah program PharmD
selama 2 tahun (a.l. di Thailand). Program yang setara dengan program di UK ini
menggunakan gelar MPharm. Beberapa negara sudah menyelenggarakan program
spesialis, umumnya 2-3 tahun, dengan muatan pelatihan klinik antara 4 bulan
sampai 1 tahun dalam bentuk post-graduate internship atau residency. Program
pendidikan spesialis farmasi di USA antara lain: (1) Pharmacotherapy, (2) Oncology
Pharmacy, (3); Ambulatory Care Pharmacy, (4) Nutrition Support Pharmacy, (5)
Nuclear Pharmacy, (6) Psychiatric Pharmacy.
Berbagai ragam pola dan jenis pendidikan kefarmasian memunculkan masalah
dalam pengakuan kesetaraan keahlian profesi farmasi (mutual recognition). Oleh
karena itu masing-masing negara perlu membuat pernyataan keahlian (qualification
frame-work), dalam hal ini kualifikasi tenaga kefarmasian yang mereka hasilkan.
26
Selain itu sebelum melakukan praktik profesi, semua lulusan harus memiliki sertifikat
kompetensi melalui uji kompetensi nasional di negara masing-masing dan di negara
yang dituju. Adanya kesepakatan pengakuan kesetaraan (mutual recognition) antar
negara akan memudahkan pergerakan tenaga kefarmasian lintas negara.
3.3.4Pendidikan Vokasi
Pendidikan vokasional menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional masuk dalam jenjang pendidikan tinggi. Saat
ini pendidikan vokasional bidang farmasi di Indonesia terdiri dari 2 (dua) program
yaitu program pendidikan D-3 Farmasi dan program pendidikan D-3 Analisa Farmasi
& Makanan. Mulai ada institusi yang merintis pendidikan D-4 Farmasi namun yang
terdaftar baru 1 (satu) institusi. Beberapa lembaga menyelenggarakan pendidikan
nonformal yang dinyatakan “seolah-olah setara dengan D-1 Farmasi”. Pendidikan
vokasional farmasi yang dikenal di USA meliputi pendidikan Diploma 1 tahun, 2
tahun dan 3 tahun dengan lingkup pendidikan bervariasi (medication preparation,
pharmacy computing, inventory & billing etc).
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), kualifikasi yang harus dimiliki oleh
lulusan D-3 antara lain mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas, mampu
mengiasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum, mampu
mengelola kelompok kerja dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif,
serta mampu bertanggung-jawab pada pekerjaan sendiri. Pernyataan kualifikasi ini
masih bersifat umum, oleh karena itu perlu disusun pernyataan kualifikasi khusus
sesuai dengan spesifikasi lulusan pendidikan vokasi (D-3) bidang farmasi.
Pernyataan kualifikasi bagi lulusan pendidikan vokasi (D-3) bidang farmasi
harus dapat menggambarkan dengan jelas perbedaan kualifikasi untuk lulusan
jenjang vokasi (D-3 Farmasi dan D-3 Analis Farmasi & Makanan) dengan lulusan
jenjang S-1 (Sarjana Farmasi) maupun dengan lulusan jenjang profesi (Apoteker).
3.4 PENJAMINAN MUTU DAN AKREDITASI
Penjaminan mutu program pendidikan apoteker di Indonesia dilakukan secara
internal maupun eksternal. Penjaminan mutu internal dilakukan oleh masing-masing
27
perguruan tinggi sedangkan penjaminan mutu eksternal dilakukan oleh Badan
Akreditasi Nasional (BAN-PT). Akreditasi terhadap program pendidikan akademik
(S-1, S-2, S-3) telah dilakukan sejak awal proses akreditasi oleh BAN-PT sedangkan
akreditasi terhadap program pendidikan profesi (Apoteker) baru dimulai pada akhir
tahun 2011. Akreditasi program akademik menggunakan instrumen akreditasi yang
bersifat generik (berlaku untuk semua program S-1, S-2, atau S-3). Instrumen yang
dikembangkan untuk Program Studi Profesi Apoteker bersifat spesifik. Akreditasi
program pendidikan farmasi di negara lain umumnya dilakukan secara khusus oleh
lembaga akreditasi mandiri seperti Accreditation Council for Pharmacy Education
(ACPE) di USA dan The Commitee for the Accreditation System for Pharmacy
Education di Jepang. Selain akreditasi terhadap lembaga penyelenggara pendidikan
juga dilakukan sertifikasi kompetensi untuk lulusan dari masing-masing jenis dan
jenjang pendidikan.
3.4.1Standar Pendidikan Apoteker
Dokumen untuk standar pendidikan farmasi di Indonesia yang telah disusun
adalah Keputusan Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia Nomor 006/AI/
Kep/IV/2010 tentang Usulan Standar Pendidikan Profesi Apoteker Kepada Menteri
Kesehatan RI namun belum mendapatkan pengesahan. Standar yang ditetapkan
meliputi 13 (tiga belas) aspek yaitu visi, misi, tujuan; penyelenggaran pendidikan;
kurikulum; mahasiswa; sumberdaya manusia; manajemen proses pendidikan;
alokasi sumber daya dan anggaran; sarana dan prasarana; teknologi informasi;
dana penyelenggaraan pendidikan; penyelenggaraan dan evaluasi; penjaminan
mutu dan pembaharuan berkesinambungan.
American Council for Pharmacy Education (ACPE) menetapkan enam standar
pendidikan farmasi: (1) Standards for Mission, Planning & Evaluation; (2) Standards
for Organization and Administration; (3) Standards for Curriculum; (4) Standards for
Students; (5) Standards for Faculty & Staff; (6) Standards for Facilities & Resources.
Secara substansial standard tersebut tidak berbeda dengan standar yang berlaku di
Indonesia. Yang masih perlu ditingkatkan adalah monitoring dan evaluasi dari
implementasi standar tersebut pada pendidikan apoteker di Indonesia.
28
3.4.2Sistem Akreditasi
Proses akreditasi program studi dimulai dengan pelaksanaan evaluasi diri di
program studi yang bersangkutan. Evaluasi diri tersebut mengacu pada pedoman
evaluasi diri yang telah diterbitkan BAN-PT, namun jika dianggap perlu pengelola
program studi dapat menambahkan unsur-unsur yang akan dievaluasi sesuai
dengan kepentingan program studi dan institusi perguruan tinggi yang bersangkutan.
Standar akreditasi pendidikan di Indonesia terdiri dari 7 (tujuh) standar yaitu:
(1) Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran, Serta Strategi Pencapaian; (2) Tata Pamong,
Kepemimpinan, Sistem Pengelolaan, dan Penjaminan Mutu; (3) Mahasiswa dan
Lulusan; (4) Sumber Daya Manusia; (5) Kurikulum, Pembelajaran, dan Suasana
Akademik; (6) Pembiayaan, Sarana dan Prasarana, dan Sistem Informasi; serta (7)
Penelitian, Pelayanan/Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Kerjasama. Berbagai
standar tersebut diukur menggunakan 3 (tiga) instrumen akreditasi yang terdiri dari:
(a) Evaluasi Diri, (b) Borang Program Studi, (c) Borang Pengelola Program Studi.
Perbedaan mendasar instrumen akreditasi di Indonesia dengan instrumen akreditasi
ACPE adalah instrumen yang digunakan oleh ACPE dirancang spesifik untuk
pendidikan farmasi dan secara mendalam mengukur penguasaan knowledge, skill,
attitude, pharmaceutical experiences values & professional behavior.
Sistem akreditasi yang berlaku di Indonesia digambarkan pada skema berikut:
Gambar 1: Proses Akreditasi Melalui BAN-PT
29
BAB IV
PEMIKIRAN KONSEPTUAL PERUBAHAN
PENDIDIKAN APOTEKER INDONESIA
4.1 APOTEKER SEBAGAI TENAGA KESEHATAN
4.1.1Keahlian dan Kewenangan Apoteker
Sesuai ketentuan dalam ayat 1 pasal 108 Undang-Undang nomor 36 tahun
2009 tentang Kesehatan, apoteker memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melaksanakan praktik kefarmasian yang mencakup 5 bidang yaitu:
a. Pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi;
b. Pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat;
c. Pelayanan obat atas resep dokter;
d. Pelayanan informasi obat;
e. Pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Untuk memenuhi tuntutan keahlian dan kewenangannya, konsep perubahan
pendidikan apoteker dirumuskan sebagai berikut:
a. Pernyataan “Kompetensi Lulusan (Learning Outcomes)” pendidikan apoteker
dirumuskan mengacu pada pasal 108 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan. “Learning Outcomes” pendidikan apoteker merupakan
rumusan dayaguna hasil pendidikan apoteker sesuai dengan fungsi dan
perannya untuk menjalankan praktik apoteker dalam sistem pelayanan
kesehatan nasional.
b. Pendidikan apoteker wajib memberikan keahlian yang mencakup 5 (lima) bidang
tersebut di atas, sehingga lulusannya akan memperoleh kewenangan (SIPA-
SIPA) sesuai ketentuan perundang-undangan.
c. Pendidikan apoteker berfokus pada tercapainya kompetensi lulusan pendidikan
apoteker dalam jabatan publik sebagai tenaga kesehatan/kefarmasian yang
telah mengucapkan sumpah apoteker dan memiliki ijin untuk menjalankan
praktik, memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan memperoleh
perlindungan hukum bagi dirinya.
30
4.1.2Fungsi dan Peran Apoteker
Fungsi apoteker dalam pelayanan kesehatan adalah memberikan pelayanan
kepada masyarakat sebagai profesi yang bertanggungjawab dalam menjamin
keamanan, kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan
yang beredar; ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat
esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalah-
gunaan obat; ketepatan dan rasionalitas penggunaan obat untuk tercapainya tujuan
terapi secara optimal; maupun upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui
pemanfaatan sumber daya dalam negeri.
Peran apoteker di masyarakat berdampingan dengan tenaga kesehatan dalam
sistem kesehatan nasional meliputi: (1) memberikan perhatian dan tindakan nyata
bagi pasien dan/atau masyarakat tentang penggunaan obat yang benar dan baik
(care giver); (2) membuat keputusan profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian
yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung dan/atau tidak langsung oleh
pasien dan/atau masyarakat (decision maker); (3) berkomunikasi dengan pasien
dan/atau masyarakat serta tenaga kesehatan dalam upaya kesehatan perorangan
dan upaya kesehatan masyarakat (communicator), (4) memimpin tim/kelompok
dengan komitmen tinggi dan dapat dipercaya (leader), (5) merencanakan dan
mengelola fasilitas pelayanan kefarmasian di bawah tanggungjawabnya sesuai
pedoman/prosedur yang berlaku (manager), (6) memiliki komitmen pembelajar
sepanjang hayat (life-long learner), dan (7) memiliki komitmen untuk berperan dalam
pendidikan farmasi sebagai preseptor (praktisi pendidik) maupun dalam edukasi
pasien dan masyarakat (teacher), (8) memiliki kompetensi dan komitmen untuk
melakukan penelitian yang relevan dengan masalah kefarmasian (researcher).
Sesuai fungsi dan perannya visi apoteker Indonesia adalah menjadi profesi
tenaga kesehatan yang unggul serta terpercaya dalam menjamin pemenuhan
kebutuhan pengobatan masyarakat Indonesia. Sedangkan misi yang diemban oleh
apoteker Indonesia meliputi: (1) menjamin ketersediaan kebutuhan obat yang
bermutu bagi bangsa dan negara; (2) menjamin pemenuhan kebutuhan pengobatan;
(3) menjamin keamanan, ketepatan dan rasionalitas penggunaan obat oleh pasien
dan masyarakat; (3) berperan aktif dalam upaya menjamin keselamatan dan kualitas
31
hidup pasien; (4) membangun kolaborasi antar tenaga kesehatan dalam upaya
peningkatan kesehatan dan kualitas hidup pasien (individu) dan masyarakat.
4.2 KONSEP PENDIDIKAN APOTEKER
4.2.1Kerangka Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia
Pendidikan apoteker sebagai pendidikan tenaga kesehatan memerlukan
perubahan secara konseptual dari situasi dan kondisi yang ada saat ini untuk
menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat dan perubahan peraturan perundang-
undangan. Perubahan tersebut harus segera dimulai dari penetapan Kerangka
Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia yang disetujui oleh pemerintah dan diterima
oleh semua pemangku kepentingan. Selanjutnya juga perlu segera disusun Standar
Pendidikan Apoteker Indonesia yang mengacu pada Standar Kompetensi Apoteker
Indonesia dengan tetap memperhatikan ketentuan perundang-undangan bidang
pendidikan yang berlaku.
Kerangka Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia merupakan pernyataan yang
berisi deskripsi kemampuan apoteker Indonesia dalam bidang kerja (praktik), lingkup
kerja (praktik) berdasarkan pengetahuan yang dikuasai dan kemampuan manajerial
dengan sikap professional sebagai tenaga kesehatan, untuk menjalankan praktik
sebagai Apoteker Indonesia yang diakui oleh dunia internasional. Kerangka
Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia (KKNAI) akan menjadi konsep dasar
perubahan pendidikan apoteker (learning outcomes), standar profesi, standar
pendidikan, uji kompetensi lulusan, serta sistem akreditasi penyelenggara pendidika
apoteker. Penetapan level KKNI bagi apoteker memberikan kepastian fungsi dan
peran serta hak dan kewajiban apoteker di semua sektor pemerintahan.
Rumusan Kerangka Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia akan memberikan
kepastian “independensi dan interdependensi” apoteker dalam menjalankan praktik
profesi bersama para profesi tenaga kesehatan lainnya. Oleh karenanya salah satu
perubahan pendidikan apoteker adalah adanya muatan interprofessional education
& collaborative practices dalam proses pendidikan apoteker. Lulusan pendidikan
apoteker juga harus memenuhi deskripsi kualifikasi ketentuan dalam Peraturan
Presiden No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia sesuai
32
dengan jenjang pendidikannya. Sesuai dengan ketentuan dalam KKNI, lulusan
program pendidikan sarjana farmasi paling rendah setara dengan jenjang 6 (enam),
sedangkan lulusan program pendidikan profesi apoteker paling rendah setara
dengan jenjang 7 (tujuh).
4.2.2Kompetensi Apoteker
Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang
dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam
melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (Surat Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 045 tahun 2002 pasal 21). Sedangkan Carracio (2002)
menyatakan: “Competency is a complex set of behaviours built on the components
of knowledge, skills, attitude and competence as personal ability”.
Standar kompetensi apoteker Indonesia adalah kualifikasi yang mencakup
pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku yang digunakan sebagai tolok ukur
yang menjadi baku mutu kompetensi seorang apoteker di Indonesia. Standar
kompetensi apoteker Indonesia menjadi landasan pelaksanaan pendidikan apoteker
Indonesia sekaligus menjawab tuntutan kerangka kualifikasi nasional Indonesia.
Sesuai dengan tuntutan WHO dan FIP (1997)5,6
lulusan pendidikan apoteker
harus memiliki kemampuan untuk berperan sebagai: (1) care giver, (2) decision
maker, (3) communicator, (4) leader, (5) manager, (6) life-long learner, dan (7)
teacher (“The Seven-Star Pharmacist”) yang merupakan peran esensial sekaligus
minimal dari seorang apoteker. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kefarmasian menuntut tenaga kefarmasian untuk terus mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuannya (life-long learner)5,6,7
. Di sisi lain,
meningkatnya kompleksitas permasalahan terkait obat membuat pilihan intervensi
obat tidak lagi dapat hanya didasarkan pada pilihan atau pengalaman pribadi.
Rasionalitas pilihan intervensi obat harus didasarkan pada pendekatan “berbasis
bukti” (evidence-based medicine), sehingga lulusan pendidikan apoteker juga harus
memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian/ kajian (researcher)7
.
Dimensi baru pelayanan kefarmasian yang berkembang dari “product oriented”
ke “patient oriented” menuntut kesiapan apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya
33
untuk mampu menjamin ketersediaan sediaan farmasi yang bermutu tinggi dan
mampu melaksanakan pelayanan kefarmasian secara komprehensif berbasis
kebutuhan pasien (“pharmaceutical care”)7,8,9
. Filosofi pharmaceutical care menjadi
dasar pengembangan kurikulum pendidikan tinggi apoteker.
4.2.3Standar dan Pedoman Pendidikan Apoteker
Standar pendidikan apoteker Indonesia merupakan perangkat penyetara mutu
pendidikan apoteker untuk menjamin tercapainya tujuan pendidikan yang sesuai
dengan standar kompetensi. Standar pendidikan apoteker dibuat dan disepakati
bersama oleh pemangku kepentingan pendidikan apoteker. Standar pendidikan
apoteker juga dipergunakan oleh institusi penyelenggara pendidikan apoteker untuk
melakukan evaluasi diri dan peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.
Sesuai ketentuan perundang-undangan, standar pendidikan apoteker meliputi
komponen isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana-prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, serta evaluasi proses pendidikan. Standar untuk setiap
komponen pendidikan harus selalu ditingkatkan secara berencana dan berkala
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kefarmasian dan tuntutan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Standar pendidikan apoteker harus relevan dengan standar profesi apoteker
yang menjadi rujukan minimal dan arah pengembangan praktik profesi apoteker
maupun dengan standar kefarmasian yang mengatur tenaga, sarana, prasarana dan
fasilitas, serta struktur dan fungsi di fasilitas praktik kefarmasian. Standar pendidikan
apoteker membutuhkan suatu pedoman penyelenggaraan pendidikan yang baik dan
wajib menyusun standar prosedur operasional yang berlaku secara internal dalam
rangka membangun sistem amnajemen mutu.
4.2.4Strategi dan Proses Pendidikan Apoteker
Konsep perubahan arah dan strategi pendidikan apoteker yang dikembangkan
adalah pendidikan profesi terintegrasi dengan model tipe Z yang mengintegrasikan
muatan kurikulum domain akademik dengan domain profesi menggunakan model
terintegrasi seperti yang digambarkan dalam gambar 2. Model kurikulum berbasis
kompetensi dirancang terintegrasi secara horizontal, vertikal, maupun interdisiplin,
34
berorientasi pada masalah-masalah kesehatan individu, keluarga dan masyarakat
dalam konteks pelayanan kesehatan primer.
Gambar 2: Model Pendidikan Apoteker Terintegrasi
Konsep pendidikan apoteker terintegrasi (Integrated Z-Type) merupakan suatu
penyatuan proses pendidikan akademik (sarjana farmasi) dan pendidikan profesi
(apoteker) menjadi satu proses akuisisi mencapai kompetensi apoteker. Konsep ini
merupakan satu kesatuan manajemen kompetensi, pemisahan diasumsikan hanya
bersifat struktural institusi penyelenggara (manajemen struktural-administrasi).
Pembentukan kompetensi (sikap-perilaku, pengetahuan dan ketrampilan) dan
professionalisme apoteker sudah harus dimulai dalam program pendidikan tahap
program akademik (sarjana farmasi) untuk mendapatkan kecukupan waktu dan
strategi pengembangannya. Domain kompetensi profesi (knowledge, skills, attitude,
experience) dimulai sejak mahasiswa baru memasuki program sarjana farmasi, terus
bertambah secara bertahap sampai akhir pendidikan. Domain kompetensi akademik
ditata agar secara bertahap berkurang sampai akhir pendidikan dan siap menjadi
dasar belajar praktik profesi.
Pencapaian kompetensi lulusan pendidikan apoteker dikembangkan mengikuti
model kompetensi Miller14
seperti yang terlihat pada gambar berikut:
Domain Akademik
Muatan Kurikulum
Tahun Domain Profesi
Pendidikan
Sarjana Farmasi
Pendidikan
Apoteker
35
Gambar 1: Piramida Miller
Sesuai dengan piramida Miller, pencapaian kompetensi lulusan pendidikan
sarjana farmasi yang merupakan jenjang awal pencapaian kompetensi lulusan
difokuskan pada kemampuan kognitif yaitu pada penguasaan pengetahuan
(knowledge) dan ketrampilan (skills) untuk mencapai level “knows” dan “knows how”.
Sedangkan kompetensi lulusan pendidikan profesi apoteker lebih difokuskan pada
pengembangan sikap dan perilaku (behaviour) yaitu pada penguasaan kemampuan
melakukan praktik profesi apoteker (competence) untuk mencapai level “shows how”
(performance).
Kelompok ilmu yang menjadi pilar pendidikan apoteker meliputi ilmu-ilmu
alamiah dasar (basic natural sciences), ilmu-ilmu biomedik dasar (basic biomedical
sciences), ilmu-ilmu kefarmasian (pharmaceutical sciences), ilmu-ilmu sosial
humaniora (social/ behavioral/ administrative sciences), ilmu-ilmu farmasi klinis
(clinical sciences), dan ilmu-ilmu keprofesian bidang farmasi (pharmacy practice &
pharmacy provided care). Isi kurikulum harus mengacu pada standar kompetensi
apoteker indonesia serta memperhatikan prinsip metode ilmiah dan prinsip kurikulum
spiral (kurikulum tipe Z).
Integrasi horizontal dalam model ini mengintegrasikan kelompok ilmu dalam
masing-masing tahap pendidikan (tahap akademik dan tahap profesi), sedangkan
integrasi vertikal mengintegrasikan kelompok ilmu dari tahap akademik dengan
tahap profesi. Integrasi horizontal dan vertikal secara harmonis harus diwujudkan
dalam sebaran muatan materi kurikulum berbasis bahan aktif farmasi (API/ Active
36
Pharmaceutical Ingredient) sebagai senyawa model yang direpresentasikan dalam
bentuk pembelajaran berbasis modul tentang permasalahan praktik kefarmasian
sesuai ketentuan dalam pasal 108 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Integrasi interdisiplin mencakup integrasi “biopsychosocial” maupun integrasi
interprofesional. Oleh karenanya tersedianya kesempatan bagi mahasiswa untuk
terpapar secara dini dengan masalah-masalah klinik, baik masalah individu/ pasien
(pharmaceutical care ) maupun masalah publik/ masyarakat (pharmaceutical public
health) menjadi komponen penting dalam kurikulum ini. Pelaksanaan kurikulum ini
harus dilengkapi dengan Interprofessional Education and Collaborative Practices.
Pada akhir program pendidikan apoteker, dilakukan uji kompetensi lulusan
secara nasional dalam bentuk Uji Kompetensi Apoteker Indonesia. Setelah lulusan
program pendidikan apoteker memperoleh Sertifikat Kompetensi Apoteker Indonesia
para apoteker baru menjalani program “internship” yang diselenggarakan oleh KFN
bersama Kementerian Kesehatan (Komite Internship Apoteker Indonesia), sebagai
tahap persyaratan untuk memperoleh ijin praktik apoteker (SIPA, SIKA).
4.2.5Penjaminan Mutu Pendidikan Apoteker
Institusi penyelenggara pendidikan apoteker harus mempunyai sistem
penjaminan mutu dengan mekanisme kerja yang efektif serta diterapkan dengan
benar. Mekanisme penjaminan mutu harus menjamin adanya kesepakatan,
pengawasan, dan peninjauan secara periodik setiap kegiatan dengan standar dan
instrumen yang sahih dan handal. Penjaminan mutu eksternal dilakukan berkaitan
dengan akuntabilitas institusi penyelenggara pendidikan apoteker terhadap para
pemangku kepentingan, melalui audit eksternal dan akreditasi.
4.3 Manajemen Perubahan Pendidikan Apoteker
Perubahan pendidikan apoteker di Indonesia diawali dengan penyusunan
Kerangka Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia (KKNAI) yang diharapkan selesai
pada akhir 2013, dilanjutkan dengan pembuatan Standar Pendidikan Apoteker,
Sistem Uji Kompetensi dan Akreditasi Pendidikan Apoteker. Keseluruhan naskah
37
tersebut harus segera disusun dan ditetapkan pada tahun 2014 sehingga perubahan
arah pendidikan apoteker dapat segera dimulai paling lambat 2015.
Untuk mewujudkannya perlu segera dibuat rencana strategis yang mengatur
kerjasama antar segenap pemangku kepentingan dalam mewujudkan peran
pemerintah, organisasi profesi dan pihak lainnya, yang dilandasi pengaturannya
dalam pembuatan perundang-undangan tentang pendidikan apoteker Indonesia.
Pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut diamanatkan kepada Komite
Farmasi Nasional (KFN).
38
BAB V
RUANG LINGKUP RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG PENDIDIKAN APOTEKER INDONESIA
Sebagai hasil telaah terhadap berbagai permasalahan yang telah dirumuskan
