SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 74
Descargar para leer sin conexión
SEJARAH
PEMBERANTASAN PENYAKIT
                      DI INDONESIA




     DIREKTORAT JENDERAL PP & PL
      DEPARTEMEN KESEHATAN R I
                2007
SAMBUTAN
                       DIREKTUR JENDERAL PP & PL


Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, maka saya menyambut
baik terbitnya buku ”SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA”,
sebagai informasi antargenerasi untuk mengetahui dan memahami hasil
proses perjalanan panjang upaya pemberantasan penyakit, sebagai bagian integral pembangunan
kesehatan nasional.

Upaya pemberantasan penyakit di Indonesia telah dimulai jauh sebelum kemerdekaan Indonesia,
sejalan dengan perkembangan serta kemajuan teknologi kedokteran dan kesehatan modern,
terutama di Benua Eropa dan Amerika.

Pada era Kolonialisme, pemberantasan penyakit sebesar-besarnya ditujukan agar kepentingan
Kolonial untuk mendapat sumber daya manusia yang sehat terpenuhi. Belajar dari pengalaman,
maka pada era awal kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia melakukan penataan organisasi
kelembagaan guna mengefektifkan upaya pemberantasan penyakit.

Upaya pemberantasan penyakit di Indonesia mencatat sukses di tahun 1972, dengan terbasminya
penyakit cacar, sehingga Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada tahun 1974. Prestasi
lain yang juga patut diingat adalah kemampuan kita membasmi polio pada tahun 1990 melalui
gerakan nasional, yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN), yang mampu membebaskan Indonesia dari
penyakit polio.

Dewasa ini kita sedang menghadapi tantangan yang sangat berat (double bourden). Kita tidak hanya
dihadapkan pada masalah “penyakit menular”, tapi juga pada masalah “penyakit tidak menular”,
seperti jantung, diabetes, kanker, maupun penyakit atau kecacatan akibat cedera dan kecelakaan.

Namun kita harus yakin, dengan kerja keras dan pengolahan program yang solid, kita bersama
mampu melaksanakan tugas mulia yang berhasil dan berdaya guna, yaitu pengendalian penyakit
dan penyehatan lingkungan.

Dengan mengetahui dan memahami sejarah pemberantasan penyakit, diharapkan masyarakat
dapat lebih mandiri dan juga berpartisipasi dalam upaya pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan, maupun upaya pertolongan secara dini.

Sekali lagi, saya menyambut baik adanya penerbitan buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di
Indoensa. Untuk itu, saya ucapkan terima kasih atas ide maupun upaya gigih yang tak kenal
menyerah untuk memberi manfaat bagi masyarakat luas. Kepada semua pihak yang telah
membantu penerbitan buku ini, saya sampaikan terima kaasih dan penghargaan setinggi-tingginya,
semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan petunjuk kepada kita semua.

                                                               Jakarta, Desember 2007
                                                               Direktur Jenderal PP & PL,

                                                                      ttd

                                                               dr. I Nyoman Kandun, MPH
                                                               NIP 140 066 762



                                                                                                   i
DAFTAR ISI
Sambutan Direktur Jenderal PP & PL ................................................................... ...... i

Daftar Isi ........................................................................................... ......................... ii

SK Pembentukan Tim Penyusun Sejarah
Direktorat Jenderal PP & PL Tahun 2007 ............................................................... ... iii

Pemberantasan Penyakit Era Kolonial (Awal Abad 20 – 1945) ........................................... 1

Pemberantasan Penyakit Era Awal Kemerdekaan
dan Demokrasi Terpimpin (1945 – 1965) ........................................................................... 24

Pemberantasan Penyakit Era Pembangunan Nasional (1966 – 1975) ............................... 43

Pemberantasan Penyakit Era Reformasi (2000 – 2007) ..................................................... 63

Foto Dirjen .......................................................................................... ................................. 87

Daftar Pustaka ................................................................................................................... 100




                                                                                                                                              ii
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
      PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN (PP & PL)
                      DEPARTEMEN KESEHATAN RI

                      NOMOR : HK.03.05/D/1.4/2510/2007

                                 TENTANG

    PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN SEJARAH DIREKTORAT JENDERAL PP & PL
                             TAHUN 2007

                       DIREKTUR JENDERAL PP & PL,

Menimbang    :   a.   bahwa untuk mengungkapkan data sejarah yang mengandung
                      nilai perjuangan dan kebanggaan di bidang pengendalian penyakit
                      dan penyehatan lingkungan, maka perlu disusun sejarah
                      Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
                      Lingkungan (PP & PL);

                 b.   bahwa untuk menyusun sejarah Direktorat Jenderal PP & PL
                      sebagaimana diuraikan pada huruf a di atas, perlu dibentuk Tim
                      Penyusun Sejarah Direktorat Jenderal PP & PL Tahun 2007, yang
                      ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengendalian
                      Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.


Mengingat    :   1.   Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
                      Menular (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan
                      Lembaran Negara Nomor 3273);

                 2.   Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
                      (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100 Tambahan Lembaran
                      Negara Nomor 3495);

                 3.   Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang
                      Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara
                      Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
                      3447);

                 4.   Peraturan     Menteri   Kesehatan      Republik     Indonesia
                      Nomor 1575/Menkes/SK/XI/2005 tentang Organisasi dan
                      Tata Kerja Departemen Kesehatan Republik Indonesia;
MEMUTUSKAN

Menetapkan   :
Pertama      :   KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT
                 DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TENTANG PEMBENTUKAN TIM
                 PENYUSUN SEJARAH DIREKTORAT JENDERAL PP & PL
                 TAHUN 2007.

Kedua        :   Tim Penyusun Sejarah Direktorat Jenderal PP & PL Tahun 2007 adalah
                 sebagai berikut.
                 Penasehat           : Direktur Jenderal PP & PL

                 Pelindung             :   Sekretaris Ditjen PP & PL

                 Pengarah              :   1. Direktur Sepimkesma
                                           2. Direktur PPML
                                           3. Direktur PPBB
                                           4. Direktur PPTM
                                           5. Direktur PL

                 Tim Pelaksana         :

                 Ketua                     Kepala Bagian Hukum, Organisasi, dan Humas
                 Wakil Ketua           :   Kepala Bagian Program dan Informasi
                 Sekretaris                Kepala Sub Bagian Humas

                 1. Bidang Inventarisasi Dokumen dan Pengumpulan Data
                    Anggota             : 1.   Imam Setiaji, SH
                                           2.  dr. Desak Made Wismarini
                                           3.  Inri Denna, S.Sos
                                           4.  Eriana Sitompul
                                           5.  Risma

                 2. Bidang Analisis Data dan Editing Dokumentasi
                    Anggota            : 1.     Sudjais, SKM, MM
                                           2.   Drs. Yusraluddin, M.Kes
                                           3.   Drs. Yulikarmen, M.Kes
                                           4.   Ahmad Abdul Hay, SKM
                                           5.   Dewi Nurul Triastuti, SKM

                 3. Narasumber         :   1.    Drs. Rajin Sinulingga
                                           2.    dr. Arwati Soeparto, MPH
                                           3.    M. Daud, B.Sc
                                           4.    dr. Nyoman Kumara Rai, MPH
                                           5.    dr. Brotowasisto, MPH
                                           6.    Drs. Sumarlan, SKM
                                           7.    Drs.Sutardjo Martono
                                           8.    Sunarjo, SKM
                                           9.    Sayuti, SKM, M.Epid
                                           10.   P. Simanjuntak, SKM
                                           11.   Slamet Nugroho, DPHI
4. Sekretariat          1.   Mudji Wahono
                                            2.   Tohar
                                            3.   Siti Djubaidah

Ketiga          :   Tim penyusun sebagaimana Diktum Kedua keputusan ini bertugas
                    sebagai berikut.
                    1. Mengumpulkan data dan bahan-bahan penyusunan sejarah
                        Ditjen PP & PL;
                    2. Melakukan review terhadap naskah sejarah yang telah dikumpulkan;
                    3. Melakukan penyusunan draft awal sejarah Ditjen PP & PL;
                    4. Melakukan finalisasi edisi pertama.

Keempat         :   Tim penyusun bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal PP & PL
                    melalui Sekretaris Ditjen PP & PL dan wajib menyampaikan laporan
                    secara berkala.

Kelima          :   Semua pembiayaan yang berkaitan dengan penyusunan Sejarah
                    Direktorat Jenderal PP & PL dibebankan pada DIPA Ditjen PP & PL.

Keenam          :   Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan akan
                    dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya apabila terdapat kekeliruan
                    di kemudian hari.




Keputusan ini disampaikan, Yth.
1. Sekretaris Jenderal Depkes RI
2. Inspektur Jenderal Depkes RI
3. Para Direktur Jenderal di lingkungan Depkes RI
4. KPPN Jakarta V dan VI di Jakarta
5. Yang bersangkutan untuk diketahui dan dilaksanakan
PEMBERANTASAN PENYAKIT


ERA KOLONIAL


(AWAL ABAD 20 – 1945)

Pemberantasan penyakit menular yang dijalankan pada era
Kolonial merupakan upaya preventif yang mencakup beberapa
penyakit, sebagai berikut.



CACAR

Pada tahun 1804, untuk pertama kalinya penyakit cacar
berjangkit di Batavia. Penyakit itu berasal ”Isle de France”
(Mauritius), yang masuk Batavia dengan perantaraan para anak
budak belian, berusia 6–12 tahun, penyakit itu terbawa sampai
Batavia.

Untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut, vaksinasi pun
mulai diberikan. Awalnya, vaksinansi cacar hanya diberikan bagi
penduduk pribumi yang sehari-hari bergaul dengan orang Eropa.
Namun pada akhirnya, vaksinasi juga diberikan kepada mereka
yang tidak menolak pemberian vaksinasi.

Kemudian pada September 1811 – Maret 1816, Letnan Gubernur
Thomas Stanford Raffles, salah satu pemimpin Inggris yang
berkuasa saat itu, mulai mengembangkan wilayah pemberian
vaksinasi cacar di daerah Jawa. Saat itu, pemberian vaksinasi
cacar telah dilakukan oleh juru cacar pribumi, yang telah dididik
di beberapa rumah sakit tentara.




