3. Sekapur Sirih
Warta Tenure kembali hadir di tengah‐tengah hiruk pikuk pembahasan seputar Reducing Emission from Deforestation and Degrada
tion (REDD). Tahun 2009‐2012 Pemerintah Indonesia menetapkan sebagai readiness phase implementasi REDD di Indonesia. Pada fase
ini Pemerintah mencari ntervensi kebijakan yang diperlukan dalam upaya menangani penyebab mendasar deforestasi dan degradasi
hutan, serta menyiapkan infrastruktur yang perlu diadakan untuk implementasi REDD. Sementara masyarakat sipil menanggapi REDD
dengan perspektif yang beragam serta melakukan hal yang cukup beragam pula.
Bagaimana realita yang terjadi saat ini? Degradasi dan deforestasi masih terus berjalan. Pembangunan kebun‐kebun sawit berskala
besar terus berjalan dan disinyalir banyak yang mengubah tutupan lahan hutan. Kegiatan pertambangan, terutama pertambangan
batubara juga memberi kontribusi dalam degradasi hutan. Selain itu masalah tumpang tindih penguasaan dan peruntukan lahan dalam
kawasan hutan juga masih belum dapat diselesaikan dengan baik. Warta Tenure edisi 8 hadir dengan tema ”Permasalahan Land
Tenure, Persiapan dan Kesiapan Implementasi REDD”
Departemen Kehutanan mempersiapkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prakondisi penting bagi penyiapan
skema penanganan perubahan iklim dan pemanasan global. Keberadaan organisasi pengelola KPH di tingkat tapak akan mendukung
skema penanganan perubahan iklim antara lain (a) menjadi salah satu institusi penting yang akan mengurusi proses penanganan
perubahan iklim atau pemanasan global (b) wilayah kelolanya menjadi kepastian bagi DA‐REDD (c) KPH bertugas mendokumentasikan
dan meregister pemanfaatan hutan termasuk jasa lingkungan bagi penanganan perubahan iklim. Bagaimana KPH ini menjadi salah satu
jalan resolusi konflik, serta merupakan prakondisi penyiapan implementasi REDD diulas secara jelas dalam rubrik ”Kajian dan Opini”
oleh Ir. Sriyono, MM dan Ir. Ali Djajono, MSc. dari Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan (WP3H)
Ditjen Planologi yang membidangi KPH.
Masih dalam rubrik yang sama, Prof. Hariadi Kartodihardjo, staf pengajar dari Fakultas Kehutana IPB dan aktif di berbagai organisasi,
termasuk KPH menyoroti masalah penyebab kerusakan hutan, kegagalan penanaman selama ini, serta memberikan ulasan tentang
birokrasi yang terperangkap dalam tulisan bertajuk ”Soal Tenurial, KHP, dan ”The Trapped Administrators”. Kajian lain disajikan oleh
Bapak Ilya Moeliono berjudul REDD bagi Masyarakat setempat: Ancaman atau Peluang. Selain kajian‐kajian tersebut disajikan pula opini
singkat dari beberapa narasumber menanggapi tema yang diangkat dalam edisi 8 kali ini.
Pada rubrik info kebijakan secara khusus diajikan ‘oleh‐oleh’ dari Peer workshop FAO yang membahas Reformasi Tenure Hutan yang
diikuti oleh Koordinator Pengurus WG‐Tenure, Dr. Iman Santoso, MSc. di Roma beberapa bulan yang lalu.
Beberapa hasil pembelajaran dari kegiatan mitra‐mitra Samdhana Insitute di lapangan untuk memotret peluang dan ancaman
implementasi REDD dalam rangka untuk mendorong kesiapan (preparedness) masyarakat disajikan dalam rubrik “Aksi Pembelajaran”.
Diskusi yang diselenggarakan WG‐Tenure dengan dukungan dari Samdhana Institute dengan mengambil tema “Permasalahan Land
Tenure dan Persiapan Implementasi REDD; Antara Realita dan Kebijakan” diangkat dalam rubrik “Seri Diskusi”.
Beberapa kegiatan WG‐Tenure terkait permasalahan land tenure dan KPH diangkat dalam dinamika WG‐Tenure dan berita dalam
gambar. Resensi buku yang ditulis oleh Bernadinus Steny dan diterbitkan oleh HuMa melengkapi berbagai informasi terkait persiapan
dan kesiapan implementasi REDD.
Semoga sajian Warta Tenure edisi 8 ini dapat menambah informasi dan kajian terkait REDD dalam upaya untuk meningkatkan
pemahaman berbagai pihak khususnya terhadap permasalahan land tenure di dalam kawasan hutan, sehingga pada saatnya REDD
diimplementasikan masyarakat telah siap dan mendapatkan manfaat tidak justru sebaliknya serta yang utama fungsi hutan dapat tetap
terjaga. Kritik dan saran konstruktif sangat kami perlukan.
SELAMAT MEMBACA !!!
Redaktur Warta Tenure
4. DINAMIKA WG TENURE
Permasalahan Land Tenure, KPH, dan persiapan
implementasi REDD di Indonesia
Oleh: Emila (Koordinator Eksekutif WGTenure)
engurangan emisi dari deforestasi dan de‐
gradasi atau lebih dikenal dengan REDD men‐
jadi perbincangan hangat pada beberapa tahun
belakangan ini. Tahun 2012 merupakan tahun
terakhir yang ditetapkan Indonesia sebagai phase per‐
siapan dan siap tinggal landas implementasi penuh
REDD (full implementation) seperti telah disepakati oleh
dunia. Sementara itu permasalahan land tenure masih
menjadi persoalan dalam pengelolaan hutan di Indone‐
sia. Bagaimana dengan kondisi land tenure yang masih
carut marut ini kita mengahadapi pelaksanaan REDD?
Permasalahan yang seringkali berujung pada konflik
land tenure yang dijumpai pada pengelolaan hutan di
Indonesia antara lain disebabkan oleh batas kawasan
hutan yang belum disepakati bersama baik oleh Pemer‐
intah maupun masyarakat, serta perencanaan pemban‐
gunan kehutanan yang kurang mengakomodir ke‐
beradaan masyarakat yang telah ada di dalam kawasan
hutan. Salah satu fokus kegiatan dari Ditjen Planologi
Kementerian Kehutanan adalah Pembangunan Wilayah
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Fokus kegiatan ini
merupakan penjabaran dari kebijakan prioritas Ke‐
menterian Kehutanan yaitu Pemantapan Kawasan Hu‐
tan. Dengan adanya KPH dan organisasi pengelolaanya
di tingkat tapak ditujukan agar pengelolaan hutan dapat
lebih efisien dan lestari. Peran strategis KPH yang di‐
harapkan pemerintah antara lain adalah optimalisasi
akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan seba‐
gai resolusi konflik land tenure. Selain itu keberadaan
KPH mempunyai nilai strategis bagi kepentingan
Nasional, antara lain mendukung komitmen pemerintah
untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26% pada
tahun 2020 (dimana 14%‐nya adalah sumbangan sektor
kehutanan), karena KPH merupakan organisasi tingkat
tapak (lapangan) yang akan berperan dalam penerapan
pengelolaan hutan lestari, penurunan tingkat degradasi
hutan, peningkatan rehabilitasi hutan, penurunan
hotspot, serta dapat menjalankan fungsi Measurement,
Reporting, Verification (MRV) yang merupakan salah
satu indikator penting dalam penilaian keberhasilan
penurunan emisi tersebut. WG‐Tenure melihat hal ini
sebagai peluang yang cukup strategis dengan menem‐
patkan system land tenure yang telah ada sebagai bahan
pertimbangan yang penting dalam pembentukan dan
pengelolaan KPH ke depan.
Dengan dukungan dana dari Partnership for Govern
ance Reform (Kemitraan), WG‐Tenure bersama den‐
gan mitra di lapangan melakukan asesment dan analisa
tenurial di wilayah KPH Model di 3 (tiga) lokasi yaitu
KPHP Model Register 47 di Kabupaten Lampung Ten‐
gah, KPHL Model Rinjani Barat di Propinsi Nusa Teng‐
gara Barat, dan calon lokasi KPHL Model di Kabupaten
Kapuas. Pemilihan lokasi dilakukan melalui koordinasi
dengan Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan
Areal Pemanfaatan Hutan (WP3H) Ditjen Planologi, Ke‐
menterian Kehutanan. Sebelum melakukan asesment
dan analisa tenurial WG‐Tenure bekerjasama dengan
ICRAF, HuMA, dan Samdhana Institute mengadakan
pelatihan “Perangkat Analisis Land Tenure”. Pelati‐
han diikuti oleh staf BPKH (Regio Sumatera, Kaliman‐
tan, dan Bali Nusa Tenggara); staf Dinas Kehutanan
Propinsi dan Kabupaten yang wilayahnya menjadi lo‐
kasi asesment; NGO (calon asesor); dan staf Planologi
Kehutanan.
Metode kedua yang dikenalkan adalah Sistem Database
Konflik yang dikembangkan oleh HuMa dan diberi label
Huma‐win. HUMA sebuah perkumpulan untuk pemba‐
ruan hukum berbasis masyarakat dan ekologi
mengembangkan sebuah perangkat analisis untuk
meretas atau mengurai dinamika permasalahan tenu‐
rial dalam bentuk data base yang terkomputerisasi. Hal
ini sangat dibutuhkan untuk mengelola data yang cu‐
kup luas dan beragam (data spatial, kebijakan, nu‐
merik/agregat, serta data‐data pendukung lainnya ter‐
masuk gambar) dan disajikan dalam waktu relative
singkat.
Perangkat lain yang coba dikenalkan adalah perangkat
yang dikembangkan oleh Samdhana Institute untuk
memahami gaya para pihak menghadapi dinamika per‐
bedaan. Dengan alat yang disebut AGATA (Analisis Gaya
Pihak Bersengketa) dapat pahami gaya para aktor un‐
tuk menghadapi perbedaan, sehingga dapat dipilih
proses penyelesaian konflik yang terjadi baik berupa
mediasi, fasilitasi atau bentuk‐bentuk lainnya.
Sebagai tindak lanjut dari pelatihan WG‐Tenure beker‐
jasama dengan mitra di lapangan (Mitra Samya Mata‐
ram, Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah, serta
mitra individu) melakukan assessment dan analisa land
tenure di wilayah KPH Model.
1 Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
Bersambung ke halaman 4
5. Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
KAJIAN DAN OPINI
2
KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH)
SALAH SATU JALAN RESOLUSI KONFLIK,
PRAKONDISI PENYIAPAN IMPLEMENTASI REDD
Oleh: Ir. Sriyono, MM & Ir. Ali Djajono, MSc.
Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan
Ditjen Planologi, Kementerian Kehutanan
P
embentukan KPH telah menjadi amanat
peraturan perundangan bidang kehutanan
antara lain UU No. 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya; UU 41/1999 tentang Kehutanan, PP
44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan, PP 6/2007
Jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan; PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan
antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota; PP 41/2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah; Permenhut P. 6/
Menhut‐II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH;
dan Permenhut P.6/Menhut‐II/2010 tentang Norma,
Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Pengelolaan
Hutan pada KPH Lindung (KPHL) dan KPH Produksi
(KPHP). Lalu mengapa harus ada KPH? Untuk menuju
pengelolaan hutan lestari harus ada organisasi
tingkat tapak sebagai organisasi teritory (wilayah).
Organisasi tingkat tapak tersebut adalah Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) yang benar‐benar
menjalankan fungsi menagemen/pengelolaan pada
wilayahnya.