di bagian awal Naskah Akademik ini, disusun konsep awal ruang lingkup Rancangan
Peratuan Perundang-Undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia sebagai
upaya peningkatan mutu pendidikan farmasi dan kualifikasi tenaga kefarmasian
Indonesia. Konsep awal ini akan digunakan sebagai dasar untuk menyusun pasal-
pasal yang akan dituangkan dalam draf Rancangan Peraturan Perundang-
Undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia.
5.1 KONSIDERANS
Memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang melatar-belakangi
pembuatan Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pendidikan
Apoteker Indonesia, yang terdiri dari:
1. Unsur Filosofis
Pendidikan tinggi farmasi sebagai salah satu unsur dalam Sistem Pendidikan
Nasional diselenggarakan berdasarkan Falsafah Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Unsur Historis
Pendidikan farmasi telah berlangsung sejak awal peradaban manusia hingga
saat ini. Semula proses pendidikan berlangsung secara pedagogik-andragogik
berfokus pada pengalaman empiris dan pembelajaran praktis di bawah
bimbingan dari praktisi dalam bidang pengobatan sebagai gurunya. Selanjutnya
para murid akan menggantikan peran gurunya atau berpindah ke tempat lain
yang memerlukan keahliannya sehingga terjadi penyebaran ilmu kefarmasian.
3. Unsur Sosiologis
Di era globalisasi ini muncul tuntutan perubahan peran profesi farmasi dan
kualifikasi tenaga kefarmasian. Peningkatan mutu penyelenggaraan Pendidikan
Apoteker Indonesia secara terencana, terarah dan berkesinambungan Untuk
39
menghadapi tantangan di tingkat lokal, nasional dan global perlu dilakukan, agar
lulusan yang dihasilkan mampu memenuhi tuntutan perkembangan, kompeten,
bertanggungjawab, memiliki etika dan moral, serta mampu memberikan
pelayanan kefarmasian secara profesional.
4. Unsur Yuridis
Mengingat sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang
khusus mengatur tentang pendidikan farmasi, perlu disusun Peraturan
Perundang-undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia sebagai acuan
penyelenggaraan pendidikan farmasi di seluruh perguruan tinggi di Indonesia
dengan harapan dapat mengatasi berbagai permasalahan Pendidikan Apoteker
di Indonesia.
5.2 DASAR HUKUM
Dasar hukum penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan
Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat
(1), Pasal 31 dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan pasal 12 ayat (1.b), pasal 19, pasal 20 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) serta pasal 50 ayat (7) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
5.3 KETENTUAN UMUM
Ketentuan umum yang dituangkan dalam Naskah Akademik ini memuat
rumusan akademik mengenai definisi, istilah, pengertian, singkatan atau akronim
yang digunakan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pendidikan
Apoteker Indonesia meliputi:
01. Pendidikan Farmasi adalah pendidikan formal pada jenjang perguruan tinggi
yang yang terdiri atas pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan pendidikan
vokasi yang diselenggarakan oleh satuan program pendidikan farmasi yang
terakreditasi untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi akademik,
kompetensi profesi dan/atau kompetensi vokasi di bidang farmasi sesuai dengan
jenis dan jenjang pendidikannya.
40
Jenis dan jenjang pendidikan farmasi mencakup:
o Program pendidikan akademik terdiri dari: pendidikan sarjana (S-1) farmasi
sain, pendidikan magister (S-2) farmasi sain, dan pendidikan doktor (S-3)
farmasi sain;
o Program pendidikan profesi terdiri dari: pendidikan profesi (apoteker), dan
pendidikan spesialis (apoteker spesialis);
o Program pendidikan vokasi yaitu pendidikan diploma III (ahli madya farmasi
dan analis farmasi & makanan).
02. Pendidikan Apoteker Indonesia adalah pendidikan formal yang terdiri atas
pendidikan akademik dan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh institusi
penyelenggara pendidikan yang terakreditasi untuk menghasilkan lulusan yang
memiliki kompetensi akademik dan profesi dalam bidang farmasi.
03. Standar Pendidikan Apoteker Indonesia adalah pengaturan menyeluruh
komponen profesi farmasi di Indonesia secara terpadu untuk mencapai tujuan
pendidikan farmasi nasional.
04. Peserta Didik Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut mahasiswa farmasi,
adalah peserta didik terdaftar yang mengikuti proses pendidikan akademik dan
profesi untuk mencapai kompetensi yang dipersyaratkan bagi lulusan pendidikan
apoteker.
05. Sarjana Farmasi adalah mahasiswa farmasi yang telah menyelesaikan tahap
pendidikan akademik bidang farmasi baik di dalam maupun di luar negeri yang
diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
06. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah menyelesaikan program pendidikan
apoteker baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia, telah dinyatakan lulus sebagai apoteker dan mengucapkan
sumpah apoteker.
07. Apoteker Spesialis adalah apoteker yang telah menyelesaikan program
spesialisasi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia.
41
08. Pendidik Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut pendidik, adalah
seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya pada bidang ilmu
farmasi dan/atau bidang ilmu tertentu ditugasi menjadi tenaga pendidik pada
satuan pendidikan sarjana farmasi dan pendidikan profesi apoteker, dengan
tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat.
09. Tenaga Kependidikan Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut tenaga
kependidikan, adalah seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya
ditugasi menjadi tenaga penunjang penyelenggaraan pendidikan apoteker.
10. Kurikulum Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut kurikulum, adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran,
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran dalam pendidikan apoteker. Kerangka dasar dan struktur
kurikulum dirancang dan dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan
apoteker dengan melibatkan asosiasi profesi, instansi pemerintah, dan kelompok
ahli terkait.
11. Lulusan Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut lulusan, adalah mahasiswa
yang telah memenuhi persyaratan kelulusan yang ditetapkan pada jenjang
pendidikan apoteker yang diikutinya dan berhak memperoleh gelar akademik
dan profesi sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan yang diikutinya.
12. Kompetensi Lulusan Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut kompetensi,
adalah kualifikasi kemampuan minimal yang mencakup pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan perilaku yang harus dicapai oleh lulusan sesuai dengan
ketentuan dalam standar kompetensi yang ditetapkan untuk masing-masing
jenis dan jenjang pendidikan apoteker yang diikutinya.
13. Standar Kompetensi Apoteker Indonesia, adalah kualifikasi kemampuan
minimal yang mencakup pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan peri laku yang
harus dimiliki oleh apoteker yang menjalankan praktik kefarmasian di Indonesia.
42
Standar Kompetensi Apoteker Indonesia disusun oleh organisasi profesi dalam
hal ini Ikatan Apoteker Indonesia dan disahkan oleh Menteri Kesehatan.
14. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, selanjutnya disingkat KKNI, adalah
kerangka kualifikasi yang disepakati secara nasional, disusun berdasarkan suatu
ukuran pencapaian proses pendidikan sebagai basis pengakuan terhadap hasil
pendidikan seseorang (baik yang diperoleh secara formal, non formal, informal,
atau otodikdak).
15. Akreditasi Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut akreditasi, adalah
kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan apoteker
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, mengacu kepada standar pendidikan
untuk masing-masing jenis dan jenjang pendidikan.
5.4 AZAS DAN TUJUAN
Azas dan tujuan peraturan pemerintah yang akan dibuat berupa nilai-nilai dasar
yang melandasi ruang lingkup pengaturan Pendidikan Apoteker Indonesia dalam
peraturan perundang-undangan yang akan disusun.
1. Azas
Azas dalam Naskah Akademik ini adalah landasan yang akan digunakan dalam
penyelenggaraan pendidikan farmasi di Indonesia, meliputi:
a. Azas Manfaat, yaitu penyelenggaraan pendidikan farmasi harus memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan bagi perkembangan
ilmu farmasi untuk meningkatkan atau mempertahankan kualitas hidup
manusia dan derajat kesehatan masyarakat.
b. Azas Kemanusiaan, yaitu penyelenggaraan pendidikan farmasi harus
memperhatikan keselamatan manusia.
c. Azas Keseimbangan, yaitu pendidikan farmasi diselenggarakan dengan
menjaga keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara kepentingan
individu dengan kepentingan masyarakat maupun antara kepentingan
pengembangan ilmu dengan kepentingan individu.
d. Asas Kesetaraan, yaitu pendidikan farmasi diselenggarakan secara adil,
demokratis, dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
43
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, serta kemajemukan bangsa
Indonesia.
e. Asas Nilai Ilmiah, yaitu pendidikan farmasi harus didasarkan pada nilai-nilai
ilmiah yang diperoleh dalam pendidikan maupun dari pengalaman praktik.
2. Tujuan
Tujuan penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan Tentang
Pendidikan Apoteker Indonesia adalah memajukan pendidikan farmasi melalui
penataan kembali penyelenggaraan pendidikan farmasi secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan farmasi yaitu:
a. Menghasilkan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (S-1, Profesi, Vokasi)
yang profesional, bermutu, beretika, berdedikasi tinggi, serta berorientasi
pada kesejahteraan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Menghasilkan akademisi dan/atau peneliti bidang kefarmasian (S-2, dan S-3)
yang profesional, bermutu, beretika, berdedikasi tinggi, serta berorientasi
pada kebutuhan masyarakat.
5.5 MATERI MUATAN PERUNDANG-UNDANGAN
Materi pokok Rancangan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan
Apoteker Indonesia meliputi pengaturan tentang:
01. Pendidikan Farmasi
Untuk menjawab tantangan perkembangan dan kebutuhan masyarakat akan
pelayanan kesehatan yang berkualitas, jenjang pendidikan farmasi di Indonesia
ditingkatkan ke jenjang pendidikan tinggi agar para lulusannya mampu memberikan
pelayanan kefarmasian yang berfokus kepada pasien secara profesional.
Jenis dan jenjang pendidikan farmasi tersebut meliputi:
1. Program Pendidikan Akademik, terdiri dari:
a. Pendidikan Sarjana Farmasi Sain (S-1 Ilmu Farmasi).
b. Pendidikan Magister Farmasi Sain (S-2 Ilmu Farmasi).
44
c. Pendidikan Doktor Farmasi Sain (S-3 Ilmu Farmasi).
2. Program Pendidikan Profesi, terdiri dari:
a. Pendidikan Sarjana Farmasi.
b. Pendidikan Apoteker.
c. Pendidikan Spesialis (Apoteker Spesialis).
3. Program Pendidikan Vokasi, terdiri dari:
a. Pendidikan Diploma III Farmasi.
b. Pendidikan Diploma III Analis Farmasi dan Makanan.
Secara keseluruhan jenis dan jenjang pendidikan tersebut digambarkan dalam
gambar 3 berikut:
Jenjang
Pendidikan
Akademik
Tahun
Pendidikan Profesi
Apoteker
Level
KKNI
Pendidikan
Vokasi
S-3 Doktor
Farmasi Sain
9
S-2
Magister
Farmasi Sain
Apoteker Spesialis 8
6 Internsip*)
7
5 Profesi Apoteker
S-1 Sarjana
Farmasi Sain
4 Sarjana
Farmasi
6
3 5 D-3, Ahli Madya
2 4
1 3
2 SMK Farmasi
Gambar 3: Jenis dan Jenjang Pendidikan Farmasi
Keterangan:
Jenjang pendidikan vokasi dan kategori bidang spesialisasi pendidikan apoteker
spesialis yang akan ditumbuhkan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan
45
masing-masing bidang pelayanan kefarmasian dan perkembangan sistem
pelayanan kesehatan di Indonesia. Ketentuan tentang jenjang pendidikan pada
masing-masing jenis pendidikan ini akan diatur diatur kemudian.
Program internship (magang) adalah pendidikan non-formal bagi lulusan
program pendidikan apoteker setelah memperoleh sertifikat kompetensi sebagai
persyaratan untuk memperoleh ijin praktik apoteker (SIPA, SIKA). Penetapan
program beserta prosedur pelaksanaannya akan diatur kemudian.
02. Pendidikan Profesi Apoteker
Pendidikan profesi apoteker adalah pendidikan farmasi yang diselenggarakan
untuk menghasilkan apoteker yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan praktik
kefarmasian. Pendidikan apoteker diselenggarakan dalam 2 (dua) tahap yaitu: (1)
tahap pendidikan sarjana farmasi (S-1), dan (2) tahap pendidikan profesi apoteker.
Kedua tahap pendidikan ini merupakan satu kesatuan, diselenggarakan dalam pola
terintegrasi dengan pengenalan dini (early exposure) pada muatan profesi. Tahap
pendidikan profesi sepenuhnya berupa pemberian pengalaman praktik profesi
(experiential learning) yang dilaksanakan di fasilitas pelayanan kefarmasian.
Penyelenggara pendidikan apoteker wajib menetapkan visi dan misi yang
relevan dengan visi dan misi apoteker indonesia, dalam kerangka pemenuhan
kebutuhan apoteker dalam sistem kesehatan nasional Indonesia.
Pendidikan apoteker spesialis adalah pendidikan spesialisasi bidang profesi
apoteker sebagai jenjang lanjut pendidikan profesi apoteker, bidang spesialisasi
akan sesuai dengan jenis kolegium dalam lingkup farmasi klinis dan farmasetik.
03. Pendirian dan Penutupan Program
Program pendidikan apoteker hanya dapat didirikan oleh lembaga pendidikan
yang memenuhi persyaratan dan telah memperoleh izin penyelenggaraan untuk
satuan pendidikan tertentu dari pemerintah. Persyaratan untuk memperoleh izin
penyelenggaraan satuan pendidikan apoteker mencakup isi pendidikan, proses
pendidikan, kompetensi lulusan, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, sarana
dan prasarana pendidikan (termasuk rumah sakit, apotik, dan industri sebagai
46
tempat pendidikan), pengelolaan, pembiayaan pendidikan, dan sistem penilaian
pendidikan.
Lembaga penyelenggara pendidikan farmasi yang belum memenuhi maupun
yang tidak lagi memenuhi persyaratan pendirian dapat ditutup setelah melalui proses
penilaian (verifikasi).
04. Calon Mahasiswa
Calon mahasiswa program pendidikan sarjana farmasi/apoteker harus lulus
seleksi penerimaan. Seleksi penerimaan mahasiswa farmasi terbuka bagi seluruh
anggota masyarakat yang ingin mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada berbagai jenjang dan jenis pendidikan farmasi.
Proses seleksi penerimaan untuk setiap jenjang pendidikan farmasi dilakukan
secara transparan, akuntabel, kredibel, adil, dan bertanggungjawab.
Warganegara asing dapat menjadi mahasiswa program pendidikan farmasi.
Untuk menjadi mahasiswa pada satuan pendidikan farmasi di Indonesia, warga
negara asing harus memenuhi persyaratan khusus yang ditetapkan oleh institusi
penyelenggara pendidikan farmasi.
05. Mahasiswa
Sesuai dengan jenjang pendidikannya, mahasiswa pendidikan apoteker terdiri
atas: (a) mahasiswa farmasi jenjang pendidikan akademis; (b) mahasiswa farmasi
jenjang pendidikan profesi, dan (c) mahasiswa farmasi jenjang pendidikan vokasi.
06. Pendidik
Pendidik dalam pendidikan farmasi adalah tenaga pendidik tersertifikasi yang
memiliki kualifikasi akademik dan kemampuan profesi untuk mewujudkan tujuan
pendidikan farmasi. Pendidik dalam pendidikan farmasi terdiri dari:
(a) Dosen, yaitu tenaga pendidik tersertifikasi yang berdasarkan pendidikan dan
keahliannya diangkat sebagai pendidik pada jenjang pendidikan tinggi dengan
tugas utama merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai
47
hasil pembelajaran, dan membimbing mahasiswa dalam mencapai tujuan
pendidikan.
(b) Preseptor, yaitu seorang apoteker atau spesialis farmasi yang memiliki lisensi
dan reputasi baik, yang bertugas untuk memberikan pengalaman praktik profesi
farmasi dan pelatihan bidang kefarmasian kepada mahasiswa dalam mencapai
tujuan pendidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya, dosen maupun preseptor harus terus
meningkatkan kompetensi akademik dan profesi serta berpartisipasi aktif dalam
pengembangan ilmu dan profesi melalui kegiatan penelitian &/atau pengabdian
kepada masyarakat. Persyaratan kualifikasi dan kompetensi pendidik pada masing-
masing jenis dan jenjang pendidikan farmasi akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah, termasuk pengaturan tentang warga negara asing yang mempunyai
kualifikasi akademis dan kompetensi bidang kefarmasian yang akan diangkat
menjadi pendidik tamu.
07. Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan adalah tenaga penunjang penyelenggaraan pendidikan
yang memiliki kualifikasi & kompetensi akademis untuk membantu penyelenggaraan
pendidikan farmasi. Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi,
pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang
proses pendidikan pada satuan pendidikan farmasi.
08. Kurikulum
Kurikulum pendidikan farmasi disusun, dikembangkan, dan disahkan oleh
suatu badan standardisasi berdasarkan Pendidikan Apoteker Indonesia dan Standar
Kompetensi Apoteker Indonesia. Kurikulum pendidikan farmasi merupakan
kurikulum berbasis kompetensi, mengacu pada standar internasional agar setiap
mahasiswa dan lulusan mampu menghadapi tantangan di tingkat lokal, nasional
maupun global. Khusus untuk pendidikan apoteker, pengembangan model kurikulum
berorientasi pada masalah kesehatan individu dan masyarakat, dengan pola
pendidikan terintegrasi seperti yang digambarkan pada gambar 3 berikut:
48
Gambar 3: Pola Pendidikan Terintegrasi Yang Akan Dikembangkan
Pendidikan apoteker yang dikembangkan mengintegrasikan proses pendidikan
akademik (sarjana farmasi) dan pendidikan profesi (apoteker) menjadi satu proses
untuk mencapai kompetensi apoteker (Z-type model). Pembentukan kompetensi
(pengetahuan, ketrampilan, sikap, perilaku) dan profesionalisme apoteker dimulai
sejak tahap program akademik (sarjana farmasi) dan ditingkatkan secara bertahap
sampai akhir pendidikan. Integrasi horizontal dalam model ini mengintegrasikan
kelompok ilmu dalam masing-masing tahap pendidikan (tahap akademik dan tahap
profesi), sedangkan integrasi vertikal mengintegrasikan kelompok ilmu dari tahap
akademik dengan tahap profesi.
Kelompok ilmu yang menjadi pilar pendidikan apoteker meliputi ilmu-ilmu
alamiah dasar (basic natural sciences), ilmu-ilmu biomedik dasar (basic biomedical
sciences), ilmu-ilmu kefarmasian (pharmaceutical sciences), ilmu-ilmu sosial
humaniora (social/ behavioral/ administrative sciences), ilmu-ilmu farmasi klinis
(clinical sciences), dan ilmu-ilmu keprofesian bidang farmasi (pharmacy practice &
pharmacy provided care). Isi kurikulum harus mengacu pada standar kompetensi
apoteker indonesia serta memperhatikan prinsip metode ilmiah dan prinsip kurikulum
spiral (kurikulum tipe Z). Komponen penting dalam kurikulum ini adalah tersedianya
kesempatan bagi mahasiswa untuk terpapar secara dini dengan masalah-masalah
klinik baik individu (pharmaceutical care ) maupun publik (pharmaceutical public
health). Dalam pelaksanaannya kurikulum ini memerlukan adanya Interprofessional
Education and Collaborative Practices.
49
Kerangka dasar dan struktur kurikulum dikembangkan oleh masing-masing
institusi penyelenggara pendidikan farmasi mengacu pada standar kompetensi untuk
masing-masing jenis dan jenjang pendidikan farmasi dan muatan lokal yang ingin
dicapai oleh institusi penyelenggara. Setiap institusi penyelenggara pendidikan
farmasi wajib memiliki kurikulum. Institusi penyelenggara pendidikan farmasi yang
tidak memenuhi ketentuan akan dikenakan sanksi administrattif berupa teguran,
peringatan, penundaan sampai penolakan pemberian hak penyetaraan dan
pengakuan gelar, sampai penutupan program.
09. Lulusan
Setiap mahasiswa pendidikan farmasi yang telah memenuhi persyaratan
kelulusan dan telah memenuhi standar kompetensi lulusan untuk masing-masing
jenjang pendidikan berhak memperoleh gelar akademik dan profesi sesuai jenjang
pendidikan yang diikutinya, yaitu:
Gelar akademik: Sarjana Farmasi untuk jenjang pendidikan S-1;
Gelar profesi: Apoteker untuk jenjang pendidikan profesi dan Apoteker
spesialis untuk jenjang pendidikan spesialis.
10. Standar Pendidikan Apoteker Indonesia
Standar Pendidikan Apoteker Indonesia adalah kriteria minimal yang harus
dipenuhi oleh penyelenggara pendidikan apoteker di seluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sebagai perangkat penyetara mutu pendidikan
apoteker. Standar pendidikan apoteker disusun oleh Asosiasi Pendidikan Tinggi
Farmasi (APTFI) bersama pemangku kepentingan pendidikan apoteker. Standar
Pendidikan Apoteker Indonesia terdiri atas standar: (1) standar kompetensi lulusan;
(2) standar isi; (3) standar proses; (4) standar tenaga kependidikan; (5) standar
sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan; dan (8)
standar penilaian pendidikan.
Standar Pendidikan Apoteker Indonesia akan diatur dengan Peraturan
Perundang-undangan. Penyelenggara pendidikan apoteker yang tidak memenuhi
ketentuan dalam Standar Pendidikan Apoteker Indonesia akan dikenakan sanksi
administratif berupa teguran, peringatan tertulis, sampai penutupan fakultas.
50
11. Standar Kompetensi Lulusan
Standar Kompetensi Lulusan merupakan kualifikasi kemampuan minimal yang
mencakup pengetahuan, ketrampilan, sikap, serta peri laku yang harus dicapai oleh
lulusan pendidikan apoteker. Lulusan program pendidikan apoteker harus memiliki
kompetensi yang sesuai dengan Standar Kompetensi Apoteker Indonesia. Standar
kompetensi lulusan pendidikan apoteker merupakan bagian dari Standar Pendidikan
Apoteker Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan.
12. Tempat Pendidikan
Penyelenggaraan pendidikan apoteker dilakukan di institusi penyelenggara
pendidikan apoteker dan di fasilitas kefarmasian yang digunakan sebagai sarana
pendidikan apoteker (apotek, rumah sakit, puskesmas, industri farmasi, dan/atau
distributor sediaan farmasi). Fasilitas kefarmasian milik pemerintah maupun swasta
dapat digunakan sebagai sarana pendidikan apoteker setelah memenuhi ketentuan
standar sarana dan prasarana dalam Standar Pendidikan Apoteker Indonesia.
13. Kerjasama
Institusi pendidikan apoteker dapat melakukan kerjasama dengan rumah sakit,
apotik, industri farmasi, laboratorium, dan lembaga lainnya, di dalam dan luar negeri,
untuk kepentingan pembelajaran, praktik kerja profesi (externship), penelitian,
maupun magang (internship). Untuk menjaga keberlanjutannya, kerja sama tersebut
harus dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama yang memuat (setidaknya)
maksud dan tujuan, ruang lingkup, hak dan kewajiban, serta wewenang dan
tanggungjawab masing-masing pihak. Perjanjian kerjasama yang dilakukan dengan
pihak luar harus memperhatikan ketentuan dan prinsip-prinsip lokal dan nasional.
14. Beasiswa
Untuk menjamin pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan apoteker
dapat diberikan beasiswa kepada calon atau mahasiswa farmasi. Beasiswa dapat
berupa beasiswa ikatan dinas, bantuan biaya pendidikan bersyarat atau bantuan
tanpa syarat. Beasiswa dapat bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah,
OPTIMASI PENDIDIKAN APOTEKER
OPTIMASI PENDIDIKAN APOTEKER
OPTIMASI PENDIDIKAN APOTEKER
OPTIMASI PENDIDIKAN APOTEKER
OPTIMASI PENDIDIKAN APOTEKER
OPTIMASI PENDIDIKAN APOTEKER
OPTIMASI PENDIDIKAN APOTEKER
OPTIMASI PENDIDIKAN APOTEKER