                                                                    1
Sumber: http://nl.wikipedia.org


                        Gambar 1. Thomas Stanford Raffles



    Pada tahun 1820, Peraturan Jawatan Kesehatan Sipil (Reglement
    voor den BGD) ditetapkan. Bersamaan dengan itu, Peraturan
    Pelaksanaan Vaksinasi Cacar (Reglement op de uitoefening der
    koepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie) juga dikeluarkan, yang
    isinya:
    1. Seluruh usaha vaksinasi ditempatkan di bawah seorang
         Inspektur;
    2. Di setiap karesidenan diangkat seorang pengawas (opziener),
         sedapat-dapatnya dokter setempat;
    3. Pengawas tiap minggu harus memberi vaksinasi di tempat
         kedudukannya dan sekitarnya;
    4. Untuk tempat-tempat yang jauh dari tempat kedudukan
         pengawas, digunakan juru cacar (vaccinateur) pribumi, yang
         sebelumnya dididik oleh pengawas;
    5. Tiap bulan pengawas harus mengirimkan laporan kepada
         residen dan inspektur, dan tiap enam bulan memeriksa hasil
         pekerjaan para juru cacar;
    6. Inspektur bertanggung jawab atas pengiriman bibit cacar ke
         seluruh karesidenan.




2
Dari waktu ke waktu, penyempurnaan pelaksanaan pencacaran
mulai dilakukan. Bibit cacar yang tadinya didatangkan dari Eropa,
kini mulai dibuat sendiri. Untuk mendukung pembuatan bibit
cacar sendiri, maka di tahun 1879, ”Parc vaccinogene” didirikan
di daerah Batu Tulis, Jawa Barat.




  Sumber: http://www.schaakclubutrecht.nl


               Gambar 2. dr. A Schuckink Kool (kedua dari kanan)


Kemajuan pembuatan vaksin mulai terlihat di tahun 1884, ketika
dr. A. Schuckink Kool berhasil membuat vaksin di Meester
Cornelis (Jatinegara), dengan menggunakan sapi sebagai tempat
pembiakan. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pemerintah
Hindia Belanda, 6 Agustus 1890, tentang pendirian Parc
Vaccinogen atau Landskoepok Inrichting di Rumah Sakit Tentara
Weltevreden-Batavia, maka lembaga pembuatan vaksin
dipindah ke Batavia.

Dengan berjalannya waktu dan semakin meningkatnya kegiatan
produksi vaksin, maka pada tahun 1896 didirikan Parc
Vaccinogen Instituut Pasteur, Bandung. Dengan berdirinya
institut tersebut, maka di tahun 1918, lembaga pembuatan
vaksin cacar dipindahkan ke Bandung, bersatu dengan Instituut
Pasteur, dan berubah nama menjadi Landskoepok Inrichting en
Instituut Pasteur.

Seiring dengan perkembangan pembuatan vaksin, di tahun 1926,
Dr. L. Otten berhasil menyempurnakan pembuatan vaksin, dari
larutan dalam gliserin menjadi vaksin kering in vacuo.




                                                                    3
Sumber: http://bandungheritage.org


                 Gambar 3. Instituut Pasteur, kini PT Biofarma, Bandung



    KUSTA

    Pada tahun 1655, Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan
    leprozerie di Kepulauan Seribu (Teluk Jakarta), sebagai tempat
    penampungan para penderita kusta.

    Sesuai dengan cara yang diterapkan di Eropa saat itu, maka di
    tahun 1770 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan peraturan
    pengasingan bagi penderita kusta yang ada di daerah
    konsolidasinya.

    Sampai dengan pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia
    Belanda telah mengembangkan leprozerie di berbagai daerah,
    seperti Ambon, Banda, Ternate, Manado, Gorontalo, Riau,
    Bangka, dan Bengkulu.

    Namun pada tahun 1865, Pemerintah mengeluarkan Surat
    Keputusan yang menyatakan bahwa penderita penyakit kusta
    dianggap tidak menular. Dengan adanya surat keputusan itu,
    maka para penderita kusta tidak boleh dipaksa masuk leprozerie.
    Mereka diberi kebebasan memilih untuk tetap tinggal dalam
    liprozerie atau meninggalkannya.

    Berdasarkan hasil kongres Lepra pertama di Berlin (Jerman), di
    tahun 1897 peraturan pengasingan paksa diterapkan kembali.
    Kongres tersebut menyatakan bahwa lepra adalah penyakit
    menular. Atas dasar itu, Pemerintah Hindia Belanda kembali
    membangun liprozerie bagi penderita kusta.




4
Namun di tahun 1932, peraturan pengasingan paksa di leprozerie
dihapus oleh Dr. J. B. Sitanala, yang saat itu menjabat sebagai
Kepala Dinas Pemberantasan Kusta. Ia bertindak atas referensi
pemberantasan penyakit kusta di Norwegia. Pertimbangan
lainnya, penerapan sistem tersebut di Filipina dan Hindia Barat
tidak membawa hasil memuaskan.

Sebagai gantinya, Dr. J. B. Sitanala menerapkan sistem ”tiga
langkah” sebagai upaya pemberantasan kusta, yaitu ekplorasi,
pengobatan, dan pemisahan.

Eksplorasi, merupakan tindakan untuk mendapatkan data
terpercaya di tiap daerah, termasuk data untuk mengetahui
sikap masyarakat terhadap penyakit kusta. Eksplorasi ini menjadi
awal dari surveilans penyakit kusta.

Pengobatan, merupakan tindakan pemberian obat berdasarkan
hasil eksplorasi. Pengobatan dilakukan di poliklinik kusta, yang
letaknya tidak jauh dari tempat tinggal penderita. Sekali
seminggu, para penderita kembali mengunjungi poliklinik untuk
mendapat pengobatan.

Pemisahan, merupakan tindakan pemisahan penderita kusta dari
lingkungannya, tanpa paksaan. Pemisahan dilakukan dengan
menempatkan penderita kusta dalam rumah tersendiri, yang
masih berada dalam lingkungan keluarga.

Penerapan sistem ”tiga langkah” ini tidak otomatis menutup
akses sistem leprozerie. Penampungan di leporozerie tetap
dilakukan dengan tanpa paksaan (sukarela). Sampai dengan
tahun 1940, sebanyak 47 liprozerie telah tersebar di seluruh
wilayah Hindia Belanda, dihuni 4955 penderita kusta.



MALARIA

Pemberantasan penyakit malaria di Indonesia mulai menemukan
titik terang, ketika di tahun 1882 Laveran berhasil menemukan
plasmodium malarie sebagai penyebab penyakit malaria, dengan
penularan melalui nyamuk.




                                                                   5
Menyadari bahwa penyakit malaria telah menjadi ancaman
    kesehatan rakyat di beberapa wilayah, maka di tahun 1911,
    Jawatan Kesehatan Sipil didirikan sebagai bentuk upaya
    penyelidikan dan pemberantasan penyakit malaria.

    Dari waktu ke waktu, lingkup kerja Jawatan Kerja Sipil semakin
    meluas. Untuk itu, pada tahun 1924, Biro Malaria Pusat (Centrale
    Malaria Bureau) didirikan. Dalam menjalankan fungsinya, Biro
    Malaria Pusat selalu bekerja sama dengan Bagian Penyehatan
    Teknik (Gezondmakingswerken).

    Pada tahun 1929, Biro Malaria Pusat mulai mendirikan cabang di
    Surabaya, dengan fokus pelayanan kepulauan bagian timur.
    Sedangkan untuk wilayah seluruh Sumatera, pelayanan
    dilakukan oleh cabang Medan.




                 Sumber: http://id.wikipedia.org


                Gambar 4. Nyamuk Anopheles, penyebab malaria


    Dalam upaya pemberantasan, para mantri malaria ditugaskan
    untuk menentukan jenis nyamuk dan jentik, memeriksa
    persediaan darah, mengadakan pembedahan lambung nyamuk,
    serta membuat peta wilayah.

    Penerapan riset sebagai upaya pemberantasan malaria juga
    dilakukan dengan beberapa cara, antara lain pembunuhan dan
    pencegahan berkembangnya jentik di sarang-sarang;
    pembunuhan nyamuk dewasa dengan asap, obat nyamuk, dan
    sebagainya; penggunaan kelambu/kasa nyamuk pencegah
    kontak antara manusia dengan nyamuk; serta kininisasi dalam
    epidemi. Dengan penerapan riset yang berdasarkan penyelidikan
    yang tepat terhadap biologi nyamuk penyebab malaria, maka
    dapat ditemukan berbagai pola pemberantasannya.




6
Pemberantasan malaria di pantai, dapat dilakukan dengan cara
Species-assaineering. Pertama, membuat tanggul sepanjang
garis pantai. Tinggi tanggul dibuat melebihi tinggi air laut saat
pasang, begitu juga pada tanah di belakang tanggul. Cara kedua,
yaitu dengan membuat sebuah saluran. Saluran ini dibuat mulai
dari muara sungai sampai melewati batas pemecah gelombang
air laut. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan pembagian
kinine, penggunaan kelambu/alat pembunuhan nyamuk,
pemberian minyak tanah di sarang nyamuk, penempatan
kandang kerbau di antara rumah tinggal dan sarang nyamuk,
serta pemeliharaan tambak secara higienis.

Sedangkan pemberantasan malaria di daerah pedalaman,
beberapa cara yang dapat dilakukan adalah seperti berikut.
1. Menghadapi An. ludlowi tawar di kolam-kolam ikan, yaitu
    dengan menembus tanggul untuk mengeluarkan airnya dan
    merubah kolam ikan menjadi sawah;
2. Cara biologis, yaitu dengan memasukkan ikan tawes dan
    ikan kepala timah dalam kolam;
3. Memberantas An. aconitus, An. minimus, dan An. Macolatus
    (biasa ditemukan di tempat yang rendah, saluran air yang
    kurang terpelihara, dan persawahan) dilakukan cara
    pemeliharaan saluran air (saluran air masuk maupun
    pembuangan) secara baik, sehingga tebingnya terbebas dari
    tumbuh-tumbuhan; penanaman padi secara serentak di
    persawahan yang pengairannya tergantung dari satu
    saluran air yang sama; mengeringkan sawah yang tidak
    digarap dalam dua masa penanaman;
4. Khusus An. maculatus, digunakan cara biologis dengan
    menanam tepi aliran/anak sungai dengan tumbuh-
    tumbuhan yang rindang. Cara ini berguna untuk menutupi
    air dari cahaya dan sinar matahari (cara yang lebih murah
    dari pada ”subsoil drainage” dan ”hillpoot drainage”).



