Revisi UU MD3 mengandung beberapa sisi positif dan negatif. Positifnya adalah pengembalian Badan Akuntabilitas Keuangan Negara untuk mengawasi keuangan negara, dan perluasan tugas Badan Legislasi DPR untuk meningkatkan kualitas legislasi. Negatifnya adalah perubahan pasal pemanggilan paksa yang memperluas subjek panggilan tanpa batasan yang jelas, dan penambahan kewenangan DPR dalam menyandera tanpa me
1. 1 | P a g e
MENYOAL REVISI UU MD31
Oleh: Ahsanul Minan, MH
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
PENDAHULUAN
Pengesahan RUU tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna
DPR pada tanggal 12 Februari 2018 yang lalu menuai kecaman dari berbagai pihak. Tidak
hanya kalangan akademisi dan CSO yang menentangnya, bahkan Presiden dalam beberapa
hari berikutnya menyatakan secara lisan akan mempertimbangkan untuk tidak
menandatangani RUU tersebut2.
PengesahanRUU MD3menjadi Undang-undangdihadiri Menteri Hukum danHAM
Yasonna Laoly sebagai perwakilan pemerintah, dan 286 dari 560 anggota DPR. Rapat yang
dipimpin Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga ikuti Ketua DPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua
DPR Taufik Kurniawan, dan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto. Seluruh fraksi kecuali Fraksi
Partai Nasdem dan PPP mendukung pengesahan RUU tersebut.
Sebelum disahkan, Ketua Badan Legislatif DPR Supratman Andi Agtas
menyampaikan ada 13 subastasi materi yang terdapat dalam RUU MD3.
1. penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD, serta menambah wakil pimpinan
MKD.
2. perumusan kewenangan DPR dalam membahas RUU yang berasal dari presiden dan
DPR, maupun RUU yang diajukan DPD.
3. penambahan rumusan mengenai pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap
pejabat negara atau masyarakat yang akan melibatkan kepolisian.
4. penambahan rumusan mengenai penggunaan hak interpletasi, hak angket, hak
menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada
pejabat negara.
5. menghidupkan kembali Badan Akuntabilitas Keuangan Negara.
6. penambahan rumusan kewenangan Badan Legislasi dalam penyusunan RUU serta
pembuatan laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang hukum.
7. perumusan ulang terkait tugas dan fungsi MKD.
8. penambahan rumusan kewajiban mengenai laporan hasil pembahasan APBN dalam
rapat pimpinan sebelum pengembilan keputusan pada pembicaraan tingkat I.
1 Disampaikan dalam acara Diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum
(LPBH) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kamis, 21 Februari 2018
2 http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/02/20/p4fy3s409-presiden-kemungkinan-tidak-
akan-tanda-tangani-uu-md3, diakses pada tanggal 21 Februari 2018
2. 2 | P a g e
9. penambahan rumusan mekanisme pemanggilan WNI atau WNA yang secara paksa
dalam hal tidak memenuhi panggilan panitia angket.
10. penguatan hak imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas.
11. penambahan rumusan wewenang dan tugas DPD dalam memantau dan mengvaluasi
rancangan Perda dan Perda.
12. penambahan rumusan kemandirian DPD dalam penyusunan anggaran. Penambahan
rumusan terkait pelaksanaa tugas Badan Keahlian Dewan.
13. penambahan rumusan jumlah dan mekanisme pemilihan pimpinan MPR, DPR, dan Alat
Kelengkapan Dewan hasil pemilu tahun 2014 dan ketentuan mengenai mekanisme
pimpinan MPR, DPR, serta Alat Kelengkapan Dewan (AKD) setelah pemilu tahun 2019
Pengesahan RUU ini sangat menarik untuk didiskusikan oleh kalangan ahli
hukum, untuk menjadi bahan dalam menentukan sikap dan langkah yang perlu diambil
sebagai bagian dari kontribusi dalam membangun system ketatanegaraan yang baik serta
memperkuat pelembagaan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat penting, terutama
mengingat bahwa kinerja parlemen di Indonesia saat ini dinilai oleh banyak kalangan
semakin menurun. Parlemen acapkali gagal dalam menjalankan fungsi legislasi, tidak
optimal dalam menjalankan fungsi pengawasan,lemah dalam menjalankan fungsibudgeting.