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

PENGANTAR SEDIAAN SEMI SOLID DAN LIQUID FARMASI.ppt
PENGANTAR SEDIAAN SEMI SOLID DAN LIQUID FARMASI.pptPENGANTAR SEDIAAN SEMI SOLID DAN LIQUID FARMASI.ppt
PENGANTAR SEDIAAN SEMI SOLID DAN LIQUID FARMASI.pptyoustiana rusita
 
Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Pelayanan Kefarmasian di ApotekPelayanan Kefarmasian di Apotek
Pelayanan Kefarmasian di ApotekSurya Amal
 
272444618 beyond-used-date
272444618 beyond-used-date272444618 beyond-used-date
272444618 beyond-used-dateismayani arifin
 
Sediaan semi solid
Sediaan semi solidSediaan semi solid
Sediaan semi solidDokter Tekno
 
Interaksi obat
Interaksi obat Interaksi obat
Interaksi obat Dedi Kun
 
Penentuan dosis-Dose Adjustment
Penentuan dosis-Dose AdjustmentPenentuan dosis-Dose Adjustment
Penentuan dosis-Dose AdjustmentTaofik Rusdiana
 
MANAJEMEN FARMASI RUMAH SAKIT
MANAJEMEN FARMASI RUMAH SAKITMANAJEMEN FARMASI RUMAH SAKIT
MANAJEMEN FARMASI RUMAH SAKITssusere6c40f
 
Dispensing sediaan steril01
Dispensing sediaan steril01Dispensing sediaan steril01
Dispensing sediaan steril01roywidhie
 
Spesialite dan Terminologi Kesehatan
Spesialite dan Terminologi KesehatanSpesialite dan Terminologi Kesehatan
Spesialite dan Terminologi KesehatanAbulkhair Abdullah
 
Bioavailabilitas dan Bioekivalensi
Bioavailabilitas dan BioekivalensiBioavailabilitas dan Bioekivalensi
Bioavailabilitas dan BioekivalensiSurya Amal
 
Farmasi klinik kasus
Farmasi klinik kasus Farmasi klinik kasus
Farmasi klinik kasus Omhe_ID
 
EKSPEKTORAN & MUKOLITIK
EKSPEKTORAN & MUKOLITIKEKSPEKTORAN & MUKOLITIK
EKSPEKTORAN & MUKOLITIKSapan Nada
 
Permenkes 3 2015 peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika
Permenkes 3 2015 peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotikaPermenkes 3 2015 peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika
Permenkes 3 2015 peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotikaUlfah Hanum
 
Pertemuan Ke 5 SWAMEDIKASI.ppt
Pertemuan Ke 5 SWAMEDIKASI.pptPertemuan Ke 5 SWAMEDIKASI.ppt
Pertemuan Ke 5 SWAMEDIKASI.pptErinFarlina
 
Materi pelatihan manajemen kefarmasian di puskesmas (jica)
Materi pelatihan manajemen kefarmasian di puskesmas (jica)Materi pelatihan manajemen kefarmasian di puskesmas (jica)
Materi pelatihan manajemen kefarmasian di puskesmas (jica)Ulfah Hanum
 

La actualidad más candente (20)

PENGANTAR SEDIAAN SEMI SOLID DAN LIQUID FARMASI.ppt
PENGANTAR SEDIAAN SEMI SOLID DAN LIQUID FARMASI.pptPENGANTAR SEDIAAN SEMI SOLID DAN LIQUID FARMASI.ppt
PENGANTAR SEDIAAN SEMI SOLID DAN LIQUID FARMASI.ppt
 
Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Pelayanan Kefarmasian di ApotekPelayanan Kefarmasian di Apotek
Pelayanan Kefarmasian di Apotek
 
272444618 beyond-used-date
272444618 beyond-used-date272444618 beyond-used-date
272444618 beyond-used-date
 
Sediaan semi solid
Sediaan semi solidSediaan semi solid
Sediaan semi solid
 
Interaksi obat
Interaksi obat Interaksi obat
Interaksi obat
 
Penentuan dosis-Dose Adjustment
Penentuan dosis-Dose AdjustmentPenentuan dosis-Dose Adjustment
Penentuan dosis-Dose Adjustment
 
Jenis jenis obat paten (1)
Jenis jenis obat paten (1)Jenis jenis obat paten (1)
Jenis jenis obat paten (1)
 
MANAJEMEN FARMASI RUMAH SAKIT
MANAJEMEN FARMASI RUMAH SAKITMANAJEMEN FARMASI RUMAH SAKIT
MANAJEMEN FARMASI RUMAH SAKIT
 
Dispensing sediaan steril01
Dispensing sediaan steril01Dispensing sediaan steril01
Dispensing sediaan steril01
 
Spesialite dan Terminologi Kesehatan
Spesialite dan Terminologi KesehatanSpesialite dan Terminologi Kesehatan
Spesialite dan Terminologi Kesehatan
 
Bioavailabilitas dan Bioekivalensi
Bioavailabilitas dan BioekivalensiBioavailabilitas dan Bioekivalensi
Bioavailabilitas dan Bioekivalensi
 
Pemberian Obat Pada Lansia
Pemberian Obat Pada LansiaPemberian Obat Pada Lansia
Pemberian Obat Pada Lansia
 
Interaksi obat
Interaksi obatInteraksi obat
Interaksi obat
 
farmasetika dasar
farmasetika dasarfarmasetika dasar
farmasetika dasar
 
Farmasi klinik kasus
Farmasi klinik kasus Farmasi klinik kasus
Farmasi klinik kasus
 
Obat saluran pencernaan
Obat saluran pencernaanObat saluran pencernaan
Obat saluran pencernaan
 
EKSPEKTORAN & MUKOLITIK
EKSPEKTORAN & MUKOLITIKEKSPEKTORAN & MUKOLITIK
EKSPEKTORAN & MUKOLITIK
 
Permenkes 3 2015 peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika
Permenkes 3 2015 peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotikaPermenkes 3 2015 peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika
Permenkes 3 2015 peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika
 
Pertemuan Ke 5 SWAMEDIKASI.ppt
Pertemuan Ke 5 SWAMEDIKASI.pptPertemuan Ke 5 SWAMEDIKASI.ppt
Pertemuan Ke 5 SWAMEDIKASI.ppt
 
Materi pelatihan manajemen kefarmasian di puskesmas (jica)
Materi pelatihan manajemen kefarmasian di puskesmas (jica)Materi pelatihan manajemen kefarmasian di puskesmas (jica)
Materi pelatihan manajemen kefarmasian di puskesmas (jica)
 

Destacado

Sk po 004 ttg po pedoman disiplin apoteker indonesia
Sk po 004 ttg po pedoman disiplin apoteker indonesiaSk po 004 ttg po pedoman disiplin apoteker indonesia
Sk po 004 ttg po pedoman disiplin apoteker indonesiaIskanikani
 
Permenkes 889 2011
Permenkes 889 2011Permenkes 889 2011
Permenkes 889 2011ADIJM
 
Soft skill bagi tenaga kesehatan
Soft skill bagi tenaga kesehatanSoft skill bagi tenaga kesehatan
Soft skill bagi tenaga kesehatanKhaisar Hasanah
 
MOU 5 Menteri Terkait Vokasi dan SMK 4 5919
MOU 5 Menteri Terkait Vokasi dan SMK 4 5919MOU 5 Menteri Terkait Vokasi dan SMK 4 5919
MOU 5 Menteri Terkait Vokasi dan SMK 4 5919The World Bank
 
PKS 5 Menteri terkait Vokasi dan SMK
PKS 5 Menteri terkait Vokasi dan SMKPKS 5 Menteri terkait Vokasi dan SMK
PKS 5 Menteri terkait Vokasi dan SMKThe World Bank
 
Buku sakti-ujian-profesi
Buku sakti-ujian-profesiBuku sakti-ujian-profesi
Buku sakti-ujian-profesiAbdul Mutholib
 
Etika, disiplin & hukum kesehatan dr. adji
Etika, disiplin & hukum kesehatan   dr. adjiEtika, disiplin & hukum kesehatan   dr. adji
Etika, disiplin & hukum kesehatan dr. adjiAnjang Kusuma Netra
 
Soft skills
Soft skills Soft skills
Soft skills parags06
 
Permenkes No. 889 Tahun 2011 Tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja ...
Permenkes No. 889 Tahun 2011 Tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja ...Permenkes No. 889 Tahun 2011 Tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja ...
Permenkes No. 889 Tahun 2011 Tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja ...Sainal Edi Kamal
 

Destacado (11)

Sk po 004 ttg po pedoman disiplin apoteker indonesia
Sk po 004 ttg po pedoman disiplin apoteker indonesiaSk po 004 ttg po pedoman disiplin apoteker indonesia
Sk po 004 ttg po pedoman disiplin apoteker indonesia
 
Permenkes 889 2011
Permenkes 889 2011Permenkes 889 2011
Permenkes 889 2011
 
Soft skill bagi tenaga kesehatan
Soft skill bagi tenaga kesehatanSoft skill bagi tenaga kesehatan
Soft skill bagi tenaga kesehatan
 
MOU 5 Menteri Terkait Vokasi dan SMK 4 5919
MOU 5 Menteri Terkait Vokasi dan SMK 4 5919MOU 5 Menteri Terkait Vokasi dan SMK 4 5919
MOU 5 Menteri Terkait Vokasi dan SMK 4 5919
 
PKS 5 Menteri terkait Vokasi dan SMK
PKS 5 Menteri terkait Vokasi dan SMKPKS 5 Menteri terkait Vokasi dan SMK
PKS 5 Menteri terkait Vokasi dan SMK
 
Soft skills perawat
Soft skills perawatSoft skills perawat
Soft skills perawat
 
Buku sakti-ujian-profesi
Buku sakti-ujian-profesiBuku sakti-ujian-profesi
Buku sakti-ujian-profesi
 
Etika, disiplin & hukum kesehatan dr. adji
Etika, disiplin & hukum kesehatan   dr. adjiEtika, disiplin & hukum kesehatan   dr. adji
Etika, disiplin & hukum kesehatan dr. adji
 
Soft skills
Soft skills Soft skills
Soft skills
 
Permenkes No. 889 Tahun 2011 Tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja ...
Permenkes No. 889 Tahun 2011 Tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja ...Permenkes No. 889 Tahun 2011 Tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja ...
Permenkes No. 889 Tahun 2011 Tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja ...
 
SK PP IAI NO.PO.003
SK PP IAI NO.PO.003SK PP IAI NO.PO.003
SK PP IAI NO.PO.003
 

Similar a OPTIMASI PENDIDIKAN APOTEKER

Laporan praktek kerja lapangan nisaaaaaa baruu
Laporan praktek kerja lapangan nisaaaaaa baruuLaporan praktek kerja lapangan nisaaaaaa baruu
Laporan praktek kerja lapangan nisaaaaaa baruuasril burhan
 
Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Rumah Sakit-FF-Full Text-2016
Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Rumah Sakit-FF-Full Text-2016Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Rumah Sakit-FF-Full Text-2016
Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Rumah Sakit-FF-Full Text-2016Sri Puji Astuti
 
MODUL%20PENGGUNAAN%20OBAT%20RASIONAL.pdf
MODUL%20PENGGUNAAN%20OBAT%20RASIONAL.pdfMODUL%20PENGGUNAAN%20OBAT%20RASIONAL.pdf
MODUL%20PENGGUNAAN%20OBAT%20RASIONAL.pdfmaulianaamirudin
 
'Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf'
'Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf''Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf'
'Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf'prima_44
 
MODUL FARMAKOLOGI.pdf
MODUL FARMAKOLOGI.pdfMODUL FARMAKOLOGI.pdf
MODUL FARMAKOLOGI.pdfssusereb093a
 
Buku panduan litabmas uho revisi 2020
Buku panduan litabmas uho revisi 2020Buku panduan litabmas uho revisi 2020
Buku panduan litabmas uho revisi 2020jufrikarim
 
Petunjuk teknis apotek berdasarkan SK menkes 10272004
Petunjuk teknis apotek berdasarkan SK menkes 10272004Petunjuk teknis apotek berdasarkan SK menkes 10272004
Petunjuk teknis apotek berdasarkan SK menkes 10272004Achmad Fauzi Al' Amrie
 
14.-Buku-Panduan-Departemen-Ilmu-Kedokteran-Forensik-dan-Medikolegal.pdf
14.-Buku-Panduan-Departemen-Ilmu-Kedokteran-Forensik-dan-Medikolegal.pdf14.-Buku-Panduan-Departemen-Ilmu-Kedokteran-Forensik-dan-Medikolegal.pdf
14.-Buku-Panduan-Departemen-Ilmu-Kedokteran-Forensik-dan-Medikolegal.pdfJocelinNathaniela1
 
Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Apotek-FF-Full Text-2016
Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Apotek-FF-Full Text-2016Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Apotek-FF-Full Text-2016
Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Apotek-FF-Full Text-2016Sri Puji Astuti
 
Laporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 genteng
Laporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 gentengLaporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 genteng
Laporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 gentengYota Hermansyah
 
Laporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 genteng
Laporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 gentengLaporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 genteng
Laporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 gentengYota Hermansyah
 
LAPORAN PKPA DI RSUD PASAR REBO JAKARTA TIMUR
LAPORAN PKPA DI RSUD PASAR REBO JAKARTA TIMURLAPORAN PKPA DI RSUD PASAR REBO JAKARTA TIMUR
LAPORAN PKPA DI RSUD PASAR REBO JAKARTA TIMURNur Fadillah
 
sosialisasi-RIF-Farmasi-2015.pptx
sosialisasi-RIF-Farmasi-2015.pptxsosialisasi-RIF-Farmasi-2015.pptx
sosialisasi-RIF-Farmasi-2015.pptxAlfiSyahrin68
 
03 program kerja program studi farmasi
03 program kerja program studi farmasi03 program kerja program studi farmasi
03 program kerja program studi farmasiEtik Kurniawati
 
buku pedoman pelaksanaan PKL di Prodi Farmasi
buku pedoman pelaksanaan PKL di Prodi Farmasibuku pedoman pelaksanaan PKL di Prodi Farmasi
buku pedoman pelaksanaan PKL di Prodi FarmasiAlorka 114114
 
Proposal buka jurusan_new
Proposal buka jurusan_newProposal buka jurusan_new
Proposal buka jurusan_newAndri Yanto
 
Laporan kegiatan praktek kerja industri
Laporan kegiatan praktek kerja industriLaporan kegiatan praktek kerja industri
Laporan kegiatan praktek kerja industriHamka Cadaz
 
juklak rekrutmen calon kepala sekolah madrasah
juklak rekrutmen calon kepala sekolah madrasahjuklak rekrutmen calon kepala sekolah madrasah
juklak rekrutmen calon kepala sekolah madrasahSuaidin -Dompu
 

Similar a OPTIMASI PENDIDIKAN APOTEKER (20)

Laporan praktek kerja lapangan nisaaaaaa baruu
Laporan praktek kerja lapangan nisaaaaaa baruuLaporan praktek kerja lapangan nisaaaaaa baruu
Laporan praktek kerja lapangan nisaaaaaa baruu
 
Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Rumah Sakit-FF-Full Text-2016
Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Rumah Sakit-FF-Full Text-2016Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Rumah Sakit-FF-Full Text-2016
Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Rumah Sakit-FF-Full Text-2016
 
MODUL%20PENGGUNAAN%20OBAT%20RASIONAL.pdf
MODUL%20PENGGUNAAN%20OBAT%20RASIONAL.pdfMODUL%20PENGGUNAAN%20OBAT%20RASIONAL.pdf
MODUL%20PENGGUNAAN%20OBAT%20RASIONAL.pdf
 
'Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf'
'Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf''Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf'
'Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf'
 
MODUL FARMAKOLOGI.pdf
MODUL FARMAKOLOGI.pdfMODUL FARMAKOLOGI.pdf
MODUL FARMAKOLOGI.pdf
 
Buku panduan litabmas uho revisi 2020
Buku panduan litabmas uho revisi 2020Buku panduan litabmas uho revisi 2020
Buku panduan litabmas uho revisi 2020
 
Pedoman rs pt
Pedoman rs ptPedoman rs pt
Pedoman rs pt
 
Petunjuk teknis apotek berdasarkan SK menkes 10272004
Petunjuk teknis apotek berdasarkan SK menkes 10272004Petunjuk teknis apotek berdasarkan SK menkes 10272004
Petunjuk teknis apotek berdasarkan SK menkes 10272004
 
14.-Buku-Panduan-Departemen-Ilmu-Kedokteran-Forensik-dan-Medikolegal.pdf
14.-Buku-Panduan-Departemen-Ilmu-Kedokteran-Forensik-dan-Medikolegal.pdf14.-Buku-Panduan-Departemen-Ilmu-Kedokteran-Forensik-dan-Medikolegal.pdf
14.-Buku-Panduan-Departemen-Ilmu-Kedokteran-Forensik-dan-Medikolegal.pdf
 
Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Apotek-FF-Full Text-2016
Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Apotek-FF-Full Text-2016Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Apotek-FF-Full Text-2016
Sri Puji Astuti-Laporan PKPA di Apotek-FF-Full Text-2016
 
Laporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 genteng
Laporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 gentengLaporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 genteng
Laporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 genteng
 
Laporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 genteng
Laporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 gentengLaporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 genteng
Laporan prakerin tkj smk 17 agustus 1945 genteng
 