SAMPAR/PES

Pada Maret 1911, kasus sampar pertama ditemukan di daerah
Malang. Penemuan ini memperkuat dugaan adanya penyakit
sampar di Jawa Timur, yang ternyata benar. Penyakit sampar
telah meluas di Kabupaten Malang, kemudian menjalar ke barat
melalui Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Madiun.




                                                                    7
Saa itu rantai penularan antara tikus, pinjal, dan manusia masih
    Saat                                              nm
    be
    berupa hipotesis. Dengan bukti yang cukup, diketah adanya
                                                     etahui
    hu
    hubungan antara sampar tikus dan sampar manusi Untuk itu,
                                                    nusia.
    pe
    pemberantasan difokuskan pada pemutusan jarak    rak
    hu
    hubungan/kontak antara manusia dengan tikus.

    Pa tahun 1915, Dinas Pemberantasan Pes dibent untuk
    Pada                                        bentuk
    me
    memutus kontak antara manusia dengan tikus. Dinas ini bertugas
                                                . Din
    me
    melakukan perbaikan perumahan dan pembinaan dalam
                                                  an d
    me
    mengurus rumah tangga, hingga tidak ada lagi tempat tikus
                                                 tem
    be
    bersarang.




                 Sumber: http://www.arsipjatim.go.id


                      Gambar 5. Laporan Triwulan Pertama
                        Dinas Pemberantasan Pes, 1916


    Di samping usaha perbaikan rumah, pemberian vaksinasi juga
                                                   vak
    dil
    dilakukan. Awalnya, rakyat diberikan vaksin Haffkin Karena
                                                  ffkine.
    ha
    hasilnya tidak memuaskan, pada vaksinasi berikutn digunakan
                                                  kutnya
    vak Otten (mulai tahun 1934), yang ternyata dapat
    vaksin                                         dap
    me
    menurunkan 20 % angka kematian dari angka semuemula.

    Da
    Daerah Temanggung, Tegal, dan Majalengka yang dianggap
                                                  ng d
    seb
    sebagai ”sarang” terus diamati dan diawasi dengan cermat,
                                                  gan
    seb
    sebagai upaya memberantas penyakit ini.




8
FRAMBUSIA

Di zaman penjajahan, penyak Frambusia (patek) dapat
                        nyakit
dikatakan sebagai penyakit ra
                        kit rakyat, karena diderita oleh sebagian
besar rakyat Indonesia.

Di tahun 1920, istilah ”pembe
                          mberantasan” mulai digunakan.
Pemberantasan ini dilakukan dengan memberi suntikan
                          kan
Neosalvarsan, sebagai pengo
                          ngobatan penderita frambusia, yang
ternyata berhasil memberi pepenyembuhan.

Keberhasilan itu telah menar perhatian dan membuka mata
                           narik
rakyat, khususnya penderita frambusia. Untuk itu, meski harus
                          rita
membayar, mereka berkump di suatu tempat, yang akan
                          umpul
didatangi dokter sekali semininggu untuk memberi pengobatan.
Upaya pemberantasan framb ambusia secara teratur mulai dilakukan
pada tahun 1934, atas prakar dr. Kodiyat, seorang dokter
                          akarsa
Karesidenan Kediri.

Di awal kemerdekaan, pembe
                         mberantasan dilakukan dengan cara
pemberian obat Penicillin bag penderita. Setelah itu,
                          bagi
pengobatan frambusia mulai menggunakan sistem
                         ulai
Treponematosis Control Progr
                         rogramme Simplified (TCPS), yang
secara bertahap telah menca
                         ncakup seluruh wilayah tanah air.
Meski belum merata, namun telah mencapai hasil sangat
                          un
memuaskan.




                Sumber: http://www
                               www.rmaf.org.ph


                      Gambar 6. dr. KodiyatKolera
                          ar




                                                                    9
Penyakit Kolera mulai dikenal pada tahun 1821. Penyakit ini
     termasuk penyakit sangat akut. Namun sampai dengan tahun
     1860, sifatnya yang menular atau tidak, masih diperdebatkan.
     Setiap kali kolera mewabah, maka vaksinansi massa dan
     penyuluhan higiene akan diadakan.

     Tahun 1911, vaksin kolera mulai dibuat oleh Nyland. Meski
     vaksin sudah diproduksi, sampai dengan tahun 1920, penyakit
     kolera tetap mewabah setiap tahun. Antara tahun 1920 – 1927
     tidak ada laporan wabah. Wabah terakhir terjadi di Tanjung Priok
     pada tahun 1927.



     TRACHOMA

     Antara tahun 1926 – 1928, dilakukan penyelidikan prevalensi
     trachoma. Hasilnya, ditemukan beberapa daerah terjangkit, yang
     menjadi sarang penyakit tersebut.

     Berdasarkan temuan tersebut, pada tahun 1928 mulai diadakan
     pemberantasan penyakit Trachoma di daerah Tegal. Di tahun
     1932, tercatat 16 poliklinik mata di Kabupaten Tegal dan
     Pemalang.



     TUBERKULOSIS

     Penyakit Tuberkulosis telah lama dikenal dengan berbagai
     sebutan, seperti ”batuk darah”, ”batuk kering”, dan sebagainya.
     Bagi penderita tuberkulosis yang mampu, perawatan diberikan
     di tempat peristirahatan, yang dinamakan ”sanatorium”.

     Tempat peristirahatan ini terletak di daerah pegunungan,
     dengan anggapan iklim pegunungan berpengaruh baik bagi
     kesehatan penderita. Dari waktu ke waktu, banyak orang
     menganggap bahwa tuberkulosis bukan masalah penting bagi
     Indonesia, negeri yang bermandikan cahaya matahari dengan
     kehidupan alam terbuka.




10
Ternyata kenyataan berkata lain. Tuberkulosis tetap menjadi
                        rkata
masalah. Untuk itu di tahun 1
                         un 1917, dibentuk suatu panitia khusus,
yang bertugas menyelidiki jumlah penduduk pribumi yang
                        idiki
menderita penyakit tuberkulo dan paru-paru.
                         rkulosis




  Sumber: http://www.qoop.nl


                 Gambar 7. Lingkung sekitar Sanatorium Tosari
                               kungan




Sumber: http://www.stamps-auction.com


                    Gambar 8. Villa Ju
                               illa Juliana – Sanatorium Tosari




                                                                   11
Pada Oktober 1918, didirikan suatu badan swasta berbentuk
     yayasan, yang mendapat bantuan tenaga dan keuangan dari
     Pemerintah. Yayasan itu bernama ”Stichting der Centrale
     Vereeniging tot Bestrijding der Tuberculose” (SCVT). Rencananya,
     yayasan ini akan mendirikan sanatoria, mengusahakan
     perawatan penderita di rumah, dan higiene sekolah sebagai
     upaya pemberantasan penyakit ini.

     Sampai dengan tahun 1930, belum ada langkah sistematis
     sebagai upaya pemberantasan tuberkulosis. Kegiatan mulai
     terlihat ketika SCVT mulai banyak mendirikan poliklinik penyakit
     paru di kota-kota besar.

     Sistem penyebaran poliklinik (”Consultatie Bureau”) juga
     dilakukan sehingga mempermudah pencarian kontak penderita
     tuberkulosis, serta pengobatan difokuskan pada gejala
     (simtomatis) dan perbaikan gizi penderita.

     Sampai akhir penjajahan Belanda, telah tersebar poliklinik paru
     di 20 ibu kota karesidenan.



     HIGIENE DAN SANITASI

     Dalam perkembangannya, taraf pertama usaha higiene dan
     sanitasi adalah tertuju pada pemberantasan wabah, baru
     kemudian meluas pada pencegahan penyakit.

     Bertepatan dengan adanya wabah kolera, langkah pertama yang
     dilakukan adalah pembentukan badan “Higiene Commissie”
     (Panitia Higiene) pada tahun 1911 di Batavia.

     Badan ini telah melakukan beberapa hal, seperti pemberian
     vaksinasi massa secara besar-besaran, penyediaan air minum,
     serta penganjuran untuk memasak air atau membubuhi air
     dengan kaliumpermanganaat, yang telah disediakan dengan
     cuma-cuma.

     Usaha higiene saat zaman penjajahan Belanda telah dirintis oleh
     dr. W. Th. de Vogel, yang berpengalaman sebagai dokter di Kota
     Semarang.




12
Saat menjabat sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Sipil
                         pala
(Hoofdinspecteur) di tahun 19 ia mengusulkan agar
                         n 1916,
pemerintah merubah organis Jawatan Kesehatan Sipil. Usul itu
                         anisasi
disampaikan atas dasar peng
                         engalaman sebagai dokter.

Menurut de Vogel, tugas pen
                        pengobatan dan perawatan perorangan
(penyelenggaraan rumah sak dan poliklinik) sebaiknya
                         sakit
dilimpahkan kepada prakarsa swasta dan badan semi
                        arsa
pemerintah, dengan atau tan subsidi. Dengan begitu,
                         tanpa
pemerintah bisa memberi pe
                       ri perhatian lebih kepada usaha higiene,
yang sangat bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.

