SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 11
1 | P a g e
MENYOAL REVISI UU MD31
Oleh: Ahsanul Minan, MH
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
PENDAHULUAN
Pengesahan RUU tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna
DPR pada tanggal 12 Februari 2018 yang lalu menuai kecaman dari berbagai pihak. Tidak
hanya kalangan akademisi dan CSO yang menentangnya, bahkan Presiden dalam beberapa
hari berikutnya menyatakan secara lisan akan mempertimbangkan untuk tidak
menandatangani RUU tersebut2.
PengesahanRUU MD3menjadi Undang-undangdihadiri Menteri Hukum danHAM
Yasonna Laoly sebagai perwakilan pemerintah, dan 286 dari 560 anggota DPR. Rapat yang
dipimpin Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga ikuti Ketua DPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua
DPR Taufik Kurniawan, dan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto. Seluruh fraksi kecuali Fraksi
Partai Nasdem dan PPP mendukung pengesahan RUU tersebut.
Sebelum disahkan, Ketua Badan Legislatif DPR Supratman Andi Agtas
menyampaikan ada 13 subastasi materi yang terdapat dalam RUU MD3.
1. penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD, serta menambah wakil pimpinan
MKD.
2. perumusan kewenangan DPR dalam membahas RUU yang berasal dari presiden dan
DPR, maupun RUU yang diajukan DPD.
3. penambahan rumusan mengenai pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap
pejabat negara atau masyarakat yang akan melibatkan kepolisian.
4. penambahan rumusan mengenai penggunaan hak interpletasi, hak angket, hak
menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada
pejabat negara.
5. menghidupkan kembali Badan Akuntabilitas Keuangan Negara.
6. penambahan rumusan kewenangan Badan Legislasi dalam penyusunan RUU serta
pembuatan laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang hukum.
7. perumusan ulang terkait tugas dan fungsi MKD.
8. penambahan rumusan kewajiban mengenai laporan hasil pembahasan APBN dalam
rapat pimpinan sebelum pengembilan keputusan pada pembicaraan tingkat I.
1 Disampaikan dalam acara Diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum
(LPBH) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kamis, 21 Februari 2018
2 http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/02/20/p4fy3s409-presiden-kemungkinan-tidak-
akan-tanda-tangani-uu-md3, diakses pada tanggal 21 Februari 2018
2 | P a g e
9. penambahan rumusan mekanisme pemanggilan WNI atau WNA yang secara paksa
dalam hal tidak memenuhi panggilan panitia angket.
10. penguatan hak imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas.
11. penambahan rumusan wewenang dan tugas DPD dalam memantau dan mengvaluasi
rancangan Perda dan Perda.
12. penambahan rumusan kemandirian DPD dalam penyusunan anggaran. Penambahan
rumusan terkait pelaksanaa tugas Badan Keahlian Dewan.
13. penambahan rumusan jumlah dan mekanisme pemilihan pimpinan MPR, DPR, dan Alat
Kelengkapan Dewan hasil pemilu tahun 2014 dan ketentuan mengenai mekanisme
pimpinan MPR, DPR, serta Alat Kelengkapan Dewan (AKD) setelah pemilu tahun 2019
Pengesahan RUU ini sangat menarik untuk didiskusikan oleh kalangan ahli
hukum, untuk menjadi bahan dalam menentukan sikap dan langkah yang perlu diambil
sebagai bagian dari kontribusi dalam membangun system ketatanegaraan yang baik serta
memperkuat pelembagaan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat penting, terutama
mengingat bahwa kinerja parlemen di Indonesia saat ini dinilai oleh banyak kalangan
semakin menurun. Parlemen acapkali gagal dalam menjalankan fungsi legislasi, tidak
optimal dalam menjalankan fungsi pengawasan,lemah dalam menjalankan fungsibudgeting.
Sementara pada saat yang sama, praktek korupsi di lembaga ini semakin meningkat.
Untuk mendapatkan gambaran utuh dalam mencermati persoalan ini, ada
baiknya dilakukan perbandingan antara UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD, dengan materi perubahan/penambahan norma baru dalam RUU yang baru
disahkan tersebut. Berbagai perubahan ini juga perlu dilacak landasan filosofi, sosiologi, dan
landasan hukumnya melalui penelusuran terhadap dokumen naskah akademik RUU ini.
Tentunya akan lebih lengkap jika pengkajian ini disertai dengan analisa atas rekaman
perdebatan yang terjadi di gedung parlemen untuk mengetahui kehendak pembentuk
undang-undang ketika merumuskan norma, namun keterbatasan waktu dan ketersediaan
dokumendimaksud menjadi kendalayang cukupbesar,sehingga hal ini tidak dapat disajikan
dalam tulisan singkat ini.
Analisa atas perubahan norma dalam UU MD3 ini akan dilakukan dengan
beberapa pendekatan yang ditekankan pada keterpenuhan asas-asas dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Asas yang akan diuji dalam hal ini
mencakup asas dalam proses pembentukan, asas menyangkut materi muatan norma, dan
bentuk (format) peraturan perundang-undangannya. Pendekatan ini sangat penting
dilakukan, karena penerapan system negara hokum yang dimandatkan oleh konstitusi telah
dijabarkan dalam UU tersebut dalam rangka menciptakan system hokum perundang-
undangan yang baik.
Analisis yang dijabarkan dalam tulisan singkat ini tidak akan mencakup ke 13
item perubahan tersebut, melainkan hanya akan difokuskan kepada beberapa isu yang
menyita perhatian publik. Hal ini disebabkan tidak lain karena keterbatasan waktu yang
dimiliki penulis.
3 | P a g e
SISI POSITIF REVISI UU MD3
Di luar beberapa materi yang secara kontroversial diperdebatkan dan ditolak oleh beberapa
kalangan masyarakat sipil, revisi UU MD3 yang disahkan oleh DPR pada dasarnya
mengandung beberapa sisi positif. Setidaknya terdapat 2 bagian penting dalam revisi ini
yang patut untuk diapresiasi, yakni:
1. Pembentukan Kembali BAKN
RUU MD3 mengubah ketentuan pasal 83 ayat (1) dengan memasukkan kembali
BadanAkuntabilitas KeuanganNegara(BAKN) sebagaibagian darialat kelengkapan DPR
(AKD). Badanini bertugasuntuk membantu DPR dalam melakukan kajian atas hasil audit
BPK dengan tujuan untuk membangun akuntabilitas keuangan Negara sekaligus menjadi
bahan masukan dalam memberikan persetujuan atas usulan anggaran yang diajukan
oleh Pemerintah. Badan semacam ini juga ada di beberapa Negara lain seperti Inggris
dan Australia.
BAKN dibentuk berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3, sebagai
pengembangan dari Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara yang sebelumnya
dibentuk berdasarkan Peraturan Sekretaris Jenderal DPR RI No.400/Sekjen/2005.
Pembubaran BAKN melalui UU nomor 17 tahun 2014 disesalkan oleh banyak pihak,
karenamenyebabkanmenumpuknya laporan hasil audit BPK tanpa dapat ditindaklanjuti
secara layak oleh DPR3.
Keputusanuntuk menghidupkan kembali BAKNmerupakan angin segar,karena
keberadaan AKD ini sangat penting untuk menunjang kinerja DPR dalam mengawasi
keuangan negara. Revisi UU MD3 terkait ketentuan pasal 83 ayat (1) yang memunculkan
kembali BAKN ini juga diikuti dengan penambahan norma pengaturan tentang BAKN ini
diatur lebih lanjut dalam Paragraf 5A dan disisipkan 7 (tujuh) pasal, yakni Pasal 112A,
Pasal 112B, Pasal 112C, Pasal 112D, Pasal 112E, Pasal 112F, dan Pasal 112G.
2. Perluasan Tugas Badan Legislasi DPR
Revisi UU MD3 juga mencakup ketentuan Pasal 105 dengan menambahkan 3
tugas baru kepada Baleg DPR. Penambahan tugas tersebut mencakup:
 Pasal 105 ayat (1) huruf c: mengoordinasikan penyusunan naskah akademik dan
rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, dan gabungan
komisi;
 Pasal 105 ayat (1) huruf d: menyiapkan dan menyusun rancangan undang-undang
usul Badan Legislasi dan/atau Anggota Badan Legislasi berdasarkan program
prioritas yang telah ditetapkan; dan
3 http://nasional.kompas.com/read/2014/09/01/18041011/DPR.Mengalami.Kemunduran
4 | P a g e
 Pasal 105 ayat (1) huruf l: membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di
bidang perundang-undangan setiap akhir tahun sidang untuk disampaikan kepada
Pimpinan DPR
Perubahan ini membawa nuansa positif setidaknya dalam 2 hal:
a. Penambahan norma Pasal 105 ayat (1) huruf c diharapkan akan dapat memperbaiki
proses penyusunan RUU oleh DPR, karena adanya pemberian tugas kepada Baleg
untuk mengkoordinasikan penyusunan Naskah Akademik dan naskah RUU. Hal ini
sangat penting, mengingat bahwa Naskah Akademik merupakan sebuah dokumen
yang wajib disusun sebelum naskah RUU dibuat dan dibahas oleh DPR. NA
merupakan sebuah dokumen yang berisi kajian akademik yang berisi kajian atas
kondisi/permasalahan yang dihadapi dan perlu dijawab melalui pembuatan undang-
undang. Kajian ini mencakup kajian filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Fakta selama ini menunjukkan bahwa DPR acapkali tidak membuat NA terlebih
dahulu, atau jikapun membuat NA, maka proses pembuatannya hanya sekedarnya
saja untuk memenuhi syarat formal. Akibatnya, banyak produk UU yang dihasilkan
tidak memiliki basis argumentasi yang kuat sehingga banyak yang dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi, atau norma dalam UU tersebut tidak dapat secara efektif
dilaksanakan.
Dengan mengkonsentrasikan tugas pengkoordinasian penyusunan NA dan RUU ini
