Disertasi ini mengkaji respons terhadap ajakan yang dilakukan oleh penutur bahasa Indonesia-Sunda dalam tiga grup Facebook mahasiswa dari tiga jenjang akademik. Penelitian ini menggunakan metode netnografi untuk menganalisis proses ajakan, strategi ajakan, respons terhadap ajakan, dan strategi negosiasi berdasarkan data dari percakapan daring. Hasilnya menunjukkan adanya dua jenis ajakan, enam strategi ajakan, tiga
1. J.06
RESPONS TERHADAP AJAKAN OLEH PENUTUR BAHASA
INDONESIA-SUNDA DALAM TIGA GRUP FACEBOOK
MAHASISWA DARI TIGA JENJANG AKADEMIK BERBEDA:
KAJIAN PRAGMATIS PADA DATA NETNOGRAFI
RESPONSES TO INVITATIONS BY INDONESIAN-SUNDANESE
SPEAKERS IN THREE FACEBOOK GROUPS OF STUDENTS
FROM THREE DIFFERENT ACADEMIC LEVELS:
A PRAGMATIC STUDY ON NETNOGRAPHIC DATA
Oleh
Yuliani Kusuma Putri
1801 3012 0016
DISERTASI
Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu -Ilmu Sastra
pada Universitas Padjadjaran
dengan wibawa Rektor Universitas Padjadjaran
Prof. Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr.
Dipertahankan pada tanggal 8 Agustus 2016
di Universitas Padjadjaran
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016
2. RESPONS TERHADAP AJAKAN OLEH PENUTUR BAHASA
INDONESIA-SUNDA DALAM TIGA GRUP FACEBOOK
MAHASISWA DARI TIGA JENJANG AKADEMIK BERBEDA:
KAJIAN PRAGMATIS PADA DATA NETNOGRAFI
RESPONSES TO INVITATIONS BY INDONESIAN-SUNDANESE
SPEAKERS IN THREE FACEBOOK GROUPS OF STUDENTS
FROM THREE DIFFERENT ACADEMIC LEVELS:
A PRAGMATIC STUDY ON NETNOGRAPHIC DATA
Oleh
Yuliani Kusuma Putri
1801 3012 0016
DISERTASI
Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu -Ilmu Sastra
pada Universitas Padjadjaran
dengan wibawa Rektor Universitas Padjadjaran
Prof. Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr.
Dipertahankan pada tanggal 8 Agustus 2016
di Universitas Padjadjaran
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016
3. RESPONS TERHADAP AJAKAN OLEH PENUTUR BAHASA
INDONESIA-SUNDA DALAM TIGA GRUP FACEBOOK
MAHASISWA DARI TIGA JENJANG AKADEMIK BERBEDA:
KAJIAN PRAGMATIS PADA DATA NETNOGRAFI
RESPONSES TO INVITATIONS BY INDONESIAN-SUNDANESE
SPEAKERS IN THREE FACEBOOK GROUPS OF STUDENTS
FROM THREE DIFFERENT ACADEMIC LEVELS:
A PRAGMATIC STUDY ON NETNOGRAPHIC DATA
Oleh
Yuliani Kusuma Putri
1801 3012 0016
DISERTASI
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
guna memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Sastra.
Telah disetujui oleh Tim Promotor pada tanggal seperti tertera di bawah ini
4. PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya, disertasi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doktor), baik di
Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Promotor dan masukan Tim
Penelaah/Tim Penguji.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang
berlaku di perguruan tinggi ini.
Bandung, 30 Juni 2016
Yang membuat pernyataan,
(Yuliani Kusuma Putri)
1801 3012 0016
5. vi
DALIL-DALIL
1. Tindak tutur ajakan nyata pada konteks dalam jaringan tidak melibatkan
negosiasi yang panjang dan kompleks.
2. Tindak tutur ajakan ambigu pada konteks dalam jaringan melibatkan proses
negosiasi yang lebih panjang dan kompleks dibandingkan ajakan nyata.
3. Data dalam kajian pragmatis yang menggunakan metode netnografi lebih
bersifat alami.
4. Penggunaan bahasa pada komunikasi dalam jaringan memiliki kesamaran
antara bentuk formal dan nonformal.
5. Teknologi merupakan alat untuk manusia mengembangkan dirinya yang tidak
dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan dan bahasa.
6. Pendidikan berbasis teknologi yang tepat guna dapat mewujudkan bangsa yang
berkemajuan, berdaya guna, dan bermartabat.
7. Teknologi telah menjadi bagian dari budaya dalam kehidupan manusia yang
penetrasinya tidak dapat dihindari.
6. vii
ABSTRAK
Disertasi ini berjudul “Respons terhadap Ajakan oleh Penutur Bahasa Indonesia-
Sunda dalam Tiga Grup Facebook Mahasiswa dari Tiga Jenjang Akademik
Berbeda: Kajian Pragmatis pada Data Netnografi”. Penelitian ini mengkaji ajakan
dan responsnya pada komunikasi daring ditinjau dari pragmatik yang difokuskan
pada (1) proses ajakan; (2) bentuk tuturan dan strategi ajakan; (3) respons
terhadap ajakan; dan (4) bentuk tuturan dan jenis strategi negosiasi pada proses
ajakan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode etnografi
melalui Internet atau netnografi, yang mengadaptasi teknik-teknik penelitian
etnografi menjadi penelitian terhadap budaya dan komunitas daring. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa (1) ajakan dibagi menjadi dua jenis, yaitu
ajakan nyata dan ajakan ambigu. Kemudian proses ajakan diawali dengan aksi
inisiasi yang berupa ajakan maupun felicity conditions; diikuti respons terhadap
ajakan yang melibatkan negosiasi; dan berakhir dengan dua jenis hasil akhir,
yaitu adanya kesepakatan dan tidak adanya kesepakatan; (2) ditemukan enam
strategi ajakan yang diberikan oleh inisiator, yaitu (a) imperatif, (b) formula
menyarankan, (c) kesediaan, (d) kemampuan, (e) isyarat kuat, dan (f) isyarat
halus. Strategi ajakan yang paling banyak digunakan oleh inisiator dalam ajakan
nyata adalah formula menyarankan, kesediaan, dan kemampuan; sementara
strategi ajakan yang paling banyak digunakan pada ajakan ambigu adalah
imperatif. Kemudian, bentuk tuturan ajakan yang paling banyak ditemukan pada
ajakan nyata adalah interogatif; dan pada ajakan ambigu terdapat keseimbangan
antara bentuk tuturan yang digunakan, yaitu deklaratif dan interogatif; (3) respons
terhadap ajakan terbagi menjadi tiga, yaitu (a) penerimaan, (b) penolakan parsial,
dan (c) penolakan penuh; serta (4) negosiasi digunakan baik sebagai respons
terhadap ajakan maupun respons terhadap penolakan ajakan, dan ditemukan
sembilan jenis negosiasi, yaitu (a) rekomendasi, (b) perintah, (c) komitmen, (d)
pengakuan diri, (e) peringatan, (f) seruan normatif positif, (g) janji, (h) alternatif,
dan (i) pemberitahuan. Bentuk tuturan dari negosiasi yang paling banyak
ditemukan pada data adalah deklaratif. Penelitian ini menunjukkan bahwa data
yang diambil dari percakapan daring lebih alami dibandingkan dengan discourse
completion task, kuesioner, dan simulasi.
7. viii
ABSTRACT
This dissertation is entitled “Responses to Invitations by Indonesian-Sundanese
Speakers in Three Facebook Groups of Students from Three Different Academic
Levels: A Pragmatic Study on Netnographic Data”. This research investigates
the act of inviting in online communication pragmatically which focuses on (1)
invitation process; (2) utterance structures and strategies of invitations; (3)
responses to invitations; and (4) utterance structures and strategies of
negotiations in the invitation process. The method used in this research is Internet
ethnography or netnography, which adapts ethnographic research techniques into
a study on online cultures and communities. This research shows that (1)
invitations are divided into two types, unambiguous invitations and ambiguous
invitations. Then, the invitation process begins with an initiating act consisting of
an invitation or felicity conditions; followed by responses to the invitation
involving negotiation; and ends with two kinds of final outcomes; they are one
with an agreement and one without an agreement; (2) six invitation strategies are
found in this research; they are (a) imperatives, (b) suggestory formulae, (c)
willingness, (d) ability, (e) strong hints, and (f) mild hints. The mostly used
invitation strategies in unambiguous invitations are suggestory formulae,
willingness, and ability; whereas the mostly used invitation strategy in ambiguous
invitations is imperatives. Then, the utterance structure from invitations mostly
found in unambiguous invitations is interrogative; whilst there is a draw between
declarative and interrogative in ambiguous invitations; (3) there are three kinds
of responses to invitations; they are (a) acceptances, (b) partial refusals, and (c)
full refusals; and finally (4) negotiations are used in response to both invitations
and refusals to invitations, and nine types of negotiations are found; they are (a)
recommendations, (b) commands, (c) commitments, (d) self-disclosures, (e)
warnings, (f) positive normative appeals, (g) promises, (h) alternatives, and (i)
notifications. The utterance structure of negotiation mostly found on the data is
declarative. This research ascertains that data taken from online interactions is
more natural than discourse completion task, questionnaires, and role-plays.
8. ix
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
subhanallahu wata ala karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul “Respons terhadap Ajakan oleh
Penutur Bahasa Indonesia-Sunda dalam Tiga Grup Facebook Mahasiswa dari
Tiga Jenjang Akademik Berbeda: Kajian Pragmatis pada Data Netnografi”.
Penyusunan disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor dalam program studi Ilmu Sastra konsentrasi Linguistik pada Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.
Dalam penyusunan disertasi ini, penulis mengalami banyak kesulitan dan
hambatan, yang datang baik dari diri penulis sendiri maupun dari pihak luar. Akan
tetapi, berkat dorongan, dukungan, dan bantuan dari beberapa pihak, penulis dapat
menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr;
2. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Yuyu Yohana
Risagarniwa, PhD.;
3. Ketua Program Studi Ilmu Sastra S3, Prof. Dr. Cece Sobarna, M.Hum.;
4. Tim Promotor yang diketuai Prof. Dr. H. Dudih A. Zuhud, MA. serta anggota
tim, Dr. Wahya, M. Hum dan Dr. Eva Tuckyta Sari Sujatna, M.Hum. yang
telah memberikan bantuan serta ilmunya kepada penulis;
9. x
5. Tim Oponen Ahli, Dr. Nia Kurniasih, M. Hum., Dr. Nani Sunarni, MA., dan
Nani Darmayanti, Ph.D., atas saran dan bantuannya yang diberikan kepada
penulis sehingga penulis dapat memperdalam kajian penelitian penulis;
6. seluruh dosen Pascasarjana program Linguistik Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Padjadjaran atas ilmunya yang diberikan kepada penulis dan
rekan-rekan penulis. Semoga ilmu yang diberikan oleh Bapak/Ibu dosen dapat
berguna bagi penulis;
7. staf administrasi program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya, khususnya Ibu
Harti dan Bapak Agus atas segala bantuannya yang diberikan kepada penulis;
8. kedua almarhum orang tua penulis, Ir. H. Istiyadi dan Dra. Hj. Trining Lestari
yang telah mengajarkan pentingnya pendidikan kepada penulis. Terima kasih
penulis ucapkan kepada anggota keluarga penulis lainnya: paman, kakak, adik,
dan keponakan penulis;
9. rekan-rekan program Doktor konsentrasi Linguistik angkatan 2012 atas
kebersamaannya di dalam maupun luar kelas. Terima kasih karena telah
berbagi ilmu saat masih menjalani kuliah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Padjadjaran;
10. anak-anak asuh penulis: Isabella Natasha, S.S., Lusiana Sinurat, S.S., dan
Yusep Ardiansyah, S.S., yang telah meringankan beban kerja penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan disertasi ini tepat pada waktunya; serta
11. teman, kolega penulis di STBA Yapari-ABA Bandung, dan kerabat penulis
yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan serta doa yang
diberikan kepada penulis selama proses penyelesaian disertasi ini.
10. xi
Penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini masih banyak
kekurangan, oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan guna
menyempurnakan penulisan ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima
kasih dan semoga disertasi ini dapat berguna bagi kita semua.