Tentang KPH
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah wilayah
pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan
peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan
lestari. Seluruh kawasan hutan di Indonesia akan
terbagi dalam wilayahwilayah KPH, serta akan
menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan
hutan nasional, provinsi, kabupaten/kota. KPH
meliputi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung
(KPHL), KPH Produksi (KPHP), dimana dalam satu
wilayah KPH, dapat terdiri lebih dari satu fungsi
pokok hutan, dan penamaannya berdasarkan fungsi hutan
yang luasnya dominan.
Penetapan wilayah KPH menjadi kewenangan Menteri
Kehutanan dan dapat dievaluasi untuk kepentingan
efisiensi dan efektivitas serta karena adanya perubahan
tata ruang. Pada setiap wilayah KPH dibentuk institusi
pengelola yang merupakan organisasi tingkat tapak yang
akan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pengelolaan hutan. Organisasi KPH tersebut harus dikelola
oleh SDM yang profesional di bidang kehutanan.
Organisasi KPHL dan KPHP adalah Organisasi Daerah
sementara Organisasi KPHK adalah Organisasi Pusat.
Organisasi KPH menyelenggarakan fungsi pengelolaan
(managemen) tidak menjalankan fungsi pengurusan
(administrasi) termasuk kewenangan publik. Instansi
Ada Institusi
Tidak ada Institusi
Potensi SDHPotensi SDH (+)
(+)
(-)
(-)
Perambahan Illegal Loging
Rehabilitasi PHL
6. KAJIAN DAN OPINI
3 Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
Pemerintah (Dephut, Dinas Provinsi/Kab/Kota)
menyelenggarakan fungsi administrasi atau
pengurusan hutan.
Selain tugas pengelolaan seperti digambarkan dalam
bagan di atas tugas dan fungsi organisasi KPH lainnya
antara lain adalah menjabarkan kebijakan kehutanan
Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota untuk
diimplementasikan; melaksanakan pemantauan dan
penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan
hutan di wilayahnya; serta membuka peluang
investasi guna mendukung tercapainya tujuan
pengelolaan hutan.
Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota, sesuai kewenangannya bertanggung
jawab terhadap pembangunan KPH dan
infrastrukturnya. Sementara itu dana pembangunan
KPH dapat bersumber dari APBN, APBD, serta
sumberdana lain yang tidak mengikat. Pemerintah
(Kementerian Kehutanan) berkewajiban menfasilitasi
peningkatan kompetensi SDM pengelola KPH melalui
Pendidikan dan Pelatihan.
Dengan menjalankan fungsi pengelolaan hutan
tersebut, KPH mempunyai peran Strategis dalam
mendukung penyelenggaraan pembangunan
kehutanan, antara lain:
Optimalisasi akses masyarakat terhadap hutan
serta merupakan salah satu jalan bagi resolusi
konflik. Keberadaan KPH di tingkat lapangan yang
dekat masyarakat, akan memudahkan
pemahaman permasalahan riil di tingkat lapangan,
untuk sekaligus memposisikan perannya dalam
penetapan bentuk akses yang tepat bagi
masyarakat serta saran solusi konflik
Menjadi salah satu wujud nyata bentuk
desentralisasi sektor kehutanan, karena
organisasi KPHL dan KPHP adalah organisasi
perangkat daerah.
Keberadaan KPH mempunyai nilai strategis bagi
kepentingan Nasional, antara lain mendukung
GambaranGambaran Pembentukan Wilayah KPHPembentukan Wilayah KPH
KABUPATEN A
KABUPATEN B
KPHP
KPHK
KPHK
KPHL
TN
HP
CA TB
HL
HL
HP
HL
TN
HL
KPHL
komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi
karbon sebesar 26 % pada tahun 2020 (dimana 14 %
nya adalah sumbangan sektor kehutanan), karena KPH
merupakan organisasi tingkat tapak (lapangan) yang
akan berperan dalam penerapan pengelolaan hutan
lestari, penurunan tingkat degradasi hutan,
peningkatan rehabilitasi hutan, penurunan hotspot,
serta dapat menjalankan fungsi Measurement,
Reporting, Verification (MRV) yang merupakan salah
satu indikator penting dalam penilaian keberhasilan
penurunan emisi tersebut.
Menjamin penyelenggaraan pengelolaan hutan akan tepat
lokasi, tepat sasaran, tepat kegiatan, tepat
pendanaan.
Menjembatani optimalisasi pemanfaatan potensi
pendanaan penanganan iklim sektor kehutanan untuk
kepentingan pembangunan masyarakat.
Kemudahan dalam investasi pengembangan sektor
kehutanan, karena ketersediaan data/informasi detail
tingkat lapangan.
Menjamin Peningkatan keberhasilan penanganan
rehabilitasi hutan dan reklamasi, karena adanya
organisasi tingkat lapangan yang mengambil peran
untuk menjamin penyelenggaraan rehabilitasi hutan
dan reklamasi. Sekaligus akan menjalankan peran
penanganan pasca kegiatan seperti: pendataan,
pemeliharaan, perlindungan, monev.
KPH sebagai sebuah solusi konflik??
Pembentukan KPH bisa dijadikan sebagai peluang resolusi
konflik. KPH dibangun sangat memperhatikan dan
mempertimbangkan kekhasan masing‐masing daerah
(local specific), sehingga KPH dibangun tidak ”seragam”,
untuk menghindari permasalahan pada masing‐masing
wilayah (lokasi).
Menjadi jembatan bagi terjalinnya komunikasi institusi di
tingkat Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dengan
masyarakat, karena KPH merupakan institusi pemerintah
yang berada di tingkat tapak. Terjalinnya komunikasi
4
1. Perencanaan
Kehutanan
2. Pengelolaan
3. Litbang, Diklat
Penyuluhan
4. Pengawasan
1. Tata hutan & RP
2. Pemanfaatan Hutan
3. Penggunaan
Kawasan Hutan
4. Rehabilitasi
5. Perlindungan &
Konservasi
PENGURUSAN
HUTAN
BAGAN 1 POSISI PENGURUSAN DAN PENGELOLAAN HUTAN
Diselenggarakan
Oleh KPH
Diselenggarakan Dephut/Dinas Prov/Kab/Kota
7. 4
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
SAMBUNGAN DARI HALAMAN 1
DINAMIKA WG‐TENURE
Keberadaan masyarakat telah merubah hampir seluruh
tutupan lahan di Wilayah KPHP Model Register 47 Kabu‐
paten Lampung Tengah dengan berbagai jenis tanaman
pertanian (seperti jagung, singkong, padi, dan lain‐lain)
maupun perkebunan (karet, sawit) dan sedikit tanaman
kehutanan (akasia). Sementara itu permasalahan sertifi‐
kasi lahan di dalam kawasan ditemui di KPHL Model Rin‐
jani Barat, NTB. Bermacam‐macam sistem kelola
masyarakat tradisional ditemui di calon KPH Model yang
diusulkan Kab. Kuala Kapuas. Hasil assessment dan
analisa tenurial telah dipresentasikan pada workshop
sosialisasi dan konsolidasi KPH di Mataram NTB dan di
Kabupaten Lampung Tengah. Dari ketiga wilayah assess‐
ment tata batas kawasan hutan terlihat belum digunakan
sebagai landasan untuk menetapkan wilayah KPH.
Keberadaan masyarakat dengan tata kelolanya bisa dili‐
hat sebagai peluang dan tantangan, dengan mengede‐
pankan tetap terjaminnya fungsi hutan untuk mewujud‐
kan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari sesuai
dengan cita‐cita pembentukan KPH. Hasil assessment
dan analisa land diakses di www.wg‐tenure.org
Melihat berbagai persoalan land tenure dalam pengel‐
olaan hutan serta kesiapan masyarakat dalam mengha‐
dapi implementasi REDD, dengan dukungan dana dari
Samdhana Institute, WG‐Tenure melakukan kegiatan
dengan fokus meningkatkan pemahaman para pihak ter‐
hadap permasalahan land tenure dalam persiapan dan
kesiapan implementasi REDD di Indonesia.
Diskusi dengan tema “Permasalahan Land Tenure dan
Persiapan Implementasi REDD: Antara Kebijakan dan Re
alita” telah diadakan pada 4 Mei 2010 yang lalu. Bagai‐
mana proses diskusi tersebut disajikan dalam rubrik Seri
Diskusi. ***
antara Instasni Pemerintah dengan masyarakat
diharapkan dapat menjadi bahan bagi instansi
pemerintah dalam menyusun program‐program di
tingkatan masing‐masing (Pusat‐Provinsi‐Kabupaten/
Kota). KPH harus berfungsi menterjemahkan program‐
program Pusat/Provinsi/Kab/Kota yang telah
ditentukan ke tingkat lapangan sesuai kebutuhan
specifik lokasi dan masyarakat setempat.
Sebagai organisasi tapak, KPH mempunyai ”mata dan
tangan” untuk menggali potensi sekaligus pemetaan
social ekonomi masyarakat sekitar hutan. Disamping itu
KPH dapat menjalin interaksi dan komunikasi intensif
dengan masyarakat, sekaligus menggali alternative
solusi sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan demikian
KPH dapat mengejawantahkan potensi dan
permasalahan menjadi kegiatan yang benar‐benar
mencerminkan harapan masyarakat dan aspirasi
masyarakat.
Menjadi jembatan bagi terjalinnya komunikasi institusi
di tingkat Pusat/Provinsi/Kabupaten/kota dengan
masyarakat, karena KPH merupakan institusi
pemerintah yang berada di tingkat tapak. Terjalinnya
komunikasi antara Instansi Pemerintah dengan
masyarakat diharapkan dapat menjadi bahan bagi
instasni pemerintah dalam menyusun program‐program
di tingkatan masing‐masing (Pusat‐Provinsi‐Kabupaten/
Kota). KPH harus berfungsi menterjemahkan program‐
program Pusat/Provinsi/Kab/Kota yang telah
ditentukan ke tingkat lapangan sesuai kebutuhan
specifik lokasi dan masyarakat setempat. ***
”Sebagai organisasi tapak,
KPH mempunyai ”mata dan
tangan” untuk menggali
potensi sekaligus pemetaan
social ekonomi masyarakat
sekitar hutan. Disamping itu
KPH dapat menjalin
interaksi dan komunikasi
intensif dengan masyarakat,
sekaligus menggali
alternative solusi sesuai
kebutuhan masyarakat.”
8. 5
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
erusakan hutan disebabkan oleh tindakan
manusia dan tindakan manusia akibat cara
pikir yang digunakannya. Untuk itu bisa jadi
kerusakan hutan bukan masalah penting,
karena hanya soal kerusakan fisik. Sangat berbahaya
apabila kerusakan cara pikir – di balik tindakan‐
tindakan manusia itu – tidak dapat diperbaiki. Dan
memang terbukti sangat sulit memperbaikinya, dari‐
pada sekedar membangun tegakan hutan untuk
mengganti hutan yang rusak. Tulisan ringkas ini
menunjukkan hal tersebut.
Penyebab kerusakan hutan
Meskipun banyak faktor sebagai penyebab kerusakan
hutan, namun ketidak‐pastian status kawasan hutan
dan lemahnya pengelola hutan di tingkat tapak/
lapangan –Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)–
diketahui sebagai akar masalahnya. Kenyataan‐
kenyataan berikut dapat dipertimbangkan sebagai
argumen:
Kawasan hutan seluas 55,93 juta Ha (46,5%) tidak
dikelola secara intensif. Diantaranya seluas 30 juta
Ha, dikelola Pemda (DepHut, 2009a).
Antara 17,6‐24,4 juta Ha kawasan hutan terdapat kon‐
flik: tumpang‐tindih klaim, desa/kampung (19.410
desa di 32 prop), serta izin sektor lain (kebun/
tambang) (BPS dan DepHut, 2007 dan 2009).