Sementara pada saat yang sama, praktek korupsi di lembaga ini semakin meningkat.
Untuk mendapatkan gambaran utuh dalam mencermati persoalan ini, ada
baiknya dilakukan perbandingan antara UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD, dengan materi perubahan/penambahan norma baru dalam RUU yang baru
disahkan tersebut. Berbagai perubahan ini juga perlu dilacak landasan filosofi, sosiologi, dan
landasan hukumnya melalui penelusuran terhadap dokumen naskah akademik RUU ini.
Tentunya akan lebih lengkap jika pengkajian ini disertai dengan analisa atas rekaman
perdebatan yang terjadi di gedung parlemen untuk mengetahui kehendak pembentuk
undang-undang ketika merumuskan norma, namun keterbatasan waktu dan ketersediaan
dokumendimaksud menjadi kendalayang cukupbesar,sehingga hal ini tidak dapat disajikan
dalam tulisan singkat ini.
Analisa atas perubahan norma dalam UU MD3 ini akan dilakukan dengan
beberapa pendekatan yang ditekankan pada keterpenuhan asas-asas dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Asas yang akan diuji dalam hal ini
mencakup asas dalam proses pembentukan, asas menyangkut materi muatan norma, dan
bentuk (format) peraturan perundang-undangannya. Pendekatan ini sangat penting
dilakukan, karena penerapan system negara hokum yang dimandatkan oleh konstitusi telah
dijabarkan dalam UU tersebut dalam rangka menciptakan system hokum perundang-
undangan yang baik.
Analisis yang dijabarkan dalam tulisan singkat ini tidak akan mencakup ke 13
item perubahan tersebut, melainkan hanya akan difokuskan kepada beberapa isu yang
menyita perhatian publik. Hal ini disebabkan tidak lain karena keterbatasan waktu yang
dimiliki penulis.
3. 3 | P a g e
SISI POSITIF REVISI UU MD3
Di luar beberapa materi yang secara kontroversial diperdebatkan dan ditolak oleh beberapa
kalangan masyarakat sipil, revisi UU MD3 yang disahkan oleh DPR pada dasarnya
mengandung beberapa sisi positif. Setidaknya terdapat 2 bagian penting dalam revisi ini
yang patut untuk diapresiasi, yakni:
1. Pembentukan Kembali BAKN
RUU MD3 mengubah ketentuan pasal 83 ayat (1) dengan memasukkan kembali
BadanAkuntabilitas KeuanganNegara(BAKN) sebagaibagian darialat kelengkapan DPR
(AKD). Badanini bertugasuntuk membantu DPR dalam melakukan kajian atas hasil audit
BPK dengan tujuan untuk membangun akuntabilitas keuangan Negara sekaligus menjadi
bahan masukan dalam memberikan persetujuan atas usulan anggaran yang diajukan
oleh Pemerintah. Badan semacam ini juga ada di beberapa Negara lain seperti Inggris
dan Australia.
BAKN dibentuk berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3, sebagai
pengembangan dari Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara yang sebelumnya
dibentuk berdasarkan Peraturan Sekretaris Jenderal DPR RI No.400/Sekjen/2005.
Pembubaran BAKN melalui UU nomor 17 tahun 2014 disesalkan oleh banyak pihak,
karenamenyebabkanmenumpuknya laporan hasil audit BPK tanpa dapat ditindaklanjuti
secara layak oleh DPR3.
Keputusanuntuk menghidupkan kembali BAKNmerupakan angin segar,karena
keberadaan AKD ini sangat penting untuk menunjang kinerja DPR dalam mengawasi
keuangan negara. Revisi UU MD3 terkait ketentuan pasal 83 ayat (1) yang memunculkan
kembali BAKN ini juga diikuti dengan penambahan norma pengaturan tentang BAKN ini
diatur lebih lanjut dalam Paragraf 5A dan disisipkan 7 (tujuh) pasal, yakni Pasal 112A,
Pasal 112B, Pasal 112C, Pasal 112D, Pasal 112E, Pasal 112F, dan Pasal 112G.