LAPORAN PKPA DI RSUD PASAR REBO JAKARTA TIMUR
LAPORAN PKPA DI RSUD PASAR REBO JAKARTA TIMURLAPORAN PKPA DI RSUD PASAR REBO JAKARTA TIMUR
LAPORAN PKPA DI RSUD PASAR REBO JAKARTA TIMUR
 
cpfbCpfb praktik apoteker
cpfbCpfb praktik apotekercpfbCpfb praktik apoteker
cpfbCpfb praktik apoteker
 
sosialisasi-RIF-Farmasi-2015.pptx
sosialisasi-RIF-Farmasi-2015.pptxsosialisasi-RIF-Farmasi-2015.pptx
sosialisasi-RIF-Farmasi-2015.pptx
 
03 program kerja program studi farmasi
03 program kerja program studi farmasi03 program kerja program studi farmasi
03 program kerja program studi farmasi
 
buku pedoman pelaksanaan PKL di Prodi Farmasi
buku pedoman pelaksanaan PKL di Prodi Farmasibuku pedoman pelaksanaan PKL di Prodi Farmasi
buku pedoman pelaksanaan PKL di Prodi Farmasi
 
Proposal buka jurusan_new
Proposal buka jurusan_newProposal buka jurusan_new
Proposal buka jurusan_new
 
Laporan kegiatan praktek kerja industri
Laporan kegiatan praktek kerja industriLaporan kegiatan praktek kerja industri
Laporan kegiatan praktek kerja industri
 
juklak rekrutmen calon kepala sekolah madrasah
juklak rekrutmen calon kepala sekolah madrasahjuklak rekrutmen calon kepala sekolah madrasah
juklak rekrutmen calon kepala sekolah madrasah
 

Más de Surya Amal

Buku pneumonia covid 19 pdpi 2020
Buku pneumonia covid 19  pdpi 2020Buku pneumonia covid 19  pdpi 2020
Buku pneumonia covid 19 pdpi 2020Surya Amal
 
INTERPROFESSIONAL COLLABORATION IN PHARMACOEPIDEMIOLOGY STUDIES
INTERPROFESSIONAL COLLABORATION IN PHARMACOEPIDEMIOLOGY STUDIES  INTERPROFESSIONAL COLLABORATION IN PHARMACOEPIDEMIOLOGY STUDIES
INTERPROFESSIONAL COLLABORATION IN PHARMACOEPIDEMIOLOGY STUDIES Surya Amal
 
2015 05-27 ad-art aptfi 2015-konggres makassar 2015
2015 05-27 ad-art aptfi 2015-konggres makassar 20152015 05-27 ad-art aptfi 2015-konggres makassar 2015
2015 05-27 ad-art aptfi 2015-konggres makassar 2015Surya Amal
 
Novel Drug Delivery Systems
Novel Drug Delivery SystemsNovel Drug Delivery Systems
Novel Drug Delivery SystemsSurya Amal
 
Panduan Pengelolaan Dislipidemia
Panduan Pengelolaan DislipidemiaPanduan Pengelolaan Dislipidemia
Panduan Pengelolaan DislipidemiaSurya Amal
 
PENGANTAR FARMAKOKINETIK
PENGANTAR FARMAKOKINETIKPENGANTAR FARMAKOKINETIK
PENGANTAR FARMAKOKINETIKSurya Amal
 
GUIDELINES FOR THE MANAGEMENT OF TUBERCULOSIS IN CHILDREN
GUIDELINES FOR THE MANAGEMENT OF TUBERCULOSIS IN CHILDREN GUIDELINES FOR THE MANAGEMENT OF TUBERCULOSIS IN CHILDREN
GUIDELINES FOR THE MANAGEMENT OF TUBERCULOSIS IN CHILDREN Surya Amal
 
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAKPETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAKSurya Amal
 
Guidelines for Malaria Prevention in Travellers from the UK 2015
Guidelines for Malaria Prevention in Travellers from the UK 2015Guidelines for Malaria Prevention in Travellers from the UK 2015
Guidelines for Malaria Prevention in Travellers from the UK 2015Surya Amal
 
ANTIMICROBIAL DRUGS (Part 2)
ANTIMICROBIAL DRUGS (Part 2) ANTIMICROBIAL DRUGS (Part 2)
ANTIMICROBIAL DRUGS (Part 2) Surya Amal
 
ANTIMICROBIAL DRUGS (part I)
ANTIMICROBIAL DRUGS (part I)ANTIMICROBIAL DRUGS (part I)
ANTIMICROBIAL DRUGS (part I)Surya Amal
 
WORLD DRUG REPORT 2015
WORLD DRUG REPORT 2015 WORLD DRUG REPORT 2015
WORLD DRUG REPORT 2015 Surya Amal
 
Enteral Feeding Tubes for Drug Administration
Enteral Feeding Tubes for Drug AdministrationEnteral Feeding Tubes for Drug Administration
Enteral Feeding Tubes for Drug AdministrationSurya Amal
 
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI PARU : AEROSOL
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN  MELALUI PARU :  AEROSOLBIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN  MELALUI PARU :  AEROSOL
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI PARU : AEROSOLSurya Amal
 
Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015
Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015
Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015Surya Amal
 
CHRONIC HEPATITIS B INFECTION GUIDELINES
CHRONIC HEPATITIS B INFECTION GUIDELINESCHRONIC HEPATITIS B INFECTION GUIDELINES
CHRONIC HEPATITIS B INFECTION GUIDELINESSurya Amal
 
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI KULIT
BIOFARMASI SEDIAAN YANG  DIBERIKAN MELALUI KULITBIOFARMASI SEDIAAN YANG  DIBERIKAN MELALUI KULIT
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI KULITSurya Amal
 
A Pocket Guide to Common Arrhythmias
A Pocket Guide to Common ArrhythmiasA Pocket Guide to Common Arrhythmias
A Pocket Guide to Common ArrhythmiasSurya Amal
 
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi AntiretroviralTatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi AntiretroviralSurya Amal
 
PENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBAT
PENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBATPENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBAT
PENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBATSurya Amal
 

Más de Surya Amal (20)

Buku pneumonia covid 19 pdpi 2020
Buku pneumonia covid 19  pdpi 2020Buku pneumonia covid 19  pdpi 2020
Buku pneumonia covid 19 pdpi 2020
 
INTERPROFESSIONAL COLLABORATION IN PHARMACOEPIDEMIOLOGY STUDIES
INTERPROFESSIONAL COLLABORATION IN PHARMACOEPIDEMIOLOGY STUDIES  INTERPROFESSIONAL COLLABORATION IN PHARMACOEPIDEMIOLOGY STUDIES
INTERPROFESSIONAL COLLABORATION IN PHARMACOEPIDEMIOLOGY STUDIES
 
2015 05-27 ad-art aptfi 2015-konggres makassar 2015
2015 05-27 ad-art aptfi 2015-konggres makassar 20152015 05-27 ad-art aptfi 2015-konggres makassar 2015
2015 05-27 ad-art aptfi 2015-konggres makassar 2015
 
Novel Drug Delivery Systems
Novel Drug Delivery SystemsNovel Drug Delivery Systems
Novel Drug Delivery Systems
 
Panduan Pengelolaan Dislipidemia
Panduan Pengelolaan DislipidemiaPanduan Pengelolaan Dislipidemia
Panduan Pengelolaan Dislipidemia
 
PENGANTAR FARMAKOKINETIK
PENGANTAR FARMAKOKINETIKPENGANTAR FARMAKOKINETIK
PENGANTAR FARMAKOKINETIK
 
GUIDELINES FOR THE MANAGEMENT OF TUBERCULOSIS IN CHILDREN
GUIDELINES FOR THE MANAGEMENT OF TUBERCULOSIS IN CHILDREN GUIDELINES FOR THE MANAGEMENT OF TUBERCULOSIS IN CHILDREN
GUIDELINES FOR THE MANAGEMENT OF TUBERCULOSIS IN CHILDREN
 
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAKPETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
 
Guidelines for Malaria Prevention in Travellers from the UK 2015
Guidelines for Malaria Prevention in Travellers from the UK 2015Guidelines for Malaria Prevention in Travellers from the UK 2015
Guidelines for Malaria Prevention in Travellers from the UK 2015
 
ANTIMICROBIAL DRUGS (Part 2)
ANTIMICROBIAL DRUGS (Part 2) ANTIMICROBIAL DRUGS (Part 2)
ANTIMICROBIAL DRUGS (Part 2)
 
ANTIMICROBIAL DRUGS (part I)
ANTIMICROBIAL DRUGS (part I)ANTIMICROBIAL DRUGS (part I)
ANTIMICROBIAL DRUGS (part I)
 
WORLD DRUG REPORT 2015
WORLD DRUG REPORT 2015 WORLD DRUG REPORT 2015
WORLD DRUG REPORT 2015
 
Enteral Feeding Tubes for Drug Administration
Enteral Feeding Tubes for Drug AdministrationEnteral Feeding Tubes for Drug Administration
Enteral Feeding Tubes for Drug Administration
 
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI PARU : AEROSOL
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN  MELALUI PARU :  AEROSOLBIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN  MELALUI PARU :  AEROSOL
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI PARU : AEROSOL
 
Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015
Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015
Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015
 
CHRONIC HEPATITIS B INFECTION GUIDELINES
CHRONIC HEPATITIS B INFECTION GUIDELINESCHRONIC HEPATITIS B INFECTION GUIDELINES
CHRONIC HEPATITIS B INFECTION GUIDELINES
 
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI KULIT
BIOFARMASI SEDIAAN YANG  DIBERIKAN MELALUI KULITBIOFARMASI SEDIAAN YANG  DIBERIKAN MELALUI KULIT
BIOFARMASI SEDIAAN YANG DIBERIKAN MELALUI KULIT
 
A Pocket Guide to Common Arrhythmias
A Pocket Guide to Common ArrhythmiasA Pocket Guide to Common Arrhythmias
A Pocket Guide to Common Arrhythmias
 
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi AntiretroviralTatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
 
PENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBAT
PENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBATPENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBAT
PENGGOLONGAN DAN BENTUK SEDIAAN OBAT
 

Último

PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDNurainiNuraini25
 
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfContoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfCandraMegawati
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatanssuser963292
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxdpp11tya
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITASMATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITASbilqisizzati
 
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdfMAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdfChananMfd
 
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxvIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxsyahrulutama16
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...Kanaidi ken
 
PPT Penjumlahan Bersusun Kelas 1 Sekolah Dasar
PPT Penjumlahan Bersusun Kelas 1 Sekolah DasarPPT Penjumlahan Bersusun Kelas 1 Sekolah Dasar
PPT Penjumlahan Bersusun Kelas 1 Sekolah Dasarrenihartanti
 
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxSlasiWidasmara1
 
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...Kanaidi ken
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxIrfanAudah1
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfNurulHikmah50658
 
aksi nyata sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
aksi nyata sosialisasi  Profil Pelajar Pancasila.pdfaksi nyata sosialisasi  Profil Pelajar Pancasila.pdf
aksi nyata sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdfsdn3jatiblora
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTIndraAdm
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxssuser50800a
 

Último (20)

PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
 
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfContoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITASMATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
 
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdfMAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
 
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxvIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
 
PPT Penjumlahan Bersusun Kelas 1 Sekolah Dasar
PPT Penjumlahan Bersusun Kelas 1 Sekolah DasarPPT Penjumlahan Bersusun Kelas 1 Sekolah Dasar
PPT Penjumlahan Bersusun Kelas 1 Sekolah Dasar
 
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
 
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
 
aksi nyata sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
aksi nyata sosialisasi  Profil Pelajar Pancasila.pdfaksi nyata sosialisasi  Profil Pelajar Pancasila.pdf
aksi nyata sosialisasi Profil Pelajar Pancasila.pdf
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
 

