1. Dua Pola Kebudayaan
C.P. Snow adalah seorang ilmuwan sekaligus pengarang buku yang mengingatkan negara-
negara Barat akan adanya dua pola kebudayaan yakni : masyarakat ilmuwan dan non-ilmuwan,yang
menghambat kemajuan di bidang ilmu dan teknologi.
Di negara Indonesia juga telah diterapkan dalam bidang keilmuwan itu sendiri, dengan adanya
polarisasi dan membentuk kebudayaan sendiri. Polarisasi ini cenderung kepada beberapa kalangan
tertentu untuk mrmisahkan ilmu ke dalam dua golongan yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.
Kedua golongan ini dianggap memiliki perbedaan yang sangat segnifikan,di mana keduanya seakan
membentuk diri sendiri yang masing-masing terpisah sehingga terdapat dua kebudayaan dalam bidang
keilmuwan yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Namun perbedaaan itu hanyalah bersifat teknis
yang tidak menjurus kepada perbedaan yang fundamental karena dasar ontologis,epistemologis,dan
aksiologi dari kedua ilmu terssebut adalah sama. Metode yang digunakan di dalam keduanya adalah
metope ilmiah yang sama pula,tak terdapat alasan yang bersifat metodologis yang membedakan antara
ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam.
Ilmu-ilmu alam mempelajari dunia fisik yang relatif tetap dan mudah untuk dikontrol. Objek-
objek penelaahan ilmu-ilmu alam dapat dikatakan tidak pernah mengalami perubahan baik dalam
perspektif waktu maupun tempat.
Ilmu bukan bermaksud mengumoulkan berbagai fakta tetapi ilmu bertujuan untuk mencari
penjelasan dari gejala-gejala yang kita temukandan memungkinkan kita dapat mengetahui sepenuhnya
hakikat objek yang kita hadapi,sehingga pengetahuan dapat memberi kita alat untuk menguasai masalah
tersebut. Hal ini berlaku baik bagi ilmu-ilmu alamiah maupun ilmu-ilmu sosial. Dimensi perubahannya
hanyalah merupakan satu variabel dalam sistem pengkajian begitu juga tingkat generalisasinya, ilmu-
ilmu alamiah dengan ilmu-ilmu sosial bedanya hanya terletak dalam soal gradasi,dimana tingkat
keumumannya suatu teori ilmu sosial harus lebih jauh diperinci dengan memperhitungkan faktor-faktor
yang bervariasi.
Ilmu-ilmu sosial mengalami masalah dalam menganalisis kuantitatif yakni :
a. Sukarnya melakukan pengukuran karena mengukur aspirasi atau emosi seseorang manusia.
b. Banyaknya variabel yang mempengaruhi tingkah laku manusia.
Sehingga menyebabkan ilmu-ilmu alam menjadi relatif maju karena ilmu-ilmu alam dapat menganalisis
data secara kuantitatif dengan mengisolasikan dalam kegiatan laboratoris. Sedangkan teori ilmu-ilmu
sosial merupakan alat bagi manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi,seperti ilmu-ilmu alam
sehingga ilmu-ilmu sosial harus cermat dan tepat. Maka hukum penawaran dan permintaan yang
bersifat kualitatif tidak lagi memenuhi syarat karena tidak memungkinkan jika kita harus menghitung
derajat kenaikan inflansi secara kuantitatif.
Ilmuwan dalam bidang sosial haruslah berusaha lebih sungguh-sunggguh untuk pengukuran
yang rumit dan variabel yang relatif banyak membutuhkan pengetahuan matematika dan statistika yang
2. lebih maju dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Namun adanya kesukaran dalam pengukuran ini malah
dijadikan ilmu-ilmu sosial bertindak regresif dan membentuk dunianya sendiri yang menjauh dari
matematika serta statistika,sehingga yang memperkuat matematika dan statistika adalah ilmu-ilmu
alam. Oleh karena itu berkembanglah dua kebudayaan yang jurang perbedaannya makin melebar
dengan sendirinya tanpa kita sadari adanya.
Secara sosiologis terdapat kelompok-kelompok yang memberi nafas baru kepada ilmu-ilmu
sosial denga mengembangakan ilmu-imu peri laku manusia yang bertumpu kepada ilmu-ilmu sosial
dimana perbedaan yang utama antara keduanya hanya terletak dalam keingina untuk menjadikan ilmu-
ilmu tentang manusia menjadi sesuatu yang lebih dapat diandalkan dan kuantitatif. Ilmuilmu peri laku
lebih mengkaji penyusunan teori secara deduktif sebagaimana yang biasanya ada dalam ilmu-ilmu sosial
namun penalaran deduktif digabungkan dengan proses pengujian induktif. Dan ilmu ekonomi yang
paling pertama memasuki tahap kuantitatif sebelum ilmu-ilmu peri laku.
Adanya dua kebudayaan yang terbagi ke dalam ilmu-ilmu alama dan ilmu-ilmu sosial masih
terdapat di Indonesia. Dapat dicerminkan adanya jurusan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya dalam sistem
pendidikan kita. Jika kita menginginkan bidang keilmuan mencakup ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
maka dualisme harus segera dibongkar karena dapat menghambat psikologis dan Intelektual bagi
pengembangan keimuan di negara kita.
Meskipun terdapat argumen asumsi dalam pembagian jurusan tersebut,yaitu :
a. Asumsi pertama mengemukakan bahwa manusia mempunyai bakat yang berbeda dalam
mendidikan matematika sehingga harus dikembangkan pola pendidikan yang berbeda pula.
b. Asumsi yang kedua menganggap ilmu-ilmu sosial kurang memerlukan pengetahuan matematika
sehingga dapat menjuruskan keahliannya dibidang keilmuan ini.
Kita harus menganalisis dahulu tujuan pendidikan agar tidak salah pengasumsian.
Pendidikan bertujuan :
a. Pendidikan analitik maka yang penting adalah penguasaan berpikir matematika yang
memungkinkan adanya suatu analisis hingga terbentuknya suatu rumusan statistik.
b. Pendidikan simbolik yang penting adalah pengetahuan mengenai kegunaan rumus tersebut
serta penalaran deduktif dalam penyusunan meskipun tidak seluruhnya merupakan analisis
matematika
Jadi adanya pendekatan dikotom dalam pendekatan pendidikan matematika ini tidak akan bisa
memecahkan semua persoalan ,namun paling tidak terdapat suatu jalan luar yang pragmatis dari
dilema yang dihadapi sistem pendidikan kita dan harus adanya sikap kehati-hatian. Karena manusia
adalah produk dari suatu proses belajar dimana tercakup karakter cara berpikir yang berkembang
sesuai tahapannya.
Suatu usaha yang fundamental dan sistematis dalm menghadapi masalah ini harus adanya
usaha. Adanya dua pola kebudayaan dalam bidang keilmuan kita bukan hanya merupakan suatu
3. yang regresif melainkan juga destruktif,bukan saja bagi kemajuan ilmu itu sendiri tetapi juga bagi
pengengembangan peradaban secara keseluruhan. Sehingga tidak ada pemisah diantara keduanya.