2. Perluasan Tugas Badan Legislasi DPR
Revisi UU MD3 juga mencakup ketentuan Pasal 105 dengan menambahkan 3
tugas baru kepada Baleg DPR. Penambahan tugas tersebut mencakup:
Pasal 105 ayat (1) huruf c: mengoordinasikan penyusunan naskah akademik dan
rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, dan gabungan
komisi;
Pasal 105 ayat (1) huruf d: menyiapkan dan menyusun rancangan undang-undang
usul Badan Legislasi dan/atau Anggota Badan Legislasi berdasarkan program
prioritas yang telah ditetapkan; dan
3 http://nasional.kompas.com/read/2014/09/01/18041011/DPR.Mengalami.Kemunduran
4. 4 | P a g e
Pasal 105 ayat (1) huruf l: membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di
bidang perundang-undangan setiap akhir tahun sidang untuk disampaikan kepada
Pimpinan DPR
Perubahan ini membawa nuansa positif setidaknya dalam 2 hal:
a. Penambahan norma Pasal 105 ayat (1) huruf c diharapkan akan dapat memperbaiki
proses penyusunan RUU oleh DPR, karena adanya pemberian tugas kepada Baleg
untuk mengkoordinasikan penyusunan Naskah Akademik dan naskah RUU. Hal ini
sangat penting, mengingat bahwa Naskah Akademik merupakan sebuah dokumen
yang wajib disusun sebelum naskah RUU dibuat dan dibahas oleh DPR. NA
merupakan sebuah dokumen yang berisi kajian akademik yang berisi kajian atas
kondisi/permasalahan yang dihadapi dan perlu dijawab melalui pembuatan undang-
undang. Kajian ini mencakup kajian filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Fakta selama ini menunjukkan bahwa DPR acapkali tidak membuat NA terlebih
dahulu, atau jikapun membuat NA, maka proses pembuatannya hanya sekedarnya
saja untuk memenuhi syarat formal. Akibatnya, banyak produk UU yang dihasilkan
tidak memiliki basis argumentasi yang kuat sehingga banyak yang dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi, atau norma dalam UU tersebut tidak dapat secara efektif
dilaksanakan.
Dengan mengkonsentrasikan tugas pengkoordinasian penyusunan NA dan RUU ini
kepada Baleg, diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas kinerja legislasi DPR
secara kelembagaan yang saat ini compang-camping.
b. Penambahan tugas Baleg untuk membuat laporan kinerja tahunan juga diyakini akan
dampat meningkatkan kinerja dan akuntabilitas Baleg. Dibandingkan dengan
ketentuan dalam UU Nomor 17/2014, laporan kinerja Baleg hanya disusun pada saat
berakhirnya masa kerja mereka (lima tahunan).
SISI NEGATIF REVISI UU MD3
Di samping sisi positif dari revisi UU MD3 yang baru saja disahkan oleh DPR,
sayangnya terdapat cukup banyak sisi negatif yang akhirnya memicu banyak penentangan
di kalangan masyarakat. Adapun muatan materi norma pengaturan dalam revisi UU MD3
yang mengandung sisi negative tersebut antara lain:
1. Perubahan atas Pasal 73 tentang Pemanggilan Paksa:
Perubahan yang dilakukan atas Pasal 73 UU Nomor 17/2014 dapat diuraikan
sebagai berikut:
UU 17/2014 RUU MD3 ARGUMENTASI
DALAM NA
5. 5 | P a g e
Pasal 73
(1) DPR dalam melaksanakan wewenang
dan tugasnya, berhak memanggil
pejabat negara, pejabat pemerintah,
badan hukum, atau warga masyarakat
secara tertulis untuk hadir dalam
rapat DPR.
(2) Setiap pejabat negara, pejabat
pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat wajib memenuhi
panggilan DPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Dalam hal pejabat negara dan/atau
pejabat pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak hadir
memenuhi panggilan setelah dipanggil
3 (tiga) kali berturut-turut tanpa
alasan yang sah, DPR dapat
menggunakan hak interpelasi, hak
angket, atau hak menyatakan
pendapat atau anggota DPR dapat
menggunakan hak mengajukan
pertanyaan.
(4) Dalam hal badan hukum dan/atau
warga masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak hadir
setelah dipanggil 3 (tiga) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah,
DPR berhak melakukan panggilan
paksa dengan menggunakan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam hal panggilan paksa
sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah,
yang bersangkutan dapat disandera
paling lama 30 (tiga puluh) Hari sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ketentuan Nomor 3. Pasal 73 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
(1) DPR dalam melaksanakan wewenang dan
tugasnya, berhak memanggil setiap orang
secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR.
