SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 132
Descargar para leer sin conexión
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Potensi Pinang (Areca catechu) sebagai Antelmintik untuk Ternak
The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an anthelmintic for
Livestock
Aulia Evi Susanti*)
, Agung Prabowo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
Jl. Kol.H. Burlian No.83 Km.6 Palembang
*)
Penulis untuk korespondensi: 081315265391
email: evi_vet@yahoo.com
ABSTRACT
Internal parasit infestation is one of the things that hamper the productivity
of livestock. The use of plants and plant products as medicine has long been
practiced. Betel nut (Areca catechu) has an anthelmintic effect, in particular
from the class Nematode. The main content of betel nut are carbohydrates, fats,
fiber, polyphenols including flavonoids and tannins, alkaloids and minerals.
Dominant alkaloid present in betel nut and are likely to have the effect of
anthelmintic is arecoline and tannin. Some studies use betel nut to prove the
content of anthelmintic has been done on Haemonchus contortus and Ascaridia
galli. The results showed that betel nut contains an anthelmintic and can be used
as an anthelmintic for livestock.
Keywords: Anthelmintic, Betel nut, Livestock
ABSTRAK
Infestasi parasit internal merupakan salah satu hal yang menghambat
produktivitas ternak. Penggunaan tanaman dan produk tanaman sebagai obat telah
lama dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat. Pinang, yang dalam bahasa latin
dikenal dengan nama Areca catechu L ini memiliki efek antelmintik, khususnya
cacing dari golongan Nematoda. Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat,
lemak, serat, polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral. Jenis
alkaloid yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang
kemungkinannya mempunyai efek antelmintik adalah arekolin dan senyawa tanin.
Beberapa penelitian penggunaan biji pinang untuk membuktikan adanya kandungan
antelmintik telah dilakukan pada cacing Haemonchus contortus dan Ascaridia galli.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji pinang mengandung antelmintik dan dapat
digunakan sebagai obat cacing untuk ternak.
Kata kunci: Antemintik, Biji pinang, Ternak
PENDAHULUAN
Salah satu hambatan dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak
adalah adanya berbagai penyakit yang merupakan faktor yang langsung
berpengaruh terhadap kehidupan ternak. Salah satu penyakit yang dapat
404
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
menghambat produktivitas ternak, yaitu penyakit parasit cacing. Menurut
Ronohardjo dan Nari (1977), peternakan di Indonesia tidak dapat membebaskan
diri dari parasit karena kondisi lingkungan Indonesia yang memang
menguntungkan bagi parasit. Iklim tropis yang hangat dan basah memberikan
kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan telur dan ketahanan hidup
larva dan telur infektif di alam (Satrija et al. 2003). Walaupun penyakit cacingan
tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi
dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing disebut sebagai
penyakit ekonomi. Kerugian-kerugian akibat penyakit cacing, antara lain:
penurunan bobot badan, penurunan kualitas daging, penurunan produktivitas
sebagai ternak potong dan bahaya penularan pada manusia.
Penyakit cacingan merupakan salah satu pola penyakit hewan endemik.
Penyakit ini walaupun normal, tapi pada aras yang tinggi akan mulai timbul suatu
masalah. Pencegahan dan pengobatan cacingan ternak dapat dilakukan dengan
beberapa aplikasi obat komersial yang beredar di pasaran, Akan tetapi obat-obatan
komersial sulit didapatkan di derah terpencil. Obat-obatan tradisional bisa menjadi
alternatif untuk obat-obat yang mahal. Cara pengobatan tradisional untuk
penanganan berbagai penyakit ternak tersebut telah berkembang luas di masyarakat,
baik pengobatan secara ilmiah dapat diterima ataupun pengobatan di luar
keilmiahan. Praktek-praktek pengobatan tersebut sangat membantu dalam
penanganan sementara petugas kesehatan hewan tidak ada. Saat ini sudah banyak
ditemukan khasiat farmakoseutika dari berbagai tanaman, yang dapat dimanfaatkan
untuk penanganan masalah kesehatan ternak, sehingga produktivitas ternak tetap
terjaga atau diperbaiki. Pinang merupakan salah satu tanaman herba potensial, yaitu
tanaman atau bahan alami yang memiliki kandungan kimia yang bersifat
farmakoseutika atau berkhasiat sebagai obat maupun memberikan efek sinergi
dalam pengobatan dan pemeliharaan kesehatan.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kandungan
biji pinang dan beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai penggunaan
biji pinang sebagai antelmintik ternak.
PINANG (Areca catechu)
Pinang (Areca catechu) merupakan tanaman famili Arecaceae yang dapat
mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus bergaris tengah 15 cm. Buahnya
berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian mempunyai jambul daun-daun
kecil yang belum terbuka. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan
berbuah pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah. Tanaman ini berbunga pada
awal dan akhir musim hujan dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Biji buah
berwarna kecoklatan sampai coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk dengan warna
yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua
dengan lipatan tidak beraturan menembus endosperm yang berwarna agak keputihan
(Depkes RI, 1989). Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat,
polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral (IARC, 2004). Biji
buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8 H13 NO2), arekolidine,
arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine (Wang et al., 1996). Jenis alkaloid
yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang kemungkinannya
mempunyai efek antelmintik adalah
405
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
arekolin (Suryati dan Suprapto, 1988). Arekolin bersifat racun bagi beberapa
jenis cacing (Lutony, 1993;Suharsono, 1994) dan menyebabkan paralisis
sementara (Firgorita, 1991). Nonaka (1989) menyebutkan bahwa biji buah
pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tannin terkondensasi yang
termasuk dalam golongan flavonoid. Senyawa tanin diduga memiliki
kemampuan daya antelmintik yang mampu menghambat enzim dan merusak
membran (Shahidi dan Naczk, 1995). Terhambatnya kerja enzim dapat
menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu sehingga cacing akan
kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing akan mati karena kekurangan tenaga.
Membran cacing yang rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang
akhirnya mati. Tanin umumnya berasal dari senyawa polifenol yang memiliki
kemampuan untuk mengendapkan protein dengan membentuk koopolimer yang
tidak larut dalam air (Harborne, 1987). Tanin juga memiliki aktivitas ovasidal,
yang dapat mengikat telur cacing yang lapisan luarnya terdiri atas protein
sehingga pembelahan sel didalam telur tiadak akan berlangsung pada akhirnya
larva tidak terbentuk (Tiwow et al., 2013). Pada pengobatan hewan, ekstrak biji
pinang digunakan untuk pengobatan cacing pada anjing dan ternak, dan untuk
mengobati masalah pencernaan pada kuda (Hannan et al., 2012).
PARASIT INTERNAL PADA TERNAK
Menurut morfologinya cacing parasitik pada dibagi menjadi tiga kelas,
yaitu: trematoda, cestoda dan nematoda. Nematodosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh cacing nematoda atau cacing gilig. Di dalam saluran
pencernaan (gastro intestinalis), cacing ini menghisap sari makanan yang
dibutuhkan. Nematoda dapat hidup bebas dalam air dan tanah tetapi sebagian
besar spesies hidup berparasit pada tumbuh-tumbuhan dan hewan (Noble dan
Noble, 1989). Cara nematoda menyerap makanan untuk bertahan hidup dalam
hospesnya antara lain dengan menggunakan cavum bucalis dengan melisiskan
jaringan atau menusuk jaringan tersebut, sedang nematoda yang hidup di dalam
cairan tubuh dan jaringan akan menusuk jaringan untuk mengambil darah. Darah
tersebut diambil oksigennya dengan cara difusi di dalam tubuh (Lee, 1965).
Cacing Haemonchus contortus. Haemonchosis merupakan penyakit
cacing nematoda saluran pencernaan yang disebabkan oleh Haemonchus sp pada
domba dan kambing yang menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan meliputi kerugian penurunan produksi
daging, susu dan wol baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta kematian
ternak. Patogenitas haemonchosis tergantung jumlah larva yang menginfeksi,
hal tersebut tampak pada domba muda yang terinfeksi sebanyak 1500 sampai
2500 larva infektif akan terjadi kematian, sedangkan pada domba dewasa jika
terinfeksi 3000 sampai 6000 larva cacing H.contortus.Telah dilaporkan bahwa
infeksi hiperakut terjadi kematian pada domba dan ditemukan sebanyak 20.000
sampai 50.000 cacing di dalam abomasum (Colin, 1999).
Cacing Ascaridia galli. Cacing Ascaridia galli merupakan nematoda
parasitik yang sering ditemukan pada unggas termasuk ayam petelur (Zalizar et.
al. 2006). Parasit tersebut menyebabkan kerugian kepada peternak berupa
406
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
penurunan berat badan dan hambatan pertumbuhan (Ikeme, 1971, Zalizar &
Rahayu, 2001; Zalizar et al., 2006), penurunan produksi telur (Tiuria, 1991)
serta penurunan kualitas telur (Zalizar et al., 2007). Hal tersebut karena cacing
selain menyerap zat-zat makanan juga menyebabkan kerusakan sel-sel epitel
villi serta berkurangnya luas permukaan villi usus yang berperanan dalam proses
pencernaan dan penyerapan makanan (Zalizar, et al. 2006). Penanggulangan
terhadap infeksi parasit cacing yang sering dilakukan pada saat ini adalah
dengan memberi obat cacing (antelmintik). Pemberian antelmintik yang
berulang menimbulkan galur cacing yang resisten (Waller, 1994).
BEBERAPA PENELITIAN PENGGUNAAN BIJI PINANG SEBAGAI
ANTELMINTIK
Ekstrak biji pinang terhadap cacing Haemonchus contortus.
Penelitian yang dilakukan oleh Beriajaya et al. 1998, bertujuan untuk
mengetahui pengaruh ekstrak biji pinang terhadap cacing Haemonchus contortus
secara in vitro. Penelitian ini dilakukan terhadap cacing dewasa dan larva
cacing. Dalam penelitian ini digunakan biji pinang muda dan tua, yang setelah
dipotong kecil-kecil, kemudian dikeringkan dalam oven suhu 40o
C selama 4
hari. Potongan-potongan biji pinang kemudian dibuat serbuk dan dibuat larutan
biji pinang dalam 6 konsentrasi, yaitu 0,0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa biji pinang muda dan tua mempunyai pengaruh yang sama
baik terhadap cacing H. Contortus maupun larvanya. Pada cacing dewasa
terlihat bahwa pada konsentrasi 0,1 g/ml cukup memberi pengaruh sehingga
sebagian cacing kedapatan mati. Pada larva cacing terlihat bahwa makin tinggi
konsentrasi biji pinang maka perkembangan larva makin dihambat dimana tidak
terdapat larva yang hidup pada konsentrasi 0,5 g/ml biji pinang tua. Hasil dari
penelitian ini menyimpulkan bahwa biji pinang yang mengandung alkaloid
arekolin mungkin berfungsi sebagai antelmintik (Beriajaya et al., 1998).
Ekstrak etanol biji pinang terhadap cacing Ascaridia galli. Penelitian
penggunaan ekstrak etanol biji pinang terhadap cacing Ascaridia galli telah
dilakukan oleh Tiwow et al., 2013 secara in vitro. Pengujian menggunakan
ekstrak etanol biji pinang dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 30%. Biji pinang
sebanyak 2 kg (berat basah) dikeringkan dalam oven suhu 50o
C sampai kering,
Tahap selanjutnya simplisia kering digrinder sehingga menjadi simplisia serbuk
dan diayak, kemudian disimpan dalam wadah bersih dan tertutup rapat.
Selanjutnya diekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol 95%. Kemudian
A.galli dimasukkan kedalam ke tiga konsentrasi ekstrak etanol biji pinang
tersebut. Persentasi kematian dan paralisis cacing dinilai setiap jam. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa secara in vitro ekstrak etanol biji pinang
konsentrasi 20% mampu membuat cacing Ascaridia galli menjadi lisis/mati.
Ekstrak biji etanol pinang pada konsentrasi 30% lebih efektif daya
antelmintiknya terhadap cacing cacing Ascaridia galli.
407
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
KESIMPULAN
Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin dan tanin yang
kemungkinannya mempunyai efek antelmintik. Arekolin bersifat racun bagi
beberapa jenis cacing dan menyebabkan paralisis. Senyawa tanin memiliki
kemampuan menghambat enzim dan merusak membran. Membran cacing yang
rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Penelitian
efek antelmintik biji pinang telah dilakukan pada cacing H. Contortus dan
Ascaridia galli. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak biji etanol pinang
memiliki daya antelmintik .
DAFTAR PUSTAKA
Beriajaya, T.B. Murdiati, Suhardono dan C.F. Pantouw. 1998. Pengaruh ekstrak
biji pinang (Areca cathecu) terhadap cacing Haemonchus contortus secara
in vitro. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Veteriner. Bogor, 18-19
Februari 1998. Bogor: Balitvet. pp: 154-160
Colin, J. 1999. Parasites and Parasitic Disease of Domestic Animals. University
of Pensylvania.
Depkes RI. 1989. Materia Medika Indonesia Jilid V. p. 55-58.
Firgorita, I. 1991. Arecoline hydrobromide pada biji pinang (Areca catechu)
dosisi efektif terhadap Raillietina spp dan dosis herbal terhadap ayam
buras [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Hannan, A., Karan, S and Chatterjee T.K. 2012. Anti-inflammatory and
analgesic activity of methanolic axtract of Areca seed collected from
Areca cathecu plant grown in Assm. International journal of
pharmeceutical and chemical sciences 1(2): 2277-5005
Harborne. 1987. Metode fitokomia, penuntun cara modern menganalisis
tumbuhan. Terjemahan : K. Padmawinata, I. Sudiro. Bandung : Institut
Teknologi Bandung.
IARC. 2004. WHO-biennial report. International Agency for Research on
Cancer, Part I, IARC Group and Cluster reports. Lyon, France, pp: 1-192
Ikeme MM. 1971. Weight changes in chickens placed on different levels of
nutrition and variying degrees of repeated dosage with Ascaridia galli eggs.
Parasitology 63: 251-260.
Lee, D.L.1965. The physiologi of nematoda. W.H. Freeman and Company. San
Fransisco.
Lutony, T.L. 1993. Pinang sirih komoditi ekspor dan serbaguna. Jakarta:
Kanisius.
408
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Noble, E.R and Noble, G. A.,1989. Parasiologi Biologi Parasit Hewan. Edisi ke
5. terjemahan dari Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Nonaka, G. 1989. Isolation and structure elucidation of tannins, Pure & Appl.
Chem, 61 (3): 357-360.
Ronohardjo P, Nari J. 1977. Beberapa Masalah Penyakit Unggas di Indonesia.
Didalam: Ilmu dan Industri Perunggasan. Seminar Pertama, 30-31
Mei 1977. Bogor.
Satrija F, Ridwan Y, Retnani EB, Tiuria R. 2003. Penggunaan antelmintika untuk
pengendalian kecacingan pada ternak, di dalam: strategi pemanfaatan
anthelmintika untuk pengendalian kecacingan pada ternak. Seminar Sehari,
11 Feb 2003.Bogor : FKH IPB dan PT Capsulgell Indonesia.p 1-7.
Shahidi, F and M. Naczk. 1995. Food phenolics. Technomic Inc, Basel.
Suharsono, S.K.H. 1994. Pengobatan tradisional penyakit cacing ayam buras.
Poultry Indonesia. 173: 14.
Suryati, E dan E.S.M Suprapto. 1988. Isolasi dan penemuan sifat senyawa aktif
piscisida dari biji pinang (Areca catechu). Media Penelitian Sukamandi
6:50
Tiwow, D., Widdhi, B dan Novel, S.K. 2013. Uji efek antelmintik ekstrak etanol
biji pinang (Areca catechu) terhadap cacing Ascaris lumbricoides dan
Ascaridia galli secara in vitro. Pharmacon 2 (02): 76-80
Waller, P.J. 1994. The development of anthelmintic resistance in ruminant
livestock. Acta Tropica 56:233-243
Wang, C.K. and Lee, W.H. 1996. Separation, characteristics, and biological
activities on phenolics in areca fruit. J. Agric. Food Chem 44(8):2014 -
2019.
Zalizar L, Rahayu ID. 2001. Pengaruh penggunaan larutan bawang putih
terhadap penampilan produksi ayam lurik penderita parasit cacing. Jurnal
Agritek Vol. 9 No. 2.
Zalizar L, Satrija F, Tiuria R, Astuti DA. 2006. Dampak infeksi Ascaridia galli
terhadap gambaran histopatologi dan luas permukaan vili usus serta
penurunan bobot hidup starter. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 11(3):
215-222.
Zalizar L, Fadjar. S, Risa. T, Dewi AA. 2007. Respon ayam yang mempunyai
pengalaman infeksi ascaridia galli terhadap infeksi ulang dan
implikasinya terhadap produktivitas dan kualitas telur. Animal Production.
Jurnal Produksi Ternak 9(2): 92-98.
409
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Keragaan Inpari 13 dengan Berbagai Sistem Tanam Jajar
Legowo di Lahan Sawah Irigasi Dataran Tinggi
di Sumatera Selatan
(Studi Kasus Desa Talang Darat Kota Pagaralam)
The Performance Inpari 13 With Various Legowo Row Planting
System Irrigated Land In Plateau In South Sumatra ( Case Study Of
Village Talang Darat Pagaralam District)
Johanes Amirullah dan NP. Sri Ratmini
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera
Selatan Jl. Kol. H. Barlian No. 83 KM 6, Palembang
30153 e-mail: joe.amirullah@gmail.com
ABSTRACT
VUB Inpari 13 is not so much known to the public due to newly released
in late 2013 , this variety has the advantage of early maturity of up to ( 105-124
days ) , with a short life ( very early maturing ) about 103 days , the plants can
be harvested already Inpari 13 , but it is also the high productivity of rice plants
with an average yield of 6.59 t / ha . Along with the development of production
technology of crop management is required a system -specific crop management
such as integrated crop management (PTT) is an innovative and dynamic
approach in an effort to increase production and income of farmers through
participatory component assembly technology with farmers . Field trials
conducted with legowo cropping systems . The purpose of this study to test the
VUB Inpari 13 on dry land plateau , while the location of the assessment carried
out in the Village Talang Darat Kota Pagaralam North Dempo . The results
obtained at the time of harvest production obtained at 2:1 legowo production
system 6,0 ton / ha , 3:1 production of 5.5 tons / ha , 4:1 production of 4,8 tons /
ha .
Keywords : Inpari 13 , dryland , highland
ABSTRAK
VUB Inpari 13 belum begitu banyak diketahui masyarakat luas
dikarenakan baru dilepas pada akhir 2013, keunggulan dari varietas ini memiliki
umur genjah sampai dengan (105-124 hari), dengan umur yang pendek (sangat
genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13 sudah dapat dipanen, selain itu juga
dengan produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen
sebesar 6,59 t/ha. Seiring dengan perkembangan teknologi produksi pengelolaan
tanaman ini diperlukan suatu sistem pengelolaan tanaman yang spesifik lokasi
seperti pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yaitu suatu pendekatan inovatif dan
dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui
410
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Percobaan di
lapangan dilakukan dengan sistem tanam legowo. Tujuan dari pengkajian ini
untuk melakukan uji coba VUB Inpari 13 di lahan kering dataran tinggi,
sedangkan lokasi pengkajian dilakukan di Desa Talang Darat Kelurahan Dempo
Utara Kota Pagaralam. Hasil yang didapat pada saat panen produksi yang
didapat pada sistem legowo 2:1 produksi 6 ton/ha, 3:1 produksi 5,5 ton/ha, 4:1
produksi 4.8 ton/ha.
Kata Kunci : Inpari 13, lahan kering, dataran tinggi
PENDAHULUAN
Sektor pertanain komoditas padi sampai saat ini masih merupakan
komoditas yang sangat strategis. Untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat
yang dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat indonesia masih penuhi dari
komoditas padi, karena bahan pangan khususnya beras memberikan sumber energi
dan protein cukup tinggi. Varietas unggul memberikan manfaat teknis dan ekonomis
yang banyak bagi perkembangan suatu usaha pertanian, diantaranya pertumbuhan
tanamanan menjadi seragam, sehingga panen menjadi serempak, rendemen dan
mutu hasil lebih tinggi dan sesuai dengan selera konsumen. Selain itu varietas
unggul mempunyai ketahanan yang lebih tinggi terhadap gangguan hama dan
penyakit dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan. Sehingga
dapat memperkecil biaya penggunaan input seperti pupuk dan obat-obatan (Suryana
dan Prajog, 1997). VUB Inpari 13 belum begitu banyak diketahui masyarakat luas
dikarenakan baru dilepas pada akhir 2013, keunggulan dari varietas ini memiliki
umur genjah sampai dengan (105-124 hari), dengan umur yang pendek (sangat
genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13 sudah dapat dipanen, selain itu juga
dengan produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen sebesar
6,59 t/ha (Sinar Tani, 2011).
Seiring dengan perkembangan teknologi produksi pengelolaan tanaman
ini diperlukan suatu sistem pengelolaan tanaman yang spesifik lokasi seperti
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yaitu suatu pendekatan inovatif dan dinamis
dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan
komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Percobaan di lapangan
dilakukan dengan sistem tanam legowo. Sitem tanam legowo muerupakan cara
tanam padi sawah dengan pola beberapa barisan tanaman yang kemudian
diselingi satu barisan kosong. Tanaman yang seharusnya ditanam pada barisan
yang kosong dipindahkan sebagai tanaman sisipan di dalam barisan. Diharapkan
dari hasil percobaan ini, petani dapat mengadopsi teknologi yang diterapkan.
Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan suatu usaha untuk
meningkatkan hasil tanaman pangan dan efisiensi masukan produksi dengan
memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara bijak. Pada dasarnya
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi
lebih merupakan metode/strategi, bahkan filosofi bagi peningkatan produksi
melalui cara mengelola tanaman, tanah, air dan unsur hara serta organisme
pengganggu tanaman secara terpadu dan berkelanjutan. Tujuan dari sistem
ini adalah untuk meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan, dan
411
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
efisiensi produksi dengan memperhatikan sumber daya yang ada, kemampuan
dan kemauan petani.
BAHAN DAN METODE
Adapun teknologi yang diterapkan pada pada percobaan ini adalah
penggunaan VUB, pengendalian hama dan penyakit serta penggunaan pupuk
yang berimbang. Sedangkan bahan yang digunakan Inpari 13, pupuk organik
dan anorganik, kegiatan ini dilakukan dengan membuat unit percontohan
demplot budidaya padi Inpari 13 seluas 1 ha, sedangkan perlakuan yang
diterapkan dengan pendekatan PTT dengan sistem jajar legowo 2:1, 3:1 dan 4:1,
untuk penentuan dosis pupuk dengan menggunakan alat PUTS, dari hasil
analisis didapat kebutuhan pupuk adalah sebagai berikut : pupuk kandang 1000
kg, pupuk ZA 100 kg, phonska 100 kg, SP-36 100 kg dan KCl 75 kg. Lokasi
pengkajian dilakukan di Desa Talang Darat Kelurahan Dempo Utara Kota
Pagaralam, pada musi tanam April-Juli 2013. Data yang diambil tinggi tanaman
dan produksi hasil panen ubinan 2,5 x 2,5 m, kemudian data dianalisis secara
deskriftip. Untuk melihat respon petani terhadap penerapan teknologi diambil
data primer dengan mengadakan wawancara langsung pada petani dengan
menggunakan daftar pertanyaan berstruktur atau kuisioner.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Inpari 13 nama varietas unggul terbaru BB Padi, varietas ini belum
banyak diketahui oleh masyarakat luas karena baru dilepas akhir tahun 2009.
Dengan umur yang pendek (sangat genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13
sudah dapat dipanen. Varietas yang sangat genjah ini didukung juga dengan
produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen sebesar 6,59
t/ha. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Deskripsi Inpari 13
Eskripsi Varietas Inpari 13
Bentuk beras Panjang dan ramping
Bentuk tanaman Tegak
Tekstur nasi Pulen
Kadar amilosa 22,40 %
Rata-rata hasil 6,59 t/ha
Potensi hasil 8,0 t/ha
Umur tanaman 103 hari
Tinggi tanaman 101 cm
Jumlah anakan produktif 17 batang
Ketahanan terhadap hama wereng Tahan hama wereng biotipe 1, 2 dan 3
Tahun dilepas 2009
Sumber : Deskripsi varietas padi, 2010
Pertumbuhan Tinggi Tanaman. Dari hasil pengamatan didapat rerata
tinggi tanaman pada saat dilakukan panen dapat dilihat pada Tabel 1.
412
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 2. Rerata Pertumbuhan Tinggi Tanaman
Varietas
Tinggi Tanaman
2:1 3:1 4:1
Inpari 13 74,80 71,93 74,33
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pemberian pupuk dengan dosis
yang tepat dan menerapkan sistem jajar legowo akan memberikan pengaruh
pada pertumbuhan tinggi tanaman, dari hasil pengamatan sebelum dilakukan
panen, tinggi tanaman dengan menggunakan sistem jajar legowo 2:1, 3:1 dan 4:1
pertumbuhan tinggi tanaman tidak terlalu meberikan pengaruh yang signifikan,
dimana pertumbuha tinggi tanam tertingi rerata pada sistem 2:1 dan terendah
pada sistem 3:1. Merata nya tingi tanaman, diduga pupuk N,P, dan K yang
diberikan telah terserap bagai tanaman, dan sudah optimal untuk menyediakan N
dalam meningkatkan tinggi tanaman.
Produktivitas. Berdasarkan hasil pengkajian rata-rata produksi dengan
menggunakan sistem jajar legowo dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 3. Rerata Produktivitas Inpari 13 Sistem Jajar Legowo
Varietas
Hasil gkp ton/ha
2:1 3:1 4:1
Inpari 13 6,0 5,5 4,8
Dapat dilihat pada Tabel 2 produksi yang didapat pada sistem legowo 2:1
produksi 6,0 ton/ha, 3:1 produksi 5,5 ton/ha, 4:1 produksi 4,8 ton/ha. Dari hasil
panen yang dilakukan produksi tertinggi pada jajar legowo 2:1 hal ini diduga
pada sistem 2:1 ini sudah sesuai dan cukup mendapatkan sinar matahari dengan
mengatur sistem jarak tanamnya. Menurut sembiring (2001), sistem tanam
legowo merupakan salah satu komponen PTT pada padi sawah apabila
dibandingkan dengan sistem tanam lainnya memiliki keuntungan sebagai berikut
terdapat ruang terbuka yang lebih besar diatara dua kelompok barisan tanaman
yang akan memperbanyak cahaya matahari masuk ke setiap rumpun tanaman,
mempermudah petani dalam pengelolaan usahataninya, meningkatkan jumlah
tanam pada kedua bagian pinggir untuk setiap set legowo, sistem tanam berbaris
ini juga berpeluang bagi pengembangan sistem produksi padi-ikan, dan
meningkatkan produktivitas padi hingga mencapai 10-15%.
Respon Inovasi Teknologi. Dari hasil pengkajian adaptasi VUB Inpari
13 didapat respon petani terhadap kegiatan yang telah dilakukan dengan
percontohan melalui demplot, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.
413
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Tabel 3. Rerata Penerapan Teknologi
Penerapan Nilai Interval
1.00-1.67 1.68-2.35 2.36-3.03
Teknologi
(kurang baik) (cukup baik) (baik)
Varietas unggul - 2.90
Pupuk (Urea, SP-36 - 2.30 -
dan KCl)
Pemberantasan - 1.75 -
hama penyakit
Penyiangan - - 2.85
Sistem legowo - 2.50 -
Dapat dilihat pada tabel diatas rata-rata petani dalam penggunaan
varietas unggul (2.90) dan penyiangan (2.85) sudah termasuk dalam kriteria
baik, hal ini sudah menunjukan respon yang baik dari petani dalam
memperkenalkan VUB baru, dan sistem penyiangan gulma sudah sesuai dengan
anjuran. Sedangkan pemupukan berimbang sesuai dengan dosisi anjuran (2.30),
pemberantasan hama penyakit (1.75) dan sistem legowo (2.50) termasuk dalam
kriteria cukup baik. Dari hasil wawancara dengan petani, rendah nya teknologi
yang diterapkan petani dikarenakan dengan modal yang terbatas. Sedangkan
sistem tanam jajar legowo belum terbiasa bagi petani untuk menerapkannya,
anggapan dengan menggunakan sistem legowo selain populasi rumpun tanaman
sedikit, juga sistem kerja padaa saat tanam perlu tenaga kerja orang banyak.
Menurut Sembiring (2001), sistem tanam legowo merupakan salah satu
keuntugan adalah memberikan kemudahan petani dalam pengelolaan usahatani
dalam pemupukan susulan, pemberantasan hama dan penyakit serta lebih
memudahkan dalam mengendalikan tikus serta meningkatkan produktivitas padi
hingga mencapai 10-15%.
KESIMPULAN
Dari hasil pengkajian mengenai uji VUB Inpari 13 dilahan kering dataran
tinggi diperoleh kesimpulan :
1. Rata-rata tinggi tanaman dan produktivitas Inpari 13 yang didapat pada
sistem jajar legowo pertumbuhan tertinggi pada legowo 2:1 dengan tinggi
74,80 cm dan produksi 6 ton gkp t/ha
2. Penerapan respon teknologi yang diterapkan petani VUB Inpari 13, untuk
varietas dan penyiangan termasuk dalam kriteriacukup baik, sedangkan
pemupukan, pemberantasan hama penyakit dan sistem jajar legowo
termasuk kriteria baik.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
414
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pertanian, 2009. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan SL-PTT
Departemen Pertanian. Jakarta.
Sembiring H. 2001. Komoditas Unggulan Pertanian Provinsi Sumatera Utara.
Badan Pengkajian Teknologi Pertanian. Suamtera Utara. 58 p.
Sinar Tani. 2011. Edisi 5-11 Januari 2011 N0.3387 Tahun XLI
Sudharto, T., J. Triastono, E. Sudjitno, A. Syam dan Z. Zaini. 1995. Laporan
Tahunan Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering (UFDP)
TA.1994/1995. Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Suryana dan U.H. Prajogo. 1997. Subsidi Benih dan Dampaknya Terhadap
Peningkatan Produksi Pangan. Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian.
Analisis Kebijakan Antisipatif dan Respontif. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Peranian.
415
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pengaruh Penggunaan Ekstrak Kompos Kulit Udang (EKKU)
Terhadap Pertumbuhan dan Serangan OPT Terung
The Effect of Shrimp Skin Compost Extract to Plant Growth
and Pest of Eggplant
Syahri1*)
, Renny Utami Somantri1
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
*)
Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks.
+62711410155/+62711411845 email: syahrihpt@yahoo.co.id
ABTSRACT
The assessment was carried out at Senabing village, Lahat District from July
until December 2013. In each selected village each of 10 farmers as implementing
activities. Assessment prepared using randomized block design (RBD) with 4
treatments and 5 replication. The treatment was a combination of inorganic
fertilizers and EKKU consisting of: A: Inorganic Fertilizers full dose (= 2 g Urea,
NPK = 20 g), B: ½ dose of inorganic fertilizers (urea = 1 g, NPK = 10 g) + 40 mL
EKKU/L of water, C: 3/4 dose of inorganic fertilizers (urea = 1.5 g, NPK = 15 g) +
EKKU 20 mL EKKU/L of water, and D: 3/4 dose of inorganic fertilizers (Urea =
1.5 g, NPK = 15 g) + 40 mL EKKU/L of water. Planting were done by the following
procedures: first eggplant seeds sown in a plastic tray measuring 30 x 40 cm for 30
days, then transferred seedlings in polybags measuring 10 kg medium containing a
mixture of soil and manure. Fertilization was done 2 times in 2 adn 10 weeks after
planting. Spraying EKKU (dose treatment) was carried out every week until harvest.
The study showed that a dose reduction of 50% inorganic fertilizer combined with
the application EKKU much as 40 mL/L of water is able to suppress the leaf-eating
caterpillars attack, where the attack rate is only 19.2%. Giving EKKU much as 40
mL/L of water at various doses of inorganic fertilizer can improve plant growth
eggplant, where the highest plant growth occurs in inorganic fertilizer reduction by
25% which is 87.0 cm.
Keywords: biopesticide, EKKU, fertilizer, plant growth.
ABSTRAK
Pengkajian dilaksanakan di lokasi pengembangan Model Kawasan Rumah
Pangan Lestari (M-KRPL) Kabupaten Lahat, yaitu Desa Senabing Kecamatan Lahat
dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang. Kedua lokasi tersebut merupakan lokasi
pendampingan BPTP Sumatera Selatan sejak bulan Juli sampai Desember 2013. Di
setiap desa dipilih masing-masing 10 petani sebagai pelaksana kegiatan. Pengkajian
disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan
diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan merupakan kombinasi dosis pupuk anorganik
dan EKKU yang terdiri atas: A : Pupuk anorganik dosis lengkap (Urea = 2 g, NPK =
20 g), B : Pupuk anorganik ½ dosis (Urea = 1 g, NPK = 10 g) + EKKU dosis 40
mL/L air, C: Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis
20 mL/L air, dan D: Pupuk
416
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 40 mL/L air.
Penanaman dilakukan mengikuti prosedur berikut: benih terung terlebih dahulu
disemaikan dalam baki plastik berukuran 30 x 40 cm selama 30 hari, selanjutnya
bibit dipindah dalam polybag berukuran 10 kg yang mengandung media tanam
berupa campuran tanah dan pupuk kandang (kotoran ternak sapi/kambing).
Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali yakni umur 2 minggu setelah tanam (mst)
dan umur 10 mst. Penyemprotan EKKU (dosis sesuai perlakuan) dilakukan
setiap minggu hingga menjelang panen. Hasil pengkajian menunjukkan
pengurangan dosis pupuk anorganik sebanyak 50% yang dikombinasikan
dengan aplikasi EKKU sebanyak 40 mL/L air mampu menekan serangan ulat
pemakan daun, dimana tingkat serangan hanya 19,2%. Pemberian EKKU
sebanyak 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan anorganik mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman terung, dimana pertumbuhan tanaman
tertinggi terjadi pada pengurangan pupuk anorganik sebesar 25% yakni 87,0 cm.
Kata kunci: biopestisida EKKU, dosis pemupukan, OPT, terung.
PENDAHULUAN
Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang ditanam di Sumatera Selatan. Hampir sebagian besar wilayah
di Sumatera Selatan bisa ditanami dengan komoditas ini. Terung juga
merupakan jenis sayuran yang sangat populer dan disukai oleh banyak orang,
sehingga komoditas itu sangat potensial untuk dikembangkan secara intensif
dalam skala agribisnis. Selama ini pembudidayaan terung umumnya masih
bersifat sampingan di lahan pekarangan, tegalan, ataupun lahan sawah di musim
kemarau. Tidak heran bila hasil rata-rata terung di Indonesia masih rendah yaitu
antara 32,64-34,11kuintal per hektar (Rukmana, 1994). Untuk meningkatkan
produksi terung maka perbaikan teknik budidaya perlu dilakukan.
Tingginya input bahan agrokimia berupa pupuk dan pestisida menjadi
permasalahan dalam budidaya terung. Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia
berkembang sangat pesat, tercatat ada sebanyak 2.810 di tahun 2013 (Direktorat
Pupuk dan Pestisida, 2013). Penggunaan bahan agrokimia yang berlebihan ini dapat
berdampak buruk bagi ekosistem pertanian. Menurut Wiratno et al. (2013),
penggunaan pestisida sintetis dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga
bertahun-tahun setelah pemakaian, sehingga menguragi daya dukung lahan akibat
menurunnya populasi mikroorganisme pengurai bahan organik yang hidup di
dalamnya. Selain itu, pestisida juga berdampak buruk yakni menimbulkan resistensi,
resurjensi dan ledakan hama serta dapat memusnahkan musuh alami hama. Hal ini
diperparah lagi dengan adanya input berupa pupuk anorganik yang bisa
menyebabkan rusaknya tekstur dan struktur tanah. Utami dan Handayani (2003)
menyatakan sistem pertanian yang berbasis bahan fosil (high input energy) seperti
pupuk kimia dan pestisida dapat merusak sifat-sifat tanah dan akhirnya menurunkan
produktivitas tanah untuk waktu yang akan datang.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan perbaikan terhadap
cara budidaya yang dilakukan sehingga lebih aman terhadap lingkungan sehingga
akan tercapai keseimbangan ekosistem. Penggunaan biopestisida sekaligus juga
biofertilizer merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi
417
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
risiko ketergantungan terhadap input bahan kimiawi sintetik. Salah satu bahan
yang efektif dan ramah lingkungan adalah ekstrak kompos kulit udang (EKKU).
EKKU diketahui efektif mengendalikan berbagai penyakit pada tanaman kacang
panjang, cabai dan kubis (Suwandi, 2004), ketimun dan oyong (Syahri et al.,
2014), dan virus kuning pada cabai (Syahri dan Somantri, 2014). EKKU juga
diketahui mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun, penggunaan
EKKU pada tanaman terung belum dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan dalam rangka mengetahui efektivitas EKKU dalam menekan penyakit
dan meningkatkan pertumbuhan pada tanaman terung.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu. Pengkajian dilaksanakan di lokasi pengembangan
Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) Kabupaten Lahat, yaitu
Desa Senabing Kecamatan Lahat dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang.
Kedua lokasi tersebut merupakan lokasi pendampingan BPTP Sumatera Selatan
sejak bulan Juli sampai Desember 2013.
Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah ekstrak kompos kulit
udang-EKKU (Bio-Fitalik) yang berasal dari Klinik Tanaman HPT Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya, benih terung (Matahari), pupuk kandang
(kotoran sapi dan kambing), pupuk anorganik (Urea, SP-36, KCl dan NPK
Pelangi 20:10:10), polybag ukuran 10 kg. Alat yang digunakan adalah sprayer 1
L, gelas ukur, mikroskop, timbangan, alat tulis, dan gunting.
Rancangan Pengkajian. Pengkajian dilaksanakan di 2 desa yakni Desa
Senabing Kecamatan Lahat dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang, di setiap
desa dipilih masing-masing 10 petani sebagai pelaksana kegiatan. Pengkajian
disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan
dan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan merupakan kombinasi dosis pupuk
anorganik dan EKKU yang terdiri dari:
A : Pupuk anorganik dosis lengkap (Urea = 2 g, NPK = 20 g)
B : Pupuk anorganik ½ dosis (Urea = 1 g, NPK = 10 g) + EKKU dosis 40 mL/L
air.
C : Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 20
mL/L air.
D : Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 40
mL/L air.
Penanaman dilakukan mengikuti prosedur berikut: benih terung terlebih
dahulu disemaikan dalam baki plastik berukuran 30 x 40 cm selama 30 hari,
selanjutnya bibit dipindah dalam polybag berukuran 10 kg yang mengandung
media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang (kotoran ternak
sapi/kambing). Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali yakni umur 2 minggu
setelah tanam (mst) dan umur 10 mst. Penyemprotan EKKU (dosis sesuai
perlakuan) dilakukan setiap minggu hingga menjelang panen.
Jenis Hama dan Penyakit yang Menyerang. Pengamatan hama penyakit
yang menyerang pada masing-masing tanaman dilakukan mulai dari satu minggu
setelah tanam hingga delapan minggu setelah tanam. Penentuan penyakit didasarkan
pada gejala yang muncul pada tanaman. Identifikasi penyakit dilakukan dengan
mengambil daun tanaman sakit di lapangan dan dibawa ke
418
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
laboratorium untuk diidentifikasi penyebabnya dengan menggunakan mikroskop
yang mengacu pada prosedur diagnosis penyakit tanaman. Data yang diperoleh
disajikan dalam bentuk tabulasi dan gambar untuk selanjutnya dianalisis secara
deskriptif.
Keparahan Hama/Penyakit. Keparahan hama/penyakit dihitung dengan
menggunakan rumus Mc. Kinney dalam Kurniawati dan Hersanti (2009):
I 
(n  v)
100%
N  Z
Dimana I = keparahan penyakit; n = jumlah tanaman yang terserang; N = jumlah
seluruh tanaman; v = nilai skala serangan yang dihasilkan; Z = nilai skala tertinggi.
Skala kerusakan daun didasarkan pada kriteria: 0 = tanaman sehat/tidak ada
serangan; 1 = >0-20% tanaman terserang; 2 = >20-40% tanaman terserang; 3 = >40-
60% tanaman terserang; 4 = >60-80% tanaman terserang dan 5 = >80-100%
tanaman terserangData yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif.
Pertumbuhan Tanaman. Data pertumbuhan tanaman yang dikumpulkan
meliputi tinggi tanaman dan jumlah cabang yang diamati saat pertumbuhan
tanaman maksimum. Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasikan untuk
dianalisis secara statistik dengan analisis sidik ragam menggunakan program
SPSS versi 11.0.
HASIL
Jenis Hama Penyakit yang Menyerang. pengamatan jenis hama dan
penyakit yang muncul pada terung disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hama penyakit tanaman terung yang menyerang selama
kegiatan pengkajian.
Jenis OPT Perlakuan
A B C D
Ulat pemakan daun + + + ++
Kutu kebul - - - -
Bercak daun + - - -
Keterangan:
- = tidak ada serangan + = serangan ringan ++ = serangan berat
Intensitas Serangan Hama
Hasil pengkajian terhadap serangan ulat pemakan daun disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Intensitas serangan ulat pemakan daun
Perlakuan
Intensitas penyakit pada petani ke- (%)
Rerata (%)
I II III IV V
A 4 16 32 40 12 20,8a
B 16 16 28 20 16 19,2a
C 40 24 24 20 40 29,6a
D 48 4 20 12 44 25,6a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
berarti berbeda tidak nyata menurut DMRT0,05
419
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Pertumbuhan Tanaman Terung. Pertumbuhan tanaman terung pada
kajian ini diamati dari dua parameter pertumbuhan tanaman yakni tinggi dan
jumlah cabang tanaman terung. Aplikasi EKKU pada tanaman terung ternyata
juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman (Tabel 3).
Tabel 3. Pertumbuhan tanaman terung yang diaplikas EKKU pada berbagai
dosis pemupukan anorganik
Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Jumlah cabang
A 57,4a 2,6a
B 62,9ab 3,4a
C 81,4ab 3,0a
D 87,0b 2,5a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
berarti berbeda tidak nyata menurut DMRT0,05
PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap jenis OPT yang menyerang pada pertanaman
terung selama pengkajian menunjukkan bahwa serangan OPT didominasi oleh
serangan serangga hama, sedangkan serangan patogen sangat rendah. Bahkan,
serangga penghisap. Penggunaan EKKU dengan dosis 40 mL/L air yang
dikombinasikan dengan pengurangan dosis pemupukan hingga 50% (pelakuan
B) dapat menekan intensitas serangan ulat pemakan daun terung. Hal ini terlihat
dari serangan yang paling rendah yakni 19,2%. Namun, pemberian EKKU
dengan berbagai dosis yang dikombinasikan dengan pengurangan pupuk
anorganik sebanyak 25% (perlakuan C dan D) ternyata memberikan penekanan
serangan hama yang lebih rendah dibandingkan tanpa penggunaan EKKU
(perlakuan A). Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya kandungan
bahan hara yang terkandung dalam EKKU sehingga menyebabkan tanaman
lebih tumbuh subur sehingga rentan terhadap serangan hama. Kandungan EKKU
yang terdapat dalam Bio-Fitalik yakni glukosamin (minimal 1.000 mg/l),
mikrobia khitinolitik (minimal 3 x 106
/L), bakteri pelarut phospat (minimal 1 x
106
/L), mikrobia selulotik (minimal 1 x 107
/L), dan beberapa unsur hara (total N
850 ppm, P2O5 150 ppm, K2O 50 ppm, nitrat 350 ppm, Ca 450 ppm).
Penekanan hama maupun penyakit tanaman disebabkan karena ekstrak
kompos dapat memacu terjadinya induksi resistensi, antagonisme, dan peningkatan
toleransi tanaman. Menurut Suwandi (2004), efektifitas pengendalian penyakit
menggunakan EKKU pada tanaman sayuran telah dilaporkan terhadap penyakit
daun pada tanaman kacang panjang, cabai dan kubis. Adanya kandungan kulit
udang pada kompos ini, memungkinkan bahan ini lebih efektif dari ekstrak kompos
biasa. Peningkatan aktifitas pengendalian ini dapat terjadi akibat meningkatnya
aktifitas mikroorganisme kitinolitik yang diinduksi oleh kitin yang terdapat pada
kulit udang. Menurut Yurnaliza (2002), kitin merupakan homopolimer dari -1,4 N-
setil-D-glukosamin dan merupakan polimer ke dua terbanyak di alam setelah
selulosa. Enzim kitinase dapat digunakan sebagai biokontrol terhadap serangga dan
jamur penyakit tanaman dan produksi protein
420
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
sel tunggal (single cell protein) yaitu dengan menggunakan kitinase untuk
menghidrolisis material kitin dan khamir sumber protein sel tunggal sehingga
diperoleh protein sel tunggal dengan kadar protein dan asam nukleat yang sesuai.
Aplikasi EKKU pada tanaman terung ternyata juga mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena bahan organik EKKU juga
berperan sebagai sumber hara bagi tanaman, meningkatkan daya ikat air tanah dan
meningkatkan kapasitas pertukaran kation yang dapat meningkatkan kesuburan
tanah (Hastuti, 2000). Hasil kajian menunjukkan bahwa aplikasi EKKU dengan
dosis 40 mL/L air (perlakuan D) memberikan tinggi tanaman tertinggi dibandingkan
perlakuan lainnya yakni 87,0 cm, sedangkan jumlah cabang terbanyak terdapat pada
perlakuan B yakni aplikas EKKU dengan dosis 40 mL/L air yang dikombinasikan
dengan pengurangan dosis pupuk anorganik sebesar 25%. Hasil ini mengindikasikan
bahwa pemberian EKKU dengan dosis 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan
anorganik ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Suwandi (2004)
menambahkan produksi tanaman juga mengalami peningkatan dengan pemberian
kompos dikarenakan bahan organik juga berperan sebagai sumber hara bagi
tanaman, meningkatkan daya ikat air tanah dan meningkatkan kapasitas pertukaran
kation yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Penggunaan EKKU bahkan dapat
meningkatkan produksi tanaman oyong dan kacang panjang masing-masing sebesar
17,40% dan 246,67% (Syahri et al., 2014).
KESIMPULAN
1. Pengurangan dosis pupuk anorganik sebanyak 50% yang dikombinasikan
dengan aplikasi EKKU sebanyak 40 mL/L air mampu menekan serangan
ulat pemakan daun, dimana tingkat serangan hanya 19,2%.
2. Pemberian EKKU sebanyak 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan
anorganik mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman terung, dimana
pertumbuhan tanaman tertinggi terjadi pada pengurangan pupuk anorganik
sebesar 25% yakni 87,0 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Kurniawati, S. dan Hersanti. 2009. Pengaruh Inokulasi MVA dan Pemberian
Abu Kelapa Sawit terhadap Perkembangan Penyakit Bercak Coklat
(Alternaria solani Sor.) pada Tanaman Tomat. Widyariset 12(2): 63-69.
Rukmana, R. 1994. Bertanam Terung. Kanisius, Yogyakarta.
Suwandi. 2004. Efikasi Ekstrak Kompos Kulit Udang untuk Pengendalian
Penyakit pada Daun Tanaman Kacang Panjang, Cabai dan Kubis. J. Pest
Tropical 1(2):18-24.
Syahri dan R.U. Somantri. 2014. Kajian aplikasi biopestisida berbahan ekstrak
kompos kulit udang (EKKU) pada berbagai dosis pemupukan terhadap
pertumbuhan dan serangan penyakit cabai. Disampaikan pada Seminar
Nasional Pertanian Organik. Bogor, 18-19 Juni 2014.
421
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Syahri, Hartono dan Suwandi. 2014. Pemanfaatan ekstrak kompos kulit udang
(EKKU) dalam pengendalian penyakit dan peningkatan produksi
tanaman sayuran. Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanian
Organik. Bogor, 18-19 Juni 2014.
Utami, S.N.H. dan S. Handayani. 2003. Sifat Kimia Entisol pada Sistem
Pertanian Organik. Jurnal Ilmu Pertanian 10(2): 63-69.
Wiratno, Siswanto, dan I.M. Trisawa. 2013. Perkembangan Penelitian,
formulasi, dan pemanfaatan pestisida nabati. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 32(2): 150-155.
Yurnaliza. 2002. Senyawa Khitin dan Kajian Aktivitas Enzim Mikrobial
Pendegradasinya. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/826/1/
Biologi-Yurnaliza2.pdf, diakses 1 Juni 2012).
422
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Perkembangan Organisme Pengganggu Tanaman Padi Akibat
Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
di Lahan Rawa Lebak
The Effect of Integrated Plant Management (IPM) to Rice
Pests and Diseases on Freshwater Land
Syahri1*)
, Renny Utami Somantri1
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
*)
Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks.
+62711410155/+62711411845 email: syahrihpt@yahoo.co.id
ABSTRACT
Pest attack was causing up to 20% yield losses of rice. Integrated Plant
Management can be used to suppress the yield losses due to pest attack. The
research was conducted on farmers' fields with freshwater land typology. The
treatments consisted of the use of new high yield variety (Inpari 10, Inpari 12,
and Inpari 14), fertilization recomendation based on PUTS dan KATAM,
Legowo 4: 1 with 2-3 seeds/hole, and pest control with the principles of
integrated pest management, whereas for comparison is cultivation by farmers.
Observations were made on the intensity of pest attacks such as blast disease,
injury lever for leaf folder and mole-cricket. The monitoring of organisms using
pitfall traps and light traps. The study showed that the application of ICM on
rice crops give effect to the pest attack. In the IPM-application, the intensity of
leaf folder attacks only <16%, mole cricket <1% and blast <7%. These are lower
than farmer technology. PTT also gives effect to an increase in the population of
natural enemies of pests such as spiders and bees.
Keywords: integrated plant managemend, pest and diseases, yield losses.
ABSTRAK
Serangan organisme pengganggu tanaman dapat menyebabkan kehilangan
hasil padi hingga 20%. Penerapan PTT dengan konsep PHT di dalamnya menjadi
bagian penting yang bisa digunakan untuk menekan kehilangan hasil akibat
serangan OPT. Pengkajian dilaksanakan pada lahan petani dengan tipologi lahan
rawa lebak Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan. Petak perlakuan terdiri
dari penggunaan VUB (Inpari 10, Inpari 12, dan Inpari 14), pemupukan berdasarkan
KATAM dan PUTS, sistem tanam jajar legowo 4:1 dengan jumlah bibit 2-3
bibit/lubang, dan pengendalian OPT dengan prinsip pengelolaan hama terpadu,
sedangkan sebagai pembanding adalah sistem budidaya yang biasa dilakukan petani
(cara petani). Pengamatan dilakukan pada intensitas serangan OPT penting seperti
penyakit blas, hama putih palsu, orong-orong serta dilakukan juga pengamatan
populasi organisme yang ada pada petak pengkajian dengan menggunakan pitfall
trap dan light trap. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan PTT pada
pertanaman padi memberikan pengaruh terhadap serangan OPT. Pada penerapan
PTT, intensitas serangan hama putih palsu hanya <16%,
423
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
orong-orong <1% dan penyakit blas <7%. Serangan hama maupun penyakit ini
cenderung lebih rendah pada padi yang menggunakan teknologi PTT
dibandingkan dengan cara petani. PTT juga memberikan pengaruh terhadap
peningkatan populasi musuh alami hama seperti laba-laba maupun lebah.
Kata kunci: organisme pengganggu tumbuhan, pengelolaan tanaman terpadu,
padi
PENDAHULUAN
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) merupakan salah satu faktor
penghambat dalam upaya meningkatkan produktivitas padi. Direktorat
Perlindungan Tanaman (2010) melaporkan bahwa kekeringan, kebanjiran, dan
OPT telah menyebabkan sekitar 380 ribu ha sawah terganggu, dan 48 ribu ha di
antaranya gagal panen. Menurut Balitpa (2004), hama dan penyakit tanaman
menyebabkan kehilangan hasil mencapai kira-kira 20%, yang merupakan angka
yang tinggi dalam mengurangi produktivitas tanaman. Berbagai jenis hama
dapat menyerang tanaman padi mulai dari persemaian hingga proses pemanenan.
Selain itu kendala penyakit penting seperti blas (Pyricularia oryzae), hawar
daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae), hawar pelepah, tungro juga
menjadi ancaman dalam budidaya padi di Indonesia. Pada bulan Januari sampai
Juni 2007, di wilayah Sumatera, wereng coklat menyebabkan kerusakan padi
sekitar 95 ha dan menyebabkan kehilangan hasil sebanyak 250 ton (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2007). Selain itu masih banyaknya
serangan hama tikus, tungro dan wereng mempengaruhi penurunan produksi
(www.sripoku.com, 2011). Berdasarkan laporan Balai Perlindungan Tanaman
Pangan dan Hortikultura Sumatera Selatan, beberapa OPT penting yang
menyerang padi di antaranya hama putih palsu, penyakit blas, orong-orong,
kresek, tungro. Tahun 2013 misalnya, serangan penyakit kresek hampir
menyebar di seluruh sentra pertanaman padi di Sumatera Selatan.
Permasalahan OPT ini berpotensi menimbulkan gangguan produksi padi
nasional. Karena itu, upaya untuk mencapai target surplus beras 10 juta ton pada
tahun 2014, tentunya memerlukan dukungan teknologi yang komprehensif.
Penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan dan terus-menerus di tingkat
petani semakin memperparah tingkat serangan maupun kerusakan akibat OPT.
Menurut Laba dan Trisawa (2008) dalam Syahri et al. (2011), penggunaan
insektisida dapat menimbulkan dampak terhadap hama utama serta organisme
bukan sasaran. Dampak tersebut di antaranya adalah resistensi dan resurjensi
serangga hama serta terancamnya populasi musuh alami dan organisme bukan
sasaran. Menurutnya, beberapa jenis insektisida menimbulkan resurjensi wereng
coklat, dapat meningkatkan jumlah telur, reproduktivitas/keperidian, stadia
nimfa dan lama hidup serangga dewasa. Tercatat 23 jenis insektisida
menimbulkan resurjensi terhadap wereng coklat. Menurut Villareal (1999),
ketika terjadi epidemi tungro di Filipina tahun 1998, petani melakukan
penyemprotan pestisida sipermetrin setiap minggu. Ternyata pengendalian ini
tidak efektif mengurangi insidensi penyakit tungro dan justru menyebabkan
resurjensi populasi wereng coklat.
424
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Untuk mencapai sasaran tersebut, maka dilaksanakanlah Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Pengelolaan tanaman terpadu (PTT)
merupakan suatu usaha untuk meningkatkan hasil tanaman pangan dan efisiensi
masukan produksi dengan memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara
bijak. Menurut Jamal (2009), penerapan PTT berpedoman kepada pemahaman
petani terhadap masalah yang dihadapi serta identifikasi peluang pengembangan
yang mungkin dilakukan.
Adapun komponen teknologi PTT terdiri dari komponen teknologi dasar
dan komponen teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar untuk padi rawa
lebak di antaranya varietas modern (VUB, PTB), bibit bermutu dan sehat,
pemupukan N granul, P dan K berdasarkan PUTS, serta PHT sesuai OPT
sasaran. Sedangkan komponen teknologi pilihan di rawa lebak d antaranya
pengelolaan tanaman yang meliputi populasi dan cara tanam (legowo, larikan,
dll), umur bibit, pengelolaan air, pembuatan saluran/caren keliling, pengendalian
gulma terpadu, penanganan panen dan pasca panen (Ditjen Tanaman Pangan,
2013). Menurut Fagi dan Kartaatmaja (2004), komponen teknologi untuk
mengoreksi deteriorasi kesuburan tanah telah diteliti dan hasilnya telah dirakit
dapat paket teknologi pada strategi PTT yang meliputi: (1) pengelolaan unsur
hara spesifik lokasi, (2) pengaturan rejim air yang sesuai dengan fisiko-kimia
tanah, dan (3) penyeimbangan komponen hasil tanaman padi. Oleh karena
itulah, dalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai pengaruh PTT terhadap
perkembangan OPT padi khususnya di lahan rawa lebak.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian. Pengkajian dilaksanakan pada lahan petani
dengan tipologi lahan rawa lebak Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan.
Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah benih padi varietas unggul
baru (VUB) Inpari 10, Inpari 12, Inpari 14, biopestisida Bio-Fitalik (ekstrak
kompos kulit udang-EKKU) yang berasal dari Klinik Tanaman HPT Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya, pupuk anorganik (Urea, SP-36, NPK Phonska
dan KCl), Kalender Tanam (KATAM) Terpadu Musim Tanam I 2012/2013, dan
Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Alat yang digunakan adalah pitfall trap,
light trap modifikasi, knapsack sprayer, gelas ukur, arit, meteran, timbangan,
alat tulis, bambu, dan gunting.
Prosedur Pengumpulan Data. Tahapan pelaksanaan penelitian yaitu dengan
menentukan lahan masing-masing seluas 1.430 m2
untuk rekomendasi pemupukan
KATAM, PUTS dan perlakuan petani (luas lahan disesuaikan dengan ketersediaan
lahan petani). Pengolahan tanah dilakukan dengan cara olah tanah sempurna yakni
dengan cara dibajak. Dosis pemupukan KATAM dilakukan dengan menggunakan
rekomendasi pemupukan yang tercantum dalam KATAM MT I (dosis NPK
Phonska (15-15-15) sebanyak 225 kg/ha dan 175 kg Urea/ha) dan dengan sistem
tanam jajar legowo 4:1, rekomendasi pemupukan berdasarkan PUTS yakni 150 kg
NPK Phonska (15:15:15)/ha; 200 kg Urea/ha; 10 kg KCl/ha, sedangkan cara petani
dengan dosis pemupukan NPK kebiasaan petani yakni sebesar 300 kg/ha dan Urea
sebanyak 150 kg/ha dengan sistem tanam tegel (20 x 20 cm). Pemupukan dilakukan
sebanyak 3 kali yakni pemupukan I pada umur 0-1
425
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
minggu setelah tanam (mst), pemupukan II umur 3-4 mst, dan pemupukan III
pada umur 7-8 mst. Pemupukan dilakukan dengan cara ditebar/dihambur di
seluruh permukaan lahan. Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu benih
direndam dalam larutan 20 ml Bio-Fitalik/L air selama 24 jam selanjutnya
diperam selama 2 hari. Penanaman dilakukan dengan menggunakan bibit
berumur + 30 hari. Penyiangan gulma dilakukan dengan cara diterbas dan
menggunakan herbisida, sedangkan pengendalian OPT dilakukan dengan
menggunakan perangkap cahaya dan pestisida kimiawi yang diaplikasikan
sesuai dengan tingkat serangan OPT dengan mengikuti prinsip PHT.
Paramater Pengamatan. Pengamatan tingkat serangan OPT dilakukan
seminggu sekali sejak awal penanaman hingga menjelang panen. Sampel
tanaman untuk pengamatan OPT dipilih secara diagonal dengan jumlah sampel
tanaman yakni 10 tanaman. Intensitas serangan OPT dihitung dengan
menggunakan rumus Mc. Kinney dalam Kurniawati dan Hersanti (2009):
I 
(n  v)
100%
N  Z
Dimana I = keparahan penyakit; n = jumlah tanaman yang terserang; N =
jumlah seluruh tanaman; v = nilai skala serangan yang dihasilkan; Z = nilai skala
tertinggi. Untuk mengetahui populasi OPT terutama serangga pada petak
pertanaman juga dilakukan penangkapan dengan menggunakan pitfall trap dan
light trap. Serangga yang diperoleh selanjutnya dihitung dan diidentifikasi
jenisnya.
HASIL
Intensitas Serangan Hama. Pengaruh pemupukan yang tidak tepat dan
penggunaan varietas rentan dapat berakibat pada kerentanan tanaman terhadap
serangan OPT. Menurut Baehaki (2009), pemberian pupuk yang disesuaikan
dengan kebutuhan tanaman merupakan salah satu cara dalam menekan
perkembangan hama penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa
OPT yang banyak menyerang di antaranya hama putih palsu (HPP) yang
menyerang pada stadia vegetatif awal, orong-orong terutama pada lokasi yang
tidak tergenang. Tingkat serangan HPP ditampilkan pada Gambar 1.
426
Prosiding Seminnar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Gambar 1. Pengaruh penerapan PTT pada berbagai varietas padi
terhadap serangan hama putih palsu.
Gambar 1 menunjukkan bahwa serangan HPP terutama terjadi pada stadia
vegetatif (umur 0-5 mst). Penerapan PTT pada semua varietas padi ternyata
memberikan pengaruh yang lebih baik dalam menekan seranngan HPP
dibandingkan dengan cara petani, namun secara umum serangannya masih
cukup rendah. Hasil pengamatan tingkat serangan orong-orong pada padi
disaajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat seranggan orong-orong pada padi
Varietas
Jumlah tanaman mati pada minggu ke- (mst)
I II III
Inpari 10 (PUTS) 10 0 0
Inpari 10 (KATAM) 0 0 0
Inpari 12 (PUTS) 15 4 0
Inpari 12 (KATAM) 19 1 0
Inpari 14 (PUTS) 23 0 0
Inpari 14 (KATAM) 15 1 0
Inpari 12 (CARA PETANI) 30 3 0
Hasil tangkapan light trap dan pitfall trap selama penelitian ditunjukkan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa organisme yang tertangkap pada pitfall trap dan lighht trap
Jenis Perangkap Jenis Organisme Jumlah (ekor)
Pitfall trap Hymenoptera 26
Arachnida 3
Light trap
Coleoptera 2
Hymenoptera 99
Lepidoptera 1
Coleoptera 2
Homoptera 31
427
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Intensitas Serangan Penyakit. Tingkat serangan penyakit blas
ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Intensitas serangan penyakit blas pada padi
Perlakuan Intensitas Serangan (%)
Inpari 10 (PUTS) 0
Inpari 10 (KATAM) 1,1
Inpari 12 (PUTS) 0
Inpari 12 (KATAM) 1,1
Inpari 14 (PUTS) 6,7
Inpari 14 (KATAM) 4,4
Inpari 12 (CARA PETANI) 0,9
Tabel 3 memperlihatkan bahwa serangan penyakit blas relatif rendah yakni
masih <7%. Serangan penyakit blas tertinggi terjadi pada varietas Inpari 14
dengan berbagai metode pemupukan. Sedangkan pada varietas Inpari 10 dan
Inpari 12 serangan penyakit relatif rendah <2%. Varietas Inpari 12 merupakan
varietas padi yang tahan terhadap penyakit blas ras 033 dan agak tahan terhadap
ras 133 dan 073 (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2012). Menurut Sutami
et al. (2001), taktik pengendalian penyakit yang paling sesuai apabila jenis
patogennya mudah membentuk ras baru adalah dengan pergiliran varietas tahan.
PEMBAHASAN
Beberapa OPT penting yang umum menyerang pertanaman padi di
rawa lebak antara lain:
1. Penyakit Blas/Busuk Leher
Penyakit blas disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae. Penyakit ini
umumnya terdapat di pertanaman yang subur. Pada masa batang padi tumbuh
memanjang (+ umur 55 hari) tanaman sangat rentan terinfeksi daun. Penyakit
ini dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit dan biji dalam bentuk miselia
dan konidia. Tingkat keparahan penyakit blas sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Kelebihan nitrogen dan kekurangan air menambah
kerentanan tanaman. Diduga bahwa kedua faktor tersebut menyebabkan kadar
silikon tanaman rendah. Kandungan silikon dalam jaringan tanaman
menentukan ketebalan dan kekerasan dinding sel sehingga mempengaruhi
terjadinya penetrasi patogen kedalam jaringan tanaman. Tanaman padi yang
berkadar silikon rendah akan lebih rentan terhadap infeksi patogen. Pupuk
nitrogen berkorelasi positif terhadap keparahan penyakit blas. Artinya makin
tinggi pupuk nitrogen keparahan penyakit makin tinggi.
Penyakit dapat timbul pada daun, batang, bunga, malai dan biji dan sangat
jarang muncul pada upih daun. Gejala pada daun, berbentuk bercak jorong
dengan ujung runcing. Pusat bercak berwarna kelabu atau keputih-putihan dan
428
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
biasanya mempunyai tepi coklat atau coklat kemerahan. Gejala khasnya
adalah membusuknya ujung tangkai malai (busuk leher) sehingga malai
menjadi mudah patah.
Pengendalian yang dapat dilakukan di antaranya: menggunakan varietas
tahan secara bergantian untuk mengantisipasi perubahan ras cendawan yang
relatif cepat, pemupukan nitrogen sesuai anjuran, mengatur waktu tanam yang
tepat, agar waktu awal pembungaan (heading) tidak banyak embun dan hujan
terus-menerus, pengendalian secara kimiawi dengan gunakan fungisida (bila
diperlukan) yang berbahan aktif metil tiofanat atau fosdifen dan kasugamisin.
2. Walang sangit
Walang sangit merupakan hama yang umum merusak bulir padi pada fase
pemasakan. Serangga ini akan mempertahankan diri dengan mengeluarkan bau
apabila diganggu. Selain sebagai mekanisme pertahanan diri, bau yang
dikeluarkan juga digunakan untuk menarik walang sangit lain dari spesies yang
sama. Fase pertumbuhan tanaman padi yang rentan terhadap serangan walang
sangit adalah dari keluarnya malai sampai matang susu. Kerusakan yang
ditimbulkannya menyebabkan beras berubah warna dan mengapur, serta hampa.
Ambang ekonomi walang sangit adalah lebih dari 1 ekor walang sangit per dua
rumpun pada masa keluar malai sampai fase pembungaan. Mekanisme
merusaknya yaitu menghisap butiran gabah yang sedang mengisi.
Di Indonesia walang sangit merupakan hama potensial yang pada waktu-
waktu tertentu menjadi hama penting dan dapat menyebabkan kehilangan hasil
mencapai 50%. Diduga bahwa populasi 100.000 ekor per hektar dapat
menurunkan hasil sampai 25%. Hasil penelitian menunjukkan populasi walang
sangit 5 ekor per 9 rumpun padi akan menurunkan hasil 15%. Hubungan antara
kepadatan populasi walang sangit dengan penurunan hasil menunjukkan bahwa
serangan satu ekor walang sangit per malai dalam satu minggu dapat
menurunkan hasil 27%. Kualitas gabah (beras) sangat dipengaruhi serangan
walang sangit. Diantaranya menyebabkan meningkatnya grain discoloration.
Sehingga serangan walang sangit disamping secara langsung menurunkan hasil,
secara tidak langsung juga sangat menurunkan kualitas gabah.
3. Penggerek batang padi (stem borer)
Penggerek batang padi merupakan hama yang sangat penting pada padi
dan sering menimbulkan kerusakan dan menurunkan hasil panen secara
nyata. Terdapatnya penggerek di lapang dapat dilihat dari adanya ngengat di
pertanaman dan larva di dalam batang. Mekanisme kerusakan disebabkan
larva merusak sistem pembuluh tanaman di dalam batang. Stadia tanaman
yang rentan terhadap serangan penggerek adalah dari pembibitan sampai
pembentukan malai. Gejala kerusakan yang ditimbulkannya mengakibatkan
anakan mati yang disebut sundep pada tanaman stadia vegetatif dan beluk
(malai hampa) pada tanaman stadia generatif. Siklus hidupnya 40-70 hari
tergantung pada spesiesnya. Ambang ekonomi penggerek batang adalah 10%
anakan terserang; 4 kelompok telur per rumpun (pada fase bunting). Perlu
diketahui bahwa kerusakan pada stadia generatif maka tindakan pengendalian
sudah terlambat atau tidak efektif lagi.
Penggerek batang padi terdapat sepanjang tahun dan menyebar di seluruh
Indonesia pada ekosistem padi yang beragam. Intensitas serangan penggerek
batang padi pada tahun 1998 mencapai 20,5% dan luas daerah yang terserang
429
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