kepada Baleg, diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas kinerja legislasi DPR
secara kelembagaan yang saat ini compang-camping.
b. Penambahan tugas Baleg untuk membuat laporan kinerja tahunan juga diyakini akan
dampat meningkatkan kinerja dan akuntabilitas Baleg. Dibandingkan dengan
ketentuan dalam UU Nomor 17/2014, laporan kinerja Baleg hanya disusun pada saat
berakhirnya masa kerja mereka (lima tahunan).
SISI NEGATIF REVISI UU MD3
Di samping sisi positif dari revisi UU MD3 yang baru saja disahkan oleh DPR,
sayangnya terdapat cukup banyak sisi negatif yang akhirnya memicu banyak penentangan
di kalangan masyarakat. Adapun muatan materi norma pengaturan dalam revisi UU MD3
yang mengandung sisi negative tersebut antara lain:
1. Perubahan atas Pasal 73 tentang Pemanggilan Paksa:
Perubahan yang dilakukan atas Pasal 73 UU Nomor 17/2014 dapat diuraikan
sebagai berikut:
UU 17/2014 RUU MD3 ARGUMENTASI
DALAM NA
5 | P a g e
Pasal 73
(1) DPR dalam melaksanakan wewenang
dan tugasnya, berhak memanggil
pejabat negara, pejabat pemerintah,
badan hukum, atau warga masyarakat
secara tertulis untuk hadir dalam
rapat DPR.
(2) Setiap pejabat negara, pejabat
pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat wajib memenuhi
panggilan DPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Dalam hal pejabat negara dan/atau
pejabat pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak hadir
memenuhi panggilan setelah dipanggil
3 (tiga) kali berturut-turut tanpa
alasan yang sah, DPR dapat
menggunakan hak interpelasi, hak
angket, atau hak menyatakan
pendapat atau anggota DPR dapat
menggunakan hak mengajukan
pertanyaan.
(4) Dalam hal badan hukum dan/atau
warga masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak hadir
setelah dipanggil 3 (tiga) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah,
DPR berhak melakukan panggilan
paksa dengan menggunakan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam hal panggilan paksa
sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah,
yang bersangkutan dapat disandera
paling lama 30 (tiga puluh) Hari sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ketentuan Nomor 3. Pasal 73 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
(1) DPR dalam melaksanakan wewenang dan
tugasnya, berhak memanggil setiap orang
secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR.
(2) Setiap orang wajib memenuhi panggilan
DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal setiap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah
dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa
alasan yang patut dan sah, DPR berhak
melakukan panggilan paksa dengan
menggunakan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
(4) Panggilan paksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Pimpinan DPR mengajukan permintaan
secara tertulis kepada Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia paling sedikit
memuat dasar dan alasan pemanggilan
paksa serta nama dan alamat setiap
orang yang dipanggil paksa;
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia
wajib memenuhi permintaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a; dan
c. Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia memerintahkan Kepala
Kepolisian Daerah di tempat domisili
setiap orang yang dipanggil paksa untuk
dihadirkan memenuhi panggilan DPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal menjalankan panggilan paksa
sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
menyandera setiap orang untuk paling lama
30 (tiga puluh) Hari.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan penyanderaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur
dengan Peraturan Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Perubahan atas Pasal
73 tidak dicakup
dalam Naskah
Akademik
Dari gambaran tersebut di atas terlihat bahwa perubahan norma yang dilakukan
olehDPR bersamapemerintah padadasarnyalebih luas dari yang selama ini diberitakan.
Ruang lingkup perubahan tersebut dapat dijelaskan menyangkut beberapa hal berikut:
a. Ruang lingkup obyek pemanggilan. Dalam pasal 73 ayat (1) dan (2) UU Nomor
17/2014, obyek hokum pemanggilan dipilah menjadi 4 kategori, yakni pejabat
negara, pejabat pemerintah, badan hokum, dan warga masyarakat. Namun dalam
revisi pasal 73 ayat (1) dan (2), kategori ini dihapuskan, dan selanjutnya diganti
6 | P a g e
menjadi setiap orang. Dalam naskah akademik, perubahan ini tidak dicantumkan,
sehingga tidak dapat dilacak secara pasti alasan dan argumentasi hukumnya.
Perubahan ruang lingkup obyek pemanggilan ini berpotensi menimbulkan masalah,
karenapada dasarnyapihakyang diperlukan keterangannyaolehDPR melalui proses
pemanggilan pada dasarnya bisa disebabkan karena pemahaman idividualnya atas
suatu peristiwa tertentu, atau karena kapasitas jabatannya. Dalam hal ketegori ke 2
ini, maka pemanggilan tentunya bukan dialamatkan kepada person/individutertentu
melainkan kepada pejabat tertentu, sehingga apabila pejabat yang bersangkutan
berhalangan hadir, maka dapat diwakilkan kepada pejabat yang memiliki tugas
jabatan yang sama.
Perubahan norma Pasal 73 ayat (1) & (2) ini berdampak pada personalisasi jabatan,
dan menutup ruang bagi kemungkinan diwakilkannya kehadiran obyek (terpanggil)
kepada pejabat lain yang berkompeten. Kita dapat bayangkan, sebagai konsekwensi
dari norma Pasal ini, bahwa bisa jadi Presiden atau Menteri atau Pejabat tinggi
lainnya akan kesulitan ketika berhadapan dengan DPR, karena mereka harus hadir
sendiri, tanpa diwakilkan. Model pengaturan ini tidak lazim diterapkan bagi pejabat
(individu yang memiliki kompetensi karena jabatannya) dalam praktek
ketatanegaraan.
Di sisi lain, tidak dibukanya ruang bagi pejabat terpanggil untuk menunjuk wakil
(pengganti) untuk meberikan keterangan dapat dinilai sebagai kealpaan dan
ketidakcermatan DPR dalam merumuskan norma perundang-undangan.
b. Penghapusan ketentuan tentang kategorisasi mekanisme tindak lanjut atas
ketidakhadiran pihak terpanggil.
Dalam pasal 73 ayat (3) dan (4) UU Nomor 17/2014 diatur perbedaan treatment atas
pihak terpanggil yang tidak hadir 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas.
Perbedaan tersebut adalah; dalam hal terpanggil adalah pejabat negara dan/atau
pejabat pemerintah, maka DPR akan menempuh jalan pengajuan hak interpelasi, hak
angket, hak mengajukan pendapat atau hak mengajukan pertanyaan. Sedangkan
dalam hal terpanggil adalah perseorangan atau Badan Hukum, maka akan dilakukan
pemanggilan paksa.
Dalam perubahan atas pasal 73 yang dimuat dalam RUU MD3, sebagai dampak atas
penghapusan kategorisasi pihak terpanggil sebagaimana dimuat dalam ayat (1),
maka tidak ada lagi perbedaan treatment tindaklanjut atas ketidakhadiran
terpanggil. Sebagai konsekwensinya, norma ayat (3) dalam RUU mengatur bahwa
DPR berhak melakukan pemanggilan paksa, yang selanjutnya dalam ayat (4) diatur
bahwa pemanggilan paksa dapat dilakukan dengan bantuan kepolisian.
Pengaturan norma dalam Pasal 73 ayat (3) RUU MD3 ini menimbulkan dampak
berupa kriminalisasi terhadap pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah sebagai
konsekwensi atas personalisasi jabatan, dan menafikan mekanisme ketatanegaraan
7 | P a g e
yang selama ini telah diatur mengenai penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan
hak mengajukan pendapat.
c. Pengaturan tentang mekanisme pemanggilan paksa.
Dalam UU Nomor 17/2014, mekanisme pemanggilan paksa hanya diatur secara
umum, dan tidak memuat mekanisme kerjanya. Hal ini diperbaiki dalam perubahan
Pasal 73 ayat (4), (5) & (6).
Perubahan(penambahan)normainipadadasarnyamerupakanlangkah maju, karena
dapat memberikan kepastian hokum tentang bagaimana prosedur pemanggilan
paksa akan dilakukan.
Namun demikian, pengaturan tentang mekanisme pemanggilan paksa ini
mengandung setidaknya 2 permasalahan mendasar:
Obyek pemanggilan paksa yang berlaku secara umum (setiap orang) tanpa
membedakan kategori terpanggil pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah, akan
berpotensi memposisikan pihak kepolisian dalam posisi yang sulit jika pihak
terpanggilnya adalah Presiden, Panglima TNI, Kapolri, atau pejabat lain yang
berpengaruh. Kita dapat bayangkan bagaimana polisi akan dapat menjalankan
perintah DPR untuk memanggil paksa Presiden atau Kapolri.
Mekanisme pemanggilan paksa lazimnya diterapkan dalam kasus pidana, dengan
syarat telah ada dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pihak yang akan
dipanggil. Dalam RUU MD3 ini, ketidakhadiran pihak terpanggil tidak dikategorikan
sebagai pelanggaran pidana. Hal ini akan berpotensi menjadi bahan perdebatan yang
panjang di kalangan ahli hokum.
2. Perubahan Jumlah Pimpinan MPR dan DPR
RUU MD 3 mengatur perubahan norma yang diatur dalam pasal 15 ayat (1) UU
nomor 17/2014 sebagai berikut:
UU 17/2014 RUU MD3 ARGUMENTASI
DALAM NA
Pasal 15
(1) Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu)
orang ketua dan 4 (empat) orang
wakil ketua yang dipilih dari dan oleh
anggota MPR.
Pasal 15