(2) Setiap orang wajib memenuhi panggilan
DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal setiap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah
dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa
alasan yang patut dan sah, DPR berhak
melakukan panggilan paksa dengan
menggunakan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
(4) Panggilan paksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Pimpinan DPR mengajukan permintaan
secara tertulis kepada Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia paling sedikit
memuat dasar dan alasan pemanggilan
paksa serta nama dan alamat setiap
orang yang dipanggil paksa;
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia
wajib memenuhi permintaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a; dan
c. Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia memerintahkan Kepala
Kepolisian Daerah di tempat domisili
setiap orang yang dipanggil paksa untuk
dihadirkan memenuhi panggilan DPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal menjalankan panggilan paksa
sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
menyandera setiap orang untuk paling lama
30 (tiga puluh) Hari.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan penyanderaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur
dengan Peraturan Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Perubahan atas Pasal
73 tidak dicakup
dalam Naskah
Akademik
Dari gambaran tersebut di atas terlihat bahwa perubahan norma yang dilakukan
olehDPR bersamapemerintah padadasarnyalebih luas dari yang selama ini diberitakan.
Ruang lingkup perubahan tersebut dapat dijelaskan menyangkut beberapa hal berikut:
a. Ruang lingkup obyek pemanggilan. Dalam pasal 73 ayat (1) dan (2) UU Nomor
17/2014, obyek hokum pemanggilan dipilah menjadi 4 kategori, yakni pejabat
negara, pejabat pemerintah, badan hokum, dan warga masyarakat. Namun dalam
revisi pasal 73 ayat (1) dan (2), kategori ini dihapuskan, dan selanjutnya diganti
6. 6 | P a g e
menjadi setiap orang. Dalam naskah akademik, perubahan ini tidak dicantumkan,
sehingga tidak dapat dilacak secara pasti alasan dan argumentasi hukumnya.
Perubahan ruang lingkup obyek pemanggilan ini berpotensi menimbulkan masalah,
karenapada dasarnyapihakyang diperlukan keterangannyaolehDPR melalui proses
pemanggilan pada dasarnya bisa disebabkan karena pemahaman idividualnya atas
suatu peristiwa tertentu, atau karena kapasitas jabatannya. Dalam hal ketegori ke 2
ini, maka pemanggilan tentunya bukan dialamatkan kepada person/individutertentu
melainkan kepada pejabat tertentu, sehingga apabila pejabat yang bersangkutan
berhalangan hadir, maka dapat diwakilkan kepada pejabat yang memiliki tugas
jabatan yang sama.
Perubahan norma Pasal 73 ayat (1) & (2) ini berdampak pada personalisasi jabatan,
dan menutup ruang bagi kemungkinan diwakilkannya kehadiran obyek (terpanggil)
kepada pejabat lain yang berkompeten. Kita dapat bayangkan, sebagai konsekwensi
dari norma Pasal ini, bahwa bisa jadi Presiden atau Menteri atau Pejabat tinggi
lainnya akan kesulitan ketika berhadapan dengan DPR, karena mereka harus hadir
sendiri, tanpa diwakilkan. Model pengaturan ini tidak lazim diterapkan bagi pejabat
(individu yang memiliki kompetensi karena jabatannya) dalam praktek
ketatanegaraan.
Di sisi lain, tidak dibukanya ruang bagi pejabat terpanggil untuk menunjuk wakil
(pengganti) untuk meberikan keterangan dapat dinilai sebagai kealpaan dan
ketidakcermatan DPR dalam merumuskan norma perundang-undangan.
b. Penghapusan ketentuan tentang kategorisasi mekanisme tindak lanjut atas
ketidakhadiran pihak terpanggil.
Dalam pasal 73 ayat (3) dan (4) UU Nomor 17/2014 diatur perbedaan treatment atas
pihak terpanggil yang tidak hadir 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas.
Perbedaan tersebut adalah; dalam hal terpanggil adalah pejabat negara dan/atau
pejabat pemerintah, maka DPR akan menempuh jalan pengajuan hak interpelasi, hak
angket, hak mengajukan pendapat atau hak mengajukan pertanyaan. Sedangkan
dalam hal terpanggil adalah perseorangan atau Badan Hukum, maka akan dilakukan
pemanggilan paksa.