mencapai 151.577 ha. Kehilangan hasil akibat serangan penggerek batang
padi pada stadia vegetatif tidak terlalu besar karena tanaman masih dapat
mengkompensasi dengan membentuk anakan baru.
4. Keong mas (golden apple snail)
Keong mas merusak tanaman dengan cara memarut jaringan tanaman dan
memakannya, menyebabkan adanya bibit yang hilang di per-tanaman. Bekas
potongan daun dan batang yang diserangnya terlihat mengambang. Waktu kritis
untuk mengendalikan keong mas adalah pada saat 10 hari setelah tanam pindah,
atau 21 hari setelah sebar benih (benih basah). Setelah itu laju pertumbuhan
tanaman lebih besar daripada laju kerusakan oleh keong mas. Bila di sawah
diketahui ada keong mas, perlu dilakukan pengaturan air karena keong mas
menyenangi tempat-tempat yang digenangi air. Jika petani menanam dengan
sistem tanam pindah maka pada 15 hari setelah tanam pindah, sawah perlu
dikeringkan kemudian digenangi lagi secara bergantian (flash flood = intermitten
irrigation). Bila petani menanam dengan sistem tabela (tanam benih secara
langsung), selama 21 hari setelah sebar benih sawah perlu dikeringkan kemudian
digenangi lagi secara bergantian. Selain itu perlu dibuat caren di dalam dan di
sekeliling petakan sawah sebelum tanam, baik di musim hujan maupun kemarau.
Ini dimaksudkan agar pada saat dilakukan pengeringan, keong mas akan menuju
caren sehingga memudahkan pengambilan keong mas dan sebagai salah satu cara
pengendaliannya.
Keberadaannya di lapang ditandai oleh adanya telur berwarna merah
muda dan keong mas dengan berbagai ukuran dan warna. Keong mas
merupakan salah satu hama penting yang menyerang padi muda terutama di
sawah yang ditanam dengan sistem tabela.
Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan diantaranya: secara fisik,
menggunakan saringan berukuran 5 mm mesh yang dipasang pada tempat air
masuk di pematang untuk meminimalkan masuknya keong mas ke sawah dan
memudahkan pemungutan dengan tangan, secara mekanis dengan memungut
keong dan menghancurkannya, bila di suatu lokasi sudah diketahui bahwa
keong mas adalah hama utama, sebaiknya tanam bibit yang tua dan tanam
lebih dari satu bibit per rumpun; buat caren di dalam dan di sekeliling petakan
sawah, mengaplikasikan pestisida yang berbahan aktif niclosamida dan
pestisida botani seperti lerak, deris, dan saponin.
Serangan HPP pada lokasi pengkajian cenderung meningkat pada minggu
ke-2 setelah tanam, dan menurun kembali pada periode selanjutnya. Hal ini
disebabkan karena pada minggu ke-3 setelah tanam dilakukan penyemprotan
insektisida berbahan aktif deltametrin sehingga terjadi penurunan persentase
serangan pada 4-5 mst. Serangan HPP terendah terjadi pada varietas Inpari 12
yang diberi pemupukan berdasarkan rekomendasi PUTS (intensitas serangan
<2%). Sedangkan, tingkat serangan tertinggi terjadi pada padi varietas Inpari 12
dengan perlakuan tanam mengikuti cara petani.
Selain serangan HPP, pada petak pertanaman juga terdapat serangan orong-
orong (Gryllotalpa sp.). Orong-orong merupakan salah satu hama penting yang
menyerang perakaran tanaman padi, gejala yang ditimbulkannya yakni rusaknya
bagian perakaran padi sehingga menyebabkan padi menguning dan mati.
430
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Serangan orong-orong terutama pada padi yang tumbuh pada lokasi yang tidak
tergenang (kering).
Serangan orong-orong pada semua petak perlakuan relatif rendah (<1%
dari populasi tanaman), hal ini disebabkan karena sebagian besar lahan dalam
kondisi tergenang air. Bahkan, pada minggu ke-3 tidak terdapat lagi tanaman
yang mati karena orong-orong (Tabel 1). Hal ini dikarenakan telah dilakukan
aplikasi insektisida karbofuran pada lokasi pertanaman terutama pada pinggir
petak perlakuan yang kondisinya tidak tergenang.
Selanjutnya, untuk menekan serangan OPT yang aktif pada malam hari
(nocturnal pest) dilakukanlah penangkapan dengan menggunakan perangkap cahaya
yang dimodifikasi (light trap), perangkap ini dibuat dengan menggunakan corong
air berukuran besar dengan diameter + 30 cm, dengan cahaya bersumber dari lampu
senter (Gambar 2). Sedangkan, untuk mengidentifikasi jenis serangga yang ada pada
tanah dilakukan dengan menggunakan perangkap sumuran (pitfall trap) yang
dipasang di setiap petak perlakuan.
Gambar 2. Perangkap cahaya yang telah dimodifikasi
Hasil tangkapan dengan menggunakan pitfall trap maupun light trap
menunjukkan bahwa organisme yang tertangkap terdiri dari berbagai jenis
organisme. Tabel 2 menunjukkan bahwa populasi organisme pada petakan
penerapan PTT didominasi oleh organisme yang bermanfaat sebagai musuh
alami seperti dari ordo Hymenoptera (lebah) dan Arachnida (laba-laba).
Hymenoptera merupakan kelompok serangga yang didominasi oleh parasitoid,
sedangkan arachnida berperan sebagai predator serangga hama. Oleh karena itu,
hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi serangga hama yang tertangkap
relatif rendah karena kemungkinan disebabkan adanya penekanan populasi oleh
musuh alami tersebut.
Menurut Baehaki (2009), teknologi yang dikembangkan untuk
mengendalikan hama pada pertanaman padi didasarkan kepada konsep
pengendalian hama terpadu (PHT) dengan mempertimbangkan ekosistem,
stabilitas, dan kesinambungan produksi sesuai dengan tuntutan praktek pertanian
yang baik (Good Agricultural Practices). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penerapan PTT yang di dalamnya menggunakan taktik pengendalian OPT
berdasarkan prinsip PHT ternyata mampu menekan serangan berbagai jenis
hama padi.
431
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Hasil penelitian pengaruh PTT terhadap serangan penyakit padi
menunjukkan bahwa penyakit yang menyerang pada setiap perlakuan
didominasi oleh serangan penyakit blas yang disebabkan oleh jamur Pyricularia
oryzae. Menurut Semangun (2004), penyakit blas dapat menyerang daun,
batang, bunga, malai dan biji dan sangat jarang muncul pada upih daun. Gejala
pada daun, berbentuk bercak jorong dengan ujung runcing. Pusat bercak
berwarna kelabu atau keputih-putihan dan biasanya mempunyai tepi coklat atau
coklat kemerahan. Gejala khasnya adalah membusuknya ujung tangkai malai
(busuk leher) sehingga malai menjadi mudah patah.
Menurut Sutami et al. (2001), taktik pengendalian penyakit yang paling
sesuai apabila jenis patogennya mudah membentuk ras baru adalah dengan
pergiliran varietas tahan. Untuk menekan berkembangnya penyakit blas selama
penelitian, maka pemupukan ke-3 (susulan II) tidak dilakukan serta dilakukan
juga pengendalian dengan menyemprotkan fungisida. Tindakan ini dilakukan
karena penyakit blas akan semakin bertambah parah jika dosis pemupukan N
tinggi (Semangun, 2004). Selain itu, kondisi cuaca saat penelitian dengan
intensitas hujan yang tinggi yang justru akan membantu. Menurut Roja (2009),
kondisi seperti ini menyebabkan spora jamur penyebab blas (Pyricularia grisea)
banyak dilepaskan ke udara, dan spora-spora ini akan menginfeksi tanaman padi
sehingga menimbulkan kerusakan tanaman.
Perbedaan dosis pemupukan, jenis varietas maupun tindakan pengendalian
akan sangat mempengaruhi serangan penyakit tanaman. Serangan penyakit
seperti blas daun cenderung lebih rendah pada varietas Inpari 10 dan Inpari 12
yang diberi pupuk berdasarkan rekomendasi PUTS. Menurut Wood (1974)
dalam Supriatna (2003), pemupukan dengan Kalium dan Fosfat dapat
menurunkan insidensi serangan hama penyakit. Kekurangan Kalium akan
menyebabkan penurunan laju pertumbuhan dan vigor tanaman, penurunan
ketahanan tanaman, dan menyebabkan akar tanaman berkembang lambat
sehingga mudah diinfeksi penyakit akar (Anonim, 1988 dalam Supriatna, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian, teknologi PTT yang terdiri dari penggunaan
varietas unggul baru tahan OPT, pemupukan berdasarkan rekomendasi
(KATAM maupun PUTS) serta taktik pengendalian OPT menggunakan prinsip
PHT memberikan pengaruh terhadap penurunan intensitas serangan OPT pada
pertanaman padi. Dengan adanya penurunan serangan OPT ini diharapkan
tanaman padi akan tumbuh dengan baik dan memberikan produktivitas yang
baik pula sehingga target produksi yang diharapkan petani maupun pemerintah
dapat tercapai.
KESIMPULAN
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan PTT pada pertanaman
padi memberikan pengaruh terhadap serangan OPT. Pada penerapan PTT,
intensitas serangan hama putih palsu hanya <16%, orong-orong <1% dan
penyakit blas <7%. Serangan hama maupun penyakit ini cenderung lebih rendah
pada padi yang menggunakan teknologi PTT dibandingkan dengan cara petani.
PTT juga memberikan pengaruh terhadap peningkatan populasi musuh alami
hama seperti laba-laba maupun lebah.
432
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
433
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Baru
Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian
Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Kalender Tanam
Terpadu. http://katam.litbang.deptan.go.id.[12 Januari]2013.
Baehaki, SE. 2009. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi dalam
Perspektif Praktek Pertanian yang Baik (Good Agricultural Practices).
Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 2(1): 65-78.
Balai Penelitian Tanaman Padi. 2004. Inovasi Teknologi untuk Peningkatan
Produksi Padi dan Kesejahteraan Petani. Sukamandi.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013.
Kementerian Pertanian.
Fagi, AM dan S. Kartaatmaja. 2004. Teknologi Budidaya Padi: Perkembangan
dan Peluang. Dalam: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Penyunting:
Fasisal Kasryno, E. Pasandaran, AM Fagi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Roja, A. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu (PHT) Padi
Sawah. BPTP Sumatera Barat.
Santos, A.B., N.K. Fageria, A.S. Prabhu. 2003. Rice ratooning management
practices for higher yields. Communication Soil Science. J. Plant Anal 34:
881-918.
Semangun, H. 2004. Hama dan Penyakit Penting Tanaman Pangan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Sriwijaya Post Online (http://www.sripoku.com, Edisi Tanggal 20 Juni 2010 dan
11 Januari 2011)
Supriatna, A. 2003. Integration pest management and its implementation by rice
farmer in Java. Jurnal Litbang Pertanian 22(3): 109-115.
Sutami, B. Prayudi, dan S. Sulaiman. 2001. Reaksi Ketahanan Galur-galur Padi
Rawa Pasang Surut terhadap Penyakit Blas Leher. Di dalam: Prayudi B, et
al. (eds), Pegelolaan Tanaman Pangan Lahan Rawa. Prosiding
Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Penelitian Tanaman Pangan di Lahan
Rawa Menuju Ketahanan Pangan, Kesejahteraan Petani dan Konsumen;
Banjarbaru, 4-5 Juli 2000. p 127-137.
434
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru Kedelai Melalui
Pendekatan PTT Mendukung SL-PTT Kedelai
Di Sulawesi Tengah
Adaptation Some New Varieties of Soybean Through
Supports PTT approach SLPTT Soybean
In Central Sulawesi
Ruslan Boy*), Yakob Langsa1
, Saidah2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah
*)
Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. 081354259888/0451482549
email: boyruslan73@yahoo.co.id
ABSTRACT
This study aims to obtain new varieties soybeans adaptive and has a high
yield potential through the approach of Integrated Crop Management (ICM)
supports soybeans in Central Sulawesi. Location studies on dry land Luwuk
District of East Village Lauwon Banggai and Wood Village District Court
District of Mepanga Moutong Parigi. Using Split plot design consisting of a
main plot and subplot. The main plot is the location/village activities. The
subplots were soybean varieties consisting of varieties Tanggamus, Argomulyo,
Willis and Kaba. Each treatment was repeated 3 times. Broad swath of
assessment 5 mx 5 m using a spacing of 40 cm x 15 cm at planting 2 seeds
planting hole. The results of the study show that the introduced varieties 4 shows
the different productivity of the development site. Banggai varieties Tanggamus
obtain the highest yield of 3.16 t/ha followed by Kaba 3.00 t/ha, Willis 2.40 t/ha,
and Argomulyo 2.20 t/ha, while in the District Parigi Moutong Willis varieties
2.20 t/ha Tanggamus ha followed by 2.08 t/ha and Argomulyo and Kaba obtain
the same result of 1.60 t/ha. Conclusion that the varieties Tanggamus and
adaptive willis to be developed at each study site because it gives results in
higher soybeans seed, which Tanggamus varieties of 3.16 t/ha and Willis 2,40
t/ha as compared to other varieties.
Keywords : Adaptation , yielding varieties , soybeans , Results
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan varietas unggul baru (VUB)
kedelai yang adaptif dan memiliki potensi hasil tinggi melalui pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) mendukung SL-PTT kedelai di Sulawesi
Tengah. Lokasi kajian di lahan kering Desa Lauwon Kecamatan Luwuk Timur
Kabupaten Banggai dan Desa Kayu Agung Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi
Moutong. Menggunakan rancangan Split Plot yang terdiri dari petak utama dan anak
petak. Petak utama adalah lokasi/desa tempat kegiatan. Anak petak
435
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
adalah varietas kedelai yang terdiri dari varietas Tanggamus, Argomulyo, Willis
dan Kaba. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Luas petak pengkajian 5 m
x 5 m dengan menggunakan jarak tanam 40 cm x 15 cm ditanam 2 biji per
lubang tanam. Hasil kajian menunjukkan dari 4 varietas yang diintroduksi
memperlihatkan produktivitas yang berbeda terhadap lokasi pengembangannya.
Kabupaten Banggai varietas Tanggamus memperoleh hasil tertinggi 3,16 t/ha
disusul Kaba 3,00 t/ha, Willis 2,40 t/ha, serta Argomulyo 2,20 t/ha sedangkan di
Kabupaten Parigi Moutong varietas Willis 2,20 t/ha disusul Tanggamus 2,08
t/ha serta Argomulyo dan Kaba memperoleh hasil yang sama 1,60 t/ha.
Kesimpulan bahwa varietas Tanggamus dan willis adaptif untuk dikembangkan
di masing-masing lokasi penelitian karena memberikan hasil biji kedelai yang
lebih tinggi, yaitu varietas Tanggamus 3,16 t/ha dan Willis 2,40 t/ha
dibandingkan dengan varietas lainnya.
Kata kunci: Adaptasi, varietas unggul, kedelai, hasil
PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi,
jagung dan umbi-umbian yang meiliki gizi tinggi. Kebutuhan kedelai di Indonesia
terus meningkat dan ini belum bisa diimbangi oleh produksi nasional sehingga
impor kedelai masih terus dilakukan. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi
permintaan nasional yang cenderung terus meningkat, produksi kedelai perlu terus
diupayakan peningkatannya untuk memenuhi kebutuhan yang semakin bertambah
dan sekaligus penyediaan pangan yang bergizi bagi masyarakat luas.
Perkembangan produktivitas tanaman kedelai di Sulawesi Tengah periode
2010-2012 menunjukkan adanya peningkatan. Produktivitas kedelai Tahun 2010
mencapai 1,31 t/ha, Tahun 2011 mencapai 1,28 t/ha dan Tahun 2012 mencapai
1,46 t/ha (BPS Sulteng, 2013). Namun demikian, produktivitas yang dicapai
masih tergolong rendah dan fluktuatif. Peluang peningkatan produksi melalui
perbaikan teknologi masih terbuka lebar, mengingat produktivitas pertanaman
kedelai di tingkat petani masih rendah (1,3 t/ha) dengan kisaran 0,6-2,0 t/ha
(Hermanto dan kasim, 2008), padahal teknologi produksi yang tersedia mampu
menghasilkan produktivitas kedelai antara 1,7- 3,2 t/ha (Marwoto et al. 2009).
Rata-rata produktivitas kedelai nasional baru mencapai 1,42 t/ha (BPS Pusat,
2013).
Varietas unggul merupakan inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian
yang mudah diadopsi petani dan memberikan kontribusi signifikan dalam
meningkatkan produksi. Perakitan varietas kedelai di Indonesia telah berhasil
mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan mulai diarahkan pada perbaikan
ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik. Namun rata-rata hasil
kedelai nasional masih relatif rendah. Penyebabnya karena budidaya kedelai di
Indonesia berada dalam lingkungan yang sangat beragam sehingga hasil kedelai
tidak hanya berfluktuasi antar lokasi, namun juga antar musim, faktor lain
hingga saat ini belum semua petani kedelai menggunakan benih varietas unggul
yang berlabel (Thamrin et al. 2012).
Pengembangan varietas kedelai berdaya hasil tinggi pada cakupan
lingkungan yang luas merupakan salah satu faktor kunci dalam peningkatan
436
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
produksi. Besarnya ragam lingkungan budidaya kedelai di Indonesia
mengakibatkan rentang hasilnya sangat besar, yaitu 0,50-2,50 t/ha (Subandi et
al. 2008). Hasil biji merupakan karakter kompleks yang terkait dengan beberapa
komponen hasil dan dipengaruhi oleh fluktuasi lingkungan. Selah satu cara
untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menyediakan varietas yang
berdaya hasil relatif sama pada lingkungan yang berbeda.
Upaya mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan terobosan dalam
memproduksi kedelai yang mampu memberikan produktivitas tinggi dengan
proses produksi yang efisien dan berkelanjutan. Guna mencapai hal tersebut,
diperlukan rakitan teknologi spesifik lokasi dengan memperhatikan kesesuaian
terhadap kondisi biofisik lahan, sosial ekonomi masyarakat, dan kelembagaan
petani. Proses produksi yang demikian pada hakekatnya merupakan konsep
pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang sangat berperan dalam
mendukung SL-PTT kedelai untuk peningkatan produksi kedelai di Sulawesi
Tengah. Hasil penelitian Suryana (2008) komponen teknologi produksi yang
dikemas dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada tanaman kedelai
mampu meningkatkan produksi hingga lebih dari 2 t/ha. PTT kedelai perlu
diterapkan di sentra-sentra produksi kedelai di Sulawesi Tengah, baik di lahan
sawah maupun di lahan kering (Ruslan Boy dan Mardiana, 2012).
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dilakukan kajian tentang
adaptasi beberapa varietas unggul baru kedelai melalui pendekatan pengelolaan
tanaman terpadu (PTT) mendukung sekolah lapang pengelolaan tanaman
terpadu (SL-PTT) kedelai di Sulawesi Tengah yang bertujuan untuk
mendapatkan varietas-varietas kedelai yang adaptif terhadap lingkungan tumbuh
yang spesifik dan memiliki potensi hasil tinggi.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilaksanakan di Desa Lauwon Kecamatan Luwuk Timur
Kabupaten Banggai di lahan kering pada ketinggian tempat 181 mdpl dan berada
pada posisi geografi 000
50’35.7’’ LS dan 1220
57’41.8’’ BT dan Desa Kayu
Agung Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi
Tengah. Dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli 2012.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terpisah (RPT) yang
terdiri atas petak utama (PU) yaitu lokasi penelitian dan anak petak (AP) yaitu
varietas Tanggamus, Argomulyo, Willis dan Kaba. Setiap perlakuan diulang 3
kali sehingga terdapat 24 unit perlakuan dan satuan percobaan berupa petak
berukuran 5 m x 5 m.
Kajian ini menggunakan pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) yang dilakukan di lahan petani. Persiapan lahan dengan cara
Tanpa Olah Tanah (TOT), seed treatment dengan carbosulfan 25,53% (dosis
formulasi 20 gr Insektisida Marshal 25ST/kg benih kedelai). Menggunakan jarak
tanam 40 cm x 15 cm (2 biji/lubang tanam). Pupuk yang diberikan untuk lokasi di
Kabupaten Banggai dengan takaran NPK Phonska 200 kg/ha, SP36 37,3 kg/ha dan
KCl 62,5 kg/ha dan Parigi Moutong dengan takaran NPK Phonska 150 kg/ha, SP36
100 kg/ha dan KCl 12,5 kg/ha. Pengendalian hama dan penyakit serta
437
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
gulma dilakukan secara optimal. Panen dilakukan saat masak fisiologis ditandai
dengan 95% polong telah berwarna coklat dan daun berwarna kuning.
Pengamatan kajian ini meliputi data keragaan komponen pertumbuhan
dan hasil. Data komponen pertumbuhan terdiri dari: persentase tanaman tumbuh,
umur 50% pembungaan, tinggi tanaman, dan umur panen. Data komponen hasil
terdiri dari: jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, bobot 100 biji
dan hasil biji per hektar. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam
(Uji F), apabila analisis ragam menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan
dengan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%.
HASIL
Tabel 1. Persentase Tanaman Tumbuh (%) beberapa varietas unggul kedelai di 2
lokasi SL- PTT kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012
Lokasi Varietas
Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata
Banggai 97,44 92,25 95,65 94,53 94,97a
Parigi Moutong 86,70 63,33 83,30 70,00 75,83b
Rata-rata 92,07a 77,79c 89,47a 82,26b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji BNJ
Tabel 2. Umur berbunga (hari) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-
PTT kedelai, Sulawesi Tengah, MH 2012
Lokasi
Varietas
Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata
Banggai 35,25 35,00 37,87 34,75 35,72a
Parigi Moutong 31,00 33,00 38,00 40,00 35,50a
Rata-rata 33,12a 34,00a 37,93b 37,37b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji BNJ
Tabel 3. Tinggi Tanaman (cm) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-
PTT kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012.
Lokasi
Varietas
Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata
Banggai 92,00 69,00 72,70 82,60 79,10a
Parigi Moutong 74,80 55,80 66,60 74,40 67,90b
Rata-rata 83,40a 64,25c 67,80c 78,50b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji BNJ
438
Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
Tabel 4. Umur Panen (hari) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT
kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012
Lokasi
Varietas
Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata
Banggai 88,34 80,00 88,57 84,25 85,29a
Parigi Moutong 86,00 76,00 90,00 86,00 84,50a
Rata-rata 87,17c 78,00a 89,28d 85,12c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji BNJ
Tabel 5. Jumlah Cabang Produktif beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi
SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012
Lokasi
Varietas
Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata
Banggai 5,20 4,90 5,00 4,80 4,97a
Parigi Moutong 5,30 5,50 4,00 4,00 4,70a
Rata-rata 5,25a 5,20a 4,50a 4,40a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji BNJ
Tabel 6. Jumlah Polong Pertanaman beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi
SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012
Lokasi
Varietas
Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata
Banggai 109,1 52,30 87,40 79,80 82,15a
Parigi Moutong 75,00 56,70 104,70 75,50 77,97b
Rata-rata 92,05a 54,50d 96,05a 77,65c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji BNJ
Tabel 7. Bobot 100 biji (gr) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT
kedelai, Sulawesi Tengah. 2012
Lokasi
Varietas
Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata
Banggai 12,26 17,18 12,57 13,13 13,78a
Parigi Moutong 11,53 17,01 13,12 12,90 13,64a
Rata-rata 11,89b 17,10a 12,84b 13,01b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji BNJ
Tabel 8. Hasil Biji (t/ha) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT
kedelai, Sulawesi Tengah. 2012
Lokasi
Varietas
Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata
Banggai 3,16 2,20 2,40 3,00 2,69
Parigi Moutong 2,08 1,60 2,20 1,60 1,87
Rata-rata 2,62 1,90 2,30 2,30
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji BNJ
439
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
PEMBAHASAN
Persentase Tanaman Tumbuh. Hasil analisis keragaman yang
dilanjutkan dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata persentase
tanaman tumbuh pada 2 lokasi penelitian dan penggunaan 4 varietas kedelai
memberikan pengaruh nyata, sedangkan interaksinya tidak memberikan
pengaruh nyata. Lokasi penelitian di Kabupaten Banggai mencapai persentase
tanaman tumbuh yang lebih tinggi yaitu 94,97% dan berbeda nyata dengan
lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 75,83%. Sedangkan untuk
4 varietas yang diuji, varietas Tanggamus menunjukkan rata-rata persentase
tumbuh tanaman yang lebih tinggi yaitu 92,07% dan berbeda nyata dengan
varietas Argomulyo dan Kaba, tetapi tidak berbeda dengan varietas Willis.
Umur berbunga. Pengamatan umur berbunga dilakukan pada saat 50%
keluarnya bunga kedelai di pertanaman. Hasil analisis keragaman menunjukkan
bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda
terhadap umur berbunga, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Umur
berbunga kedelai pada lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong lebih
cepat yaitu 35,25 hari dibandingkan dengan Kabupaten Banggai 35,72 hari.
Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas
Tanggamus menunjukkan rata-rata umur berbunga lebih cepat yaitu 33,12 hari
dan berbeda nyata dengan varietas Willis dan Kaba tetapi tidak berebeda dengan
varietas Argomulyo. Arsyad et al. (2007) dalam Djufry (2012) Tipe tanaman
ideal berdaya hasil tinggi yang beradaptasi baik pada lahan yang suboptimal
seperti lahan kering masam yang memiliki umur berbunga 40-45 hst.
Tinggi Tanaman. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada saat
tanaman menjelang panen karena pada umur tersebut, pertumbuhan vegetatif
terutama tinggi tanaman telah mencapai ukuran yang optimal. Hasil analisis
keragaman yang dilanjutkan dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata
tinggi tanaman pada 2 lokasi penelitian dan penggunaan 4 varietas kedelai
memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, sedangkan interaksinya
tidak memberikan pengaruh nyata. Lokasi penelitian di Kabupaten Banggai
memiliki rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi yaitu 79,10 cm dan berbeda
nyata dengan lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 67,90 cm.
Sedangkan untuk varietas, dari 4 varietas yang diuji varietas Tanggamus
menunjukkan rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi yaitu 83,40 cm dan
berbeda nyata dengan varietas kedelai lainnya. Tinggi tanaman merupakan
karakter penting yang dapat mempengaruhi komponen tanaman kedelai lainnya
seperti jumlah cabang produktif dan jumlah buku produktif. Tinggi tanaman
yang ideal menurut Somaatmadja (1985) dalam Djufry (2012) adalah 75 cm.
Umur Panen. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi
penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda terhadap umur
panen, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Umur panen kedelai pada
lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong lebih capat yaitu 84,50 hari
dibandingkan dengan Kabupaten Banggai 85,29 hari. Hasil uji BNJ 5%
440
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas Argomulyo
menunjukkan rata-rata umur panen lebih cepat yaitu 78,00 hari dan berbeda
nyata dengan varietas kedelai lainnya.
Jumlah Cabang Produktif. Hasil analisis keragaman menunjukkan
bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas serta interaksinya terhadap
jumlah cabang produktif tidak memberikan pengaruh nyata. Walaupun dapat
dilihat jumlah cabang produktif di lokasi penelitian Kabupaten Banggai lebih
banyak yaitu 4,97 cbg dibanding Kabupaten Parigi Moutong 4,70 cbg. Varietas
yang diuji, rata-rata jumlah cabang produktif varietas Tanggamus lebih banyak
yaitu 5,25 cbg dibandingkan dengan varietas kedelai lainnya. Hal ini
mengindikasikan varietas Tanggamus memiliki adaptasi yang baik terhadap
kondisi agroekologi setempat. Penelitian Djufry (2012) tipe tanaman ideal
berdaya hasil tinggi yang beradaptasi baik mampu membentuk percabangan
antara 5-6 cabang.
Jumlah Polong Pertanaman. Hasil analisis keragaman yang dilanjutkan
dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata jumlah polong pertanaman
pada lokasi penelitian dan penggunaan varietas kedelai memberikan pengaruh
nyata, sedangkan interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata. Lokasi
penelitian di Kabupaten Banggai menghasilkan jumlah polong pertanaman yang
lebih banyak yaitu 82,15 plg dan berbeda nyata dengan lokasi penelitian di
Kabupaten Parigi Moutong yang menghasilkan 77,97 plg. Sedangkan untuk 4
varietas kedelai yang diuji, varietas Willis memperoleh jumlah polong generatif
yang tertinggi yaitu 96,05 plg dan tidak berbeda dengan varietas Tanggamus
tetapi berbeda nyata dengan varietas Kaba dan Argomulyo.
Bobot 1000 Biji. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi
penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda terhadap
bobot 100 biji kedelai, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Bobot
100 biji kedelai pada lokasi penelitian di Kabupaten Banggai mencapai 13,78 gr,
sedangkan Kabupaten Parigi Moutong mencapai 13,64 gr. Hasil uji BNJ 5%
menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas Argomulyo
menunjukkan bobot 100 biji yang lebih berat yaitu 17,10 gr dan berbeda nyata
dengan varietas kedelai lainnya. Djufry (2012), mengelompokkan genotype
kedelai yang tergolong berbiji kecil memiliki bobot kurang atau sama dengan
7,5 gr, berbiji sedang memiliki bobot antara 7,6-12,5 gr, dan berbiji besar
memiliki bobot lebih dari 12,5 gr. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, maka
varietas-varietas kedelai yang diujikan termasuk dalam kelompok kedelai yang
berbiji besar karena memiliki kisaran rata-rata bobot 100 biji antara 12,26 gr-25,
56 gr dan rata-rata bobot 100 biji pada varietas pembanding mencapai 14,85 gr.
Hasil Biji Perhektar. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi
penelitian dan penggunaan varietas serta interaksinya terhadap hasil biji perhektar
tidak berpengaruh nyata. Walaupun hasil biji perhektar tertinggi dicapai pada lokasi
penelitian di Kabupaten Banggai yaitu 2,69 t/ha dan Kabupaten Parigi Moutong
mencapai 1,87 t/ha. Demikian pula, 4 varietas yang diuji varietas Tanggamus
menunjukkan hasil biji perhektar yang lebih tinggi yaitu 2,62 t/ha
441
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung
Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014
disusul Willis dan Kaba memperoleh hasil yang sama 2,30 t/ha dan Argomulyo
1,90 t/ha.
Setelah melihat beberapa data komponen pertumbuhan dan komponen
hasil yang ditunjukkan 4 varietas kedelai yang diuji pada 2 lokasi yang berbeda
menunjukkan keragaman antar varietas tersebut. Hasil penelitian Adie dan
Arifin (2008), salah satu penyebab terjadinya fluktuasi hasil kedelai karena
budidaya kedelai di Indonesia berada dalam lingkungan yang sangat beragam,
sehingga hasil kedelai tidak hanya berfluktuasi antar lokasi namun juga antar
musim. Disinyalir juga bahwa besarnya ragam hasil antara lokasi lebih
disebabkan oleh penerapan perbedaan budidaya. Selain dari itu, faktor
determinan budidaya kedelai antar musim di Indonesia adalah mutu draenase
dan ketersediaan air. Ayda Krisnawati dan Adie (2008), menyatakan sulitnya
mendapatkan kedelai berdaya hasil di atas 2,5 t/ha dengan umur masak di bawah
75 hari berkaitan dengan masalah proses fisiologi tanaman. Hal ini diduga
bahwa varietas kedelai yang berumur dalam akan memiliki fase vegetatif lebih
panjang dibandingkan dengan kedelai berumur genjah, sehingga cabang, jumlah
buku dan jumlah polong semakin banyak. Selain itu periodisitas kedelai berumur
dalam juga lebih panjang akan menjadi modal penting dalam menghasilkan
fotosintesis bersih bagi tanaman dan dapat meningkatkan hasil biji kedelai.
Karakter morfologi tanaman, seperti ketebalan daun dan laju pertumbuhan
tanaman, merupakan karakter tanaman yang diduga mempengaruhi tingkat
produktivitas karena dapat mempengaruhi kecepatan proses fotosintesis. Laju
pengisian biji yang tinggi dan berlangsung relatif lama akan menghasilkan bobot biji
yang tinggi selama biji sebagai sink dapat menampung hasil asimilat. Sebaliknya,
bila sink cukup banyak tetapi hasil asimilat rendah mengakibatkan kehampaan biji
(Sutoro et al. 2008). Besarnya ragam lingkungan untuk budidaya kedelai di
Indonesia memang menuntut tersedianya varietas kedelai yang memiliki keragaman
hasil relatif kecil pada sembarang lokasi, sehingga daya hasil yang diperoleh akan
paralel dengan mutu lingkungan lokasi yang bersangkutan.
KESIMPULAN
Adaptasi beberapa Varietas Unggul Baru kedelai melalui pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu dalam mendukung SL-PTT kedelai di Sulawesi
Tengah menunjukkan kemampuan adaptasi yang berbeda antar lokasi penelitian.
Varietas Tanggamus adaptif terhadap lingkungan tumbuh yang spesifik di
Kabupaten Banggai, sehingga cocok untuk dikembangkan dan mencapai hasil
biji kering yang lebih tinggi yaitu 3,16 t/ha, sedangkan varietas Willis adaptif
terhadap lingkungan tumbuh yang spesifik di Kabupaten Parigi Moutong,
sehingga cocok untuk dikembangkan dan mencapai hasil biji kering yang lebih
tinggi yaitu 3,16 t/ha dibanding varietas lainnya.
442
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3