Bandung, Juni 2016
Yuliani Kusuma Putri
11. xii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. iv
PERNYATAAN ........................................................................................ v
DALIL-DALIL .......................................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................. vii
ABSTRACT ................................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ............................................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv
DAFTAR BAGAN ..................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xvi
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Penelitian .............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 9
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 10
1.4 Bobot dan Relevansi ...................................................................... 10
1.5 Kerangka Teori .............................................................................. 11
1.6 Metode Penelitian .......................................................................... 13
1.6.1 Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 15
1.6.2 Teknik Analisis Data .................................................................. 17
1.6.3 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ........................................ 18
12. xiii
1.7 Sumber Data ............................................................................... 24
BAB II KAJIAN TEORI ....................................................................... 28
2.1 Penelitian Terdahulu ................................................................... 28
2.2 Komunikasi ................................................................................. 36
2.2.1 Elemen Komunikasi .................................................................... 36
2.2.2 Sifat Komunikasi ......................................................................... 37
2.2.2.1 Komunikasi Verbal ..................................................................... 37
2.2.2.2 Komunikasi Nonverbal ............................................................... 38
2.2.2.3 Komunikasi Tatap Muka ............................................................ 38
2.2.2.4 Komunikasi Bermedia ................................................................ 38
2.2.3 Proses Komunikasi ..................................................................... 39
2.2.3.1 Model Linier ............................................................................... 39
2.2.3.2 Model Sirkuler ............................................................................ 40
2.2.4 Faktor Pemengaruh Komunikasi ................................................ 41
2.3 Pragmatik .................................................................................... 43
2.3.1 Konteks ....................................................................................... 44
2.3.2 Praanggapan ................................................................................ 46
2.3.3 Tindak Tutur ............................................................................... 48
2.3.3.1 Tingkatan Tindak Tutur .............................................................. 49
2.3.3.2 Klasifikasi Tindak Tutur ............................................................. 50
2.4 Kesantunan Imperatif ................................................................. 51
2.4.1 Kesantunan Linguistik ................................................................ 52
2.4.2 Kesantunan Pragmatik ................................................................ 55
13. xiv
2.4.3 Komunikasi Fatis sebagai Kesantunan ....................................... 56
2.5 Ajakan ........................................................................................ 57
2.5.1 Jenis Ajakan ............................................................................... 59
2.5.2 Strategi Ajakan ........................................................................... 60
2.5.3 Kesantunan Imperatif Ajakan ..................................................... 62
2.6 Respons terhadap Ajakan ........................................................... 63
2.6.1 Penerimaan ................................................................................. 63
2.6.2 Penolakan .................................................................................... 64
2.6.2.1 Strategi Penolakan ...................................................................... 64
2.6.2.2 Urutan Penolakan ....................................................................... 68
2.6.3 Negosiasi .................................................................................... 69
2.6.3.1 Negosiasi terhadap Penolakan .................................................... 70
2.6.3.2 Negosiasi dalam Ajakan ............................................................. 73
BAB III ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ............................. 77
3.1 Ajakan Nyata .............................................................................. 77
3.1.1 Proses Ajakan pada Ajakan Nyata .............................................. 78
3.1.2 Bentuk dan Strategi Tindak Tutur Ajakan
pada Ajakan Nyata ...................................................................... 110
3.1.3 Respons terhadap Ajakan Nyata ................................................. 116
3.1.3.1 Penerimaan terhadap Ajakan Nyata ............................................ 116
3.1.3.2 Penolakan Parsial terhadap Ajakan Nyata .................................. 119
3.1.3.3 Penolakan Penuh terhadap Ajakan Nyata ................................... 125
3.1.4 Negosiasi pada Ajakan Nyata ..................................................... 132
14. xv
3.2 Ajakan Ambigu ........................................................................... 139
3.2.1 Proses Ajakan pada Ajakan Ambigu .......................................... 139
3.2.2 Bentuk dan Strategi Tindak Tutur Ajakan
pada Ajakan Ambigu ................................................................... 188
3.2.3 Respons terhadap Ajakan Ambigu .............................................. 196
3.2.3.1 Penerimaan terhadap Ajakan Ambigu ......................................... 196
3.2.3.2 Penolakan Parsial terhadap Ajakan Ambigu ............................... 201
3.2.3.3 Penolakan Penuh terhadap Ajakan Ambigu ................................ 205
3.2.3.4 Negosiasi terhadap Ajakan Ambigu ........................................... 212
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 246
4.1 Simpulan ..................................................................................... 246
4.2 Saran ........................................................................................... 248
DAFTAR ISTILAH .................................................................................. 250
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 253
RIWAYAT HIDUP PENULIS ................................................................ 258
LAMPIRAN .............................................................................................. 259
15. xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penelitian Sebelumnya ....................................................... 31
Tabel 2.2 Felicity conditions dalam komisif-direktif ......................... 58
Tabel 2.3 Kategori strategi ajakan ..................................................... 61
Tabel 2.4 Urutan penolakan ............................................................... 69
Tabel 3.1 Kaidah karakteristik pada ajakan nyata.............................. 109
Tabel 3.2 Kaidah strategi ajakan dalam ajakan nyata ........................ 116
Tabel 3.3 Kaidah penolakan parsial terhadap ajakan nyata ................ 124
Tabel 3.4 Kaidah urutan penolakan .................................................... 132
Tabel 3.5 Kaidah karakteristik pada ajakan ambigu ........................... 186
Tabel 3.6 Kaidah strategi ajakan dalam ajakan ambigu ...................... 195
Tabel 3.7 Kaidah penolakan parsial terhadap ajakan ambigu ............ 204
Tabel 3.8 Kaidah urutan penolakan .................................................... 212
Tabel 3.9 Rekapitulasi ajakan nyata dan ajakan ambigu ..................... 232
Tabel 3.10 Rekapitulasi respons terhadap ajakan nyata dan
ajakan ambigu ..................................................................... 235
16. xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Posisi dan Kebaruan Penelitian Sekarang .......................... 34
Bagan 2.2 Langkah penolakan yang melibatkan negosiasi ................. 71
Bagan 3.1 Proses ajakan nyata yang terjadi pada tiga grup Facebook .. 110
Bagan 3.2 Strategi penolakan parsial pada ajakan nyata dan
indikatornya ......................................................................... 125
Bagan 3.3 Proses ajakan ambigu yang terjadi pada tiga grup
Facebook ............................................................................. 187
Bagan 3.4 Strategi penolakan parsial pada ajakan ambigu dan
indikatornya ........................................................................ 205
17. xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Formula model linier Laswell ............................................. 40
Gambar 2.2 Formula model sirkuler Schramm ...................................... 41
19. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Perkembangan teknologi memiliki dampak pada perkembangan
komunikasi. Dengan berkembangnya teknologi, komunikasi tradisional,
yaitu tatap muka langsung (Face to Face Communication atau FtF) telah
dapat digantikan oleh komunikasi modern, yaitu komunikasi jarak jauh. Media
yang dapat digunakan untuk komunikasi jarak jauh antara lain telepon, pesan
singkat, surat elektronik, pesan instan, dan jejaring sosial. Ketiga media
terakhir tidak dapat berfungsi tanpa adanya jaringan internet. Komunikasi melalui
media yang didukung oleh jaringan internet disebut komunikasi bermedia
komputer (Computer-Mediated Communication atau CMC), dan media tersebut
tidak dapat berfungsi tanpa perangkat komputer dan/atau jaringan internet.
Komunikasi bermedia komputer dapat dilakukan baik melalui jaringan internet
maupun jaringan lain seperti jaringan penyelenggara layanan seluler (mobile
service provider) yang menyediakan fitur pesan singkat serta jaringan area lokal
(local area network). Komunikasi bermedia komputer yang dilakukan dengan
menggunakan jaringan internet dinamakan komunikasi dalam jaringan (daring).
Hine (2000: 157) mendefinisikan komunikasi bermedia komputer sebagai:
"A general term referring to a range of different ways in which
people can communicate with one another via a computer network.
Includes both synchronous and asynchronous communication, one-
to-one and many-to-many interactions, and text-based or video
and audio communication".
20. 2
Komunikasi bermedia komputer merupakan istilah mengenai cara-cara
berkomunikasi antara satu dengan yang lain melalui jaringan komputer yang
dapat berupa komunikasi sinkronis dan asinkronis, interaksi satu lawan satu
dan banyak orang, serta komunikasi berbasis teks atau video dan audio. Seiring
dengan perkembangan teknologi, komunikasi bermedia komputer dapat
dilakukan tidak hanya melalui komputer, tetapi juga melalui telepon
genggam berbasis internet. Komunikasi bermedia komputer juga dapat
dilakukan oleh dua orang atau lebih, seperti komunikasi yang dilakukan melalui
jaringan komunikasi (jarkom).
Komunikasi bermedia komputer dikatakan dapat menggantikan
komunikasi langsung karena dewasa ini komunikator dan komunikan sering
terpisah jarak dan waktu untuk bertatap muka langsung. Dengan adanya
komunikasi bermedia komputer, komunikasi yang seharusnya dilakukan secara
lisan dan tatap muka kini dapat dilakukan secara tulisan dan tanpa tatap muka
langsung. Perry (2010: 22) dalam tesisnya mengatakan bahwa komunikasi
bermedia komputer biasanya digunakan untuk mempertahankan hubungan,
tetapi komunikasi tatap muka langsung (FtF) lebih dipilih dan beberapa
pengguna komunikasi bermedia komputer dapat menggunakan komunikasi
bermedia komputer dengan cara yang sama seperti komunikasi tatap muka
langsung dalam hal interpretasi pesan dan penyampaian perasaan. Satu
kelebihan komunikasi bermedia komputer dibandingkan dengan komunikasi
tatap muka langsung adalah komunikasi bermedia komputer dapat dilakukan
tanpa memerdulikan jarak; selama komunikator berada pada lokasi yang
21. 3
memiliki jaringan seluler maupun internet.
Selain dapat menggantikan komunikasi tatap muka langsung,
komunikasi bermedia komputer juga berperan sebagai media prakomunikasi
dari komunikasi tatap muka langsung. Seperti contoh, dua orang pembicara
membuat janji melalui layanan pesan instan (instant messaging) dari telepon
genggamnya untuk bertatap muka. Kedua pembicara tersebut menggunakan
media komunikasi bermedia komputer untuk mengatur jadwal komunikasi tatap
muka langsung mereka yang dilakukan di masa akan datang. Hal ini sejalan
dengan apa yang Perry (2010: 2) katakan, "CMC was being used to just say
hello or chat, to coordinate schedules and routines, to plan future events or to
discuss important matters". Perry menyatakan bahwa komunikasi bermedia
komputer digunakan untuk bertegur sapa atau bercakap-cakap, untuk mengatur
jadwal dan rutinitas, untuk merencanakan kegiatan di masa akan datang atau
untuk mendiskusikan hal penting.
Gaya bahasa dalam komunikasi bermedia komputer sedikit berbeda
dengan komunikasi tatap muka langsung karena pembicara tidak secara spontan
mengungkapkan apa yang dia pikirkan. Pembicara pada komunikasi bermedia
komputer dapat terlebih dulu membuat konsep kalimat yang akan dikatakan.
Dalam komunikasi bermedia komputer, intonasi pembicara tidak dapat diketahui
apabila komunikasi yang dilakukan hanya berupa teks. Akan tetapi, apabila
komunikasi dilakukan melalui pesan suara (voice messages), intonasi pembicara
dapat diketahui. Terlebih lagi apabila komunikasi dilakukan melalui video dan
suara, tidak hanya intonasi pembicara yang dapat diketahui, tetapi juga gerakan
22. 4
non-verbal pembicara.
Karena fungsi komunikasi bermedia komputer dapat dikatakan hampir
sama dengan komunikasi tatap muka langsung dalam beberapa aspek seperti
menyampaikan dan menerima pesan, untuk mendapatkan komunikasi yang baik
antara pembicara dan pendengar, dan agar pembicara dan pendengar merasa
senang terlibat di dalamnya, diperlukan keahlian berkomunikasi yang baik pula.
Salah satu keahlian berkomunikasi adalah kemampuan memahami makna tersirat
pembicara. Dalam komunikasi bermedia komputer, sama seperti komunikasi tatap
muka langsung, terdapat beberapa ungkapan yang dituturkan pembicara yang
memiliki makna berbeda dari apa yang dituturkannya, sesuai dengan konteks dan
latar belakang percakapan itu sendiri, yang dapat berupa aksi yang dilakukan
melalui tuturan. Aksi tersebut dalam ilmu kebahasaan disebut tindak tutur,
seperti yang dikatakan Finnegan (1992) bahwa tindak tutur merupakan aksi
yang dilakukan melalui bahasa. Yule (1996) menambahkan bahwa dalam upaya
mengekspresikan dirinya, orang-orang tidak hanya memproduksi ujaran yang
mengandung struktur gramatikal dan kata-kata, melainkan juga melakukan aksi
melalui ujaran tersebut. Berhubungan dengan hal ini, menurut Austin (1962),
tindak tutur adalah suatu unit fungsional dalam berkomunikasi. Tindak tutur
adalah tindakan yang dilakukan pembicara ketika memproduksi ujaran. Secara
fonetis, suatu ujaran merupakan satu unit tuturan yang dibatasi oleh
keheningan.
Beberapa jenis tindak tutur adalah pujian, perintah, permintaan, tawaran,
ajakan, penolakan, dan lain-lain. Tindak tutur pujian (compliment), perintah
23. 5
(order/command), permintaan (request), tawaran (offer), ajakan (invitation), dan
penolakan (refusal) dapat dilakukan melalui media komunikasi baik
komunikasi bermedia komputer maupun tatap muka langsung. Salah satu
jenis tindak tutur, yaitu ajakan yang dilakukan melalui komunikasi
bermedia komputer, merupakan salah satu contoh bahwa komunikasi
bermedia komputer merupakan media prakomunikasi dari komunikasi tatap
muka langsung karena kedua pembicara merencanakan aksi akan datang.
Menurut Searle (1979: 14), mengajak (inviting) merupakan direktif,
yang menunjukkan maksud pembicara untuk membuat pendengar melakukan
sesuatu. Ketika pembicara mengajak pendengarnya untuk berpartisipasi
dalam sebuah pesta, direktifnya difokuskan pada tindakan merespons yang
diberikan oleh pendengar. Namun, mengajak (inviting) juga
membutuhkan tindakan yang akan datang. Oleh karena itu, mengajak juga
dikategorikan ke dalam komisif, yang membawa pembicara kepada satu
rangkaian tindakan yang akan datang. Untuk memayungi kedua karakteristik
tersebut, Hancher (1979) mengategorikan mengajak (inviting) sebagai komisif-
direktif.