OPTIMASI PENDIDIKAN APOTEKER

  • 1.
  • 3. DAFTAR ISI Hal BAB I Pendahuluan ……………………………………………………………………….. 1 1.1. Latar Belakang ……………………………………………………………….. 1 1.2. Identifikasi Masalah ………………………………………………………….. 3 1.3. Tujuan dan Kegunaan ………………………………………………………. 4 1.3.1. Tujuan ………………………………………………………………… 4 1.3.2. Kegunaan …………………………………………………………….. 5 1.4. Metode / Pendekatan ……………………………………………………….. 5 BAB II Landasan Pemikiran ………………………………………………………………. 7 2.1. Landasan Historis ……………………………………………………………. 7 2.1.1. Sejarah Obat & Pengobatan ………………………………………... 7 2.1.2. Perkembangan Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia ………... 8 2.2. Landasan Filosofis …………………………………………………………… 10 2.3. Landasan Sosiologis ………………………………………………………… 12 2.4. Landasan Yuridis ……………………………………………………………. 13 BAB III Tinjauan Pustaka ………………………………………………………………….. 15 3.1. Praktik Kefarmasian ………………………………………………………… 15 3.1.1. Praktik Kefarmasian Global ………………………………………… 15 3.1.2. Praktik Kefarmasian Di Indonesia …………………………………. 16 3.2. Tenaga Kefarmasian Di Indonesia ………………………………………… 18 3.2.1. Peran Tenaga Kefarmasian Dalam Sistem Kesehatan Nasional ………………………………………………………………. 18 3.2.2. Apoteker ………………………………………………………………. 19 3.2.3. Tenaga Teknis Kefarmasian ……………………………………….. 21 3.2.4. Harmonisasi & Mutual Recognition ………………………………… 21 3.3. Pendidikan Farmasi …………………………………………………………. 23 3.3.1. Jenis dan Jenjang Pendidikan Tinggi Farmasi …………………… 23 3.3.2. Pendidikan Akademis (S-1, S-2, dan S-3) ………………………… 24 3.3.3. Pendidikan Profesi (Apoteker dan Apoteker Spesialis) ………….. 24 3.3.4. Pendidikan Vokasi (D-3) ……………………………………………. 26 3.4. Penjaminan Mutu dan Akreditasi ………………………………………….. 26 3.4.1. Standar Pendidikan Apoteker ………………………………………. 27 3.4.2. Sistem Akreditasi …………………………………………………….. 28 BAB IV Pemikiran Konseptual Perubahan Pendidikan Apoteker Indonesia ………….. 29 4.1. Apoteker Sebagai Tenaga Kesehatan …………………………………….. 29 4.1.1. Keahlian dan Kewenangan Apoteker ……………………………… 29 4.1.2. Fungsi dan Peran Apoteker ………………………………………… 30 4.2. Konsep Pendidikan Apoteker ………………………………………………. 31 4.2.1. Kerangka Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia ………………. 31 4.2.2. Kompetensi Apoteker ………………………………………………... 32 4.2.3. Standar Dan Pedoman Pendidikan Apoteker …………………….. 33 4.2.4. Strategi Dan Proses Pendidikan Apoteker ………………………... 33
  • 4. 4.2.5. Penjaminan Mutu Pendidikan Apoteker …………………………… 36 4.3. Manajemen Perubahan Pendidikan Apoteker ……………………………. 38 BAB V Ruang Lingkup Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia ………………………………………………….. 38 5.1. Konsiderans ………………………………………………………………….. 38 5.2. Dasar Hukum ………………………………………………………………… 39 5.3. Ketentuan Umum ……………………………………………………………. 39 5.4. Azas dan Tujuan ……………………………………………………………... 42 5.5. Materi Muatan Perundang-undangan ……………………………………… 43 BAB VI Kesimpulan dan Saran ……………………………………………………………. 53 6.1. Kesimpulan …………………………………………………………………… 53 6.2. Saran ………………………………………………………………………….. 54 Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………….. 55 Tim Penyusun ……………………………………………………………………………….. 58
  • 5. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, serta kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat. Untuk mewujudkannya diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat (Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan). Upaya kesehatan merupakan kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Mengingat pembangunan kesehatan merupakan investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis, upaya pelayanan kesehatan perlu terus ditingkatkan mutunya. Untuk itu dibutuhkan tenaga kesehatan, termasuk diantaranya apoteker yang mampu melaksanakan pelayanan kefarmasian secara professional serta mampu menjawab perkembangan kebutuhan masyarakat. Apoteker sebagai tenaga profesi kesehatan mempunyai peran strategis dalam pelayanan kesehatan yaitu “menjamin ketersediaan obat yang bermutu, menjamin efektivitas pengelolaannya, serta menjamin keamanan dan kemanjuran obat melalui pelayanan kefarmasian yang berfokus kepada pasien (pharmaceutical care)”. Pharmaceutical care umum didefinisikan sebagai “the responsible provision of drug therapy for the purpose of achieving definite outcomes that improve or maintain a patient’s quality of life”1,2,3 .. Untuk menghasilkan apoteker yang bermutu dibutuhkan proses pendidikan
  • 6. 2 yang memenuhi standar pendidikan, namun sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, standar pendidikan apoteker belum disusun dan ditetapkan. Standar pendidikan apoteker diperlukan agar semua institusi pendidikan tinggi farmasi dapat menyelenggarakan pendidikan apoteker yang terstandar sehingga mutu lulusannya dapat dijamin. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia, standar pendidikan apoteker harus memperoleh pengakuan dari semua sektor terkait dan dapat diimplementasikan secara nasional berdasar peraturan perundangan yang berlaku. Dengan adanya standar pendidikan apoteker tersebut diharapkan semua apoteker yang menjalankan praktik profesinya di Indonesia memiliki mutu yang sama sehingga mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat Indonesia serta mampu bersaing di lingkungan Asia Pasifik dan bahkan dunia Internasional. Kompetensi dalam bentuk ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku yang diperoleh selama pendidikan akan menjadi landasan dan modal utama bagi apoteker untuk melakukan praktik kefarmasian secara profesional dan etis. Sampai saat ini praktik kefarmasian di Indonesia belum berjalan optimal. Peran apoteker pada umumnya baru sebatas mengelola obat, akibatnya keberadaan dan kemanfaatan profesi apoteker belum dirasakan oleh masyarakat. Sinergi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam sistem pelayanan kesehatan sebagai penerapan konsep pharmaceutical care belum dapat berkembang antara lain disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan dan kemampuan apoteker dalam penatalaksaaan terapi obat, identifikasi dan solusi masalah-masalah terkait obat (DRP’s), maupun teknik komunikasi. Berbagai hal tersebut menyebabkan praktik kefarmasian belum optimal dan apoteker kehilangan identitas serta rasa percaya diri dalam menjalankan praktik kefarmasian sebagai bagian dari pelayanan kesehatan. Jumlah apoteker di Indonesia saat ini mencapai sekitar 45.000 dengan tingkat pertumbuhan sekitar 10% per tahun. Mengingat pentingnya peran apoteker dalam layanan kesehatan, sudah selayaknya pendidikan profesi apoteker memperoleh perhatian lebih agar kualitas pelayanan kefarmasian bagi masyarakat dapat dijamin. Data Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) menunjukkan saat ini terdapat 76 pendidikan tinggi farmasi (PTF), 26 diantaranya menyelenggarakan
  • 7. 3 pendidikan apoteker. Permasalahan utama yang dihadapi pendidikan tinggi farmasi di Indonesia saat ini meliputi: (a) kesenjangan kualitas antar PTF, (b) orientasi kurikulum belum sesuai dengan perkembangan praktik kefarmasian, (c) minimnya modal pendidikan/investasi dan biaya per-unit (unit cost) serta ketersediaan sarana dan prasarana termasuk tempat praktik kerja profesi, (d) belum tersedianya model uji kompetensi untuk standarisasi lulusan, dan (e) kurangnya perhatian pemerintah pada pengembangan pendidikan farmasi (termasuk pendidikan apoteker) maupun pada implementasi praktik kefarmasian. Kondisi ini berpengaruh pada kelayakan PTF dalam menyelenggarakan pendidikan farmasi, termasuk pendidikan apoteker yang berdampak langsung pada kompetensi apoteker. Pendidikan apoteker perlu dibenahi agar lulusan yang dihasilkan mampu menjawab tuntutan perkembangan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kefarmasian. Upaya pembenahan pendidikan apoteker tidak bisa dilakukan sendiri oleh institusi penyelenggara pendidikan farmasi. Dibutuhkan sinergi antara PTF melalui APTFI dengan pemerintah, organisasi profesi (a.l. Ikatan Apoteker Indonesia), para pengguna lulusan (rumah sakit, industri, apotik dll), serta stakeholders terkait lainnya untuk merumuskan berbagai langkah strategis dalam penataan sistem pendidikan farmasi di Indonesia. Penyelenggara pendidikan apoteker dan segenap pemangku kepentingan profesi apoteker harus berjuang sekaligus memikul tanggungjawab bersama untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensi profesi apoteker agar keberadaannya bermanfaat bagi masyarakat. Kepercayaan masyarakat sebagai atribut yang sangat bernilai bagi profesi apoteker harus terus diperjuangkan melalui peningkatan mutu pendidikan apoteker dan peningkatan peran apoteker agar pembangunan bidang kesehatan sebagai salah satu bagian dari tujuan nasional yang dicita-citakan dapat diwujudkan. 1.2 IDENTIFIKASI MASALAH Berbagai permasalahan dalam pendidikan apoteker di Indonesia yang dijumpai hingga saat ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Kualitas penyelenggaraan pendidikan apoteker sangat bervariasi dan terjadi kesenjangan kompetensi lulusan.
  • 8. 4 2. Fleksibiltas kurikulum dan proses pembelajaran pendidikan apoteker belum dirancang dan dikembangkan secara konseptual dan strategis untuk menjawab dengan cepat perkembangan kebutuhan masyarakat. 3. Perubahan mendasar dalam pendidikan apoteker perlu dirumuskan secara terstruktur, termasuk perubahan orientasi kebijakan dan penetapan deskripsi kualifikasi lulusan mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). 4. Konsep, strategi dan mekanisme yang mengatur peran pemerintah, organisasi profesi, masyarakat dan stakeholders lainnya dalam pengembangan pendidikan apoteker belum dirumuskan secara jelas dan terstruktur, khususnya dalam penyediaan fasilitas praktik kerja profesi. Mengingat banyaknya masalah krusial dalam pendidikan apoteker yang harus dipecahkan, perlu disusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan tentang Pendidikan Apoteker Indonesia yang diharapkan: 1. Mampu mengatasi berbagai permasalahan yang terkait dengan proses belajar-mengajar, ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan termasuk peralatan laboratorium dan tempat praktik, tenaga kependidikan, maupun masalah pendanaan dalam penyelenggaraan pendidikan apoteker. 2. Memberi kepastian hukum, disamping Undang Undang yang sudah ada yaitu Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Praktek Kefarmasian, sementara peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur Pendidikan Apoteker di Indonesia belum ada. 3. Memberikan acuan yang sama bagi penyelenggara pendidikan apoteker di Indonesia. 1.3 TUJUAN DAN KEGUNAAN 1.3.1Tujuan Naskah akademik tentang Pendidikan Apoteker Indonesia ini disusun dengan tujuan untuk menelaah dan merumuskan:
  • 9. 5 1. Kesesuaian antara penyelenggaraan pendidikan apoteker dalam menghasilkan apoteker sebagai tenaga kesehatan dengan ketentuan perundang-undangan. 2. Validitas mutu lulusan pendidikan apoteker Indonesia 3. Harmonisasi antara standar pendidikan apoteker, standar profesi, standar kefarmasian, sistem uji kompetensi dan akreditasi pendidikan apoteker. 4. Komitmen dalam pelaksanaan perubahan arah pendidikan apoteker Indonesia. 5. Kontribusi stakeholders dalam pengembangan pendidikan apoteker melalui peran-serta dalam penyediaan tenaga praktisi pendidik maupun dalam proses pembelajaran praktik. 6. Pokok-pokok pikiran untuk digunakan sebagai dasar bagi pepnyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia. 1.3.2 Kegunaan Penulisan naskah akademik ini diharapkan dapat: 1. Memberikan pemahaman bagi segenap pihak terkait (stakeholders), khususnya pemerintah tentang pendidikan apoteker; 2. Digunakan sebagai bahan dan landasan dalam menyusun pola pengembangan pendidikan apoteker di Indonesia. 3. Memberikan kerangka hukum (legal framework) bagi perumusan ketentuan atau pasal-pasal dalam Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia. 1.4 METODE PENDEKATAN Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik ini adalah metode deskriptif-analitis dengan langkah-langkah sebagai berikut:
  • 10. 6 1. Studi kepustakaan berupa kajian dan review terhadap berbagai data & informasi yang dimuat dalam buku, majalah, surat kabar, website, peraturan perundang- undangan, dokumen negara, publikasi hasil penelitian, berita di media terkait dengan penyelenggaraan pendidikan apoteker dan praktik kefarmasian; 2. Fact finding untuk memperoleh fakta dan/atau data terkait pendidikan farmasi dan pendidikan apoteker; 3. Konsultasi pakar/publik melalui diskusi, seminar dan/atau lokakarya dengan melibatkan stakeholders dari berbagai latar belakang. Pendapat, pikiran, dan persepsi para praktisi dan akademisi digali melalui proses brainstrorming dan review hasil studi pustaka untuk mendapat gambaran aktual permasalahan pendidikan apoteker Indonesia; 4. Analisis data/informasi yang diperoleh dari studi kepustakaan maupun konsultasi pakar/ publik dilakukan menggunakan metode deskriptif-analitis, disajikan dalam bentuk narasi.
  • 11. 7 BAB II LANDASAN PEMIKIRAN 2.1 LANDASAN HISTORIS 2.1.1Sejarah Obat dan Pengobatan Sejak awal peradabannya, manusia dengan akal dan nalurinya telah berupaya untuk mempertahankan kehidupannya dengan memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya untuk “mengobati” dirinya. Budaya mengobati inilah yang dikemudian hari berkembang menjadi “ilmu Farmasi”. Pengobatan berangsur-angsur berkembang di berbagai belahan dunia mulai dari Persia kuno, Mesir kuno, Yunani kuno, Cina, India dan sekitarnya, dan selanjutnya berkembang ke Eropa dan lain-lain. Obat pada awal peradaban manusia umumnya berupa tanaman, hewan, serta mineral yang ada di sekitarnya. Berbagai catatan tentang tanaman obat di Yunani kuno yang dibuat oleh Theophrastus (dikenal sebagai bapak ilmu Botani), dikembangkan menjadi buku Materia Medica oleh Dioscorides, dan selanjutnya berkembang menjadi cabang ilmu farmasi yang pertama yaitu “Farmakognosi” (obat tradisional)4 . Bentuk sediaan obat pada masa itu dibuat menggunakan teknologi sederhana untuk merubah bahan obat (tanaman, hewan, mineral) menjadi sediaan (ramuan) obat. Teknologi inilah yang menjadi awal mula dari ilmu “Farmasetika” (dosage-form design). Pada masa itu, para pengobat atau “dukun ahli obat” memiliki kemampuan untuk menyediaan obat maupun keahlian dalam memandu penggunaan obat1 . Kemampuan dan keahlian inilah yang menjadi awal dari “Profesi Farmasi” yang pada masa kini telah berkembang menjadi “Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care)” disertai perkembangan bidang keilmuannya melalui “Ilmu Farmakoterapi” dan “Ilmu Farmasi klinis”. Pengetahuan dan keilmuan yang dimiliki oleh para “pengobat” diwariskan secara turun menurun kepada para “muridnya”. Mereka mengajarkan ilmu beserta pengalamannya kepada murid-muridnya. Inilah proses pendidikan pedagogik-andragogik yang berfokus pada “pengalaman empiris” dan “pembelajaran praktis (experiential learning)” di bawah bimbingan langsung dari praktisi sebagai guru. Selanjutnya para murid akan menggantikan gurunya atau pindah ketempat lain yang memerlukan “keahliannya” sehingga terjadi penyebaran ilmu kefarmasian.
  • 12. 8 Hipocrates (460-357 SM) merupakan tokoh dalam bidang pengobatan yang mulai mengembangkan pendekatan rasional terhadap penyakit. Konsep inilah yang menjadi dasar pengembangan ilmu kedokteran modern. Tonggak pemisahan bidang farmasi dan kedokteran diawalai oleh Kaisar Frederik II melalui kodifikasi pemisahan praktik farmasi dari praktik kedokteran pada tahun 1240. Ilmu farmasi mencapai puncak kejayaannya pada abad pertengahan ditandai dengan berbagai penemuan para ahli bidang obat dan pengobatan. Sejalan dengan itu, profesi farmasi juga berkembang dengan diterbitkannya Farmakope diikuti berbagai peraturan/ketentuan kefarmasian lainnya serta berdirinya organisasi profesi di berbagai negara4 . 2.1.2Perkembangan Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia Pendidikan tinggi farmasi di Indonesia diawali dengan berdirinya Perguruan Tinggi Ahli Obat (PTAO) pada tanggal 27 September 1946 di Klaten Jawa Tengah, yang selanjutnya bergabung dalam Universitas Gajah Mada menjadi Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, dan Fakultas Farmasi. Setahun kemudian (1947) di Bandung diresmikan Bagian Farmasi FIPIA UI yang kemudian berubah menjadi Jurusan Farmasi FMIPA ITB, diikuti dengan berdirinya pendidikan farmasi di berbagai perguruan tinggi pada periode 1960-1970 yaitu di Universitas Pajajaran, Universitas Airlangga, Universitas Hasanudin, Universitas Katolik Widya Mandala, Universitas Andalas, Universitas Indonesia, Universitas Pancasila, Universitas Surabaya dan Universitas Sumatera Utara. Pada umumnya Pendidikan Apoteker di Indonesia berupa program studi/ jurusan di Fakultas MIPA atau berdiri sendiri sebagai Fakultas Farmasi, berada pada perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta. Beragamnya kondisi Pendidikan Apoteker saat itu memunculkan gagasan untuk membentuk asosiasi yang akhirnya terwujud pada tahun 2000 dengan terbentuknya Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI). APTFI telah membangun berbagai kesepakatan diantaranya tentang kurikulum nasional program studi sarjana maupun kurikulum nasional pendidikan apoteker, namun sampai saat ini kualitas Pendidikan Apoteker masih sangat bervariasi terutama dalam hal kualifikasi SDM serta ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran termasuk fasilitas laboratorium dan tempat praktik kerja. Hal ini berpengaruh pada kelayakan penyelenggaraan
  • 13. 9 pendidikan dan berdampak langsung pada kompetensi lulusan. Permasalahan yang ada menjadi semakin parah dengan bermunculannya baru dengan modal dan sumber daya minim serta kurang memperhatikan mutu lulusan. Pada periode awal orientasi pendidikan farmasi lebih berfokus pada produk (product oriented). Maraknya era industri farmasi pada masa itu menjadi penyebab pendidikan dan praktik farmasi Indonesia lebih berfokus pada keahlian membuat dan menyiapkan sediaan farmasi yang berkualitas, aman dan efektif, namun nyaris belum menyentuh sisi lain terkait tanggungjawab penjaminan penggunaan obat secara rasional. Titik balik mulai terjadi pada era 1990 dengan munculnya kesadaran pada pentingnya kehadiran profesi farmasi pada tahap pemilihan obat dan penggunaan obat oleh pasien. Arah perkembangan praktik kefarmasian di Indonesia sudah mulai mengikuti perkembangan kefarmasian dunia, yaitu berfokus pada manusia sebagai pengguna obat (patient oriented). Peran apoteker mulai berkembang dari penyedia obat sebagai komoditi menuju pelayanan kefarmasian yang komprehensif (patient care) untuk menjamin terapi obat yang diberikan rasional dan optimal. Pendekatan yang dikenal sebagai “pharmaceutical care” ini mulai diterapkan pada tahun 2004 dalam Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik dan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Merespon kebutuhan masyarakat dan dunia kerja, beberapa penyelenggara Pendidikan Apoteker telah mengembangkan kelompok minat “Farmasi Komunitas dan Klinik”, minat “Sain dan Teknologi Farmasi” atau “Sain dan Industri”, serta minat “Bahan Alam”. Program peminatan umumnya dikembangkan pada jenjang pendidikan S-1 (sarjana farmasi). Beberapa perguruan tinggi farmasi telah menyelenggarakan program S-2, program S-3, dan program spesialis, namun nomenklaturnya belum tertata dengan baik. Sebagai contoh penyelenggaraan pendidikan farmasi klinik bisa kita temukan pada jalur akademik (S-2) namun ada pula yang berada pada jalur profesi (spesialis), pendidikan profesi (apoteker) ada yang digabungkan dengan pendidikan akademik (S-2), dan ada juga program Magister Manajemen Farmasi yang berada di S-2 Ilmu Farmasi yang seharusnya menginduk ke Ilmu Manajemen (sesuai Lampiran Keputusan Dir. Jen. DIKTI No. 163
  • 14. 10 Tahun 2007). Pada jalur vokasi pendidikan farmasi umumnya diselenggarakan pada jenjang D-3 dengan bidang peminatan Farmasi dan Analis Farmasi & Makanan. Saat ini juga masih kita jumpai pendidikan farmasi pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan. Mengingat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kefarmasian maupun kebutuhan pelayanan kefarmasian yang profesional, keberadaan pendidikan farmasi pada jenjang SMK perlu dipikirkan kembali. Disamping itu juga perlu dirumuskan penataan ulang kesesuaian antara level pengakuan dan kewenangan dengan kualifikasi dan kompetensi lulusan pada masing-masing jenjang pendidikan farmasi. 2.2 LANDASAN FILOSOFIS Filosofi belajar dalam pendidikan farmasi pada dasarnya mengacu kepada empat pilar pembelajaran (The Four Pillars of Learning - UNESCO)5,6 yaitu: (1) Pilar pertama “Learning to know” mengacu pada kemampuan pembelajar untuk memahami alam, manusia dan lingkungannya, kehidupannya, serta merasakan “senangnya” mengetahui, menemukan & memahami suatu proses (knowledge, cognitive). Pada dasarnya pilar ini meletakkan dasar belajar sepanjang hayat. (2) Pilar kedua “Learning to do” mengacu pada ketrampilan untuk mengaplikasikan pengetahuan dalam praktik/ dalam kehidupan sehari-hari, belajar memecahkan masalah dalam berbagai situasi, serta belajar berkerjasama dalam tim, mengambil inisiatif, dan mengambil resiko (practice, psychomotoric, attitudes). Pada perkembangannya “learning to do” bergeser dari ketrampilan (skill) menuju kompeten (competence) diantaranya kemampuan komunikasi efektif, kecakapan bekerja dalam tim, ketrampilan sosial dalam membangun relasi interpersonal, kemampuan beradaptasi, kreatifitas dan inovasi, maupun kesiapan untuk mengambil resiko dan mengelola konflik. (3) Pilar ketiga “Learning to life together” mengacu pada kemampuan memahami diri sendiri dan orang lain, mengembangkan empati, respek dan apresiasi pada orang lain dalam berkehidupan bersama, menghargai perbedaan nilai dan budaya, kesediaan untuk menyelesaikan konflik melalui dialog, dan kemampuan untuk bekerjasama (team work, collaboration, growing interdependence).
  • 15. 11 (4) Pilar keempat “Learning to be” mengacu pada pengembangan kepribadian individu secara utuh melalui penguasaan pengetahuan, ketrampilan, dan nilai- nilai (values) yang kondusif bagi pengembangan kepribadian, dalam dimensi intelektual, moral, kultural, dan fisik (experience, affective, attitude, behavior). Keempat pilar pembelajaran ini saling mendukung satu sama lain dan diaplikasikan sebagai prinsip dasar pembelajaran serta diintegrasikan ke dalam setiap bidang pembelajaran. Pada tahun 2009 UNESCO melengkapinya menjadi “Five pillars of learning” dengan pilar kelima “learning to transform oneself and society” mengacu pada pengembangan kepribadian dan kepedulian pada lingkungan dan masyarakat melalui penguasaan pengetahuan, nilai-nilai (values), dan ketrampilan untuk mentransformasi kebiasaan, perilaku dan gaya hidup yang berorientasi pada pengembangan berkelanjutan7 . Perkembangan praktik kefarmasian dari “product oriented” ke “patient oriented” menuntut kesiapan apoteker untuk mampu melaksanakan pelayanan kefarmasian secara komprehensif (pharmaceutical care) dan juga mampu menjamin ketersediaan sediaan farmasi yang bermutu tinggi. Filosofi pharmaceutical care: “the responsible provision of pharmacotherapy for the purpose of achieving definite outcomes that improve or maintain a patient’s quality of life”1,2,3 harus digunakan sebagai dasar pengembangan konsep pembelajaran pada pendidikan apoteker. Sebagai respon terhadap perkembangan di tingkat nasional dan global, Pendidikan Apoteker Indonesia juga harus memfasilitasi pengembangan kompetensi peserta didik dan lulusannya dalam arti luas mencakup pengetahuan, sikap, kecakapan/ketrampilan, dan perilaku untuk menjalankan peran dan tanggung jawabnya dalam praktik kefarmasian yang berfokus pada pasien (pharmaceutical care) maupun yang berfokus pada populasi (pharmaceutical public health). Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kefarmasian menuntut apoteker untuk mampu mengukur kemampuan diri dan terus berupaya meningkatkan kemampuan profesinya dengan cara mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, dan/atau pengalamannya melalui pelatihan/ pendidikan berkelanjutan (CPD) sebagai wujud filosofi life-long learner8 .