Más contenido relacionado

Destacado

Tercero Quim Pract No. 6
Tercero Quim Pract No. 6Tercero Quim Pract No. 6
Tercero Quim Pract No. 6
Diana Alcocer
 
Tercero Quim Pract No. 6
Tercero Quim Pract No. 6Tercero Quim Pract No. 6
Tercero Quim Pract No. 6
Diana Alcocer
 
Inversion publicitaria 2008 - nota de prensa Infoadex
Inversion publicitaria 2008 - nota de prensa InfoadexInversion publicitaria 2008 - nota de prensa Infoadex
Inversion publicitaria 2008 - nota de prensa Infoadex
Gonzalo Martín
 
Nuestro Planeta
Nuestro PlanetaNuestro Planeta
Nuestro Planeta
ligimo
 

Destacado (20)

Cover final
Cover finalCover final
Cover final
 
Makalah budidaya-dan-farming-system-1
Makalah budidaya-dan-farming-system-1Makalah budidaya-dan-farming-system-1
Makalah budidaya-dan-farming-system-1
 
Keynote talk Taan Worldwide conference - Stockholm 2017
Keynote talk Taan Worldwide conference - Stockholm 2017Keynote talk Taan Worldwide conference - Stockholm 2017
Keynote talk Taan Worldwide conference - Stockholm 2017
 
μεθοδοι διαχειρισης απορριματων
μεθοδοι διαχειρισης απορριματων μεθοδοι διαχειρισης απορριματων
μεθοδοι διαχειρισης απορριματων
 
Tercero Quim Pract No. 6
Tercero Quim Pract No. 6Tercero Quim Pract No. 6
Tercero Quim Pract No. 6
 
Yo Educador Ejercicio Simon
Yo Educador Ejercicio SimonYo Educador Ejercicio Simon
Yo Educador Ejercicio Simon
 
Planta
PlantaPlanta
Planta
 
Pmk no. 026 ttg pekerjaan tukang gigi
Pmk no. 026 ttg pekerjaan tukang gigiPmk no. 026 ttg pekerjaan tukang gigi
Pmk no. 026 ttg pekerjaan tukang gigi
 
Tercero Quim Pract No. 6
Tercero Quim Pract No. 6Tercero Quim Pract No. 6
Tercero Quim Pract No. 6
 
Barricade tape
Barricade tape Barricade tape
Barricade tape
 
Terapia Ram
Terapia RamTerapia Ram
Terapia Ram
 
Inversion publicitaria 2008 - nota de prensa Infoadex
Inversion publicitaria 2008 - nota de prensa InfoadexInversion publicitaria 2008 - nota de prensa Infoadex
Inversion publicitaria 2008 - nota de prensa Infoadex
 
Ten reflections (1)
Ten reflections (1)Ten reflections (1)
Ten reflections (1)
 
Social News: Facebook's Redesign
Social News: Facebook's RedesignSocial News: Facebook's Redesign
Social News: Facebook's Redesign
 
Cambio en el rol del PM y su impacto en el examen PMP del PMI a partir del 11...
Cambio en el rol del PM y su impacto en el examen PMP del PMI a partir del 11...Cambio en el rol del PM y su impacto en el examen PMP del PMI a partir del 11...
Cambio en el rol del PM y su impacto en el examen PMP del PMI a partir del 11...
 