(1) Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang
ketua dan 7 (tujuh) orang wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh anggota MPR.
(2) Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR
dalam satu paket yang bersifat tetap.
(3) Bakal calon pimpinan MPR berasal dari
fraksi dan/atau kelompok anggota
disampaikan di dalam sidang paripurna.
(4) Tiap fraksi dan kelompok anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
Pimpinan MPR terdiri
atas 1 (satu) orang
ketua dan 5 (lima)
orang wakil ketua
yang dipilih dari dan
oleh anggota MPR.
8 | P a g e
mengajukan 1 (satu) orang bakal calon
pimpinan MPR.
(5) Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk
mufakat dan ditetapkan dalam rapat
paripurna MPR.
(6) Dalam hal musyawarah untuk mufakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak
tercapai, pimpinan MPR dipilihdengan
pemungutan suara dan yang memperoleh
suara terbanyak ditetapkan sebagai
pimpinan MPR dalam rapat paripurna MPR.
(7) Selama pimpinan MPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk,
sidang MPR pertama kali untuk menetapkan
pimpinan MPR dipimpin oleh pimpinan
sementara MPR.
(8) Pimpinan sementara MPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota
MPR yang tertua dan termuda dari fraksi
dan/atau kelompok anggota yang berbeda.
(9) Pimpinan MPR ditetapkan dengan
keputusan MPR.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pemilihan pimpinan MPR diatur dalam
peraturan MPR tentang tata tertib.
Pasal 84
(1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu)
orang ketua dan 4 (empat) orang
wakil ketua yang dipilih dari dan oleh
anggota DPR.
Pasal 84
(1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang
ketua dan 5 (lima) orang wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh anggota DPR.
Perubahanatasnormapasal 15 ayat (1) dan Pasal84 denganmenambah jumlah
pimpinan MPR menjadi 8 orang dan Pimpinan DPR menjadi 6 orang ini berpotensi
menimbulkan terkait dengan mekanisme pengambilan keputusan di tingkat pimpinan
MPR & DPR. Denganjumlah genappimpinan MPR danDPR ini, maka prosespengambilan
keputusan di tingkat pimpinan MPR dan DPR akan berpotensi mengalami deadlock jika
dilakukan melalui mekanisme voting. Hal ini penting untuk dicermati, karena mekanisme
pengambilan keputusan yang diintrodusir dalam UU MD3 diatur dapat melalui
mekanisme musyawarah mufakat dan voting.
Dalam hal ini, proses perumusan norma pasal 15 ayat (1) dalam RUU MD3 ini
dapat dinilai dilakukan secaratidak cermat, tidak hati-hati, dan melanggarasaskepastian
hukum.
3. Perluasan Tugas MKD
RUU MD3 yang baru saja disahkan oleh DPR pada 12 Februari yang lalu
menambahkan 1 pasal 121A yang berbunyi:
Mahkamah Kehormatan Dewan melaksanakan fungsi:
9 | P a g e
a. pencegahan dan pengawasan; dan
b. penindakan.
Di samping itu, DPR juga mengubah ketentuan dalam Pasal 122 dengan
menambahkan ketentuan sebagian berikut:
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121A, Mahkamah
Kehormatan Dewan bertugas:
a. melakukan pencegahan terjadinya pelanggaran Kode Etik;
b. melakukan pengawasan terhadapucapan,sikap, perilaku, dan tindakan anggotaDPR;
b. melakukan pengawasan terhadap ucapan, sikap, perilaku, dan tindakan sistem
pendukung DPR yang berkaitan dengan tugas dan wewenang anggota DPR;
c. melakukan pemantapan nilai dan norma yang terkandung dalam Pancasila,
peraturan perundang-undangan, dan Kode Etik;
d. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik;
e. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang
berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan sistem pendukung DPR;
f. memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik;
g. memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang
berkaitan dengan Pelanggaran Kode Etik sistem pendukung DPR, terkecuali sistem
pendukung Pegawai Negeri Sipil;
h. menyelenggarakan administrasi perkara pelanggaran Kode Etik;
i. melakukan peninjauan kembali terhadap putusan perkara pelanggaran Kode Etik;
j. mengevaluasi pelaksanaan putusan perkara pelanggaran Kode Etik;
k. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan,
kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan
anggota DPR;
l. mengajukan rancangan peraturan DPR mengenai kode etik dan tata beracara
Mahkamah Kehormatan Dewan kepada Pimpinan DPR dan Pimpinan DPR
selanjutnya menugaskan kepada alat kelengkapan DPR yang bertugas menyusun
peraturan DPR; dan
m. menyusun rencana kerja dan anggaran setiap tahun sesuai dengan kebutuhan yang
selanjutnya disampaikan kepada badan/panitia yang menyelenggarakan urusan
rumah tangga DPR.
Secara umum, penambahan Pasal 121A dan perubahan atas Pasal 122 bersifat
positif karena mengatur secara lebih luas dan detail atas tugas MKD. Namun demikian,
norma Pasal 122 ayat (1) huruf k, dinilai oleh banyak kalangan sebagai ketentuan yang
berlebihan dan bersifat ofensif dari DPR untuk mencegah munculnya kritik dari pihak
luar terhadap DPR.
Pencantuman norma Pasal 122 ayat (1) huruf k tampaknya dimaksudkan untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 119 ayat (2) yang berbunyi: Mahkamah Kehormatan
Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Norma
10 | P a g e
tersebut menunjukkan bahwa fungsi MKD dalam menjaga serta menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat tidak
hanya akan dilakukan secara pasif, yakni menegakkan kode etik bagi anggota DPR, tetapi
juga dimaknai secaraaktif dengancara mengambil langkah hukum dan/ataulangkah lain
terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan
kehormatan DPR dan anggota DPR.
Namun demikian, perubahan norma tersebut mengandung masalah:
a. DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, pada dasarnya bukan lembaga yang
superbody, karena keberadaan lembaga ini adalah sebagai pelaksana kedaulatan
rakyat, sehingga lembaga ini harus tunduk kepada rakyat melalui penerapan system
akuntabilitas yang baik. Dengan mencantumkan norma huruf k ini, DPR justru
terkesan menutup diri dari pengawasan oleh masyarakat.
b. Perubahan pendekatan pasif menjadi aktif, dengan cara memberi kewenangan
kepada MKD untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap
orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan
kehormatan DPR dan anggota DPR, bersifat sumir. Setidaknya ada 2 hal yang
menyebabkannya:
1) Norma ini tidak disertai dengan penjelasan tentang bentuk langkah hokum
dan/ataulangkah lain, sehinggaberpeluanguntuk memberikan ruangyang tidak
terbatas bagi MKD.
2) karena tidak disertai dengan penjelasan teknis mengenai kata “merendahkan”.
Hal ini akan berpotensi menjadikan norma ini sebagia norma karet, yang dapat
dipergunakan semaunya oleh DPR untuk menghukum pihak-pihak yang
mengkritisi DPR.
3) Jika DPR hendak mencegah terjadinya penghinaan (kritik yang tidak proporsional),
maka sebenarnya telah tersedia mekanisme sebagaimana diatur dalam KUHP.
4. Wewenang DPD dalam Evaluasi Raperda dan Perda
Salah satu poin penting dalam UU MD3 yang baru adalah kewenangan DPD
dalam mengevaluasi peraturan daerah. Ketentuan ini dinilai bakal bertabrakan dengan
UU Pemda yang sebelumnya memberikan kewenangan tersebut ke jajaran eksekutif.
Dalam UU MD3 pasal249ayat 1 hurufJ disebutkan bahwaDPDberwenangdanbertugas
melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah (raperdda) dan
peraturan daerah (perda).
Dalam ilmu perundang-udangan, memang dikenal teori tentang judicial
preview, yakni proses pengkajian atas peraturan perundang-undangan yang dilakukan
pada saat peraturan tersebut belum ditetapkan. Hal ini berbeda dengan judicial review
yang dilakukan pada saat peraturan perundang-undangan telah ditetapkan. Sehingga
secara teoritik, pemberian kewenangan untuk melakukan judicial preview ini pada
dasarnya sah semata.
11 | P a g e
Namun, yang menjadi permasalahan adalah, bahwa kewenangan untuk
melakukan judicial preview ini telah diatur dalam UU Pemda dimana kewenangan ini
diberikan kepada Pemerintah melalui Kemendagri. Hal ini sesuai dengan konsep
ketatangeraan yang dianut dalam UU Pemda yang memposisikan pemerintah daerah
sebagai bagian dari pemerintah pusat.
Pemberian kewenangan untuk melakukan judicial preview kepada DPD akan
membuka peluang terjadinya tumpeng tindih kewenangan dalam melakukan judicial
preview yang pada akhirnya dapat memicu munculnya ketidakpastian hokum, misalnya
jika hasil judicial preview yang dilakukan oleh Pemerintah berbeda dengan yang
dihasilkan oleh DPD. Lalu mana yang dapat menjadi pegangan?
KESIMPULAN
Berdasarkan atas kajian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa revisi UU MD3 tidak
sepenuhnya mengandung muatan yang jelek sehingga harus ditolak seluruhnya, karena
terdapat beberapa norma yang baik misalnya terkait dengan pengembalian kelembagaan
BAKN. Dalam konteks demikian, mengacu kepada asas hukum, “maa laa yudroku kulluh, laa
yutroku kulluh”, maka RUU MD3 ini tidak perlu ditolak secara keseluruhan, melainkan
ditolak secara selektif.
Upaya hukum yang dapat ditempuh jika RUU ini telah secara resmi diundangkan adalah
dengan cara mengajukan constitutional review di MK.