Karena tindak tutur ajakan merupakan aksi akan datang, tindak tutur ini
dapat memancing tindak tutur lain, seperti penolakan (refusal). Penolakan
terhadap ajakan dapat terjadi apabila ajakan yang disampaikan pengajak tidak atau
kurang sesuai dengan situasi terajak. Ishihara dan Cohen (2010: 60) menyatakan
dalam membuat penolakan, pembicara/peneliti secara khusus
mengomunikasikan suatu pesan yang secara potensial tidak diinginkan sejauh
24. 6
yang pendengar/pembaca tahu.
Dalam komunikasi sehari-hari tindak tutur ajakan terjadi sama seringnya
dengan tindak tutur pujian, perintah, permintaan, dan tawaran; maka tidak
dapat disangkal bahwa tindak tutur penolakan juga biasa terjadi. Dalam
tindak tutur ajakan, pengajak tentu saja mengharapkan respons positif terhadap
ajakan mereka, tetapi ada saat ketika responsnya tidak sesuai dengan yang
mereka harapkan. Dalam menolak ajakan, pemilihan strategi penolakan
oleh terajak dipengaruhi oleh tingkat mitigasi yang berhubungan dengan tiga
faktor: (1) jarak sosial (social distance), termasuk gabungan dari faktor
psikologis, seperti usia, jenis kelamin, dan kedekatan; (2) kekuatan relatif
(relative power), yang biasanya dihasilkan dari status sosial dan ekonomi;
dan (3) tingkat mutlak dari imposisi (absolute ranking of imposition) (Brown
and Levinson, 1987).
Ada saatnya, pengajak melakukan negosiasi kepada terajak untuk
mendapatkan penerimaan sebagai hasil akhir (final outcome) ajakannya.
Kemudian ada pula saat negosiasi justru dilakukan oleh terajak kepada
pengajak. Ajakan yang diberikan kepada satu kelompok terajak pun dapat
melibatkan aksi negosiasi. Negosiasi yang dilakukan pengajak, terajak, dan/atau
kelompok terajak dapat berujung pada empat respons berbeda (1) penerimaan, (2)
penolakan, (3) penundaan, dan (4) alternatif (Gass & Houck, 1999: 8). Oleh
karena itu, ada saatnya ketika akhir dari proses penolakan ajakan yang melibatkan
negosiasi tidak berupa penolakan lagi. Ilustrasi berikut adalah tindak tutur ajakan
yang melibatkan penolakan dan negosiasi yang dilakukan sekelompok
25. 7
mahasiswa dalam percakapan dalam media sosial Facebook pada tanggal 15
Januari 2014.
Inisiator : Kalau minggu depan kita foto kelas, pada bisa
ga?
Mahasiswa 1 : Hari apa dulu? Kalo hari Senin saya ga bisa,
belum pulang ke Bandung.
Mahasiswa 2 : Saya bisanya hanya hari Rabu kayaknya.
Banyak yang harus diurusin.
Mahasiswa 1 : Rabu oke tuh.
Mahasiswa 3 : Saya sih minggu depan hari apa aja juga siap.
Inisiator : Oke kalo gitu udah ada empat orang yang oke
untuk hari Rabu, saya juga hayu.
Mahasiswa 4 : Duh minggu depan teh tanggal tua kan? Kudu
minggu depan ya? Ga bisa awal bulan aja?
Mahasiswa 2 : Ah kamu udah aja ga usah bayar dulu untuk
foto kan biasanya foto mah bisa di-DP-in dulu.
Inisiator : lya, kan bisa nanti bayar mah. Santai weh.
Mahasiswa 4 : Oh enya nya. Ya udah atuh kita kemon.
Mahasiswa 5 : Rabu ya. Siap!
Inisiator : Sip! Rabu fix ya. Kalau gitu saya mau telepon
studio fotonya booking tempat.
Ilustrasi di atas menunjukkan beberapa respons terhadap ajakan foto
kelas oleh inisiator. Terdapat lima responden dari ajakan tersebut. Dari
kelima responden, hanya dua responden yang langsung menerima ajakan yang
diberikan inisiator dengan menuturkan kalimat persetujuan. Mereka adalah
mahasiswa 3 (Saya sih minggu depan hari apa aja juga siap) dan mahasiswa 5
(Rabu ya. Siap!). Ketiga responden lainnya memberikan penolakan dengan cara
melakukan negosiasi. Mahasiswa 1 sebagai responden pertama yang merespons
tidak memberikan penolakan maupun penerimaan penuh; dia memberikan
26. 8
alasan mengapa dia tidak bisa memenuhi ajakan tersebut pada hari Senin, dan
menerima apabila ajakan tersebut dilakukan di hari lain (Hari apa dulu? Kalo
hari Senin saya ga bisa, belum pulang ke Bandung). Mahasiswa 2 juga tidak
memberikan penolakan penuh. Dia memberikan alternatif waktu yang sesuai
dengan jadwalnya, dan menjelaskan mengapa hanya pada waktu tersebut dia
dapat melaksanakan ajakan tersebut (Saya bisanya hanya hari Rabu kayaknya.
Banyak yang harus diurusin). Mahasiswa 4 menolak ajakan tersebut dengan
menjelaskan bahwa waktu tersebut merupakan akhir bulan, yang dalam
kepercayaan kebanyakan masyarakat Indonesia merupakan saat ketika
kondisi ekonomi mereka mulai melemah (Duh minggu depan teh tanggal tua
kan? Kudu minggu depan ya?). Mahasiswa 4 juga memberikan alternatif
waktu untuk melaksanakan ajakan tersebut (Ga bisa awal bulan aja?).
Menanggapi penolakan yang diberikan oleh mahasiswa 4, mahasiswa 2 dan
inisiator melakukan negosiasi dengan cara membujuk mahasiswa 4 (Ah kamu
udah aja ga usah bayar dulu untuk foto kan biasanya foto mah bisa di-DP-in
dulu). Pada akhirnya, semua responden dalam proses ajakan tersebut sepakat dan
memberikan respons penerimaan terhadap ajakan dari inisiator.
Sebagai respons terhadap ajakan, terkadang responden memberikan
respons yang bukan merupakan penerimaan penuh, tetapi bukan juga
merupakan penolakan penuh. Hal ini akan membawa inisiator dan
responden kepada negosiasi yang panjang. Terlebih lagi apabila ajakan
tersebut diberikan kepada sekelompok orang, negosiasi akan menjadi lebih
panjang dan kompleks.
27. 9
Berdasarkan beberapa hal di atas, peneliti tertarik untuk meneliti dan
menganalisis ajakan dan respons terhadap ajakan yang dilakukan melalui
komunikasi bermedia komputer oleh anggota grup pada media sosial Facebook.
Peneliti dalam hal ini mencoba untuk meneliti dan menganalisis proses
ajakan, bentuk tuturan dan strategi ajakan, respons terhadap ajakan, dan
negosiasi dalam ajakan. Grup Facebook yang diteliti pada penelitian ini
dibatasi menjadi tiga grup, yaitu grup mahasiswa tingkat sarjana, tingkat
magister, dan tingkat doktoral yang merupakan penutur bahasa Indonesia,
bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia-Sunda.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini fokus pada tindak tutur ajakan yang melibatkan penolakan
dan negosiasi, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Proses ajakan seperti apa yang terjadi pada komunikasi daring dari tiga grup
Facebook?
2. Bentuk dan strategi tindak tutur ajakan seperti apa yang terdapat dalam
komunikasi daring dari tiga grup Facebook?
3. Respons terhadap ajakan seperti apa yang diberikan oleh anggota grup
Facebook?
4. Bentuk dan strategi negosiasi seperti apa yang digunakan oleh anggota grup
Facebook dalam komunikasi daring yang berisi ajakan?
28. 10
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis dan mendeskripsikan proses ajakan yang terjadi pada
komunikasi daring dari tiga grup Facebook;
2. menganalisis dan mendeskripsikan bentuk dan strategi tindak tutur ajakan
yang terdapat dalam komunikasi daring dari tiga grup Facebook;
3. menganalisis dan mendeskripsikan respons terhadap ajakan yang diberikan
oleh anggota grup Facebook; dan
4. menganalisis dan mendeskripsikan bentuk dan strategi negosiasi yang
digunakan oleh anggota grup Facebook dalam komunikasi daring yang berisi
ajakan.
1.4 Bobot dan Relevansi
Penelitian mengenai ajakan dan respons terhadap ajakan yang dilakukan
oleh anggota grup Facebook ini melibatkan kajian pragmatis. Pada penelitian ini,
peneliti mengajukan pendekatan baru pada analisis penggunaan bahasa yang
terjadi dalam konteks komunikasi daring, yaitu kajian pragmatis pada data
netnografi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kebaruan pada kajian
pragmatis, karena objek penelitian ini merupakan anggota komunitas daring yang
memiliki penggunaan bahasa yang sedikit berbeda dari komunitas nyata. Salah
satu perbedaan penggunaan bahasa dalam komunitas daring adalah adanya
kesamaran antara bahasa formal dan non-formal.
29. 11
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
bidang linguistik, terutama pragmatik, dalam memperkaya variasi analisis
melalui pendekatan baru dalam meneliti penggunaan bahasa dalam konteks
komunikasi daring. Peneliti juga berharap agar penelitian ini dapat merangsang
para peneliti bahasa di bidang pragmatik yang tertarik pada fenomena
komunikasi bermedia komputer untuk melakukan penelitian dengan
menggunakan pendekatan baru ini dan terus mengembangkan pendekatan
tersebut.
Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi bagi pemelajar
bahasa Indonesia, terutama untuk kepentingan berkomunikasi, agar dapat
meningkatkan kesadaran berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, terutama
pada komunikasi daring. Peneliti berharap disertasi ini dapat memberikan
tambahan ilmu pengetahuan bagi peneliti khususnya dan pembaca umumnya.
1.5 Kerangka Teori
Pada penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori Kozinets (2010)
mengenai metode netnografi, metode yang digunakan untuk menentukan objek
penelitian, mengumpulkan, dan menganalisis data. Penelitian ini menggunakan
teori Kozinets (2010) sebagai rujukan karena data yang diambil dalam penelitian
ini adalah data dari tiga komunitas daring yang terdapat dalam media sosial
Facebook. Teori analisis penandaan milik Saldaña (2009) juga digunakan sebagai
pendukung teori Kozinets dalam menganalisis data. Teori penandaan Saldaña
(2009) sejalan dengan teori Kozinets (2010) yang mengungkapkan bahwa
30. 12
penandaan merupakan salah satu langkah dalam menganalisis data netnografi.
Kemudian, teori inti yang digunakan untuk penelitian ini adalah teori Yule
(1996) dan Grundy (2000) mengenai pragmatik, konteks, dan tindak tutur.
Sebagai teori pendukung mengenai konteks, penelitian ini juga menggunakan
teori dari McManis et al. (1987). Teori milik Austin (1962) dan Searle (1969)
mengenai tindak tutur juga digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini.
Penelitian ini juga mengkaji kesantunan, khususnya kesantunan
imperatif dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, terdapat beberapa teori
kesantunan yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini. Teori tersebut
adalah milik Brown dan Levinson (1987), Leech (1983), dan Lakoff (1973).
Kemudian, teori kesantunan imperatif bahasa Indonesia milik Rahardi
(2005) juga digunakan sebagai rujukan.
Karena penelitian ini menganalisis ajakan dan responsnya, teori jenis
ajakan, teori strategi ajakan, teori strategi penolakan dan urutan penolakan,
teori proses penolakan yang melibatkan negosiasi dan hasil akhirnya juga
digunakan. Teori jenis ajakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori milik Wolfson, D’Amicu-Reisner, dan Huber (1983). Teori strategi
ajakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dari Blum-Kulka,
House dan Kasper (1989). Teori strategi penolakan dan urutan penolakan yang
digunakan adalah teori yang diajukan Beebe et al. (1990) dan Félix-Brasdefer's
(2008).
Peneliti juga menggunakan teori dari Gass dan Houck (1992) tentang
proses penolakan yang melibatkan negosiasi dan hasil akhirnya. Sebagai pelengkap
31. 13
negosiasi dalam penolakan, penelitian ini juga merujuk pada teori strategi ajakan
yang diajukan oleh Anglemar dan Stern (1978).
1.6 Metode Penelitian
Dilihat dari aspek ontologis, penelitian ini mengkaji fenomena yang
sedang terjadi, yaitu komunikasi tatap muka langsung yang dapat
digantikan atau didahului oleh komunikasi bermedia komputer. Sejak
datangnya era digital, sebagian besar komunikasi dilakukan melalui media digital,
seperti surat elektronik (surel) dan media sosial (seperti Facebook dan Twitter).
Komunikasi melalui media digital juga lebih dipilih karena jenis komunikasi
seperti ini lebih menghemat jarak dan waktu.
Secara umum, metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini
adalah netnografi (etnografi internet atau etnografi melalui internet). Metode
netnografi merupakan pengembangan dari metode kualitatif etnografi, yang
mengadaptasi teknik-teknik penelitian etnografi menjadi penelitian terhadap
budaya dan komunitas melalui komunikasi bermedia komputer (Kozinets, 2002:
2).
Kozinets (2002: 3) mengatakan netnografi memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan etnografi: (1) netnografi tidak memakan waktu
terlalu lama dan terperinci; (2) netnografi dapat dilakukan dengan cara yang
tidak terlalu eksplisit karena kehadiran peneliti tidak menganggu aktivitas
anggota komunitas daring lainnya; (3) netnografi memberikan peneliti situasi dan
tingkah laku yang alami; dan (4) netnografi menyediakan keberlanjutan akses
32. 14
dengan informan dalam situasi sosial daring. Berbeda dari etnografi yang
mengharuskan peneliti datang dan mengobservasi satu komunitas di suatu
tempat, netnografi memanfaatkan perkembangan teknologi internet dalam
observasi dan pengumpulan datanya. Kozinets (2002: 4) mengajukan langkah
dan prosedur dalam penelitian netnografi sebagai berikut.
