Ulkus dekubitus regio calcaneus sinistra Wagner III pada pasien laki-laki berusia 60 tahun dengan diabetes mellitus tipe II. Pasien mengalami luka terbuka di kaki kiri belakang sejak Januari yang semakin memburuk. Pemeriksaan fisik menunjukkan ulkus dengan pus dan gangguan sirkulasi darah pada ekstremitas bawah. Hasil laboratorium menunjukkan komplikasi diabetes dan infeksi. Pasien diberi perawatan luka, antibiot
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
ULKUS DEKUBITUS
1. Presentasi Kasus Bedah Plastik
SEORANG LAKI-LAKI BERUSIA 60 TAHUN DENGAN ULKUS
DECUBITUS REGIO CALCANEUS SINISTRA WAGNER III
Oleh:
Aisyah Retno Puspawardani G992003010
Periode 23 – 27 November 2020
Pembimbing:
dr. Amru Sungkar,Sp.B, Sp.BP-RE(K)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2020
2. BAB I
STATUS PASIEN
I. Anamnesa
A. Identitas pasien
Nama : Tn. S
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sragen, Jawa Tengah
No RM : 0151xxxx
MRS : 16 November 2020
Tanggal Periksa : 23 November 2020
B. Keluhan Utama
Luka terbuka di telapak kaki kiri belakang
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan utama luka terbuka di kaki kiri. .Luka
dikeluhkan sejak bulan Januari. Luka berawal dari tertusuk duri kemudian
luka berubah menjadi bengkak serta melepuh semakin parah sehingga
terbuka sampai ke tulang. Pasien merasa kebas pada daerah luka namun
terasa nyeri pada tulang. Pada bulan Januari pasien sempat dirujuk ke
RSUD Ngipang dari RS Assalam Gemolong, dilakukan operasi serta
perawatan luka terbuka pada pasien sampai bulan September. Kemudian
bulan Oktober pasien dirujuk ke RSUD Moewardi dan melakukan kontrol
rutin ke poli bedah plastik. Luka semakin bertambah lebar dan pasien
tidak dapat jalan dengan kaki kiri (jalan diseret). Pasien mengalami
keterbatasan gerak sehari-hari sehingga pasien lebih sering tiduran. Luka
tidak disertai dengan keluhan demam(-), mual (-), dan muntah (-). Pasien
memiliki riwayat penyakit gula sejak tahun 2013 dan rutin konsumsi obat
gula sejak 2 tahun terakhir. Tidak didapatkan keluhan lain dari pasien.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
3. Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat mondok : Pada bulan Januari, Agustus,
September, Oktober
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat sakit jantung bawaan : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
MRSA : (+) bulan Oktober 2020
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat sakit jantung bawaan : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : ibu pasien diakui mempunyai DM
F. Riwayat Kebiasaan
Makan : pasien makan 3x sehari dengan nasi, lauk,
dan sayur dengan porsi sedang. Dahulu pasien
mempunyai kebiasaan sering mengkonsumsi
teh manis pada pagi hari
Riwayat merokok : merokok sejak SD, namun berhenti total
bulan Januari 2020
Riwayat minum alcohol : disangkal
G. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Pasien menggunakan BPJS PBI
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
Keadaan Umum : Sakit sedang
Derajat Kesadaran : GCS E4V5M6
Derajat Gizi : gizi normal
B. Vital Sign
TD : 106/57 mmHg
4. Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,5 ℃
Sp O2 : 99%
Status Generalis
1. Kepala : mesocephal
2. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+)
3. Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
4. Hidung : deformitas (-), deviasi septum (-), krepitasi (-), discharge (-
)
5. Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), gusi berdarah (-)
6. Thorak : SDE, luka bakar (+) lihat status lokalis
7. Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan =kiri, RR:20x/menit