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

Makalah Pembentukan PERDA
Makalah Pembentukan PERDA Makalah Pembentukan PERDA
Makalah Pembentukan PERDA Fenti Anita Sari
 
Presentase UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
Presentase UU No. 2  Tahun 2011 tentang Partai PolitikPresentase UU No. 2  Tahun 2011 tentang Partai Politik
Presentase UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai PolitikM Ungang
 
Teknik penyusunan produk hukum daerah
Teknik penyusunan produk hukum daerahTeknik penyusunan produk hukum daerah
Teknik penyusunan produk hukum daerahSoniarwan1
 
Teknik penyusunan naskah akademik
Teknik penyusunan naskah akademikTeknik penyusunan naskah akademik
Teknik penyusunan naskah akademikJoseph Sitepu
 
Renstra pa.enrekang 2010-2014 acc
Renstra pa.enrekang 2010-2014 accRenstra pa.enrekang 2010-2014 acc
Renstra pa.enrekang 2010-2014 acczaura123
 
Renstra 2010 2014 pa muara labuh
Renstra 2010 2014 pa muara labuhRenstra 2010 2014 pa muara labuh
Renstra 2010 2014 pa muara labuhpamuaralabuh
 
proses penyusunan perkada
proses penyusunan perkadaproses penyusunan perkada
proses penyusunan perkadazuhrimail
 
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRDPenguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRDTri Widodo W. UTOMO
 
Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011
Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011
Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011Operator Warnet Vast Raha
 
Workshop peraturan kebijakan di kementerian ppn bappenas
Workshop peraturan kebijakan di kementerian ppn  bappenasWorkshop peraturan kebijakan di kementerian ppn  bappenas
Workshop peraturan kebijakan di kementerian ppn bappenasBekti Eka Sari
 
Komparasi Tap MPR Nomor III/MPR/2000, UU No.10 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun ...
Komparasi Tap MPR Nomor III/MPR/2000, UU No.10 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun ...Komparasi Tap MPR Nomor III/MPR/2000, UU No.10 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun ...
Komparasi Tap MPR Nomor III/MPR/2000, UU No.10 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun ...Rizky Pradnya
 
Penjelasan ruu md3 10 jul14
Penjelasan ruu md3 10 jul14Penjelasan ruu md3 10 jul14
Penjelasan ruu md3 10 jul14purdiyanto -
 
Power poin pasal yg mengatur keuangan
Power poin pasal yg mengatur keuanganPower poin pasal yg mengatur keuangan
Power poin pasal yg mengatur keuanganPak Sugeng
 
Makalah BPK dan Kekuasaan Kehakiman
Makalah BPK dan Kekuasaan KehakimanMakalah BPK dan Kekuasaan Kehakiman
Makalah BPK dan Kekuasaan Kehakimanshafirahany22
 
Uu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan
Uu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahanUu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan
Uu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahanYudhi Aldriand
 

La actualidad más candente (19)

Makalah Pembentukan PERDA
Makalah Pembentukan PERDA Makalah Pembentukan PERDA
Makalah Pembentukan PERDA
 
Presentase UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
Presentase UU No. 2  Tahun 2011 tentang Partai PolitikPresentase UU No. 2  Tahun 2011 tentang Partai Politik
Presentase UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
 
Teknik penyusunan produk hukum daerah
Teknik penyusunan produk hukum daerahTeknik penyusunan produk hukum daerah
Teknik penyusunan produk hukum daerah
 
Teknik penyusunan naskah akademik
Teknik penyusunan naskah akademikTeknik penyusunan naskah akademik
Teknik penyusunan naskah akademik
 
Renstra pa.enrekang 2010-2014 acc
Renstra pa.enrekang 2010-2014 accRenstra pa.enrekang 2010-2014 acc
Renstra pa.enrekang 2010-2014 acc
 
Renstra 2010 2014 pa muara labuh
Renstra 2010 2014 pa muara labuhRenstra 2010 2014 pa muara labuh
Renstra 2010 2014 pa muara labuh
 
proses penyusunan perkada
proses penyusunan perkadaproses penyusunan perkada
proses penyusunan perkada
 
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRDPenguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
 
Uu 12 2011
Uu 12 2011Uu 12 2011
Uu 12 2011
 
Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011
Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011
Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011
 
Workshop peraturan kebijakan di kementerian ppn bappenas
Workshop peraturan kebijakan di kementerian ppn  bappenasWorkshop peraturan kebijakan di kementerian ppn  bappenas
Workshop peraturan kebijakan di kementerian ppn bappenas
 
Komparasi Tap MPR Nomor III/MPR/2000, UU No.10 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun ...
Komparasi Tap MPR Nomor III/MPR/2000, UU No.10 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun ...Komparasi Tap MPR Nomor III/MPR/2000, UU No.10 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun ...
Komparasi Tap MPR Nomor III/MPR/2000, UU No.10 Tahun 2004 dan UU No.12 Tahun ...
 
Penjelasan ruu md3 10 jul14
Penjelasan ruu md3 10 jul14Penjelasan ruu md3 10 jul14
Penjelasan ruu md3 10 jul14
 
Contoh mo u
Contoh mo uContoh mo u
Contoh mo u
 
Power poin pasal yg mengatur keuangan
Power poin pasal yg mengatur keuanganPower poin pasal yg mengatur keuangan
Power poin pasal yg mengatur keuangan
 
Fahmi
FahmiFahmi
Fahmi
 
Makalah BPK dan Kekuasaan Kehakiman
Makalah BPK dan Kekuasaan KehakimanMakalah BPK dan Kekuasaan Kehakiman
Makalah BPK dan Kekuasaan Kehakiman
 
Uu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan
Uu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahanUu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan
Uu 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan
 
PERKEMBANGAN PENGATURAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DARI MASA KE MASA
PERKEMBANGAN PENGATURAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DARI MASA KE MASAPERKEMBANGAN PENGATURAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DARI MASA KE MASA
PERKEMBANGAN PENGATURAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DARI MASA KE MASA
 

Similar a REVISI MD3

Omnibus Law dari Perspektif Anggota Badan Legislatif DPR
Omnibus Law dari Perspektif Anggota Badan Legislatif DPROmnibus Law dari Perspektif Anggota Badan Legislatif DPR
Omnibus Law dari Perspektif Anggota Badan Legislatif DPRLestari Moerdijat
 
Pandangan MUI soal RUU Cipta Kerja
Pandangan MUI soal RUU Cipta KerjaPandangan MUI soal RUU Cipta Kerja
Pandangan MUI soal RUU Cipta KerjaAgaton Kenshanahan
 
Pandangan dan sikap DP MUI Pusat terhadap RUU Cipta Kerja, 3 Juli 2020
Pandangan dan sikap DP MUI Pusat terhadap RUU Cipta Kerja, 3 Juli 2020Pandangan dan sikap DP MUI Pusat terhadap RUU Cipta Kerja, 3 Juli 2020
Pandangan dan sikap DP MUI Pusat terhadap RUU Cipta Kerja, 3 Juli 2020JabbarRamdhani
 
Transparansi dan partisipasi publik dalam revisi undang undang pertambangan m...
Transparansi dan partisipasi publik dalam revisi undang undang pertambangan m...Transparansi dan partisipasi publik dalam revisi undang undang pertambangan m...
Transparansi dan partisipasi publik dalam revisi undang undang pertambangan m...Publish What You Pay (PWYP) Indonesia
 
Penjelasan Pengusul Atas Raperda Prakarsa DPRD
Penjelasan Pengusul Atas Raperda Prakarsa DPRDPenjelasan Pengusul Atas Raperda Prakarsa DPRD
Penjelasan Pengusul Atas Raperda Prakarsa DPRDAde Suerani
 
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014Ahmad Solihin
 
pkn smp bab 3 TATA URUTAN PERUNDANG UNDANGAN
pkn smp bab 3 TATA URUTAN PERUNDANG UNDANGANpkn smp bab 3 TATA URUTAN PERUNDANG UNDANGAN
pkn smp bab 3 TATA URUTAN PERUNDANG UNDANGANblackpepperspicy
 
Catatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan Bersih
Catatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan BersihCatatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan Bersih
Catatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan BersihPeople Power
 
Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007
Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007
Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007murniantik
 
Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.pptx
Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.pptxProses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.pptx
Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.pptxEgi Fahroji
 
PP XI SMA_Pancasila_BAB 2_ Sub Bab Proses Pembentukkan Peraturan Perundang-Un...
PP XI SMA_Pancasila_BAB 2_ Sub Bab Proses Pembentukkan Peraturan Perundang-Un...PP XI SMA_Pancasila_BAB 2_ Sub Bab Proses Pembentukkan Peraturan Perundang-Un...
PP XI SMA_Pancasila_BAB 2_ Sub Bab Proses Pembentukkan Peraturan Perundang-Un...SyawaludinFarizi
 
Konsekuensi implementasi ham dalam uud 1945
Konsekuensi implementasi ham dalam uud 1945Konsekuensi implementasi ham dalam uud 1945
Konsekuensi implementasi ham dalam uud 1945ZlatAn AfrhymovIc
 
Consilium Forum Pada Mahkamah Konstitusi
Consilium Forum Pada Mahkamah KonstitusiConsilium Forum Pada Mahkamah Konstitusi
Consilium Forum Pada Mahkamah KonstitusiUniversitas Trisakti
 
Soal Latihan Bab 3--M.Rava.M..8B.docx
Soal Latihan Bab 3--M.Rava.M..8B.docxSoal Latihan Bab 3--M.Rava.M..8B.docx
Soal Latihan Bab 3--M.Rava.M..8B.docxRezaOktaviaPutra
 
Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011
Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011
Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011Operator Warnet Vast Raha
 
Kabag Hukum Legal Drafting 2019.PPT
Kabag Hukum Legal Drafting 2019.PPTKabag Hukum Legal Drafting 2019.PPT
Kabag Hukum Legal Drafting 2019.PPTBramaHabibi
 
Bab iii tata urutan peraturan perundang undangan dalam sistem hukum nasional ...
Bab iii tata urutan peraturan perundang undangan dalam sistem hukum nasional ...Bab iii tata urutan peraturan perundang undangan dalam sistem hukum nasional ...
Bab iii tata urutan peraturan perundang undangan dalam sistem hukum nasional ...TutikDaryatni
 