1. Perencanaan (Entreé)
Pada tahap ini, peneliti menentukan kajian penelitian, merumuskan masalah,
mencari dan menentukan komunitas daring yang sesuai dengan kajian dan
rumusan masalah.
2. Pengumpulan Data
Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan data yang akan dianalisis dari
komunikasi dalam komunitas daring. Peneliti merekam data yang merupakan
komunikasi daring berisi ajakan dengan cara mentransfer isi percakapan
menjadi dokumen gambar.
3. Analisis Data (Analysis and Interpretation)
Pada tahap ini data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis.
Karena penelitian ini mengambil data dengan cara merekam data menjadi
dokumen gambar, analisis dilakukan dengan cara manual.
4. Etika Penelitian (Research Ethics)
Dalam penelitiannya, peneliti harus memperhatikan etika penelitian.
Penelitian netnografi menekankan masalah privat dan publik dari satu
komunitas daring. Penelitian netnografi juga harus memperhatikan
kerahasiaan identitas responden apabila penelitian tersebut mengambil
33. 15
manusia sebagai subjek penelitian (human subject research). Dalam
penelitian ini, peneliti merupakan anggota dari tiga komunitas daring yang
menjadi objek penelitian. Oleh karena itu, peneliti tidak mengalami kesulitan
dalam meminta izin untuk mengambil data penelitian. Peneliti tetap menjaga
kerahasiaan identitas anggota komunitas daring tersebut dengan cara
menyembunyikan nama lengkap mereka dan menggantinya dengan inisial
awal nama mereka karena ketiga komunitas daring yang menjadi objek
penelitian merupakan komunitas privat. Kemudian, karena yang diteliti dalam
penelitian ini adalah komunikasi yang dilakukan oleh anggota tiga komunitas
tersebut, penelitian ini bukan merupakan penelitian dengan subjek manusia
apabila peneliti dapat mengakses arsip komunikasi dengan mudah dan sah
(Kozinets, 2010: 142).
5. Representasi dan Evaluasi
Pada tahap ini peneliti memperlihatkan hasil akhir penelitiannya kepada
komunitas daring atau beberapa anggota dari komunitas daring tersebut untuk
mendapat umpan balik.
1.6.1 Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan apa yang disebutkan Kozinets (2002: 4) bahwa
pengumpulan data disalin langsung dari hasil komunikasi bermedia komputer,
metode pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
metode simak, yaitu teknik yang dilakukan dengan menyimak penggunaan
bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Teknik yang digunakan dalam metode ini adalah
34. 16
teknik sadap, yaitu menyadap penggunaan bahasa. Teknik tersebut
dilaksanakan dengan cara melakukan penyadapan terhadap pemakaian
bahasa. Artinya, dalam upaya mengumpulkan data dilakukan penyadapan
peristiwa tuturan yang dilakukan oleh partisipan. Dalam hal ini peneliti
menyadap percakapan yang dilakukan oleh sesama anggota komunitas daring
mengenai ajakan yang melibatkan penerimaan, penolakan parsial, penolakan
penuh, dan negosiasi.
Teknik sadap ini memiliki teknik lanjutan, yaitu teknik simak libat cakap
yang artinya peneliti terlibat langsung dalam percakapan. Dalam hal ini,
keikutsertaan peneliti dapat aktif dan dapat pula reseptif. Keikutsertaan peneliti
dikatakan aktif ketika peneliti juga ikut angkat bicara dalam proses dialog, dan
dikatakan reseptif apabila peneliti hanya mendengarkan apa yang dikatakan oleh
mitra wicaranya karena faktor subjektif atau pun objektif (Sudaryanto, 1993:
133). Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan Kozinets (2010: 96):
"Not every netnographic researcher needs to be involved in every
type of community activity. But every netnographic researcher needs
to be involved in some types of community activity. A
netnographer probably does not want to be leading the
community, but she should not be invisible, either".
Kozinets mengatakan bahwa tidak semua peneliti netnografi terlibat pada
aktivitas grup, akan tetapi peneliti harus terlibat pada beberapa aktivitas grup.
Peneliti netnografi juga tidak perlu memimpin aktivitas grup, tetapi keberadaan
peneliti juga jangan sampai tidak terlihat dalam grup.
Teknik lanjutan yang dilakukan peneliti dalam mengumpulkan data adalah
teknik rekam, sebagaimana yang dijelaskan Sudaryanto (1993) bahwa
35. 17
pelaksanaan merekam itu sudah barang tentu harus dilakukan sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu kewajaran proses kegiatan pertuturan yang sedang
terjadi. Setelah data diperoleh, peneliti merekam data tersebut menjadi dokumen
gambar dengan cara menekan tombol PrintScreen pada papan ketik komputer,
kemudian menyalin data tersebut ke kanvas di program Paint yang telah
tersedia pada setiap Microsoft Windows. Apabila peneliti membuka laman
komunitas daring menggunakan telepon pintar (smartphone) milik peneliti,
data yang diperoleh direkam menggunakan fasilitas screen capture yang ada
di telepon pintar peneliti. Peneliti juga dapat mencari data dari arsip percakapan
komunitas daring tersebut karena hampir semua media sosial menyimpan
arsip semua percakapan dan/atau setiap aktivitas yang dilakukan oleh anggota
komunitas daring pada ruang komunikasi komunitas tersebut.
Sebanyak sebelas data berhasil dikumpulkan untuk penelitian ini.
Kesebelas data tersebut terdiri dari empat komunikasi daring berisi ajakan dan
respons terhadap ajakan dalam grup mahasiswa strata S-1, dua komunikasi
daring berisi ajakan dan responsnya dalam grup mahasiswa strata S-2, dan lima
komunikasi daring berisi ajakan dan responsnya dalam grup mahasiswa strata S-
3. Karena data diambil dari komunikasi daring yang terjadi secara alami, jumlah
data tidak sama untuk tiap-tiap grup Facebook yang menjadi objek penelitian.
1.6.2 Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, peneliti menyesuaikan prosedur analisis data
kualitatif yang diajukan oleh Miles dan Huberman (1994) sebagai berikut.
36. 18
1. Coding, yaitu analisis penandaan dari data yang didapatkan dengan
menglasifikasikan data serta memberikan label dan/atau nama. Pada
tahap ini, peneliti menyingkirkan tuturan yang tidak relevan dengan
ajakan yang diberikan inisiator. Data dianalisis dengan mengunakan
teknik penandaan yang diajukan Saldaña (2009);
2. noting, yaitu memberikan catatan tertentu mengenai data yang telah
diklasifikasikan dan diberi label;
3. abstracting dan comparing, yaitu menyortir data untuk mencari
persamaan dan perbedaan frasa, pola, proses, dan lain-lain;
4. checking dan refinement, yaitu memeriksa kembali data yang telah
diberi label dan catatan dan memperhalus pola, proses, persamaan, dan
perbedaan;
5. generalising, yaitu mengelaborasi gagasan umum yang
menjelaskan konsistensi data; dan
6. theorising, yaitu mengubah gagasan-gagasan umum yang diperoleh dari
data menjadi teori yang sudah ada atau teori baru.
1.6.3 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua
tahap penyajian, yaitu penyajian formal dan penyajian informal. Metode penyajian
formal berupa perumusan kaidah-kaidah melalui tanda-tanda dan lambang-
lambang, sedangkan metode penyajian informal berupa eksplanasi biasa, yaitu
perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa Sudaryanto (1993: 145).
37. 19
Berikut adalah contoh analisis data menggunakan teknik-teknik yang
disebutkan sebelumnya.
Konteks:
Komunikasi daring yang berisi ajakan pada data ini dilakukan oleh anggota
grup mahasiswa strata S-1. Grup ini merupakan komunitas daring yang anggotanya
adalah pemelajar jenjang sarjana dari program studi bahasa asing berbeda yang
tergabung dalam satu ekstrakurikuler Debat Bahasa Inggris. Komunikasi pada data
ini melibatkan 6 anggota grup dari jumlah keseluruhan anggota sebanyak 124
orang. 6 anggota tersebut terdiri dari 4 anggota laki-laki dan 2 anggota perempuan.
Pada strata S-1, usia tiap-tiap pemelajar seringkali tidak jauh berbeda. Oleh karena
itu, anggota komunitas ini datang dari latar belakang usia yang lebih homogen.
Data:
Penutur Tuturan Kode Deskriptif
Inisiator 1 Kalau minggu depan kita
foto kelas, pada bisa ga?
1 AJAKAN
(Kemampuan)
Mahasiswa 1 2 Hari apa dulu? 3 Kalo hari
Senin saya ga bisa, 4 belum
pulang ke Bandung.
2 Konfirmasi
3 PENOLAKAN
LANGSUNG
4 PENOLAKAN
(Alasan)
Mahasiswa 2 5 Saya bisanya hanya hari
Rabu kayaknya. 6 Banyak
yang harus diurusin.
5 NEGOSIASI
(Komitmen)
6 PENOLAKAN
(Alasan)
Mahasiswa 1 7 Rabu oke tuh. 7 PENERIMAAN
Mahasiswa 3 8 Saya sih minggu depan hari
apa aja juga siap.
8 PENERIMAAN
38. 20
Inisiator Oke kalo gitu udah ada empat
orang yang oke untuk hari
Rabu, 9 saya juga hayu.
9 PENERIMAAN
Mahasiswa 4 10 Duh minggu depan teh
tanggal tua kan? 11 Kudu
minggu depan ya? 12 Ga bisa
awal bulan aja?
10 KONFIRMASI
11 KONFIRMASI
12 NEGOSIASI
(Alternatif)
Mahasiswa 2 13 Ah kamu udah aja ga usah
bayar dulu untuk foto kan
biasanya foto mah bisa di-
DP-in dulu.
13 NEGOSIASI
(seruan normatif
positif)
Inisiator 14 lya, kan bisa nanti bayar
mah. Santai weh.
14 NEGOSIASI
(seruan normatif
positif)
Mahasiswa 4 15 Oh enya nya. Ya udah atuh
kita kemon.
15 PENERIMAAN
Mahasiswa 5 Rabu ya. 16 Siap! 16 PENERIMAAN
Inisiator Sip! Rabu fix ya. Kalau gitu
saya mau telepon studio
fotonya booking tempat.
Analisis:
Percakapan pada data di atas melibatkan 6 anggota komunitas daring
yang terdiri dari 4 anggota laki-laki dan 2 anggota perempuan. Ajakan
yang diberikan oleh inisiator merupakan ajakan nyata karena inisiator
telah menentukan waktu dari pelaksanaan aktivitas.
Inisiator yang merupakan mahasiswa laki-laki menuturkan kalimat
ajakan dengan menggunakan strategi kemampuan (Kalau minggu
depan kita foto kelas, pada bisa ga?) karena dalam ajakan tersebut
terdapat kata ‘bisa’ yang bermakna ‘mampu’. Dalam ajakannya, inisiator
menggunakan bentuk tuturan interogatif yang berisi kalimat
pengandaian karena pada tuturannya inisiator menggunakan kata ‘kalau’.
39. 21
Bentuk tuturan interogatif yang diberikan oleh inisiator memiliki tingkat
kesantunan yang tinggi karena tuturan tersebut mengandung kadar
ketidaklangsungan yang tinggi. Akan tetapi, ajakan yang diberikan
inisiator tersebut tidak memiliki tuturan yang panjang. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh jenis kelamin inisiator, yaitu laki-laki yang kurang
menyukai basa-basi.
Ajakan tersebut pertama kali direspons oleh Mahasiswa 1, yang juga
berjenis kelamin laki-laki, dengan meminta konfirmasi (Hari apa dulu?),
diikuti penolakan langsung apabila acara tersebut diadakan pada hari
Senin (Kalo hari Senin saya ga bisa) dan alasan mengapa Mahasiswa 1
tidak dapat memenuhinya (belum pulang ke Bandung). Mahasiswa 1
menggunakan tuturan interogatif sebagai konfirmasi hari merupakan
langkah Mahasiswa 1 menunjukkan kesantunannya, diikuti dengan
tuturan deklaratif yang merupakan tindak tutur penolakan terhadap ajakan
yang diberikan inisiator. Pada penolakan yang diberikan oleh Mahasiswa
1, dapat dilihat upaya Mahasiswa 1 menunjukkan kesantunannya dari
urutan tutur yang digunakannya. Mahasiswa 1 memberikan pertanyaan
terlebih dahulu sebelum akhirnya memberikan penolakan.
Respons berikutnya diberikan oleh Mahasiswa 2, yang memberikan
negosiasi berupa komitmen (Saya bisanya hanya hari Rabu kayaknya),
diikuti dengan alasan (Banyak yang harus diurusin). Negosiasi yang
diberikan Mahasiswa 2 membuat status Mahasiswa 2 sebagai pengajak
2. Mahasiswa 2 yang berjenis kelamin perempuan memberikan
40. 22
responsnya dengan urutan tuturan komitmen sebagai negosiasi diikuti
alasan sebagai penolakan. Mahasiswa 2 memberikan penolakan setelah
komitmen sebagai ekspresi kesantunannya.