Palpasi : Krepitasi (-/-),
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (normal/normal), ST (-/-)
8. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,bising
(-)
9. Abdomen
Inspeksi : Distended (-), jejas (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
10. Ekstremitas :
8. F. Assesment II
-Ulkus Dekubitus Regio Calcaneus Sinistra Wagner III
-Diabetes Mellitus Tipe II terkontrol
-Anemia hipokromik normositik
-Eosinofilia relatif
-Azotemia
-Hiperkalemi
-Hiponatremia
-Hipokalsemia
G. Plan II
-Pemeriksaan laboratorium hematologi rutin, ureum & kreatinin, elektrolit
-Infus RL 20 tpm/24 jam
-O2 3 lpm
-Injeksi Ampicilin 1 gram/8 jam
-Injeksi Metamizol 1 gram/8 jam
-Injeksi Ranitidin 50 mg /12 jam
-Insulin 10 unit IV
-Rawat luka
-Monitor vital sign, asupan gizi, suplemen penambah darah, dan urine output
-Pro OP Penutupan dg Flap
9. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Ulkus Dekubitus
A. Definisi
Ulkus dekubitus adalah cedera yang merusak kulit dan jaringan
di bawahnya saat area kulit terkena tekanan konstan selama periode
waktu tertentu yang menyebabkan iskemia jaringan, penghentian
nutrisi dan pasokan oksigen ke jaringan dan akhirnya terjadi nekrosis
jaringan. Tekanan yang konstan mengakibatkan distorsi atau
deformasi merupakan deskripsi yang paling akurat dari ulkus
dekubitus (Bhattacharya dan Mishra, 2015). Ulkus dekubitus
terbentuk karena kerusakan jaringan lunak sebagai akibat kompresi
antara penonjolan tulang dan permukaan eksternal. Kelembaban yang
berasal dari eksudat luka atau urin atau inkontinensia feses, makin
memperburuk kerusakan pada jaringan (Alexiadou dan Doupis,
2012).
Mobilitas sendi yang terbatas pada pergelangan kaki juga
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya ulkus pada pasien
diabetes dan neuropati. Mobilitas sendi yang terbatas di pergelangan
kaki berkontribusi pada perkembangan kerusakan jaringan dengan
menghasilkan tekanan abnormal di tempat yang rentan (Shahwan,
2015). Ulkus dekubitus adalah salah satu kondisi paling akut pasien
diabetes: yaitu cedera pada kaki diabetik. Komplikasi diabetes pada
akhirnya memengaruhi setiap bagian tubuh, tetapi sering kali terjadi
pada kaki. Diabetes dapat mengganggu sirkulasi darah dan
penyembuhan luka dengan cara mempersempit pembuluh darah arteri
yang membawa darah ke kaki, yang menyebabkan neuropati perifer,
penyebab utama stress mekanis (European Pressure Ulcer Advocacy
Panel dan European Wound Management Association, 2017).
10. B. Etiologi
Ulkus dekubitus disebabkan oleh tekanan yang tidak mereda,
dengan kekuatan tekanan besar dalam periode waktu singkat atau
dengan tekanan yang kecil namun dalam periode lebih lama, yang
mengganggu suplai darah ke kapiler jaringan, menghambat aliran darah
dan menurunkan suplai oksigen dan nutrisi. Tekanan eksternal yang
dapat menyebabkan ulkus adalah tekanan yang harus melebihi tekanan
kapiler (American Academy of Family Physicians, 2008). Tekanan
kapiler individu sehat adalah 25 mmHg, dan kompresi eksternal dengan
tekanan 30 mmHg akan mengoklusi pembuluh darah sehingga jaringan
menjadi anoksia dan mengalami nekrosis iskemia (Kennedy et al.,
2010).
Penilaian risiko dimulai dengan mengidentifikasi faktor risiko dan
memeriksa kulit. Faktor risiko untuk ulkus decubitus diklasifikasikan
sebagai intrinsik atau ekstrinsik (American Academy of Family
Physicians, 2008).
Tabel 1. Faktor Risiko Ulkus Dekubitus
11. C. Klasifikasi
Beberapa skala klasifikasi ulkus dekubitus telah digunakan,
tetapi sistem staging berdasarkan NPUAP telah banyak digunakan.