MAKALAH OMNIBUS LAW DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN
MAKALAH OMNIBUS LAW DALAM HUKUM KETENAGAKERJAANMAKALAH OMNIBUS LAW DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN
MAKALAH OMNIBUS LAW DALAM HUKUM KETENAGAKERJAANTOFIK SUPRIYADI
 

Similar a REVISI MD3 (20)

Omnibus Law dari Perspektif Anggota Badan Legislatif DPR
Omnibus Law dari Perspektif Anggota Badan Legislatif DPROmnibus Law dari Perspektif Anggota Badan Legislatif DPR
Omnibus Law dari Perspektif Anggota Badan Legislatif DPR
 
Pandangan MUI soal RUU Cipta Kerja
Pandangan MUI soal RUU Cipta KerjaPandangan MUI soal RUU Cipta Kerja
Pandangan MUI soal RUU Cipta Kerja
 
Pandangan dan sikap DP MUI Pusat terhadap RUU Cipta Kerja, 3 Juli 2020
Pandangan dan sikap DP MUI Pusat terhadap RUU Cipta Kerja, 3 Juli 2020Pandangan dan sikap DP MUI Pusat terhadap RUU Cipta Kerja, 3 Juli 2020
Pandangan dan sikap DP MUI Pusat terhadap RUU Cipta Kerja, 3 Juli 2020
 
Transparansi dan partisipasi publik dalam revisi undang undang pertambangan m...
Transparansi dan partisipasi publik dalam revisi undang undang pertambangan m...Transparansi dan partisipasi publik dalam revisi undang undang pertambangan m...
Transparansi dan partisipasi publik dalam revisi undang undang pertambangan m...
 
Penjelasan Pengusul Atas Raperda Prakarsa DPRD
Penjelasan Pengusul Atas Raperda Prakarsa DPRDPenjelasan Pengusul Atas Raperda Prakarsa DPRD
Penjelasan Pengusul Atas Raperda Prakarsa DPRD
 
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
 
pkn smp bab 3 TATA URUTAN PERUNDANG UNDANGAN
pkn smp bab 3 TATA URUTAN PERUNDANG UNDANGANpkn smp bab 3 TATA URUTAN PERUNDANG UNDANGAN
pkn smp bab 3 TATA URUTAN PERUNDANG UNDANGAN
 
Catatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan Bersih
Catatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan BersihCatatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan Bersih
Catatan Koalisi Nasional Untuk Peradilan Bersih
 
Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007
Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007
Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007
 
Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.pptx
Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.pptxProses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.pptx
Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.pptx
 
PP XI SMA_Pancasila_BAB 2_ Sub Bab Proses Pembentukkan Peraturan Perundang-Un...
PP XI SMA_Pancasila_BAB 2_ Sub Bab Proses Pembentukkan Peraturan Perundang-Un...PP XI SMA_Pancasila_BAB 2_ Sub Bab Proses Pembentukkan Peraturan Perundang-Un...
PP XI SMA_Pancasila_BAB 2_ Sub Bab Proses Pembentukkan Peraturan Perundang-Un...
 
Konsekuensi implementasi ham dalam uud 1945
Konsekuensi implementasi ham dalam uud 1945Konsekuensi implementasi ham dalam uud 1945
Konsekuensi implementasi ham dalam uud 1945
 
Consilium Forum Pada Mahkamah Konstitusi
Consilium Forum Pada Mahkamah KonstitusiConsilium Forum Pada Mahkamah Konstitusi
Consilium Forum Pada Mahkamah Konstitusi
 
Soal Latihan Bab 3--M.Rava.M..8B.docx
Soal Latihan Bab 3--M.Rava.M..8B.docxSoal Latihan Bab 3--M.Rava.M..8B.docx
Soal Latihan Bab 3--M.Rava.M..8B.docx
 
Ipu
IpuIpu
Ipu
 
Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011
Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011
Makalah kebijakan penyusunan_prolegnas_ruu_prioritas_tahun_2011
 
Kabag Hukum Legal Drafting 2019.PPT
Kabag Hukum Legal Drafting 2019.PPTKabag Hukum Legal Drafting 2019.PPT
Kabag Hukum Legal Drafting 2019.PPT
 
Permenpan2013 033
Permenpan2013 033Permenpan2013 033
Permenpan2013 033
 
Bab iii tata urutan peraturan perundang undangan dalam sistem hukum nasional ...
Bab iii tata urutan peraturan perundang undangan dalam sistem hukum nasional ...Bab iii tata urutan peraturan perundang undangan dalam sistem hukum nasional ...
Bab iii tata urutan peraturan perundang undangan dalam sistem hukum nasional ...
 
MAKALAH OMNIBUS LAW DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN
MAKALAH OMNIBUS LAW DALAM HUKUM KETENAGAKERJAANMAKALAH OMNIBUS LAW DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN
MAKALAH OMNIBUS LAW DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN
 

Más de Ahsanul Minan

Analisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptx
Analisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptxAnalisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptx
Analisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptxAhsanul Minan
 
Keterbukaan Informasi Pemilu
Keterbukaan Informasi PemiluKeterbukaan Informasi Pemilu
Keterbukaan Informasi PemiluAhsanul Minan
 
Digitalisasi Pengawasan Partisipatif
Digitalisasi Pengawasan PartisipatifDigitalisasi Pengawasan Partisipatif
Digitalisasi Pengawasan PartisipatifAhsanul Minan
 
Tantangan pemilu serentak 2024
Tantangan pemilu serentak 2024Tantangan pemilu serentak 2024
Tantangan pemilu serentak 2024Ahsanul Minan
 
Refleksi sistem penegakan hukum pemilu
Refleksi sistem penegakan hukum pemiluRefleksi sistem penegakan hukum pemilu
Refleksi sistem penegakan hukum pemiluAhsanul Minan
 
Tantangan Penerapan e-Voting di Indonesia
Tantangan Penerapan e-Voting di IndonesiaTantangan Penerapan e-Voting di Indonesia
Tantangan Penerapan e-Voting di IndonesiaAhsanul Minan
 
Dana kampanye pemilu serentak 2019
Dana kampanye pemilu serentak 2019Dana kampanye pemilu serentak 2019
Dana kampanye pemilu serentak 2019Ahsanul Minan
 
Keterbukaan Informasi Publik
Keterbukaan Informasi PublikKeterbukaan Informasi Publik
Keterbukaan Informasi PublikAhsanul Minan
 
Restatement pasal 71 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota
Restatement pasal 71 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, WalikotaRestatement pasal 71 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota
Restatement pasal 71 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, WalikotaAhsanul Minan
 
Potret politik perempuan.pdf
Potret politik perempuan.pdfPotret politik perempuan.pdf
Potret politik perempuan.pdfAhsanul Minan
 
Sosialisasi Pengawasan Partisipatif
Sosialisasi Pengawasan PartisipatifSosialisasi Pengawasan Partisipatif
Sosialisasi Pengawasan PartisipatifAhsanul Minan
 
Tantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemilu
Tantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemiluTantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemilu
Tantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemiluAhsanul Minan
 
Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019
Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019
Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019Ahsanul Minan
 
Science and Research
Science and Research Science and Research
Science and Research Ahsanul Minan
 
Hans Kelsen: Law & Moral
Hans Kelsen: Law & MoralHans Kelsen: Law & Moral
Hans Kelsen: Law & MoralAhsanul Minan
 
Sekolah kader pengawas pemilu
Sekolah kader pengawas pemiluSekolah kader pengawas pemilu
Sekolah kader pengawas pemiluAhsanul Minan
 
Kelembagaan pengawas pemilu di aceh
Kelembagaan pengawas pemilu di acehKelembagaan pengawas pemilu di aceh
Kelembagaan pengawas pemilu di acehAhsanul Minan
 
Penyitaan oleh bawaslu
Penyitaan oleh bawasluPenyitaan oleh bawaslu
Penyitaan oleh bawasluAhsanul Minan
 
Tantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesiaTantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesiaAhsanul Minan
 
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilihPerlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilihAhsanul Minan
 

Más de Ahsanul Minan (20)

Analisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptx
Analisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptxAnalisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptx
Analisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptx
 
Keterbukaan Informasi Pemilu
Keterbukaan Informasi PemiluKeterbukaan Informasi Pemilu
Keterbukaan Informasi Pemilu
 
Digitalisasi Pengawasan Partisipatif
Digitalisasi Pengawasan PartisipatifDigitalisasi Pengawasan Partisipatif
Digitalisasi Pengawasan Partisipatif
 
Tantangan pemilu serentak 2024
Tantangan pemilu serentak 2024Tantangan pemilu serentak 2024
Tantangan pemilu serentak 2024
 
Refleksi sistem penegakan hukum pemilu
Refleksi sistem penegakan hukum pemiluRefleksi sistem penegakan hukum pemilu
Refleksi sistem penegakan hukum pemilu
 
Tantangan Penerapan e-Voting di Indonesia
Tantangan Penerapan e-Voting di IndonesiaTantangan Penerapan e-Voting di Indonesia
Tantangan Penerapan e-Voting di Indonesia
 
Dana kampanye pemilu serentak 2019
Dana kampanye pemilu serentak 2019Dana kampanye pemilu serentak 2019
Dana kampanye pemilu serentak 2019
 
Keterbukaan Informasi Publik
Keterbukaan Informasi PublikKeterbukaan Informasi Publik
Keterbukaan Informasi Publik
 
Restatement pasal 71 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota
Restatement pasal 71 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, WalikotaRestatement pasal 71 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota
Restatement pasal 71 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota
 
Potret politik perempuan.pdf
Potret politik perempuan.pdfPotret politik perempuan.pdf
Potret politik perempuan.pdf
 
Sosialisasi Pengawasan Partisipatif
Sosialisasi Pengawasan PartisipatifSosialisasi Pengawasan Partisipatif
Sosialisasi Pengawasan Partisipatif
 
Tantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemilu
Tantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemiluTantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemilu
Tantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemilu
 
Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019
Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019
Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019
 
Science and Research
Science and Research Science and Research
Science and Research
 
Hans Kelsen: Law & Moral
Hans Kelsen: Law & MoralHans Kelsen: Law & Moral
Hans Kelsen: Law & Moral
 
Sekolah kader pengawas pemilu
Sekolah kader pengawas pemiluSekolah kader pengawas pemilu
Sekolah kader pengawas pemilu
 
Kelembagaan pengawas pemilu di aceh
Kelembagaan pengawas pemilu di acehKelembagaan pengawas pemilu di aceh
Kelembagaan pengawas pemilu di aceh
 
Penyitaan oleh bawaslu
Penyitaan oleh bawasluPenyitaan oleh bawaslu
Penyitaan oleh bawaslu
 
Tantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesiaTantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesia
 
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilihPerlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
 

Último

Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptxTata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptxBudyHermawan3
 
NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024
NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024
NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024ssuser8905b3
 
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptxPengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptxBudyHermawan3
 
OPERASI DAN PEMELIHARAAN SPAM DALAM PROGRAM PAMSIMAS.ppt
OPERASI DAN PEMELIHARAAN SPAM DALAM PROGRAM PAMSIMAS.pptOPERASI DAN PEMELIHARAAN SPAM DALAM PROGRAM PAMSIMAS.ppt
OPERASI DAN PEMELIHARAAN SPAM DALAM PROGRAM PAMSIMAS.pptRyanWinter25
 
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptxInovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptxBudyHermawan3
 
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptxPB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptxBudyHermawan3
 
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptxPB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptxBudyHermawan3
 
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptxmars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptxSusatyoTriwilopo
 
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptxMembangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptxBudyHermawan3
 
PENERAPAN IURAN DALAM PROGRAM PAMSIMAS 2023.pptx
PENERAPAN IURAN DALAM PROGRAM PAMSIMAS 2023.pptxPENERAPAN IURAN DALAM PROGRAM PAMSIMAS 2023.pptx
PENERAPAN IURAN DALAM PROGRAM PAMSIMAS 2023.pptxRyanWinter25
 
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptxAparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptxBudyHermawan3
 
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptxLAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptxBudyHermawan3
 
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke IntegrasiPenyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasiasaliaraudhatii
 
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptxKonsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptxBudyHermawan3
 

Último (14)

Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptxTata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
Tata Kelola Pengadaan barang dan Jasa di Desa pptx
 
NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024
NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024
NILAI TUKAR NELAYAN BANGGAI KEPULAUAN TAHUN 2024
 
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptxPengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
Pengantar dan Teknik Public Speaking.pptx
 
OPERASI DAN PEMELIHARAAN SPAM DALAM PROGRAM PAMSIMAS.ppt
OPERASI DAN PEMELIHARAAN SPAM DALAM PROGRAM PAMSIMAS.pptOPERASI DAN PEMELIHARAAN SPAM DALAM PROGRAM PAMSIMAS.ppt
OPERASI DAN PEMELIHARAAN SPAM DALAM PROGRAM PAMSIMAS.ppt
 
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptxInovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
Inovasi Pelayanan Publik Pemerintah .pptx
 
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptxPB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
PB.2 KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PEMDES.pptx
 
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptxPB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
PB.1 BINA SUASANA DAN ORIENTASI BELAJAR.pptx
 
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptxmars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
mars pkk yang selalu dinyanyikan saat kegiatan PKK.pptx
 
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptxMembangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
Membangun Budaya Ber-Integritas ASN.pptx
 
PENERAPAN IURAN DALAM PROGRAM PAMSIMAS 2023.pptx
PENERAPAN IURAN DALAM PROGRAM PAMSIMAS 2023.pptxPENERAPAN IURAN DALAM PROGRAM PAMSIMAS 2023.pptx
PENERAPAN IURAN DALAM PROGRAM PAMSIMAS 2023.pptx
 
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptxAparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
Aparatur Sipil Negara sebagai Perekat Bangsa.pptx
 
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptxLAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
LAPORAN KEPALA DESA. sebagai kewajiban pptx
 
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke IntegrasiPenyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
Penyesuaian AK Jabatan Fungsional Konvensional Ke Integrasi
 
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptxKonsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
Konsep Management RisikoRev Pak Budi.pptx
 