Turbo
TurboTurbo
Turbo
 
Internet seguro 2017
Internet seguro 2017Internet seguro 2017
Internet seguro 2017
 
Viaje 2012
Viaje 2012Viaje 2012
Viaje 2012
 
Nuestro Planeta
Nuestro PlanetaNuestro Planeta
Nuestro Planeta
 
Clima de alta montaña
Clima de alta montañaClima de alta montaña
Clima de alta montaña
 

Similar a Makalah budidaya-dan-farming-system-3

LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict
LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpictLAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict
LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict
Ilmianisa Azizah
 
Penelitian platyhelmintes
Penelitian platyhelmintesPenelitian platyhelmintes
Penelitian platyhelmintes
Yuga Rahmat S
 
Pengendalian Hama Penyakit Padi Secara Organik.pptx
Pengendalian Hama Penyakit Padi Secara Organik.pptxPengendalian Hama Penyakit Padi Secara Organik.pptx
Pengendalian Hama Penyakit Padi Secara Organik.pptx
kaekae27
 
9 ramlan-kajian artropoda
9 ramlan-kajian artropoda9 ramlan-kajian artropoda
9 ramlan-kajian artropoda
xie_yeuw_jack
 
Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...
Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...
Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...
Tata Naipospos
 
5 ely korlina-pengendalian hayatii
5 ely korlina-pengendalian hayatii5 ely korlina-pengendalian hayatii
5 ely korlina-pengendalian hayatii
xie_yeuw_jack
 
Efektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perah
Efektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perahEfektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perah
Efektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perah
BBPP_Batu
 
Mikrobial pigmen
Mikrobial pigmenMikrobial pigmen
Mikrobial pigmen
Zharoh Elba
 
Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak
Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternakMetode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak
Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak
Nur Eka Oktafiani
 

Similar a Makalah budidaya-dan-farming-system-3 (20)

Aktivitas rimpang lengkuas thd jamur
Aktivitas rimpang lengkuas thd jamurAktivitas rimpang lengkuas thd jamur
Aktivitas rimpang lengkuas thd jamur
 
LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict
LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpictLAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict
LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict
 
Jurnal DDPT Hemiptera
Jurnal DDPT HemipteraJurnal DDPT Hemiptera
Jurnal DDPT Hemiptera
 
Pro06 115
Pro06 115Pro06 115
Pro06 115
 
Penelitian platyhelmintes
Penelitian platyhelmintesPenelitian platyhelmintes
Penelitian platyhelmintes
 
Pengendalian Hama Penyakit Padi Secara Organik.pptx
Pengendalian Hama Penyakit Padi Secara Organik.pptxPengendalian Hama Penyakit Padi Secara Organik.pptx
Pengendalian Hama Penyakit Padi Secara Organik.pptx
 
Jurnal Teknologi Pertanian
Jurnal Teknologi PertanianJurnal Teknologi Pertanian
Jurnal Teknologi Pertanian
 
1kunyit
1kunyit1kunyit
1kunyit
 
9 ramlan-kajian artropoda
9 ramlan-kajian artropoda9 ramlan-kajian artropoda
9 ramlan-kajian artropoda
 
Mikrobiologi industri pangan
Mikrobiologi industri panganMikrobiologi industri pangan
Mikrobiologi industri pangan
 
Isi terbaru tgl 10 2-2015
Isi terbaru tgl 10 2-2015Isi terbaru tgl 10 2-2015
Isi terbaru tgl 10 2-2015
 
Acara 2 PENGENALAN DAN PENGAMATAN SERANGAN HAMA
Acara 2 PENGENALAN DAN PENGAMATAN SERANGAN HAMAAcara 2 PENGENALAN DAN PENGAMATAN SERANGAN HAMA
Acara 2 PENGENALAN DAN PENGAMATAN SERANGAN HAMA
 
Rumput Laut - Lalu Sukarno
Rumput Laut - Lalu SukarnoRumput Laut - Lalu Sukarno
Rumput Laut - Lalu Sukarno
 
Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...
Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...
Resistensi Antimikroba Pada Ayam Pedaging - BRAVA 2021, IMAKAHI Universitas B...
 
Identifikasi Serangga Tanaman Cabai
Identifikasi Serangga Tanaman CabaiIdentifikasi Serangga Tanaman Cabai
Identifikasi Serangga Tanaman Cabai
 
5 ely korlina-pengendalian hayatii
5 ely korlina-pengendalian hayatii5 ely korlina-pengendalian hayatii
5 ely korlina-pengendalian hayatii
 
Rangkuman Perlindungan Tanaman (Bagian 1)
Rangkuman Perlindungan Tanaman (Bagian 1)Rangkuman Perlindungan Tanaman (Bagian 1)
Rangkuman Perlindungan Tanaman (Bagian 1)
 
Efektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perah
Efektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perahEfektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perah
Efektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perah
 
Mikrobial pigmen
Mikrobial pigmenMikrobial pigmen
Mikrobial pigmen
 
Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak
Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternakMetode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak
Metode analisis kontaminan aflatoksin pd pakan ternak
 

Más de BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN SUMATERA SELATAN

Más de BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN SUMATERA SELATAN (20)

daftar-aset-2021.pdf
daftar-aset-2021.pdfdaftar-aset-2021.pdf
daftar-aset-2021.pdf
 
PENCEGAHAN COVID-19.pdf
PENCEGAHAN COVID-19.pdfPENCEGAHAN COVID-19.pdf
PENCEGAHAN COVID-19.pdf
 
MITIGASI BENCANA BANJIR.pdf
MITIGASI BENCANA BANJIR.pdfMITIGASI BENCANA BANJIR.pdf
MITIGASI BENCANA BANJIR.pdf
 
EVAKUASI GEMPA BUMI-SEBELUM.pdf
EVAKUASI GEMPA BUMI-SEBELUM.pdfEVAKUASI GEMPA BUMI-SEBELUM.pdf
EVAKUASI GEMPA BUMI-SEBELUM.pdf
 
Surat tugas Ka balai, Ka TU, Ka KSPP.pdf
Surat tugas Ka balai, Ka TU, Ka KSPP.pdfSurat tugas Ka balai, Ka TU, Ka KSPP.pdf
Surat tugas Ka balai, Ka TU, Ka KSPP.pdf
 
simak bmn.pdf
simak bmn.pdfsimak bmn.pdf
simak bmn.pdf
 
Laporan Keuangan 2021.pdf
Laporan Keuangan 2021.pdfLaporan Keuangan 2021.pdf
Laporan Keuangan 2021.pdf
 
NOTULENSI RAPAT MARET-JUNI 2022.pdf
NOTULENSI RAPAT MARET-JUNI 2022.pdfNOTULENSI RAPAT MARET-JUNI 2022.pdf
NOTULENSI RAPAT MARET-JUNI 2022.pdf
 
NOTULENSI RAPAT JUL-OK 2022.pdf
NOTULENSI RAPAT JUL-OK 2022.pdfNOTULENSI RAPAT JUL-OK 2022.pdf
NOTULENSI RAPAT JUL-OK 2022.pdf
 
SURAT PERNYATAAN LELANG.pdf
SURAT PERNYATAAN LELANG.pdfSURAT PERNYATAAN LELANG.pdf
SURAT PERNYATAAN LELANG.pdf
 
RealisasiAnggarantw2 2021.pdf
RealisasiAnggarantw2 2021.pdfRealisasiAnggarantw2 2021.pdf
RealisasiAnggarantw2 2021.pdf
 
RealisasiAnggarantw1 2022.pdf
RealisasiAnggarantw1 2022.pdfRealisasiAnggarantw1 2022.pdf
RealisasiAnggarantw1 2022.pdf
 
STATISTIK LAP KEU 2022.pdf
STATISTIK LAP KEU 2022.pdfSTATISTIK LAP KEU 2022.pdf
STATISTIK LAP KEU 2022.pdf
 
REKAP KEPEGAWAIAN 2022.pdf
REKAP KEPEGAWAIAN 2022.pdfREKAP KEPEGAWAIAN 2022.pdf
REKAP KEPEGAWAIAN 2022.pdf
 
JUMLAH PEGAWAI 2015-2021.pdf
JUMLAH PEGAWAI 2015-2021.pdfJUMLAH PEGAWAI 2015-2021.pdf
JUMLAH PEGAWAI 2015-2021.pdf
 
Agenda KEG INSTANSI.pdf
Agenda KEG INSTANSI.pdfAgenda KEG INSTANSI.pdf
Agenda KEG INSTANSI.pdf
 
SURAT KELUAR DAN MASUK.pdf
SURAT KELUAR DAN MASUK.pdfSURAT KELUAR DAN MASUK.pdf
SURAT KELUAR DAN MASUK.pdf
 
Daftar Rancangan Peraturan.pdf
Daftar Rancangan Peraturan.pdfDaftar Rancangan Peraturan.pdf
Daftar Rancangan Peraturan.pdf
 
SE Larangan Mudik.pdf
SE Larangan Mudik.pdfSE Larangan Mudik.pdf
SE Larangan Mudik.pdf
 
SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...
SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...
SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...
 