Sistem staging pertama NPUAP dibuat pada tahun 1989 dan direvisi
terakhir pada tahun 2016 dan telah dipakai secara luas. Sistem terbaru
menggunakan 6 klasifikasi. Klasifikasi ulkus dekubitus dapat dilakukan
setelah membersihkan dasar luka untuk memastikan visualisasi
anatomis yang optimal, jika dikaburkan oleh slough atau eschar maka
dikategorikan sebagai “unstageable”
Tabel 2. Klasifikasi Ulkus Dekubitus berdasarkan NPUAP
(Marvish dan Phillips, 2019).
Ulkus dekubitus derajat I menurut staging dari NPUAP pada
tahap ini kulit masih dalam keadaan utuh namun disertai daerah yang
eritematous. Daerah yang eritematous ini berbatas tegas dapat disertai
rasa hangat atau dingin dibandingkan dengan keadaan disekitarnya.
Derajat II dimana adanya hilang dari sebagian ketebalan kulit bagian
dermis, menggambarkan suatu ulkus dekubitus yang mulai terbuka
dengan dasar yang dangkal dan pinggiran luka dapat berwarna merah
atau merah muda. Keadaan lain dapat disertai dengan abrasi dan lecet.
Hilangnya seluruh ketebalan kulit merupakan ciri khas pada derajat III
dimana terjadi hilangnya keseluruhan jaringan subkutan atau nekrotik
yang mungkin akan melebar ke bawah tapi tidak melewati fascia di
bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam
12. (undermining atau tunneling) dengan atau tanpa merusak jaringan
sekitarnya. Pada ulkus dekubitus derajat IV terjadi hilangnya
keseluruhan kulit dan jaringan. Hilangnya seluruh ketebalan kulit
disertai destruksi ekstensif, nekrosis jaringan atau kerusakan otot,
tulang, atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan epidermis,
dermis, subkutan, otot dan kapsul sendi. Pada derajat IV tulang atau
tendon dapat terlihat atau langsung teraba. Pada klasifikasi unstageable
ditemukan hilangnya seluruh jaringan yang mana dasar ulkus ditutupi
oleh slough (kuning, coklat, abu-abu, hijau) dan eschar/jaringan
nekrotik (coklat atau hitam) di sekitar luka. Klasifikasi deep tissue injury
daerah sekitar luka dapat ditemukan adanya perubahan warna berupa
ungu atau merah marun dari kulit yang utuh dikarenakan adanya
kerusakan jaringan lunak yang dibawahnya akibat tekanan (Marvish dan
Phillips, 2019).
Gambar 1. Ilustrasi Klasifikasi pada Ulkus Dekubitus (Boyko
et al., 2016)
13. Tabel 3. Klasifikasi Wagner (Jain, 2012)
D. Patofisiologi
Ulkus dekubitus terjadi karena ketidakmampuan untuk
merasakan (misalnya neuropati) atau meredakan (contohnya
kelemahan) tekanan yang berkepanjnagan pada kulit. Atrofi kulit dan
hilangnya massa otot, kondisi umum pasien yang lemah berkontribusi
lebih lanjut pada kerentanan untuk pembentukan ulkus dekubitus
(Singer et al., 2017).
Ulkus dekubitus dapat berkembang bila tekanan dalam jumlah
besar diterapkan ke are akulit dalam waktu singkat atau dengan tekanan
kecil namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Distorsi jaringan
terjadi karena jaringan lunak dikompresi dan atau teregang diantara
tulang dan penyangganya, seperti tempat tidur atau kursi saat orang
tersebut sedang duduk atau berbaring, atau karena ada sesuatu menekan
ke dalam tubuh, seperti sepatu, prostesis, alat bedah atau pakaian elastis.
Pembuluh darah yang ada dalam jaringan yang dikompresi menjadi
terdistorsi, bersudut atau meregang keluar dari bentuk biasnaya dan
darah tidak mampu melewati jaringan, akibatnya jaringan yang disuplai
oleh pembuluh darah tersebut akan menjadi iskemik. Selain menyumbat
aliran darah, distorsi jaringan juga menghalangi aliran limfatik, yang
menyebabkan penumpukan sisa metabolisme produk protein dan enzim
14. di jaringan yang terkena sehingga dapat memperparah kerusakan
jaringan (Bhattacharya dan Mishra, 2015).