REVISI MD3

  • 1. 1 | P a g e MENYOAL REVISI UU MD31 Oleh: Ahsanul Minan, MH Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia PENDAHULUAN Pengesahan RUU tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 12 Februari 2018 yang lalu menuai kecaman dari berbagai pihak. Tidak hanya kalangan akademisi dan CSO yang menentangnya, bahkan Presiden dalam beberapa hari berikutnya menyatakan secara lisan akan mempertimbangkan untuk tidak menandatangani RUU tersebut2. PengesahanRUU MD3menjadi Undang-undangdihadiri Menteri Hukum danHAM Yasonna Laoly sebagai perwakilan pemerintah, dan 286 dari 560 anggota DPR. Rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga ikuti Ketua DPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan, dan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto. Seluruh fraksi kecuali Fraksi Partai Nasdem dan PPP mendukung pengesahan RUU tersebut. Sebelum disahkan, Ketua Badan Legislatif DPR Supratman Andi Agtas menyampaikan ada 13 subastasi materi yang terdapat dalam RUU MD3. 1. penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD, serta menambah wakil pimpinan MKD. 2. perumusan kewenangan DPR dalam membahas RUU yang berasal dari presiden dan DPR, maupun RUU yang diajukan DPD. 3. penambahan rumusan mengenai pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat negara atau masyarakat yang akan melibatkan kepolisian. 4. penambahan rumusan mengenai penggunaan hak interpletasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada pejabat negara. 5. menghidupkan kembali Badan Akuntabilitas Keuangan Negara. 6. penambahan rumusan kewenangan Badan Legislasi dalam penyusunan RUU serta pembuatan laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang hukum. 7. perumusan ulang terkait tugas dan fungsi MKD. 8. penambahan rumusan kewajiban mengenai laporan hasil pembahasan APBN dalam rapat pimpinan sebelum pengembilan keputusan pada pembicaraan tingkat I. 1 Disampaikan dalam acara Diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kamis, 21 Februari 2018 2 http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/02/20/p4fy3s409-presiden-kemungkinan-tidak- akan-tanda-tangani-uu-md3, diakses pada tanggal 21 Februari 2018
  • 2. 2 | P a g e 9. penambahan rumusan mekanisme pemanggilan WNI atau WNA yang secara paksa dalam hal tidak memenuhi panggilan panitia angket. 10. penguatan hak imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas. 11. penambahan rumusan wewenang dan tugas DPD dalam memantau dan mengvaluasi rancangan Perda dan Perda. 12. penambahan rumusan kemandirian DPD dalam penyusunan anggaran. Penambahan rumusan terkait pelaksanaa tugas Badan Keahlian Dewan. 13. penambahan rumusan jumlah dan mekanisme pemilihan pimpinan MPR, DPR, dan Alat Kelengkapan Dewan hasil pemilu tahun 2014 dan ketentuan mengenai mekanisme pimpinan MPR, DPR, serta Alat Kelengkapan Dewan (AKD) setelah pemilu tahun 2019 Pengesahan RUU ini sangat menarik untuk didiskusikan oleh kalangan ahli hukum, untuk menjadi bahan dalam menentukan sikap dan langkah yang perlu diambil sebagai bagian dari kontribusi dalam membangun system ketatanegaraan yang baik serta memperkuat pelembagaan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat penting, terutama mengingat bahwa kinerja parlemen di Indonesia saat ini dinilai oleh banyak kalangan semakin menurun. Parlemen acapkali gagal dalam menjalankan fungsi legislasi, tidak optimal dalam menjalankan fungsi pengawasan,lemah dalam menjalankan fungsibudgeting. Sementara pada saat yang sama, praktek korupsi di lembaga ini semakin meningkat. Untuk mendapatkan gambaran utuh dalam mencermati persoalan ini, ada baiknya dilakukan perbandingan antara UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, dengan materi perubahan/penambahan norma baru dalam RUU yang baru disahkan tersebut. Berbagai perubahan ini juga perlu dilacak landasan filosofi, sosiologi, dan landasan hukumnya melalui penelusuran terhadap dokumen naskah akademik RUU ini. Tentunya akan lebih lengkap jika pengkajian ini disertai dengan analisa atas rekaman perdebatan yang terjadi di gedung parlemen untuk mengetahui kehendak pembentuk undang-undang ketika merumuskan norma, namun keterbatasan waktu dan ketersediaan dokumendimaksud menjadi kendalayang cukupbesar,sehingga hal ini tidak dapat disajikan dalam tulisan singkat ini. Analisa atas perubahan norma dalam UU MD3 ini akan dilakukan dengan beberapa pendekatan yang ditekankan pada keterpenuhan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Asas yang akan diuji dalam hal ini mencakup asas dalam proses pembentukan, asas menyangkut materi muatan norma, dan bentuk (format) peraturan perundang-undangannya. Pendekatan ini sangat penting dilakukan, karena penerapan system negara hokum yang dimandatkan oleh konstitusi telah dijabarkan dalam UU tersebut dalam rangka menciptakan system hokum perundang- undangan yang baik. Analisis yang dijabarkan dalam tulisan singkat ini tidak akan mencakup ke 13 item perubahan tersebut, melainkan hanya akan difokuskan kepada beberapa isu yang menyita perhatian publik. Hal ini disebabkan tidak lain karena keterbatasan waktu yang dimiliki penulis.
  • 3. 3 | P a g e SISI POSITIF REVISI UU MD3 Di luar beberapa materi yang secara kontroversial diperdebatkan dan ditolak oleh beberapa kalangan masyarakat sipil, revisi UU MD3 yang disahkan oleh DPR pada dasarnya mengandung beberapa sisi positif. Setidaknya terdapat 2 bagian penting dalam revisi ini yang patut untuk diapresiasi, yakni: 1. Pembentukan Kembali BAKN RUU MD3 mengubah ketentuan pasal 83 ayat (1) dengan memasukkan kembali BadanAkuntabilitas KeuanganNegara(BAKN) sebagaibagian darialat kelengkapan DPR (AKD). Badanini bertugasuntuk membantu DPR dalam melakukan kajian atas hasil audit BPK dengan tujuan untuk membangun akuntabilitas keuangan Negara sekaligus menjadi bahan masukan dalam memberikan persetujuan atas usulan anggaran yang diajukan oleh Pemerintah. Badan semacam ini juga ada di beberapa Negara lain seperti Inggris dan Australia. BAKN dibentuk berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3, sebagai pengembangan dari Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara yang sebelumnya dibentuk berdasarkan Peraturan Sekretaris Jenderal DPR RI No.400/Sekjen/2005. Pembubaran BAKN melalui UU nomor 17 tahun 2014 disesalkan oleh banyak pihak, karenamenyebabkanmenumpuknya laporan hasil audit BPK tanpa dapat ditindaklanjuti secara layak oleh DPR3. Keputusanuntuk menghidupkan kembali BAKNmerupakan angin segar,karena keberadaan AKD ini sangat penting untuk menunjang kinerja DPR dalam mengawasi keuangan negara. Revisi UU MD3 terkait ketentuan pasal 83 ayat (1) yang memunculkan kembali BAKN ini juga diikuti dengan penambahan norma pengaturan tentang BAKN ini diatur lebih lanjut dalam Paragraf 5A dan disisipkan 7 (tujuh) pasal, yakni Pasal 112A, Pasal 112B, Pasal 112C, Pasal 112D, Pasal 112E, Pasal 112F, dan Pasal 112G. 2. Perluasan Tugas Badan Legislasi DPR Revisi UU MD3 juga mencakup ketentuan Pasal 105 dengan menambahkan 3 tugas baru kepada Baleg DPR. Penambahan tugas tersebut mencakup:  Pasal 105 ayat (1) huruf c: mengoordinasikan penyusunan naskah akademik dan rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, dan gabungan komisi;  Pasal 105 ayat (1) huruf d: menyiapkan dan menyusun rancangan undang-undang usul Badan Legislasi dan/atau Anggota Badan Legislasi berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan; dan 3 http://nasional.kompas.com/read/2014/09/01/18041011/DPR.Mengalami.Kemunduran
  • 4. 4 | P a g e  Pasal 105 ayat (1) huruf l: membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan setiap akhir tahun sidang untuk disampaikan kepada Pimpinan DPR Perubahan ini membawa nuansa positif setidaknya dalam 2 hal: a. Penambahan norma Pasal 105 ayat (1) huruf c diharapkan akan dapat memperbaiki proses penyusunan RUU oleh DPR, karena adanya pemberian tugas kepada Baleg untuk mengkoordinasikan penyusunan Naskah Akademik dan naskah RUU. Hal ini sangat penting, mengingat bahwa Naskah Akademik merupakan sebuah dokumen yang wajib disusun sebelum naskah RUU dibuat dan dibahas oleh DPR. NA merupakan sebuah dokumen yang berisi kajian akademik yang berisi kajian atas kondisi/permasalahan yang dihadapi dan perlu dijawab melalui pembuatan undang- undang. Kajian ini mencakup kajian filosofis, sosiologis, dan yuridis. Fakta selama ini menunjukkan bahwa DPR acapkali tidak membuat NA terlebih dahulu, atau jikapun membuat NA, maka proses pembuatannya hanya sekedarnya saja untuk memenuhi syarat formal. Akibatnya, banyak produk UU yang dihasilkan tidak memiliki basis argumentasi yang kuat sehingga banyak yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, atau norma dalam UU tersebut tidak dapat secara efektif dilaksanakan. Dengan mengkonsentrasikan tugas pengkoordinasian penyusunan NA dan RUU ini kepada Baleg, diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas kinerja legislasi DPR secara kelembagaan yang saat ini compang-camping. b. Penambahan tugas Baleg untuk membuat laporan kinerja tahunan juga diyakini akan dampat meningkatkan kinerja dan akuntabilitas Baleg. Dibandingkan dengan ketentuan dalam UU Nomor 17/2014, laporan kinerja Baleg hanya disusun pada saat berakhirnya masa kerja mereka (lima tahunan). SISI NEGATIF REVISI UU MD3 Di samping sisi positif dari revisi UU MD3 yang baru saja disahkan oleh DPR, sayangnya terdapat cukup banyak sisi negatif yang akhirnya memicu banyak penentangan di kalangan masyarakat. Adapun muatan materi norma pengaturan dalam revisi UU MD3 yang mengandung sisi negative tersebut antara lain: 1. Perubahan atas Pasal 73 tentang Pemanggilan Paksa: Perubahan yang dilakukan atas Pasal 73 UU Nomor 17/2014 dapat diuraikan sebagai berikut: UU 17/2014 RUU MD3 ARGUMENTASI DALAM NA
  • 5. 5 | P a g e Pasal 73 (1) DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR. (2) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan. (4) Dalam hal badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. (5) Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 30 (tiga puluh) Hari sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Nomor 3. Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: (1) DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR. (2) Setiap orang wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. (4) Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat setiap orang yang dipanggil paksa; b. Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a; dan c. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisili setiap orang yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 (tiga puluh) Hari. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perubahan atas Pasal 73 tidak dicakup dalam Naskah Akademik Dari gambaran tersebut di atas terlihat bahwa perubahan norma yang dilakukan olehDPR bersamapemerintah padadasarnyalebih luas dari yang selama ini diberitakan. Ruang lingkup perubahan tersebut dapat dijelaskan menyangkut beberapa hal berikut: a. Ruang lingkup obyek pemanggilan. Dalam pasal 73 ayat (1) dan (2) UU Nomor 17/2014, obyek hokum pemanggilan dipilah menjadi 4 kategori, yakni pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hokum, dan warga masyarakat. Namun dalam revisi pasal 73 ayat (1) dan (2), kategori ini dihapuskan, dan selanjutnya diganti