Dalam perubahan atas pasal 73 yang dimuat dalam RUU MD3, sebagai dampak atas
penghapusan kategorisasi pihak terpanggil sebagaimana dimuat dalam ayat (1),
maka tidak ada lagi perbedaan treatment tindaklanjut atas ketidakhadiran
terpanggil. Sebagai konsekwensinya, norma ayat (3) dalam RUU mengatur bahwa
DPR berhak melakukan pemanggilan paksa, yang selanjutnya dalam ayat (4) diatur
bahwa pemanggilan paksa dapat dilakukan dengan bantuan kepolisian.
Pengaturan norma dalam Pasal 73 ayat (3) RUU MD3 ini menimbulkan dampak
berupa kriminalisasi terhadap pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah sebagai
konsekwensi atas personalisasi jabatan, dan menafikan mekanisme ketatanegaraan
7. 7 | P a g e
yang selama ini telah diatur mengenai penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan
hak mengajukan pendapat.
c. Pengaturan tentang mekanisme pemanggilan paksa.
Dalam UU Nomor 17/2014, mekanisme pemanggilan paksa hanya diatur secara
umum, dan tidak memuat mekanisme kerjanya. Hal ini diperbaiki dalam perubahan
Pasal 73 ayat (4), (5) & (6).
Perubahan(penambahan)normainipadadasarnyamerupakanlangkah maju, karena
dapat memberikan kepastian hokum tentang bagaimana prosedur pemanggilan
paksa akan dilakukan.
Namun demikian, pengaturan tentang mekanisme pemanggilan paksa ini
mengandung setidaknya 2 permasalahan mendasar:
Obyek pemanggilan paksa yang berlaku secara umum (setiap orang) tanpa
membedakan kategori terpanggil pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah, akan
berpotensi memposisikan pihak kepolisian dalam posisi yang sulit jika pihak
terpanggilnya adalah Presiden, Panglima TNI, Kapolri, atau pejabat lain yang
berpengaruh. Kita dapat bayangkan bagaimana polisi akan dapat menjalankan
perintah DPR untuk memanggil paksa Presiden atau Kapolri.
Mekanisme pemanggilan paksa lazimnya diterapkan dalam kasus pidana, dengan
syarat telah ada dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pihak yang akan
dipanggil. Dalam RUU MD3 ini, ketidakhadiran pihak terpanggil tidak dikategorikan
sebagai pelanggaran pidana. Hal ini akan berpotensi menjadi bahan perdebatan yang
panjang di kalangan ahli hokum.
2. Perubahan Jumlah Pimpinan MPR dan DPR
RUU MD 3 mengatur perubahan norma yang diatur dalam pasal 15 ayat (1) UU
nomor 17/2014 sebagai berikut:
UU 17/2014 RUU MD3 ARGUMENTASI
DALAM NA
Pasal 15
(1) Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu)
orang ketua dan 4 (empat) orang
wakil ketua yang dipilih dari dan oleh
anggota MPR.
Pasal 15
(1) Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang
ketua dan 7 (tujuh) orang wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh anggota MPR.
(2) Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR
dalam satu paket yang bersifat tetap.
(3) Bakal calon pimpinan MPR berasal dari
fraksi dan/atau kelompok anggota
disampaikan di dalam sidang paripurna.
(4) Tiap fraksi dan kelompok anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
Pimpinan MPR terdiri
atas 1 (satu) orang
ketua dan 5 (lima)
orang wakil ketua
yang dipilih dari dan
oleh anggota MPR.
8. 8 | P a g e
mengajukan 1 (satu) orang bakal calon
pimpinan MPR.
(5) Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk
mufakat dan ditetapkan dalam rapat
paripurna MPR.
(6) Dalam hal musyawarah untuk mufakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak
tercapai, pimpinan MPR dipilihdengan
pemungutan suara dan yang memperoleh
suara terbanyak ditetapkan sebagai
pimpinan MPR dalam rapat paripurna MPR.
(7) Selama pimpinan MPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk,
sidang MPR pertama kali untuk menetapkan
pimpinan MPR dipimpin oleh pimpinan
sementara MPR.
(8) Pimpinan sementara MPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota
MPR yang tertua dan termuda dari fraksi
dan/atau kelompok anggota yang berbeda.