Mayoritas orang yang mengalami ulkus dekubitus adalah mereka
yang memiliki kondisi kesehatan (mental atau fisik) yang mendorong
imobilitas, terutama mereka yang terkurung di tempat tidur atau kursi
untuk waktu yang lama. Beberapa kondisi kesehatan lain yang
mempengaruhi suplai darah dan perfusi kapiler, seperti diabetes tipe-2
dapat menyebabkan kerentanan terhadap ulkus dekubitus (Bhattacharya
dan Mishra, 2015). Sebagian besar kasus dilaporkan mayoritas terjadi
pada area dimana kulit menutupi tulang seperti sakral, ischia dan
trokanterik dan pada daerah ekstremitas yang lebih rendah banyak
terbentuk pada malleolar, tumit, patela dan lokasi pretibial
Gambar 2. Area tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus
(Mervis dan Phillips, 2019)
Tekanan
Karena jaringan hidup tidak statis, cara mereka terdistorsi berubah
seiring waktu. Ketika tekanan konstan dipertahankan, jaringan lunak
beradaptasi dengan membentuk mengikuti bentuk luar yang menekan.
Hal ini dikenal sebagai “tissue creep”, hal ini ditujukan untuk
mengurangi tekanan eksternal tetapi dapat menyebabkan distorsi
15. internal jaringan lunak masif dan berkurangnya suplai vaskular karena
adanya “kinking” pada vaskular. Jika iskemia berlangsung selama 1 –
2 jam, terjadi nekrosis dan ulkus dekubitus dapat terjadi dalam 1 – 2
jam. Karena berkepanjangan dan tekanan konstan, kemungkinan atrofi
pada kulit dan membuat kulit lebih rentan terhadap kompresi kecil
(Bhattacharya dan Mishra, 2015).
Regangan
Regangan menghalangi aliran lebih mudah daripada kompresi. Area
tubuh khususnya yang rentan terhadap regangan yaitu tuberositas
ischiadica, tumit, tulang belikat, dan siku. Area – area ini adalah area
dimana tubuh seirng ditopang ketika dalam posisi seperti duduk atau
berbaring setengah telentang) yang memungkinkan regangan ke depan.
Ulkus dekubitus yang disebabkan oleh regangan memiliki klinis luka
yang tidak rata (Bhattacharya dan Mishra, 2015).
Gesekan
Gesekan bersama dengan tekanan dan regangan juga dapat menjadi
penyebab ulkus dekubitus. Gesekan bisa menyebabkan ulkus dekubitus
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan diperlukannya
gaya geser.
Imobilitas
Imobilitas bukanlah penyebab utama dari ulkus dekubitus tetapi dengan
adanya faktor tambahan dapat berkembang menjadi ulkus. Pasien
dengan imobilitas tetapi sensibiltasnya masih utuh jarang
mengembangkan ulkus dekubitus namun ketika sensasinya hilang
pasien sangat berisiko untuk terjadinya ulkus dikarenakan mereka tidak
dapat berkomunikasi tentang rasa sakit dari ambang batas tekanan yang
meningkat.
Kegagalan siklus hiperemia reaktif
16. Telah diketahui bahwa distorsi jaringan menyebabkan iskemia, iskemia
kan merangsang suatu proses protektif untuk meringankan tekanan dan
aktivitas pembuluh darah normal mengalir di daerah yang terkena.
Proses protektif tersebut sering kali terjadi secara tidak sadar. Namun,
jika tindakan ini terbukti tidak cukup untuk menangani iskemia, sistem
saraf pusat akan terangsang oleh sinyal ketidaknyamanan dan rasa sakit
yang konstan untuk memastikan bahwa tekanan sebelum terjadi
kerusakan permanen. Setelah tekanan berkurang, dan sirkulasi pulih,
kapiler lokal mulai berdilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah
disebut sebagai hiperemia reaktif. Hal ini sering ditunjukkan dengan
adanya warna merah muda cerah dan bercak di kulit, hal ini seirng
disebut blanching eritema karena memucat pada tekanan tidak seperti
eritema non blanching dimana tidak terjadinya pucat saat ditekan yang
menandakan adanya kerusakan jaringan.