Langkah nyata mulai dilakuka di tahun 1924, dengan
                        kukan
dibentuknya Dinas Higiene. Sebagai langkah pertama, dinas ini
                         e.
melakukan “pemberantasan cacing tambang” di wilayah Banten.
                        san




   Sumber: www.historycooperative.org


       Gambar 9. Pendidikan keseh
                            kesehatan bagi rakyat oleh matri higiene


Upaya pemberantasan dititikititikberatkan pada pendidikan
kesehatan bagi masyarakat, yat, yaitu dengan mendorong mereka
untuk mendirikan kakus sedesederhana, serta menggunakannya.
Upaya pemberantasan denga sistem higiene ini diprakarsai oleh
                           engan
dr. J. L. Hydrick dari Rockefell Foundation (tahun 1924 – 1939).
                             feller
Lambat laun, pemberantasan cacing tambang semakin
                           asan
berkembang, dan dikenal isti “medisch hygienische
                           l istilah
propaganda”.




                                                                       13
Pro
     Propaganda ini ditujukan tidak hanya untuk pembe
                                                  mberantasan
     cac tambang, tetapi juga pemberantasan penyak perut
     cacing                                        nyakit
     lain
     lainnya, dengan cara penyuluhan di berbagai sekola dan
                                                   kolah
     pen
     pengobatan bagi anak sekolah yang menderita sakit.
                                                   saki




         Sumber: www.historycooperative.org


           Gambar 10. Kecacingan pada anak, sebelum dan sesuda diobati
                                                         esudah


     Tah 1933, suatu organisasi higiene mulai berope
     Tahun                                         operasi dalam
     ben
     bentuk “Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten” Percontohan
                                                   ten”.
     ini berlokasi di Purwokerto, dengan harapan kabup
                                                    bupaten lain akan
     me
     mencontoh dan melakukan hal yang sama.

     Da
     Dalam kedudukannya, Dinas Higiene terpisah dari Dinas Kuratif.
                                                    ari D
     Na
     Namun dalam pelaksanaannya, kerjasama erat mencakup
                                                    men
     beb
     beberapa program tetap dilakukan keduanya, sepeeperti:
     1. Tindakan kekarantinaan, seperti isolasi, observa desinfeksi,
                                                   servasi,
         penyidikan epidemiologi, dan tindakan perlindu
                                                   lindungan lainnya
         saat menghadapi wabah (penyakit yang termas dalam
                                                    masuk
         ordonasi epidemic);
     2. Tindakan preventif terhadap penyakit-penyakit rakyat,
                                                    akit
         seperti membangun assainering/penyehatan terhadap
                                                     n te
         malaria, pembuatan kakus terhadap penyakit cacing
                                                   kit c
         tambang dan penyakit perut lainnya (termasuk pengamatan
                                                    suk
         dan penyuluhan penggunaannya), pengawasan air minum
                                                   asan
         (termasuk pengawasan terhadap perusahaan es, minuman,
                                                   an e
         dan susu);
     3. Mengadakan kursus dukun, sebagai upaya menghadapi
                                                   men
         banyaknya kasus kematian bayi dan anak;
     4. Pendidikan kesehatan bagi rakyat, termasuk pemberian
                                                    k pe
         kursus untuk guru sekolah dan perkumpulan wanita.
                                                    nw




14
PEMBERANTASAN PENYAKIT


ERA AWAL KEMERDEKAAN


DAN DEMOKRASI TERPIMPIN


(1945 – 1965)

Era Demokrasi Terpimpin di Indonesia ditandai dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Dengan adanya
dekrit tersebut, maka pada 10 Juli 1959, Kabinet Kerja Pertama
dibentuk, dengan Kolonel Prof. Dr. Satrio sebagai Menteri Muda
Kesehatan.

Pada era ini, berbagai lembaga kesehatan, terutama di bidang
pemberantasan penyakit, telah berdiri dan tersebar di beberapa
daerah di Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut, antara lain
Lembaga Eijkman (Jakarta), Lembaga Pasteur (Bandung),
Lembaga Pemberantasan Penyakit Malaria (Jakarta), Lembaga
Pemberantasan Penyakit Kelamin (Surabaya), Lembaga
Pemberantasan Penyakit Rakyat (Yogyakarta), Lembaga
Pemberantasan Penyakit Pes (Bandung), serta Lembaga
Pemberantasan Penyakit Mata (Semarang).

Dengan adanya lembaga-lembaga tersebut, maka Departemen
Kesehatan bertugas mengelolanya, termasuk mengelola sekolah
dan kursus bidang kesehatan, jawatan perlengkapan, badan
pengawas perusahaan farmasi (Bapphar), kedinasan, rumah
sakit, serta balai pengobatan.




                                                                 15
Sumber: http://www.eijkman.go.id


                  Gambar 11. Gedung Lembaga Eijkman, Jakarta
                                                       karta


     Pri
     Prinsip kebijakan kesehatan pada masa Demokrasi Terpimpin
                                                    rasi
     dit
     ditujukan pada beberapa usaha, yaitu:
     1. Memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi segenap
         peraturan-peraturan kesehatan;
     2. Memperbanyak pendidikan tenaga kesehatan, baik dokter
                                                    tan,
         maupun tenaga paramedik;
     3. Menyelenggarakan pembaharuan kebijaksanaa    anaan
         perumahsakitan, balai pengobatan, dan sejuml BKIA;
                                                     umlah
     4. Menentukan kebijaksanaan mengenai kefarma    rmasian,
         menggiatkan penggunaan obat-obatan asli serta pendirian
                                                     sert
         pabrik-pabrik obat nasional, seperti ABDI, PAPH
                                                       PHROS;
     5. Pembasmian malaria dengan membentuk KOPE      OPEM;
     6. Mengintensifkan pemberantasan penyakit Frambusia;
                                                     Fram
     7. Menunjang penyelesaian Trikora dan Dwikora dengan
                                                    ora d
         menyediakan tenaga medik, paramedik, dan peralatan;
                                                     n pe
     8. Perbaikan gizi masyarakat melalui Revolusi Makanan Rakyat
                                                     Mak
         dan Operasi Komando Buta Gizi;
     9. Penyelenggaraan Rombongan Kesehatan Indon     donesia (RKI)
         untuk pemeliharaan kesehatan jemaah haji;
     10. Pembinaan usaha-usaha kesehatan swasta;
     11. Pembentukan Badan Pelindung Susila Kedokter kteran;
     12. Perkembangan Kesehatan Olah Raga, berhubun dengan
                                                    ubung
         akan adanya Asian Games dan Game of the New Emerging
         Force (GANEFO).




16
PERIODE DITJEN KRIDA NIRMALA – DITJEN P4M


Pada tahun 1965, organisasi Departemen Kesehatan mengalami
perubahan mendasar, yaitu dengan dibentuknya beberapa
direktorat jenderal (Ditjen) sebagai unit pelaksana teknis (UPT),
yang sebelumnya tidak ada dalam struktur organisasi
Departemen Kesehatan.

Untuk itu, Departemen Kesehatan membentuk Direktorat
Jenderal Krida Nirmala, yang artinya “upaya atau kerja untuk
menghilangkan penyakit”, sebagai UPT bidang penyakit menular.

Sebagai peleburan dari KOPEM dengan Bagian Pencegahan
Penyakit, maka Ditjen Krida Nirmala yang saat itu dipimpin oleh
dr. Marsaid, mempunyai beban kerja di bidang penyakit beserta
permasalahannya, antara lain penyakit malaria, cacar,
tuberkulosis, kusta, kolera, diare, frambusia, dan lainnya. Selain
itu, permasalahan kesehatan karantina (laut, udara, dan
perbatasan darat) serta kesehatan transmigrasi juga menjadi
tanggung jawabnya.

Seiring dengan waktu, Menteri Kesehatan kemudian
mengangkat dr. R.E.M. Suling menjadi Direktur Jenderal Krida
Nirmala, menggantikan dr. Marsaid, walau hanya dalam jangka
waktu singkat. Setelah itu, Prof. Dr. J. Sulianti Saroso diangkat
untuk menduduki jabatan tersebut. Bersamaan dengan itu,
Direktorat Jenderal Krida Nirmala berganti nama menjadi
Direktorat Jenderal Pencegahan, Pembasmian, dan
Pemberantasan Penyakit Menular (Ditjen P4M).



SAMPAR/PES

Pada akhir tahun 1910, penyakit sampar/pes mulai menyebar di
Indonesia. Penyakit ini, selama kurang lebih 40 tahun, telah
menyerang sekitar 240 ribu orang di Pulau Jawa.

Penyakit pes menyebar di wilayah Nusantara melalui alat
angkutan laut (kapal). Selain mengangkut beras, ternyata di atas
kapal juga berkeliaran tikus-tikus yang terjangkit penyakit pes.




                                                                     17
Penyakit ini pertama kali berjangkit di Pelabuhan Surabaya,
     kemudian menyebar ke daerah Pasuruan, Malang, Kediri,
     Madiun, Surakarta, Boyolali, Magelang, dan Yogyakarta. Pada
     tahun 1919, penyakit ini menyebar ke wilayah Jawa Tengah
     melalui Pelabuhan Semarang.

     Di tahun 1922, penyakit ini masuk ke Bumiayu melalui Pelabuhan
     Tegal. Dua tahun kemudian, penyakit ini menyebar ke wilayah
     Jawa Barat melalui Pelabuhan Cirebon. Di tahun 1927, penyakit
     pes mewabah di daerah Pasuruan, dengan jumlah korban yang
     cukup besar.

     Pemberantasan penyakit pes menggunakan racun serangga
     berupa ”DDT Spraying” mulai dilakukan tahun 1952 dan
     membawa hasil yang sangat memuaskan. Di akhir tahun 1960
     dan di tahun 1961 tidak lagi dilaporkan adanya kasus pes.



     KOLERA

     Pada tahun 1928, dilaporkan bahwa Indonesia telah berhasil
     memberantas penyakit kolera. Meski dinyatakan ”berhasil”,
     namun ternyata masih tertinggal satu jenis Vibrio Cholerae di
     Indonesia, yakni Vibrio Eltor. Dengan demikian, maka di awal
     kemerdekaan Republik Indonesia, penyakit ini kembali
     berjangkit.

     Untuk mengatasinya, berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah
     Indoneisa, antara lain dengan pemberian vaksin TCD (typhus,
     cholerae, desentry) kepada anggota Angkatan Perang dan anak-
     anak sekolah, sebagai upaya pengebalan di tahun 1950.

     Penelitian terhadap penyakit kolera terus dilakukan dari waktu
     ke waktu. Hasilnya, pada tahun 1957 ditemukan Vibrio Eltor di
     Makassar. Penemuan oleh Tanamal ini terjadi saat penyakit
     kolera sedang kembali berjangkit di Makassar dan Jakarta, yang
     dikenal dengan peristiwa Enteries Choleroformis.

     Di tahun 1961, kolera juga mewabah di Semarang, hingga
     menimbulkan kematian. Untuk itu, di tahun 1962, cholera eltor
     masuk dalam UU Nomor 6 tahun 1962 tentang Wabah. Artinya,
     penyakit ini harus segera diberantas, jika mewabah.




18
Dengan kemajuan teknologi kesehatan, pemberian kekebalan
dilakukan dengan menggunakan vaksinasi Chotipa (cholera,
typhus, dan parathypus), yang dikenal dengan istilah pemberian
”Ring Vaksinasi”.



CACAR

Penyakit Cacar tergolong penyakit karantina. Wabah cacar
kembali melanda Indonesia di tahun 1948, setelah tidak
berjangkit selama 25 tahun terakhir.

Penyakit ini bermula dari Singapura/Malaka, menyebar ke
Sumatera dan pulau lainnya di Indonesia, seperti Jawa,
Kalimantan, dan Nusa Tenggara, melalui lalu lintas darat dan
laut.




Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 1


                  Gambar 12. Saridi, salah seorang penderita cacar


Untuk mencegah penyebaran penyakit cacar, maka pada tahun
1951 pencacaran massal dilakukan di Pulau Jawa, Sumatera, dan
pulau-pulau lain di Indonesia. Upaya ini (Smallpox Eradication
Programme) dikembangkan sejalan dengan kebijakan global
dunia, melalui WHO, untuk membasmi penyakit cacar.

Pembasmian dimungkinkan, karena penyakit cacar tidak
mempunyai vektor penyakit. Selain itu, vaksin cacar yang sangat
efektif juga telah dihasilkan oleh Bio Farma.




                                                                     19
Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 1


           Gambar 14. Pencacaran umum di Pasar Jatisrono, 20 November 1960


     Sebelum Perang Dunia II, pencacaran dilakukan dengan
     pemberian vaksin cacar kering serta vaksin cacar basah. Namun
     setelah perang berakhir, pencacaran tidak lagi menggunakan
     vaksin cacar basah, yang digunakan hanya vksin kering saja.

     Untuk memenuhi kebutuhan vaksin kering, Prof. Dr. Sardjito
     membuat vaksin kering di sebuah laboratorium yang berada di
     Klaten, kemudian membagikannya ke sejumlah daerah di
     Indonesia.




     Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 2


                                     Gambar 13. Prof. Dr. Sardjito
     Dengan ditemukannya vaksin cacar, maka pada tahun 1972,
     Pemerintah Indonesia berhasil membasmi penyakit tersebut.
     Dengan keberhasilan itu, di tahun 1974, Indonesia dinyatakan
     bebas cacar oleh WHO.




20
TUBERKULOSIS

Penyakit Tuberkulosis di Indonesia termasuk salah satu penyakit
rakyat yang banyak menelan korban.

Upaya pemberantasan penyakit Tuberkulosis pada jaman
penjajahan Belanda telah dilakukan oleh Stichting Centrale
Vereniging voor de Tuberculose Bestrijding (SCVT) di tahun 1918,
dengan mendirikan lima sanatorium dan 20 biro konsultasi.

 Aktivitas SCVT telah diambil alih oleh Pemerintah Indonesia
sejak jaman Pemerintahan Jepang. SCVT ini kemudian dijadikan
sebagai Yayasan Perkumpulan Pusat Pemberantasan Penyakit
Paru-Paru (Yayasan P6), bertempat di Jakarta. Yayasan sejenis
kemudian didirikan di beberapa kota di Jawa, seperti Jember,
Semarang, dan Cirebon.




           Sumber: http://www.general-anaesthesia.com


           Gambar 15. Robert Koch, penemu basil tuberkulosis


Pada era 1950, diketahui adanya vaksin yang dapat memberikan
kekebalan tubuh terhadap kuman penyakit penyebab
tuberkolusis. Vaksin tersebut adalah vaksin BCG. Dengan adanya
vaksin itu, pada Oktober 1952, Pemerintah Indonesia, WHO, dan
UNICEF menandatangani persetujuan untuk memulai program
percontohan dan latihan pemberantasan penyakit tuberkulosis.




                                                                   21
Pada Juli 1953, diadakan konferensi pertama pemberantasan
     penyakit paru-paru. Rekomendasi dari konferensi ini
     dipergunakan sebagai sebagai dasar upaya pemberantasan
     penyakit tuberkolosis paru-paru, dengan vaksinasi BCG sebagai
     salah satu upaya preventif yang penting.



     MALARIA

     Malaria dikenal sebagai penyakit yang berjangkit secara endemik
     di daerah tropis. Penyakit ini merupakan penyakit rakyat yang
     paling banyak penderitanya dan berjangkit di seluruh wilayah
     Indonesia.

     Sebelum Perang Dunia II, usaha pemberantasan Malaria
     dilakukan dengan sistem pemberantasan sarang nyamuk,
     dengan membersihkan genangan air atau menyemprot air
     dengan minyak tanah. Seusai Perang Dunia II, ditemukan obat
     DDT yang dapat digunakan sebagai pembunuh serangga
     (insektisida dengan sistem penyemprotan rumah-rumah).

     Pemberantasan malaria dilakukan dengan dua upaya, yaitu
     preventif dengan pengendalian vektor penyakit (nyamuk) dan
     pengobatan penderita sebagai upaya kuratif, dan sampai saat ini
     untuk memberantas penyakit malaria belum diketemukan
     vaksinnya, sehingga penyakit ini menjadi salah satu penyakit
     menular yang sulit diberantas.




      Sumber: BukuSejarahKesehatan Nasional Indonesia Jilid 2


                 Gambar 16. Pasukan Penyemprot DDT, 12 November 1960




22
Pada era 1950, Pemerintah In
                       ah Indonesia bekerja sama dengan
Pemerintah Amerika, melalui USAID, mencanangkan Komando
                       lalui
Basmi Malaria (KOPEM). KOP
                       KOPEM merupakan suatu ”task force”
Departemen Kesehatan, deng tugas khusus membasmi
                       dengan
penyakit malaria.

Pada Januari 1959, Pemerinta Indonesia bersama WHO serta
                         rintah
USAID menandatangani Perseersetujuan Pembasmian Malaria.
Tujuannya, agar penyakit ma
                          malaria berhasil terbasmi dari wilayah
Indonesia dalam tahun 1970 Pemberantasan ditandai dengan
                        970.
dilakukannya penyemprotan DDT pertama oleh Presiden
                         tan
Soekarno pada 12 November 1959, di Daerah Istimewa
                          ber
Yogyakarta. Kegiatan pembas
                          basmian ini, meliputi:
1. Penyemprotan rumah di seluruh Jawa, Bali, dan Lampung,
                        h
    selama tahap attack;
2. Penemuan penderita sec secara aktif dan pasif serta pengobatan
    radikal terhadap yang po
                        g positif pada bagian akhir tahap attack
    dan tahap konsolidasi;
3. Penyelidikan entomologi
                         logi;
4. Penataran tenaga.

Dengan demikian, 12 Novem
                      vember ditetapkan sebagai HARI
KESEHATAN NASIONAL, yang hingga kini tetap diperingati
setiap tahun.




              Sumber: Pembangunan Kesehatan Edisi 1992
                             unan

              Gambar 17. Preside RI pertama, Ir. Soekarno,
                            esiden
   melakukan penyemprotan DDT sebagai upaya pemberantasan malaria
          di Desa Tirtomartani, Yogyakarta, 12 November 1959.
                            ni,




                                                                    23
FRAMBUSIA
     FR

     Fr
     Frambusia merupakan penyakit rakyat yang erat kaitannya
                                                rat k
     de
     dengan kebersihan perorangan (higiene dan sanita
                                                anitasi).

     Se
     Sebelum Perang Dunia II, upaya pemberantasan penyakit
                                                 an p
     fr
     frambusia telah dilakukan dengan cara pemberian suntikan
                                                  rian
     neosalvarsan. Upaya yang dilakukan oleh dr. Kod
     ne                                           odiyat telah
     be
     berhasil menurunkan tingkat infeksi frambusia hingga kurang
                                                   hin
     da 1%.
     dari

     S
     Setelah Perang Dunia II berakhir, pemberantasan penyakit
                                                 san p
     fr
     frambusia kembali dilanjutkan. Keseriusan membe
                                                 mberantas
     fr
     frambusia ditandai dengan pemberian bantuan obat baru
                                                 n ob
     ”P
     ”Penicilin Antibiotik” oleh WHO dan UNICEF.

     U
     Upaya pemberantasan frambusia telah dikenal luas dengan
                                               l lua
     is
     istilah ”Treponematosis Control Program”.




     Su
     Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 2


             Gambar 18. Penyematan Bintang Jasa kepada dr. Kodiyat oleh
                                                            r. Ko
      Menteri Kesehatan Mayjen dr. Satrio di Istana Yogyakarta, 28 Desember 1964
                                                            ta, 2




24
KUSTA

Antara tahun 1950 – 1960, sekitar 80 ribu penduduk Indonesia
diperkirakan menderita penyakit kusta. Dari jumlah tersebut,
hanya lima ribu orang yang di rawat di rumah saki kusta,
sedangkan sisanya masih berada di tengah-tengah masyarakat.

Meski penyakit Kusta tidak menyebabkan kematian, namun
penyakit ini cukup menimbulkan dampak sosial, karena
menimbulkan leprofobia di kalangan masyarakat. Untuk
mengatasinya, maka didirikan rumah sakit khusus kusta, sebagai
upaya pemberatasan dengan pola perawatan penderita.

 Saat itu telah terdapat 52 rumah sakit kusta (Leprosaria),
termasuk kampung lepra, di seluruh Indonesia, dengan kapasitas
sekitar lima ribu tempat tidur, yang dibina oleh pemerintah dan
Bala Keselamatan (dengan subsidi pemerintah).

Dalam usaha pemberantasan kusta, Lembaga Kusta Kementerian
Kesehatan melakukan penelitian, pendidikan, usaha koordinasi,
serta mencari cara pemberantasan yang tepat. Lembaga
tersebut meliputi laboratorium, klinik, poliklinik pusat dan
poliklinik pembantu, Leproseri Tangerang dan Lenteng Agung,
serta Pusat Epidemiologi di Desa Wates Bekasi.




Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 2


   Gambar 18. Pemeriksaan penderita kusta di RS Kusta Sitanala, Tangerang




                                                                            25
Saat itu, Jawa Tengah merupakan satu-satunya provinsi yang
     telah memiliki Dinas Pemberantasan Kusta, dengan dua orang
     dokter di Semarang.

     Pelatihan juga diberikan kepada para mantri lepra, yang
     kemudian ditugaskan di Jakarta, Semarang, Lamongan, Madura,
     Gorontalo, dan daerah lainnya. Mereka bertugas mengobati para
     penderita dengan menggunakan obat-obatan sulphon, antara
     lain promin, diazone, sulphetrone, diamino-diphenyl-sulphone
     (DDS).

     Selain menggunakan obat-obatan, Leproseri Tangerang
     (sekarang Pusat Rahabilitasi Kusta Sitanala) juga melakukan
     usaha pemisahan bayi baru lahir dari orang tuanya yang
     menderita Kusta. Observasi dilakukan sekitar lima tahun,
     kemudian jika lepromin anak itu negatif akan divaksinasi dengan
     vaksin BCG sampai reaksi lepromin menjadi positif.



     FILARIASIS

     Filariasis, yang juga disebut penyakit kaki gajah merupakan
     penyakit rakyat yang erat kaitannya dengan kebersihan
     perorangan, higiene, serta sanitasi lingkungan.



     Di Indonesia, penyebab panyakit ini adalah Wuchereria bancrofti,
     Brugia malayi, sejenis cacing (mikrofilaria) yang menyerang
     saluran kelenjar limpa dan funiculus spermaticus, sehingga
     penderita mengalami kecacatan di bagian anggota tubuh, seperti
     kaki.

     Penyakit ini menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia
     dengan penularan melalui perantaraan nyamuk, terutama
     species culex dan spesies mansonia.



     POLIOMYELITIS

     Poliomyelitis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
     virus polio. Penyakit ini penyebab cacat tubuh pada anak,
     sehingga mengalami kelumpuhan.




26
PEMBERANTASAN PENYAKIT


ERA PEMBANGUNAN NASIONAL


(1966 – 1975)

PERIODE DITJEN P3M


Berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan,
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
Menular (Ditjen P3M) mempunyai tugas pokok melaksanakan
sebagian tugas pokok Departemen Kesehatan di Bidang
Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Pemberantasan
Penyakit Menular Langsung, Epidemiologi dan Imunisasi, serta
Higiene Sanitasi.

Untuk menyelenggarakan tugasnya, Ditjen P3M yang saat itu
dipimpin oleh dr. Adhyatma, MPH, mempunyai fungsi:
a. Perumusan kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan dan
    pembinaan serta pemberian perijinan di bidang
    pemberantasan penyakit menular dan higiene Sanitasi sesuai
    dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri
    Kesehatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan
    yang berlaku;
b. Pelaksanaan pemberantasan penyakit menular dan Higiene
    Sanitasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
    berlaku;
c. Pemberantasan penyakit menular dan higiene sanitasi,
    sesuai pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas pokok
    Ditjen P3M dalam kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
    Menteri;
d. Kesehatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan
    yang berlaku.




                                                                 27
Pada era Pembangunan Nasional (Pelita), pemberantasan
     penyakit menular ditujukan untuk mematahkan rantai
     penularan. Untuk itu, cara yang dilakukan adalah dengan
     menghilangkan sumber atau pembawa penyakit, mencegah
     adanya hubungan dengan penyebab penyakit, serta memberi
     kekebalan kepada penduduk.

     Pemberantasan penyakit pada Pelita I ditentukan atas dasar
     beberapa pertimbangan, sebagai berikut.
     1. Perjanjian luar negeri, seperti International Health
        Regulation (IHR), yang dituangkan dalam Undang-undang
        Karantina (cacar, kolera, dan pes);
     2. Penyakit yang menjadi masalah kesehatan rakyat dan telah
        diketahui cara efektif pemberantasannya, seperti malaria,
        tuberkulosis, kusta, frambusia, dan penyakit kelamin;
     3. Penyakit lain yang timbul sebagai wabah dan diperlukan
        pengambilan tindakan, seperti penyakit antraks, demam
        berdarah, serta penyakit lain yang memerlukan survei, studi,
        dan percobaan pemberantasan untuk menyiapkan cara
        penanggulangannya (Filariasis, Schistosomiasis, dan Cacing
        tambang.

     Upaya pemberantasan penyakit di daerah bukanlah suatu
     perkara mudah, terkait dengan bentuk dan letak wilayah
     Indonesia. Untuk itu, berbagai permasalahan yang timbul di
     daerah harus diselesaikan secara tepat dan cepat, dengan
     melakukan:
     1. Penelitian keadaan penyakit dan pola penyebarannya
         (epidemiological surveilance);
     2. Pembangunan unit pengamatan (surveillance unit);
     3. Pemeriksaan laboratorium;
     4. Kekarantinaan dengan cara meningkatkan pencegahan
         masuk/keluarnya penyakit menular ke/dari luar negeri;
     5. Higiene dan Sanitasi, dengan cara perbaikan persediaan air
         minum pedesaan dalam usaha pemberantasan/pencegahan
         penyakit, seperti kolera);
     6. Mendidik masyarakat untuk membiasakan diri untuk hidup
         higienis.




28
MALARIA

Kebijakan pokok pemberantasan malaria pada era ini adalah
melaksanakan pemberantasan agar malaria tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Untuk itu, penyemprotan
dilakukan terhadap 8,6 juta rumah di sumber penularan,
penemuan penderita secara pasif dan aktif, pengobatan 32,6
juta penderita, serta melatih puluhan ribu tenaga
pemberantasan malaria.



DEMAM BERDARAH

Usaha pemberantasan penyakit demam berdarah meliputi 3
bidang, yaitu surveilance, pengobatan penderita, dan
pemberantasan.




         Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes


                      Gambar 19. Nyamuk Aedes aegypti


Di Bidang Surveilance, 12 provinsi melaporkan adanya penderita
dengue haemorhagic fever (DHF). Dilaporkan juga adanya wabah
di Provinsi Aceh, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Riau, dan
Jawa Tengah. Laporan specimen selalu disampaikan oleh
Laboratorium Pusat dan Bio Farma secara teratur. Untuk itu,
survei vektor dilakukan terhadap 20 kota di 12 provinsi.

Sedangkan di bidang pemberantasan, dilakukan kegiatan
penyemprotan menggunakan Malathion, percobaan aplikasi
abate terhadap 115 ribu rumah, dan peniadaan sarang nyamuk
melalui penyuluhan kesehatan terhadap 2,4 juta rumah.




                                                                  29
FILARIASIS DAN SCHISTOSOMIASIS

     Dalam rangka pemberantasan penyakit Filariasis dan
     Schistosomiasis telah dilakukan mirofilaria, survei di 10
     kabupaten di Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, dan Nusa
     Tenggara Timur, serta pemberantasan penyebar penyakit.

     Untuk meningkatkan pemberantasan penyakit ini, pada 3
     Februari 1975 diadakan Penataran Tenaga Pimpinan/Pelaksana
     Pemberantasan Filariasis di Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

     Penataran diikuti perwakilan dari tiga provinsi, yaitu Irian Jaya
     yang diwakili oleh Dokabu Sorong dan Dokabu Merauke,
     Sulawesi Utara yang diwakili oleh Kepala Unit Surveilance dan
     Staf Dinas Kesehatan Provinsi, serta Nusa Tenggara Timur yang
     dihadiri oleh semua Dokabu dan seorang dokter puskesmas.



     RABIES

     Pemberantasan penyakit rabies telah dilakukan dengan
     beberapa cara, antara lain dengan pemberian vaksin anti rabies
     kepada hewan, perbaikan sistem pelaporan dan pencatatan,
     serta peningkatan kesadaran dan kerjasama yang baik dari para
     petugas.

     Cara tersebut membuahkan hasil yang cukup baik, dimana
     dilaporkan adanya penurunan jumlah orang yang digigit hewan
     dan permintaan pengobatan/vaksinasi.



     TUBERKULOSIS

     Pada Pelita I, fokus pemberantasan penyakit paru-paru adalah
     dengan menurunkan tuberkolusis incidente. Pemberantasan
     dilakukan dengan cara pemberian suntikan BCG kepada semua
     anak umur 0–14 tahun.

     Saat itu, vaksinasi mencakup sekitar 38 juta anak Indonesia.
     Daerah Jawa dan Bali berhasil mencapai 80% dari target,
     sedangkan daerah lainnya mencapai sekitar 51%.




30
PES

Pengamatan terhadap penya pes pada era ini tidak
                       nyakit
menemukan gejala-gejala yan mencurigakan akan timbulnya
                      a yang
kasus/wabah.



KOLERA

Guna memberantas penyakit kolera, pemerintah
                         akit
menitikberatkan usaha terseb pada pengamatan dan
                         rsebut
pengobatan dini secara tepat Hasilnya, case fatality rate (CFR)
                        epat.
sebesar 35,8% (tahun 1969– –1970) berhasil diturunkan menjadi
5,6 % di tahun 1973 – 1974.
                        74.



FRAMBUSIA

                         Treponematis Control Program
Sejak tahun 1951, sistem Trep
Simplified (TCPS) guna memb
                        emberantas penyakit frambusia telah
mencapai banyak keberhasila
                        asilan.

Sampai akhir Pelita I, pemeri
                         meriksaan telah dilakukan terhadap
sekitar 219 juta orang. Progra ini sampai akhir Pelita I telah
                          ogram
meliputi TCPS konsolidasi, TC maintenance, dan TCPS integrasi
                          i, TCPS
puskesmas, dengan jumlah ke
                         ah keseluruhan sebanyak 3.016 buah.




Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL


                Gambar 20. Gejala fa awal penyakitfFrambusia
                                 ala fase
        Benjolan di kulit (papula)berb
                                 )berbentuk seperti buah arbei, tidak sakit,
                           permukaan basah tanpa nanah
                                 kaan




                                                                               31
KU
     KUSTA

     Pad Pelita I, daerah pemberantasan penyakit kusta telah
     Pada
     me
     mencakup 83% dari jumlah kabupaten di Indonesia Kegiatan
                                                     esia.
     pen
     penemuan penderita sampai akhir Pelita I mencapa 80 % dari
                                                     capai
     tar
     target, yaitu sebesar 40.245 penderita dari target 50 ribu
                                                     et 5
     pen
     penderita.




                     Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL


       Gambar 21. Kelainan kulit pada penderita kusta, berupa bercak berwarna
                                                            a ber
          keputihan atau kemerahan, mati rasa, tidak gatal, dan tidak sakit


     Keb
     Keberhasilan program pemberantasan penyakit kusta ini telah
                                                  t kus
     me
     mengalirkan bantuan hibah dari Sasakawa Foundat
                                                   dation, Jepang.
     Ban
     Bantuan hibah ini sangat berguna untuk pengemba
                                                  mbangan rumah
     sak kusta di Tangerang dan Sulawesi Selatan.
     sakit



     CA
     CACAR

     Da
     Dalam usaha pemberantasan penyakit cacar, Peme
                                                emerintah
     Ind
     Indonesia mengambil kebijakan peningkatan penga
                                                 ngamatan dan
     pem
     pemberian kekebalan penyakit cacar kepada 1/3 penduduk
                                                 3 pe
     Ind
     Indonesia.

     Pem
     Pemerintah juga mengambil kebijakan lain dengan ikut serta
                                                 gan
     dal
     dalam Global Smallpox Eradication Program (SEP) pada tahun
                                                  P) p
     196
     1967.




32
Sejak keikutsertaan dalam SEP, Indonesia mulai mengalami
banyak kemajuan dalam pemberantasan penyakit cacar, hingga
dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada 25 April 1974.



PENYAKIT KELAMIN

Upaya pemberantasan penyakit kelamin telah dilakukan di 139
kabupaten pada tahun 1973 – 1974. Hasilnya, ditemukan 100
ribu penderita. Untuk itu, segera dilakukan pencegahan terhadap
20 ribu sumber penularan.

Kebijakan yang dilakukan pada Pelita I guna memberantas
penyakit ini adalah sebagai berikut.
1. melaksanakan penemuan penderita;
2. melanjutkan penyuntikan seminggu sekali;
3. meningkatkan pendidikan kepada masyarakat tentang
   penyakit kelamin;
4. mengembangkan cara pemberantasan gonorrohoea.

Sampai akhir Pelita I, pemberantasan penyakit kelamin telah
dilaksanakan di 81 kabupaten.



EPIDEMIOLOGI DAN KARANTINA

Dalam usaha pemberantasan penyakit, maka dilakukan
pengamatan epidemiologi, imunisasi, serta karantina kesehatan
pelabuhan/haji.

Beberapa hal yang dilakukan, antara lain:
1. Penyempurnaan (pembaruan dan penyederhanaan) dalam
   sistem pelaporan pada Mei 1975;
2. Pemberian vaksinasi cacar dan BCG kepada sekitar 8 juta
   anak, sebagai usaha pemberantasan penyakit cacar dan
   Tuberkulosis paru-paru;
3. Penyempurnaan tiga kantor Dinas Kesehatan Pelabuhan
   (DKP), yaitu dengan penyediaan alat-alat medik, higiene dan
   sanitasi di delapan DKP, serta peningkatan usaha karantina
   haji.




                                                                  33
HIGIENE DAN SANITASI

     Sebagai usaha higiene dan sanitasi, maka dilakukan beberapa
     hal, sebagai berikut.
     1. Pencegahan pencemaran lingkungan di 10 kotamadya dari
          10 provinsi;
     2. Pengangkatan 85 tenaga penilik kesehatan dan 245
          sanitarian;
     3. Lokakarya Pengurusan dan Pemeliharaan Sarana Air Minum
          Pedesaan, yang diikuti 30 orang peserta dari 13 provinsi.




     PERIODE DITJEN PPM & PLP


     Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
     Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP)
     mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas pokok
     Departemen Kesehatan di bidang pemberantasan penyakit
     bersumber binatang, pemberantasan penyakit menular
     langsung, epidemiologi dan imunisasi, serta penyehatan
     lingkungan pemukiman dan penyehatan air.

     Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Ditjen PPM & PLP
     mempunyai fungsi:
     a. Perumusan kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan dan
        pembinaan serta pemberian perijinan di bidang
        pemberantasan penyakit menular dan penyehatan
        lingkungan pemukiman sesuai dengan kebijaksanaan yang
        ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan berdasarkan
        peraturan perundang-undangan yang berlaku;
     b. Pelaksanaan pemberantasan penyakit menular dan
        penyehatan lingkungan pemukiman berdasarkan peraturan
        perundang-undangan yang berlaku;
     c. Pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas pokok
        Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
        Penyehatan Lingkungan sesuai dengan kebijaksanaan yang
        ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan berdasarkan
        peraturan perundang-undangan yang berlaku.




34
INPRES SAMIJAGA

Guna mempercepat akses masyarakat akan kebutuhan sanitasi
dasar, seperti air minum dan jamban keluarga yang memenuhi
persyaratan kesehatan, maka mulai tahun 1974 pemerintah
menetapkan kebijakan Inpres Samijaga (sarana air minum dan
jamban keluarga).

Inpres ini memberikan bantuan pembangunan sarana air bersih
dan jamban keluarga bagi masyarakat serta penempatan tenaga
kesehatan, seperti tenaga dokter dan sanitarian di puskesmas
guna meningkatkan upaya penyuluhan kesehatan masyarakat,
khususnya di bidang kesehatan lingkungan.

Di samping pembangunan saranan sanitasi tersebut, Inpres
Samijaga juga memberikan bantuan pembangunan sarana
kesehatan, seperti gedung puskesmas dan puskesmas keliling,
dengan segala fasilitas lainnya yang berhubungan dengan
kegiatan pembangunan sarana air minum dan jamban keluarga.



P4D

Pemberantasan penyakit diare di Indonesia dimulai sejak
Repelita III (1981), sebagai kelanjutan kegiatan penanggulangan
penyakit kolera dan gastroenteritis (1978).

Penyakit diare/kolera merupakan penyakit yang banyak diderita
masyarakat Indonesia. Penyakit ini erat kaitannya dengan
perilaku hidup masyarakat. Di samping tingginya angka
kesakitan, penyakit ini juga sering menimbulkan KLB yang
disertai dengan kematian.

Untuk memberantas penyakit itu, pemerintah mengembangkan
Program Pemberantasan Penyakit Diare (P4D) di seluruh
puskesmas, dengan tujuan memperluas cakupan pelayanan
penderita, terutama pelayanan melalui posyandu, sebagai upaya
tatalaksana penderita diare di sarana kesehatan dan masyarakat.




                                                                  35
Tatalaksana penderita menjadi efektif setelah dikembangkan
     upaya rehidrasi oral dengan menggunakan oralit (sesuai dengan
     anjuran WHO tahun 1973) dan cairan rumah tangga sebagai
     pertolongan pertama. Dengan dilaksanakannya tatalaksana
     tersebut dengan cepat dan tepat, angka kematian akibat diare
     dapat diturunkan, terutama saat terjadi KLB.



     PENGEMBANGAN PROGRAM IMUNISASI

     Pengembangan Program Imunisasi (PPI) dimulai pada era tahun
     70-an. Program ini bertujuan mempercepat pencapaian sasaran
     program imunisasi guna mencegah penyebaran penyakit yang
     dapat dicegah dengan imunisasi.

     Awalnya, program ini baru mencakup pemberian vaksinasi BCG.
     Seiring dengan waktu, selanjutnya program diperluas terhadap
     vaksinasi dasar, seperti DPT, polio, TT, dan campak.



     ERADIKSI POLIOMYELITIS

     Poliomyelitis merupakan penyakit menular yang dapat
     menyebabkan kecacatan bagian tubuh, seperti kaki, sehingga
     penderita mengalami kelumpuhan.

     Pada tahun 1949–1951, penyakit Poliomyelitis hampir menjadi
     wabah di Jakarta. Kemudian di tahun 1954, penyakit ini
     mewabah di Bandung, namun tidak berlangsung lama.

     Pada era tahun 1980, pemerintah mengembangkan Program
     Imunisasi yang diprioritaskan bagi bayi dan anak balita. Melalui
     gerakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) diharapkan penyakit ini
     tidak ditemukan lagi di wilayah Indonesia.

     Namun sejalan dengan kemajuan teknologi transportasi dan
     komunikasi, pada tahun 2005 penyakit ini kembali ditemukan di
     daerah Sukabumi, Jawa Barat.

     Berdasarkan pengalaman tersebut, di tahun 1980, Pemerintah
     Indonesia mulai mengembangkan Program Imunisasi (PPI) yang
     diprioritaskan bagi bayi dan anak balita.




36
Untuk mensukseskan program ini, Pemerintah menjadikan
program ini sebagai gerakan nasional, yang dikenal dengan
Pekan Imunisasi Nasional (PIN).

Dengan gerakan nasional ini, diharapkan penyakit poliomylities
dapat diberantas. Namun pada tahun 2005, penyakit ini ternyata
muncul kembali di Sukabumi, Jawa Barat, yang diperkirakan
berasal dari Afrika.



DEMAM BERDARAH DENGUE

Pada tahun 1968, penyakit Demam Berdarah Dengue (dengue
haemorraghic fever) mulai berjangkit di Indonesia. Awalnya,
penyakit tersebut berjangkit di Surabaya, kemudian menyebar
ke berbagai wilayah, seperti Semarang, Jakarta, Palembang.
menimbulkan wabah.