Data nasional, Desember 2007, luas kawasan hutan
produksi yang dikonversi dan telah dilepaskan/
dicadangkan oleh Menteri Kehutanan untuk budi‐
daya perkebunan seluas 8.772.989,16 Ha untuk
806 unit perusahaan. Dari luas tersebut, tanaman
yang telah direalisasikan hanya 1.629.110,06 ha
(±18,5%). Fakta tersebut menunjukkan bahwa ijin
untuk pembangunan perkebunan ternyata hanya
dalih untuk memperoleh kayu. Kawasan hutannya
sendiri akan ditelantarkan atau bahkan ijin pe‐
lepasan kawasan hutan diperjual‐belikan
(Sudharto, 2008).
Selama 2004‐2008, anggaran Departemen Kehutanan
rata‐rata sebesar Rp. 3.303 milyar per tahun, untuk
mengurus kawasan hutan hanya 6,07% (DKN,
2009).
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan hu‐
tan – juga sumberdaya alam lainnya – tidak benar‐benar
dilakukan, dan secara politik belum pernah mendapat pri‐
oritas. Seluruh lembaga Pemerintah/Pemda sesuai UU No
39/2009 tentang Kementerian Negara dan PP No.
41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah lebih ber‐
fungsi mengadministrasikan ijin pemanfaatan sumber‐
daya alam dan bukan mengelola sumberdaya alam. Untuk
bidang kehutanan, Kementerian Kehutanan mengatasi
masalah tersebut dengan membangun organisasi Ke‐
satuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang berfungsi mengel‐
ola hutan di tingkat tapak/lapangan.
Disamping itu belum ada mekanisme penyelesaian konflik
penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan, dan peram‐
bahan hutan pada umumnya cenderung dibiarkan. Sejum‐
lah 19.410 desa di dalam kawasan hutan di atas menjadi
bukti demikian itu.
Kerusakan hutan juga disebabkan oleh pembiaran terha‐
dap pemegang ijin pengusahaan hutan alam (HPH/
IUPHHK‐HA) yang kinerjanya buruk. Dari penilaian
kinerja 2008‐2009 diperoleh hasil penilaian berkinerja
baik 15%, sedang 45%, dan buruk 40%. Hal ini berarti
bahwa dari 301 perusahaan seluas 26,2 juta Ha sekitar
10,5 juta Ha (40% x 26,2 juta) hutan alam produksi akan
rusak, karena kinerja usahanya buruk, tanpa ada solusi
kebijakan untuknya (Ismanto, 2010).
Penyebab kegagalan menanam
Kementerian Kehutanan dalam lima tahun ke depan akan
menggalakkan kegiatan penanaman melalui berbagai
skema yang melibatkan masyarakat, seperti: Hutan Ke‐
masyarakatan, Hutan Rakyat, Hutan Tanaman, Hutan
Rakyat Kemitraan, Restorasi Ekosistem serta Rehabilitasi
Daerah Aliran Sungai. Ditargetkan sampai dengan tahun
2020 akan ditanam setiap tahun berkisar 1,6 juta hektar
sampai dengan 2,2 juta hektar, dan sampai 2020 diharap‐
kan mencapai seluas sekitar 21 juta hektar.
Terkait dengan hal tersebut, Pokja Kebijakan Kementerian
Kehutanan (2010) melakukan telaah terhadap penilaian
GERHAN yang dilakukan oleh PT Equality Indonesia
(2007) tahun 2006/2007 di wilayah Propinsi Jawa Barat,
realisasi penanaman cukup tinggi melebihi 80%.
Soal Tenurial, KPH dan
“The Trapped Administrators”
Oleh: Hariadi Kartodihardjo
Pengajar pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan Sekolah Pascasarjana Insti‐
tut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia, anggota Presidium Dewan Kehutanan Na‐
sional <hariadi@indo.net.id>.
9. 6
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
Rata‐rata realisasi penanaman di 13 kabupaten sekitar
84%. Namun tanaman yang hidup hanya sekitar 53%.
Dari yang hidup sebagian besar kondisi pertumbu‐
hannya tidak bagus atau tidak sehat. Rata‐rata tanaman
yang hidup dan sehat hanya sekitar 42%. Dengan
kondisi ini maka diperkirakan tanaman program GER‐
HAN yang berhasil hidup sampai mencapai tingkat po‐
hon hanya sekitar 21% (84*56*42=21%). Hal ini akibat
dilakukan penanaman tetapi tidak dipelihara karena ti‐
dak ada pengelolanya (KPH) atau lahannya konflik.
Hal yang terkait rencana penanaman di atas adalah
pentingnya menjawab pertanyaan dimana lokasi 21 juta
Ha di tengah‐tengah konflik penggunaan lahan saat ini
dan siapa yang akan memelihara tanaman?
Birokrat terperangkap
Kondisi di atas sejalan dengan ide mengenai birokrat
yang terperangkap (the trapped administrators), yaitu
mereka yang setuju dengan perbaikan kebijakan namun
ikut menghambat perubahan kebijakan ketika mengha‐
dapi konsekuensi negatif bagi dirinya (Fox and Staw,
1979).
KPH dan penyelesaian masalah tenurial adalah bagian
dari solusi kerusakan hutan maupun penyebab kega‐
galan penanaman, namun belum pernah mendapat du‐
kungan signifikan untuk mewujudkannya. Orientasi
jangka panjang pembangunan KPH dan penyelesaian
masalah tenurial belum pernah menjadi pilihan, sebali‐
knya orientasi menanam pohon tanpa ada yang mengel‐
olanya menjadi prioritas utama.
Realitas di atas sejalan dengan pendapat Niskanen
(1968), bahwa birokrat yang terperangkap seolah tidak
mempunyai pilihan lain, kecuali menjalankan kebi‐
asaannya memaksimumkan anggaran tanpa memper‐
hatikan efektivitas manfaatnya, karena lebih
“menguntungkan” bagi dirinya. Akibat hal yang
demikian itu, kebijakan kehutanan pada umumnya ber‐
isi prosedur administrasi birokrasi dan bukan solusi
atas masalah nyata di lapangan. Untuk itu kebijakan
prioritas Kementerian Kehutanan tidak akan efektif
dijalankan apabila tidak disertai reformulasi peraturan
‐perundangan serta reformasi birokrasi. ***
Daftar pustaka
BPS (Biro Pusat Statistik), 2007. Identifikasi Desa
Dalam Kawasan Hutan. Kerja sama Pusat Ren‐
cana dan Statistik Kehutanan, Departemen Ke‐
hutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian,
Badan Pusat Statistik, Jakarta
BPS (Biro Pusat Statistik), 2009. Identifikasi Desa
Dalam Kawasan Hutan. Kerja sama Pusat
Rencana dan Statistik Kehutanan, Departemen
Kehutanan dengan Direktorat Statistik
Pertanian, Badan Pusat Statistik, Jakarta
Departemen Kehutanan (DepHut), 2009a. Rencana
Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2010‐2029.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
_______________________, 2009b. Kebijakan Pembangunan
Hutan Tanaman Rakyat. Direktorat Bina
Pengembangan Hutan Tanaman. Departemen
Kehutanan. Jakarta.
DKN (Dewan Kehutanan Nasional), 2009. Meniti
Langkah Membangun Pilar Kehutanan:
Prioritas Revisi Regulasi Pengelolaan Hutan
Alam dan Hutan Tanaman. Jakarta.
Fox, F. V. and Staw, B. M. 1979. The traPerum Perhuta‐
nied administrator: Effects of job insecurity and
policy resistance upon commitment to a course
of action. Administrative Science Quarterly, 24
(3):449–471.
Ismanto, A. D., 2010. Permasalahan Institusi
Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan
Alam Produksi. Disertasi. Draft. Sekolah
Pascasarjana. IPB. Bogor.
Kelompok Kerja Kebijakan, Kementerian Kehutanan.
2010. Skenario Emisi dan Penyerapan Karbon.
Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Niskanen, W. A. 1968. The peculiar economics of bu‐
reaucracy. American Economic Review, 58(2):293
–305.
Sudharto, D., 2008. Hambatan Implementasi Kebijakan
Kehutanan. paper sebagai bahan
diskusiinformasi oleh Pusat Kajian Agraria/PKA‐
IPB yang dihadiri oleh wakil‐wakil dari
Departemen Kehutanan dan Badan Pertanahan
Nasional pada tanggal 19 Mei 2008. Tidak
diterbitkan.
“KPH dan penyelesaian ma‐
salah tenurial adalah bagian
dari solusi kerusakan hutan
maupun penyebab kega‐
galan penanaman, namun
belum pernah mendapat
dukungan signifikan untuk
mewujudkannya. “
10. 7
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
Belakangan ini berbagai lembaga di Indonesia, baik lem‐
baga pemerintah maupun LSM, mulai terkena “demam”
REDD. Demam ini terpicu karena perkembangan REDD
di tingkat internasional sebagai prakarsa untuk merang‐
sang upaya‐upaya mitigasi perubahan iklim yang untuk
sebagiannya terjadi karena emisi karbon dari defor‐
estasi dan degradasi hutan. Rangsangan yang digagas‐
kan adalah penyediaan insentif finansial bagi pemerin‐
tah dan pemangku kepentingan lainnya yang berperan
dalam upaya‐upaya mengurangi emisi karbon karena
deforestasi dan degradasi hutan tersebut, dan inilah
yang kemudian dikenal dengan istlah REDD (Reducing
Emisions from Deforestarion and Forest Degradation).
Keikutsertaan Indonesia dalam Skema REDD sudah da‐
pat dipastikan karena merupakan salah satu negara
yang mengusulkan dimasukannya hutan tropis dalam
prakarsa global penanggulangan perubahan iklim yang
dikembangkan UNCCC. Namun hal itu kemudian menuai
kontroversi ketika banyak pihak mengkhawatirkan
bahwa jika Skema REDD diterapkan, masyarakat yang
berada di dalam dan disekitar hutan bukan saja akan
terabaikan bahkan bisa jadi disingkirkan. Kekhawatiran
ini diungkapkan dalam berbagai publikasi dan dalam
berbagai forum yang membahas REDD ini, baik di
tingkat lokal, nasional dan internasional.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan karena dalam
pengelolaan sumberdaya hutan dimasa lampau, bahkan
sampai saat ini, seringkali warga masyarakat setempat
memang terabaikan. Pengabaian dan penyingkiran ini
terjadi karena berbagai hal, terutamanya ketidak‐
jelasan hak‐hak masyarakat atas sumberdaya hutan.
Tidak perlu disebutkan lagi bahwa dimasa lampau di
banyak tempat di Indonesia wilayah konservasi (Taman
Nasional, Cagar Alam, Hutan Lindung, dan sebagainya),
konsesi kehutanan (HPH) dan perkebunan (HTI)
ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah. Akibatnya
berbagai kelompok masyarakat yang selama beberapa
generasi telah hidup di lokasi‐lokasi yang bersangkutan
diperhadapkan dengan kenyataan bahwa mereka tidak
berhak lagi atas wilayah hidup dan lahan‐lahan yang
mereka gunakan selama ini. Memang disana‐sini ada
upaya untuk mengatasi sengketa atas sumberdaya
hutan antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan,
namun kebanyakan upaya itu masih bersifat lokal.