Hiperemia reaktif memastikan pemulihan keseimbangan oksigen dan
karbon dioksida secara cepat. Eritema mereda segera setelah jaringan
kembali baik. Pasien yang gagal menghasilkan hiperemia reaktif tidak
dapat pulih dari episode iskemik, hal ini menyebabkan kerusakan
permanen pada jaringan.
Ketika proses hiperemia reaktif berhenti berfungsi secara adekuat,
ulkus dekubitus hampir pasti akan terjadi, ada 3 faktor predisposisi
ulkus dekubitus, yaitu : keterbatasan gerak, kegagalan hiperemia
reaktif, dan kehilangan sensasi. Pasien diabetes dengan neuropati kaki
cenderung memiliki kelainan fungsi peredaran darah. Lain hal dengan
pasien lumpuh akibat cedera tulang belakang adnaya kehilangan sensasi
dan kemampuan untuk memindahkan area yang terkena.
17. Gambar 3. Etiologi ulkus dekubitus (Bhattacharya dan Mishra,
2015).
Gambar 4. Patofisiologi ulkus dekubitus (Anders et al., 2010).
18. E. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ulkus dekubitus ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.2 Penilaian untuk menegakkan diagnosis ulkus
dekubitus melibatkan evaluasi medis yang komplit. Anamnesis yang
komprehensif termasuk onset dan durasi ulkus, perawatan luka
sebelumnya, faktor risiko, dan daftar masalah kesehatan dan
pengobatan.
Berdasarkan klasifikasi NPUAP, ulkus dekubitus derajat I adalah
apabila dijumpai kulit yang utuh, berwarna merah pucat yang
terlokalisir pada daerah penonjolan tulang. Pada ulkus dekubitus derajat
II dijumpai hilangnya ketebalan sebagian epidermis, dermis, atau
keduanya. Dapat juga dilihat adanya lepuh berisi serum. Pada ulkus
dekubitus derajat III terjadi hilangnya ketebalan seluruh kulit atau
nekrosis jaringan subkutis. Lemak subkutis dapat terlihat, namun tulang,
tendon, atau otot tidak terlihat. Pada ulkus dekubitus derajat IV terjadi
hilangnya seluruh ketebalan kulit dengan nekrosis yang luas atau
kerusakan pada otot, tulang, atau jaringan pendukung lainnya (misalnya
fasia, tendon, atau kapsul sendi). Semua pasien ulkus dekubitus harus
menjalani pemeriksaan fisik yang menyeluruh untuk mengidentifikasi
keterlibatan penyakit sistemik yang berperan dalam terjadinya ulkus
dekubitus, seperti anemia, penyakit jantung atau pernafasan kronis dan
kelainan neurologis (NPUAP, 2014).
F. Tatalaksana
Ada sejumlah pedoman untuk pengelolaan ulkus pada
ekstremitas bawah. Prinsip – prinsip umum manajemen ulkus pada
ekstremitas yaitu debridemen luka, pengendalian infeksi, penerapan
balutan, off-loading tekanan lokal dan pengobatan kondisi yang
mendasari seperti diabetes mellitus dan penyakit arteri perifer.
Perubahan gaya hidup (misalnya, berhenti merokok dan modifikasi pola
makan) juga harus dilakukan untuk membantu mengelola penyakit yang
mendasari (Singer et al., 2017).
19. 1. Debridemen Luka
Debridemen yang melibatkan pengangkatan jaringan yang
rusak, untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi bakteri.
Debridemen dapat dilakukan dengan menggunakan pilihan sharp
debridement (dengan penggunaan scalpel, gunting tajam atau
keduanya) sampai terlihat jaringan yang berdarah, tehnik ini
mengangkat fibroblast tua pada dasar luka dan keratinosit yang
abnormal di tepi luka, metode ini merupakan metode paling cepat.
Debridemen dengan menggunakan balutan autolitik (seperti alginat,
hidrokoloid, dan hidrogel) dan agen enzimatik (seperti collagenase)
juga dapat dipertimbangkan, meskipun opsi ini lebih lambat
daripada debridement dengan pembedahan, metode ini tidak terlalu
menyakitkan dan traumatis (Singer et al., 2017).
