Notulen rapat staf DJPK membahas SILPA yang mendapat perhatian pemerintah pusat karena dana transfer besar ke daerah berasal dari pinjaman. SILPA harus berupa kas dan setara kas agar dapat digunakan, biasanya disimpan di BPD dalam bentuk SBI. Keberadaan SILPA wajar asalkan jumlahnya tidak signifikan. Usul diskusi lanjut tentang menentukan SILPA "sehat" dan "tidak sehat" serta memperba
1. Notulen FGD Staf DJPK
Tanggal 09 Oktober 2012
SILPA
Peserta yang hadir:
1. Arif Zainudin Fansyuri 6. Suprayitno
2. Lukman Adi 7. Saddam Husin Okvianto
3. Priyo Anggono 8. Arinto Haryadi
4. Catur Panggih Pamungkas 9. Teguh Arief Wibowo
5. Ratna DN Fadiliya
Hasil Diskusi:
SILPA mendapat perhatian pemerintah pusat, karena pemerintah pusat harus menyediakan
dana yang besar untuk ditransfer ke daerah, yang sumbernya sebagian berasal dari pinjaman, sementara
daerah yang mendapatkan dana tersebut tidak dapat memanfaatkannya, dan hanya menyimpannya di
BPD. Karenanya, muncul wacana untuk memanfaatkan SILPA tersebut untuk pembiayaan pemerintah
pusat, namun mekanismenya belum ditetapkan.
Idealnya, APBD tidak memiliki SILPA. Namun demikian, dalam kondisi riilnya, SILPA tidak dapat
dihindari karena adanya belanja-belanja yang tidak mungkin besarnya sama persis dengan pagunya,
misalnya belanja barang dan belanja modal. Dalam hal ini, realisasi belanja pada umumnya lebih kecil
dari pagunya, sehingga memunculkan sisa anggaran. Karenanya, keberadaan SILPA adalah wajar
sepanjang jumlahnya tidak signifikan.
SILPA harus dalam bentuk kas dan setara kas sehingga dapat segera digunakan. Pada umumnya
SILPA disimpan di BPD masing-masing, dan oleh BPD disimpan dalam bentuk SBI.
Asal SILPA:
1. Dari sisi pemerintah daerah
a. Lemahnya manajemen keuangan, seperti perencanaan pendapatan yang bersifat pesimis
sehingga terjadi selisih antara rencana dan realisasi pendapatan yang cukup besar
b. Pengesahan APBD dan DPA baru dilaksanakan setelah tahun berjalan, sehingga pelaksanaan
kegiatan tidak dapat segera dimulai pada awal tahun. Demikian juga pengesahan APBD-P
yang baru dapat dilaksanakan pada akhir tahun juga menimbulkan ketidakefektifan
anggaran tersebut.
c. Pelaksanaan administrasi lelang yang tidak direncanakan sejak awal
d. Adanya ketakutan pelaksana kegiatan terhadap kemungkinan kesalahan yang
mengakibatkan munculnya tuduhan penyelewengan/korupsi
2. 2. Dari sisi pemerintah pusat
a. Transfer ke daerah yang dilaksanakan akhir tahun
b. Transfer ke daerah akibat adanya kurang salur yang sebelumnya tidak diinformasikan
kepada daerah
c. Petunjuk pelaksanaan yang baru dikeluarkan pertengahan atau akhir tahun
Sumber dana SILPA:
1. Pendapatan yang lebih besar dari rencana dalam APBD
2. Efisiensi DAK atau adanya DAK yang belum terserap.
Dalam kasus ini, misalnya jika DAK yang diperoleh 100 dan yang digunakan hanya 80, sementara
pada tahun berikutnya daerah tersebut tidak memperoleh DAK lagi (atau DAK tersebut tidak
dibagikan lagi), maka daerah akan mencatat sisa dana tersebut sebagai SILPA.
Kesimpulan:
Keberadaan SILPA adalah wajar, sepanjang jumlahnya tidak signifikan. Dalam hal jumlahnya signifikan,
harus dicari sumbernya sehingga dapat diperbaiki.
Usulan diskusi lanjutan:
1. Bagaimana menentukan SILPA yang “sehat” dan SILPA yang “tidak sehat”?
2. Bagaimana memperbaiki SILPA yang “tidak sehat” baik dari sisi pemerintah daerah maupun dari
sisi pemerintah pusat?