Makalah budidaya-dan-farming-system-3

  • 1. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Potensi Pinang (Areca catechu) sebagai Antelmintik untuk Ternak The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an anthelmintic for Livestock Aulia Evi Susanti*) , Agung Prabowo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol.H. Burlian No.83 Km.6 Palembang *) Penulis untuk korespondensi: 081315265391 email: evi_vet@yahoo.com ABSTRACT Internal parasit infestation is one of the things that hamper the productivity of livestock. The use of plants and plant products as medicine has long been practiced. Betel nut (Areca catechu) has an anthelmintic effect, in particular from the class Nematode. The main content of betel nut are carbohydrates, fats, fiber, polyphenols including flavonoids and tannins, alkaloids and minerals. Dominant alkaloid present in betel nut and are likely to have the effect of anthelmintic is arecoline and tannin. Some studies use betel nut to prove the content of anthelmintic has been done on Haemonchus contortus and Ascaridia galli. The results showed that betel nut contains an anthelmintic and can be used as an anthelmintic for livestock. Keywords: Anthelmintic, Betel nut, Livestock ABSTRAK Infestasi parasit internal merupakan salah satu hal yang menghambat produktivitas ternak. Penggunaan tanaman dan produk tanaman sebagai obat telah lama dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat. Pinang, yang dalam bahasa latin dikenal dengan nama Areca catechu L ini memiliki efek antelmintik, khususnya cacing dari golongan Nematoda. Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat, polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral. Jenis alkaloid yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang kemungkinannya mempunyai efek antelmintik adalah arekolin dan senyawa tanin. Beberapa penelitian penggunaan biji pinang untuk membuktikan adanya kandungan antelmintik telah dilakukan pada cacing Haemonchus contortus dan Ascaridia galli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji pinang mengandung antelmintik dan dapat digunakan sebagai obat cacing untuk ternak. Kata kunci: Antemintik, Biji pinang, Ternak PENDAHULUAN Salah satu hambatan dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak adalah adanya berbagai penyakit yang merupakan faktor yang langsung berpengaruh terhadap kehidupan ternak. Salah satu penyakit yang dapat 404
  • 2. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 menghambat produktivitas ternak, yaitu penyakit parasit cacing. Menurut Ronohardjo dan Nari (1977), peternakan di Indonesia tidak dapat membebaskan diri dari parasit karena kondisi lingkungan Indonesia yang memang menguntungkan bagi parasit. Iklim tropis yang hangat dan basah memberikan kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan telur dan ketahanan hidup larva dan telur infektif di alam (Satrija et al. 2003). Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing disebut sebagai penyakit ekonomi. Kerugian-kerugian akibat penyakit cacing, antara lain: penurunan bobot badan, penurunan kualitas daging, penurunan produktivitas sebagai ternak potong dan bahaya penularan pada manusia. Penyakit cacingan merupakan salah satu pola penyakit hewan endemik. Penyakit ini walaupun normal, tapi pada aras yang tinggi akan mulai timbul suatu masalah. Pencegahan dan pengobatan cacingan ternak dapat dilakukan dengan beberapa aplikasi obat komersial yang beredar di pasaran, Akan tetapi obat-obatan komersial sulit didapatkan di derah terpencil. Obat-obatan tradisional bisa menjadi alternatif untuk obat-obat yang mahal. Cara pengobatan tradisional untuk penanganan berbagai penyakit ternak tersebut telah berkembang luas di masyarakat, baik pengobatan secara ilmiah dapat diterima ataupun pengobatan di luar keilmiahan. Praktek-praktek pengobatan tersebut sangat membantu dalam penanganan sementara petugas kesehatan hewan tidak ada. Saat ini sudah banyak ditemukan khasiat farmakoseutika dari berbagai tanaman, yang dapat dimanfaatkan untuk penanganan masalah kesehatan ternak, sehingga produktivitas ternak tetap terjaga atau diperbaiki. Pinang merupakan salah satu tanaman herba potensial, yaitu tanaman atau bahan alami yang memiliki kandungan kimia yang bersifat farmakoseutika atau berkhasiat sebagai obat maupun memberikan efek sinergi dalam pengobatan dan pemeliharaan kesehatan. Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kandungan biji pinang dan beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai penggunaan biji pinang sebagai antelmintik ternak. PINANG (Areca catechu) Pinang (Areca catechu) merupakan tanaman famili Arecaceae yang dapat mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus bergaris tengah 15 cm. Buahnya berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian mempunyai jambul daun-daun kecil yang belum terbuka. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan berbuah pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah. Tanaman ini berbunga pada awal dan akhir musim hujan dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Biji buah berwarna kecoklatan sampai coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk dengan warna yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua dengan lipatan tidak beraturan menembus endosperm yang berwarna agak keputihan (Depkes RI, 1989). Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat, polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral (IARC, 2004). Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8 H13 NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine (Wang et al., 1996). Jenis alkaloid yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang kemungkinannya mempunyai efek antelmintik adalah 405
  • 3. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 arekolin (Suryati dan Suprapto, 1988). Arekolin bersifat racun bagi beberapa jenis cacing (Lutony, 1993;Suharsono, 1994) dan menyebabkan paralisis sementara (Firgorita, 1991). Nonaka (1989) menyebutkan bahwa biji buah pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tannin terkondensasi yang termasuk dalam golongan flavonoid. Senyawa tanin diduga memiliki kemampuan daya antelmintik yang mampu menghambat enzim dan merusak membran (Shahidi dan Naczk, 1995). Terhambatnya kerja enzim dapat menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu sehingga cacing akan kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing akan mati karena kekurangan tenaga. Membran cacing yang rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Tanin umumnya berasal dari senyawa polifenol yang memiliki kemampuan untuk mengendapkan protein dengan membentuk koopolimer yang tidak larut dalam air (Harborne, 1987). Tanin juga memiliki aktivitas ovasidal, yang dapat mengikat telur cacing yang lapisan luarnya terdiri atas protein sehingga pembelahan sel didalam telur tiadak akan berlangsung pada akhirnya larva tidak terbentuk (Tiwow et al., 2013). Pada pengobatan hewan, ekstrak biji pinang digunakan untuk pengobatan cacing pada anjing dan ternak, dan untuk mengobati masalah pencernaan pada kuda (Hannan et al., 2012). PARASIT INTERNAL PADA TERNAK Menurut morfologinya cacing parasitik pada dibagi menjadi tiga kelas, yaitu: trematoda, cestoda dan nematoda. Nematodosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing nematoda atau cacing gilig. Di dalam saluran pencernaan (gastro intestinalis), cacing ini menghisap sari makanan yang dibutuhkan. Nematoda dapat hidup bebas dalam air dan tanah tetapi sebagian besar spesies hidup berparasit pada tumbuh-tumbuhan dan hewan (Noble dan Noble, 1989). Cara nematoda menyerap makanan untuk bertahan hidup dalam hospesnya antara lain dengan menggunakan cavum bucalis dengan melisiskan jaringan atau menusuk jaringan tersebut, sedang nematoda yang hidup di dalam cairan tubuh dan jaringan akan menusuk jaringan untuk mengambil darah. Darah tersebut diambil oksigennya dengan cara difusi di dalam tubuh (Lee, 1965). Cacing Haemonchus contortus. Haemonchosis merupakan penyakit cacing nematoda saluran pencernaan yang disebabkan oleh Haemonchus sp pada domba dan kambing yang menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan meliputi kerugian penurunan produksi daging, susu dan wol baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta kematian ternak. Patogenitas haemonchosis tergantung jumlah larva yang menginfeksi, hal tersebut tampak pada domba muda yang terinfeksi sebanyak 1500 sampai 2500 larva infektif akan terjadi kematian, sedangkan pada domba dewasa jika terinfeksi 3000 sampai 6000 larva cacing H.contortus.Telah dilaporkan bahwa infeksi hiperakut terjadi kematian pada domba dan ditemukan sebanyak 20.000 sampai 50.000 cacing di dalam abomasum (Colin, 1999). Cacing Ascaridia galli. Cacing Ascaridia galli merupakan nematoda parasitik yang sering ditemukan pada unggas termasuk ayam petelur (Zalizar et. al. 2006). Parasit tersebut menyebabkan kerugian kepada peternak berupa 406
  • 4. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 penurunan berat badan dan hambatan pertumbuhan (Ikeme, 1971, Zalizar & Rahayu, 2001; Zalizar et al., 2006), penurunan produksi telur (Tiuria, 1991) serta penurunan kualitas telur (Zalizar et al., 2007). Hal tersebut karena cacing selain menyerap zat-zat makanan juga menyebabkan kerusakan sel-sel epitel villi serta berkurangnya luas permukaan villi usus yang berperanan dalam proses pencernaan dan penyerapan makanan (Zalizar, et al. 2006). Penanggulangan terhadap infeksi parasit cacing yang sering dilakukan pada saat ini adalah dengan memberi obat cacing (antelmintik). Pemberian antelmintik yang berulang menimbulkan galur cacing yang resisten (Waller, 1994). BEBERAPA PENELITIAN PENGGUNAAN BIJI PINANG SEBAGAI ANTELMINTIK Ekstrak biji pinang terhadap cacing Haemonchus contortus. Penelitian yang dilakukan oleh Beriajaya et al. 1998, bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak biji pinang terhadap cacing Haemonchus contortus secara in vitro. Penelitian ini dilakukan terhadap cacing dewasa dan larva cacing. Dalam penelitian ini digunakan biji pinang muda dan tua, yang setelah dipotong kecil-kecil, kemudian dikeringkan dalam oven suhu 40o C selama 4 hari. Potongan-potongan biji pinang kemudian dibuat serbuk dan dibuat larutan biji pinang dalam 6 konsentrasi, yaitu 0,0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji pinang muda dan tua mempunyai pengaruh yang sama baik terhadap cacing H. Contortus maupun larvanya. Pada cacing dewasa terlihat bahwa pada konsentrasi 0,1 g/ml cukup memberi pengaruh sehingga sebagian cacing kedapatan mati. Pada larva cacing terlihat bahwa makin tinggi konsentrasi biji pinang maka perkembangan larva makin dihambat dimana tidak terdapat larva yang hidup pada konsentrasi 0,5 g/ml biji pinang tua. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa biji pinang yang mengandung alkaloid arekolin mungkin berfungsi sebagai antelmintik (Beriajaya et al., 1998). Ekstrak etanol biji pinang terhadap cacing Ascaridia galli. Penelitian penggunaan ekstrak etanol biji pinang terhadap cacing Ascaridia galli telah dilakukan oleh Tiwow et al., 2013 secara in vitro. Pengujian menggunakan ekstrak etanol biji pinang dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 30%. Biji pinang sebanyak 2 kg (berat basah) dikeringkan dalam oven suhu 50o C sampai kering, Tahap selanjutnya simplisia kering digrinder sehingga menjadi simplisia serbuk dan diayak, kemudian disimpan dalam wadah bersih dan tertutup rapat. Selanjutnya diekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol 95%. Kemudian A.galli dimasukkan kedalam ke tiga konsentrasi ekstrak etanol biji pinang tersebut. Persentasi kematian dan paralisis cacing dinilai setiap jam. Hasil pengujian menunjukkan bahwa secara in vitro ekstrak etanol biji pinang konsentrasi 20% mampu membuat cacing Ascaridia galli menjadi lisis/mati. Ekstrak biji etanol pinang pada konsentrasi 30% lebih efektif daya antelmintiknya terhadap cacing cacing Ascaridia galli. 407
  • 5. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 KESIMPULAN Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin dan tanin yang kemungkinannya mempunyai efek antelmintik. Arekolin bersifat racun bagi beberapa jenis cacing dan menyebabkan paralisis. Senyawa tanin memiliki kemampuan menghambat enzim dan merusak membran. Membran cacing yang rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Penelitian efek antelmintik biji pinang telah dilakukan pada cacing H. Contortus dan Ascaridia galli. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak biji etanol pinang memiliki daya antelmintik . DAFTAR PUSTAKA Beriajaya, T.B. Murdiati, Suhardono dan C.F. Pantouw. 1998. Pengaruh ekstrak biji pinang (Areca cathecu) terhadap cacing Haemonchus contortus secara in vitro. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Veteriner. Bogor, 18-19 Februari 1998. Bogor: Balitvet. pp: 154-160 Colin, J. 1999. Parasites and Parasitic Disease of Domestic Animals. University of Pensylvania. Depkes RI. 1989. Materia Medika Indonesia Jilid V. p. 55-58. Firgorita, I. 1991. Arecoline hydrobromide pada biji pinang (Areca catechu) dosisi efektif terhadap Raillietina spp dan dosis herbal terhadap ayam buras [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Hannan, A., Karan, S and Chatterjee T.K. 2012. Anti-inflammatory and analgesic activity of methanolic axtract of Areca seed collected from Areca cathecu plant grown in Assm. International journal of pharmeceutical and chemical sciences 1(2): 2277-5005 Harborne. 1987. Metode fitokomia, penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Terjemahan : K. Padmawinata, I. Sudiro. Bandung : Institut Teknologi Bandung. IARC. 2004. WHO-biennial report. International Agency for Research on Cancer, Part I, IARC Group and Cluster reports. Lyon, France, pp: 1-192 Ikeme MM. 1971. Weight changes in chickens placed on different levels of nutrition and variying degrees of repeated dosage with Ascaridia galli eggs. Parasitology 63: 251-260. Lee, D.L.1965. The physiologi of nematoda. W.H. Freeman and Company. San Fransisco. Lutony, T.L. 1993. Pinang sirih komoditi ekspor dan serbaguna. Jakarta: Kanisius. 408
  • 6. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Noble, E.R and Noble, G. A.,1989. Parasiologi Biologi Parasit Hewan. Edisi ke 5. terjemahan dari Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Nonaka, G. 1989. Isolation and structure elucidation of tannins, Pure & Appl. Chem, 61 (3): 357-360. Ronohardjo P, Nari J. 1977. Beberapa Masalah Penyakit Unggas di Indonesia. Didalam: Ilmu dan Industri Perunggasan. Seminar Pertama, 30-31 Mei 1977. Bogor. Satrija F, Ridwan Y, Retnani EB, Tiuria R. 2003. Penggunaan antelmintika untuk pengendalian kecacingan pada ternak, di dalam: strategi pemanfaatan anthelmintika untuk pengendalian kecacingan pada ternak. Seminar Sehari, 11 Feb 2003.Bogor : FKH IPB dan PT Capsulgell Indonesia.p 1-7. Shahidi, F and M. Naczk. 1995. Food phenolics. Technomic Inc, Basel. Suharsono, S.K.H. 1994. Pengobatan tradisional penyakit cacing ayam buras. Poultry Indonesia. 173: 14. Suryati, E dan E.S.M Suprapto. 1988. Isolasi dan penemuan sifat senyawa aktif piscisida dari biji pinang (Areca catechu). Media Penelitian Sukamandi 6:50 Tiwow, D., Widdhi, B dan Novel, S.K. 2013. Uji efek antelmintik ekstrak etanol biji pinang (Areca catechu) terhadap cacing Ascaris lumbricoides dan Ascaridia galli secara in vitro. Pharmacon 2 (02): 76-80 Waller, P.J. 1994. The development of anthelmintic resistance in ruminant livestock. Acta Tropica 56:233-243 Wang, C.K. and Lee, W.H. 1996. Separation, characteristics, and biological activities on phenolics in areca fruit. J. Agric. Food Chem 44(8):2014 - 2019. Zalizar L, Rahayu ID. 2001. Pengaruh penggunaan larutan bawang putih terhadap penampilan produksi ayam lurik penderita parasit cacing. Jurnal Agritek Vol. 9 No. 2. Zalizar L, Satrija F, Tiuria R, Astuti DA. 2006. Dampak infeksi Ascaridia galli terhadap gambaran histopatologi dan luas permukaan vili usus serta penurunan bobot hidup starter. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 11(3): 215-222. Zalizar L, Fadjar. S, Risa. T, Dewi AA. 2007. Respon ayam yang mempunyai pengalaman infeksi ascaridia galli terhadap infeksi ulang dan implikasinya terhadap produktivitas dan kualitas telur. Animal Production. Jurnal Produksi Ternak 9(2): 92-98. 409
  • 7. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Keragaan Inpari 13 dengan Berbagai Sistem Tanam Jajar Legowo di Lahan Sawah Irigasi Dataran Tinggi di Sumatera Selatan (Studi Kasus Desa Talang Darat Kota Pagaralam) The Performance Inpari 13 With Various Legowo Row Planting System Irrigated Land In Plateau In South Sumatra ( Case Study Of Village Talang Darat Pagaralam District) Johanes Amirullah dan NP. Sri Ratmini Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian No. 83 KM 6, Palembang 30153 e-mail: joe.amirullah@gmail.com ABSTRACT VUB Inpari 13 is not so much known to the public due to newly released in late 2013 , this variety has the advantage of early maturity of up to ( 105-124 days ) , with a short life ( very early maturing ) about 103 days , the plants can be harvested already Inpari 13 , but it is also the high productivity of rice plants with an average yield of 6.59 t / ha . Along with the development of production technology of crop management is required a system -specific crop management such as integrated crop management (PTT) is an innovative and dynamic approach in an effort to increase production and income of farmers through participatory component assembly technology with farmers . Field trials conducted with legowo cropping systems . The purpose of this study to test the VUB Inpari 13 on dry land plateau , while the location of the assessment carried out in the Village Talang Darat Kota Pagaralam North Dempo . The results obtained at the time of harvest production obtained at 2:1 legowo production system 6,0 ton / ha , 3:1 production of 5.5 tons / ha , 4:1 production of 4,8 tons / ha . Keywords : Inpari 13 , dryland , highland ABSTRAK VUB Inpari 13 belum begitu banyak diketahui masyarakat luas dikarenakan baru dilepas pada akhir 2013, keunggulan dari varietas ini memiliki umur genjah sampai dengan (105-124 hari), dengan umur yang pendek (sangat genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13 sudah dapat dipanen, selain itu juga dengan produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen sebesar 6,59 t/ha. Seiring dengan perkembangan teknologi produksi pengelolaan tanaman ini diperlukan suatu sistem pengelolaan tanaman yang spesifik lokasi seperti pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yaitu suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui 410
  • 8. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Percobaan di lapangan dilakukan dengan sistem tanam legowo. Tujuan dari pengkajian ini untuk melakukan uji coba VUB Inpari 13 di lahan kering dataran tinggi, sedangkan lokasi pengkajian dilakukan di Desa Talang Darat Kelurahan Dempo Utara Kota Pagaralam. Hasil yang didapat pada saat panen produksi yang didapat pada sistem legowo 2:1 produksi 6 ton/ha, 3:1 produksi 5,5 ton/ha, 4:1 produksi 4.8 ton/ha. Kata Kunci : Inpari 13, lahan kering, dataran tinggi PENDAHULUAN Sektor pertanain komoditas padi sampai saat ini masih merupakan komoditas yang sangat strategis. Untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat yang dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat indonesia masih penuhi dari komoditas padi, karena bahan pangan khususnya beras memberikan sumber energi dan protein cukup tinggi. Varietas unggul memberikan manfaat teknis dan ekonomis yang banyak bagi perkembangan suatu usaha pertanian, diantaranya pertumbuhan tanamanan menjadi seragam, sehingga panen menjadi serempak, rendemen dan mutu hasil lebih tinggi dan sesuai dengan selera konsumen. Selain itu varietas unggul mempunyai ketahanan yang lebih tinggi terhadap gangguan hama dan penyakit dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan. Sehingga dapat memperkecil biaya penggunaan input seperti pupuk dan obat-obatan (Suryana dan Prajog, 1997). VUB Inpari 13 belum begitu banyak diketahui masyarakat luas dikarenakan baru dilepas pada akhir 2013, keunggulan dari varietas ini memiliki umur genjah sampai dengan (105-124 hari), dengan umur yang pendek (sangat genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13 sudah dapat dipanen, selain itu juga dengan produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen sebesar 6,59 t/ha (Sinar Tani, 2011). Seiring dengan perkembangan teknologi produksi pengelolaan tanaman ini diperlukan suatu sistem pengelolaan tanaman yang spesifik lokasi seperti pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yaitu suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Percobaan di lapangan dilakukan dengan sistem tanam legowo. Sitem tanam legowo muerupakan cara tanam padi sawah dengan pola beberapa barisan tanaman yang kemudian diselingi satu barisan kosong. Tanaman yang seharusnya ditanam pada barisan yang kosong dipindahkan sebagai tanaman sisipan di dalam barisan. Diharapkan dari hasil percobaan ini, petani dapat mengadopsi teknologi yang diterapkan. Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan suatu usaha untuk meningkatkan hasil tanaman pangan dan efisiensi masukan produksi dengan memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara bijak. Pada dasarnya pengelolaan tanaman terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metode/strategi, bahkan filosofi bagi peningkatan produksi melalui cara mengelola tanaman, tanah, air dan unsur hara serta organisme pengganggu tanaman secara terpadu dan berkelanjutan. Tujuan dari sistem ini adalah untuk meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan, dan 411
  • 9. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 efisiensi produksi dengan memperhatikan sumber daya yang ada, kemampuan dan kemauan petani. BAHAN DAN METODE Adapun teknologi yang diterapkan pada pada percobaan ini adalah penggunaan VUB, pengendalian hama dan penyakit serta penggunaan pupuk yang berimbang. Sedangkan bahan yang digunakan Inpari 13, pupuk organik dan anorganik, kegiatan ini dilakukan dengan membuat unit percontohan demplot budidaya padi Inpari 13 seluas 1 ha, sedangkan perlakuan yang diterapkan dengan pendekatan PTT dengan sistem jajar legowo 2:1, 3:1 dan 4:1, untuk penentuan dosis pupuk dengan menggunakan alat PUTS, dari hasil analisis didapat kebutuhan pupuk adalah sebagai berikut : pupuk kandang 1000 kg, pupuk ZA 100 kg, phonska 100 kg, SP-36 100 kg dan KCl 75 kg. Lokasi pengkajian dilakukan di Desa Talang Darat Kelurahan Dempo Utara Kota Pagaralam, pada musi tanam April-Juli 2013. Data yang diambil tinggi tanaman dan produksi hasil panen ubinan 2,5 x 2,5 m, kemudian data dianalisis secara deskriftip. Untuk melihat respon petani terhadap penerapan teknologi diambil data primer dengan mengadakan wawancara langsung pada petani dengan menggunakan daftar pertanyaan berstruktur atau kuisioner. HASIL DAN PEMBAHASAN Inpari 13 nama varietas unggul terbaru BB Padi, varietas ini belum banyak diketahui oleh masyarakat luas karena baru dilepas akhir tahun 2009. Dengan umur yang pendek (sangat genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13 sudah dapat dipanen. Varietas yang sangat genjah ini didukung juga dengan produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen sebesar 6,59 t/ha. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Deskripsi Inpari 13 Eskripsi Varietas Inpari 13 Bentuk beras Panjang dan ramping Bentuk tanaman Tegak Tekstur nasi Pulen Kadar amilosa 22,40 % Rata-rata hasil 6,59 t/ha Potensi hasil 8,0 t/ha Umur tanaman 103 hari Tinggi tanaman 101 cm Jumlah anakan produktif 17 batang Ketahanan terhadap hama wereng Tahan hama wereng biotipe 1, 2 dan 3 Tahun dilepas 2009 Sumber : Deskripsi varietas padi, 2010 Pertumbuhan Tinggi Tanaman. Dari hasil pengamatan didapat rerata tinggi tanaman pada saat dilakukan panen dapat dilihat pada Tabel 1. 412
  • 10. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 2. Rerata Pertumbuhan Tinggi Tanaman Varietas Tinggi Tanaman 2:1 3:1 4:1 Inpari 13 74,80 71,93 74,33 Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pemberian pupuk dengan dosis yang tepat dan menerapkan sistem jajar legowo akan memberikan pengaruh pada pertumbuhan tinggi tanaman, dari hasil pengamatan sebelum dilakukan panen, tinggi tanaman dengan menggunakan sistem jajar legowo 2:1, 3:1 dan 4:1 pertumbuhan tinggi tanaman tidak terlalu meberikan pengaruh yang signifikan, dimana pertumbuha tinggi tanam tertingi rerata pada sistem 2:1 dan terendah pada sistem 3:1. Merata nya tingi tanaman, diduga pupuk N,P, dan K yang diberikan telah terserap bagai tanaman, dan sudah optimal untuk menyediakan N dalam meningkatkan tinggi tanaman. Produktivitas. Berdasarkan hasil pengkajian rata-rata produksi dengan menggunakan sistem jajar legowo dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 3. Rerata Produktivitas Inpari 13 Sistem Jajar Legowo Varietas Hasil gkp ton/ha 2:1 3:1 4:1 Inpari 13 6,0 5,5 4,8 Dapat dilihat pada Tabel 2 produksi yang didapat pada sistem legowo 2:1 produksi 6,0 ton/ha, 3:1 produksi 5,5 ton/ha, 4:1 produksi 4,8 ton/ha. Dari hasil panen yang dilakukan produksi tertinggi pada jajar legowo 2:1 hal ini diduga pada sistem 2:1 ini sudah sesuai dan cukup mendapatkan sinar matahari dengan mengatur sistem jarak tanamnya. Menurut sembiring (2001), sistem tanam legowo merupakan salah satu komponen PTT pada padi sawah apabila dibandingkan dengan sistem tanam lainnya memiliki keuntungan sebagai berikut terdapat ruang terbuka yang lebih besar diatara dua kelompok barisan tanaman yang akan memperbanyak cahaya matahari masuk ke setiap rumpun tanaman, mempermudah petani dalam pengelolaan usahataninya, meningkatkan jumlah tanam pada kedua bagian pinggir untuk setiap set legowo, sistem tanam berbaris ini juga berpeluang bagi pengembangan sistem produksi padi-ikan, dan meningkatkan produktivitas padi hingga mencapai 10-15%. Respon Inovasi Teknologi. Dari hasil pengkajian adaptasi VUB Inpari 13 didapat respon petani terhadap kegiatan yang telah dilakukan dengan percontohan melalui demplot, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3. 413
  • 11. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 3. Rerata Penerapan Teknologi Penerapan Nilai Interval 1.00-1.67 1.68-2.35 2.36-3.03 Teknologi (kurang baik) (cukup baik) (baik) Varietas unggul - 2.90 Pupuk (Urea, SP-36 - 2.30 - dan KCl) Pemberantasan - 1.75 - hama penyakit Penyiangan - - 2.85 Sistem legowo - 2.50 - Dapat dilihat pada tabel diatas rata-rata petani dalam penggunaan varietas unggul (2.90) dan penyiangan (2.85) sudah termasuk dalam kriteria baik, hal ini sudah menunjukan respon yang baik dari petani dalam memperkenalkan VUB baru, dan sistem penyiangan gulma sudah sesuai dengan anjuran. Sedangkan pemupukan berimbang sesuai dengan dosisi anjuran (2.30), pemberantasan hama penyakit (1.75) dan sistem legowo (2.50) termasuk dalam kriteria cukup baik. Dari hasil wawancara dengan petani, rendah nya teknologi yang diterapkan petani dikarenakan dengan modal yang terbatas. Sedangkan sistem tanam jajar legowo belum terbiasa bagi petani untuk menerapkannya, anggapan dengan menggunakan sistem legowo selain populasi rumpun tanaman sedikit, juga sistem kerja padaa saat tanam perlu tenaga kerja orang banyak. Menurut Sembiring (2001), sistem tanam legowo merupakan salah satu keuntugan adalah memberikan kemudahan petani dalam pengelolaan usahatani dalam pemupukan susulan, pemberantasan hama dan penyakit serta lebih memudahkan dalam mengendalikan tikus serta meningkatkan produktivitas padi hingga mencapai 10-15%. KESIMPULAN Dari hasil pengkajian mengenai uji VUB Inpari 13 dilahan kering dataran tinggi diperoleh kesimpulan : 1. Rata-rata tinggi tanaman dan produktivitas Inpari 13 yang didapat pada sistem jajar legowo pertumbuhan tertinggi pada legowo 2:1 dengan tinggi 74,80 cm dan produksi 6 ton gkp t/ha 2. Penerapan respon teknologi yang diterapkan petani VUB Inpari 13, untuk varietas dan penyiangan termasuk dalam kriteriacukup baik, sedangkan pemupukan, pemberantasan hama penyakit dan sistem jajar legowo termasuk kriteria baik. DAFTAR PUSTAKA Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan 414
  • 12. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pertanian, 2009. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan SL-PTT Departemen Pertanian. Jakarta. Sembiring H. 2001. Komoditas Unggulan Pertanian Provinsi Sumatera Utara. Badan Pengkajian Teknologi Pertanian. Suamtera Utara. 58 p. Sinar Tani. 2011. Edisi 5-11 Januari 2011 N0.3387 Tahun XLI Sudharto, T., J. Triastono, E. Sudjitno, A. Syam dan Z. Zaini. 1995. Laporan Tahunan Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering (UFDP) TA.1994/1995. Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Suryana dan U.H. Prajogo. 1997. Subsidi Benih dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Produksi Pangan. Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian. Analisis Kebijakan Antisipatif dan Respontif. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Peranian. 415
  • 13. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pengaruh Penggunaan Ekstrak Kompos Kulit Udang (EKKU) Terhadap Pertumbuhan dan Serangan OPT Terung The Effect of Shrimp Skin Compost Extract to Plant Growth and Pest of Eggplant Syahri1*) , Renny Utami Somantri1 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +62711410155/+62711411845 email: syahrihpt@yahoo.co.id ABTSRACT The assessment was carried out at Senabing village, Lahat District from July until December 2013. In each selected village each of 10 farmers as implementing activities. Assessment prepared using randomized block design (RBD) with 4 treatments and 5 replication. The treatment was a combination of inorganic fertilizers and EKKU consisting of: A: Inorganic Fertilizers full dose (= 2 g Urea, NPK = 20 g), B: ½ dose of inorganic fertilizers (urea = 1 g, NPK = 10 g) + 40 mL EKKU/L of water, C: 3/4 dose of inorganic fertilizers (urea = 1.5 g, NPK = 15 g) + EKKU 20 mL EKKU/L of water, and D: 3/4 dose of inorganic fertilizers (Urea = 1.5 g, NPK = 15 g) + 40 mL EKKU/L of water. Planting were done by the following procedures: first eggplant seeds sown in a plastic tray measuring 30 x 40 cm for 30 days, then transferred seedlings in polybags measuring 10 kg medium containing a mixture of soil and manure. Fertilization was done 2 times in 2 adn 10 weeks after planting. Spraying EKKU (dose treatment) was carried out every week until harvest. The study showed that a dose reduction of 50% inorganic fertilizer combined with the application EKKU much as 40 mL/L of water is able to suppress the leaf-eating caterpillars attack, where the attack rate is only 19.2%. Giving EKKU much as 40 mL/L of water at various doses of inorganic fertilizer can improve plant growth eggplant, where the highest plant growth occurs in inorganic fertilizer reduction by 25% which is 87.0 cm. Keywords: biopesticide, EKKU, fertilizer, plant growth. ABSTRAK Pengkajian dilaksanakan di lokasi pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) Kabupaten Lahat, yaitu Desa Senabing Kecamatan Lahat dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang. Kedua lokasi tersebut merupakan lokasi pendampingan BPTP Sumatera Selatan sejak bulan Juli sampai Desember 2013. Di setiap desa dipilih masing-masing 10 petani sebagai pelaksana kegiatan. Pengkajian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan merupakan kombinasi dosis pupuk anorganik dan EKKU yang terdiri atas: A : Pupuk anorganik dosis lengkap (Urea = 2 g, NPK = 20 g), B : Pupuk anorganik ½ dosis (Urea = 1 g, NPK = 10 g) + EKKU dosis 40 mL/L air, C: Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 20 mL/L air, dan D: Pupuk 416