2. Pengendalian infeksi
Jika infeksi dicurigai karena adanya keluar cairan bernanah
berbau busuk atau karena penyembuhan tidak berlangsung setelah
debridement rutin, infeksi dapat dikonfirmasikan dengan biopsi
jaringan (jika tersedia) atau usap luka kuantitatif yang telah
divalidasi.
Untuk ulkus yang memiliki bakteri tinggi > 106CFU/gr
jaringan atau streptokokus beta hemolitikus apapun setelah
debridement yang memadai, target terapi antibiotik topikal atau
sistemik bakteri gram positif harus dimulai, seperti dikloxasilin,
sefaleksin, atau klindamisin. Dalam praktik, antibiotik topikal
digunakan terlebih dahulu, kecuali ada bukti infeksi yang jelas.
Karena penyebab beberapa bakteri pada pasien diabetes, antibiotik
spektrum luas yang mengcover bakteri gram positif dan gram negatif
serta anaerob harus digunakan dalam hal ini, antibiotik potensial
untuk kasus ini adalah kombinasi dari penisilin dan penghambat beta
laktamase atau fluoroquinolone atau linezolid saja.
20. Pasien dengan eritema yang menyebar dari selulitis atau
bukti sistemik yang signifikan secara klinis infeksi (misalnya
demam, menggigil atau limfangitis), pasien dengan kondisi medis
atau gangguan sistem imun secara klinis (diabetes yang tidak
terkontrol atau penggunaan glukokortikoid sistemik), dan lokal
infeksi yang memburuk atau tidak berespon dengan antibiotik
intravena. Konsultasi dengan spesialis penyakit menular harus
dipertimbangkan apabila ada infeksi refrakter atau kompleks (Singer
et al., 2017).
3. Wound dressings
Luka harus dibersihkan setiap penggantian dressings.
Pengunaan normal saline lebih dipilih. Pembersihan luka dengan
agen antiseptik (misalnya, povidone-iodine (betadine), hidrogen
peroksida, asam asetat) harus dihindari karena dapat merusak
jaringan granulasi.
Dressing atau balutan yang menjaga lingkungan luka tetap
lembab dipilih karena dapat membantu penyembuhan dan dapat
digunakan untuk debridement metode autolitik. Dressing sintetis
mengurangi durasi waktu, menngurangi risiko ketidaknyamanan dan
snagat potensial untuk memberikan kelembaban yang konsisten.
Dressing ini termasuk transparent film, hidrogel, alginat, busa dan
hidrokoloid. Film transparent secara efektif mempertahankan
kelembaban dan mungkin digunakan sendiri pada ulkus dengan
derajat 2 atau partial thickness atau dikombinasikan dengan hidrogel
atau hidrokoloid untuk luka dengan ketebalan penuh atau derajat 3
dan 4. Hidrogel dapat digunakan untuk luka dalam dengan eksudat
ringan. Alginat dan busa sangat mudah menyerap dan berguna untuk
luka dengan eksudat sedang hingga berat. Hidrokoloid
mempertahankan kelembapan dan berguna untuk mendorong
debridemen autolitik. Pemilihan balutan ditentukan oleh klinis
penilaian dan karakteristik luka (Singer et al., 2017; Bluestein dan
Javaheri, 2008).
21. 4. Pelepasan tekanan
Menghindari atau meminimalkan tekanan pada tulang
memiliki peran penting dalam pencegahan dan manajemen ulkus
dekubitus. Proatif dalam penialaian risiko ulkus tekanan (misalnya
sakala Braden) harus dilakukan di semua pasien rawat inap. Reposisi
sering pasien dan penggunaan permukaan pengurang tekanan
(misalnya kasur bertekanan bergantian seperti kasur air dan angin)
dan orthotic yang menghilangkan tekanan dari ulkus dan
menimalkan tegangan geser sangat direkomendasikan (Singer et al.,
2017).