Skema hutan kemasyarakatan (HKM) di hutan‐lindung dan
pengakuan atas keberadaan hutan adat, misalnya, di be‐
berapa tempat cukup berhasil meredam sengketa antara
masyarakat dan pemerintah.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah REDD bisa terlak‐
sana dengan baik dalam keadaan seperti itu? Jangan‐jangan
pihak‐pihak yang mengkhawatirkan bahwa REDD akan mem‐
perburuk keadaan masyarakat akan terbukti benar. Bisa di‐
pahami kemudian bahwa ada upaya penolakan terhadap
Skema REDD itu, dan pekik perang AMAN “No Rights, No
REDD” menjadi sangat masuk akal. Namun, jika kita melihat
kenyataan bahwa Indonesia adalah salah satu negara pemra‐
karsa REDD di forum UNCCC, bahwa pemerintah Indonesia
sudah menyatakan komitmennya terhadap REDD di forum
internasional itu, dan sudah pula melakukan berbagai persi‐
apan (antara lain pembentukan Pokja REDD Nasional,
penetapan Peraturan Menteri tentang REDD) apakah ke‐
mudian upaya untuk menolak, atau setidak‐tidaknya
menunda, REDD adalah sesuatu yang secara politis realistis?
Sisi terangnya adalah bahwa pokok persoalan tentang distri‐
busi manfaat REDD pada masyarakat memang menjadi salah
pokok perhatian para perunding di forum‐forum UNCCC
tersebut. Ini tentu tidak terlepas dari prakarsa advokasi ber‐
bagai lembaga konservasi dan lembaga yang berperhatian
terhadap masyarakat setempat (indigenous people). Kepu‐
tusan mutakhir di Conference of Parties (COP) di Copenhagen
mengkaitkan Skema REDD dengan UNDRIP (United Nations
Declaration on the Rights of Indegenous People), walaupun
kemudian dinyatakan tidak mutlak mengikat. Juga Standar
CCBA (the Climate, Community dan Biodiversity Alliance) men‐
syaratkan bahwa Skema REDD harus bermanfaat pula bagi
masyarakat, bahkan mensyaratkan pula FPIC (Free Prior In
formed Consent) dari masyarakat yang berada di kawasan
hutan yang akan dicakupkan dalam Skema REDD. Namun
perlu dikatakan bahwa standar/prasyarat itupun bisa jadi
hanya menjadi panduan yang tidak mengikat pula.
Bisa jadi memang bahwa “gelasnya setengah penuh” karena
nampaknya REDD berpeluang digunakan untuk mengangkat
dan memperjuangkan hak‐hak masyarakat lokal. Paling tidak,
ketika nilai hutan berupa kredit karbon diperoleh dari hutan
yang dibiarkan utuh, kepentingan masyarakat yang hidup
dari sumber‐sumber hutan selain kayu semestinya lebih be‐
sar kemungkinannya bisa diakomodasikan dalam sistem
pengelolaan hutan yang bersangkutan.
REDD bagi Masyarakat Setempat: Ancaman atau
Peluang
Oleh: Ilya Moeliono
11. 8
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
Namun penerapan program pengelolaan sumberdaya hutan
apapun, termasuk program/proyek REDD, harus memper‐
timbangkan realita di lapangan. Beberapa kenyataan yang
diamati adalah:
Timbunan karbon potensial berada di wilayahwilayah
sengketa. Banyak hutan alam yang masih terjaga dan
merupakan timbunan karbon potensial REDD sudah
menjadi wilayah konservasi dan/atau wilayah konsesi,
sementara ada masyarakat yang tinggal di wilayah itu.
Dalam beberapa kasus penetapan wilayah konservasi
dan konsesi itu sendiripun dapat dipertanyakan karena
tidak memenuhi prasyarat dan prosedur yang ditetap‐
kan oleh undang‐undang dan peraturan pemerintah
yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. Beberapa
sengketa yang ditengarai adalah antara lain:
a. Sengketa antara pemerintah pusat dan pemerintah
kabupaten: walaupun berada di daerah dan harus
pepertimbangkan dalam pengembangan tata‐wilayah
daerah, kawasan konservasi pada umumnya meru‐
pakan kewenangan pemerintah pusat, dan ini ke‐
mudian di beberapa menjadi persoalan sendiri mana‐
kala pusat dan daerah tidak bisa bersepakat, ber‐
koordinasi, dan bekerjasama.
b. Sengketa antara pemerintah dan perusahaan. Ini bi‐
asanya menyangkut penegakan regulasi tentang
pengelolaan hutan atau kawasan serta kewajiban‐
kewajiban menurut kontrak karyanya, termasuk ke‐
wajiban terhadap masyarakat yang berada di dalam
dan di sekitar kawasan hutan yang dikelola. Ini
adalah suatu persoalan tersendiri ketika kemapuan
pemerintah untuk memantau sepak‐terjang perusa‐
haan dan menegakan aturan nyata‐nyatanya terba‐
tas.
c. Sengketa antara perusahaan dan masyarakat. Di cu‐
kup banyak wilayah konsesi (HPH, perkebunan) pe‐
rusahaan yang bersangkutan merasa berhak penuh
atas sumberdaya hutan yang bersangkutan karena
memang telah memperoleh ijin konsesi yang legal,
sementara masyarakat di wilayah itu merasa mem‐
punyai claim sejarah atas wilayah yang sama.
d. Sengketa antara pemerintah dan masyarakat. Dalam
banyak kasus unit pengelola wilayah konservasi pe‐
merintah (Dinas Kehutanan, BKSDA, Balai Taman
Nasional) merasa berwenang penuh atas wilayah
yang secara legal memang menjadi jurisdiksinya, se‐
mentara masyarakat yang berada di wilayah yang
bersangkutan merasa memiliki hak sejarah atas
wilayah itu.
e. Sengketa pemerintah dan/atau perusahaan dengan
LSM. Ada berbagai LSM (Internasional, Nasional,
dan Lokal) yang ikut meramaikan dunia pengel‐
olaan sumberdaya alam. LSM‐LSM ini mengusung
berbagai agenda, antara lain agenda konservasi,
agenda hak‐hak masyarakat, agenda pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat, dan sebagainya.
Mereka kemudian memperjuangkan agenda itu den‐
gan berbagai pendekatan, mulai dari pengembangan
masyarakat (community development), pengemban‐
gan program konservasi, fasilitasi kerjasama multi‐
pihak, sampai dengan advokasi konfrontasional.
Dalam kegiatannya itu mereka sering berhadapan
dengan para pemangku kepentingan lainnya karena
perbedaan padangan dan pendekatan dalam mewu‐
judkan agendanya,
Uraian ringkas tentang sengketa ini barulah gambaran
yang terlalu sederhana karena dalam kenyataannya seng‐
keta‐sengketa itu tidak hanya melibatkan dua pihak saja
tetapi sering berupa sengketa multi‐pihak yang rumit dan
sukar untuk diurai. Selain itu, masing‐masing pesengketa
itu sering pula masih mengalami sengketa internal; ada
sengketa kebijakan antar instansi pemerintah, ada seng‐
keta tata‐batas antar desa, ada tumpang‐tindih wilayah
konsesi antar perusahan, dan sebagainya. Juga, hubungan
antara para pesengketa itu – terutama jika salah satu pi‐
hak adalah masyarakat – seringkali sangat timpang, dan
ini tentu akan menyulitkan penyelesaian sengketa itu den‐
gan cara‐cara yang baik.
Selain itu, masih banyak masalah lainnya, antara lain:
Kesiapan pemerintah daerah. Beberapa pemerintah
kabupaten yang terkena deman REDD dan berniat
menjual karbon tanpa sepenuhnya memahami skema‐
nya. Ada yang dipicu pula oleh “carbon cowboys”, pe‐
rusahaan‐perusahaan intermediary yang berspekulasi
yang menebar janji penjualan karbon rupanya tanpa
penjelasan yang memadai. Ada pula pemerintah kabu‐
paten yang cuek‐cuek saja walaupun sebagian
wilayahnya telah dicanangkan sebagai wilayah REDD.
12. 9
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
Singkat kata, masih terlalu banyak lembaga pemer‐
intah kabupaten yang berminat dan semestinya ber‐
peran penting namun tidak siap.
Kesiapan pemerintah desa dan kelemahan kelemba
gaan masyarakat. Kemampuan kelembagaan
masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna
juga merupakan tantangan yang besar. Partisipasi
dalam skema REDD masyarakat hanya akan ber‐
makna bila dikembangkan berdasarkan hak‐hak
yang jelas. Jika dalam kenyataannya hak‐hak itu
belum ada, masyarakat memerlukan kemampuan
untuk memperjuangkan hak‐hak itu melalui advo‐
kasi dan perundingan. Namun keterorganisasian
sosial dan politik masyarakat untuk dapat melaku‐
kan hal itu masih sangat rentan semetara pemerin‐
tah desa sering memposisikan dirinya sebagai
kepanjangan tangan pemerintah dan bukannya
wakil masyarakat terhadap pemerintah dan pihak‐
pihak lainnya, dan kelembagaan adat dimana masih
ada sudah terlemahkan.
Uraian ringkas diatas ini nampaknya memberikan gam‐
baran yang cukup suram tentang konteks sumberdaya
hutan dalam mana REDD akan diterapkan.
Pertanyaannya kemudian apa yang dibutuhan untuk
mengatasi masalah itu. Perlu diingat bahwa REDD nanti‐
nya akan sangat tergantung pada pasar karbon, dan para
calon pembeli karbon tentunya mengharapkan kepas‐
tian bahwa investasi mereka benar‐benar akan mengu‐
rangi emisi karbon sebanding dengan investasi mereka.
Pengelolaan timbunan karbon yang mencakup wilayah
hutan yang cukup luas niscaya akan memerlukan koor‐
dinasi dan kerjasama antara semua pemangku kepentin‐
gan, namun gambaran suram tentang berbagai sengketa
antara para pemangku kepentingan (pengelola karbon)
yang mengancam terwujudnya pengelolaan yang baik
niscaya akan dinilai sebagai cukup berisiko dan inves‐
tasi dalam keadaan itu pasti tidak akan dinilai sebagai
gagasan yang baik.
Artinya, penciptaan iklim yang kondusif untuk investasi
REDD menuntut kebijakan‐kebijakan pemerintah dan
tindakan‐tindakan nyata dari semua pemangku ke‐
pentingan yang mengarah pada penyelesaian sengketa‐
sengketa yang ada, termasuk penyelesaian masalah hak‐
hak masyarakat. Sebagai penjual karbon, pemerintah
perlu dapat memberikan jaminan bahwa hutan terjaga
dan bahwa standar REDD terpenuhi, termasuk standar
CCBA yang mensyaratkan bahwa masyarakat mendapat‐
kan manfaat yang layak dan sebanding dengan partisi‐
pasi mereka. Pertanyaanya kemudian adalah apakah
insentif REDD bisa menjadi motivasi yang cukup kuat
bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya
untuk menyelesaikan masalah‐masalah yang berkenaan
dengan hak‐hak masyarakat yang berada di dalam dan
di sekitar hutan sementara kita tahu bahwa masalah‐
masalah itu sebenarnya bukan masalah baru, bahkan
dapat dikatakan sudah menahun.
Katakanlah bahwa memang demikian – bahwa pemerintah
dalam rangka menciptakan dan memantapkan semua pra‐
syarat yang diperlukan untuk pelaksanaan REDD dengan
berhasil akan cukup serius – lalu apakah yang dapat dan
perlu dilakukan? Selain apa yang telah disebutkan diatas, se‐
cara ringkas beberapa gagasan lain diberikan sebagai berikut:
Pemberdayaan semua pihak. Ini bukan saja menyangkut
pemahaman tentang REDD sebagaimana yang disana‐sini
sudah dilakukan dengan kegiatan “sosialisasi”, tetapi juga
kemampuan nyata untuk mengelola kegiatan dan – ini
yang terpenting – kemampuan untuk membangun ker‐
jasama melalui perundingan dan perencanaan kolabo‐
ratif. Hal ini tentunya penting untuk semua pihak, tetapi
terutama untuk masyarakat. Artinya perlu upaya persia‐
pan kelembagaan masyarakat, termasuk pemerintah
desa, yang selama ini terabaikan.