Menanggapi negosiasi Mahasiswa 2, Mahasiswa 1 menuturkan
respons positif dengan memberikan penerimaan (Rabu oke tuh). Pada
konteks ini, kata ‘tuh’ yang diberikan oleh Mahasiswa 1 merupakan
partikel fatis yang menunjukkan persetujuan bahwa hari Rabu merupakan
hari yang tepat untuk melaksanakan foto kelas.
Respons berikutnya diberikan oleh Mahasiswa 3 yang memiliki jenis
kelamin laki-laki, yaitu penerimaan bahwa hari apa pun Mahasiswa 3
dapat memenuhi ajakan tersebut (Saya sih minggu depan hari apa aja
juga siap). Dalam penerimaannya, mahasiswa 3 menggunakan kata ‘sih’
yang merupakan partikel fatis dengan tujuan menekankan kepastian, dan
memiliki makna ‘sebenarnya’. Inisiator, yang sekarang menjadi terajak,
juga memberikan penerimaan atas negosiasi Mahasiswa 2 (Saya juga
hayu).
Mahasiswa 4 bergabung dalam percakapan dan merespons ajakan
dengan konfirmasi yang menandakan keberatan apabila acara diadakan
pada minggu depan (Duh minggu depan teh tanggal tua kan? Kudu
minggu depan ya?), diikuti dengan kalimat alternatif sebagai negosiasi
(Ga bisa awal bulan aja?). Mahasiswa 4 menolak ajakan tanpa
menuturkan kalimat penolakan; sebaliknya, Mahasiswa 4 memberikan
bentuk tuturan interogatif sebagai konfirmasi yang di dalamnya terdapat
41. 23
partikel fatis ‘duh’, ‘teh’, dan ‘kan’. Fatis ‘duh’ digunakan Mahasiswa 4
untuk mengindikasikan keberatannya. Kemudian, fatis ‘teh’ dan ‘kan’
digunakan sebagai konfirmasi. Tuturan interogatif berikutnya yang juga
merupakan konfirmasi, ‘Kudu minggu depan ya?’, mengandung partikel
fatis ‘ya’ sebagai kesantunan dari pertanyaan konfirmasi tersebut. Seluruh
bentuk tuturan yang diberikan Mahasiswa 4 sebagai respons terhadap
ajakan adalah interogatif. Hal ini menunjukkan bahwa Mahasiswa 4,
yang merupakan seorang perempuan, tidak memberikan penolakan
langsung dengan alasan kesantunan. Negosiasi yang berupa alternatif
tersebut menjadikan Mahasiswa 4 sebagai pengajak 3.
Akan tetapi, mendengar alternatif yang diberikan Mahasiswa 4,
Mahasiswa 2 bernegosiasi dengan menuturkan seruan normatif positif
agar acara tetap diadakan pada hari Rabu dengan alasan bahwa
Mahasiswa 4 tidak perlu mengeluarkan uang untuk foto kelas tersebut
karena mereka dapat membayar uang muka terlebih dahulu (Ah kamu
udah aja ga usah bayar dulu untuk foto kan biasanya foto mah bisa di-
DP-in dulu). Dalam negosiasinya, Mahasiswa 2 menggunakan partikel
fatis ‘ah’, ‘kan’, dan ‘mah’ sebagai mitigasi dari negosiasinya. Negosiasi
Mahasiswa 2 tersebut didukung oleh Inisiator yang juga menuturkan
seruan normatif positif (Iya, kan bisa nanti bayar mah. Santai weh).
Inisiator menyisipkan partikel fatis ‘kan’, ‘mah’, dan ‘weh’ dalam
negosiasinya sebagai kesantunan atas upayanya untuk meyakinkan
Mahasiswa 2 bahwa Mahasiswa 2 tidak perlu mengeluarkan uang terlebih
42. 24
dahulu.
Mendengar hal tersebut, Mahasiswa 4 merespons dengan
penerimaan dan bersedia memenuhi ajakan tersebut (Oh enya nya. Ya
udah atuh kita kemon). Partikel fatis ‘oh’ dan ‘nya’ yang digunakan
Mahasiswa 4 menandakan bahwa Mahasiswa 4 membenarkan apa yang
dikatakan Mahasiswa 2 dan inisiator. Kemudian partikel fatis ‘atuh’
digunakan sebagai indikasi bahwa Mahasiswa 4 setuju dengan negosiasi
Mahasiswa 2 dan inisiator. Penerimaan berikutnya diberikan oleh
Mahasiswa 5 yang baru bergabung dalam percakapan tersebut (Siap!).
Proses ajakan ini berakhir dengan kesepakatan hari pelaksanaan ajakan.
1.7 Sumber Data
Peneliti mengumpulkan data dari komunikasi daring penutur bahasa
Indonesia-Sunda yang berisi tindak tutur ajakan dan responsnya. Peneliti mengambil
data dari media sosial Facebook, dan fokus pada tiga grup yang ada di dalam
media sosial tersebut. Tiga grup yang dipilih oleh peneliti adalah: (1)
komunitas daring pemelajar bahasa jenjang sarjana; (2) komunitas daring
pemelajar bahasa jenjang magister; dan (3) komunitas daring pemelajar jenjang
doktor. Ketiga komunitas dipilih oleh peneliti karena peneliti juga tergabung ke
dalam tiga komunitas tersebut, sehingga peneliti tidak perlu mengajukan
keanggotaan dan akan lebih mudah bagi peneliti meminta izin untuk
menjadikan percakapan yang ada dalam tiga komunitas tersebut sebagai data
penelitian.
43. 25
Selain alasan di atas, peneliti juga memilih tiga grup Facebook tersebut
karena ketiga komunitas daring tersebut juga aktif berkomunikasi di dunia
nyata. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian ini yang menekankan pada ajakan
dalam komunikasi daring sebagai prakomunikasi dari komunikasi tatap muka
langsung. Alasan tersebut juga sesuai dengan jenis penelitian netnografi yang
dilakukan peneliti, yaitu penelitian daring pada satu komunitas (research on
communities online). Dalam penelitian netnografi, Kozinets (2010) membagi
jenis penelitian menjadi dua, yaitu: (1) penelitian pada komunitas daring
(research on online communities), yang merupakan penelitian mengenai
fenomena yang terjadi pada komunitas dan kultur daring; dan (2) penelitian
daring pada satu komunitas (research on communities online), yang merupakan
penelitian mengenai fenomena sosial dari satu komunitas yang eksistensi dan
interaksinya tidak hanya melalui internet melainkan melalui dunia nyata atau
tatap muka, meskipun komunikasi daring memiliki peran penting terhadap
keberlangsungan komunitas tersebut.
Kozinets (2010: 79) menyatakan salah satu hal yang harus diperhatikan
dalam penelitian netnografi adalah peneliti harus menyesuaikan dirinya dengan
komunitas yang diteliti, seperti membiasakan diri terhadap anggota, bahasa,
ketertarikan, dan kultur komunitas tersebut. Berhubungan dengan apa yang
dikatakan Kozinets, alasan lain peneliti memilih tiga grup Facebook tersebut
adalah peneliti telah beradaptasi dengan tiga grup tersebut, sehingga peneliti
tidak perlu mengambil waktu yang lama hanya untuk menyesuaikan diri dengan
ketiga komunitas itu. Dipilihnya tiga grup Facebook tersebut sesuai dengan
44. 26
syarat-syarat penentuan komunitas daring yang diberikan Kozinets (2010)
bahwa komunitas yang dipilih harus mengandung beberapa hal seperti: (1)
relevan; (2) aktif; (3) interaktif; (4) substansial; (5) heterogen; dan (6) kaya akan
data.
Anggota dari grup pertama adalah mahasiswa-mahasiswa jenjang
sarjana dari program studi bahasa asing yang berbeda yang tergabung dalam
satu ekstrakurikuler, yaitu klub Debat Bahasa Inggris. Total anggota grup
Facebook strata S-1 adalah 124 anggota, dengan 58 anggota berjenis kelamin
laki-laki dan 66 anggota berjenis kelamin perempuan. Akan tetapi, terdapat
banyak anggota grup Facebook strata S-1 yang tidak pernah berpartisipasi
dalam aktivitas grup. Anggota grup strata S-1 yang aktif dalam aktivitas grup
berjumlah kurang dari 15 anggota. Kemudian, anggota dari grup kedua yang
merupakan pemelajar jenjang magister dari program studi Linguistik Bahasa
Inggris adalah sebanyak 15 anggota yang terdiri dari 5 anggota laki-laki dan
10 anggota perempuan. Grup ketiga berisi pemelajar jenjang doktoral dari
program studi Linguistik yang beranggotakan 3 orang laki-laki dan 8 orang
perempuan.
Peneliti memilih sumber data seperti ini karena terdapat rekaman tanggal
dan waktu pada percakapan dalam Facebook. Peneliti menyimpan komunikasi
tersebut sebagai dokumen (gambar dan dokumen word) sehingga data tersebut
sah. Peneliti berpendapat bahwa teknik pengumpulan data seperti ini lebih
dapat dipercaya dibandingkan dengan angket (discourse completion tesk) dan
simulasi (role play) karena data yang diperoleh berasal dari interaksi nyata serta
45. 27
dalam konteks dan situasi nyata. Data yang diperoleh juga lebih alami dan tidak
dibuat-buat.
Data yang diambil oleh peneliti dalam penelitian ini merupakan data
dalam bahasa Indonesia, bahasa Sunda, dan campuran bahasa Indonesia-Sunda.
Populasi penelitian ini adalah komunikasi daring yang berisi ajakan. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan yang berisi bentuk
tuturan dan strategi ajakan, respons terhadap ajakan, serta bentuk tuturan
dan jenis strategi negosiasi dalam ajakan. Tuturan lain yang tidak relevan
tidak dianalisis.
46. 28
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian mengenai ajakan, penolakan, penolakan
ajakan, dan negosiasi. Penelitian mengenai ajakan beberapa di antaranya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Wolfson, D’Amico-Reisner, dan Huber
(1983) yang menginvestigasi kebiasaan mengajak dalam masyarakat kulit
putih Amerika kelas menengah; dan Dastpak dan Mollaei (2011) yang fokus
pada ajakan basa-basi. Studi yang dilakukan Wolfson et al. menunjukkan
bahwa ajakan terbagi menjadi dua jenis, yaitu ajakan nyata dan ajakan ambigu.
Kemudian, penelitian berjudul ”A Comparative Study of Ostensible Invitations
in English and Persian” yang dilakukan Dastpak dan Mollaei merupakan studi
komparatif antara bahasa Inggris dan bahasa Persia. Studi yang dilakukan
Dastpak dan Mollaei ini tidak fokus pada penolakan ajakan karena ajakan basa-
basi sering terjadi di akhir percakapan yang mengindikasikan percakapan akan
diakhiri. Dastpak dan Mollaei mengumpulkan data dari observasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ajakan basa-basi dalam bahasa Persia lebih
kompleks dibandingkan dengan ajakan basa-basi dalam bahasa Inggris.
Ada pun penelitian mengenai penolakan di antaranya dilakukan oleh
Beebe dan Cummings (1995), Yang (2008), dan Bhatti dan Žegarac (2012).
Penelitian yang dilakukan Beebe dan Cummings (1995), Natural Speech Act
Data Versus Written Questionnaire Data: How Data Collection Method
47. 29
Affects Speech Act Performance, fokus pada perbandingan penolakan dalam
percakapan melalui telepon dan kuesioner tertulis yang dilakukan oleh 22
orang guru bahasa Inggris (English as a Second Language) yang merupakan
penutur asli bahasa Inggris. Penolakan pada penelitian ini diinisiasikan
oleh penawaran (offers), ajakan (invitations), saran (suggestions), dan
permintaan (requests). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi
pembicaraan pada telepon lebih banyak dibandingkan frekuensi pembicaraan
pada kuesioner. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa meskipun pembicara
tidak saling kenal, tidak ada penolakan langsung.
Kemudian, studi yang dilakukan oleh Yang (2008) fokus pada
penolakan dalam bahasa Cina. Data diambil dari lima serial televisi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang-orang Cina dalam serial
tersebut memberi penolakan tidak langsung; dan strategi penolakan yang sering
digunakan adalah alasan dan penjelasan.
Dalam studinya, Compliments and Refusals in Poland and England: A
Case Study, Bhatti dan Žegarac (2012) fokus pada ajakan pesta ulang tahun
dan barbekyu dalam bahasa Polandia dan bahasa Inggris. Penelitian ini
mengambil data menggunakan metode Discourse Completion Tasks (DCT).
Bhatti dan Žegarac mengategorikan penolakan ajakan yang dilakukan oleh
masyarakat di Polandia dan Inggris ke dalam jenis penolakan (langsung dan tidak
langsung), dan jenis respons penolak terhadap penolakan mereka menjadi
kategori positif (mereka tidak merasa tidak enak karena telah menolak),
negatif (mereka merasa tidak enak karena telah menolak), dan netral
48. 30
(penolakan yang mereka lakukan merupakan hal yang wajar).
Selain penelitian mengenai ajakan, penolakan, dan penolakan ajakan,
terdapat beberapa studi mengenai negosiasi. Salah satunya adalah studi yang
dilakukan Graham (1995) yang fokus pada negosiasi dalam bisnis dari 13
negara. Graham mengumpulkan data dari video simulasi yang dilakukan oleh
beberapa pelaku bisnis dan kuesioner. Penelitian ini menunjukkan bahwa
pelaku-pelaku bisnis jarang menuturkan "No", "You"; dan lebih sering
memberikan perilaku nonverbal seperti memberikan interupsi dan tatapan
muka.