Gambar 5. Manajemen Ulkus Dekubitus (Bluestein dan Javaheri,
2008)
5. Negative pressure wound therapy (NPWT)
Metode ini dapat mengelola tekanan luka dan melibatkan
penerapan sub-atmosfer tekanan ke luka menggunakan komputer
sesekali atau terus menerus untuk mempertahankan tekanan negatif
sebagai upaya dalam penyembuhan luka. NPWT efektif pada luka
yang dalam dan berkavitas, terinfeksi dan ulkus dekubitus dengan
kondisi tulang terbuka. Metode ini mempunyai manfaat yaitu dapat
22. membantu pembentukan jaringan granulasi, membantu
mengeluarkan cairan interstisial yang memungkinkan dekompresi
jaringan, membantu menghilangkan agen infeksius dan mengukur
kehilangan eksudat, menyediakan lingkungan penyembuhan luka
yang tertutup dan lembab, meningkatkan survival dari flap dan graft,
serta mengurangi biaya rumah sakit, pembalut atau perawatan
(Bhattacharya dan Mishra, 2015).
6. Bedah rekonstruktif
Terkadangan ulkus dekubitus parah atau derajat III dan IV
mengalami gagal sembuh, dalum kasus seperti itu diperlukan
pembedahan untuk mengisi dan mencegah kerusakan jaringan lebih
lanjut. Hal ini biasanya dilakukan dengan membersihkan luka dan
menutupnya dengan mempertemukan tepi luka, penerapan berbagai
jenis cangkok kulit atau penggunaan flap lokal dan regional serta
transfer jaringan bebas.
Ada banyak resiko dan komplikasi yang bisa terjadi setelah operasi,
termasuk infeksi, nekrosis flap, kelemahan otot, lecet, kambuhnya
ulkus dekubitus, septikemia, infeksi tulang (osteomielitis),
perdarahan, abses, dan trombosis vena dalam. meskipun risikonya,
pembedahan, meskipun demikian pembedahan seringkali menjadi
kebutuhan dan satu – satunya pilihan untuk mencegah komplikasi
anggota tubuh dan yang mengancam jiwa.
Pilihan rekonstruksi yang tersedia adalah yang pertama split
thickness skin grafting, flap lokal, flap regional, dan mikrovaskular
free flaps.
23. Gambar 6. Algoritma penatalaksanaan ulkus dekubitus
(Bhattacharya dan Mishra, 2015).
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada ulkus dekubitus yaitu
komplikasi non infeksius dan infeksi sistemik. Komplikasi non infeksi
termasuk amiloidosis, pembentukan tulang heterotopik, fistula perineal-
uretral, pseudoaneurisma, ulkus Marjolin dan komplikasi sistemik
pengobatan topikal. Infeksi sistemik termasuk bakteremia dan sepsis,
selulitis, endokarditis, meningitis, osteomielitis, artritis septik, dan
terbentuknya sinus atau abses (Bluestein dan Javaheri, 2008).
H. Prognosis
Banyak faktor yang berperan dalam prognosis ulkus dekubitus.
Faktor faktor ini adalah usia, ukuran dan derajat ulkus dekubitus,
keadaan nutrisi dan penyakit kronis yang diderita pasien. Ulkus
24. dekubitus merupakan salah satu luka kronis. Mikroorganisme yang
paling sering terlibat dalam kolonisasi ulkus dekubitus adalah kokus
Gram positif seperti Staphylococcus aureus, Enterococcus faecalis,
Staphylococcus epidermidis, Streptococcus spp dan basil Gram negatif
seperti Pseudomonas aeruginosa, Proteus mirabilis, Acinetobacter
baumannii, Klebsiella pneumoniae, Eschericia coli. Pada luka kronis
terdapat flora mikrobial yang beragam. Awalnya luka dikolonisasi
dengan mikroorganisme komensal di kulit, tetapi pola kolonisasi
berubah seiring waktu. Mikroorganisme Gram positif mendominasi
pada awalnya, dimana pada luka dengan durasi beberapa bulan, akan
memiliki beberapa spesies patogen yang berbeda pada dasar luka,
termasuk flora anaerobic (Takahashi, 2008).