(9) Pimpinan MPR ditetapkan dengan
keputusan MPR.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pemilihan pimpinan MPR diatur dalam
peraturan MPR tentang tata tertib.
Pasal 84
(1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu)
orang ketua dan 4 (empat) orang
wakil ketua yang dipilih dari dan oleh
anggota DPR.
Pasal 84
(1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang
ketua dan 5 (lima) orang wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh anggota DPR.
Perubahanatasnormapasal 15 ayat (1) dan Pasal84 denganmenambah jumlah
pimpinan MPR menjadi 8 orang dan Pimpinan DPR menjadi 6 orang ini berpotensi
menimbulkan terkait dengan mekanisme pengambilan keputusan di tingkat pimpinan
MPR & DPR. Denganjumlah genappimpinan MPR danDPR ini, maka prosespengambilan
keputusan di tingkat pimpinan MPR dan DPR akan berpotensi mengalami deadlock jika
dilakukan melalui mekanisme voting. Hal ini penting untuk dicermati, karena mekanisme
pengambilan keputusan yang diintrodusir dalam UU MD3 diatur dapat melalui
mekanisme musyawarah mufakat dan voting.
Dalam hal ini, proses perumusan norma pasal 15 ayat (1) dalam RUU MD3 ini
dapat dinilai dilakukan secaratidak cermat, tidak hati-hati, dan melanggarasaskepastian
hukum.
3. Perluasan Tugas MKD
RUU MD3 yang baru saja disahkan oleh DPR pada 12 Februari yang lalu
menambahkan 1 pasal 121A yang berbunyi:
Mahkamah Kehormatan Dewan melaksanakan fungsi:
9. 9 | P a g e
a. pencegahan dan pengawasan; dan
b. penindakan.
Di samping itu, DPR juga mengubah ketentuan dalam Pasal 122 dengan
menambahkan ketentuan sebagian berikut:
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121A, Mahkamah
Kehormatan Dewan bertugas:
a. melakukan pencegahan terjadinya pelanggaran Kode Etik;
b. melakukan pengawasan terhadapucapan,sikap, perilaku, dan tindakan anggotaDPR;
b. melakukan pengawasan terhadap ucapan, sikap, perilaku, dan tindakan sistem
pendukung DPR yang berkaitan dengan tugas dan wewenang anggota DPR;
c. melakukan pemantapan nilai dan norma yang terkandung dalam Pancasila,
peraturan perundang-undangan, dan Kode Etik;
d. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik;
e. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang
berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan sistem pendukung DPR;
f. memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik;
g. memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang
berkaitan dengan Pelanggaran Kode Etik sistem pendukung DPR, terkecuali sistem
pendukung Pegawai Negeri Sipil;
h. menyelenggarakan administrasi perkara pelanggaran Kode Etik;
i. melakukan peninjauan kembali terhadap putusan perkara pelanggaran Kode Etik;
j. mengevaluasi pelaksanaan putusan perkara pelanggaran Kode Etik;
k. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan,
kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan
anggota DPR;
l. mengajukan rancangan peraturan DPR mengenai kode etik dan tata beracara
Mahkamah Kehormatan Dewan kepada Pimpinan DPR dan Pimpinan DPR
selanjutnya menugaskan kepada alat kelengkapan DPR yang bertugas menyusun
peraturan DPR; dan
m. menyusun rencana kerja dan anggaran setiap tahun sesuai dengan kebutuhan yang
selanjutnya disampaikan kepada badan/panitia yang menyelenggarakan urusan
rumah tangga DPR.
Secara umum, penambahan Pasal 121A dan perubahan atas Pasal 122 bersifat
positif karena mengatur secara lebih luas dan detail atas tugas MKD. Namun demikian,
norma Pasal 122 ayat (1) huruf k, dinilai oleh banyak kalangan sebagai ketentuan yang
berlebihan dan bersifat ofensif dari DPR untuk mencegah munculnya kritik dari pihak
luar terhadap DPR.