  • 14. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 40 mL/L air. Penanaman dilakukan mengikuti prosedur berikut: benih terung terlebih dahulu disemaikan dalam baki plastik berukuran 30 x 40 cm selama 30 hari, selanjutnya bibit dipindah dalam polybag berukuran 10 kg yang mengandung media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang (kotoran ternak sapi/kambing). Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali yakni umur 2 minggu setelah tanam (mst) dan umur 10 mst. Penyemprotan EKKU (dosis sesuai perlakuan) dilakukan setiap minggu hingga menjelang panen. Hasil pengkajian menunjukkan pengurangan dosis pupuk anorganik sebanyak 50% yang dikombinasikan dengan aplikasi EKKU sebanyak 40 mL/L air mampu menekan serangan ulat pemakan daun, dimana tingkat serangan hanya 19,2%. Pemberian EKKU sebanyak 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan anorganik mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman terung, dimana pertumbuhan tanaman tertinggi terjadi pada pengurangan pupuk anorganik sebesar 25% yakni 87,0 cm. Kata kunci: biopestisida EKKU, dosis pemupukan, OPT, terung. PENDAHULUAN Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang ditanam di Sumatera Selatan. Hampir sebagian besar wilayah di Sumatera Selatan bisa ditanami dengan komoditas ini. Terung juga merupakan jenis sayuran yang sangat populer dan disukai oleh banyak orang, sehingga komoditas itu sangat potensial untuk dikembangkan secara intensif dalam skala agribisnis. Selama ini pembudidayaan terung umumnya masih bersifat sampingan di lahan pekarangan, tegalan, ataupun lahan sawah di musim kemarau. Tidak heran bila hasil rata-rata terung di Indonesia masih rendah yaitu antara 32,64-34,11kuintal per hektar (Rukmana, 1994). Untuk meningkatkan produksi terung maka perbaikan teknik budidaya perlu dilakukan. Tingginya input bahan agrokimia berupa pupuk dan pestisida menjadi permasalahan dalam budidaya terung. Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang sangat pesat, tercatat ada sebanyak 2.810 di tahun 2013 (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2013). Penggunaan bahan agrokimia yang berlebihan ini dapat berdampak buruk bagi ekosistem pertanian. Menurut Wiratno et al. (2013), penggunaan pestisida sintetis dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah pemakaian, sehingga menguragi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi mikroorganisme pengurai bahan organik yang hidup di dalamnya. Selain itu, pestisida juga berdampak buruk yakni menimbulkan resistensi, resurjensi dan ledakan hama serta dapat memusnahkan musuh alami hama. Hal ini diperparah lagi dengan adanya input berupa pupuk anorganik yang bisa menyebabkan rusaknya tekstur dan struktur tanah. Utami dan Handayani (2003) menyatakan sistem pertanian yang berbasis bahan fosil (high input energy) seperti pupuk kimia dan pestisida dapat merusak sifat-sifat tanah dan akhirnya menurunkan produktivitas tanah untuk waktu yang akan datang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan perbaikan terhadap cara budidaya yang dilakukan sehingga lebih aman terhadap lingkungan sehingga akan tercapai keseimbangan ekosistem. Penggunaan biopestisida sekaligus juga biofertilizer merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi 417
  • 15. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 risiko ketergantungan terhadap input bahan kimiawi sintetik. Salah satu bahan yang efektif dan ramah lingkungan adalah ekstrak kompos kulit udang (EKKU). EKKU diketahui efektif mengendalikan berbagai penyakit pada tanaman kacang panjang, cabai dan kubis (Suwandi, 2004), ketimun dan oyong (Syahri et al., 2014), dan virus kuning pada cabai (Syahri dan Somantri, 2014). EKKU juga diketahui mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun, penggunaan EKKU pada tanaman terung belum dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dalam rangka mengetahui efektivitas EKKU dalam menekan penyakit dan meningkatkan pertumbuhan pada tanaman terung. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu. Pengkajian dilaksanakan di lokasi pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) Kabupaten Lahat, yaitu Desa Senabing Kecamatan Lahat dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang. Kedua lokasi tersebut merupakan lokasi pendampingan BPTP Sumatera Selatan sejak bulan Juli sampai Desember 2013. Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah ekstrak kompos kulit udang-EKKU (Bio-Fitalik) yang berasal dari Klinik Tanaman HPT Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, benih terung (Matahari), pupuk kandang (kotoran sapi dan kambing), pupuk anorganik (Urea, SP-36, KCl dan NPK Pelangi 20:10:10), polybag ukuran 10 kg. Alat yang digunakan adalah sprayer 1 L, gelas ukur, mikroskop, timbangan, alat tulis, dan gunting. Rancangan Pengkajian. Pengkajian dilaksanakan di 2 desa yakni Desa Senabing Kecamatan Lahat dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang, di setiap desa dipilih masing-masing 10 petani sebagai pelaksana kegiatan. Pengkajian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan merupakan kombinasi dosis pupuk anorganik dan EKKU yang terdiri dari: A : Pupuk anorganik dosis lengkap (Urea = 2 g, NPK = 20 g) B : Pupuk anorganik ½ dosis (Urea = 1 g, NPK = 10 g) + EKKU dosis 40 mL/L air. C : Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 20 mL/L air. D : Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 40 mL/L air. Penanaman dilakukan mengikuti prosedur berikut: benih terung terlebih dahulu disemaikan dalam baki plastik berukuran 30 x 40 cm selama 30 hari, selanjutnya bibit dipindah dalam polybag berukuran 10 kg yang mengandung media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang (kotoran ternak sapi/kambing). Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali yakni umur 2 minggu setelah tanam (mst) dan umur 10 mst. Penyemprotan EKKU (dosis sesuai perlakuan) dilakukan setiap minggu hingga menjelang panen. Jenis Hama dan Penyakit yang Menyerang. Pengamatan hama penyakit yang menyerang pada masing-masing tanaman dilakukan mulai dari satu minggu setelah tanam hingga delapan minggu setelah tanam. Penentuan penyakit didasarkan pada gejala yang muncul pada tanaman. Identifikasi penyakit dilakukan dengan mengambil daun tanaman sakit di lapangan dan dibawa ke 418
  • 16. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 laboratorium untuk diidentifikasi penyebabnya dengan menggunakan mikroskop yang mengacu pada prosedur diagnosis penyakit tanaman. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabulasi dan gambar untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Keparahan Hama/Penyakit. Keparahan hama/penyakit dihitung dengan menggunakan rumus Mc. Kinney dalam Kurniawati dan Hersanti (2009): I  (n  v) 100% N  Z Dimana I = keparahan penyakit; n = jumlah tanaman yang terserang; N = jumlah seluruh tanaman; v = nilai skala serangan yang dihasilkan; Z = nilai skala tertinggi. Skala kerusakan daun didasarkan pada kriteria: 0 = tanaman sehat/tidak ada serangan; 1 = >0-20% tanaman terserang; 2 = >20-40% tanaman terserang; 3 = >40- 60% tanaman terserang; 4 = >60-80% tanaman terserang dan 5 = >80-100% tanaman terserangData yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif. Pertumbuhan Tanaman. Data pertumbuhan tanaman yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman dan jumlah cabang yang diamati saat pertumbuhan tanaman maksimum. Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasikan untuk dianalisis secara statistik dengan analisis sidik ragam menggunakan program SPSS versi 11.0. HASIL Jenis Hama Penyakit yang Menyerang. pengamatan jenis hama dan penyakit yang muncul pada terung disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hama penyakit tanaman terung yang menyerang selama kegiatan pengkajian. Jenis OPT Perlakuan A B C D Ulat pemakan daun + + + ++ Kutu kebul - - - - Bercak daun + - - - Keterangan: - = tidak ada serangan + = serangan ringan ++ = serangan berat Intensitas Serangan Hama Hasil pengkajian terhadap serangan ulat pemakan daun disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Intensitas serangan ulat pemakan daun Perlakuan Intensitas penyakit pada petani ke- (%) Rerata (%) I II III IV V A 4 16 32 40 12 20,8a B 16 16 28 20 16 19,2a C 40 24 24 20 40 29,6a D 48 4 20 12 44 25,6a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata menurut DMRT0,05 419
  • 17. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pertumbuhan Tanaman Terung. Pertumbuhan tanaman terung pada kajian ini diamati dari dua parameter pertumbuhan tanaman yakni tinggi dan jumlah cabang tanaman terung. Aplikasi EKKU pada tanaman terung ternyata juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman (Tabel 3). Tabel 3. Pertumbuhan tanaman terung yang diaplikas EKKU pada berbagai dosis pemupukan anorganik Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Jumlah cabang A 57,4a 2,6a B 62,9ab 3,4a C 81,4ab 3,0a D 87,0b 2,5a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata menurut DMRT0,05 PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap jenis OPT yang menyerang pada pertanaman terung selama pengkajian menunjukkan bahwa serangan OPT didominasi oleh serangan serangga hama, sedangkan serangan patogen sangat rendah. Bahkan, serangga penghisap. Penggunaan EKKU dengan dosis 40 mL/L air yang dikombinasikan dengan pengurangan dosis pemupukan hingga 50% (pelakuan B) dapat menekan intensitas serangan ulat pemakan daun terung. Hal ini terlihat dari serangan yang paling rendah yakni 19,2%. Namun, pemberian EKKU dengan berbagai dosis yang dikombinasikan dengan pengurangan pupuk anorganik sebanyak 25% (perlakuan C dan D) ternyata memberikan penekanan serangan hama yang lebih rendah dibandingkan tanpa penggunaan EKKU (perlakuan A). Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya kandungan bahan hara yang terkandung dalam EKKU sehingga menyebabkan tanaman lebih tumbuh subur sehingga rentan terhadap serangan hama. Kandungan EKKU yang terdapat dalam Bio-Fitalik yakni glukosamin (minimal 1.000 mg/l), mikrobia khitinolitik (minimal 3 x 106 /L), bakteri pelarut phospat (minimal 1 x 106 /L), mikrobia selulotik (minimal 1 x 107 /L), dan beberapa unsur hara (total N 850 ppm, P2O5 150 ppm, K2O 50 ppm, nitrat 350 ppm, Ca 450 ppm). Penekanan hama maupun penyakit tanaman disebabkan karena ekstrak kompos dapat memacu terjadinya induksi resistensi, antagonisme, dan peningkatan toleransi tanaman. Menurut Suwandi (2004), efektifitas pengendalian penyakit menggunakan EKKU pada tanaman sayuran telah dilaporkan terhadap penyakit daun pada tanaman kacang panjang, cabai dan kubis. Adanya kandungan kulit udang pada kompos ini, memungkinkan bahan ini lebih efektif dari ekstrak kompos biasa. Peningkatan aktifitas pengendalian ini dapat terjadi akibat meningkatnya aktifitas mikroorganisme kitinolitik yang diinduksi oleh kitin yang terdapat pada kulit udang. Menurut Yurnaliza (2002), kitin merupakan homopolimer dari -1,4 N- setil-D-glukosamin dan merupakan polimer ke dua terbanyak di alam setelah selulosa. Enzim kitinase dapat digunakan sebagai biokontrol terhadap serangga dan jamur penyakit tanaman dan produksi protein 420
  • 18. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 sel tunggal (single cell protein) yaitu dengan menggunakan kitinase untuk menghidrolisis material kitin dan khamir sumber protein sel tunggal sehingga diperoleh protein sel tunggal dengan kadar protein dan asam nukleat yang sesuai. Aplikasi EKKU pada tanaman terung ternyata juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena bahan organik EKKU juga berperan sebagai sumber hara bagi tanaman, meningkatkan daya ikat air tanah dan meningkatkan kapasitas pertukaran kation yang dapat meningkatkan kesuburan tanah (Hastuti, 2000). Hasil kajian menunjukkan bahwa aplikasi EKKU dengan dosis 40 mL/L air (perlakuan D) memberikan tinggi tanaman tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya yakni 87,0 cm, sedangkan jumlah cabang terbanyak terdapat pada perlakuan B yakni aplikas EKKU dengan dosis 40 mL/L air yang dikombinasikan dengan pengurangan dosis pupuk anorganik sebesar 25%. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemberian EKKU dengan dosis 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan anorganik ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Suwandi (2004) menambahkan produksi tanaman juga mengalami peningkatan dengan pemberian kompos dikarenakan bahan organik juga berperan sebagai sumber hara bagi tanaman, meningkatkan daya ikat air tanah dan meningkatkan kapasitas pertukaran kation yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Penggunaan EKKU bahkan dapat meningkatkan produksi tanaman oyong dan kacang panjang masing-masing sebesar 17,40% dan 246,67% (Syahri et al., 2014). KESIMPULAN 1. Pengurangan dosis pupuk anorganik sebanyak 50% yang dikombinasikan dengan aplikasi EKKU sebanyak 40 mL/L air mampu menekan serangan ulat pemakan daun, dimana tingkat serangan hanya 19,2%. 2. Pemberian EKKU sebanyak 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan anorganik mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman terung, dimana pertumbuhan tanaman tertinggi terjadi pada pengurangan pupuk anorganik sebesar 25% yakni 87,0 cm. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Kurniawati, S. dan Hersanti. 2009. Pengaruh Inokulasi MVA dan Pemberian Abu Kelapa Sawit terhadap Perkembangan Penyakit Bercak Coklat (Alternaria solani Sor.) pada Tanaman Tomat. Widyariset 12(2): 63-69. Rukmana, R. 1994. Bertanam Terung. Kanisius, Yogyakarta. Suwandi. 2004. Efikasi Ekstrak Kompos Kulit Udang untuk Pengendalian Penyakit pada Daun Tanaman Kacang Panjang, Cabai dan Kubis. J. Pest Tropical 1(2):18-24. Syahri dan R.U. Somantri. 2014. Kajian aplikasi biopestisida berbahan ekstrak kompos kulit udang (EKKU) pada berbagai dosis pemupukan terhadap pertumbuhan dan serangan penyakit cabai. Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanian Organik. Bogor, 18-19 Juni 2014. 421
  • 19. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Syahri, Hartono dan Suwandi. 2014. Pemanfaatan ekstrak kompos kulit udang (EKKU) dalam pengendalian penyakit dan peningkatan produksi tanaman sayuran. Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanian Organik. Bogor, 18-19 Juni 2014. Utami, S.N.H. dan S. Handayani. 2003. Sifat Kimia Entisol pada Sistem Pertanian Organik. Jurnal Ilmu Pertanian 10(2): 63-69. Wiratno, Siswanto, dan I.M. Trisawa. 2013. Perkembangan Penelitian, formulasi, dan pemanfaatan pestisida nabati. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 32(2): 150-155. Yurnaliza. 2002. Senyawa Khitin dan Kajian Aktivitas Enzim Mikrobial Pendegradasinya. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/826/1/ Biologi-Yurnaliza2.pdf, diakses 1 Juni 2012). 422
  • 20. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Perkembangan Organisme Pengganggu Tanaman Padi Akibat Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Lahan Rawa Lebak The Effect of Integrated Plant Management (IPM) to Rice Pests and Diseases on Freshwater Land Syahri1*) , Renny Utami Somantri1 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +62711410155/+62711411845 email: syahrihpt@yahoo.co.id ABSTRACT Pest attack was causing up to 20% yield losses of rice. Integrated Plant Management can be used to suppress the yield losses due to pest attack. The research was conducted on farmers' fields with freshwater land typology. The treatments consisted of the use of new high yield variety (Inpari 10, Inpari 12, and Inpari 14), fertilization recomendation based on PUTS dan KATAM, Legowo 4: 1 with 2-3 seeds/hole, and pest control with the principles of integrated pest management, whereas for comparison is cultivation by farmers. Observations were made on the intensity of pest attacks such as blast disease, injury lever for leaf folder and mole-cricket. The monitoring of organisms using pitfall traps and light traps. The study showed that the application of ICM on rice crops give effect to the pest attack. In the IPM-application, the intensity of leaf folder attacks only <16%, mole cricket <1% and blast <7%. These are lower than farmer technology. PTT also gives effect to an increase in the population of natural enemies of pests such as spiders and bees. Keywords: integrated plant managemend, pest and diseases, yield losses. ABSTRAK Serangan organisme pengganggu tanaman dapat menyebabkan kehilangan hasil padi hingga 20%. Penerapan PTT dengan konsep PHT di dalamnya menjadi bagian penting yang bisa digunakan untuk menekan kehilangan hasil akibat serangan OPT. Pengkajian dilaksanakan pada lahan petani dengan tipologi lahan rawa lebak Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan. Petak perlakuan terdiri dari penggunaan VUB (Inpari 10, Inpari 12, dan Inpari 14), pemupukan berdasarkan KATAM dan PUTS, sistem tanam jajar legowo 4:1 dengan jumlah bibit 2-3 bibit/lubang, dan pengendalian OPT dengan prinsip pengelolaan hama terpadu, sedangkan sebagai pembanding adalah sistem budidaya yang biasa dilakukan petani (cara petani). Pengamatan dilakukan pada intensitas serangan OPT penting seperti penyakit blas, hama putih palsu, orong-orong serta dilakukan juga pengamatan populasi organisme yang ada pada petak pengkajian dengan menggunakan pitfall trap dan light trap. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan PTT pada pertanaman padi memberikan pengaruh terhadap serangan OPT. Pada penerapan PTT, intensitas serangan hama putih palsu hanya <16%, 423
  • 21. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 orong-orong <1% dan penyakit blas <7%. Serangan hama maupun penyakit ini cenderung lebih rendah pada padi yang menggunakan teknologi PTT dibandingkan dengan cara petani. PTT juga memberikan pengaruh terhadap peningkatan populasi musuh alami hama seperti laba-laba maupun lebah. Kata kunci: organisme pengganggu tumbuhan, pengelolaan tanaman terpadu, padi PENDAHULUAN Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) merupakan salah satu faktor penghambat dalam upaya meningkatkan produktivitas padi. Direktorat Perlindungan Tanaman (2010) melaporkan bahwa kekeringan, kebanjiran, dan OPT telah menyebabkan sekitar 380 ribu ha sawah terganggu, dan 48 ribu ha di antaranya gagal panen. Menurut Balitpa (2004), hama dan penyakit tanaman menyebabkan kehilangan hasil mencapai kira-kira 20%, yang merupakan angka yang tinggi dalam mengurangi produktivitas tanaman. Berbagai jenis hama dapat menyerang tanaman padi mulai dari persemaian hingga proses pemanenan. Selain itu kendala penyakit penting seperti blas (Pyricularia oryzae), hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae), hawar pelepah, tungro juga menjadi ancaman dalam budidaya padi di Indonesia. Pada bulan Januari sampai Juni 2007, di wilayah Sumatera, wereng coklat menyebabkan kerusakan padi sekitar 95 ha dan menyebabkan kehilangan hasil sebanyak 250 ton (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2007). Selain itu masih banyaknya serangan hama tikus, tungro dan wereng mempengaruhi penurunan produksi (www.sripoku.com, 2011). Berdasarkan laporan Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Selatan, beberapa OPT penting yang menyerang padi di antaranya hama putih palsu, penyakit blas, orong-orong, kresek, tungro. Tahun 2013 misalnya, serangan penyakit kresek hampir menyebar di seluruh sentra pertanaman padi di Sumatera Selatan. Permasalahan OPT ini berpotensi menimbulkan gangguan produksi padi nasional. Karena itu, upaya untuk mencapai target surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014, tentunya memerlukan dukungan teknologi yang komprehensif. Penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan dan terus-menerus di tingkat petani semakin memperparah tingkat serangan maupun kerusakan akibat OPT. Menurut Laba dan Trisawa (2008) dalam Syahri et al. (2011), penggunaan insektisida dapat menimbulkan dampak terhadap hama utama serta organisme bukan sasaran. Dampak tersebut di antaranya adalah resistensi dan resurjensi serangga hama serta terancamnya populasi musuh alami dan organisme bukan sasaran. Menurutnya, beberapa jenis insektisida menimbulkan resurjensi wereng coklat, dapat meningkatkan jumlah telur, reproduktivitas/keperidian, stadia nimfa dan lama hidup serangga dewasa. Tercatat 23 jenis insektisida menimbulkan resurjensi terhadap wereng coklat. Menurut Villareal (1999), ketika terjadi epidemi tungro di Filipina tahun 1998, petani melakukan penyemprotan pestisida sipermetrin setiap minggu. Ternyata pengendalian ini tidak efektif mengurangi insidensi penyakit tungro dan justru menyebabkan resurjensi populasi wereng coklat. 424
  • 22. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Untuk mencapai sasaran tersebut, maka dilaksanakanlah Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan suatu usaha untuk meningkatkan hasil tanaman pangan dan efisiensi masukan produksi dengan memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara bijak. Menurut Jamal (2009), penerapan PTT berpedoman kepada pemahaman petani terhadap masalah yang dihadapi serta identifikasi peluang pengembangan yang mungkin dilakukan. Adapun komponen teknologi PTT terdiri dari komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar untuk padi rawa lebak di antaranya varietas modern (VUB, PTB), bibit bermutu dan sehat, pemupukan N granul, P dan K berdasarkan PUTS, serta PHT sesuai OPT sasaran. Sedangkan komponen teknologi pilihan di rawa lebak d antaranya pengelolaan tanaman yang meliputi populasi dan cara tanam (legowo, larikan, dll), umur bibit, pengelolaan air, pembuatan saluran/caren keliling, pengendalian gulma terpadu, penanganan panen dan pasca panen (Ditjen Tanaman Pangan, 2013). Menurut Fagi dan Kartaatmaja (2004), komponen teknologi untuk mengoreksi deteriorasi kesuburan tanah telah diteliti dan hasilnya telah dirakit dapat paket teknologi pada strategi PTT yang meliputi: (1) pengelolaan unsur hara spesifik lokasi, (2) pengaturan rejim air yang sesuai dengan fisiko-kimia tanah, dan (3) penyeimbangan komponen hasil tanaman padi. Oleh karena itulah, dalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai pengaruh PTT terhadap perkembangan OPT padi khususnya di lahan rawa lebak. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian. Pengkajian dilaksanakan pada lahan petani dengan tipologi lahan rawa lebak Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan. Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah benih padi varietas unggul baru (VUB) Inpari 10, Inpari 12, Inpari 14, biopestisida Bio-Fitalik (ekstrak kompos kulit udang-EKKU) yang berasal dari Klinik Tanaman HPT Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, pupuk anorganik (Urea, SP-36, NPK Phonska dan KCl), Kalender Tanam (KATAM) Terpadu Musim Tanam I 2012/2013, dan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Alat yang digunakan adalah pitfall trap, light trap modifikasi, knapsack sprayer, gelas ukur, arit, meteran, timbangan, alat tulis, bambu, dan gunting. Prosedur Pengumpulan Data. Tahapan pelaksanaan penelitian yaitu dengan menentukan lahan masing-masing seluas 1.430 m2 untuk rekomendasi pemupukan KATAM, PUTS dan perlakuan petani (luas lahan disesuaikan dengan ketersediaan lahan petani). Pengolahan tanah dilakukan dengan cara olah tanah sempurna yakni dengan cara dibajak. Dosis pemupukan KATAM dilakukan dengan menggunakan rekomendasi pemupukan yang tercantum dalam KATAM MT I (dosis NPK Phonska (15-15-15) sebanyak 225 kg/ha dan 175 kg Urea/ha) dan dengan sistem tanam jajar legowo 4:1, rekomendasi pemupukan berdasarkan PUTS yakni 150 kg NPK Phonska (15:15:15)/ha; 200 kg Urea/ha; 10 kg KCl/ha, sedangkan cara petani dengan dosis pemupukan NPK kebiasaan petani yakni sebesar 300 kg/ha dan Urea sebanyak 150 kg/ha dengan sistem tanam tegel (20 x 20 cm). Pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali yakni pemupukan I pada umur 0-1 425
  • 23. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 minggu setelah tanam (mst), pemupukan II umur 3-4 mst, dan pemupukan III pada umur 7-8 mst. Pemupukan dilakukan dengan cara ditebar/dihambur di seluruh permukaan lahan. Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu benih direndam dalam larutan 20 ml Bio-Fitalik/L air selama 24 jam selanjutnya diperam selama 2 hari. Penanaman dilakukan dengan menggunakan bibit berumur + 30 hari. Penyiangan gulma dilakukan dengan cara diterbas dan menggunakan herbisida, sedangkan pengendalian OPT dilakukan dengan menggunakan perangkap cahaya dan pestisida kimiawi yang diaplikasikan sesuai dengan tingkat serangan OPT dengan mengikuti prinsip PHT. Paramater Pengamatan. Pengamatan tingkat serangan OPT dilakukan seminggu sekali sejak awal penanaman hingga menjelang panen. Sampel tanaman untuk pengamatan OPT dipilih secara diagonal dengan jumlah sampel tanaman yakni 10 tanaman. Intensitas serangan OPT dihitung dengan menggunakan rumus Mc. Kinney dalam Kurniawati dan Hersanti (2009): I  (n  v) 100% N  Z Dimana I = keparahan penyakit; n = jumlah tanaman yang terserang; N = jumlah seluruh tanaman; v = nilai skala serangan yang dihasilkan; Z = nilai skala tertinggi. Untuk mengetahui populasi OPT terutama serangga pada petak pertanaman juga dilakukan penangkapan dengan menggunakan pitfall trap dan light trap. Serangga yang diperoleh selanjutnya dihitung dan diidentifikasi jenisnya. HASIL Intensitas Serangan Hama. Pengaruh pemupukan yang tidak tepat dan penggunaan varietas rentan dapat berakibat pada kerentanan tanaman terhadap serangan OPT. Menurut Baehaki (2009), pemberian pupuk yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman merupakan salah satu cara dalam menekan perkembangan hama penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa OPT yang banyak menyerang di antaranya hama putih palsu (HPP) yang menyerang pada stadia vegetatif awal, orong-orong terutama pada lokasi yang tidak tergenang. Tingkat serangan HPP ditampilkan pada Gambar 1. 426
  • 24. Prosiding Seminnar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Gambar 1. Pengaruh penerapan PTT pada berbagai varietas padi terhadap serangan hama putih palsu. Gambar 1 menunjukkan bahwa serangan HPP terutama terjadi pada stadia vegetatif (umur 0-5 mst). Penerapan PTT pada semua varietas padi ternyata memberikan pengaruh yang lebih baik dalam menekan seranngan HPP dibandingkan dengan cara petani, namun secara umum serangannya masih cukup rendah. Hasil pengamatan tingkat serangan orong-orong pada padi disaajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Tingkat seranggan orong-orong pada padi Varietas Jumlah tanaman mati pada minggu ke- (mst) I II III Inpari 10 (PUTS) 10 0 0 Inpari 10 (KATAM) 0 0 0 Inpari 12 (PUTS) 15 4 0 Inpari 12 (KATAM) 19 1 0 Inpari 14 (PUTS) 23 0 0 Inpari 14 (KATAM) 15 1 0 Inpari 12 (CARA PETANI) 30 3 0 Hasil tangkapan light trap dan pitfall trap selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Beberapa organisme yang tertangkap pada pitfall trap dan lighht trap Jenis Perangkap Jenis Organisme Jumlah (ekor) Pitfall trap Hymenoptera 26 Arachnida 3 Light trap Coleoptera 2 Hymenoptera 99 Lepidoptera 1 Coleoptera 2 Homoptera 31 427
  • 25. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Intensitas Serangan Penyakit. Tingkat serangan penyakit blas ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Intensitas serangan penyakit blas pada padi Perlakuan Intensitas Serangan (%) Inpari 10 (PUTS) 0 Inpari 10 (KATAM) 1,1 Inpari 12 (PUTS) 0 Inpari 12 (KATAM) 1,1 Inpari 14 (PUTS) 6,7 Inpari 14 (KATAM) 4,4 Inpari 12 (CARA PETANI) 0,9 Tabel 3 memperlihatkan bahwa serangan penyakit blas relatif rendah yakni masih <7%. Serangan penyakit blas tertinggi terjadi pada varietas Inpari 14 dengan berbagai metode pemupukan. Sedangkan pada varietas Inpari 10 dan Inpari 12 serangan penyakit relatif rendah <2%. Varietas Inpari 12 merupakan varietas padi yang tahan terhadap penyakit blas ras 033 dan agak tahan terhadap ras 133 dan 073 (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2012). Menurut Sutami et al. (2001), taktik pengendalian penyakit yang paling sesuai apabila jenis patogennya mudah membentuk ras baru adalah dengan pergiliran varietas tahan. PEMBAHASAN Beberapa OPT penting yang umum menyerang pertanaman padi di rawa lebak antara lain: 1. Penyakit Blas/Busuk Leher Penyakit blas disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae. Penyakit ini umumnya terdapat di pertanaman yang subur. Pada masa batang padi tumbuh memanjang (+ umur 55 hari) tanaman sangat rentan terinfeksi daun. Penyakit ini dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit dan biji dalam bentuk miselia dan konidia. Tingkat keparahan penyakit blas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Kelebihan nitrogen dan kekurangan air menambah kerentanan tanaman. Diduga bahwa kedua faktor tersebut menyebabkan kadar silikon tanaman rendah. Kandungan silikon dalam jaringan tanaman menentukan ketebalan dan kekerasan dinding sel sehingga mempengaruhi terjadinya penetrasi patogen kedalam jaringan tanaman. Tanaman padi yang berkadar silikon rendah akan lebih rentan terhadap infeksi patogen. Pupuk nitrogen berkorelasi positif terhadap keparahan penyakit blas. Artinya makin tinggi pupuk nitrogen keparahan penyakit makin tinggi. Penyakit dapat timbul pada daun, batang, bunga, malai dan biji dan sangat jarang muncul pada upih daun. Gejala pada daun, berbentuk bercak jorong dengan ujung runcing. Pusat bercak berwarna kelabu atau keputih-putihan dan 428
  • 26. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 biasanya mempunyai tepi coklat atau coklat kemerahan. Gejala khasnya adalah membusuknya ujung tangkai malai (busuk leher) sehingga malai menjadi mudah patah. Pengendalian yang dapat dilakukan di antaranya: menggunakan varietas tahan secara bergantian untuk mengantisipasi perubahan ras cendawan yang relatif cepat, pemupukan nitrogen sesuai anjuran, mengatur waktu tanam yang tepat, agar waktu awal pembungaan (heading) tidak banyak embun dan hujan terus-menerus, pengendalian secara kimiawi dengan gunakan fungisida (bila diperlukan) yang berbahan aktif metil tiofanat atau fosdifen dan kasugamisin. 2. Walang sangit Walang sangit merupakan hama yang umum merusak bulir padi pada fase pemasakan. Serangga ini akan mempertahankan diri dengan mengeluarkan bau apabila diganggu. Selain sebagai mekanisme pertahanan diri, bau yang dikeluarkan juga digunakan untuk menarik walang sangit lain dari spesies yang sama. Fase pertumbuhan tanaman padi yang rentan terhadap serangan walang sangit adalah dari keluarnya malai sampai matang susu. Kerusakan yang ditimbulkannya menyebabkan beras berubah warna dan mengapur, serta hampa. Ambang ekonomi walang sangit adalah lebih dari 1 ekor walang sangit per dua rumpun pada masa keluar malai sampai fase pembungaan. Mekanisme merusaknya yaitu menghisap butiran gabah yang sedang mengisi. Di Indonesia walang sangit merupakan hama potensial yang pada waktu- waktu tertentu menjadi hama penting dan dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 50%. Diduga bahwa populasi 100.000 ekor per hektar dapat menurunkan hasil sampai 25%. Hasil penelitian menunjukkan populasi walang sangit 5 ekor per 9 rumpun padi akan menurunkan hasil 15%. Hubungan antara kepadatan populasi walang sangit dengan penurunan hasil menunjukkan bahwa serangan satu ekor walang sangit per malai dalam satu minggu dapat menurunkan hasil 27%. Kualitas gabah (beras) sangat dipengaruhi serangan walang sangit. Diantaranya menyebabkan meningkatnya grain discoloration. Sehingga serangan walang sangit disamping secara langsung menurunkan hasil, secara tidak langsung juga sangat menurunkan kualitas gabah. 3. Penggerek batang padi (stem borer) Penggerek batang padi merupakan hama yang sangat penting pada padi dan sering menimbulkan kerusakan dan menurunkan hasil panen secara nyata. Terdapatnya penggerek di lapang dapat dilihat dari adanya ngengat di pertanaman dan larva di dalam batang. Mekanisme kerusakan disebabkan larva merusak sistem pembuluh tanaman di dalam batang. Stadia tanaman yang rentan terhadap serangan penggerek adalah dari pembibitan sampai pembentukan malai. Gejala kerusakan yang ditimbulkannya mengakibatkan anakan mati yang disebut sundep pada tanaman stadia vegetatif dan beluk (malai hampa) pada tanaman stadia generatif. Siklus hidupnya 40-70 hari tergantung pada spesiesnya. Ambang ekonomi penggerek batang adalah 10% anakan terserang; 4 kelompok telur per rumpun (pada fase bunting). Perlu diketahui bahwa kerusakan pada stadia generatif maka tindakan pengendalian sudah terlambat atau tidak efektif lagi. Penggerek batang padi terdapat sepanjang tahun dan menyebar di seluruh Indonesia pada ekosistem padi yang beragam. Intensitas serangan penggerek batang padi pada tahun 1998 mencapai 20,5% dan luas daerah yang terserang 429