  • 16. 12 2.3 LANDASAN SOSIOLOGIS Pada tingkat global, berbagai penemuan penyakit dan obat-obat baru, aplikasi farmakogenomik, maupun kebutuhan terapi obat yang semakin bersifat individual merupakan tantangan yang dihadapi oleh praktisi farmasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Tantangan ini semakin berkembang dengan adanya AFTA, WTO, serta ketentuan dan/ atau kebijakan globalisasi lainnya. Perubahan situasi sosiologis tersebut perlu memperoleh perhatian dan respon serius dari penyelenggara pendidikan farmasi dan pemangku praktik kefarmasian di Indonesia. Kebutuhan masyarakat akan obat dan sediaan farmasi lainnya beserta layanan kefarmasian yang bermutu dan dapat dipercaya menuntut berkembangnya peran apoteker beserta tenaga teknis kefarmasian dalam praktik kefarmasian di Indonesia. Untuk menjawab kebutuhan tersebut implementasi berbagai kebijakan terkait praktik kefarmasian perlu diperkuat, didukung dengan penyiapan SDM bidang farmasi yang kompeten untuk tantangan tersebut. Standardisasi Pendidikan Apoteker dan standardisasi kompetensi praktisi farmasi merupakan kebutuhan mutlak dalam upaya penyiapan tenaga kefarmasian mengacu pada standar global namun harus tetap memenuhi kebutuhan lokal/nasional. Upaya standarisasi tersebut menjadi tanggungjawab bersama antara penyelenggara pendidikan farmasi , AI, organisasi profesi (IAI), maupun pemerintah selaku pemangku kepentingan. Sistem pendidikan farmasi perlu dirumuskan secara jelas untuk mengatur jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, menetapkan deskripsi kualifikasi kemampuan lulusan, serta mengatur standar-standar yang harus dipenuhi mengacu pada standar nasional pendidikan. Kebijakan ini perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tentang Pendidikan Apoteker Indonesia. Peningkatan mutu Pendidikan Apoteker ini harus disertai dengan upaya penataan praktik kefarmasian beserta implementasinya. Kejelasan kualifikasi, fungsi, peran dan kewenangan, maupun jenjang karir tenaga kefarmasian (apoteker dan tenaga teknis kefarmasian) perlu ditata lebih lanjut.
  • 17. 13 2.4 LANDASAN YURIDIS Undang-undang Dasar 1945 pasal 28C ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Selanjutnya pasal 31 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pemerintah berkewajiban untuk mengalokasikan anggaran pendidikan guna memenuhi kebutuhan pendidikan nasional. Upaya untuk mendapatkan pendidikan bagi semua warga negara sesuai dengan minat dan kemampuannya telah memperoleh landasan hukum pada pasal- pasal tersebut di atas. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana dinyatakan dalam pasal 12 ayat (1.b) serta pasal 20 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) mengamanatkan tentang perlunya pengaturan lebih lanjut mengenai pendidikan, khususnya pendidikan tinggi yang sesuai dengan minat dan keinginan peserta didik, secara terpadu dan sistematis. Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” dalam ketentuan ini adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional baru mengatur sistem pendidikan nasional secara umum. Berbagai ketentuan perundang-undangan lainnya yang ada juga belum mengatur lebih jauh pendidikan farmasi secara khusus. Mengingat apoteker dan tenaga teknis kefarmasian memiliki peran penting dalam pembangunan bidang kesehatan, pendidikan farmasi Indonesia harus mampu menjamin ketersediaan dan kompetensi apoteker dan tenaga teknis sesuai kebutuhan tersebut. Dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan
  • 18. 14 diatas dan untuk memenuhi amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 5 ayat (2), menjadi suatu keharusan secara yuridis bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk menyusun, merumuskan, dan menetapkan Rancangan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Upaya pembaharuan ini juga harus menjamin peningkatan mutu, relevansi serta efisiensi penyelenggaraan pendidikan, sekaligus pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Upaya yang harus dilakukan meliputi penataan kembali jenis dan jenjang pendidikan farmasi, penetapan standar kompetensi, penyesuaian kurikulum untuk menjawab kebutuhan nasional maupun global, penetapan standar pendidikan, dan akreditasi pendidikan profesi. Kualifikasi lulusan pendidikan farmasi harus mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) agar memperoleh pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor pekerjaan di tingkat lokal, nasional maupun global.
  • 19. 15 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 PRAKTIK KEFARMASIAN 3.1.1 Praktik Kefarmasian Global Heppler & Strand (1990) menawarkan filosofi baru praktik kefarmasian sebagai jawaban untuk mengatasi masalah-masalah terkait obat (drug-related morbidity and mortality). Konsep ini disebut “pharmaceutical care” dan menuntut perubahan mendasar fungsi profesi farmasi dalam pelayanan kesehatan. Pharmaceutical care umum didefinisikan sebagai: “the responsible provision of pharmacotherapy for the purpose of achieving definite outcomes that improve a patient’s quality of life”6 . Definisi ini diadopsi oleh FIP pada tahun 1998 dengan amandemen yang bermakna menjadi “...... achieving definite outcomes that improve or maintain a patient’s quality of life”5,7 . Paradigma baru ini menumbuhkan kesadaran bahwa praktik kefarmasian harus berfokus pada kesejahteraan pasien, memastikan penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan pasien, dan melindungi pasien terhadap kemungkinan terjadinya efek-efek yang tidak dikehendaki terkait penggunaan obat. Perkembangan ini menuntut tenaga kefarmasian untuk tidak hanya berperan sebagai penyedia obat dan sediaan farmasi lainnya yang bermutu tinggi, namun bersama profesi kesehatan lainnya juga merancang, mengimplementasikan, serta memonitor terapi obat untuk meningkatkan keberhasilan terapi1,2,3 . WHO dan FIP (1997) telah merumuskan “The Seven-Star Pharmacist” sebagai peran esensial sekaligus minimal yang diharapkan dari apoteker. Ketujuh peran tersebut adalah: (1) Care giver, (2) Decision maker, (3) Communicator, (4) Leader, (5) Manager, (6) Life-long learner, dan (7) Teacher8,9 . Meningkatnya kompleksitas permasalahan terkait obat membuat pilihan intervensi obat tidak lagi dapat hanya didasarkan pada pilihan atau pengalaman pribadi. Dibutuhkan pembuktian berbasis ilmu melalui riset yang bermutu untuk menjamin keberhasilan terapi. Kemampuan tenaga kefarmasian sebagai “Researcher” dibutuhkan dalam hal pencarian obat baru dan pengembangan bentuk sediaan baru (drug delivery system), maupun untuk meningkatkan ketersediaan data dan informasi terkait obat yang dibutuhkan untuk
  • 20. 16 menetapkan pilihan intervensi obat dalam upaya menjamin keamanan, ketepatan dan rasionalitas penggunaan obat (evidence-based pharmacy)3 . Kesalahan yang berasal dari faktor manusia (human error) sangat mungkin terjadi dalam memberikan pelayanan pengobatan (medication error), namun angka kejadian dan tingkat keseriusannya dapat diturunkan melalui pendekatan secara sistematik dan terpadu (kolaboratif) dengan melibatkan pasien, tenaga kefarmasian, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya. Mekanisme kolaboratif dikembangkan sesuai dengan peran, fungsi dan kewenangan masing-masing tenaga kesehatan dilandasi kode etik profesi dan hak pasien10 . Dimensi baru dalam praktik kefarmasian saat ini mencakup 4 (empat) aktivitas primer yaitu: (1) menjamin ketepatan dan keberhasilan terapi, (2) memberikan layanan sediaan farmasi dan alat kesehatan disertai pemberian informasi terkait penggunaan, penyimpanan, serta masalah-masalah yang dapat timbul pada penggunaannya, (3) promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, (4) mengelola pelayanan kefarmasian sebagai bagian dari pelayanan kesehatan7 . Untuk itu FIP (2010) telah merekomendasikan “Global Competency Framework” dengan 4 (empat) area kompetensi meliputi: (1) Pharmaceutical Care Competencies yang berfokus pada kesehatan pasien, (2) Public Health Competencies yang berfokus pada kesehatan masyarakat (populasi), (3) Organisation and Management Competencies yang berfokus pada sistem, dan (4) Professional/Personal Competencies yang berfokus pada kemampuan praktik11 . 3.1.2Praktik Kefarmasian Di Indonesia Praktik kefarmasian di Indonesia meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian/ penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat dan obat tradisional (Pasal 108 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Secara implisit ketentuan perundang-undangan tersebut menuntut peran dan tanggungjawab tenaga apoteker dalam pelayanan kesehatan.
  • 21. 17 Ketentuan perundang-undangan tentang Pekerjaan Kefarmasian pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 menempatkan apoteker sebagai penanggungjawab pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi, distribusi atau penyaluran sediaan farmasi, maupun dalam pelayanan sediaan farmasi dan alat kesehatan pada fasilitas pelayanan kefarmasian. Dalam bidang produksi tanggungjawab apoteker adalah menjamin kesesuaian proses produksi dan mutu produk terhadap ketentuan dan standar yang berlaku. Sejauh ini industri farmasi Indonesia telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan obat nasional, namun belum mampu menjawab kebutuhan bahan baku. Dalam bidang distribusi atau penyaluran sediaan farmasi tanggungjawab apoteker mencakup jaminan kesesuaian proses distribusi dan mutu produk terhadap ketentuan dan standar yang berlaku, jaminan keamanan dan ketersediaan produk. Walaupun regulator telah memberlakukan Cara Distribusi Obat Yang Baik sebagai implementasi GDP (Good Distribution Practice) kondisi faktual menunjukkan praktik kefarmasian dalam bidang distribusi masih jauh dari harapan. Obat keras, bahkan psikotropika, dapat dibeli dengan mudah tanpa resep dokter dan banyak ditemukan di toko obat maupun pedagang kaki lima, peredaran obat palsu, obat kadaluarsa dan obat import ilegal masih sering ditemukan. Kondisi yang masih menjadi masalah dalam pelayanan sediaan farmasi (obat, obat tradisional, dan kosmetik), alat kesehatan, vaksin, perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT), insektisida, dan reagensia adalah jaminan ketersediaan, keamanan, manfaat dan mutu produk dengan jumlah dan jenis yang cukup, terjangkau, merata dan mudah diakses oleh masyarakat. Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian (apotek, rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama) tugas tenaga kefarmasian mencakup jaminan kesesuaian pelayanan kefarmasian terhadap standar yang ditetapkan. Konsep pharmaceutical care telah digunakan sebagai azas Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, di Puskesmas, dan di Rumah Sakit. Namun implementasi pharmaceutical care dan standar praktik kefarmasian yang baik (Good Pharmacy Practice GPP) dalam kenyataannya belum berjalan dengan baik di semua fasilitas pelayanan kefarmasian.
  • 22. 18 Permasalahan utama saat ini adalah masih rendahnya tingkat kesadaran tenaga kefarmasian akan peran, tugas dan kewenangannya seperti yang terlihat dari rendahnya tingkat kehadiran apoteker di apotek, banyaknya tugas dan kewenangan apoteker yang didelegasikan kepada tenaga teknis kefarmasian, rendahnya tingkat implementasi standar pelayanan kefarmasian, serta rendahnya kesiapan maupun kesediaan praktisi tenaga kesehatan untuk saling berkolaborasi dalam melakukan pelayanan (interprofessional collaboration in health care). Masalah lain yang tidak kalah penting adalah masih rendahnya pengakuan peran apoteker dalam Sistem Kesehatan Nasional yang berakibat pada tidak terlibatnya peran apoteker dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan secara nasional seperti program Keluarga Berencana dan penanggulangan HIV, dan juga tidak tegasnya pelaksanaan regulasi termasuk rendahnya komitmen pemenuhan jumlah apoteker sesuai standar yang telah ditetapkan. Berbagai aspek penting yang perlu dibenahi adalah: (1) totalitas implementasi konsep pharmaceutical care, kebijakan dan standar-standar pelayanan kefarmasian yang telah ditetapkan melalui fungsi pengawasan dan evaluasi, (2) kesiapan sumberdaya baik manusia maupun sarana dan prasarana pendukung, (3) sistem pelayanan kesehatan termasuk koordinasi lintas profesi, serta (4) implementasi ketentuan perundang-undangan, standar, maupun pedoman yang telah ditetapkan. 3.2 TENAGA KEFARMASIAN DI INDONESIA 3.2.1Peran Tenaga Kefarmasian Dalam Sistem Kesehatan Nasional Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya bangsa secara terpadu dan saling mendukung terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa (masyarakat, swasta maupun pemerintah) secara sinergis, berhasil-guna serta berdaya-guna, sehingga derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagaimana amanat dalam Pembukaan UUD 1945 dapat dicapai. Tenaga kefarmasian sebagai salah satu pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan penyediaan sediaan farmasi dan pemberian pelayanan kefarmasian. Geseran
  • 23. 19 paradigma pelayanan kefarmasian dari “product oriented” berkembang ke “patient oriented” menuntut tenaga kefarmasian tidak hanya berfungsi sebagai pengelola obat, namun dalam pengertian yang lebih luas yang mencakup pemberian informasi untuk mewujudkan penggunaan obat secara rasional (a.l. cara pemakaian, efek samping obat dan efek yang tidak dikehendaki, cara penyimpanan), monitoring pencapaian tujuan terapi, serta identifikasi kemungkinan adanya kesalahan pengobatan (medication error) dan masalah-masalah terkait obat (drug related problems). Tenaga kefarmasian juga memiliki peran penting dalam upaya promosi kesehatan maupun pencegahan penyakit di masyarakat. Sisi lain yang tidak kalah pentingnya adalah peran tenaga kefarmasian dan tenaga peneliti bidang kefarmasian (lulusan S-2 &/atau S-3) dalam pengembangan senyawa obat baru, pengembangan produk obat (formulasi, sistem penghantaran obat), maupun dalam proses produksi serta penjaminan mutu sediaan farmasi. Meningkatnya peran tenaga kefarmasian dan geseran orientasi pelayanan kefarmasian di berbagai sarana pelayanan kesehatan, maupun kebutuhan pengembangan bahan obat, bahan baku, dan produk yang memenuhi standar mutu menuntut peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya kefarmasian. Oleh karena itu, peningkatan mutu dan standardisasi Pendidikan Apoteker maupun standardisasi kualifikasi/kompetensi lulusannya menjadi kebutuhan mutlak. Praktik kefarmasian di Indonesia dilakukan pada: (1) fasilitas produksi sediaan farmasi yaitu industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik lain yang memerlukan tenaga kefarmasian untuk menjalankan tugas & fungsi produksi dan pengawasan mutu; (2) fasilitas distribusi/ penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan melalui pedagang besar farmasi, penyalur alat kesehatan, dan instalasi sediaan farmasi dan alat kesehatan milik pemerintah; (3) fasilitas pelayanan kefarmasian melalui praktek di apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama. 3.2.2Apoteker Sebagai tenaga fungsional keahlian dengan kualifikasi profesional, apoteker harus melaksanakan kewenangan profesinya berdasarkan keahlian yang dimilikinya,
  • 24. 20 menerapkan standar profesi, selalu berpegang teguh pada sumpah/janji apoteker dengan berpedoman pada satu ikatan moral yaitu kode etik apoteker, didasarkan pada standar kefarmasian dan standar prosedur operasional yang berlaku sesuai fasilitas kesehatan dimana pekerjaan kefarmasian dilakukan. Standar profesi harus ditetapkan melalui ketentuan perundang-undangan. Saat ini standar profesi yang telah disusun dan ditetapkan oleh organisasi profesi (Ikatan Apoteker Indonesia) terdiri dari Kode Etik Apoteker Indonesia (2010) dan Standar Kompetensi Apoteker Indonesia (2010). Standar Kompetensi Apoteker Indonesia 2010 meliputi 9 (sembilan) area kompetensi yaitu: 1. Kemampuan melakukan praktik kefarmasian secara profesional dan etik. 2. Kemampuan menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan penggunaan sediaan farmasi. 3. Kemampuan melakukan dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan. 4. Kemampuan memformulasi dan memproduksi sediaan farmasi sesuai standar yang berlaku. 5. Ketrampilan dalam pemberian informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan. 6. Kemampuan berkontribusi dalam upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat. 7. Kemampuan mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai dengan standar yang berlaku. 8. Ketrampilan organisasi dan kemampuan membangun hubungan interpersonal dalam melakukan praktik kefarmasian. 9. Karakter dan perilaku pembelajar sepanjang hayat (life-long learner) untuk terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kefarmasian secara berkelanjutan. Untuk menjamin tercapainya kualifikasi dan kompetensi lulusan, sistem dan prosedur uji kompetensi apoteker bagi lulusan baru perlu dirumuskan dan menjadi bagian dari Standar Pendidikan Apoteker Indonesia.
  • 25. 21 3.2.3Tenaga Teknis Kefarmasian Tenaga teknis kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. Dalam praktik kefarmasian di Indonesia, tenaga teknis kefarmasian berada pada berbagai sektor. Pada sektor industri, tenaga teknis kefarmasian diserap oleh industri farmasi (obat), industri obat tradisional, industri kosmetika, industri bahan kimia, maupun industri makanan-minuman. Pada sektor distribusi, tenaga teknis kefarmasian diserap oleh fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi seperti pedagang besar farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi sediaan farmasi dan alat kesehatan, maupun pada bidang pemasaran. Pada sektor pelayanan, tenaga teknis kefarmasian diserap oleh apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, maupun fasilitas praktek bersama. Kualifikasi tenaga teknis kefarmasian yang dibutuhkan dalam praktik kefarmasian di Indonesia perlu diidentifikasi secara cermat. Rumusan kualifikasi ketrampilan tenaga teknis kefarmasian ini dibutuhkan untuk menata jalur, jenis dan jenjang pendidikannya, menentukan ketrampilan yang harus dikuasai, dan sebagai dasar penentuan tugas dan kewenangan tenaga teknis kefarmasian. Agar setara dengan tenaga kesehatan lainnya, pendidikan tenaga teknis kefarmasian perlu ditingkatkan ke jenjang pendidikan tinggi. 3.2.4Harmonisasi & Mutual Recognition Globalisasi ekonomi mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai aspek di seluruh dunia, diantaranya melemahnya batasan negara. Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan semakin meluasnya penggunaan internet membuat proses pertukaran pengetahuan dan jejaring antar institusi pendidikan semakin mudah dan lebih dekat. Globalisasi ekonomi juga mendorong terjadinya pertukaran tenaga kerja. Seiring dengan meningkatnya aliran kapital/modal dan teknologi dalam bidang kesehatan (termasuk dalam bidang pengobatan), juga terjadi pergerakan dinamis pengetahuan tentang obat, tenaga kerja, maupun konsep baru dalam bidang
  • 26. 22 pengobatan. Secara internasional pergerakan teknologi dan tenaga kerja diakui sebagai salah satu indeks penting dalam ekonomi global. Perkembangan kebutuhan masyarakat dan meningkatnya tuntutan kualitas pelayanan kesehatan, membuat banyak negara melakukan reformasi pendidikan termasuk sistem pendidikan farmasi mengacu pada kerangka global. Namun variasi kebijakan pendidikan maupun kebutuhan lokal dan/atau nasional di masing-masing negara menyebabkan model pendidikan farmasi maupun standar lulusan masih bervariasi. Adanya variasi ini dapat melemahkan upaya pengembangan bidang kesehatan di suatu kawasan. Oleh karena itu dibutuhkan harmonisasi pendidikan tenaga kerja, termasuk tenaga kefarmasian di seluruh area12 . Tujuan yang ingin dicapai melalui harmonisasi pendidikan farmasi adalah menjamin kualifikasi keahlian tenaga kefarmasian agar memperoleh pengakuan kesetaraan (mutual recognition). Mutual recognition merupakan proses yang memungkinkan kualifikasi yang diperoleh dalam satu negara (negara asal) diakui di negara lain (negara tuan rumah). Prinsip saling pengakuan kualifikasi profesional antar negara ini membutuhkan beberapa pra-kondisi sebagai berikut (WTO, 1997): 1. Persyaratan jenjang pendidikan saat memasuki (degree-entry level) praktik profesi di kedua negara; 2. Kesesuaian dengan regulasi praktik profesi di negara tujuan; 3. Kesesuaian profesi, misalnya kegiatan professional yang dipraktekkan di negara asal sebagian besar serupa dengan di negara tujuan; 4. Mekanisme adaptasi untuk mengatasi segala kekurangan dalam muatan dan ruang lingkup pendidikan profesi dan pelatihan bagi tenaga pendatang; 5. Kemauan baik di pihak negara tuan rumah beserta badan/lembaganya untuk memberikan penghargaan professional atau lisensi dan menerima prinsip saling pengakuan (mutual recognition) sebagai penghargaan atas kualitas pendidikan profesional & pelatihan di negara-negara lain, serta mempercayai profesionalisme tenaga pendatang. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (Indonesian Qualification Framework), yang selanjutnya disingkat KKNI (IQF) adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan
  • 27. 23 antara jenjang pendidikan dan pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan yang ada di berbagai sektor. KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri Bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan dan pelatihan nasional yang dimiliki Indonesia13 . Jenjang kualifikasi dalam KKNI adalah tingkat capaian pembelajaran yang disepakati secara nasional, disusun berdasarkan ukuran hasil pendidikan dan/atau pelatihan yang diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, informal, maupun pengalaman kerja. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia terdiri dari 9 (sembilan) jenjang kualifikasi, dimulai dari “ Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) menyatakan KKNI terdiri atas 9 (sembilan) jenjang kualifikasi, dimulai dari jenjang 1 (satu) sebagai jenjang terendah sampai dengan jenjang 9 (sembilan) sebagai jenjang tertinggi. Jenjang kualifikasi KKNI tersebut terdiri atas: (a) jenjang 1 sampai dengan jenjang 3 dikelompokkan dalam jabatan operator; (b) jenjang 4 sampai dengan jenjang 6 dikelompokkan dalam jabatan teknisi atau analis; (c) jenjang 7 sampai dengan jenjang 9 dikelompokkan dalam jabatan ahli. Kualifikasi tenaga teknis kefarmasian Deskriptor KKNI untuk masing-masing jenis dan jenjang pendidikan menjadi dasar saling pengakuan atau mutual recognition sumberdaya manusia Indonesia oleh negara lain. Agar lulusan pendidikan farmasi Indonesia juga memperoleh pengakuan kesetaraan (mutual recognition) dengan lulusan dari negara lain, perlu dirumuskan standar minimum kualifikasi yang harus dimiliki oleh lulusan pada masing-masing jenjang Pendidikan Apoteker Indonesia, baik pada pendidikan akademik (S-1, S-2, dan S-3), pendidikan profesi (apoteker dan apoteker spesialis), dan pendidikan vokasi (D-1, D-2, dan D-3). 3.3 PENDIDIKAN FARMASI 3.3.1Jenis Dan Jenjang Pendidikan Tinggi Farmasi Jenis dan jenjang Pendidikan Apoteker di Indonesia saat ini meliputi: 1. Program pendidikan akademik: a. Pendidikan Sarjana (S-1), yaitu program Pendidikan Sarjana Farmasi
