Teks tersebut membahas tentang Al Ijma' sebagai salah satu sumber hukum Islam ketiga setelah Al Quran dan Hadis. Ia menjelaskan pengertian Al Ijma', macam-macamnya seperti Ijma' Syarih dan Ijma' Sukuti, serta kehujjahannya sebagai sumber hukum apabila memenuhi empat unsur yakni adanya beberapa mujtahid, kesepakatan mengenai hukum syara', pendapat masing-masing diung
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Al Ijma' - Sumber Hukum Islam
1. 1
Al Ijma’
Mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen pengampu: Bapak Dr. H. Musahadi
Disusun oleh:
Robbiatul Addawiyah (132411186)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
2. 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Agama Islam memiliki empat sumber hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan
dalam menetapkan hukum suatu perkara tertentu. Salah satunya adalah Al Ijma’. Al Ijma’
menjadi landasan hukum umat Islam yang ketiga setelah Al Qur’an dan Al Hadits. Apabila
pada suatu hari ada sebuah masalah di kalangan umat Islam yang kemudian dicari
hukumnya di dalam Al Qur’an namun mereka tidak menemukan hukum dari masalah
tersebut maka mereka akan mencarnya lagi di dalam Al Hadits Rasulullah saw. Namun
mereka tidak menemukannya juga didalam Al Hadits. Maka umat Islam terutama para
ulama wajib untuk bermusyawarah demi menetapkan hukum dari masalah yang
dibicarakan tersebut.
Musyawarah para ulama yang menghasilkan hukum tersebut inilah yang dinamakan
dengan Al Ijma’. Dalam musyawarah Al Ijma’ ini, seluruh ulama Islam harus berkumpul
dalam satu tempat, namun seiring berkembangnya jaman dan semakin meluasnya wilayah
umat Islam, tidak mungkin untuk mengumpulkan semua Ulama Islam yang sudah tersebar
di berbagai belahan dunia. Maka Al Ijma kini boleh dilakukan tanpa harus mengumpulkan
semua ulama Islam. Cukup dengan para ulama yang ada dalam suatu negara.
Al Ijma’ bisa dikatakan pula sebagai salah satu dari bentuk Ijtihad. Hal ini karena
Al Ijma’ juga merupakan hasil suatu pemikiran para ulama yang berlandaskan Al Qur’an
dan Al Hadits serta Ilmu pengetahuan yang mereka miliki.
B. Rumusan masalah
1. Pengertian Al Ijma’
2. Macam-macam Al Ijma’
3. Kehujjahan Al Ijma’
4. Contoh kasus Al Ijma’
3. 3
BAB II
ISI
A. Pengertian Al Ijma’
Al Ijma’ sumber hukum Islam ketiga setelah Al Qur’an dan Al Hadits. Untuk
definisi Al Ijma’, para ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang pengertian Al
Ijma’. Abdul Husayn Al Basri (w. 436 H) mendefinisikan Al Ijma sebagai persetujuna
suatu kelompok atau jama’ah mengenai suatu masalah tertentu melalui tindakan atau
penghindaran tindakan.1
Al Ghazali mendefinisikan Al Ijma’ sebagai kesepakatan masyarakat Muhammad
mengenai suatu masalah keagamaan.2
Namun Al Ijma yang didefinisikan oleh Al Ghazali
mendapat banyak pertentangan, karena Al Ijma yang disepakati oleh seluruh masyarakat
tidak mungkin dapat dijalankan dengan baik.
Menurut Al Amidi, Al Ijma’ adalah kesepakatan dari semua anggota ahl al-hall wa
‘l-‘aqd yang termasuk dalam masyarakat Muhammad saw. dalam satu periode tertentu,
menyangkut suatu peraturan mengenai kejadian tertentu.3
Kesepakatan ahl al-hall wa
‘l-‘aqd menunjukkan kesepakatan bulat dari para ahli hukum atau ulama yang mencakup
kesepakatan masyarakat atau sebagai suatu perwakilan dari kesepakatan masyarakat.
Al Ijma’ sendiri dalam bahasa Arab dapat diartikan sebagai tekad. Al Ijma’
disebutkan dalam Al Qur’an surat Yunus ayat 71 dengan kata” ijmak” yang diartikan
sebagai kesepakatan atau keputusan para ulama,
فأجمعواامركموشركاعكم:يونس .۷۱
Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu untuk
membinasakanku.(QS Yunus:71)
Kesepakatan para ulama disebut ijmak atau Al Ijma’ karena kesepakatan mereka
atas suatu hukum adalah kebulatan tekad mereka akan hal itu.