  • 27. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 mencapai 151.577 ha. Kehilangan hasil akibat serangan penggerek batang padi pada stadia vegetatif tidak terlalu besar karena tanaman masih dapat mengkompensasi dengan membentuk anakan baru. 4. Keong mas (golden apple snail) Keong mas merusak tanaman dengan cara memarut jaringan tanaman dan memakannya, menyebabkan adanya bibit yang hilang di per-tanaman. Bekas potongan daun dan batang yang diserangnya terlihat mengambang. Waktu kritis untuk mengendalikan keong mas adalah pada saat 10 hari setelah tanam pindah, atau 21 hari setelah sebar benih (benih basah). Setelah itu laju pertumbuhan tanaman lebih besar daripada laju kerusakan oleh keong mas. Bila di sawah diketahui ada keong mas, perlu dilakukan pengaturan air karena keong mas menyenangi tempat-tempat yang digenangi air. Jika petani menanam dengan sistem tanam pindah maka pada 15 hari setelah tanam pindah, sawah perlu dikeringkan kemudian digenangi lagi secara bergantian (flash flood = intermitten irrigation). Bila petani menanam dengan sistem tabela (tanam benih secara langsung), selama 21 hari setelah sebar benih sawah perlu dikeringkan kemudian digenangi lagi secara bergantian. Selain itu perlu dibuat caren di dalam dan di sekeliling petakan sawah sebelum tanam, baik di musim hujan maupun kemarau. Ini dimaksudkan agar pada saat dilakukan pengeringan, keong mas akan menuju caren sehingga memudahkan pengambilan keong mas dan sebagai salah satu cara pengendaliannya. Keberadaannya di lapang ditandai oleh adanya telur berwarna merah muda dan keong mas dengan berbagai ukuran dan warna. Keong mas merupakan salah satu hama penting yang menyerang padi muda terutama di sawah yang ditanam dengan sistem tabela. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan diantaranya: secara fisik, menggunakan saringan berukuran 5 mm mesh yang dipasang pada tempat air masuk di pematang untuk meminimalkan masuknya keong mas ke sawah dan memudahkan pemungutan dengan tangan, secara mekanis dengan memungut keong dan menghancurkannya, bila di suatu lokasi sudah diketahui bahwa keong mas adalah hama utama, sebaiknya tanam bibit yang tua dan tanam lebih dari satu bibit per rumpun; buat caren di dalam dan di sekeliling petakan sawah, mengaplikasikan pestisida yang berbahan aktif niclosamida dan pestisida botani seperti lerak, deris, dan saponin. Serangan HPP pada lokasi pengkajian cenderung meningkat pada minggu ke-2 setelah tanam, dan menurun kembali pada periode selanjutnya. Hal ini disebabkan karena pada minggu ke-3 setelah tanam dilakukan penyemprotan insektisida berbahan aktif deltametrin sehingga terjadi penurunan persentase serangan pada 4-5 mst. Serangan HPP terendah terjadi pada varietas Inpari 12 yang diberi pemupukan berdasarkan rekomendasi PUTS (intensitas serangan <2%). Sedangkan, tingkat serangan tertinggi terjadi pada padi varietas Inpari 12 dengan perlakuan tanam mengikuti cara petani. Selain serangan HPP, pada petak pertanaman juga terdapat serangan orong- orong (Gryllotalpa sp.). Orong-orong merupakan salah satu hama penting yang menyerang perakaran tanaman padi, gejala yang ditimbulkannya yakni rusaknya bagian perakaran padi sehingga menyebabkan padi menguning dan mati. 430
  • 28. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Serangan orong-orong terutama pada padi yang tumbuh pada lokasi yang tidak tergenang (kering). Serangan orong-orong pada semua petak perlakuan relatif rendah (<1% dari populasi tanaman), hal ini disebabkan karena sebagian besar lahan dalam kondisi tergenang air. Bahkan, pada minggu ke-3 tidak terdapat lagi tanaman yang mati karena orong-orong (Tabel 1). Hal ini dikarenakan telah dilakukan aplikasi insektisida karbofuran pada lokasi pertanaman terutama pada pinggir petak perlakuan yang kondisinya tidak tergenang. Selanjutnya, untuk menekan serangan OPT yang aktif pada malam hari (nocturnal pest) dilakukanlah penangkapan dengan menggunakan perangkap cahaya yang dimodifikasi (light trap), perangkap ini dibuat dengan menggunakan corong air berukuran besar dengan diameter + 30 cm, dengan cahaya bersumber dari lampu senter (Gambar 2). Sedangkan, untuk mengidentifikasi jenis serangga yang ada pada tanah dilakukan dengan menggunakan perangkap sumuran (pitfall trap) yang dipasang di setiap petak perlakuan. Gambar 2. Perangkap cahaya yang telah dimodifikasi Hasil tangkapan dengan menggunakan pitfall trap maupun light trap menunjukkan bahwa organisme yang tertangkap terdiri dari berbagai jenis organisme. Tabel 2 menunjukkan bahwa populasi organisme pada petakan penerapan PTT didominasi oleh organisme yang bermanfaat sebagai musuh alami seperti dari ordo Hymenoptera (lebah) dan Arachnida (laba-laba). Hymenoptera merupakan kelompok serangga yang didominasi oleh parasitoid, sedangkan arachnida berperan sebagai predator serangga hama. Oleh karena itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi serangga hama yang tertangkap relatif rendah karena kemungkinan disebabkan adanya penekanan populasi oleh musuh alami tersebut. Menurut Baehaki (2009), teknologi yang dikembangkan untuk mengendalikan hama pada pertanaman padi didasarkan kepada konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dengan mempertimbangkan ekosistem, stabilitas, dan kesinambungan produksi sesuai dengan tuntutan praktek pertanian yang baik (Good Agricultural Practices). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan PTT yang di dalamnya menggunakan taktik pengendalian OPT berdasarkan prinsip PHT ternyata mampu menekan serangan berbagai jenis hama padi. 431
  • 29. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Hasil penelitian pengaruh PTT terhadap serangan penyakit padi menunjukkan bahwa penyakit yang menyerang pada setiap perlakuan didominasi oleh serangan penyakit blas yang disebabkan oleh jamur Pyricularia oryzae. Menurut Semangun (2004), penyakit blas dapat menyerang daun, batang, bunga, malai dan biji dan sangat jarang muncul pada upih daun. Gejala pada daun, berbentuk bercak jorong dengan ujung runcing. Pusat bercak berwarna kelabu atau keputih-putihan dan biasanya mempunyai tepi coklat atau coklat kemerahan. Gejala khasnya adalah membusuknya ujung tangkai malai (busuk leher) sehingga malai menjadi mudah patah. Menurut Sutami et al. (2001), taktik pengendalian penyakit yang paling sesuai apabila jenis patogennya mudah membentuk ras baru adalah dengan pergiliran varietas tahan. Untuk menekan berkembangnya penyakit blas selama penelitian, maka pemupukan ke-3 (susulan II) tidak dilakukan serta dilakukan juga pengendalian dengan menyemprotkan fungisida. Tindakan ini dilakukan karena penyakit blas akan semakin bertambah parah jika dosis pemupukan N tinggi (Semangun, 2004). Selain itu, kondisi cuaca saat penelitian dengan intensitas hujan yang tinggi yang justru akan membantu. Menurut Roja (2009), kondisi seperti ini menyebabkan spora jamur penyebab blas (Pyricularia grisea) banyak dilepaskan ke udara, dan spora-spora ini akan menginfeksi tanaman padi sehingga menimbulkan kerusakan tanaman. Perbedaan dosis pemupukan, jenis varietas maupun tindakan pengendalian akan sangat mempengaruhi serangan penyakit tanaman. Serangan penyakit seperti blas daun cenderung lebih rendah pada varietas Inpari 10 dan Inpari 12 yang diberi pupuk berdasarkan rekomendasi PUTS. Menurut Wood (1974) dalam Supriatna (2003), pemupukan dengan Kalium dan Fosfat dapat menurunkan insidensi serangan hama penyakit. Kekurangan Kalium akan menyebabkan penurunan laju pertumbuhan dan vigor tanaman, penurunan ketahanan tanaman, dan menyebabkan akar tanaman berkembang lambat sehingga mudah diinfeksi penyakit akar (Anonim, 1988 dalam Supriatna, 2003). Berdasarkan hasil penelitian, teknologi PTT yang terdiri dari penggunaan varietas unggul baru tahan OPT, pemupukan berdasarkan rekomendasi (KATAM maupun PUTS) serta taktik pengendalian OPT menggunakan prinsip PHT memberikan pengaruh terhadap penurunan intensitas serangan OPT pada pertanaman padi. Dengan adanya penurunan serangan OPT ini diharapkan tanaman padi akan tumbuh dengan baik dan memberikan produktivitas yang baik pula sehingga target produksi yang diharapkan petani maupun pemerintah dapat tercapai. KESIMPULAN Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan PTT pada pertanaman padi memberikan pengaruh terhadap serangan OPT. Pada penerapan PTT, intensitas serangan hama putih palsu hanya <16%, orong-orong <1% dan penyakit blas <7%. Serangan hama maupun penyakit ini cenderung lebih rendah pada padi yang menggunakan teknologi PTT dibandingkan dengan cara petani. PTT juga memberikan pengaruh terhadap peningkatan populasi musuh alami hama seperti laba-laba maupun lebah. 432
  • 30. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 433
  • 31. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 DAFTAR PUSTAKA Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Kalender Tanam Terpadu. http://katam.litbang.deptan.go.id.[12 Januari]2013. Baehaki, SE. 2009. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi dalam Perspektif Praktek Pertanian yang Baik (Good Agricultural Practices). Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 2(1): 65-78. Balai Penelitian Tanaman Padi. 2004. Inovasi Teknologi untuk Peningkatan Produksi Padi dan Kesejahteraan Petani. Sukamandi. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013. Kementerian Pertanian. Fagi, AM dan S. Kartaatmaja. 2004. Teknologi Budidaya Padi: Perkembangan dan Peluang. Dalam: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Penyunting: Fasisal Kasryno, E. Pasandaran, AM Fagi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Roja, A. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu (PHT) Padi Sawah. BPTP Sumatera Barat. Santos, A.B., N.K. Fageria, A.S. Prabhu. 2003. Rice ratooning management practices for higher yields. Communication Soil Science. J. Plant Anal 34: 881-918. Semangun, H. 2004. Hama dan Penyakit Penting Tanaman Pangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sriwijaya Post Online (http://www.sripoku.com, Edisi Tanggal 20 Juni 2010 dan 11 Januari 2011) Supriatna, A. 2003. Integration pest management and its implementation by rice farmer in Java. Jurnal Litbang Pertanian 22(3): 109-115. Sutami, B. Prayudi, dan S. Sulaiman. 2001. Reaksi Ketahanan Galur-galur Padi Rawa Pasang Surut terhadap Penyakit Blas Leher. Di dalam: Prayudi B, et al. (eds), Pegelolaan Tanaman Pangan Lahan Rawa. Prosiding Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Penelitian Tanaman Pangan di Lahan Rawa Menuju Ketahanan Pangan, Kesejahteraan Petani dan Konsumen; Banjarbaru, 4-5 Juli 2000. p 127-137. 434
  • 32. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru Kedelai Melalui Pendekatan PTT Mendukung SL-PTT Kedelai Di Sulawesi Tengah Adaptation Some New Varieties of Soybean Through Supports PTT approach SLPTT Soybean In Central Sulawesi Ruslan Boy*), Yakob Langsa1 , Saidah2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah *) Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. 081354259888/0451482549 email: boyruslan73@yahoo.co.id ABSTRACT This study aims to obtain new varieties soybeans adaptive and has a high yield potential through the approach of Integrated Crop Management (ICM) supports soybeans in Central Sulawesi. Location studies on dry land Luwuk District of East Village Lauwon Banggai and Wood Village District Court District of Mepanga Moutong Parigi. Using Split plot design consisting of a main plot and subplot. The main plot is the location/village activities. The subplots were soybean varieties consisting of varieties Tanggamus, Argomulyo, Willis and Kaba. Each treatment was repeated 3 times. Broad swath of assessment 5 mx 5 m using a spacing of 40 cm x 15 cm at planting 2 seeds planting hole. The results of the study show that the introduced varieties 4 shows the different productivity of the development site. Banggai varieties Tanggamus obtain the highest yield of 3.16 t/ha followed by Kaba 3.00 t/ha, Willis 2.40 t/ha, and Argomulyo 2.20 t/ha, while in the District Parigi Moutong Willis varieties 2.20 t/ha Tanggamus ha followed by 2.08 t/ha and Argomulyo and Kaba obtain the same result of 1.60 t/ha. Conclusion that the varieties Tanggamus and adaptive willis to be developed at each study site because it gives results in higher soybeans seed, which Tanggamus varieties of 3.16 t/ha and Willis 2,40 t/ha as compared to other varieties. Keywords : Adaptation , yielding varieties , soybeans , Results ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan varietas unggul baru (VUB) kedelai yang adaptif dan memiliki potensi hasil tinggi melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) mendukung SL-PTT kedelai di Sulawesi Tengah. Lokasi kajian di lahan kering Desa Lauwon Kecamatan Luwuk Timur Kabupaten Banggai dan Desa Kayu Agung Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi Moutong. Menggunakan rancangan Split Plot yang terdiri dari petak utama dan anak petak. Petak utama adalah lokasi/desa tempat kegiatan. Anak petak 435
  • 33. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 adalah varietas kedelai yang terdiri dari varietas Tanggamus, Argomulyo, Willis dan Kaba. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Luas petak pengkajian 5 m x 5 m dengan menggunakan jarak tanam 40 cm x 15 cm ditanam 2 biji per lubang tanam. Hasil kajian menunjukkan dari 4 varietas yang diintroduksi memperlihatkan produktivitas yang berbeda terhadap lokasi pengembangannya. Kabupaten Banggai varietas Tanggamus memperoleh hasil tertinggi 3,16 t/ha disusul Kaba 3,00 t/ha, Willis 2,40 t/ha, serta Argomulyo 2,20 t/ha sedangkan di Kabupaten Parigi Moutong varietas Willis 2,20 t/ha disusul Tanggamus 2,08 t/ha serta Argomulyo dan Kaba memperoleh hasil yang sama 1,60 t/ha. Kesimpulan bahwa varietas Tanggamus dan willis adaptif untuk dikembangkan di masing-masing lokasi penelitian karena memberikan hasil biji kedelai yang lebih tinggi, yaitu varietas Tanggamus 3,16 t/ha dan Willis 2,40 t/ha dibandingkan dengan varietas lainnya. Kata kunci: Adaptasi, varietas unggul, kedelai, hasil PENDAHULUAN Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi, jagung dan umbi-umbian yang meiliki gizi tinggi. Kebutuhan kedelai di Indonesia terus meningkat dan ini belum bisa diimbangi oleh produksi nasional sehingga impor kedelai masih terus dilakukan. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi permintaan nasional yang cenderung terus meningkat, produksi kedelai perlu terus diupayakan peningkatannya untuk memenuhi kebutuhan yang semakin bertambah dan sekaligus penyediaan pangan yang bergizi bagi masyarakat luas. Perkembangan produktivitas tanaman kedelai di Sulawesi Tengah periode 2010-2012 menunjukkan adanya peningkatan. Produktivitas kedelai Tahun 2010 mencapai 1,31 t/ha, Tahun 2011 mencapai 1,28 t/ha dan Tahun 2012 mencapai 1,46 t/ha (BPS Sulteng, 2013). Namun demikian, produktivitas yang dicapai masih tergolong rendah dan fluktuatif. Peluang peningkatan produksi melalui perbaikan teknologi masih terbuka lebar, mengingat produktivitas pertanaman kedelai di tingkat petani masih rendah (1,3 t/ha) dengan kisaran 0,6-2,0 t/ha (Hermanto dan kasim, 2008), padahal teknologi produksi yang tersedia mampu menghasilkan produktivitas kedelai antara 1,7- 3,2 t/ha (Marwoto et al. 2009). Rata-rata produktivitas kedelai nasional baru mencapai 1,42 t/ha (BPS Pusat, 2013). Varietas unggul merupakan inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian yang mudah diadopsi petani dan memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan produksi. Perakitan varietas kedelai di Indonesia telah berhasil mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan mulai diarahkan pada perbaikan ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik. Namun rata-rata hasil kedelai nasional masih relatif rendah. Penyebabnya karena budidaya kedelai di Indonesia berada dalam lingkungan yang sangat beragam sehingga hasil kedelai tidak hanya berfluktuasi antar lokasi, namun juga antar musim, faktor lain hingga saat ini belum semua petani kedelai menggunakan benih varietas unggul yang berlabel (Thamrin et al. 2012). Pengembangan varietas kedelai berdaya hasil tinggi pada cakupan lingkungan yang luas merupakan salah satu faktor kunci dalam peningkatan 436
  • 34. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 produksi. Besarnya ragam lingkungan budidaya kedelai di Indonesia mengakibatkan rentang hasilnya sangat besar, yaitu 0,50-2,50 t/ha (Subandi et al. 2008). Hasil biji merupakan karakter kompleks yang terkait dengan beberapa komponen hasil dan dipengaruhi oleh fluktuasi lingkungan. Selah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menyediakan varietas yang berdaya hasil relatif sama pada lingkungan yang berbeda. Upaya mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan terobosan dalam memproduksi kedelai yang mampu memberikan produktivitas tinggi dengan proses produksi yang efisien dan berkelanjutan. Guna mencapai hal tersebut, diperlukan rakitan teknologi spesifik lokasi dengan memperhatikan kesesuaian terhadap kondisi biofisik lahan, sosial ekonomi masyarakat, dan kelembagaan petani. Proses produksi yang demikian pada hakekatnya merupakan konsep pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang sangat berperan dalam mendukung SL-PTT kedelai untuk peningkatan produksi kedelai di Sulawesi Tengah. Hasil penelitian Suryana (2008) komponen teknologi produksi yang dikemas dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada tanaman kedelai mampu meningkatkan produksi hingga lebih dari 2 t/ha. PTT kedelai perlu diterapkan di sentra-sentra produksi kedelai di Sulawesi Tengah, baik di lahan sawah maupun di lahan kering (Ruslan Boy dan Mardiana, 2012). Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dilakukan kajian tentang adaptasi beberapa varietas unggul baru kedelai melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) mendukung sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT) kedelai di Sulawesi Tengah yang bertujuan untuk mendapatkan varietas-varietas kedelai yang adaptif terhadap lingkungan tumbuh yang spesifik dan memiliki potensi hasil tinggi. BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan di Desa Lauwon Kecamatan Luwuk Timur Kabupaten Banggai di lahan kering pada ketinggian tempat 181 mdpl dan berada pada posisi geografi 000 50’35.7’’ LS dan 1220 57’41.8’’ BT dan Desa Kayu Agung Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. Dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli 2012. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terpisah (RPT) yang terdiri atas petak utama (PU) yaitu lokasi penelitian dan anak petak (AP) yaitu varietas Tanggamus, Argomulyo, Willis dan Kaba. Setiap perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 24 unit perlakuan dan satuan percobaan berupa petak berukuran 5 m x 5 m. Kajian ini menggunakan pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) yang dilakukan di lahan petani. Persiapan lahan dengan cara Tanpa Olah Tanah (TOT), seed treatment dengan carbosulfan 25,53% (dosis formulasi 20 gr Insektisida Marshal 25ST/kg benih kedelai). Menggunakan jarak tanam 40 cm x 15 cm (2 biji/lubang tanam). Pupuk yang diberikan untuk lokasi di Kabupaten Banggai dengan takaran NPK Phonska 200 kg/ha, SP36 37,3 kg/ha dan KCl 62,5 kg/ha dan Parigi Moutong dengan takaran NPK Phonska 150 kg/ha, SP36 100 kg/ha dan KCl 12,5 kg/ha. Pengendalian hama dan penyakit serta 437
  • 35. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 gulma dilakukan secara optimal. Panen dilakukan saat masak fisiologis ditandai dengan 95% polong telah berwarna coklat dan daun berwarna kuning. Pengamatan kajian ini meliputi data keragaan komponen pertumbuhan dan hasil. Data komponen pertumbuhan terdiri dari: persentase tanaman tumbuh, umur 50% pembungaan, tinggi tanaman, dan umur panen. Data komponen hasil terdiri dari: jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, bobot 100 biji dan hasil biji per hektar. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam (Uji F), apabila analisis ragam menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan dengan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. HASIL Tabel 1. Persentase Tanaman Tumbuh (%) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL- PTT kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012 Lokasi Varietas Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 97,44 92,25 95,65 94,53 94,97a Parigi Moutong 86,70 63,33 83,30 70,00 75,83b Rata-rata 92,07a 77,79c 89,47a 82,26b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji BNJ Tabel 2. Umur berbunga (hari) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL- PTT kedelai, Sulawesi Tengah, MH 2012 Lokasi Varietas Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 35,25 35,00 37,87 34,75 35,72a Parigi Moutong 31,00 33,00 38,00 40,00 35,50a Rata-rata 33,12a 34,00a 37,93b 37,37b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji BNJ Tabel 3. Tinggi Tanaman (cm) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL- PTT kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012. Lokasi Varietas Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 92,00 69,00 72,70 82,60 79,10a Parigi Moutong 74,80 55,80 66,60 74,40 67,90b Rata-rata 83,40a 64,25c 67,80c 78,50b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji BNJ 438
  • 36. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 4. Umur Panen (hari) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012 Lokasi Varietas Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 88,34 80,00 88,57 84,25 85,29a Parigi Moutong 86,00 76,00 90,00 86,00 84,50a Rata-rata 87,17c 78,00a 89,28d 85,12c Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji BNJ Tabel 5. Jumlah Cabang Produktif beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012 Lokasi Varietas Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 5,20 4,90 5,00 4,80 4,97a Parigi Moutong 5,30 5,50 4,00 4,00 4,70a Rata-rata 5,25a 5,20a 4,50a 4,40a Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji BNJ Tabel 6. Jumlah Polong Pertanaman beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012 Lokasi Varietas Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 109,1 52,30 87,40 79,80 82,15a Parigi Moutong 75,00 56,70 104,70 75,50 77,97b Rata-rata 92,05a 54,50d 96,05a 77,65c Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji BNJ Tabel 7. Bobot 100 biji (gr) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012 Lokasi Varietas Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 12,26 17,18 12,57 13,13 13,78a Parigi Moutong 11,53 17,01 13,12 12,90 13,64a Rata-rata 11,89b 17,10a 12,84b 13,01b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji BNJ Tabel 8. Hasil Biji (t/ha) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012 Lokasi Varietas Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 3,16 2,20 2,40 3,00 2,69 Parigi Moutong 2,08 1,60 2,20 1,60 1,87 Rata-rata 2,62 1,90 2,30 2,30 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji BNJ 439
  • 37. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 PEMBAHASAN Persentase Tanaman Tumbuh. Hasil analisis keragaman yang dilanjutkan dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata persentase tanaman tumbuh pada 2 lokasi penelitian dan penggunaan 4 varietas kedelai memberikan pengaruh nyata, sedangkan interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata. Lokasi penelitian di Kabupaten Banggai mencapai persentase tanaman tumbuh yang lebih tinggi yaitu 94,97% dan berbeda nyata dengan lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 75,83%. Sedangkan untuk 4 varietas yang diuji, varietas Tanggamus menunjukkan rata-rata persentase tumbuh tanaman yang lebih tinggi yaitu 92,07% dan berbeda nyata dengan varietas Argomulyo dan Kaba, tetapi tidak berbeda dengan varietas Willis. Umur berbunga. Pengamatan umur berbunga dilakukan pada saat 50% keluarnya bunga kedelai di pertanaman. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda terhadap umur berbunga, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Umur berbunga kedelai pada lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong lebih cepat yaitu 35,25 hari dibandingkan dengan Kabupaten Banggai 35,72 hari. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas Tanggamus menunjukkan rata-rata umur berbunga lebih cepat yaitu 33,12 hari dan berbeda nyata dengan varietas Willis dan Kaba tetapi tidak berebeda dengan varietas Argomulyo. Arsyad et al. (2007) dalam Djufry (2012) Tipe tanaman ideal berdaya hasil tinggi yang beradaptasi baik pada lahan yang suboptimal seperti lahan kering masam yang memiliki umur berbunga 40-45 hst. Tinggi Tanaman. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada saat tanaman menjelang panen karena pada umur tersebut, pertumbuhan vegetatif terutama tinggi tanaman telah mencapai ukuran yang optimal. Hasil analisis keragaman yang dilanjutkan dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata tinggi tanaman pada 2 lokasi penelitian dan penggunaan 4 varietas kedelai memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, sedangkan interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata. Lokasi penelitian di Kabupaten Banggai memiliki rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi yaitu 79,10 cm dan berbeda nyata dengan lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 67,90 cm. Sedangkan untuk varietas, dari 4 varietas yang diuji varietas Tanggamus menunjukkan rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi yaitu 83,40 cm dan berbeda nyata dengan varietas kedelai lainnya. Tinggi tanaman merupakan karakter penting yang dapat mempengaruhi komponen tanaman kedelai lainnya seperti jumlah cabang produktif dan jumlah buku produktif. Tinggi tanaman yang ideal menurut Somaatmadja (1985) dalam Djufry (2012) adalah 75 cm. Umur Panen. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda terhadap umur panen, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Umur panen kedelai pada lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong lebih capat yaitu 84,50 hari dibandingkan dengan Kabupaten Banggai 85,29 hari. Hasil uji BNJ 5% 440
  • 38. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas Argomulyo menunjukkan rata-rata umur panen lebih cepat yaitu 78,00 hari dan berbeda nyata dengan varietas kedelai lainnya. Jumlah Cabang Produktif. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas serta interaksinya terhadap jumlah cabang produktif tidak memberikan pengaruh nyata. Walaupun dapat dilihat jumlah cabang produktif di lokasi penelitian Kabupaten Banggai lebih banyak yaitu 4,97 cbg dibanding Kabupaten Parigi Moutong 4,70 cbg. Varietas yang diuji, rata-rata jumlah cabang produktif varietas Tanggamus lebih banyak yaitu 5,25 cbg dibandingkan dengan varietas kedelai lainnya. Hal ini mengindikasikan varietas Tanggamus memiliki adaptasi yang baik terhadap kondisi agroekologi setempat. Penelitian Djufry (2012) tipe tanaman ideal berdaya hasil tinggi yang beradaptasi baik mampu membentuk percabangan antara 5-6 cabang. Jumlah Polong Pertanaman. Hasil analisis keragaman yang dilanjutkan dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata jumlah polong pertanaman pada lokasi penelitian dan penggunaan varietas kedelai memberikan pengaruh nyata, sedangkan interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata. Lokasi penelitian di Kabupaten Banggai menghasilkan jumlah polong pertanaman yang lebih banyak yaitu 82,15 plg dan berbeda nyata dengan lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong yang menghasilkan 77,97 plg. Sedangkan untuk 4 varietas kedelai yang diuji, varietas Willis memperoleh jumlah polong generatif yang tertinggi yaitu 96,05 plg dan tidak berbeda dengan varietas Tanggamus tetapi berbeda nyata dengan varietas Kaba dan Argomulyo. Bobot 1000 Biji. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda terhadap bobot 100 biji kedelai, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Bobot 100 biji kedelai pada lokasi penelitian di Kabupaten Banggai mencapai 13,78 gr, sedangkan Kabupaten Parigi Moutong mencapai 13,64 gr. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas Argomulyo menunjukkan bobot 100 biji yang lebih berat yaitu 17,10 gr dan berbeda nyata dengan varietas kedelai lainnya. Djufry (2012), mengelompokkan genotype kedelai yang tergolong berbiji kecil memiliki bobot kurang atau sama dengan 7,5 gr, berbiji sedang memiliki bobot antara 7,6-12,5 gr, dan berbiji besar memiliki bobot lebih dari 12,5 gr. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, maka varietas-varietas kedelai yang diujikan termasuk dalam kelompok kedelai yang berbiji besar karena memiliki kisaran rata-rata bobot 100 biji antara 12,26 gr-25, 56 gr dan rata-rata bobot 100 biji pada varietas pembanding mencapai 14,85 gr. Hasil Biji Perhektar. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas serta interaksinya terhadap hasil biji perhektar tidak berpengaruh nyata. Walaupun hasil biji perhektar tertinggi dicapai pada lokasi penelitian di Kabupaten Banggai yaitu 2,69 t/ha dan Kabupaten Parigi Moutong mencapai 1,87 t/ha. Demikian pula, 4 varietas yang diuji varietas Tanggamus menunjukkan hasil biji perhektar yang lebih tinggi yaitu 2,62 t/ha 441
  • 39. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 disusul Willis dan Kaba memperoleh hasil yang sama 2,30 t/ha dan Argomulyo 1,90 t/ha. Setelah melihat beberapa data komponen pertumbuhan dan komponen hasil yang ditunjukkan 4 varietas kedelai yang diuji pada 2 lokasi yang berbeda menunjukkan keragaman antar varietas tersebut. Hasil penelitian Adie dan Arifin (2008), salah satu penyebab terjadinya fluktuasi hasil kedelai karena budidaya kedelai di Indonesia berada dalam lingkungan yang sangat beragam, sehingga hasil kedelai tidak hanya berfluktuasi antar lokasi namun juga antar musim. Disinyalir juga bahwa besarnya ragam hasil antara lokasi lebih disebabkan oleh penerapan perbedaan budidaya. Selain dari itu, faktor determinan budidaya kedelai antar musim di Indonesia adalah mutu draenase dan ketersediaan air. Ayda Krisnawati dan Adie (2008), menyatakan sulitnya mendapatkan kedelai berdaya hasil di atas 2,5 t/ha dengan umur masak di bawah 75 hari berkaitan dengan masalah proses fisiologi tanaman. Hal ini diduga bahwa varietas kedelai yang berumur dalam akan memiliki fase vegetatif lebih panjang dibandingkan dengan kedelai berumur genjah, sehingga cabang, jumlah buku dan jumlah polong semakin banyak. Selain itu periodisitas kedelai berumur dalam juga lebih panjang akan menjadi modal penting dalam menghasilkan fotosintesis bersih bagi tanaman dan dapat meningkatkan hasil biji kedelai. Karakter morfologi tanaman, seperti ketebalan daun dan laju pertumbuhan tanaman, merupakan karakter tanaman yang diduga mempengaruhi tingkat produktivitas karena dapat mempengaruhi kecepatan proses fotosintesis. Laju pengisian biji yang tinggi dan berlangsung relatif lama akan menghasilkan bobot biji yang tinggi selama biji sebagai sink dapat menampung hasil asimilat. Sebaliknya, bila sink cukup banyak tetapi hasil asimilat rendah mengakibatkan kehampaan biji (Sutoro et al. 2008). Besarnya ragam lingkungan untuk budidaya kedelai di Indonesia memang menuntut tersedianya varietas kedelai yang memiliki keragaman hasil relatif kecil pada sembarang lokasi, sehingga daya hasil yang diperoleh akan paralel dengan mutu lingkungan lokasi yang bersangkutan. KESIMPULAN Adaptasi beberapa Varietas Unggul Baru kedelai melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu dalam mendukung SL-PTT kedelai di Sulawesi Tengah menunjukkan kemampuan adaptasi yang berbeda antar lokasi penelitian. Varietas Tanggamus adaptif terhadap lingkungan tumbuh yang spesifik di Kabupaten Banggai, sehingga cocok untuk dikembangkan dan mencapai hasil biji kering yang lebih tinggi yaitu 3,16 t/ha, sedangkan varietas Willis adaptif terhadap lingkungan tumbuh yang spesifik di Kabupaten Parigi Moutong, sehingga cocok untuk dikembangkan dan mencapai hasil biji kering yang lebih tinggi yaitu 3,16 t/ha dibanding varietas lainnya. 442