Pencantuman norma Pasal 122 ayat (1) huruf k tampaknya dimaksudkan untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 119 ayat (2) yang berbunyi: Mahkamah Kehormatan
Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Norma
10. 10 | P a g e
tersebut menunjukkan bahwa fungsi MKD dalam menjaga serta menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat tidak
hanya akan dilakukan secara pasif, yakni menegakkan kode etik bagi anggota DPR, tetapi
juga dimaknai secaraaktif dengancara mengambil langkah hukum dan/ataulangkah lain
terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan
kehormatan DPR dan anggota DPR.
Namun demikian, perubahan norma tersebut mengandung masalah:
a. DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, pada dasarnya bukan lembaga yang
superbody, karena keberadaan lembaga ini adalah sebagai pelaksana kedaulatan
rakyat, sehingga lembaga ini harus tunduk kepada rakyat melalui penerapan system
akuntabilitas yang baik. Dengan mencantumkan norma huruf k ini, DPR justru
terkesan menutup diri dari pengawasan oleh masyarakat.
b. Perubahan pendekatan pasif menjadi aktif, dengan cara memberi kewenangan
kepada MKD untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap
orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan
kehormatan DPR dan anggota DPR, bersifat sumir. Setidaknya ada 2 hal yang
menyebabkannya:
1) Norma ini tidak disertai dengan penjelasan tentang bentuk langkah hokum
dan/ataulangkah lain, sehinggaberpeluanguntuk memberikan ruangyang tidak
terbatas bagi MKD.
2) karena tidak disertai dengan penjelasan teknis mengenai kata “merendahkan”.
Hal ini akan berpotensi menjadikan norma ini sebagia norma karet, yang dapat
dipergunakan semaunya oleh DPR untuk menghukum pihak-pihak yang
mengkritisi DPR.
3) Jika DPR hendak mencegah terjadinya penghinaan (kritik yang tidak proporsional),
maka sebenarnya telah tersedia mekanisme sebagaimana diatur dalam KUHP.
4. Wewenang DPD dalam Evaluasi Raperda dan Perda
Salah satu poin penting dalam UU MD3 yang baru adalah kewenangan DPD
dalam mengevaluasi peraturan daerah. Ketentuan ini dinilai bakal bertabrakan dengan
UU Pemda yang sebelumnya memberikan kewenangan tersebut ke jajaran eksekutif.
Dalam UU MD3 pasal249ayat 1 hurufJ disebutkan bahwaDPDberwenangdanbertugas
melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah (raperdda) dan
peraturan daerah (perda).
Dalam ilmu perundang-udangan, memang dikenal teori tentang judicial
preview, yakni proses pengkajian atas peraturan perundang-undangan yang dilakukan
pada saat peraturan tersebut belum ditetapkan. Hal ini berbeda dengan judicial review
yang dilakukan pada saat peraturan perundang-undangan telah ditetapkan. Sehingga
secara teoritik, pemberian kewenangan untuk melakukan judicial preview ini pada
dasarnya sah semata.
11. 11 | P a g e
Namun, yang menjadi permasalahan adalah, bahwa kewenangan untuk
melakukan judicial preview ini telah diatur dalam UU Pemda dimana kewenangan ini
diberikan kepada Pemerintah melalui Kemendagri. Hal ini sesuai dengan konsep
ketatangeraan yang dianut dalam UU Pemda yang memposisikan pemerintah daerah
sebagai bagian dari pemerintah pusat.
Pemberian kewenangan untuk melakukan judicial preview kepada DPD akan
membuka peluang terjadinya tumpeng tindih kewenangan dalam melakukan judicial
preview yang pada akhirnya dapat memicu munculnya ketidakpastian hokum, misalnya
jika hasil judicial preview yang dilakukan oleh Pemerintah berbeda dengan yang
dihasilkan oleh DPD. Lalu mana yang dapat menjadi pegangan?
KESIMPULAN
Berdasarkan atas kajian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa revisi UU MD3 tidak
sepenuhnya mengandung muatan yang jelek sehingga harus ditolak seluruhnya, karena
terdapat beberapa norma yang baik misalnya terkait dengan pengembalian kelembagaan
BAKN. Dalam konteks demikian, mengacu kepada asas hukum, “maa laa yudroku kulluh, laa
yutroku kulluh”, maka RUU MD3 ini tidak perlu ditolak secara keseluruhan, melainkan
ditolak secara selektif.
Upaya hukum yang dapat ditempuh jika RUU ini telah secara resmi diundangkan adalah
dengan cara mengajukan constitutional review di MK.