Secara istilah, Al Ijma’ mempunyai pengertian kesepakatan para ulama dalam
menetapkan hukum suatu perkara tertentu setelah wafatnya Nabi saw. Kesepakatan tersebut
adalah hasil musyawarah para mujtahid yang dikumpulkan di suatu tempat kemudian
mereka membicarakan suatu perkara yang masih diperdebatkan hukumnya karena tidak
terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Sehingga para mujtahid membuat suatu kesepakatan
hukum akan hal itu, dan kesepakatan inilah yang disebut Al Ijma’.
1
Al Ghazali, al Mustashfa, Kairo: Mathba’ah Mushtashfa Muhammad, 1937, h. 116.
2
Ibid, h. 115.
3
Ahmad Hasan, Ijma’, Bandung: Penerbit Pustaka, 1985, h. 82.
4. 4
Namun ada pula yang mengatakan bahwa Al Ijma sudah ada sejak masa Rasululah
masih hidup, yaitu Ahmad Syalabi. Diriwayatkan bahwa Ali ra. pernah berkata kepada
Nabi ;”Ada kalanya kita menghadapi suatu peristiwa yang belum ada hukumnya dalam Al
Qur’an dan Al Hadits. Nabi menyahut ; kumpulkan orang-orang berpengetahuan dan
jadikan hal itu sebagai bahan musyawarah”. Abu Bakar dan Umar dalam menghadapi suatu
perkara yang belum ada hukumnya di dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul senantiasa
mengundang para sahabat untuk bermusyawarah. Keputusan yang diambil dalam
musyawarah itu disebut Ijma’ dan dijadikan dasar dan pegangan. 4
Namun hal ini tidak dapat disebut sebagai Al Ijma’ karena jika Rasulullah saw.
masih hidup ini berarti bahwa masih ada as Sunnah atau al Hadits yang bisa dijadikan
sebagai dasar hukum suatu perkara. Ketika para sahabat menemui suatu perkara kemudian
tidak terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits, para sahabat bisa menanyakannya langsung
kepada Rasulullah saw. Meskipun kesepakatan suatu perkara tersebut di bahas dalam suatu
musyawarah yang dihadiri oleh para sahabat namun tidak dapat disebut sebagai Al Ijma’
karena Rasulullah saw. turut hadir dalam musyawarah tersebut.
Jadi Al Ijma’ hanya ada setelah Rasulullah saw. wafat. Kemudian Al Ijma’ ini
dihasilkan melalui musyawarah para sahabat berupa kesepakatan mengenai hukum suatu
perkara tertentu.
B. Macam-macam Al Ijma’
Dengan melihat berbagai hal yang terjadi saat proses mendapatkan Ijma’ maka ada
berbagai macam Ijma’. Berikut ini adalah macam-macam Ijma’:
1. Al Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua yaitu Ijma’ Sharih dan Ijma’
Sukuti. Berikut pengertiannya:
a. Ijma’ al Sharih ( اجماعالصاريح )
Ijma’ al Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid atas suatu perkara tertentu pada
masa tertentu pula dan para mujtahid mengungkapkan pendapatnya masing-masing
baik dengan lisan maupun dengan perbuatan yang mencerminkan pendapatnya dan
kemudian di musyawarahkan berbagai pendapat tersebut sehingga menjadi satu
kesepakatan yang disetujui oleh semua mujtahid.
Ijma’ al Sharih disebut pula sebagai Ijma’ Qath’i, Ijma’ Hakiki, atau Ijma’
Qauli. Ijma’ al Sharih dapat dijadikan sebagai hujjah dan landasan hukum yang sah
setelah Al Qur’an dan al Hadits karena sempurnanya proses musyawarah.
b. Ijma’ Sukuti ( اجماعالسكوتي )
4
Ahmad Syalabi, Sejarah Pembinaan Hukum Islam (Alih Bahasa Abdullah Badjerei), Jakarta: Djajamurni, h.
88.
5. 5
Ijma’ Sukuti yaitu kesepakatan yang dimulai dengan pernyataan sebagian
mujtahid tentang sebuah persoalan dan sebagian lainnya tidak menentang dan hanya
diam tidak memberikan komentar setuju atau tidak setuju terhadap pernyataan yang
telah dikemukakan.
Dalam Ijma’ Sukuti ini mujtahid yang hanya diam dan tidak memberikan
komentar bukan berarti sepakat dengan pernyataan atau pendapat dari mujtahid lain
sehingga dalam Ijma’ Sukuti ini belum dapat dikatakan telah terjadi kesepakatan
dan tidak pasti terjadi Ijma’.
