1. MUNGKINKAH INFRASTRUKTUR DASAR DIDAERAH TERBANGUN
Keterbatasan Kemampuan anggaran pemerintah untuk membiayai
INFRASTRUKTUR DASAR menjadi salah satu kendala utama yang perlu segera
dicari solusinya. Luasnya wilayah kabuputen terutama yang berada diluar Pulau Jawa
dengan sebaran penduduk tidak merata membuat infrastruktur menjadi mahal dan
secara ekonomi sangat tidak menguntungkan untuk dibangun. Namun dalam
pertimbangan politik, hukum dan keamanan pembangunan infrastruktur dasar seperti
Sarana pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja adalah kewajiban pemerintah
daerah diseluruh wilayah di NKRI untuk mengadakannya.
Kewenangan pengelolaaan dan pembiayaannya yang dibatasi oleh batas wilayah,
dengan keluarnya PP 50/2007 tentang Tatacara Kerjasama Antar Dearah dan
Permendagri 22/2009, seharusnya batas wiayah sudah bukan lagi menjadi
penghambat pembangunan tapi merupakan potensi yang harus segera dimanfaatkan
untuk bersama membangun infrastruktur disetiap kabupaten/kota sesuai kebutuhan
dan potensi ekonomi masing-masing.
Kalau anggaran belanja pembangunan masih berkisar 25 – 35 % dari total APBD,
pasti sulit bagi kabupaten/kota untuk dapat menyelesaikan infrastruktur dasarnya,
terbukti dari 489 kabupaten/kota, belum satupun yang mengklaim pembangunan dan
rehabilitasi sarana prasarana sekolah dasarnya telah selesai.
Kalau ditelisik lebih dalam, Pemerintah Daerah melalui UU 33/2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara pemerintah Pusat dan Daerah sudah menangkap sinyal
dari Pemerintah Pusat akan adanya perubahan sekema pembiayaan pembangunan
2. infrastruktur, dimana fokus utama bukan lagi jumlah melainkan manfaat dan
kuwalitas infarstruktur.
Namun dampak regulasi dirasakan akan menjadi ”buah simalakama’ bagi
bupati/walikota bila mengambil berani mengambil sikap, terutama bagi
kabupaten/kota yang mempunyai APBD dibawah Rp.500 Miliar, contohnya
Kabupaten Pandeglang, Banten. Hampir semua daerah mengeluh dan menyatakan
tidak sanggup menyediakan anggaran untuk memperbaiki apalagi dan membangunan
infrastruktur baru, walaupun dengan cara meminjam. Kabupaten/kota yang berada
dipulau Jawa memerlukan Rp.100 miliar hanya untuk memperbaiki kerusakan 60%
ruang kelas SDnya.
Dengan APBD sebesar Rp.500 Milyar, ternyata hanya tersedia anggaran
sebesar Rp.125 miliar yang dapat digunakan untuk Belanja Pembangunan (Profil
Kabupaten/kota, Kompas Gramedia) yang selanjutnya dibagi ke 14 Dinas serta Badan
yang ada dilingkungan pemda. Terasa semakin sulit bagi kabupaten/kota yang
berada di wilayah Indonesia Timur yang termasuk dalam 199 atau 45 %
kabupaten/kota berkategori tertinggal dengan APBD kurang dari Rp.360 milyar.
Sebagai ilustrasi Kabupaten tertinggal dengan anggaran belanja pembangunan
sebesar Rp. 90 – 100 milyar,bila meminjam Rp.100 milyar dari pihak ketiga dengan
bunga pinjaman setara LPS 10 % atau layaknya suku bunga komersial tidak mungkin
dapat melakukannya, sebab cicilan pinjaman beserta bunga saja mencapai lebih
Rp.40 milyar/tahun atau hampir 50% dari anggaran belanja pembangunannya.
Berdasarkan UU 33/2004 tadi, dalam pelaksanaannya pihak ketiga hanya mempunyai
4 tahun anggaran, karena Bupati paling cepat baru dapat meminjam ditahun ke 2 dan
3. harus melunasi sebelum berakhir masa jabatannya (UU 33/2004, tenor pinjaman
selama masa jabatan kepala daerah) Berarti sebagian besar anggaran belanja
pembangunan pada tahun berikut habis untuk membayar pokok dan bunga
pinjaman yang akan berdampak langsung pada kegiatan pelayanan masyarakat
didinas lainnya.
Inilah yang disebut ”buah simalakama”, dengan regulasi yang ada saat ini dipastikan
TIDAK ADA Bupati/Walikota yang mau serius memperbaiki atau membangun
infrastruktur dasar dengan cara meminjam dari pihak ketiga, karena isu sekecil
apapun akan menyulitkan dan belum menjamin kemenangan dalam pilkada
selanjutnya.
Dapat disimpulkan PERBAIKAN DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
DASAR yang menjadi kewajiban 489 kabupaten/ kota pada era Otonomi Daerah
sangat sulit untuk diharapkan, PINJAMAN dari pihak ketiga termasuk Obligasi
Daerah tidak mungkin menjadi pilihan Bupati/Walikota. Tanpa kerjasama Antar
Daerah adalah hal yang mustahil bila ada kabupaten dapat menyelesaikan
infrastruktur dasarnya, bahkan untuk Kabupaten dengan SDA yang kaya sebagai
sumber penghasilan seperti di Pulau Sumatera, Kalimantan , Sulawesi dan Irian Jaya.
Apalagi kalau mengharapkan daerah dengan status tertinggal yang APBDnya < Rp.
360 miliar dapat membiayai pembangunan infrastruktur dasarnya.