Kemudian, penelitian yang dilakukan Xia (2008) fokus pada negosiasi
melalui aksi penolakan pada Problem-Solving-Service Call (PSSC) antara
penutur asli dan bukan penutur asli bahasa Inggris. Sama seperti Beebe dan
Cummings (1995), data penelitian ini diambil dari percakapan telepon.
Penelitian ini menunjukkan bahwa negosiasi dilakukan apabila terdapat
ketidaksetujuan, keraguan, pertentangan, atau interpretasi yang tidak
diharapkan pada interaksi PSSC. Tabel berikut merupakan ringkasan objek
penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data, dan hasil penelitian
dari penelitian yang disebutkan sebelumnya.
49. 31
Tabel 2.1 Penelitian Sebelumnya
No. Peneliti
Objek
Penelitian
Subjek Penelitian
Teknik
Pengumpulan
Data
Hasil Penelitian
1 Graham (1995) Negosiasi Pelaku bisnis dari
13 negara
Video simulasi Pelaku bisnis dari 13 negara jarang
menuturkan “No” dan “You”; dan
lebih sering memberikan perilaku
nonverbal seperti memberikan
interupsi dan tatapan muka.
2 Beebe dan Cummings
(1995)
Penolakan Guru bahasa
Inggris (penutur
asli bahasa Inggris)
Percakapan
telepon dan
kuesioner
Tidak ada penolakan langsung
meskipun pembicara tidak saling
kenal.
3 Yang (2008) Penolakan Penutur bahasa
Cina
Lima serial
televisi Cina
Penutur bahasa Cina dalam serial
televisi tidak memberikan
penolakan langsung. Strategi
penolakan yang sering digunakan
adalah ‘alasan’.
4 Xia (2008) Negosiasi
melalui
penolakan
Penutur asli dan
bukan penutur asli
bahasa Inggris
Percakapan
telepon
Negosiasi dilakukan apabila
terdapat ketidaksetujuan,
keraguan, pertentangan, atau
interpretasi yang tidak
diharapkan pada interaksi PSSC.
50. 32
5 Dastpak dan Mollaei
(2011)
Ajakan basa-
basi
Penutur bahasa
Persia dan bahasa
Inggris
Observasi Ajakan basa-basi dalam bahasa
Persia lebih kompleks dibandingkan
dengan ajakan basa-basi dalam
bahasa Inggris
6 Bhatti dan Žegarac
(2012)
Penolakan
terhadap
ajakan pesta
ulang tahun
dan barbekyu
Penutur bahasa
Polandia dan
bahasa Inggris
Discourse
completion tesk
Jenis penolakan terbagi menjadi
dua jenis: langsung dan tidak
langsung. Ada pun jenis respons
penolak mengenai sikap
emosionalnya terhadap penolakan
yang mereka berikan terbagi
menjadi 3 kategori: 1) kategori
positif, yaitu penolak tidak merasa
tidak enak karena telah menolak; 2)
kategori negatif, yaitu penolak
merasa tidak enak karena telah
menolak; dan 3) kategori netral,
yaitu penolak merasa bahwa
penolakan merupakan hal yang
wajar.
51. 33
Berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Yang (2008), Bhatti dan
Žegarac (2012), dan Graham (1995) yang mengumpulkan data melalui serial
televisi, DCT, dan video simulasi yang kurang dapat dipertanggungjawabkan
kebenaran dan kealamian datanya, penelitian ini mengumpulkan data
alamiah berupa komunikasi yang dilakukan oleh penutur asli bahasa
Indonesia, bahasa Sunda, dan campuran bahasa Indonesia-Sunda. Penelitian
ini juga fokus pada ajakan dan responsnya yang dapat berupa penerimaan,
penolakan parsial, penolakan penuh dan negosiasi.
Berbeda dari penelitian Graham (1995) yang menggunakan sampel
para pelaku bisnis pada situasi bisnis yang seringkali merupakan situasi
formal, penelitian ini mengambil sampel para pemelajar bahasa jenjang
sarjana, magister, dan doktoral yang masing-masing tergabung dalam
komunitas daring pada media sosial Facebook. Tidak seperti Beebe dan
Cummings (1995) dan Xia (2008) yang mengambil data alamiah dari
percakapan melalui telepon, yang dapat memakan waktu lama dan biaya yang
tidak sedikit; penelitian ini mengambil data alamiah dari percakapan
melalui komunikasi bermedia komputer pada media sosial Facebook,
yang dapat menghemat waktu dan biaya. Bagan berikut merupakan posisi
dan kebaruan penelitian sekarang.
52. 34
Bagan 2.1 Posisi dan Kebaruan Penelitian Sekarang
Penelitian
Terdahulu
Penelitian
Sekarang
(2015)
Objek Penelitian
Subjek Penelitian
Teknik
Pengumpulan Data
Metode
Negosiasi melalui
penolakan
(Xia, 2008)
Penolakan terhadap
ajakan
(Bhatti dan Zegarac,
2012)
Penutur asli dan
bukan penutur asli
bahasa Inggris
(Xia, 2008)
Penutur bahasa
Polandia dan penutur
bahasa Inggris
(Bhatti dan Zegarac,
2012)
Percakapan telepon
(Xia, 2008)
Discourse completion
tasks
(Bhatti dan Zegarac,
2012)
Kualitatif
(Xia, 2008)
Kualitatif
(Bhatti dan Zegarac,
2012)
Ajakan nyata dan
ajakan ambigu
beserta respons
Netnografi
Penutur bahasa
Indonesia dan
bahasa Sunda dari
strata S1, S2, dan
S3
Percakapan daring
pada 3 komunitas
daring Facebook
53. 35
Pada bagan 2.1 digambarkan kebaruan teknik pengumpulan data dalam
kajian pragmatis, yaitu percakapan daring yang dilakukan oleh komunitas daring.
Hal ini sejalan dengan Herring (2004) yang menyatakan bahwa digitalisasi
menawarkan para peneliti bahasa dan komunikasi serta etnograf kesempatan
untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menyortir rekaman dari interaksi
seperti kata-kata, tuturan, pesan, arsip, dan sebagainya.
Metode yang digunakan dalam meneliti percakapan daring oleh
komunitas daring ini adalah etnografi digital. Istilah etnografi digital
terbagi menjadi beberapa terminologi berbeda, yaitu Etnografi Internet
atau Netnografi (Netnography) oleh Kozinets (1997); Etnografi Virtual
(Virtual Ethnography) oleh Hine (2000); dan Etnografi Digital (Digital
Ethnography) oleh Murthy (2008). Dalam hal ini, terminologi netnografi
dipilih karena kedua terminologi lain dapat menimbulkan ambiguitas. Kata
‘virtual’ bermakna ‘sesuatu yang dilakukan atau dilihat dalam komputer’, yang
belum tentu menggunakan jaringan internet dalam pengimplementasiannya.
Kemudian, kata ‘digital’ memiliki arti ‘yang berhubungan dengan angka-
angka untuk sistem perhitungan tertentu’. Sama seperti ‘virtual’, kata
‘digital’ juga belum tentu berhubungan dengan internet.
Data kemudian dibahas menggunakan kajian pragmatik. Hal ini sejalan
dengan Kozinets (2010: 132) yang menawarkan pendekatan interaksionis-
pragmatis dalam penelitian netnografi. Pada pendekatan interaksionis ini, unit
yang dianalisis bukan orang, melainkan gerak dan/atau aksi, termasuk tindak
tutur atau tuturan (Mead, 1938 dalam Kozinets, 2010).
54. 36
2.2 Komunikasi
Komunikasi adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Agar dapat mengembangkan dirinya, manusia harus mampu
berkomunikasi dengan sekitar. Komunikasi itu sendiri memiliki beberapa
pengertian; salah satunya adalah pengertian komunikasi menurut Hardjana (2003
dalam Lestari dan Maliki, 2006: 6) yang mengatakan bahwa komunikasi adalah
aktivitas memberitahu, berbicara, bercakap-cakap, bertukar pikiran, atau
berhubungan. Komunikasi juga berarti penyampaian pesan dari komunikator
kepada komunikan melalui media tertentu. Hal ini sejalan dengan Muhammad
(2002: 4 dalam Sikumbang, 2014: 64) yang mengatakan bahwa komunikasi
adalah “pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara si pengirim dengan si
penerima pesan untuk mengubah tingkah laku”. Agar tujuan komunikasi dapat
tercapai, dibutuhkan beberapa elemen komunikasi.
2.2.1 Elemen Komunikasi
Elemen-elemen komunikasi dibutuhkan agar komunikasi berlangsung
dengan baik. Laswell (1948 dalam Hybels dan Weaver, 1979 dikutip dari
Mulyana, 2005: 62-65) mengajukan lima elemen komunikasi sebagai berikut.
1. Pengirim atau komunikator, yaitu pihak yang mengirimkan pesan
kepada pihak lain.
2. Pesan, yaitu isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu pihak
kepada pihak lain.
55. 37
3. Saluran atau media, yaitu alat yang digunakan pengirim untuk
menyampaikan pesannya kepada penerima.
4. Penerima atau komunikan, yaitu pihak yang menerima pesan dari
pihak lain.
5. Efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah pesan tersebut
diterimanya.
Selain kelima elemen di atas, terdapat beberapa elemen tambahan seperti
umpan balik, kendala komunikasi, dan konteks komunikasi. Seluruh elemen
tersebut saling memengaruhi dan bergantung pada satu sama lain saat berjalannya
proses komunikasi.
2.2.2 Sifat Komunikasi
Dilihat dari sifatnya, komunikasi dibagi menjadi empat jenis: (1)
komunikasi verbal; (2) komunikasi nonverbal; (3) komunikasi tatap muka; dan (4)
komunikasi bermedia. Dua komunikasi pertama dapat dilakukan bersamaan
dengan komunikasi tatap muka dan/atau komunikasi bermedia.
2.2.2.1 Komunikasi Verbal
Sesuai dengan namanya, komunikasi verbal adalah komunikasi yang
melibatkan bentuk-bentuk verbal dalam prosesnya. Bentuk-bentuk verbal dapat
berupa kata-kata lisan maupun tertulis. Beberapa contoh komunikasi verbal antara
lain konversasi dan surat.
56. 38
2.2.2.2 Komunikasi Nonverbal
Berbeda dengan komunikasi verbal, komunikasi nonverbal tidak
menggunakan simbol-simbol verbal dalam prosesnya, melainkan ikon, simbol,
gambar, gerak tubuh, ekspresi wajah, kontak mata dan lain-lain. Dalam kajian
linguistik, cabang ilmu yang mengkaji komunikasi nonverbal adalah semiotika.
2.2.2.3 Komunikasi Tatap Muka
Sifat komunikasi lainnya adalah komunikasi tatap muka. Komunikasi tatap
muka merupakan proses komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
secara langsung tanpa menggunakan media apapun. Komunikasi ini terjadi saat
komunikator dan komunikan bertemu langsung. Komunikasi tatap muka disebut
juga komunikasi langsung (direct communication). Contoh dari komunikasi tatap
muka adalah pertemuan guru dan orangtua murid yang diadakan setiap awal
semester.
2.2.2.4 Komunikasi Bermedia
Komunikasi bermedia merupakan sifat komunikasi yang melibatkan media
dalam proses pelaksanaannya. Menurut Sikumbang (2014: 64), dalam komunikasi
bermedia, saluran atau sarana digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan
pesannya kepada komunikan yang banyak jumlahnya dan jauh jaraknya.
Komunikasi ini disebut juga komunikasi tidak langsung (indirect communication).
Beberapa media yang dapat digunakan untuk komunikasi di antaranya
adalah surat kabar, telepon, televisi, radio, dan komputer. Seiring berkembangnya
57. 39
teknologi, komunikasi yang menggunakan media komputer atau disebut juga
komunikasi bermedia komputer (computer-mediated communication atau CMC)
telah tersebar ke seluruh penjuru negeri dan digunakan oleh banyak lapisan
masyarakat. Komunikasi bermedia komputer adalah komunikasi yang dilakukan
dengan menggunakan media berkomponen komputer dalam pengiriman dan
penerimaan pesannya. Bentuk-bentuk komunikasi bermedia komputer di
antaranya adalah pesan singkat, surat elektronik, pesan instan, dan media sosial.
Seiring perkembangan teknologi, masyarakat kini dapat melakukan
komunikasi bermedia komputer dalam genggaman tangannya. Teknologi telepon
pintar (smartphone) telah memberi kemudahan kepada pemiliknya untuk
melakukan komunikasi jarak jauh dengan biaya yang terjangkau. Dengan satu
telepon pintar, masyarakat dapat mengakses pesan singkat, surat elektronik, pesan
instan, media sosial, dan lainnya.
2.2.3 Proses Komunikasi
Proses komunikasi memiliki dua model, yaitu model linier dan model
sirkuler. Tiap-tiap model komunikasi memiliki cirinya sendiri.
2.2.3.1 Model Linier
Pada proses komunikasi model linier, terdapat dua garis lurus yang
menghubungkan awal terjadinya proses komunikasi dari komunikator atau
pengirim dan berakhir pada komunikan atau penerima. Model linier ini
membutuhkan elemen-elemen kunci. Elemen-elemen tersebut adalah pengirim,
58. 40
pesan, dan penerima. Contoh dari model linier adalah komunikasi melalui radio,
televisi, dan telepon. Laswell (1948 dalam Lestari dan Maliki, 2006: 14-15)
mengemukakan bahwa formula model linier terdiri dari: (1) siapa; (2) mengatakan
apa; (3) dengan saluran yang mana; (4) kepada siapa; dan (5) dengan efek seperti
apa. Formula model linier yang digagas Laswell (1948) dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar 2.1 Formula model linier Laswell
Dalam komunikasi bermedia komputer atau komunikasi daring, contoh
dari proses komunikasi dengan model linier ini adalah ketika seseorang
mengeposkan tulisannya dalam akun Blogspot atau Wordpress-nya. Komunikator
dari komunikasi tersebut adalah pemilik akun yang menyampaikan pesannya
melalui media blog kepada pembaca sebagai komunikan.