Menurut para ulama kelompok Hanafi beranggapan bahwa Ijma’ Sukuti adalah
Ijma’ jika mujtahid yang diam itu telah diajukan kepadanya kejadian yang
dimaksud, sudah ditunjukkan kepadanya pendapat yang telah dikemukakan para
mujtahid, sudah melewati batas waktu yang cukup untuk membahas dan
menetapkan pendapatnya, tetapi ia hanya diam.5
Apabila mereka berbeda pendapat
dan menentang pendapat mujtahid lain, seharusnya mereka secara tegas
mengungkapkan pendapatnya dan ketidaksetujuannya akan pendapat mujtahid lain
tersebut dengan mengungkapkan pendapatnya.
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki, Ijma’ Sukuti ini tidak dapat dijadikan
dasar hukum karena diamnya ulama belum tentu menandakan bahwa mereka setuju,
bisa saja mereka merasa takut pendapatnya akan ditolak, menghormati ulama yang
lebih senior, terkena bujukan, ataupun mendapat ancaman dan tidak punya
pendukung.
2. Al Ijma’ Fi’li ( الجماعالفعلي )
Yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa secara praksis, tanpa
melalui pernyataan sikap yang tegas tentang halal ataupun haram.6
Para mujtahid
tidak menjelaskan hukum suatu perkara tertentu namun mujtahid tersebut
mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika perkara tersebut halal maka
mujtahid tersebut akan melaksanakan, namun apabila perkara tersebut haram, maka
mujtahid tersebut tidak akan melaksanakan perkara tersebut.
3. Al Ijma’ Muhshosh ( المخصصالجماع )
Yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa bahwa makana sebuah
kata adalah sebagian dari kandungan makna tekstualnya, bukan semua cakupan
maknanya. 7
4. Al Ijma Murokab ( الجماعالمركب )
5
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003, h. 63
6
Jaenal Aripin, Kamus Ushul Fiqih Dalam Dua Bingkai Ijtihad, Jakarta: Kencana, 2012, h.6
7
Ibid, h. 7
6. 6
Yaitu sebuah konveregensi (memusat) pada saat terdapat dua golongan
mujtahid dalam pemecahan suatu masalah.8
Misalnya, sebagian ulama berpendapat
“Itu haram” dan sebagian lainnya berpendapat “Itu makruh”. Konveregensi dua
pendapat haram dan makruh itu adalah tidak adanya pendapat yang “wajib, sunnah,
atu mubah”. Jika salah seorang mujtahid ada yang mengatakan “wajib”, maka
pendapat itu disebut sebagai pihak ketiga yang berbeda dari jenis Ijma’
konveregensi ini.
5. Al Ijma’ Manqouli ( الجماعالمنقول )
Yaitu kesepakatan yang dilakukan oleh para peserta Ijma’ yang hadir
kemudian disampaikan kepada para mujtahid lain yang tidak hadir dalam majelis
Ijma’. Dengan demikian status Ijma’ ini sama dengan khabar al wahid.9
C. Kehujjahan Al Ijma’
Dalam pengertian Al Ijma’ telah disebutkan bahwa Ijma’ adalah kesepakatan
seluruh mujtahid muslim pada suatu masa tertentu dalam menetapkan hukum suatu perkara
tertentu. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa Ijma’ dianggap sah menurut syara’
setelah mencakup empat unsur berikut:
1. Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena
kesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari adanya beberapa pendapat yang
saling memiliki kesesuaian. Apabila pada waktu itu tidak ada beberapa
mujtahid, tidak ada sama sekali atau hanya seorang saja, maka menurut syara’
Ijma’ tersebut tidak sah.10
2. Kesepakatan atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa, mujtahid tidak
boleh memandang asal negara, kebangsaan dan ras, atau kelompoknya. Apabila
suatu kesepakatan dibuat oleh suatu kelompok mujtahid tertentu saja maka
Ijma’nya tidak sah karena tidak mencakup semua mujtahid Islam dari berbagai
golongan dan berbagai daerah pada suatu masa.11
3. Kesepakatan mereka diawali dengan mengungkapakan pendapat masing-
masing mujtahid. Pandapat tersebut diungkapakan dalam bentuk perkataan
seperti fatwa atau perbuatan seperti putusan hukum. Diungkapkan secara
perorangan mujtahid dan mereka saling bertukar pendapat, kemudian setelah
pendapat masing-masing mujtahid dikumpulkan maka akan ditemukan suatu
8
Ibid, h. 8
9
Ibid, h. 8
10
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003, h.55
11
Ibid, h. 55
7. 7
kesepakatan yang akan ditetapkan sebagai hukum atas peristiwa yang terjadi.12
4. Kesepakatan tersebut benar-benar dari seluruh mujtahid Islam. Bila yang
bersepakat hanya mayoritas, maka kesepakatan tersebut tidak dapat disebut
Ijma’ meskipun yang tidak sepakat hanya minoritas ataupun hanya satu
mujtahid saja. Karena jika masih ada pertentangan , maka dimungkinkan benar
dalam satu segi dan salah dalam segi yang lain. Kesepakatan mayoritas
bukanlah hujjah yang menjadi dasar hukum syara’ yang memiliki kepastian dan
wajib diikuti.13
Apabila keempat unsur Ijma’ tersebut terpenuhi, yaitu setelah wafatnya Rasulullah
saw. dapat didata seluruh mujtahid Islam dari berbagai negara, bangsa dan kelompok.