Lalu siapakah yang akan melakukan hal ini? Dinas apakah
di pemerintah kabupaten yang dapat mendamp‐
ingi masyarakat dalam pengembangan kesadaran dan
kemampuan organisasi dan managerial yang memadai?
Ada beberapa LSM – terutamanya LSM Internasional den‐
gan mitra LSM lokal – yang telah mulai prakarsa untuk
ini. Tetapi kita tahu bahwa usaha‐usaha LSM pada umum‐
nya hanya dilakukan pada skala yang terbatas dengan
lokasi yang tersebar dan bisa jadi bahwa itu tidak cukup
bermakna untuk skala REDD.
Pengelolaan sengketa. Sengketa yang berlanjut adalah
pertanda hubungan buruk antara para pemangku ke‐
pentingan dan menjadi hambatan dalam pengembangan
kerjasama antara mereka. Karenanya diperlukan upaya
untuk mengelola sengketa‐sengketa yang ada dan sejauh
mungkin menyelesaikannya. Lebih ideal lagi mekanisme
pengelolaan sengketa itu semestinya terlembagakan se‐
bagai bagian dari kerjasama antara para pemangku ke‐
pentingan.
Namun jika disadari bahwa penyelesaian persoalan hak‐
hak masyarakat adalah suatu upaya jangka‐panjang se‐
mentara program/proyek REDD akan mulai dilakukan
pada tahun 2012, pertanyaannya adalah apakah persoa‐
lan REDD bisa untuk sementara dilepaskan dari persoa‐
lan hak ini. Mungkinkah suatu “winwin solution” dapat
ditemukan, yakni suatu kesepakatan yang secara optimal
memenuhi kepentingan semua pemangku kepentingan,
dapat dikembangkan dalam waktu yang terbatas itu se‐
mentara kita tahu bahwa proses resolusi sengketa bisa
jadi merupakan proses yang panjang? Juga, pengelolaan
sengketa adalah suatu pendekatan pragmatis berdasar‐
kan kepentingan (interest based) dan bukan berdasarkan
hak (rights based), dan apakah itu cukup sebagai dasar
REDD? Ataukah persoalan ini bisa diselesaikan sebagai
bagian terpadu dari prakarsa persiapan untuk REDD –
REDDiness?
13. 10
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
FPIC (free prior informed consent) – persetujuan yang
diberikan sebelumnya (sebelum Skema REDD akan
diterapkan), secara bebas, dan berdasarkan pemaha‐
man yang memadai. Ini merupakan salah satu pra‐
syarat keterlibatan masyarakat dalam REDD menurut
standar CCBA dan juga merupakan salah satu prinsip
dalam UNDRIP. Lalu, bagaimanakah ini dapat diwu‐
judkan? Mengingat keberadaan masyarakat sebagai‐
mana sudah digambarkan sekilas, dalam hal inipun
cukup banyak tantangan yang perlu dihadapi. Jika
kita serius tentang hal ini, nampaknya yang diperlu‐
kan bukan sekedar sosialisasi pada masyarakat
dan kemudian meminta persetujuan tohoh‐tokoh
masyarakat. Ada berbagai hal yang perlu dilakukan,
antara lain:
Pendidikan lingkungan. “Informed” dalam FPIC ber‐
makna bahwa masyarakat benar‐benar memahami apa
dan mengapa mereka menyetujui atau tidak menyetu‐
jui REDD. Artinya konsep‐konsep lingkungan dan
REDD yang relevan seperti gas rumah‐kaca, emisi, pe‐
manasan global, deforestasi, degradasi hutan, nilai
tambah (additionality), kelanggengan (permanence),
kebocoran (leakage), kredit karbon, dan sebagainya –
perlu dipahami. Juga skema‐skema alternatif perhitun‐
gan dan distribusi insentif perlu dimengerti. Artinya
perlu ada upaya kependidikan tersendiri untuk mem‐
bantu masyarakat untuk memahami semua itu.
Pengembangan perwakilan yang benarbenar represen
tatif. Beberapa program mengambil jalan pintas den‐
gan meminta persetujuan pimpinan formal dan tokoh
masyarakat. Walaupun kemudian program mendapat
dukungan kelompok elit di masyarakat, perlu disadari
bahwa kepentingan elit seringkali tidak sama atau
bahkan bertentangan dengan kepentingan masyarakat
banyak, dan jalan‐pintas itu bisa jadi menyesatkan dan
menimbulkan persoalan dikemudian hari. Artinya
perlu dimunculkan wakil‐wakil masyarakat yang benar
‐benar merepresentasikan keanekaragaman kepentin‐
gan yang ada dalam masyarakat.
Mekanisme pengambilan keputusan dan perencanaan
yang demokratis di tingkat desa. Agar wakil masyarakat
benar‐benar representatif dan tidak terlepas dari kon‐
stituennya, mereka harus berangkat dari musyawarah
di tingkat desa mereka. Sebagai bagian dari Sistem Per‐
encanaan Nasional (UU No 25 Tahun 2004 tentang Sis‐
tem Perencanaan Pembangunan Nasional), di setiap
desa dilakukan Musrenbang (Musyawarah Pemban‐
gunan Desa), dan dipikirkan bahwa REDD bisa dibahas
dalam forum Musrenbang ini. Namun kita tahu pula
bahwa Musrenbang itu sendiri masih bermasalah
ketika dalam kenyataannya penyelenggaraan didomi‐
nasi elit dan hanya menghasilkan daftar keinginan
(wishlist) dan masih jauh dari forum yang benar‐
benar demokratis yang menghasilkan rencana yang
benar‐benar terkaji.
Proses konsultasi dan negosiasi yang berjenjang.
Karena program/proyek REDD pastinya meliputi ka‐
wasan yang cukup luas yang mencakup beberapa atau
banyak desa dan berbagai pemangku kepentingan,
perlu upaya untuk membangun kesepakatan antara
semua pihak itu. Kesepakatan yang cukup luas itu
diperlukan untuk mencegah kebocoran (leakage).
Salah satu alternatif dalam membangun kesepakatan
itu adalah proses yang berjenjang mulai dari musy‐
awarah di tingkat desa sampai musyawarah di tingkat
kawasan. Lalu siapakah yang menyelenggarakan dan
memandu proses konsultasi publik ini? Jika ingin di‐
lakukan dengan baik dengan melibatkan komunitas
masyarakat, ada suatu proses yang cukup panjang
yang perlu ditempuh, sementara kita melihat ken‐
yataan bahwa lembaga pemrakarsa menganggap
proses yang baik terlalu merepotkan dan menyita
waktu. Akibatnya berbagai jalan‐pintas ditempuh se‐
hingga proses konsultasi itu tereduksi menjadi for‐
malitas semata sekedar sebagai legitimasi. Bagaima‐
nakah ini bisa dihindarkan?
Perencanaan bersama. Kesepakatan yang dibangun
tidak dapat berhenti pada persetujuan umum tentang
program/proyek REDD tetapi harus dijabarkan men‐
jadi rencana kerja operasional dimana semua pe‐
mangku kepentingan mengetahui apa yang harus dila‐
kukannya. Rencana inipun harus menjadi bagian dari
kesepakatan. Apakah hal ini bisa dicakupkan dengan
hasil yang cukup baik dalam proses musrenbang seba‐
gai telah disebutkan?
Semua pertanyaan itu menyangkut metodologi pendeka‐
tan masyarakat yang partisipatif dalam upaya demokra‐
tisasi pengelolaan sumberdaya alam. Paling tidak itu ga‐
gasannya. Pertanyaannya adalah mampu dan
bersediakah para pemangku kepentingan untuk melaku‐
kan ini semua? Atau bisakah kemampuan itu dan semua
prasyarat yang lain dikembangkan sambil jalan? Jika ti‐
dak, alih‐alih mendapatkan manfaat dari program REDD,
yang akan terjadi justru kesimpangsiuran, kegagalan, dan
kekecewaan masyarakat dan semua pemangku kepentin‐
gan lainnya. ***
14. 11
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
Apa kata mereka tentang “Permasalahan Land Tenure,
Persiapan dan Kesiapan Masyarakat dalam Implementasi
REDD”??
Tahun 2009‐2012 Pemerintah Indonesia menyebutnya sebagai readiness phase implementasi REDD di Indonesia. Pe‐
merintah menyusun strategi REDDI untuk readiness phase yang dimaksudkan untuk memberikan guidance tentang
intervensi kebijakan yang diperlukan dalam upaya menangani penyebab mendasar deforestasi dan degradasi hutan,
serta infrastruktur yang perlu disiapkan dalam implementasi REDD/REDD plus. Sementara itu masyarakat sipil mela‐
kukan hal yang cukup beragam dalam merespon isu REDD. Samdhana Institute melakukan kegiatan dalam mendukung
masyarakat sipil dengan nama yang terdengar hampir sama yaitu Preparedness untuk melihat peluang dan ancaman
atas program REDD.
Bagaimana realita yang terjadi saat ini? Degradasi dan deforestasi masih terus berjalan. Pembangunan kebun‐kebun
sawit berskala besar terus berjalan dan disinyalir banyak yang mengubah tutupan lahan hutan. Selain itu masalah
tumpang tindih penguasaan lahan dalam kawasan hutan juga masih belum dapat diselesaikan dengan baik.
Departemen Kehutanan mempersiapkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prakondisi penting
bagi penyiapan skema penanganan perubahan iklim dan pemanasan global. Keberadaan organisasi pengelola KPH di
tingkat tapak akan mendukung skema penanganan perubahan iklim antara lain melalui (a) menjadi salah satu institusi
penting yang akan mengurusi proses penanganan perubahan iklim atau pemanasan global (b) wilayah kelolanya
menjadi kepastian bagi DA‐REDD (c) KPH bertugas mendokumentasikan dan meregister pemanfaatan hutan termasuk
jasa lingkungan bagi penanganan perubahan iklim.
Kami memberikan ruang kepada para pihak untuk berbagi opini terkait permasalahan land tenure, KPH, persiapan dan
kesiapan serta kewaspadaan masyarakat dalam implementasi REDD dengan harapan dapat memberikan masukan dan
dukungan terhadap terbentuknya KPH yang efektif sebagai bagian dari upaya persiapan implentasi REDD. Di lain pi‐
hak memberikan ruang kepada masyarakat untuk merespon secara adil atas skema REDD. Opini ini merupakan penda‐
pat yang dikemukakan secara independen, individu, dan bukan atas nama institusi.
Ir. Hartina, MM
Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Barat
Undang‐undang No.
41 tahun 1999
tentang Kehutanan
m e n g a m a n a t k a n
untuk melakukan
pengelolaan hutan
sesuai fungsi dan
peruntukan hutan,
juga mengamanatkan
t e n t a n g
P e m b e n t u k a n
Wilayah Pengelolaan
Hutan perlu segera dilaksanakan baik di tingkat
Provinsi,Kabupaten/Kota dan unit pengelolaan (pasal
17 ayat 1 UU No. 41 tahun 1999) dalam bentuk
KPHP,KPHL dan KPHK.
Dasar pemikiran pembentukan Unit‐unit pengelolaan
tersebut adalah efisiensi dan efektivitas dengan
memperhatikan kriteria dan prasyarat tertentu
seperti : 1. Prakondisi kawasan hutan yang mantap
y a n g d i t a n d a i o l e h k a w a s a n h u t a n
tetap,mantap,permanen degan batas‐batas tetap; 2.
Efisiensi yang ditandai oleh tingkat aksebilitas yang
tinggi; 3. Efektivitas ditandai oleh ketepatan
pengelolaan sesuai dengan fungsi dan peruntukan
kawasan hutan.
KPH sebagai salah satu strategi dalam pembangunan
kehutanan tingkat tapak dibentuk dengan
memperhatikan : 1. ekosistem melalui pendekatan
DAS; 2. Kewenangan dengan pendekatan wilayah
administrasi pemerintahan dan status kawasan; serta
3. Kemampuan pengawasan dengan pendekatan Span
of Control atau jenjang pengawasan yang mengadopsi
KPH di Jawa. Pengelolaan KPH dilakukan dengan
menempatkan tenaga profesional secara permanen
mulai dari Kepala KPH sampai dengan petugas
lapangan (mandor).
Memperhatikan hal tersebut diatas,sangat tepat apabila
KPH dijadikan sebagai salah satu skema penanganan
perubahan iklim dan pemanasan global.
15. 12
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
Dengan pendekatan jenjang pengawasan sampai
tingkat tapak oleh mandor, maka KPH akan mampu
mengurusi proses penanganan perubahan iklim serta
mendoku‐mentasikan dan meregister pemanfaatan
hutan.
Apabila KPH berada di Kabupaten maka akan
memperkuat kelembagaan yang sudah ada di daerah,
dengan menempatkan mandor secara permanen
dengan fungsi sebagai pengawas di tingkat tapak.
Namun bagaimana apabila KPH berada di tingkat
Provinsi, akan ada hal yang harus didiskusikan
mendalam terkait dengan kelembagaan yang sudah ada
secara riil di lapangan. *
Haryanto R. Putro
Staf Pengajar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
Sistem tenurial menentukan
siapa yang memiliki dan siapa
yang dapat menggunakan sum‐
berdaya, berapa lama dan pada kondisi apa. Sistem
tenurial adat ditentukan pada tingkat lokal dan sering‐
kali didasarkan atas kesepakatan lisan atau hukum adat.
Sistem tenurial juga dikodifikasikan menurut Undang‐
undang dan diterapkan oleh pemerintah sebagai hukum
positif yang substansinya mengacu pada hukum adat.
Kajian RRI dan ITTO (2009) menunjukkan bahwa kea‐
manan tenurial sangat penting sebagai basis identitas
sosial, keamanan personal dan kelangsungan budaya
masyarakat lokal. Keamanan tenurial juga penting un‐
tuk alasan ekonomi sebagai basis untuk menentukan
siapa yang mendapatkan manfaat atau kerugian dalam
kompetisi barang dan jasa ekonomi, termasuk jasa ling‐
kungan yang diberikan ekosistem hutan. Keamanan
tenurial seringkali merupakan prasyarat yang harus
dipenuhi dalam investasi modal oleh pemerintah dan
dunia usaha, sebaliknya konflik tenurial akan mele‐
mahkan daya tarik investasi dan meruntuhkan pengel‐
olaan hutan lestari. Keamanaan tenurial juga berperan
penting dalam struktur insentif yang memotivasi per‐
lindungan atau perusakan hutan. Banyak bukti bahwa
menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan pada
masyarakat lokal mendorong perbaikan kondisi hutan.
Kesiapan Implementasi REDD diukur dari kinerja
pengelolaan hutan lestari yang kemudian mampu mem‐
buktikan kelebihan stock karbon dalam biomasa, baik di
atas tanah maupun di bawah tanah. Untuk Indonesia,
meningkatnya transparansi pengelolaan hutan, terma‐
suk persiapan implementasi REDD, telah menguak ban‐
yaknya persoalan konflik tenurial di dalam kawasan hu‐
tan yang selama beberapa dekade yang lalu tidak pernah
tersentuh. Hasil inventarisasi Departemen Kehutanan
dan Biro Pusat Statistik (2008) menunjukkan bahwa se‐
jumlah 1500 desa ( 11,14 juta ha) terletak di dalam ka‐
wasan hutan dan 8.662desa (28,46 juta ha) di tepi kawa‐
san hutan. Bisa dibanyangkan bahwa di desa‐desa
tersebut terjadi konflik tenurial yang intensitasnya ber‐
variasi. Penyelesaian masalah ini akan membutuhkan
langkah panjang dan kesigapan Pemerintah untuk mem‐
benahi penataan kawasan hutan yang secara terintegrasi
menyatu dengan kebijakan penataan ruang. Pemban‐
gunan KPH sebagai instrumen penataan kawasan hutan
dan upaya mewujudkan keamanan kawasan hutan, se‐
cara holistik harus mampu menyelesaikan masalah kon‐
flik tenurial melalui penataan ruang kelola dan hak kel‐
ola masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Dalam hal
konflik terjadi pada kawasan hutan yang telah terlanjur
dibebani ijin, KPH harus mampu mengembangkan pola
kemitraan antara pemegang ijin IUPHHK dengan
masyarakat tanpa mengabaikan sistem tenurial yang
berlaku di tingkat tapak.
Pembangunan KPH, dengan demikian dapat menjem‐
batani pengelolaan hutan dan penyelesaian konflik tenu‐
rial pada tingkat tapak, keduanya merupakan prasyarat
bagi terwujudnya kinerja pengelolaan hutan lestari. Ter‐
wujudnya KPH yang dikelola secara profesional dan
menghargai ruang/hak kelola masyarakat, didukung
dengan implementasi governansi kehutanan yang baik,
merupakan jalan mulus untuk memperoleh insentif
REDD+, bila pendekatan ini dapat disepakati pada tahun
2012. Dalam konteks ini, pembangunan KPH yang dii‐
kuti dengan investasi negara dan peningkatan kapasitas
yang terencana, merupakan bagian tak terpisahkan bagi
kesiapan Indonesia untuk meraih kinerja pengelolaan
hutan lestari dan implementasi REDD+ pada masa yang
akan datang. Pembentukan wilayah dan organisasi KPH,
diikuti dengan penyusunan rencana bisnis tingkat KPH
akan menjadi instrumen kunci bagi Indonesia untuk
menyelesaikan konflik tenurial, meningkatkan taraf
hidup masyarakat lokal, meraih kinerja pengelolaan hu‐
tan lestari dan mendapatkan insentif REDD+ pada masa
datang. Keberhasilannya tergantung pada keseriusan
pemerintah, pemerintah propinsi dan pemerintah kabu‐
paten/kota dalam mengawal pembangunan KPH melalui
governansi kehutanan yang baik. *
16. 13
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
Indonesia dikenal sebagai Negara
penghasil emisi terbesar dari peng‐
gunaan lahan dan perubahan tutu‐
pan lahan, sebagai peringkat ke‐3
dari keseluruhan emisi yang dihasil‐
kan dan emisi per kapita tertinggi di antara Negara‐
negara Amerika Utara dan Eropa. Di bulan September
2009, Presiden Indonesia mengumumkan bahwa Indo‐
nesia berkomitmen untuk mengurangi emisi bersih se‐
banyak 26% dengan caranya tersendiri (dengan catatan
menerima ‘baseline’ minus 26% dari sejarah sebelum‐
nya), dan menyambut investasi luar negeri pengurangan
emisi tambahan sebesar 41%. Akibatnya, Indonesia
menjadi target utama bagi tujuan internasional pengu‐
rangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
(REDD) di Negara berkembang. Ekspektasi insentif fi‐
nancial bagi pengurangan emisi telah membawa kemun‐
culan konsep hak karbon, sebagai bentuk hak baru di
dalam konsep land tenure dan property rights.
Isu utama dari perdebatan REDD dalam konteks hak kar‐
bon adalah: (1) siapa yang berhak atau mengklaim men‐
jual karbon atau meminta investasi bagi upaya pengu‐
rangan emisi; dan (2) siapa yang berhak atau mengklaim
hak untuk menerima dana dari insentif tersebut. Konsep
hak karbon, sayangnya, tidak mudah dipahami didalam
interaksinya dengan keberadaan atau kemunculan hak,
kewenangan dan kekuasaan dalam pengambilan kepu‐
tusan peruntukan lahan. Isu utama ini menuntut kejela‐
san dan prosedur yang adil dalam menyelesaikan ‘basis
legalitas’ dari land tenure dan tata pemerintahan terha‐
dap sumberdaya hutan. Sebagai tambahan terhadap
kompleksitas hak karbon di Indonesia, jawaban atas
‘siapa yang berhak menentukan hak karbon’ masih
diperdebatkan.
Mengklarifikasi ‘basis legalitas’ di Indonesia seringkali
berbenturan dengan kontradiksi dari peraturan dan ke‐
bijakan, pemahaman dan interpretasi yang berbeda dan
perubahan dari system local land tenure dan hak tanah
masyarakat adat. Pemerintah seringkali mengubah
aturan dan perundang‐undangan sehingga secara sen‐
gaja atau tidak sengaja meredefinisi hak legal atas hutan.
Perubahan dari aturan dan perundang‐undangan sering‐
kali menimbulkan perubahan dan klaim atas land tenure
dan praktek pemanfaatan hutan. Perubahan kebijakan
telah menyebabkan pertentangan atas kepemilikan, hak
dan tata kelola dari sumberdaya hutan.
Gamma Galudra
ICRAF-SEA
Kompleksitas perubahan kebijakan yang berakibat
pada perubahan system land tenure dan munculnya
berbagai klaim kepemilikan dan penguasaan dapat
ditemukan pada saat era desentralisasi kehutanan
dilaksanakan sejak tahun 2001 dan di tahun 2006,
sentralisasi kembali dilakukan di bidang kehutanan.
Perubahan desentralisasi menuju sentralisasi men‐
gakibatkan ketidakpastian siapa sebenarnya yang
berwenang dalam pengaturan lahan hutan. Di Indo‐
nesia, tidak hanya satu lembaga yang mengatur sis‐
tem land tenure di dalam kawasan hutan, namun be‐
berapa lembaga pemerintahan dengan kewenangan
dan administrasi yang berbeda berdasarkan mandat
perundangan yang berbeda pula ikut serta men‐
gaturnya. Banyaknya lembaga yang mengatur sistem
land tenure seringkali menyebabkan benturan ke‐
pentingan, yang berakhir pula dengan konflik ke‐
pentingan. Konflik terbuka seringkali terjadi di lapan‐
gan. Penyelesaian konflik melalui jalur hukum tidak
mampu menyelesaikan masalah karena benturan ke‐
pentingan ini justru disebabkan oleh ketidakpastian
aturan yang berlaku. Banyaknya lembaga yang men‐
gatur system land tenure di dalam hutan dengan
segala kepentingannya dapat menyebabkan ketidak‐
pastian siapa yang menentukan dan menetapkan pi‐
hak tertentu berhak atas insentif yang diberikan atas
pengurangan karbon.
Selain itu pula, bentuk klaim atas kepemilikan dan
kepenguasaan tanah bukan hanya berbasis pada
legalitas semata. Di Jawa, banyak masyarakat lokal
mengklaim hak kepenguasaan dan kepemilikan atas
hutan konservasi dan hutan lindung hanya sekedar
berdasarkan cerita nenek moyang di masa lalu dan
bentuk kemitraan (sebagai contoh PHBM) yang dicip‐
takan pada pemangku lahan sebelumnya (seperti
Perum Perhutani). Klaim ini digunakan sebagai alat
strategi bagi masyarakat lokal untuk menegosiasi
ulang bentuk land tenure di dalam kawasan hutan.
Untuk memahami hak karbon yang berbasis pada
system land tenure yang ada, tidaklah cukup untuk
focus hanya pada aspek legal saja, namun juga
sejarah, politik dan perkembangan ekonomi yang
digunakan dalam pembentukan dan penentuan hak
atas tanah. Selain itu pula, perlu dipertanyakan
apakah bentuk‐bentuk land tenure selain yang bukan
didasarkan pada sistem Negara, namun berbasis pada
system adat, agama dan sebagainya mampu
17. 14
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
Pengelolaan hutan di
wilayah tapak memberi‐
kan peluang untuk
meminimalisir terjadinya
pemanasan global dan
salah satu respon konkrit
terhadap perubahan ik‐
lim. Contoh nyata yang
sudah di inisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas,
Kalimantan Tengah yang didukung oleh Kemitraan dan
WG‐Tenure dalam melakukan assessment land tenure
sebagai bagian dari usulan penetapan wilayah KPH
model di Kabupaten Kapuas ini mestinya “segera di tiru”
juga oleh kabupaten lain (khususnya di propinsi Kali‐
mantan Tengah), jika tidak mau dianggap ketinggalan.