  • 28. 24 b. Pendidikan Magister/ Master (S-2), umumnya program Pendidikan Magister Ilmu Farmasi. c. Pendidikan Doktor (S-3). 2. Program pendidikan profesi: a. Pendidikan profesi, yaitu program Pendidikan Apoteker. b. Pendidikan spesialis, yaitu program Pendidikan Spesialis Farmasi Klinik. 3. Program pendidikan vokasi: Pendidikan diploma III (D-3), yaitu program pendidikan Ahli Madya Farmasi dan program pendidikan Analis Farmasi Dan Makanan. Pendidikan akademik difokuskan pada penguasan disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kefarmasian, pendidikan profesi difokuskan pada penguasaan keahlian profesional, sedangkan pendidikan vokasi difokuskan pada penguasaan ketrampilan teknis di bidang kefarmasian. Melalui jenis dan jenjang pendidikan yang ada, penyelenggara pendidikan farmasi mempersiapkan tenaga kefarmasian untuk memenuhi kebutuhan di berbagai fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia. 3.3.2Pendidikan Akademis (S-1, S-2, & S-3) Secara internasional jenjang pendidikan akademis memiliki pola yang sama, yaitu Pendidikan Sarjana (4th: S-1), Master (2th: S-2), dan Doktor (3th: S-3). Pada jenjang pendidikan S-1 di Indonesia secara umum terdapat 2 (dua) kelompok minat / konsentrasi yaitu (1) Farmasi Klinik & Komunitas, dan (2) Sain & Teknologi Farmasi. Kondisi yang sama dijumpai di Thailand yang juga mempunyai dua minat tersebut pada program PharmD. Pada jenjang S-2 kelompok minat yang berkembang antara lain bidang Pencarian Obat Baru, Analisis Farmasi, Teknologi Farmasi, Manajemen Farmasi, Manajemen Farmasi Rumah Sakit, Bahan Obat Alam, dan Bioteknologi. Sedangkan jenjang S-3 lebih bervasiasi dan bersifat spesifik bergantung pada fokus penelitiannya. Pendidikan pada jenjang S-2 dan S-3 secara internasional diselenggarakan melalui 3 (tiga) pola pendidikan yaitu: (1) by research, (2) by course, (3) kombinasi keduanya. Sedangkan pendidikan S-2 dan S-3 Farmasi di Indonesia umumnya diselenggarakan dalam pola kombinasi antara kuliah dan penelitian.
  • 29. 25 3.3.3Pendidikan Profesi (Apoteker dan Apoteker Spesialis) Apoteker memegang peranan penting dalam pelayanan kesehatan, mulai dari pencarian senyawa obat baru, perancangan bentuk sediaan, produksi, distribusi, sampai ke pelayanan sediaan farmasi dan edukasi kepada pasien. Profesi farmasi terus berkembang seiring dengan meningkatnya keterlibatan tenaga kefarmasian dalam hal penetapan dan pengelolaan terapi obat serta monitoring dan konsultasi pasien. Beberapa negara menyelenggarakan pendidikan profesi secara bertahap, yaitu pendidikan sarjana dalam waktu 4 tahun dan dilanjutkan dengan pendidikan profesi (pre-registration training; internship) selama 1 tahun. Pola ini bisa dijumpai di Australia, Malaysia, Singapura, maupun Indonesia. Di beberapa negara (universitas) pendidikan farmasi ada yang diselenggarakan melalui 2 jalur yaitu: (1) Bachelor of Pharmacy, dan (2) Bachelor of Pharmaceutical Sciences. Program pendidikan profesi dalam bentuk pre-registration training selama 1 tahun hanya dapat diikuti oleh mahasiswa yang telah menyelesaikan program Bachelor of Pharmacy. Setelah menyelesaikan jenjang S-1 mahasiswa dapat melanjutkan ke jenjang S-2 (a.l. minat Kimia Medisinal, Formulasi, Farmasi Klinik) atau melanjutkan ke jenjang S-3. Beberapa negara a.l. Jepang, Korea, dan Singapura menyelenggarakan program PharmD dengan lama pendidikan 6 tahun, ada juga yang diselenggarakan secara bertahap melalui pendidikan Sarjana 4 tahun ditambah program PharmD selama 2 tahun (a.l. di Thailand). Program yang setara dengan program di UK ini menggunakan gelar MPharm. Beberapa negara sudah menyelenggarakan program spesialis, umumnya 2-3 tahun, dengan muatan pelatihan klinik antara 4 bulan sampai 1 tahun dalam bentuk post-graduate internship atau residency. Program pendidikan spesialis farmasi di USA antara lain: (1) Pharmacotherapy, (2) Oncology Pharmacy, (3); Ambulatory Care Pharmacy, (4) Nutrition Support Pharmacy, (5) Nuclear Pharmacy, (6) Psychiatric Pharmacy. Berbagai ragam pola dan jenis pendidikan kefarmasian memunculkan masalah dalam pengakuan kesetaraan keahlian profesi farmasi (mutual recognition). Oleh karena itu masing-masing negara perlu membuat pernyataan keahlian (qualification frame-work), dalam hal ini kualifikasi tenaga kefarmasian yang mereka hasilkan.
  • 30. 26 Selain itu sebelum melakukan praktik profesi, semua lulusan harus memiliki sertifikat kompetensi melalui uji kompetensi nasional di negara masing-masing dan di negara yang dituju. Adanya kesepakatan pengakuan kesetaraan (mutual recognition) antar negara akan memudahkan pergerakan tenaga kefarmasian lintas negara. 3.3.4Pendidikan Vokasi Pendidikan vokasional menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional masuk dalam jenjang pendidikan tinggi. Saat ini pendidikan vokasional bidang farmasi di Indonesia terdiri dari 2 (dua) program yaitu program pendidikan D-3 Farmasi dan program pendidikan D-3 Analisa Farmasi & Makanan. Mulai ada institusi yang merintis pendidikan D-4 Farmasi namun yang terdaftar baru 1 (satu) institusi. Beberapa lembaga menyelenggarakan pendidikan nonformal yang dinyatakan “seolah-olah setara dengan D-1 Farmasi”. Pendidikan vokasional farmasi yang dikenal di USA meliputi pendidikan Diploma 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun dengan lingkup pendidikan bervariasi (medication preparation, pharmacy computing, inventory & billing etc). Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), kualifikasi yang harus dimiliki oleh lulusan D-3 antara lain mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas, mampu mengiasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum, mampu mengelola kelompok kerja dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif, serta mampu bertanggung-jawab pada pekerjaan sendiri. Pernyataan kualifikasi ini masih bersifat umum, oleh karena itu perlu disusun pernyataan kualifikasi khusus sesuai dengan spesifikasi lulusan pendidikan vokasi (D-3) bidang farmasi. Pernyataan kualifikasi bagi lulusan pendidikan vokasi (D-3) bidang farmasi harus dapat menggambarkan dengan jelas perbedaan kualifikasi untuk lulusan jenjang vokasi (D-3 Farmasi dan D-3 Analis Farmasi & Makanan) dengan lulusan jenjang S-1 (Sarjana Farmasi) maupun dengan lulusan jenjang profesi (Apoteker). 3.4 PENJAMINAN MUTU DAN AKREDITASI Penjaminan mutu program pendidikan apoteker di Indonesia dilakukan secara internal maupun eksternal. Penjaminan mutu internal dilakukan oleh masing-masing
  • 31. 27 perguruan tinggi sedangkan penjaminan mutu eksternal dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN-PT). Akreditasi terhadap program pendidikan akademik (S-1, S-2, S-3) telah dilakukan sejak awal proses akreditasi oleh BAN-PT sedangkan akreditasi terhadap program pendidikan profesi (Apoteker) baru dimulai pada akhir tahun 2011. Akreditasi program akademik menggunakan instrumen akreditasi yang bersifat generik (berlaku untuk semua program S-1, S-2, atau S-3). Instrumen yang dikembangkan untuk Program Studi Profesi Apoteker bersifat spesifik. Akreditasi program pendidikan farmasi di negara lain umumnya dilakukan secara khusus oleh lembaga akreditasi mandiri seperti Accreditation Council for Pharmacy Education (ACPE) di USA dan The Commitee for the Accreditation System for Pharmacy Education di Jepang. Selain akreditasi terhadap lembaga penyelenggara pendidikan juga dilakukan sertifikasi kompetensi untuk lulusan dari masing-masing jenis dan jenjang pendidikan. 3.4.1Standar Pendidikan Apoteker Dokumen untuk standar pendidikan farmasi di Indonesia yang telah disusun adalah Keputusan Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia Nomor 006/AI/ Kep/IV/2010 tentang Usulan Standar Pendidikan Profesi Apoteker Kepada Menteri Kesehatan RI namun belum mendapatkan pengesahan. Standar yang ditetapkan meliputi 13 (tiga belas) aspek yaitu visi, misi, tujuan; penyelenggaran pendidikan; kurikulum; mahasiswa; sumberdaya manusia; manajemen proses pendidikan; alokasi sumber daya dan anggaran; sarana dan prasarana; teknologi informasi; dana penyelenggaraan pendidikan; penyelenggaraan dan evaluasi; penjaminan mutu dan pembaharuan berkesinambungan. American Council for Pharmacy Education (ACPE) menetapkan enam standar pendidikan farmasi: (1) Standards for Mission, Planning & Evaluation; (2) Standards for Organization and Administration; (3) Standards for Curriculum; (4) Standards for Students; (5) Standards for Faculty & Staff; (6) Standards for Facilities & Resources. Secara substansial standard tersebut tidak berbeda dengan standar yang berlaku di Indonesia. Yang masih perlu ditingkatkan adalah monitoring dan evaluasi dari implementasi standar tersebut pada pendidikan apoteker di Indonesia.
  • 32. 28 3.4.2Sistem Akreditasi Proses akreditasi program studi dimulai dengan pelaksanaan evaluasi diri di program studi yang bersangkutan. Evaluasi diri tersebut mengacu pada pedoman evaluasi diri yang telah diterbitkan BAN-PT, namun jika dianggap perlu pengelola program studi dapat menambahkan unsur-unsur yang akan dievaluasi sesuai dengan kepentingan program studi dan institusi perguruan tinggi yang bersangkutan. Standar akreditasi pendidikan di Indonesia terdiri dari 7 (tujuh) standar yaitu: (1) Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran, Serta Strategi Pencapaian; (2) Tata Pamong, Kepemimpinan, Sistem Pengelolaan, dan Penjaminan Mutu; (3) Mahasiswa dan Lulusan; (4) Sumber Daya Manusia; (5) Kurikulum, Pembelajaran, dan Suasana Akademik; (6) Pembiayaan, Sarana dan Prasarana, dan Sistem Informasi; serta (7) Penelitian, Pelayanan/Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Kerjasama. Berbagai standar tersebut diukur menggunakan 3 (tiga) instrumen akreditasi yang terdiri dari: (a) Evaluasi Diri, (b) Borang Program Studi, (c) Borang Pengelola Program Studi. Perbedaan mendasar instrumen akreditasi di Indonesia dengan instrumen akreditasi ACPE adalah instrumen yang digunakan oleh ACPE dirancang spesifik untuk pendidikan farmasi dan secara mendalam mengukur penguasaan knowledge, skill, attitude, pharmaceutical experiences values & professional behavior. Sistem akreditasi yang berlaku di Indonesia digambarkan pada skema berikut: Gambar 1: Proses Akreditasi Melalui BAN-PT
  • 33. 29 BAB IV PEMIKIRAN KONSEPTUAL PERUBAHAN PENDIDIKAN APOTEKER INDONESIA 4.1 APOTEKER SEBAGAI TENAGA KESEHATAN 4.1.1Keahlian dan Kewenangan Apoteker Sesuai ketentuan dalam ayat 1 pasal 108 Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, apoteker memiliki keahlian dan kewenangan untuk melaksanakan praktik kefarmasian yang mencakup 5 bidang yaitu: a. Pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi; b. Pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat; c. Pelayanan obat atas resep dokter; d. Pelayanan informasi obat; e. Pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Untuk memenuhi tuntutan keahlian dan kewenangannya, konsep perubahan pendidikan apoteker dirumuskan sebagai berikut: a. Pernyataan “Kompetensi Lulusan (Learning Outcomes)” pendidikan apoteker dirumuskan mengacu pada pasal 108 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. “Learning Outcomes” pendidikan apoteker merupakan rumusan dayaguna hasil pendidikan apoteker sesuai dengan fungsi dan perannya untuk menjalankan praktik apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. b. Pendidikan apoteker wajib memberikan keahlian yang mencakup 5 (lima) bidang tersebut di atas, sehingga lulusannya akan memperoleh kewenangan (SIPA- SIPA) sesuai ketentuan perundang-undangan. c. Pendidikan apoteker berfokus pada tercapainya kompetensi lulusan pendidikan apoteker dalam jabatan publik sebagai tenaga kesehatan/kefarmasian yang telah mengucapkan sumpah apoteker dan memiliki ijin untuk menjalankan praktik, memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan memperoleh perlindungan hukum bagi dirinya.
  • 34. 30 4.1.2Fungsi dan Peran Apoteker Fungsi apoteker dalam pelayanan kesehatan adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai profesi yang bertanggungjawab dalam menjamin keamanan, kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang beredar; ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalah- gunaan obat; ketepatan dan rasionalitas penggunaan obat untuk tercapainya tujuan terapi secara optimal; maupun upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri. Peran apoteker di masyarakat berdampingan dengan tenaga kesehatan dalam sistem kesehatan nasional meliputi: (1) memberikan perhatian dan tindakan nyata bagi pasien dan/atau masyarakat tentang penggunaan obat yang benar dan baik (care giver); (2) membuat keputusan profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung dan/atau tidak langsung oleh pasien dan/atau masyarakat (decision maker); (3) berkomunikasi dengan pasien dan/atau masyarakat serta tenaga kesehatan dalam upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat (communicator), (4) memimpin tim/kelompok dengan komitmen tinggi dan dapat dipercaya (leader), (5) merencanakan dan mengelola fasilitas pelayanan kefarmasian di bawah tanggungjawabnya sesuai pedoman/prosedur yang berlaku (manager), (6) memiliki komitmen pembelajar sepanjang hayat (life-long learner), dan (7) memiliki komitmen untuk berperan dalam pendidikan farmasi sebagai preseptor (praktisi pendidik) maupun dalam edukasi pasien dan masyarakat (teacher), (8) memiliki kompetensi dan komitmen untuk melakukan penelitian yang relevan dengan masalah kefarmasian (researcher). Sesuai fungsi dan perannya visi apoteker Indonesia adalah menjadi profesi tenaga kesehatan yang unggul serta terpercaya dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pengobatan masyarakat Indonesia. Sedangkan misi yang diemban oleh apoteker Indonesia meliputi: (1) menjamin ketersediaan kebutuhan obat yang bermutu bagi bangsa dan negara; (2) menjamin pemenuhan kebutuhan pengobatan; (3) menjamin keamanan, ketepatan dan rasionalitas penggunaan obat oleh pasien dan masyarakat; (3) berperan aktif dalam upaya menjamin keselamatan dan kualitas
  • 35. 31 hidup pasien; (4) membangun kolaborasi antar tenaga kesehatan dalam upaya peningkatan kesehatan dan kualitas hidup pasien (individu) dan masyarakat. 4.2 KONSEP PENDIDIKAN APOTEKER 4.2.1Kerangka Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia Pendidikan apoteker sebagai pendidikan tenaga kesehatan memerlukan perubahan secara konseptual dari situasi dan kondisi yang ada saat ini untuk menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat dan perubahan peraturan perundang- undangan. Perubahan tersebut harus segera dimulai dari penetapan Kerangka Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia yang disetujui oleh pemerintah dan diterima oleh semua pemangku kepentingan. Selanjutnya juga perlu segera disusun Standar Pendidikan Apoteker Indonesia yang mengacu pada Standar Kompetensi Apoteker Indonesia dengan tetap memperhatikan ketentuan perundang-undangan bidang pendidikan yang berlaku. Kerangka Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia merupakan pernyataan yang berisi deskripsi kemampuan apoteker Indonesia dalam bidang kerja (praktik), lingkup kerja (praktik) berdasarkan pengetahuan yang dikuasai dan kemampuan manajerial dengan sikap professional sebagai tenaga kesehatan, untuk menjalankan praktik sebagai Apoteker Indonesia yang diakui oleh dunia internasional. Kerangka Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia (KKNAI) akan menjadi konsep dasar perubahan pendidikan apoteker (learning outcomes), standar profesi, standar pendidikan, uji kompetensi lulusan, serta sistem akreditasi penyelenggara pendidika apoteker. Penetapan level KKNI bagi apoteker memberikan kepastian fungsi dan peran serta hak dan kewajiban apoteker di semua sektor pemerintahan. Rumusan Kerangka Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia akan memberikan kepastian “independensi dan interdependensi” apoteker dalam menjalankan praktik profesi bersama para profesi tenaga kesehatan lainnya. Oleh karenanya salah satu perubahan pendidikan apoteker adalah adanya muatan interprofessional education & collaborative practices dalam proses pendidikan apoteker. Lulusan pendidikan apoteker juga harus memenuhi deskripsi kualifikasi ketentuan dalam Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia sesuai
  • 36. 32 dengan jenjang pendidikannya. Sesuai dengan ketentuan dalam KKNI, lulusan program pendidikan sarjana farmasi paling rendah setara dengan jenjang 6 (enam), sedangkan lulusan program pendidikan profesi apoteker paling rendah setara dengan jenjang 7 (tujuh). 4.2.2Kompetensi Apoteker Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 045 tahun 2002 pasal 21). Sedangkan Carracio (2002) menyatakan: “Competency is a complex set of behaviours built on the components of knowledge, skills, attitude and competence as personal ability”. Standar kompetensi apoteker Indonesia adalah kualifikasi yang mencakup pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku yang digunakan sebagai tolok ukur yang menjadi baku mutu kompetensi seorang apoteker di Indonesia. Standar kompetensi apoteker Indonesia menjadi landasan pelaksanaan pendidikan apoteker Indonesia sekaligus menjawab tuntutan kerangka kualifikasi nasional Indonesia. Sesuai dengan tuntutan WHO dan FIP (1997)5,6 lulusan pendidikan apoteker harus memiliki kemampuan untuk berperan sebagai: (1) care giver, (2) decision maker, (3) communicator, (4) leader, (5) manager, (6) life-long learner, dan (7) teacher (“The Seven-Star Pharmacist”) yang merupakan peran esensial sekaligus minimal dari seorang apoteker. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kefarmasian menuntut tenaga kefarmasian untuk terus mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuannya (life-long learner)5,6,7 . Di sisi lain, meningkatnya kompleksitas permasalahan terkait obat membuat pilihan intervensi obat tidak lagi dapat hanya didasarkan pada pilihan atau pengalaman pribadi. Rasionalitas pilihan intervensi obat harus didasarkan pada pendekatan “berbasis bukti” (evidence-based medicine), sehingga lulusan pendidikan apoteker juga harus memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian/ kajian (researcher)7 . Dimensi baru pelayanan kefarmasian yang berkembang dari “product oriented” ke “patient oriented” menuntut kesiapan apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya
  • 37. 33 untuk mampu menjamin ketersediaan sediaan farmasi yang bermutu tinggi dan mampu melaksanakan pelayanan kefarmasian secara komprehensif berbasis kebutuhan pasien (“pharmaceutical care”)7,8,9 . Filosofi pharmaceutical care menjadi dasar pengembangan kurikulum pendidikan tinggi apoteker. 4.2.3Standar dan Pedoman Pendidikan Apoteker Standar pendidikan apoteker Indonesia merupakan perangkat penyetara mutu pendidikan apoteker untuk menjamin tercapainya tujuan pendidikan yang sesuai dengan standar kompetensi. Standar pendidikan apoteker dibuat dan disepakati bersama oleh pemangku kepentingan pendidikan apoteker. Standar pendidikan apoteker juga dipergunakan oleh institusi penyelenggara pendidikan apoteker untuk melakukan evaluasi diri dan peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Sesuai ketentuan perundang-undangan, standar pendidikan apoteker meliputi komponen isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pengelolaan, pembiayaan, serta evaluasi proses pendidikan. Standar untuk setiap komponen pendidikan harus selalu ditingkatkan secara berencana dan berkala mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kefarmasian dan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Standar pendidikan apoteker harus relevan dengan standar profesi apoteker yang menjadi rujukan minimal dan arah pengembangan praktik profesi apoteker maupun dengan standar kefarmasian yang mengatur tenaga, sarana, prasarana dan fasilitas, serta struktur dan fungsi di fasilitas praktik kefarmasian. Standar pendidikan apoteker membutuhkan suatu pedoman penyelenggaraan pendidikan yang baik dan wajib menyusun standar prosedur operasional yang berlaku secara internal dalam rangka membangun sistem amnajemen mutu. 4.2.4Strategi dan Proses Pendidikan Apoteker Konsep perubahan arah dan strategi pendidikan apoteker yang dikembangkan adalah pendidikan profesi terintegrasi dengan model tipe Z yang mengintegrasikan muatan kurikulum domain akademik dengan domain profesi menggunakan model terintegrasi seperti yang digambarkan dalam gambar 2. Model kurikulum berbasis kompetensi dirancang terintegrasi secara horizontal, vertikal, maupun interdisiplin,
  • 38. 34 berorientasi pada masalah-masalah kesehatan individu, keluarga dan masyarakat dalam konteks pelayanan kesehatan primer. Gambar 2: Model Pendidikan Apoteker Terintegrasi Konsep pendidikan apoteker terintegrasi (Integrated Z-Type) merupakan suatu penyatuan proses pendidikan akademik (sarjana farmasi) dan pendidikan profesi (apoteker) menjadi satu proses akuisisi mencapai kompetensi apoteker. Konsep ini merupakan satu kesatuan manajemen kompetensi, pemisahan diasumsikan hanya bersifat struktural institusi penyelenggara (manajemen struktural-administrasi). Pembentukan kompetensi (sikap-perilaku, pengetahuan dan ketrampilan) dan professionalisme apoteker sudah harus dimulai dalam program pendidikan tahap program akademik (sarjana farmasi) untuk mendapatkan kecukupan waktu dan strategi pengembangannya. Domain kompetensi profesi (knowledge, skills, attitude, experience) dimulai sejak mahasiswa baru memasuki program sarjana farmasi, terus bertambah secara bertahap sampai akhir pendidikan. Domain kompetensi akademik ditata agar secara bertahap berkurang sampai akhir pendidikan dan siap menjadi dasar belajar praktik profesi. Pencapaian kompetensi lulusan pendidikan apoteker dikembangkan mengikuti model kompetensi Miller14 seperti yang terlihat pada gambar berikut: Domain Akademik Muatan Kurikulum Tahun Domain Profesi Pendidikan Sarjana Farmasi Pendidikan Apoteker
  • 39. 35 Gambar 1: Piramida Miller Sesuai dengan piramida Miller, pencapaian kompetensi lulusan pendidikan sarjana farmasi yang merupakan jenjang awal pencapaian kompetensi lulusan difokuskan pada kemampuan kognitif yaitu pada penguasaan pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skills) untuk mencapai level “knows” dan “knows how”. Sedangkan kompetensi lulusan pendidikan profesi apoteker lebih difokuskan pada pengembangan sikap dan perilaku (behaviour) yaitu pada penguasaan kemampuan melakukan praktik profesi apoteker (competence) untuk mencapai level “shows how” (performance). Kelompok ilmu yang menjadi pilar pendidikan apoteker meliputi ilmu-ilmu alamiah dasar (basic natural sciences), ilmu-ilmu biomedik dasar (basic biomedical sciences), ilmu-ilmu kefarmasian (pharmaceutical sciences), ilmu-ilmu sosial humaniora (social/ behavioral/ administrative sciences), ilmu-ilmu farmasi klinis (clinical sciences), dan ilmu-ilmu keprofesian bidang farmasi (pharmacy practice & pharmacy provided care). Isi kurikulum harus mengacu pada standar kompetensi apoteker indonesia serta memperhatikan prinsip metode ilmiah dan prinsip kurikulum spiral (kurikulum tipe Z). Integrasi horizontal dalam model ini mengintegrasikan kelompok ilmu dalam masing-masing tahap pendidikan (tahap akademik dan tahap profesi), sedangkan integrasi vertikal mengintegrasikan kelompok ilmu dari tahap akademik dengan tahap profesi. Integrasi horizontal dan vertikal secara harmonis harus diwujudkan dalam sebaran muatan materi kurikulum berbasis bahan aktif farmasi (API/ Active
  • 40. 36 Pharmaceutical Ingredient) sebagai senyawa model yang direpresentasikan dalam bentuk pembelajaran berbasis modul tentang permasalahan praktik kefarmasian sesuai ketentuan dalam pasal 108 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Integrasi interdisiplin mencakup integrasi “biopsychosocial” maupun integrasi interprofesional. Oleh karenanya tersedianya kesempatan bagi mahasiswa untuk terpapar secara dini dengan masalah-masalah klinik, baik masalah individu/ pasien (pharmaceutical care ) maupun masalah publik/ masyarakat (pharmaceutical public health) menjadi komponen penting dalam kurikulum ini. Pelaksanaan kurikulum ini harus dilengkapi dengan Interprofessional Education and Collaborative Practices. Pada akhir program pendidikan apoteker, dilakukan uji kompetensi lulusan secara nasional dalam bentuk Uji Kompetensi Apoteker Indonesia. Setelah lulusan program pendidikan apoteker memperoleh Sertifikat Kompetensi Apoteker Indonesia para apoteker baru menjalani program “internship” yang diselenggarakan oleh KFN bersama Kementerian Kesehatan (Komite Internship Apoteker Indonesia), sebagai tahap persyaratan untuk memperoleh ijin praktik apoteker (SIPA, SIKA). 4.2.5Penjaminan Mutu Pendidikan Apoteker Institusi penyelenggara pendidikan apoteker harus mempunyai sistem penjaminan mutu dengan mekanisme kerja yang efektif serta diterapkan dengan benar. Mekanisme penjaminan mutu harus menjamin adanya kesepakatan, pengawasan, dan peninjauan secara periodik setiap kegiatan dengan standar dan instrumen yang sahih dan handal. Penjaminan mutu eksternal dilakukan berkaitan dengan akuntabilitas institusi penyelenggara pendidikan apoteker terhadap para pemangku kepentingan, melalui audit eksternal dan akreditasi. 4.3 Manajemen Perubahan Pendidikan Apoteker Perubahan pendidikan apoteker di Indonesia diawali dengan penyusunan Kerangka Kualifikasi Nasional Apoteker Indonesia (KKNAI) yang diharapkan selesai pada akhir 2013, dilanjutkan dengan pembuatan Standar Pendidikan Apoteker, Sistem Uji Kompetensi dan Akreditasi Pendidikan Apoteker. Keseluruhan naskah