Kemudian peristiwa yang menjadi pokok persoalan diajukan kepada mereka untuk
mengetahui hukumnya, dan seluruh mujtahid tersebut mngemukakan pendapatnya secara
jelas baik dengan perkataan ataupun perbuatan, berkelompok atau perorangan, dan ternyata
sepakat dengan satu hukum mengenai peristiwa itu. Maka hukum dari kesepakatan para
mujtahid tersebut berfungsi sebagai undang-undang hukum syara’ yang wajib diikuti dan
tidak ada seorangpun yang boleh menyalahinya. Mujtahid pada masa berikutnya tidak
boleh menjadikan peristiwa tersebut sebagai objek ijtihad lagi karena sudah adanya hukum
yang ditetapkan atas peristiwa tersebut dan hukum tersebut adalah pasti yang tidak
dibenarkan menyalahi atau merubahnya.
Adapun beberapa bukti yang menegaskan bahwa Al Ijma’ dapat dijadikan sebagai
hujjah terdapat dalam Al Qur’an yang memerintahkan orang-orang mukmin untuk taat
kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya, Dia juga memerintahkan supaya orang-orang
mukmin taat kepada Ulil Amri mereka, seperti dalam Al Qur’an surat An Nisaa’:59
berikut:
ياايهاالدينامنوااطيعواالواطيعواالرسولوأوليالمرالنساء .منكم:۵۹
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT, dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil
Amri diantara kamu. QS. An Nisaa’:59
Lafal Amri artinya hal atau perkara. Ulil Amri pada masalah dunia berarti raja, para
pemimpin dan penguasa, sedangkan dalam masalah agama Ulil Amri berarti para mujtahid
dan ahli fatwa. Penafsiran tersebut mencakup keseluruhan dan semuanya harus ditaati
dalam ruang lingkup masing-masing.
Apabila Ulil Amri telah sepakat dalam menetapkan hukum syara’ suatu perkara
maka mereka wajib dipatuhi dan dilaksanakan berdasarkan nash Al Qur’an berikut:
12
Ibid, h. 55
13
Ibid, h. 55
8. 8
ولوردوهإليالرسولوالياوليالمرمنهملعلمهالدينيستنبطونهالنسا .منهمء:۸۳
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). QS. An Nisaa’: 83
Pada dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat
Islam adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya. Ketidakmungkinan
melakukan kesalahan itu ditunjukan oleh kesepakatan para mujtahid atas satu hukum
terhadap satu peristiwa. Perbedaan sudut pandang, lingkungan, dan bermacam-macam
sebab perbedaan mereka adalah bukti bahwa kesamaan haq dan kebenaranlah yang
menyatukan pendapat mereka dan menyisihkan alasan-alasan perbedaan pendapat mereka.
Ijma’ atas suatu hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’ pula, karena
mujtahid Islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Bila hasil ijtihadnya tidak
didukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nash dan makna dari
petunjuk nash yang ada.
D. Contoh kasus Al Ijma’
Berkembangnya Ilmu pengetahuan dan semakin majunya jaman, maka akan ada
banyak problematika yang berbeda dari masa sebelumnya dan sangat bermacam-macam
kasusnya. Suatu peristiwa yang muncul dimasa sekarang belum tentu juga ada di masa
sebelumnya dan belum tentu juga telah ada hukum yang secara pasti menghukumi
peristiwa tersebut baik di dalam Al Qur’an maupun Al Hadits.
Adapun peristiwa yang menggunakan Ijma pada jaman dahulu ialah perdebatan
tentang sebuah kisah sahabat yang menggauli istrinya disiang hari pada bulan Ramadhan.
Rasulullah memerintahkannya membayar kafarat, yaitu memerdekakan seorang budak,
atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin.
Dalam peristiwa tersebut terdapat kesepakatan diantara para ahli Ushul bahwa
hukum syar’i tersebut disebabkan oleh illat tertentu, namun mereka berselisih dalam
penentuan pokok pembahasan illatnya. Sebagian menilai bahwa wajib kafarat diberlakukan
atas perilaku menodai keagungan bulan Ramadhan berupa hal-hal yang membatalkan
puasa. Jika demikian maka siapa saja yang membatalkan puasa secara sengaja misalnya
dengan berbuka sebelum waktu yang telah ditentukan maka ia juga wajib membayar
kafarat atau denda tersebut diatas.14
Sebagian yang lainnya berpendapat bahwa illat wajibnya kafarat perilaku menodai
keagungan bulan suci Ramadhan dengan jima’ saja, bukan karena sebab yang lain. Dengan
14
Jaenal Aripin, Kamus Ushul Fiqih Dalam Dua Bingkai Ijtihad, Jakarta: Kencana, 2012, h.8
9. 9
begitu, kewajiban membayar kafarat tidak berlaku bagi orang yang membatalkan puasanya
dengan makan dan minum secara sengaja. Dengan demikian setelah para ulama sepakat
bahwa hukum kafarat disebabkan oleh illat tertentu, mereka berbeda pendapat dalam
penentuan pokok pembahasan illatnya secara presisif.
Adapun peristiwa masa sekarang yang menerapkan Ijma’ misalnya yaitu perubahan
hukum rokok dari yang semula makruh menjadi haram. Dengan adanya Ijma’ akan hukum
rokok yang haram ini maka masyarakat juga harus mematuhinya karena Ijma’ ini
merupakan hukum rokok yang tidak terdapat di dalam Al Qur’an dan Al Hadits dan
diadakan dalam sebuah musyawarah para mujtahid yang disebut Ijma’ tersebut.
10. 10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi, Al Ijma’ adalah suatu kesepakatan para ulama setelah wafatnya Nabi
Muhammad saw. atas hukum suatu peristiwa atau perkara tertentu. Kesepakatan tersebut
adalah hasil pemikiran yang harus berlandaskan Al Qur’an dan Al Hadits serta berbekal
Ilmu pengetahuan yang memadai tentang syariat Islam.
Nabi pernah memerintahkan kaumnya untuk berkumpul dalam suatu majelis untuk
bermusyawarah dan menemukan kesepakatan akan suatu peristiwa yang belum ada
hukumnya didalam Al Qur’an dan Al Hadits. Namun kesepakatan tersebut tidak bisa
dikatakan sebagai Al Ijma karena pada masa itu Nabi adalah satu-satunya mujtahid muslim
yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi memerintahkan umatnya untuk
bermusyawarah apabila menemui suatu peristiwa yang belum ada hukumnya. Allah
memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah yaitu dengan
melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya seperti disebutkan dalam Al Qur’an,
mentaati Rasul-Nya dengan mentaati Hadits serta sunnahnya, dan mentaati Ulil Amri yaitu
para pemimpin dan para mujtahid dengan ketetapannya yaitu Al Ijma’.
Apalagi pada era globalisasi yang semakin jauh dari masa dimana Rasul masih
hidup, akan ada banyak persoalan yang muncul dan tidak pernah ditemui di dalam Al
Qur’an dan Al Hadits maka wajib bagi para mujtahid untuk bermusyawarah dan
menetapkan hukum atas suatu peristiwa agar masyarakat tidak sembarangan dalam
bertindak dan mengambil keputusan sendiri.
B. Kritik dan saran
Demikianlah makalah bab Al Ijma yang saya buat ini, semoga bermanfaat bagi para
pembaca. Apabila ada kekurangan dan kesalahan mohon kritik dan sarannya. Sekian dan
terimakasih.
11. 11
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam. Jakarta:
Pustaka Amani.
Hasan, Ahmad. 1985. Ijma’. Bandung: Penerbit Pustaka.
Aripin, Jaenal. 2012. Kamus Ushul Fiqih; Dalam Dua Bingkai Ijtihad. Jakarta:
Kencana.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Pengantar Hukum Islam.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Djazuli, A. 2010. Ilmu Fiqih; Penggalian, Perkembangan, dan Penetapan Hukum
Islam. Jakarta: Kencana.
Syalabi, Ahmad. Sejarah Pembinaan Hukum Islam (Alih Bahasa Abdullah
Badjerei). Jakarta: Djajamurni.