Di samping sebagai salah satu “pintu masuk” dalam kon‐
tek penyelesaian konflik tenurial, pola pendekatan anal‐
isis land tenure (antara lain dengan menggunakan me‐
tode RATA dan AGATA) dalam mendesain sebuah KPH
bisa menyentuh akar permasalahan konflik tersebut,
walau perlu proses yg sangat panjang.
Yang paling penting untuk di dorong sebagai tahap se‐
lanjutnya adalah kepastian kebijakan dan kelembagaan
yang mampu menjadi payung KPH tersebut juga jangan
di abaikan, mesti ada "keterpaduan dan singkronisasi"
pada lintas departemen serta antara pusat dan daerah,
baik dari sisi perencanaan, teknis hingga pendanaa.
Perlu juga diketahui bahwa Pejabat Dearah (Gubernur
dan para Bupati) banyak yang belum memahami secara
menyeluruh tentang KPH itu sendiri, sehingga sering‐
kali dianggap sebagai sebuah “beban baru”. Pembentu‐
kan dan pengelolaan KPH model harus ada ruang keter‐
bukaan secara holistic bagi masyarakat untuk mengam‐
bil peran dalam setiap proses tersebut. *
Kussaritano
Mitra LH Kalimantan Tengah
terakomodir sebagai pengklaim atas hak karbon dari
upaya pengurangan emisi. Peraturan Menteri Kehu‐
tanan No P.36/2009 mengatur siapa saja yang berhak
mengklaim hak karbon di dalam skema penyerapan
dan/atau penyimpanan karbon, namun sayangnya
hanya membatasi diri pada system land tenure yang
berbasis pada Negara dan belum mampu mengako‐
modir system land tenure yang dianut oleh adat, agama
dan sebagainya.
Tenure pepohonan merupakan bentuk lain dari land
tenure. Studi kasus Lamandau menggambarkan bagai‐
mana tenure pepohonan menambah kompleksitas hak
karbon. Negosiasi proses untuk memberikan hak akses
atas tanah seperti HKm, hutan desa dan HTR dapat men‐
imbulkan konflik khususnya ketika pemilik/ pengguna
pepohonan tidak secara otomatis sama dengan pemilik/
pengguna tanah. Memahami land tenure perlu ditam‐
bahkan pula pemahaman tentang multi guna dan multi
akses terhadap tanah, pepohonan serta sumberdaya
alam lainnya. Skema hutan kemasyarakatan (HKm), hu‐
tan desa atau hutan tanaman rakyat (HTR) untuk mem‐
berikan akses kepada masyarakat sekitar hutan dapat
membantu persoalan tumpang tindih klaim. Namun,
perlu kehati‐hatian pada saat mendefinisikan skema
tersebut agar tidak merusak pembagian hak ke‐
pemilikan/ penguasaan sumber daya hutan dengan
pengguna dan pengakses lainnya.
18. 15
INFO KEBIJAKAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
P
ertengahan bulan Maret yang lalu WG‐Tenure
diundang oleh FAO Roma sebagai salah satu
peer reviewer untuk membahas dan memberi‐
kan masukan pada draft FAO mengenai re‐
forma tenurial atas sumberdaya hutan. Reviewer lain
yang terlibat dalam lokakarya dua hari ini adalah para
individu dari lembaga‐lembaga Right and Resource Inni
tiative (RRI), International Union for Conservation of Na
ture (IUCN), International Land Coalition (ILC), The Cen
ter For People and Forests (RECOFTC), Center for Inter‐
national Forestry Research (CIFOR), serta wakil‐wakil
dari Korea Selatan, Iran, China, Australia, dan Swiss.
Latar Belakang dan Rekomendasi
Draft yang diberi judul Reforming Forest Tenure: Issues,
Principles and Process tersebut di antaranya menyatakan
bahwa secara global pemilikan hutan dan pengelolaan
hutan oleh pemerintah masih mewarnai situasi tenurial
hutan dunia. Berdasarkan FAO’s Global Forest Assess
ment (2010), delapan puluh persen (80% ) hutan dunia
masih merupakan hutan publik, meskipun ada ke‐
cenderungan peningkatan dalam kepemilikan dan
pengelolaan hutan oleh individual dan masyarakat.
Dalam situasi seperti itu kondisi sumberdaya hutan
dunia masih terlihat kurang memuaskan, ditandai den‐
gan masih tingginya laju deforestasi dan degradasi, serta
masih tingginya angka kemiskinan pada masyarakat
yang berada di dalam maupun di sekitar hutan.
Untuk memperbaiki pengelolaan sumberdaya hutan di
suatu negara diperlukan keragamam sistem tenure,
karena tenure yang sampai saat ini hanya berpusat pada
pemerintah ternyata kurang berhasil dalam menjamin
keutuhan sumberdaya hutan dan kesejahteraan
masyarakat.
Hal ini disebabkan karena pemerintah sering mempun‐
yai kapasitas yang kurang memadai untuk mengelola
seluruh sumberdaya yang sangat luas, terpencar dan
beragam dari sisi biofisik maupun sosial budaya. Ker‐
agaman tenurial, diharapkan akan menjawab persoalan
pengelolaan sumberdaya hutan yang beragam, me‐
menuhi tuntutan keadilan sosial, dan dapat memper‐
baiki kondisi sosial ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat.
Dalam kaitan itu, keberhasilan pengelolaan sumberdaya
hutan di suatu negara akan sangat ditentukan oleh
interaksi antara sistem tenure atas hutan dengan kerangka
kebijakan dan peraturan yang ada, serta dengan kondisi tata
kelola pemerintahan.
Ketiga elemen tersebut harus berada dalam suatu kesatuan
konsep yang menjamin kepastian tenure atas sumberdaya
hutan (secured forest tenure), yang menghormati hak‐hak
adat dan hak‐hak lain yang telah ada. Oleh karena itu re‐
forma tenure harus merupakan bagian dari reforma kehu‐
tanan secara keseluruhan, dan harus menjadi bagian integral
dari agenda pembangunan nasional atau wilayah. Keberhasi‐
lan dari integrasi ketiga elemen itu akan terjadi bila ada per‐
baikan atas sistem tata kelola pemerintahan yang lebih efek‐
tif, yang selalu meningkatkan kapasitas para pihak dalam me‐
laksanakan hak‐hak dan kewajibannya atas sumberdaya hu‐
tan. Reforma tenurial dalam konsep ini sudah barang tentu
tidak mencapai tujuannya dengan serta merta, karena akan
melalui proses yang panjang dan iteratif melalui pendekatan
‘aksi dan pembelajaran’ (actionlearning approaches).
PrinsipPrinsip Reforma Tenure
Berdasarkan observasi atas upaya‐upaya reformasi tenure di
berbagai negara, ditarik pelajaran bahwa reforma tenure
harus merupakan suatu proses pembelajaran aksi bersama
seluruh pihak secara daptif, dan harus menjadi bagian dari
REFORMA TENURE ATAS SUMBERDAYA HUTAN
Konsep FAO dan Kemungkinan Pelaksanaannya di Indonesia
Iman Santoso
Koordinator Pengurus WGTenure
“Untuk memperbaiki pengel‐
olaan sumberdaya hutan di
suatu negara diperlukan ker‐
agamam sistem tenure, karena
tenure yang sampai saat ini
hanya berpusat pada pemerin‐
tah ternyata kurang berhasil
dalam menjamin keutuhan
sumberdaya hutan dan kese‐
jahteraan masyarakat.“
19. 16
INFO KEBIJAKAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
agenda reformasi menyeluruh dan terpadu. Reforma tenure
juga harus dilakukan dalam rangka memberdayakan
kelompok masyarakat yang selama ini termajinalkan,
khususnya kelompok perempuan dan kelompok miskin.
Dalam kaitan ini maka sistem tenure pada masyarakat adat
yang masih relevan harus tetap dihormati dan dimasukkan
dalam kerangka peraturan yang ada. Demikian pula halnya
dengan hak‐hak yang sah lainnya, yang selama ini telah ada,
tetap harus dihormati. Dalam hal ini, kapasitas pemegang
hak perlu ditingkatkan agar mereka dapat mengunakan
haknya dengan baik dan secara tepat dapat memenuhi ke‐
wajibannya.
Dari sisi kelembagaan, reforma tenure seharusnya didu‐
kung oleh kerangka kebijakan dan peraturan yang benar‐
benar bisa diimplementasikan dan bersifat mengikat dan
mewajibkan kepada pihak‐pihak yang terkait. Kerangka
kebijakan dan peraturan tersebut harus cukup sederhana
tidak ‘njelimet’ (complicated) sehingga mengakibatkan
biaya transaksi tinggi dan sulit untuk dilaksanakan, teru‐
tama bila akan diterapkan oleh pemegang hak skala kecil
atau masyarakat. Pada akhirnya, kerangka peraturan untuk
reforma tenure ini harus mengarah pada kepastian tenure
sumberdaya hutan setegas mungkin.
Keberhasilan reforma tenure juga menuntut terselengga‐
ranya tata kelola yang baik (good governance) di sisi Pe‐
merintah, masyarakat maupun sektor swasta atau pen‐
gusaha. Semua pihak hendaknya menerapkan keterbukaan
dan transparansi atas berbagai informasi dalam proses re‐
forma tenure. Yang tidak kalah penting, reforma tenure
harus dilakukan secara bertanggung jawab dan bertang‐
gung gugat, sehingga tercipta keadilan sosial dan kepanta‐
san tindakan dalam proses reforma. Secara khusus pihak
Pemerintah dituntut untuk tegas dan pasti (predictable)
dalam menerapkan kebijakannya, serta melibatkan secara
aktif seluruh pihak dalam proses pengambilan keputusan.
Implementasi Reforma Tenure untuk Indonesia
Konsep reforma tenure yang ditawarkan FAO merupakan
konsep generik yang sangat mungkin untuk diterapkan di
semua negara karena memuat hal dan prinsip normatif.
Sudah barang tentu konsep ini menjadi mungkin untuk di‐
laksanakan di suatu negara, hanya jika negara tersebut
mempunyai kemauan politik untuk menjalankannya. Un‐
tuk Indonesia, bila konsep ini diterapkan akan memerlukan
langkah‐langkah penting, bahkan untuk beberapa aspek
menuntut perubahan mendasar.
Pertama, Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Na‐
sional, dan Kementerian Dalam Negeri beserta seluruh unit
‐unitnya di Provinsi dan Kabupaten/Kota harus semakin
meningkatkan koordinasi dalam menemukan kesepahaman
‐kesepahaman baru mengenai hak‐hak atas tanah yang
berada pada kawasan hutan; sedemikian rupa sehingga hak
‐hak atas tanah yang secara de facto telah ada dalam kurun
waktu yang cukup lama (periodenya ditentukan bersama)
tetap diakui dan ditingkatkan menjadi pengakuan de jure.
Pengakuan ini tidak harus diikuti dengan perubahan
fungsi kawasan, sehingga siapapun pemangku hak atas
tanah di atas kawasan hutan harus mengikuti pengaturan
pemanfaatan dan penggunaan tanah tersebut sesuai fungsi
kawasan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah.