  • 41. 37 tersebut harus segera disusun dan ditetapkan pada tahun 2014 sehingga perubahan arah pendidikan apoteker dapat segera dimulai paling lambat 2015. Untuk mewujudkannya perlu segera dibuat rencana strategis yang mengatur kerjasama antar segenap pemangku kepentingan dalam mewujudkan peran pemerintah, organisasi profesi dan pihak lainnya, yang dilandasi pengaturannya dalam pembuatan perundang-undangan tentang pendidikan apoteker Indonesia. Pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut diamanatkan kepada Komite Farmasi Nasional (KFN).
  • 42. 38 BAB V RUANG LINGKUP RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENDIDIKAN APOTEKER INDONESIA Sebagai hasil telaah terhadap berbagai permasalahan yang telah dirumuskan di bagian awal Naskah Akademik ini, disusun konsep awal ruang lingkup Rancangan Peratuan Perundang-Undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan farmasi dan kualifikasi tenaga kefarmasian Indonesia. Konsep awal ini akan digunakan sebagai dasar untuk menyusun pasal- pasal yang akan dituangkan dalam draf Rancangan Peraturan Perundang- Undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia. 5.1 KONSIDERANS Memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang melatar-belakangi pembuatan Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia, yang terdiri dari: 1. Unsur Filosofis Pendidikan tinggi farmasi sebagai salah satu unsur dalam Sistem Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan Falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Unsur Historis Pendidikan farmasi telah berlangsung sejak awal peradaban manusia hingga saat ini. Semula proses pendidikan berlangsung secara pedagogik-andragogik berfokus pada pengalaman empiris dan pembelajaran praktis di bawah bimbingan dari praktisi dalam bidang pengobatan sebagai gurunya. Selanjutnya para murid akan menggantikan peran gurunya atau berpindah ke tempat lain yang memerlukan keahliannya sehingga terjadi penyebaran ilmu kefarmasian. 3. Unsur Sosiologis Di era globalisasi ini muncul tuntutan perubahan peran profesi farmasi dan kualifikasi tenaga kefarmasian. Peningkatan mutu penyelenggaraan Pendidikan Apoteker Indonesia secara terencana, terarah dan berkesinambungan Untuk
  • 43. 39 menghadapi tantangan di tingkat lokal, nasional dan global perlu dilakukan, agar lulusan yang dihasilkan mampu memenuhi tuntutan perkembangan, kompeten, bertanggungjawab, memiliki etika dan moral, serta mampu memberikan pelayanan kefarmasian secara profesional. 4. Unsur Yuridis Mengingat sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang pendidikan farmasi, perlu disusun Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia sebagai acuan penyelenggaraan pendidikan farmasi di seluruh perguruan tinggi di Indonesia dengan harapan dapat mengatasi berbagai permasalahan Pendidikan Apoteker di Indonesia. 5.2 DASAR HUKUM Dasar hukum penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 31 dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan pasal 12 ayat (1.b), pasal 19, pasal 20 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta pasal 50 ayat (7) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 5.3 KETENTUAN UMUM Ketentuan umum yang dituangkan dalam Naskah Akademik ini memuat rumusan akademik mengenai definisi, istilah, pengertian, singkatan atau akronim yang digunakan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia meliputi: 01. Pendidikan Farmasi adalah pendidikan formal pada jenjang perguruan tinggi yang yang terdiri atas pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan pendidikan vokasi yang diselenggarakan oleh satuan program pendidikan farmasi yang terakreditasi untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi akademik, kompetensi profesi dan/atau kompetensi vokasi di bidang farmasi sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikannya.
  • 44. 40 Jenis dan jenjang pendidikan farmasi mencakup: o Program pendidikan akademik terdiri dari: pendidikan sarjana (S-1) farmasi sain, pendidikan magister (S-2) farmasi sain, dan pendidikan doktor (S-3) farmasi sain; o Program pendidikan profesi terdiri dari: pendidikan profesi (apoteker), dan pendidikan spesialis (apoteker spesialis); o Program pendidikan vokasi yaitu pendidikan diploma III (ahli madya farmasi dan analis farmasi & makanan). 02. Pendidikan Apoteker Indonesia adalah pendidikan formal yang terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh institusi penyelenggara pendidikan yang terakreditasi untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi akademik dan profesi dalam bidang farmasi. 03. Standar Pendidikan Apoteker Indonesia adalah pengaturan menyeluruh komponen profesi farmasi di Indonesia secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan farmasi nasional. 04. Peserta Didik Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut mahasiswa farmasi, adalah peserta didik terdaftar yang mengikuti proses pendidikan akademik dan profesi untuk mencapai kompetensi yang dipersyaratkan bagi lulusan pendidikan apoteker. 05. Sarjana Farmasi adalah mahasiswa farmasi yang telah menyelesaikan tahap pendidikan akademik bidang farmasi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia. 06. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah menyelesaikan program pendidikan apoteker baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia, telah dinyatakan lulus sebagai apoteker dan mengucapkan sumpah apoteker. 07. Apoteker Spesialis adalah apoteker yang telah menyelesaikan program spesialisasi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
  • 45. 41 08. Pendidik Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut pendidik, adalah seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya pada bidang ilmu farmasi dan/atau bidang ilmu tertentu ditugasi menjadi tenaga pendidik pada satuan pendidikan sarjana farmasi dan pendidikan profesi apoteker, dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 09. Tenaga Kependidikan Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut tenaga kependidikan, adalah seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya ditugasi menjadi tenaga penunjang penyelenggaraan pendidikan apoteker. 10. Kurikulum Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut kurikulum, adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dalam pendidikan apoteker. Kerangka dasar dan struktur kurikulum dirancang dan dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan apoteker dengan melibatkan asosiasi profesi, instansi pemerintah, dan kelompok ahli terkait. 11. Lulusan Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut lulusan, adalah mahasiswa yang telah memenuhi persyaratan kelulusan yang ditetapkan pada jenjang pendidikan apoteker yang diikutinya dan berhak memperoleh gelar akademik dan profesi sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan yang diikutinya. 12. Kompetensi Lulusan Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut kompetensi, adalah kualifikasi kemampuan minimal yang mencakup pengetahuan, ketrampilan, sikap dan perilaku yang harus dicapai oleh lulusan sesuai dengan ketentuan dalam standar kompetensi yang ditetapkan untuk masing-masing jenis dan jenjang pendidikan apoteker yang diikutinya. 13. Standar Kompetensi Apoteker Indonesia, adalah kualifikasi kemampuan minimal yang mencakup pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan peri laku yang harus dimiliki oleh apoteker yang menjalankan praktik kefarmasian di Indonesia.
  • 46. 42 Standar Kompetensi Apoteker Indonesia disusun oleh organisasi profesi dalam hal ini Ikatan Apoteker Indonesia dan disahkan oleh Menteri Kesehatan. 14. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka kualifikasi yang disepakati secara nasional, disusun berdasarkan suatu ukuran pencapaian proses pendidikan sebagai basis pengakuan terhadap hasil pendidikan seseorang (baik yang diperoleh secara formal, non formal, informal, atau otodikdak). 15. Akreditasi Pendidikan Apoteker, selanjutnya disebut akreditasi, adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan apoteker berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, mengacu kepada standar pendidikan untuk masing-masing jenis dan jenjang pendidikan. 5.4 AZAS DAN TUJUAN Azas dan tujuan peraturan pemerintah yang akan dibuat berupa nilai-nilai dasar yang melandasi ruang lingkup pengaturan Pendidikan Apoteker Indonesia dalam peraturan perundang-undangan yang akan disusun. 1. Azas Azas dalam Naskah Akademik ini adalah landasan yang akan digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan farmasi di Indonesia, meliputi: a. Azas Manfaat, yaitu penyelenggaraan pendidikan farmasi harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan bagi perkembangan ilmu farmasi untuk meningkatkan atau mempertahankan kualitas hidup manusia dan derajat kesehatan masyarakat. b. Azas Kemanusiaan, yaitu penyelenggaraan pendidikan farmasi harus memperhatikan keselamatan manusia. c. Azas Keseimbangan, yaitu pendidikan farmasi diselenggarakan dengan menjaga keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat maupun antara kepentingan pengembangan ilmu dengan kepentingan individu. d. Asas Kesetaraan, yaitu pendidikan farmasi diselenggarakan secara adil, demokratis, dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
  • 47. 43 manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, serta kemajemukan bangsa Indonesia. e. Asas Nilai Ilmiah, yaitu pendidikan farmasi harus didasarkan pada nilai-nilai ilmiah yang diperoleh dalam pendidikan maupun dari pengalaman praktik. 2. Tujuan Tujuan penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia adalah memajukan pendidikan farmasi melalui penataan kembali penyelenggaraan pendidikan farmasi secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan farmasi yaitu: a. Menghasilkan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (S-1, Profesi, Vokasi) yang profesional, bermutu, beretika, berdedikasi tinggi, serta berorientasi pada kesejahteraan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Menghasilkan akademisi dan/atau peneliti bidang kefarmasian (S-2, dan S-3) yang profesional, bermutu, beretika, berdedikasi tinggi, serta berorientasi pada kebutuhan masyarakat. 5.5 MATERI MUATAN PERUNDANG-UNDANGAN Materi pokok Rancangan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Apoteker Indonesia meliputi pengaturan tentang: 01. Pendidikan Farmasi Untuk menjawab tantangan perkembangan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas, jenjang pendidikan farmasi di Indonesia ditingkatkan ke jenjang pendidikan tinggi agar para lulusannya mampu memberikan pelayanan kefarmasian yang berfokus kepada pasien secara profesional. Jenis dan jenjang pendidikan farmasi tersebut meliputi: 1. Program Pendidikan Akademik, terdiri dari: a. Pendidikan Sarjana Farmasi Sain (S-1 Ilmu Farmasi). b. Pendidikan Magister Farmasi Sain (S-2 Ilmu Farmasi).
  • 48. 44 c. Pendidikan Doktor Farmasi Sain (S-3 Ilmu Farmasi). 2. Program Pendidikan Profesi, terdiri dari: a. Pendidikan Sarjana Farmasi. b. Pendidikan Apoteker. c. Pendidikan Spesialis (Apoteker Spesialis). 3. Program Pendidikan Vokasi, terdiri dari: a. Pendidikan Diploma III Farmasi. b. Pendidikan Diploma III Analis Farmasi dan Makanan. Secara keseluruhan jenis dan jenjang pendidikan tersebut digambarkan dalam gambar 3 berikut: Jenjang Pendidikan Akademik Tahun Pendidikan Profesi Apoteker Level KKNI Pendidikan Vokasi S-3 Doktor Farmasi Sain 9 S-2 Magister Farmasi Sain Apoteker Spesialis 8 6 Internsip*) 7 5 Profesi Apoteker S-1 Sarjana Farmasi Sain 4 Sarjana Farmasi 6 3 5 D-3, Ahli Madya 2 4 1 3 2 SMK Farmasi Gambar 3: Jenis dan Jenjang Pendidikan Farmasi Keterangan: Jenjang pendidikan vokasi dan kategori bidang spesialisasi pendidikan apoteker spesialis yang akan ditumbuhkan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan
  • 49. 45 masing-masing bidang pelayanan kefarmasian dan perkembangan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Ketentuan tentang jenjang pendidikan pada masing-masing jenis pendidikan ini akan diatur diatur kemudian. Program internship (magang) adalah pendidikan non-formal bagi lulusan program pendidikan apoteker setelah memperoleh sertifikat kompetensi sebagai persyaratan untuk memperoleh ijin praktik apoteker (SIPA, SIKA). Penetapan program beserta prosedur pelaksanaannya akan diatur kemudian. 02. Pendidikan Profesi Apoteker Pendidikan profesi apoteker adalah pendidikan farmasi yang diselenggarakan untuk menghasilkan apoteker yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan praktik kefarmasian. Pendidikan apoteker diselenggarakan dalam 2 (dua) tahap yaitu: (1) tahap pendidikan sarjana farmasi (S-1), dan (2) tahap pendidikan profesi apoteker. Kedua tahap pendidikan ini merupakan satu kesatuan, diselenggarakan dalam pola terintegrasi dengan pengenalan dini (early exposure) pada muatan profesi. Tahap pendidikan profesi sepenuhnya berupa pemberian pengalaman praktik profesi (experiential learning) yang dilaksanakan di fasilitas pelayanan kefarmasian. Penyelenggara pendidikan apoteker wajib menetapkan visi dan misi yang relevan dengan visi dan misi apoteker indonesia, dalam kerangka pemenuhan kebutuhan apoteker dalam sistem kesehatan nasional Indonesia. Pendidikan apoteker spesialis adalah pendidikan spesialisasi bidang profesi apoteker sebagai jenjang lanjut pendidikan profesi apoteker, bidang spesialisasi akan sesuai dengan jenis kolegium dalam lingkup farmasi klinis dan farmasetik. 03. Pendirian dan Penutupan Program Program pendidikan apoteker hanya dapat didirikan oleh lembaga pendidikan yang memenuhi persyaratan dan telah memperoleh izin penyelenggaraan untuk satuan pendidikan tertentu dari pemerintah. Persyaratan untuk memperoleh izin penyelenggaraan satuan pendidikan apoteker mencakup isi pendidikan, proses pendidikan, kompetensi lulusan, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan (termasuk rumah sakit, apotik, dan industri sebagai
  • 50. 46 tempat pendidikan), pengelolaan, pembiayaan pendidikan, dan sistem penilaian pendidikan. Lembaga penyelenggara pendidikan farmasi yang belum memenuhi maupun yang tidak lagi memenuhi persyaratan pendirian dapat ditutup setelah melalui proses penilaian (verifikasi). 04. Calon Mahasiswa Calon mahasiswa program pendidikan sarjana farmasi/apoteker harus lulus seleksi penerimaan. Seleksi penerimaan mahasiswa farmasi terbuka bagi seluruh anggota masyarakat yang ingin mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada berbagai jenjang dan jenis pendidikan farmasi. Proses seleksi penerimaan untuk setiap jenjang pendidikan farmasi dilakukan secara transparan, akuntabel, kredibel, adil, dan bertanggungjawab. Warganegara asing dapat menjadi mahasiswa program pendidikan farmasi. Untuk menjadi mahasiswa pada satuan pendidikan farmasi di Indonesia, warga negara asing harus memenuhi persyaratan khusus yang ditetapkan oleh institusi penyelenggara pendidikan farmasi. 05. Mahasiswa Sesuai dengan jenjang pendidikannya, mahasiswa pendidikan apoteker terdiri atas: (a) mahasiswa farmasi jenjang pendidikan akademis; (b) mahasiswa farmasi jenjang pendidikan profesi, dan (c) mahasiswa farmasi jenjang pendidikan vokasi. 06. Pendidik Pendidik dalam pendidikan farmasi adalah tenaga pendidik tersertifikasi yang memiliki kualifikasi akademik dan kemampuan profesi untuk mewujudkan tujuan pendidikan farmasi. Pendidik dalam pendidikan farmasi terdiri dari: (a) Dosen, yaitu tenaga pendidik tersertifikasi yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat sebagai pendidik pada jenjang pendidikan tinggi dengan tugas utama merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai
  • 51. 47 hasil pembelajaran, dan membimbing mahasiswa dalam mencapai tujuan pendidikan. (b) Preseptor, yaitu seorang apoteker atau spesialis farmasi yang memiliki lisensi dan reputasi baik, yang bertugas untuk memberikan pengalaman praktik profesi farmasi dan pelatihan bidang kefarmasian kepada mahasiswa dalam mencapai tujuan pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya, dosen maupun preseptor harus terus meningkatkan kompetensi akademik dan profesi serta berpartisipasi aktif dalam pengembangan ilmu dan profesi melalui kegiatan penelitian &/atau pengabdian kepada masyarakat. Persyaratan kualifikasi dan kompetensi pendidik pada masing- masing jenis dan jenjang pendidikan farmasi akan diatur dengan Peraturan Pemerintah, termasuk pengaturan tentang warga negara asing yang mempunyai kualifikasi akademis dan kompetensi bidang kefarmasian yang akan diangkat menjadi pendidik tamu. 07. Tenaga Kependidikan Tenaga kependidikan adalah tenaga penunjang penyelenggaraan pendidikan yang memiliki kualifikasi & kompetensi akademis untuk membantu penyelenggaraan pendidikan farmasi. Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan farmasi. 08. Kurikulum Kurikulum pendidikan farmasi disusun, dikembangkan, dan disahkan oleh suatu badan standardisasi berdasarkan Pendidikan Apoteker Indonesia dan Standar Kompetensi Apoteker Indonesia. Kurikulum pendidikan farmasi merupakan kurikulum berbasis kompetensi, mengacu pada standar internasional agar setiap mahasiswa dan lulusan mampu menghadapi tantangan di tingkat lokal, nasional maupun global. Khusus untuk pendidikan apoteker, pengembangan model kurikulum berorientasi pada masalah kesehatan individu dan masyarakat, dengan pola pendidikan terintegrasi seperti yang digambarkan pada gambar 3 berikut:
  • 52. 48 Gambar 3: Pola Pendidikan Terintegrasi Yang Akan Dikembangkan Pendidikan apoteker yang dikembangkan mengintegrasikan proses pendidikan akademik (sarjana farmasi) dan pendidikan profesi (apoteker) menjadi satu proses untuk mencapai kompetensi apoteker (Z-type model). Pembentukan kompetensi (pengetahuan, ketrampilan, sikap, perilaku) dan profesionalisme apoteker dimulai sejak tahap program akademik (sarjana farmasi) dan ditingkatkan secara bertahap sampai akhir pendidikan. Integrasi horizontal dalam model ini mengintegrasikan kelompok ilmu dalam masing-masing tahap pendidikan (tahap akademik dan tahap profesi), sedangkan integrasi vertikal mengintegrasikan kelompok ilmu dari tahap akademik dengan tahap profesi. Kelompok ilmu yang menjadi pilar pendidikan apoteker meliputi ilmu-ilmu alamiah dasar (basic natural sciences), ilmu-ilmu biomedik dasar (basic biomedical sciences), ilmu-ilmu kefarmasian (pharmaceutical sciences), ilmu-ilmu sosial humaniora (social/ behavioral/ administrative sciences), ilmu-ilmu farmasi klinis (clinical sciences), dan ilmu-ilmu keprofesian bidang farmasi (pharmacy practice & pharmacy provided care). Isi kurikulum harus mengacu pada standar kompetensi apoteker indonesia serta memperhatikan prinsip metode ilmiah dan prinsip kurikulum spiral (kurikulum tipe Z). Komponen penting dalam kurikulum ini adalah tersedianya kesempatan bagi mahasiswa untuk terpapar secara dini dengan masalah-masalah klinik baik individu (pharmaceutical care ) maupun publik (pharmaceutical public health). Dalam pelaksanaannya kurikulum ini memerlukan adanya Interprofessional Education and Collaborative Practices.
  • 53. 49 Kerangka dasar dan struktur kurikulum dikembangkan oleh masing-masing institusi penyelenggara pendidikan farmasi mengacu pada standar kompetensi untuk masing-masing jenis dan jenjang pendidikan farmasi dan muatan lokal yang ingin dicapai oleh institusi penyelenggara. Setiap institusi penyelenggara pendidikan farmasi wajib memiliki kurikulum. Institusi penyelenggara pendidikan farmasi yang tidak memenuhi ketentuan akan dikenakan sanksi administrattif berupa teguran, peringatan, penundaan sampai penolakan pemberian hak penyetaraan dan pengakuan gelar, sampai penutupan program. 09. Lulusan Setiap mahasiswa pendidikan farmasi yang telah memenuhi persyaratan kelulusan dan telah memenuhi standar kompetensi lulusan untuk masing-masing jenjang pendidikan berhak memperoleh gelar akademik dan profesi sesuai jenjang pendidikan yang diikutinya, yaitu: Gelar akademik: Sarjana Farmasi untuk jenjang pendidikan S-1; Gelar profesi: Apoteker untuk jenjang pendidikan profesi dan Apoteker spesialis untuk jenjang pendidikan spesialis. 10. Standar Pendidikan Apoteker Indonesia Standar Pendidikan Apoteker Indonesia adalah kriteria minimal yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pendidikan apoteker di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai perangkat penyetara mutu pendidikan apoteker. Standar pendidikan apoteker disusun oleh Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi (APTFI) bersama pemangku kepentingan pendidikan apoteker. Standar Pendidikan Apoteker Indonesia terdiri atas standar: (1) standar kompetensi lulusan; (2) standar isi; (3) standar proses; (4) standar tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan; dan (8) standar penilaian pendidikan. Standar Pendidikan Apoteker Indonesia akan diatur dengan Peraturan Perundang-undangan. Penyelenggara pendidikan apoteker yang tidak memenuhi ketentuan dalam Standar Pendidikan Apoteker Indonesia akan dikenakan sanksi administratif berupa teguran, peringatan tertulis, sampai penutupan fakultas.
  • 54. 50 11. Standar Kompetensi Lulusan Standar Kompetensi Lulusan merupakan kualifikasi kemampuan minimal yang mencakup pengetahuan, ketrampilan, sikap, serta peri laku yang harus dicapai oleh lulusan pendidikan apoteker. Lulusan program pendidikan apoteker harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan Standar Kompetensi Apoteker Indonesia. Standar kompetensi lulusan pendidikan apoteker merupakan bagian dari Standar Pendidikan Apoteker Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan. 12. Tempat Pendidikan Penyelenggaraan pendidikan apoteker dilakukan di institusi penyelenggara pendidikan apoteker dan di fasilitas kefarmasian yang digunakan sebagai sarana pendidikan apoteker (apotek, rumah sakit, puskesmas, industri farmasi, dan/atau distributor sediaan farmasi). Fasilitas kefarmasian milik pemerintah maupun swasta dapat digunakan sebagai sarana pendidikan apoteker setelah memenuhi ketentuan standar sarana dan prasarana dalam Standar Pendidikan Apoteker Indonesia. 13. Kerjasama Institusi pendidikan apoteker dapat melakukan kerjasama dengan rumah sakit, apotik, industri farmasi, laboratorium, dan lembaga lainnya, di dalam dan luar negeri, untuk kepentingan pembelajaran, praktik kerja profesi (externship), penelitian, maupun magang (internship). Untuk menjaga keberlanjutannya, kerja sama tersebut harus dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama yang memuat (setidaknya) maksud dan tujuan, ruang lingkup, hak dan kewajiban, serta wewenang dan tanggungjawab masing-masing pihak. Perjanjian kerjasama yang dilakukan dengan pihak luar harus memperhatikan ketentuan dan prinsip-prinsip lokal dan nasional. 14. Beasiswa Untuk menjamin pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan apoteker dapat diberikan beasiswa kepada calon atau mahasiswa farmasi. Beasiswa dapat berupa beasiswa ikatan dinas, bantuan biaya pendidikan bersyarat atau bantuan tanpa syarat. Beasiswa dapat bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah,