2. al-Mughni [2/422-424] li-Ibni
Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali
•
• dan sebagian dari mereka (syafi’iyyah) berkata : apabila dibacakan
al-Qur’an disamping orang mati atau menghadiahkan pahalanya
kepada orang mati, maka pahalanya bagi si pembacanya sedangkan
mayyit laksana orang yang menghadirinya, sehingga diharapkan
adanya rahmat baginya. Dan bagi kami (Hanabilah) telah
menyebutkannya, bahwa sesungguhnya membaca al-Qur’an untuk
mayyit merupakan ijma’ kaum Muslimin, sebab mereka setiap
masa dan kota mereka berkumpul, mereka membaca al-
Qur’an, dan menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang mati
diantara mereka tanpa ada yang mengingkarinya”.
3. Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jami’ at-Turmidzi [3/275] Abul ‘Alaa
Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri.
• Kitab ini dikarang oleh Syaikh Abul ‘Alaa Muhammad
Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri. Didalamnya
terdapat beberapa riwayat terkait pembacaan al-Qur’an
untuk orang mati. Kemudian dikomentari sebagai berikut :
•
• Hadits-hadits ini jika memang dlaif, maka pengumpulannya
menunjukkan bahwa yang demikian memang asal, dan
sungguh kaum Muslimin tidak pernah meninggalkan
amalan tersebut pada setiap masa dan kota, mereka
berkumpul dan membaca al-Qur’an untuk orang-orang
mati diantara mereka tanpa ada yang mengingkari maka
jadilah itu sebagai Ijma’.”
4. al-Hawi al-Fatawi [2/234] lil-Imam al-
Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi
• Didalam al-Hawi lil-Fatawi disebutkan :
•
• Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah
sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan
dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah
dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di
tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa
al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang
kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh
hingga generasi awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika
menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia
(umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari
dengan membaca al-Qur’an’
5. Kasyful Astaar lil-‘Allamah al-Jalil
Muhammad Nur al-Buqisi
• persaksian (saksi mata) adanya kegiatan kenduri 7 hari di Makkah dan Madinah sejak dahulu
kala. Hal ini kembali di kisahkan oleh al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur
al-Buqis didalam kitab beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni
“Kasyful Astaar” dengan menaqal perkataan Imam As-Suyuthi :
•
• Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan
aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai
sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali
Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak
zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu
dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-
Suyuthi dengan sedikit perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan
memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang
memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah
shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya
dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan
gertakannya”.