2.2.3.2 Model Sirkuler
Model berikutnya dalam proses komunikasi adalah model sirkuler. Model
sirkuler adalah satu model yang ditandai dengan adanya umpan balik. Dalam
komunikasi model sirkuler tidak terdapat dua garis lurus, melainkan lingkaran
yang bergerak memutar dari komunikator, pesan, media, dan komunikan. Formula
59. 41
model sirkuler yang diajukan oleh Schramm (1954) dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar 2.2 Formula model sirkuler Schramm
Contoh model sirkuler dalam komunikasi bermedia komputer atau
komunikasi daring adalah komentar yang diberikan pada status Facebook
seseorang, balasan surel dari penerima kepada pengirim, dan balasan pesan instan
dalam WhatsApp, BlackBerry Messenger, atau Line Messenger.
2.2.4 Faktor Pemengaruh Komunikasi
Dalam berkomunikasi, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
efektivitas komunikasi itu sendiri. Menurut Lunandi (1994: 85), terdapat enam
faktor yang mempengaruhi komunikasi.
60. 42
1. Citra diri, yaitu gambaran seseorang tentang dirinya sendiri yang
meliputi kelemahan, kelebihan, dan status dalam masyarakat. Citra diri
menentukan persepsi orang lain mengenai tiap-tiap individu.
2. Citra pihak lain, yaitu pandangan seseorang terhadap pihak lain yang
diajak berkomunikasi.
3. Lingkungan fisik, yaitu lingkungan tempat tinggal manusia.
Seseorang dapat mengubah cara berbicaranya ketika berada dalam
lingkungan fisik yang berbeda. Hal ini dikarenakan norma-norma yang
berada pada tiap-tiap lingkungan.
4. Lingkungan sosial, yaitu status seseorang di masyarakat. Cara
berkomunikasi seseorang dapat berubah ketika teman bicaranya
memiliki status sosial yang lebih rendah atau tinggi dibandingkan
dengan dirinya.
5. Kondisi, seperti kondisi fisik yang memiliki pengaruh terhadap
komunikasi. Seperti contoh, seseorang yang sedang sakit akan menjadi
kurang cermat dalam memilih kata-kata. Kondisi emosional juga
memengaruhi efektivitas komunikasi. Kondisi tersebut tidak hanya
memengaruhi pengiriman komunikasi, tetapi juga penerimaan
komunikasi.
6. Bahasa badan, yaitu gerakan dan simbol-simbol yang diberikan oleh
bagian tubuh seperti kontak mata, gerakan tangan, gerakan kaki,
gerakan kepala.
61. 43
Secara keseluruhan, efektivitas komunikasi ditentukan oleh konteks yang
mengikuti proses komunikasi itu sendiri. Salah satu kebermaknaan sebuah
komunikasi dilatari oleh konteks yang dapat dikaji secara pragmatis.
2.3 Pragmatik
Pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari makna dalam
interaksi. Istilah pragmatik dalam pemakaian modern dipengaruhi oleh filsuf
Charles Morris (1938) yang membagi tiga cabang ilmu: sintaksis, ilmu yang
mempelajari 'hubungan formal antara tanda yang satu dengan tanda yang lain';
semantik, ilmu yang mempelajari 'hubungan antara tanda dengan makna'; dan
pragmatik, ilmu yang mempelajari 'hubungan antara tanda dengan pengguna dan
penginterpretasiannya' (Morris, 1938 dalam Levinson, 1983: 1). Selain Morris,
Carnap (1956) mengadaptasi teori trikotomi Morris dan menyatakan bahwa
terdapat tempat untuk pragmatik murni yang berhubungan dengan konsep-
konsep seperti kepercayaan, tuturan, dan maksud. Kemudian, definisi
pragmatik milik Carnap berkembang menjadi 'investigasi linguistik yang
membuat referensi penting untuk aspek-aspek dalam konteks', yang
menganggap konteks memiliki cakupan identitas partisipan, parameter tempat
dan waktu dari speech event, serta kepercayaan, pengetahuan, dan tujuan dari
partisipan dalam speech event tersebut, dan lainnya (Levinson, 1983: 5).
Beberapa ahli mengemukakan definisi pragmatik, salah satunya
adalah Levinson (1983: 7) yang menyatakan bahwa pragmatik adalah
ilmu yang mempelajari bahasa dari sudut pandang fungsional, yaitu
62. 44
usaha untuk menjelaskan segi-segi struktur linguistik melalui referensi
penekanan dan sebab non-linguistik. Yule (1996: 3) menambahkan bahwa
pragmatik adalah ilmu yang mempelajari maksud penutur dan makna
kontekstual. Yule juga menambahkan bahwa pragmatik adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana sesuatu yang dikatakan bermakna lebih daripada
yang dikomunikasikan. Definisi lain dari pragmatik menurut Yule adalah
ilmu yang mempelajari cara mengekspresikan hubungan kedekatan. Grundy
(2000: 3) juga menyatakan bahwa "pragmatics is about explaining how we
produce and understand such everyday but apparently rather peculiar uses of
language". Menurut Grundy, pragmatik bertujuan menjelaskan bagaimana kita
memproduksi dan memahami penggunaan bahasa yang digunakan sehari-hari,
namun tampak lebih unik.
Berdasarkan definisi-definisi pragmatik di atas, dapat disimpulkan bahwa
pragmatik adalah ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa dalam konteks yang
melibatkan interaksi antar partisipan. Pragmatik selalu melibatkan konteks dalam
penggunaannya.
2.3.1 Konteks
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, apabila kita
membicarakan pragmatik, maka kita juga membicarakan konteks. Definisi
konteks menurut Yule (1996: 128) adalah lingkungan fisik suatu kata
digunakan.
Grundy (2000: 13) mengatakan "the relationship between context and
63. 45
language is central in pragmatics. One of the things you'll have to make up your
mind about as you study pragmatics is whether the context determines the way
we use language or whether the way we use language deter~ines the context".
Grundy berpendapat bahwa hubungan antara konteks dan penggunaan
bahasa sangat penting dalam pragmatik. Yang harus dipikirkan ketika
mempelajari pragmatik adalah apakah konteks menentukan cara kita
menggunakan bahasa atau cara kita menggunakan bahasa menentukan
konteksnya.
Grundy (2000: 272) mendefinisikan konteks sebagai elemen relevan
apa pun dari struktur sosial. Konteks mungkin berhubungan dengan atau dibuat
oleh penggunaan bahasa. Menurut McManis et al. (1987: 197), konteks dibagi
menjadi empat bagian, yaitu:
1. Physical context (konteks fisik), yaitu konteks yang meliputi
tempat percakapan itu terjadi, objek apa yang dimunculkan dan aksi
apa yang terjadi.
2. Epistemic context (konteks epistemik), yaitu konteks yang
meliputi latar belakang pengetahuan pembicara dan pendengar
(partisipan) dalam percakapan.
3. Linguistic context (konteks linguistik), yaitu konteks yang
menyangkut ujaran sebelumnya dengan ujaran apa yang akan
diujarkan berikutnya (interpretasi/inferensi/implikatur).
4. Social context (konteks sosial), yaitu konteks yang meliputi
hubungan sosial berikut latar pembicara dan pendengar (partisipan).
64. 46
Oleh karena itu, dalam pragmatik, konteks dan pengunaan bahasa
sangat erat hubungannya. Konteks memengaruhi penggunaan bahasa. Begitu
juga sebaliknya, pengunaan bahasa memengaruhi konteks.
Dari keempat konteks yang diajukan McManis et al., penelitian ini
menggunakan tiga jenis konteks, yaitu konteks epistemik, konteks linguistik,
dan konteks sosial. Konteks fisik tidak digunakan karena seluruh komunikasi
terjadi dalam dunia maya.
2.3.2 Praanggapan
Praanggapan berasal dari kata pre-suppose, yang berarti ‘menganggap
sebelumnya’. Praanggapan merupakan dugaan mengenai respons dari lawan
bicara atau hal yang akan dibicarakan, yang digagas oleh penutur sebelum
menuturkan sesuatu.
Definisi praanggapan menurut Levinson (1985) adalah suatu anggapan
atau pengetahuan latar belakang yang menciptakan suatu tindakan, teori, atau
ungkapan yang memiliki makna. Berdasarkan pengertian Levinson tersebut,
pengetahuan yang dimiliki oleh penutur maupun petutur memiliki peran dalam
menentukan praanggapan yang akan digagas oleh penutur. Ada pun definisi
praanggapan menurut Yule (1996) yaitu asumsi penutur akan kejadian sebelum
penutur memproduksi tuturan. Yule menambahkan bahwa yang memiliki
praanggapan adalah penutur, bukan kalimat. Cummings (2005) menambahkan
65. 47
bahwa praanggapan merupakan asumsi yang tersirat dalam ungkapan linguistik
tertentu.
Oleh karena itu, praanggapan dapat dikatakan sebagai asumsi akan
konteks dan situasi berbahasa yang memiliki makna bagi penutur dan petutur,
yang digagas oleh penutur sebelum memproduksi tuturan. Praanggapan dapat
membantu penutur menentukan bentuk-bentuk bahasa yang memiliki makna
untuk menyampaikan pesan.
Penggunaan bentuk-bentuk linguistik seperti penggunaan kata, frasa, dan
struktur dapat memberikan indikator mengenai praanggapan yang mungkin terjadi
(Yule, 1996: 27). Yule juga menambahkan bahwa indikator tersebut dapat
menjadi praanggapan yang sebenarnya apabila berada dalam satu konteks dengan
penutur. Yule (1996) menyatakan bahwa jenis praanggapan dibagi menjadi enam:
1. Praanggapan eksistensial, yaitu praanggapan yang diindikasikan,
baik oleh konstruksi posesif maupun frasa nomina definit lainnya.
2. Praanggapan faktif, yaitu praanggapan yang berisi kata-kata yang
menunjukkan suatu fakta, seperti know, realise, regret, dan
sebagainya.
3. Praanggapan non-faktif, yaitu praanggapan yang dianggap tidak
sesuai dengan kenyataan. Praanggapan non-faktif dapat diketahui dari
penggunaan kata-kata, seperti dream, imagine, dan pretend.
4. Praanggapan leksikal, yaitu praanggapan yang dapat
diinterpretasikan berdasarkan kata-kata yang memiliki makna tersurat,
66. 48
seperti manage, stop, dan start, yang diikuti oleh bentuk tuturan yang
memiliki makna tersirat.
5. Praanggapan struktural, yaitu praanggapan yang dapat
diinterpretasikan melalui penggunaan struktur kalimat tertentu, seperti
kalimat tanya WH.
6. Praanggapan kontra-faktual, yaitu praanggapan yang tidak hanya
benar, melainkan berlawanan dari kebenaran tersebut, seperti pada
kalimat pengandaian atau conditional.
Praanggapan memegang peran penting dalam memproduksi dan
memahami tindak tutur. Praanggapan ditentukan dari sudut pandang yang
berbeda, yang masing-masing memiliki kesamaan dalam beberapa cara atau
lainnya.
2.3.3 Tindak Tutur
Tindak tutur merujuk pada aksi yang dilakukan pada saat memproduksi
tuturan; seperti membuat perintah atau janji (Austin, 1962). Searle mengatakan,
"Speech acts are the basic unit of linguistic communication," (1969: 16). Tindak
tutur merupakan satuan dasar komunikasi linguistik. Satuan minimal komunikasi
linguistik bukanlah ekspresi linguistik, melainkan perlakuan dari aksi tertentu.
Ketika orang menuturkan satu kalimat, dia tidak hanya mengatakan sesuatu,
tetapi juga melakukan sesuatu. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan
67. 49
melalui kata-kata, seperti meminta, bertanya, memberikan perintah, dan
berjanji.
Menurut Felix-Brasdefer (2008: 37), bahasa memiliki sumber
linguistik yang berbeda untuk mengomunikasikan tindak tutur. Tindak tutur
dapat dilakukan secara eksplisit dengan menggunakan verba performatif
seperti I apologize, I refuse, I promise, dan sebagainya. Tindak tutur dapat
dilakukan baik melalui tuturan maupun instrumen linguistik lainnya. Tindak
tutur yang dilakukan melalui tuturan terbagi menjadi beberapa tingkatan tindak
tutur.
2.3.3.1 Tingkatan Tindak Tutur
Tindak tutur terbagi menjadi tiga tingkatan. Austin (1962)
mengemukakan tiga tingkatan aksi berbeda di balik aksi tuturan itu sendiri
sebagai berikut.
1. Aksi lokusi, berhubungan dengan tuturan yang diucapkan dalam satu
kalimat dengan struktur gramatika dan makna.
2. Aksi ilokusi, berhubungan dengan maksud tuturan tersebut, seperti
menyatakan, bertanya, memberi perintah, atau berjanji.
3. Aksi perlokusi, efek maksud tuturan bagi pendengar yang
diharapkan oleh penutur.
Dari ketiga tingkat tindak tutur tersebut, menurut Yule (1996: 49),
aksi yang paling sering dibicarakan adalah aksi ilokusi. Istilah 'tindak tutur'
umumnya diartikan lebih sempit sebagai aksi ilokusi dari satu tuturan. Ketiga
68. 50
tindak tutur tersebut diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori.
2.3.3.2 Klasifikasi Tindak Tutur
Dalam tindak tutur, terdapat beberapa klasifikasi yang diajukan Austin
(1962) dan Searle (1969). Austin (1962 dalam Wardaugh, 1992: 284)
mengajukan lima kategori tindak tutur. Verdiktif, ditandai dengan
memberikan bukti, alasan, atau evaluasi kebenaran, seperti menghitung,
membebaskan, dan menjelaskan. Eksertif, berhubungan dengan memutuskan atau
menyokong aksi tertentu, seperti memerintah, mengarahkan, menominasi, dan
menunjuk. Komisif, ditandai dengan melakukan aksi akan datang seperti
berjanji dan bersumpah. Ekspositif, istilah yang merujuk pada bagaimana
seseorang membuat tuturan yang pantas masuk dalam argumen atau
eksposisi, seperti menegaskan, menyangkal, menekankan, dan
mengilustrasikan. Behavities, berhubungan dengan hal-hal seperti bertepuk-
tangan, menyesalkan, dan memberikan selamat yang mengundang reaksi
terhadap tingkah laku orang lain.
Sementara, Searle (1969: 240) mengajukan taksonomi yang hanya
terdiri dari lima jenis dasar dari aksi yang dilakukan seseorang dalam berbicara:
1. Representatif, membawa penutur kepada kebenaran proposisi,
seperti menegaskan, menyimpulkan, dan menyarankan.
2. Direktif merupakan tindak tutur yang bertujuan mendapatkan aksi
dari pendengar, seperti meminta, bertanya, dan memberikan
perintah.
69. 51
3. Komisif merupakan tindak tutur yang membawa penutur kepada
aksi akan datang, seperti berjanji, mengancam, dan menawarkan.
4. Ekspresif yang digunakan untuk menjelaskan sikap psikologis
penutur terhadap suatu peristiwa, seperti berterima kasih,
menyambut, dan memberi selamat.
5. Deklarasi yang bertujuan membawa perubahan dalam
kehidupan, seperti menikahkan, merestui, dan memecat.
2.4 Kesantunan Imperatif
Berdasarkan nilai komunikatifnya, kalimat dalam bahasa Indonesia dibagi
menjadi lima jenis. Kelima jenis kalimat tersebut adalah (1) kalimat deklaratif; (2)
kalimat imperatif; (3) kalimat interogatif; (4) kalimat eksklamatif; dan (5) kalimat
emfatik (Moeliono, 1992 dalam Rahardi, 2005: 2). Kalimat deklaratif berfungsi
untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain. Sebaliknya, kalimat interogatif
berfungsi untuk menanyakan sesuatu. Kalimat imperatif memiliki makna
menyuruh atau meminta seseorang melakukan sesuatu. Kalimat imperatif juga
digunakan penutur saat penutur mengharapkan tanggapan yang berupa aksi dari
petutur. Kalimat imperatif dapat berupa kalimat perintah, kalimat himbauan, dan
kalimat larangan.
Dalam realisasinya, kalimat imperatif sering diekspresikan tidak hanya
dengan konstruksi imperatif, melainkan dengan konstruksi deklaratif maupun
interogatif. Hal ini dipengaruhi oleh konteks situasi tutur, dan memiliki tujuan
untuk mempertahankan kesantunan antara penutur dan petutur. Pada kajian
70. 52
pragmatis, konteks situasi tuturan yang mempengaruhi konstruksi kalimat
imperatif direalisasikan melalui tindak tutur.
Rahardi (2005: 7) mengatakan bahwa hubungan antara tuturan imperatif
dengan tindak tutur dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) pada aksi lokusi, tuturan
imperatif merupakan pernyataan makna dasar dari konstruksi imperatif; (2) pada
aksi ilokusi, makna imperatif pada dasarnya merupakan maksud yang
disampaikan penutur saat menyampaikan tuturan imperatif tersebut; dan (3) pada
aksi perlokusi, makna imperatif merupakan efek yang muncul sebagai akibat dari
tindak tutur.
Dalam menyampaikan tindak tuturnya yang bermakna imperatif, penutur
menunjukkan kesantunan terhadap lawan bicaranya atau petutur. Kesantunan
imperatif yang diberikan penutur dapat dilihat dari wujud kesantunan linguistik
dan kesantunan pragmatiknya.
2.4.1 Kesantunan Linguistik
Kesantunan imperatif dapat diimplementasikan melalui wujud kesantunan
linguistik. Dalam bahasa Indonesia, kesantunan linguistik tuturan imperatif terdiri
dari empat hal (Rahardi, 2005: 118).
1. Panjang-Pendek Tuturan
Masyarakat Indonesia sangat mengutamakan basa-basi dalam
komunikasinya, dengan tujuan untuk menunjukkan kesantunan. Basa-basi dalam
komunikasi ini dapat dilihat dari panjang atau pendeknya tuturan yang digunakan.
Pada umumnya masyarakat Indonesia menganggap bahwa semakin panjang
71. 53
tuturan, semakin santun tuturan tersebut (Rahardi, 2005: 119). Panjang-pendek
tuturan sebagai kesantunan linguistik dapat dilihat pada contoh berikut.
(a) “Setelah ini antar saya mencari makan ya!”
(b) “Kalau semua sudah beres, apakah kamu mau mengantarkan saya
mencari makan?”
Pada tuturan (a), dapat dilihat bahwa tingkat kesantunan tuturan imperatif
yang ditunjukkan kurang. Hal ini dikarenakan tuturan yang diberikan pendek dan
tanpa basa-basi. Sedangkan pada tuturan (b), tingkat kesantunan yang diberikan
lebih tinggi dibandingkan tuturan (a) karena panjangnya tuturan yang diberikan.
Kemudian bentuk tuturan yang diberikan pada (b) adalah konstruksi interogatif,
yang semakin melemahkan makna imperatifnya.
2. Urutan Tutur
Kesantunan linguistik tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia
berikutnya ditunjukkan oleh urutan tutur yang diberikan penutur. Sebelum
mengekspresikan tuturannya, penutur mempertimbangkan urutan tuturnya untuk
mempertegas, memperhalus, bahkan memperkasar tuturannya. Untuk
menyantunkan tuturannya, penutur akan mengubah urutan tuturnya dengan cara
mengutarakan tuturan imperatifnya di akhir tuturan. Berikut adalah contoh
kesantunan linguistik yang ditandai dengan urutan tutur.
(c) “Pindahkan barang-barang ini ke kamar sekarang! Rekan kerja Ibu
akan datang siang ini.”
72. 54
(d) “Rekan kerja Ibu akan datang siang ini. Pindahkan barang-barang
ini ke kamar sekarang!”
Pada tuturan (c), maksud imperatif diberikan di awal tuturan diikuti
dengan informasi tambahan. Hal ini mengurangi tingkat kesantunan dari tuturan
imperatif karena tidak menunjukkan basa-basi. Sebaliknya, tuturan (d)
menunjukkan tingkat kesantunan imperatif lebih tinggi dari tuturan (c) karena
maksud imperatif diutarakan setelah informasi lain diberikan. Mengingat
kepercayaan masyarakat Indonesia bahwa basa-basi sangat diutamakan untuk
menjaga kesantunan, urutan tutur pada contoh (d) dinilai lebih santun karena
maksud imperatif pada tuturan tersebut diberikan setelah alasan mengapa tuturan
imperatif tersebut diberikan.
3. Intonasi Tuturan dan Isyarat-Isyarat Kinesik
Intonasi dan isyarat-isyarat kinesik yang diberikan oleh penutur saat
mengutarakan maksud imperatifnya juga dapat dikategorikan sebagai kesantunan
linguistik. Sunaryati (1998: 43 dalam Rahardi, 2005) mengatakan bahwa intonasi
adalah “tinggi-rendah suara, panjang-pendek suara, keras-lemah suara, jeda,
irama, dan timbre yang menyertai tuturan”. Terkadang penutur merendahkan,
memperpanjang, dan melemahkan suaranya saat memberikan tuturan imperatif
sebagai wujud kesantunan.
Selain intonasi, isyarat-isyarat kinesik juga digunakan sebagai wujud
kesantunan. Isyarat-isyarat kinesik tersebut di antaranya adalah gerak tubuh, sikap
tubuh, dan ekspresi wajah.
73. 55
Dalam komunikasi bermedia komputer, intonasi dan isyarat-isyarat kinesik
hanya bisa diketahui apabila komunikasi dilakukan melalui media video. Pada
komunikasi berbasis teks, intonasi seringkali ditandai dengan tanda baca seperti
tanda tanya dan tanda seru; sedangkan isyarat-isyarat kinesik digantikan dengan
bentuk paralinguistik lain seperti emosikon. Hal ini didukung oleh Kozinets
(2010: 133) yang mengatakan bahwa beberapa aspek dari data visual dalam
interaksi berbasis teks seperti penggunaan gambar-gambar grafis yang bergerak
dan emosikon, pemilihan warna, jenis dan ukuran huruf, desain grafis, foto, dan
pengaturan tampilan dapat dianalisis.
4. Pemakaian Ungkapan Penanda Kesantunan
Selain ketiga hal yang telah disebutkan sebelumnya, kesantunan linguistik
pada tuturan imperatif juga dapat dilihat dari ungkapan penanda kesantunan.
Bahasa Indonesia memiliki banyak ungkapan penanda kesantunan seperti ‘halo’,
‘mohon’, ‘silakan’, ‘ayo’, ‘biar’, ‘coba’, ‘tolong’, ‘mari’, dan ‘-lah’.
2.4.2 Kesantunan Pragmatik
Wujud kesantunan imperatif dalam bahasa Indonesia juga dapat dilihat
dari segi pragmatiknya. Makna pragmatik imperatif dapat direalisasikan dengan
bentuk tuturan yang bermacam-macam. Dalam bahasa Indonesia, makna
pragmatik imperatif lebih banyak diwujudkan dengan tuturan nonimperatif seperti
tuturan deklaratif dan tuturan interogatif. Bentuk tuturan nonimperatif yang
74. 56
digunakan untuk menyampaikan makna imperatif biasanya mengandung unsur
ketidaklangsungan, yang dapat menunjukkan kesantunan penutur.
2.4.3 Komunikasi Fatis sebagai Kesantunan
Dalam penyampaian maksud imperatif, sering ditemukan ungkapan-
ungkapan yang maknanya tidak sesuai dengan makna kata yang membentuknya.
Tujuan penggunaan ungkapan-ungkapan tersebut adalah untuk membuka
percakapan, mengawali tuturan, mempertegas tuturan, memperhalus tuturan,
menyapa dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan tersebut oleh Malinowski (1923)
disebut fungsi fatis. Interaksi yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk fatis
disebut komunikasi fatis.
Komunikasi fatis adalah aktivitas atau perilaku berbicara yang berkaitan
dengan kesopansantunan untuk menjaga stabilitas interaksi (Malinowsky, 1923).
Komunikasi fatis membentuk kontak sosial dan sekaligus menjaganya, sehingga
dapat dikatakan bahwa fungsi fatis juga merupakan wujud kesantunan penutur
saat memberikan tuturan imperatifnya.
Dalam bahasa Indonesia, ungkapan-ungkapan fatis merupakan penemuan
baru dalam kajian linguistik yang eksistensinya tidak dapat diabaikan dalam
deskriptif bahasa standar dan nonstandar (Kridalaksana, 1990: 120). Beberapa
ungkapan fatis dalam bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bahasa ibu; oleh
karena itu, kategori fatis merupakan ciri ragam lisan nonstandar.
Kridalaksana (2008: 116) membagi bentuk kategori fatis atas partikel,
kata, dan frasa fatis. Ungkapan fatis di antaranya adalah ‘ah’, ‘deh’, ‘ding’, ‘halo’,
75. 57
‘kan’, ‘lah’, ‘lho’, ‘pun’, ‘selamat’, ‘sih’, ‘ya’, ‘terima kasih’, dan sebagainya.
Berikut adalah beberapa contoh penggunaan fatis dalam tuturan yang bertujuan
untuk menunjukkan kesantunan.
(e) “Saya sih mau saja pergi, tapi apa harus hari ini?”
(f) “Boleh deh.”
(g) “Eh, salah ding. Seharusnya ketemu nanti malam.”
Pada tuturan (e), fatis ‘sih’ menunjukkan bahwa penutur merasa sedikit
keberatan untuk pergi. Kemudian, fatis ‘deh’ pada tuturan (f) mengindikasikan
persetujuan dari penutur. Fatis ‘ding’ pada (g) merupakan wujud kesantunan
penutur yang mengakui kesalahannya.
Ungkapan fatis tidak dapat berdiri sendiri, ia harus diucapkan bersamaan
dengan tuturan lain. Fatis banyak ditemukan pada bahasa lisan maupun bahasa
lisan yang dituliskan seperti pada komunikasi yang berbasis teks dalam
komunikasi bermedia komputer. Fatis juga banyak ditemukan pada tuturan
imperatif bahasa Indonesia sebagai wujud kesantunan penutur untuk
mempertahankan hubungan sosialnya dengan petutur. Salah satu jenis tuturan
imperatif yang diwujudkan dalam tindak tutur dan dapat mengandung ungkapan-
ungkapan fatis adalah ajakan.
2.5 Ajakan
Ajakan muncul ketika penutur (speaker) menunjukkan maksudnya
untuk meminta partisipasi atau kehadiran pendengar (hearer) pada kesempatan