Kedua, konsekuensi dari hal di atas, paradigma peman‐
tapan kawasan hutan di Indonesia harus dirubah dari me‐
mantapkan status kawasan yang clear and clean menjadi
kawasan yang berfungsi optimal. Paradigma optimalisasi
kawasan ini memungkinkan adanya berbagai tenure di
dalam kawasan yang disertai dengan berbagai modus pe‐
manfaatan dan penggunaan sumberdaya yang ada, namun
kesemuanya itu harus tetap diarahkan untuk memantap‐
kan fungsi kawasan (fungsi produksi, lindung, dan/atau
konservasi). Dengan paradigma ini maka fungsi kawasan
akan tetap dan jelas sesuai rencana tata ruang yang ada
(clear), tanpa harus mengeluarkan (clean) hak‐hak yang
telah ada. Dengan demikian, dalam proses pengukuhan
dan penetapan kawasan hutan tidak perlu ada kategori
enclave di dalam kawasan.
Ketiga, konsekuensi lain, pengelolaan kawasan hutan ha‐
rus lebih intensif melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) yang secara khusus akan melakukan: i) identifikasi
tenure yang ada untuk diproses kearah pengakuan formal
(de jure) sesuai dengan kelayakan sosial maupun biofisik,
sehingga ada kepastian tenure (tenure security), ii) pening‐
katan kapasitas pemangku hak untuk implementasi hak
dan kewajiban sesuai dengan tenure yang dimiliki, serta
iii) memonitor dan mengendalikan penggunaan tenure di
tingkat tapak (site).
Keempat, ide mengenai reforma tenure harus masuk
dalam arus utama (main stream) Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Nasional maupun Provinsi, Kabupaten/
Kota, sehingga ada konsekuensi di perancangan anggaran
dan revisi beberapa kebijakan pembangunan. Proses in‐
korporasi reforma ke dalam RPJP dan RPJM harus dilaku‐
kan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pihak,
secara terbuka dan jujur, tanpa harus menyalahkan berba‐
gai ‘keterlanjuran’ yang terjadi di masa lalu.
Kelima, reformasi birokrasi merupakan bagian terpenting
dalam reforma tenure, terutama yang meliputi peningka‐
tan transparansi dalam perencanaan penataan ruang, peri‐
jinan pemanfaatan dan penggunaan kawasan, dan penye‐
lesaiaan konflik, serta keterbukaan informasi dan kebija‐
kan spatial. Reformasi dimaksud diarahkan untuk pen‐
yederhanaan dan kepastian berbagai prosedur sehingga
menimbulkan kondisi pemungkin bagi suksesnya reforma,
dan tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost
economy).
Mampukah kita melaksanakan hal itu ? Tentunya ini akan
kembali kepada apakah kita mempunyai kemaun politik
untuk melakukannya. Semoga. ***
20. 17
PROSES PEMBELAJARAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
Pendahuluan
Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi di dunia
(tahun 2009 1.08n juta ha/thn)1, bersama‐sama
Amerika, China dan beberapa negara lainnya, secara
khusus Indonesia menunjukkan tingkat emisi yang tinggi
dari deforestasi dan perubahan penggunaan lahan. Be‐
berapa pemerintah negara maju dan organisasi non pe‐
merintah (Ornop) saat ini mendorong pelaksanaan
proyek rintisan skema REDD dan pengembangan kebija‐
kan di Indonesia. Saat ini sekitar 40 proyek rintisan
skema REDD sedang dikembangkan di Indonesia.
Namun demikian sebagian besar Ornop yang berkaitan
dengan pengelolaan kekayaan alam dan masyarakat
yang akan dipengaruhi oleh proyek rintisan REDD masih
lemah dalam memahami apa itu REDD, keterkaitannya
dengan mitigasi perubahan iklim, dan kebijakan‐
kebijakan terkait. Sebagian besar pendukung
pelaksanaan proyek rintisan skema REDD mengklaim
bahwa proyek mereka adalah untuk keuntungan bagi
masyarakat lokal, tetapi hanya sedikit informasi yang
sitematis tersedia bagi warga masyarakat di lokasi
proyek‐proyek rintisan tersebut akan dilaksanakan
tentang bagaimana kelak masyarakat akan menerima
manfaat. Dalam kondisi inilah Samdhana
mengembangkan kegiatan REDD Preparedness, atau
mengajak masyarakat untuk melihat kembali
kesiapannya dalam melihat peluang dan ancaman atas
program REDD.
Samdhana REDD Preparedness
Pelaksanaan kegiatan Samdhana REDD Preparedness
dimulai sejak tahun 2009 dan sudah berjalan hampir
dua tahun. Sebanyak 40‐an mitra turut bekerja bersama
dengan kegiatan yang didukung oleh Packard dan
NORAD ini, tersebar di lima wilayah, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Papua. Beberapa
lembaga mitra yang terdiri dari Ornop, Organisasi
Rakyat dan Kelompok Kerja Multi Pihak memberikan
titik berat kegiatan di tingkat nasional maupun lokal.
Kegiatan kesiapan masyarakat tersebut diantaranya
adalah :
Perhatian pada kebijakan pemerintah nasional men‐
genai resolusi UNFCCC, mitigasi perubahan iklim
dan skema REDD serta kerangka kerja kelembagaan
pada tingkat nasional dan sub‐nasional;
Pendidikan publik mengenai isu mitigasi perubahan
iklim;
Analisa hukum mengenai skema REDD untuk masyara‐
kat dan peran jajaran pengambil keputusan di Kabu‐
paten;
Mendidik kelompok media cetak maupun elektronik
dan media alternatif mengenai isu mitigasi peruba‐
han iklim dan kepemerintahan (governance);
Mendukung kesiapan pengorganisasian, manajemen
landscape/hamparan bentang alam, hak kepemilikan
karbon, oleh masyarakat dan/atau organisasi sipil
dalam keterlibatan mereka pada proyek perintis
REDD termasuk prinsip‐prinsip socialecological
safeguards;
Pemetaan; perencanaan (dan/atau monitoring pelak‐
sanaan) tata ruang dalam konteks mitigasi peruba‐
han iklim.
Hingga bulan Mei 2010 serangkaian pertemuan berbagi
hikmah dan pembelajaran kesiapan masyarakat
terhadap skema REDD di kelima region sudah selesai
diselenggarakan. Berbagai pandangan dan masukan
penting untuk dirajut ke tingkat nasional agar dapat
memberikan kontribusi terhadap upaya kerangka
kebijakan dan pelaksanaan yang sungguh‐sungguh
memberikan manfaat bagi masyarakat dan
keberlanjutan fungsi‐fungsi alam dari skema REDD dan
mitigasi perubahan iklim nasional. Salah satu upaya
menjaga kesinambungan proses, yaitu lokatulis hikmah
dan pembelajaran yang mana beberapa tulisan
disajikan Warta Tenure edisi khusus ini, sehingga
pengalaman berharga dapat dijadikan sebagai referensi
bagi pihak‐pihak yang memerlukan.
SAMDHANAREDD PREPAREDNESS:
SEBUAH DUKUNGAN MENTORING & HIBAH KECIL UNTUK
MEMAHAMI PELUANG DAN ANCAMAN REDD DI TINGKAT LOKAL
Samdhana REDD Preparedness Advisors i)
———————————————————————————————
1Sumber RLPS, Seminar FWI 28 Agustus 2010
21. 18
PROSES PEMBELAJARAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
Membangun Sinerji REDD Prepardness & Readiness
Pemerintah memiliki tugas yang luar biasa besar mela‐
kukan penyiapan REDD (REDD Readinesii) dengan meny‐
iapkan segala sesuatu kebijakan dan landasan hukum
bagi skema‐skema REDD, serta menyiapkan agenda miti‐
gasi perubahan iklim nasional. Akan tetapi REDD Readi‐
ness sebagai inisiatif negara tidak dapat menyentuh se‐
luruh persoalan dari atas hingga ke bawah, dimana
pendekatan Readiness memiliki beberapa keterbatasan,
misalnya melihat REDD sebagai suatu yang given dan
tidak dapat banyak berubah, tetapi perlu diterjemahkan
dalam kebijakan nasional serta lokal. Sehingga terkesan
topdown.
Secara umum Samdhana Institute mengembangkan
REDD Preparedness REDD Preparedness untuk berkon‐
tibusi pada pengembangan dan implementasi REDD
yang efektif, bukan hanya sebagai suatu proses yang top
down, dengan cara meningkatkan pemahaman masyara‐
kat melalui organisasi non‐pemerintah, organisasi
masyarakat dan kelompok kerja multi‐pihak dalam
melihat resiko dan kesempatan yang ada dalam ker‐
angka kerja mitigasi perubahan iklim dan membuka
kesempatan pengambilan keputusan keputusan dengan
proses partisipatif dan pengetahuan yang penuh.
Samdhana Institute, memilih pendekatan khusus yaitu
Teori Perubahan (Theory of Changeiii), pendekatan yang
disusun untuk memberikan perubahan positif dengan
meningkatkan pemahaman di tingkat lokal akan ma‐
salah sosial, politik, perubahan biofisik tata guna lahan,
yang dilanjutkan dengan dialog, negosiasi antar‐
kelompok kepentingan pada berbagai tataran untuk
membawa perubahan yang positif.
Secara khusus Samdhana Institute menyebut kegiatan
ini REDD Preparedness, yang dirancang untuk mening‐
katkan kesiapan masyarakat dalam mengorganisir diri
dan mengartikulasikan hak‐haknya atas hutan dan
usaha wanatani masyarakat serta sumber daya alam
lainya, serta menegosiasikan berbagai keuntungan yang
dapat dimanfaatkan dari suatu pengelolaan jasa‐jasa
22. 19
PROSES PEMBELAJARAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - WartaTenure Nomor 8 - Juli 2010
lingkungan (serapan karbon, keanekaragaman hayati
serta fungsi tata air) oleh masyarakat, sebagai nilai tam‐
bah atas apa yang telah dan sedang mereka laksanakan
pada wilayah kelolanya secara adil dan lestari. Hal ini
perlu selalu disinerjikan dengan REDD Readiness se‐
hingga tercapai jalan bersama dalam menjawab persoa‐
lan lokal dan global secara simultan.
Proses Belajar yang Tak Pernah Berhenti
Bersama mitra‐mitranya, Samdhana Institute merasa
perlu terus belajar untuk dapat berkontribusi dalam
pemikiran dan melakukan mentoring kemampuan
anggotanya untuk mengembangkan kemampuan dan
pemahaman mitra‐mitra pada persoalan REDD
di Indonesia dengan harapan para mitra dapat
berkontribusi pada pemecahan permasalahan lokal dan
sekaligus berkontribusi dalam menyelesaikan
permasalahan global berperspektif lokal. Seperti kita
ketahui bersama bahwa agenda mitigasi perubahan
iklim terus berubah, dari CDM, RED, REDD, REDD+,
bahkan REDD ++, hal tersebut sejalan dengan tarik
menarik kepentingan para pihak. Proses belajar harus
terus dilakukan, khususnya pada tataran lokal sehingga
masyarakat dapat ikut menikmati keberhasilannya dan
sedini mungkin dapat mencegah resiko buruk yang
mungkin akan terjadi. ***
————————————————————————————————————————————————————
iAdvisor REDD‐Preparedness terdiri dari berbagai orang dengan latar belakang yang spesifik dengan keahliannya masing‐masing yang juga
bertugas melakukan mentoring kepada mitra Samdhana sebagai berikut; Patrick Anderson, Gamal Pasya, Arif Wicaksono, Avi Mahan‐
ingtyas, Tjatur Kukuh, Pete Wood, Nonette Royo, Kasmita Widodo, Mahir Takaka, Hapsoro dan Martua T. Sirait
iiTentang REDD Readiness lihat http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5746
iiiTentang Theory of Change, lihat Increasing Community Preparedness for Risks and Opportunities Related to Climate Change Mitigation/
REDD in Indonesia, 2009