  • 6. 6 | P a g e menjadi setiap orang. Dalam naskah akademik, perubahan ini tidak dicantumkan, sehingga tidak dapat dilacak secara pasti alasan dan argumentasi hukumnya. Perubahan ruang lingkup obyek pemanggilan ini berpotensi menimbulkan masalah, karenapada dasarnyapihakyang diperlukan keterangannyaolehDPR melalui proses pemanggilan pada dasarnya bisa disebabkan karena pemahaman idividualnya atas suatu peristiwa tertentu, atau karena kapasitas jabatannya. Dalam hal ketegori ke 2 ini, maka pemanggilan tentunya bukan dialamatkan kepada person/individutertentu melainkan kepada pejabat tertentu, sehingga apabila pejabat yang bersangkutan berhalangan hadir, maka dapat diwakilkan kepada pejabat yang memiliki tugas jabatan yang sama. Perubahan norma Pasal 73 ayat (1) & (2) ini berdampak pada personalisasi jabatan, dan menutup ruang bagi kemungkinan diwakilkannya kehadiran obyek (terpanggil) kepada pejabat lain yang berkompeten. Kita dapat bayangkan, sebagai konsekwensi dari norma Pasal ini, bahwa bisa jadi Presiden atau Menteri atau Pejabat tinggi lainnya akan kesulitan ketika berhadapan dengan DPR, karena mereka harus hadir sendiri, tanpa diwakilkan. Model pengaturan ini tidak lazim diterapkan bagi pejabat (individu yang memiliki kompetensi karena jabatannya) dalam praktek ketatanegaraan. Di sisi lain, tidak dibukanya ruang bagi pejabat terpanggil untuk menunjuk wakil (pengganti) untuk meberikan keterangan dapat dinilai sebagai kealpaan dan ketidakcermatan DPR dalam merumuskan norma perundang-undangan. b. Penghapusan ketentuan tentang kategorisasi mekanisme tindak lanjut atas ketidakhadiran pihak terpanggil. Dalam pasal 73 ayat (3) dan (4) UU Nomor 17/2014 diatur perbedaan treatment atas pihak terpanggil yang tidak hadir 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas. Perbedaan tersebut adalah; dalam hal terpanggil adalah pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah, maka DPR akan menempuh jalan pengajuan hak interpelasi, hak angket, hak mengajukan pendapat atau hak mengajukan pertanyaan. Sedangkan dalam hal terpanggil adalah perseorangan atau Badan Hukum, maka akan dilakukan pemanggilan paksa. Dalam perubahan atas pasal 73 yang dimuat dalam RUU MD3, sebagai dampak atas penghapusan kategorisasi pihak terpanggil sebagaimana dimuat dalam ayat (1), maka tidak ada lagi perbedaan treatment tindaklanjut atas ketidakhadiran terpanggil. Sebagai konsekwensinya, norma ayat (3) dalam RUU mengatur bahwa DPR berhak melakukan pemanggilan paksa, yang selanjutnya dalam ayat (4) diatur bahwa pemanggilan paksa dapat dilakukan dengan bantuan kepolisian. Pengaturan norma dalam Pasal 73 ayat (3) RUU MD3 ini menimbulkan dampak berupa kriminalisasi terhadap pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah sebagai konsekwensi atas personalisasi jabatan, dan menafikan mekanisme ketatanegaraan
  • 7. 7 | P a g e yang selama ini telah diatur mengenai penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak mengajukan pendapat. c. Pengaturan tentang mekanisme pemanggilan paksa. Dalam UU Nomor 17/2014, mekanisme pemanggilan paksa hanya diatur secara umum, dan tidak memuat mekanisme kerjanya. Hal ini diperbaiki dalam perubahan Pasal 73 ayat (4), (5) & (6). Perubahan(penambahan)normainipadadasarnyamerupakanlangkah maju, karena dapat memberikan kepastian hokum tentang bagaimana prosedur pemanggilan paksa akan dilakukan. Namun demikian, pengaturan tentang mekanisme pemanggilan paksa ini mengandung setidaknya 2 permasalahan mendasar: Obyek pemanggilan paksa yang berlaku secara umum (setiap orang) tanpa membedakan kategori terpanggil pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah, akan berpotensi memposisikan pihak kepolisian dalam posisi yang sulit jika pihak terpanggilnya adalah Presiden, Panglima TNI, Kapolri, atau pejabat lain yang berpengaruh. Kita dapat bayangkan bagaimana polisi akan dapat menjalankan perintah DPR untuk memanggil paksa Presiden atau Kapolri. Mekanisme pemanggilan paksa lazimnya diterapkan dalam kasus pidana, dengan syarat telah ada dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pihak yang akan dipanggil. Dalam RUU MD3 ini, ketidakhadiran pihak terpanggil tidak dikategorikan sebagai pelanggaran pidana. Hal ini akan berpotensi menjadi bahan perdebatan yang panjang di kalangan ahli hokum. 2. Perubahan Jumlah Pimpinan MPR dan DPR RUU MD 3 mengatur perubahan norma yang diatur dalam pasal 15 ayat (1) UU nomor 17/2014 sebagai berikut: UU 17/2014 RUU MD3 ARGUMENTASI DALAM NA Pasal 15 (1) Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR. Pasal 15 (1) Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 7 (tujuh) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR. (2) Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap. (3) Bakal calon pimpinan MPR berasal dari fraksi dan/atau kelompok anggota disampaikan di dalam sidang paripurna. (4) Tiap fraksi dan kelompok anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 5 (lima) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.
  • 8. 8 | P a g e mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan MPR. (5) Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna MPR. (6) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan MPR dipilihdengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan MPR dalam rapat paripurna MPR. (7) Selama pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang MPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan MPR dipimpin oleh pimpinan sementara MPR. (8) Pimpinan sementara MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota MPR yang tertua dan termuda dari fraksi dan/atau kelompok anggota yang berbeda. (9) Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan MPR. (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib. Pasal 84 (1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. Pasal 84 (1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 5 (lima) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. Perubahanatasnormapasal 15 ayat (1) dan Pasal84 denganmenambah jumlah pimpinan MPR menjadi 8 orang dan Pimpinan DPR menjadi 6 orang ini berpotensi menimbulkan terkait dengan mekanisme pengambilan keputusan di tingkat pimpinan MPR & DPR. Denganjumlah genappimpinan MPR danDPR ini, maka prosespengambilan keputusan di tingkat pimpinan MPR dan DPR akan berpotensi mengalami deadlock jika dilakukan melalui mekanisme voting. Hal ini penting untuk dicermati, karena mekanisme pengambilan keputusan yang diintrodusir dalam UU MD3 diatur dapat melalui mekanisme musyawarah mufakat dan voting. Dalam hal ini, proses perumusan norma pasal 15 ayat (1) dalam RUU MD3 ini dapat dinilai dilakukan secaratidak cermat, tidak hati-hati, dan melanggarasaskepastian hukum. 3. Perluasan Tugas MKD RUU MD3 yang baru saja disahkan oleh DPR pada 12 Februari yang lalu menambahkan 1 pasal 121A yang berbunyi: Mahkamah Kehormatan Dewan melaksanakan fungsi:
  • 9. 9 | P a g e a. pencegahan dan pengawasan; dan b. penindakan. Di samping itu, DPR juga mengubah ketentuan dalam Pasal 122 dengan menambahkan ketentuan sebagian berikut: Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121A, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas: a. melakukan pencegahan terjadinya pelanggaran Kode Etik; b. melakukan pengawasan terhadapucapan,sikap, perilaku, dan tindakan anggotaDPR; b. melakukan pengawasan terhadap ucapan, sikap, perilaku, dan tindakan sistem pendukung DPR yang berkaitan dengan tugas dan wewenang anggota DPR; c. melakukan pemantapan nilai dan norma yang terkandung dalam Pancasila, peraturan perundang-undangan, dan Kode Etik; d. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik; e. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan sistem pendukung DPR; f. memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik; g. memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang berkaitan dengan Pelanggaran Kode Etik sistem pendukung DPR, terkecuali sistem pendukung Pegawai Negeri Sipil; h. menyelenggarakan administrasi perkara pelanggaran Kode Etik; i. melakukan peninjauan kembali terhadap putusan perkara pelanggaran Kode Etik; j. mengevaluasi pelaksanaan putusan perkara pelanggaran Kode Etik; k. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR; l. mengajukan rancangan peraturan DPR mengenai kode etik dan tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan kepada Pimpinan DPR dan Pimpinan DPR selanjutnya menugaskan kepada alat kelengkapan DPR yang bertugas menyusun peraturan DPR; dan m. menyusun rencana kerja dan anggaran setiap tahun sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada badan/panitia yang menyelenggarakan urusan rumah tangga DPR. Secara umum, penambahan Pasal 121A dan perubahan atas Pasal 122 bersifat positif karena mengatur secara lebih luas dan detail atas tugas MKD. Namun demikian, norma Pasal 122 ayat (1) huruf k, dinilai oleh banyak kalangan sebagai ketentuan yang berlebihan dan bersifat ofensif dari DPR untuk mencegah munculnya kritik dari pihak luar terhadap DPR. Pencantuman norma Pasal 122 ayat (1) huruf k tampaknya dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 119 ayat (2) yang berbunyi: Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Norma
  • 10. 10 | P a g e tersebut menunjukkan bahwa fungsi MKD dalam menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat tidak hanya akan dilakukan secara pasif, yakni menegakkan kode etik bagi anggota DPR, tetapi juga dimaknai secaraaktif dengancara mengambil langkah hukum dan/ataulangkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Namun demikian, perubahan norma tersebut mengandung masalah: a. DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, pada dasarnya bukan lembaga yang superbody, karena keberadaan lembaga ini adalah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, sehingga lembaga ini harus tunduk kepada rakyat melalui penerapan system akuntabilitas yang baik. Dengan mencantumkan norma huruf k ini, DPR justru terkesan menutup diri dari pengawasan oleh masyarakat. b. Perubahan pendekatan pasif menjadi aktif, dengan cara memberi kewenangan kepada MKD untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR, bersifat sumir. Setidaknya ada 2 hal yang menyebabkannya: 1) Norma ini tidak disertai dengan penjelasan tentang bentuk langkah hokum dan/ataulangkah lain, sehinggaberpeluanguntuk memberikan ruangyang tidak terbatas bagi MKD. 2) karena tidak disertai dengan penjelasan teknis mengenai kata “merendahkan”. Hal ini akan berpotensi menjadikan norma ini sebagia norma karet, yang dapat dipergunakan semaunya oleh DPR untuk menghukum pihak-pihak yang mengkritisi DPR. 3) Jika DPR hendak mencegah terjadinya penghinaan (kritik yang tidak proporsional), maka sebenarnya telah tersedia mekanisme sebagaimana diatur dalam KUHP. 4. Wewenang DPD dalam Evaluasi Raperda dan Perda Salah satu poin penting dalam UU MD3 yang baru adalah kewenangan DPD dalam mengevaluasi peraturan daerah. Ketentuan ini dinilai bakal bertabrakan dengan UU Pemda yang sebelumnya memberikan kewenangan tersebut ke jajaran eksekutif. Dalam UU MD3 pasal249ayat 1 hurufJ disebutkan bahwaDPDberwenangdanbertugas melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah (raperdda) dan peraturan daerah (perda). Dalam ilmu perundang-udangan, memang dikenal teori tentang judicial preview, yakni proses pengkajian atas peraturan perundang-undangan yang dilakukan pada saat peraturan tersebut belum ditetapkan. Hal ini berbeda dengan judicial review yang dilakukan pada saat peraturan perundang-undangan telah ditetapkan. Sehingga secara teoritik, pemberian kewenangan untuk melakukan judicial preview ini pada dasarnya sah semata.
  • 11. 11 | P a g e Namun, yang menjadi permasalahan adalah, bahwa kewenangan untuk melakukan judicial preview ini telah diatur dalam UU Pemda dimana kewenangan ini diberikan kepada Pemerintah melalui Kemendagri. Hal ini sesuai dengan konsep ketatangeraan yang dianut dalam UU Pemda yang memposisikan pemerintah daerah sebagai bagian dari pemerintah pusat. Pemberian kewenangan untuk melakukan judicial preview kepada DPD akan membuka peluang terjadinya tumpeng tindih kewenangan dalam melakukan judicial preview yang pada akhirnya dapat memicu munculnya ketidakpastian hokum, misalnya jika hasil judicial preview yang dilakukan oleh Pemerintah berbeda dengan yang dihasilkan oleh DPD. Lalu mana yang dapat menjadi pegangan? KESIMPULAN Berdasarkan atas kajian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa revisi UU MD3 tidak sepenuhnya mengandung muatan yang jelek sehingga harus ditolak seluruhnya, karena terdapat beberapa norma yang baik misalnya terkait dengan pengembalian kelembagaan BAKN. Dalam konteks demikian, mengacu kepada asas hukum, “maa laa yudroku kulluh, laa yutroku kulluh”, maka RUU MD3 ini tidak perlu ditolak secara keseluruhan, melainkan ditolak secara selektif. Upaya hukum yang dapat ditempuh jika RUU ini telah secara resmi diundangkan adalah dengan cara mengajukan constitutional review di MK.