25. DAFTAR PUSTAKA
Alexiadou K, Doupis J. 2012. Management of diabetic foot ulcers: Diabetes
Journal. 3(4):5-6.
Anders, J., Heinemann, A., Leffmann, C., Leutenegger, M., Pröfener, F. and
Renteln-Kruse, W., 2010. Decubitus Ulcers. Deutsches Aerzteblatt Online,.
Bhattacharya, S. and Mishra, R., 2015. Pressure ulcers: Current understanding and
newer modalities of treatment. Indian Journal of Plastic Surgery, 48(01),
pp.004-016.
Bluestein D, Javaheri A. 2008. Pressure ulcers: prevention, evaluation, and
management. Am Fam Physician. 78(10): 1186-94
Boyko, T., Longaker, M. and Yang, G., 2018. Review of the Current Management
of Pressure Ulcers. Advances in Wound Care, 7(2), pp.57-67.
Clayton W, Elasy TA., 2009. A Review of The Pathophysiology, Classification,
And Treatment of Foot Ulcers in Diabetic Patients. Clin Diabetes. 27(2): 52-
58.
Crowe, C Brockbank. 2009 Nutrition therapy in the prevention and treatment of
pressure ulcers. Wound Practice and Research. 17(2): 90-9.
Frykberg, R.G., Zgonis, T., Armstrong, D.G., Driver, V.R., Giurini, J.M., et al.
2006. Diabetic Foot Disorders: A Clinical Practice Guideline (2006 revision).
J Foot Ankle Surg. 45(Suppl.):S1-S66.
Hobizal KB, Wukich DK. 2012. Diabetic foot infections: current concept review.
Diabet Foot Ankle.3.
Jain, A.K., 2012. A New Classification of Diabetic Foot Complications: A Simple
and Effective Teaching Tool. The Journal of Diabetic Foot Complication, vol
4, issue 1, No.1, 2012
Kennedy CTC, Burd DAR, Creamer D. 2010. Mechanical and thermal injury. In:
Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, eds. Rook’s Textbook of
Dermatology. Volume 2. Edisi 8. Oxford: Wiley-Blackwell; 1227- 320.
Levi, B. and Rees, R., 2007. Diagnosis and Management of Pressure Ulcers. Clinics
in Plastic Surgery, 34(4), pp.735-748.
Lipsky BA, Anthony R, Berendt, Gunner DH, Jhon ME, Warren SJ, Adolf WK,
Jack LL, Daniel PL, Jon TM, Carl N, James ST. 2017. Diagnosis and treatment
of diabetic foot infections: IDSA Guidelines. 3(2)885-904.
26. Mervis, J. and Phillips, T., 2019. Pressure ulcers: Pathophysiology, epidemiology,
risk factors, and presentation. Journal of the American Academy of
Dermatology, 81(4), pp.881-890.
Mendes MM, Soares MEJ, Boyko M, Ribeiro P, Barata J, Lima RS. 2012.Diabetic
foot infections current diagnosis and treatment: The Journal of Diabetic Foot
Complication. 4(2):26-45.
National Pressure Ulcer Advisory Panel, European Pressure Ulcer Advisory Panel
and Pan Pacific Pressure Injury Alliance. 2014. Prevention and Treatment of
Pressure Ulcers: Quick Reference Guide. Emily Haesler (Ed.). Cambridge
Media: Osborne Park, Western Australia.
Shahwan S (2015) Factors related to pressure ulcer development with diabetic
neuropathy. Clin Res Trials 1: doi: 10.15761/CRT.1000124
Singer, A., Tassiopoulos, A. and Kirsner, R., 2017. Evaluation and Management of
Lower-Extremity Ulcers. New England Journal of Medicine, 377(16),
pp.1559-1567.
Sørensen, J., Jørgensen, B. and Gottrup, F., 2004. Surgical treatment of pressure
ulcers. The American Journal of Surgery, 188(1), pp.42-51.
Takahashi PY. 2008. Pressure ulcers and prognosis: Candid conversations about
healing and death. Geriatrics. 63(11): 6-9.
Thomas, D., 2006. Prevention and Treatment of Pressure Ulcers. Journal of the
American Medical Directors Association, 7(1), pp.46-59.