Sampai saat ini seluruh wilayah di Indonesia telah terjangkit
penyakit ini, dan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
serta disebarkan dengan perantaraan nyamuk aedes aegypti ini
sulit diberantas karena terkait erat dengan perilaku masyarakat
dan kesehatan lingkungan.



FILARIASIS

Penyakit Filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit rakyat
yang erat kaitannya dengan kebersihan perorangan, higiene,
serta sanitasi lingkungan.

Di Indonesia, Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi dikenal
sebagai penyebab panyakit ini, dengan penyebaran hampir di
seluruh wilayah Indonesia.

Pemberantasan filarisis di Indonesia menggunakan obat Diethyl
Carbamazize Citrae (DEC), yang sangat efektif dalam membunuh
microfilaria maupun macrofilaria. Pengobatan massal dengan
dosis standar, yang dilakukan di sekitar Bendungan Gumbasa
(Sulawesi Tengah) dan Banjar (Kalimantan Selatan), merupakan
salah satu metode yang digunakan.




                                                                  37
Me
     Metode lainnya adalah pengobatan dosis rendah di
                                                    h diikuti dosis
     sta
     standar, yang dilakukan di Kalimantan Selatan, Flores Barat, dan
                                                    Flor
     Kab
     Kabupaten Batang Hari (Jambi). Ternyata, pengoba
                                                    obatan ini sangat
     ber
     berhasil.

     Ber
     Berdasarkan pengalaman, pengamatan, serta pene
                                                 enelitian, maka
     dip
     diputuskan penggunaan DEC dosis rendah semingg sekali
                                                inggu
     sel
     selama 40 minggu, sebagai program pemberantasa filariasis.
                                                tasan




                  Sumber:Koleksi Ditjen PP & PL

     Gam
     Gambar 22.



     SC
     SCHISTOSOMIASIS

     Sch
     Schistosomiasis adalah penyakit parasitik akibat infeksi cacing
                                                    t inf
     Sch
     Schistosoma, dengan gejala klinis awal gatal-gatal saat serkaria
                                                    tal s
     ma
     masuk ke dalam kulit.

     Ter
     Terdapat empat spesies cacing Schistosoma yang menjadi parasit
                                                   ng m
     pad manusia, yaitu Schistosoma haematobium, Schistosoma
     pada                                           , Sch
     ma
     mansonni, Schistosoma japonicum, Schistosoma mekongi.
                                                   a me
     Pen
     Penyelidikan epidemiologi Schistosomiasis dilakuka
                                                   kukan
     ber
     berdasarkan beberapa kriteria, yaitu berdasarkan jenis
                                                   an je
     pen
     penyebaran schistosomiasis di dunia, manivestasi klinis, dampak
                                                   asi k
     sos ekonomi, dan pemberantasan.
     sosio

     Di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia, Schistomiasis merupakan
                                                     sis m
     ma
     masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar dan
                                                     ar d
     me
     memerlukan usaha yang kuat untuk memberantas hingga tuntas.
                                                     tas
     Di dunia, penderita penyakit ini mencapai 200 juta orang,
                                                     uta
     sed
     sedangkan yang terancam penyakit ini mencapai 600 juta
                                                    ai 60
     pen
     penduduk (population at risk).



38
PEMBERANTASAN PENYAKIT


ERA REFORMASI


(2000 – 2007)


PERIODE DITJEN PPM & PLP – DITJEN PP & PL



Seiring dengan perkembangan jaman, semakin berkembang pula
berbagai jenis penyakit di tengah masyarakat, baik penyakit
menular maupun tidak menular. Berbagai penyakit baru yang
dikenal dengan istilah New-emerging Diseases pun turut
berkembang, seperti penyakit Severe Accute Respitory Syndrome
(SARS), Avian Influenza (flu burung), Meningitis Meningokokus,
serta penyakit zoonosis lain (Hanta virus, Nipah Virus).

Menyadari perkembangan tersebut, maka dibutuhkan
pemantauan dan cara pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan yang tepat. Untuk itu diadakan perubahan nama
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP) menjadi
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (Ditjen PP & PL).

Ditjen PP & PL mempunyai tugas merumuskan serta
melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Untuk
menjalankan tugas dan fungsi secara maksimal, yang mencakup
seluruh daerah di Indonesia, Ditjen PP & PL dibantu oleh tiga unit
pelaksana teknis (UPT), yaitu Kantor Kesehatan Pelabuhan
(KKP), Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan
Penyakit Menular (BTKLPPM), serta Rumah Sakit Penyakit Infeksi
Prof. Dr. Sulianti Saroso (RSPI-SS).




                                                                     39
KANTOR KESEHATAN PELABUHAN

     Sampai tahun 1962 urusan kekarantinaan dilakukan berdasarkan
     Ordonansi Karantina. Dengan berkembangnya zaman, urusan
     kekarantinaan dilaksanakan dalam dinas Kesehatan Pelabuhan,
     baik laut maupun udara, sesuai dengan International Sanitary
     Regulation dari WHO.

     Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) adalah suatu unit pelaksana
     teknis (UPT) Ditjen PP & PL, dibidang pemberantasan dan
     pencegahan penyakit menular.

     KKP mempunyai tugas melaksanakan pencegahan masuk dan
     keluarnya penyakit karantina dan penyakit menular potensial
     wabah, kekarantinaan, pelayanan kesehatan terbatas di wilayah
     kerja pelabuhan laut/udara dan lintas batas, serta pengendalian
     dampak kesehatan lingkungan.



     BTKLPPM

     Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit
     Menular (BTKLPPM) merupakan salah satu UPT di lingkungan
     Ditjen PP & PL, yang bergerak di Bidang Teknik Kesehatan
     Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular.

     Diberlakukannya “otonomi daerah” dalam penyelenggaraan
     pemerintahan, maka kesehatan menjadi “urusan” yang wajib
     diserahkan dan dilaksanakan oleh masing-maisng daerah
     (kabupaten/kota). Meski demikian, pengecualian “kewenangan”
     bidang kesehatan tetap berlaku, diantaranya dalam hal
     pengelolaan pemberantasan penyakit menular dan kesehatan
     lingkungan yang masih menjadi wewenang pemerintah.

     BTKLPPM bertugas sebagai pelaksana surveilans epidemiologi,
     kajian dan penapisan teknologi, laboratorium rujukan, kendali
     mutu, kalibrasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan model
     dan teknologi tepat guna, kewaspadaan dini dan
     penanggulangan KLB/Wabah dan bencana di bidang
     pemberantasan penyakit menular dan kesehatan lingkungan
     serta kesehatan matra.




40
RSPI PROF. DR. SULIANTI SAROSO

Pada tahun 1958, Stasiun Karantina (pindahan dari Pulau Onrust
Kuiper) didirikan di daerah Pelabuhan Tanjung Priok. Fungsinya,
untuk menampung penderita penyakit karantina dari kapal.

Di tahun 1964, Stasiun Karantina juga difungsikan sebagai
tempat menampung penderita penyakit cacar dari Jakarta dan
sekitarnya, yang berjumlah sekitar 2.358 orang. Namun sejak
Indonesia dinyatakan bebas cacar pada tahun 1972, kegiatan
pun berkurang, sehingga pada 28 April 1978, Stasiun Karantina
berubah fungsi menjadi Rumah Sakit Karantina.

Rumah Sakit Karantina mempunyai tugas menyelenggarakan
pelayanan, pengobatan, perawatan, karantina dan isolasi serta
pengelolaan penyakit menular tertentu. Dalam perjalanannya,
rumah sakit ini tidak hanya merawat penderita penyakit wabah,
tetapi juga penyakit menular atau infeksi lainnya.




Sumber: http://www.navigasi.net


                          Gambar 22. Museum Pulau Onrust,
                        salah satu bangunan yang masih tersisa


Untuk dapat melakukan pelayanan kesehatan secara maksimal,
maka pada 1 Desember 1993, pelayanan Rumah Sakit Karantina
dipindahkan ke lokasi baru di daerah Sunter dan berganti nama
menjadi Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso
(RSPI-SS). Dengan demikian, pada 1 Januari 1994, Rumah Sakit
Karantina ditutup dan RSPI-SS di buka untuk umum.




                                                                   41
Sejak diresmikan penggunaannya pada 21 April 1994, RSPI-SS
     telah melakukan tugas pelayanan penyembuhan dan perawatan
     penderita secara menyeluruh. Selain itu, RSPI-SS juga
     menjalankan fungsi sebagai:
     1. pelaksana rujukan nasional di bidang penyakit infeksi dan
         penyakit menular lainnya;
     2. penatalaksanaan penyakit infeksi menular lainnya;
     3. penelitian klinik dan epidemiologi penyakit infeksi dan
         penyakit menular lainnya;
     4. pelaksanaan sistem kewaspadaan dini, penanggulangan
         wabah/kejadian luart biasa (KLB);
     5. pendidikan dan pelatihan di bidang penyakit infeksi dan
         penyakit menular lainnya;
     6. penelitian dan pengembangan di bidang penyakit infeksi dan
         penyakit menular lainnya;
     7. pengelolaan sistem informasi penyakit infeksi dan penyakit
         menular lainnya.

     Beberapa tahun terakhir, RSPI-SS telah menunjukkan
     kemampuannya dalam upaya penanggulangan penyakit infeksi
     maupun penyakit lainnya, seperti Diare, HIV/AIDS, Tifoid,
     Salmonellosis, KLB Demam Berdarah, KLB SARS, KLB Polio, dan
     KLB Flu Burung.



     PERIODE DITJEN PP & PL


     Perubahan nomenklatur Ditjen P2M dan PL menjadi Ditjen PP &
     PL atas dasar Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9
     tahun 2005 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
     Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia
     dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
     2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian
     Negara Repbulik Indonesia dan Peraturan Menteri Kesehatan
     Nomor : 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata
     Kerja Departemen Kesehatan.

     Sebagai upaya pengendalian penyakit dan penyehatan
     lingkungan tersebut, Ditjen PP & PL telah menyusun dan
     melaksanakan berbagai program, sebagai berikut.




42
PROGRAM IMUNISASI

Imunisasi telah diakui sebaga upaya pencegahan penyakit paling
                          agai
efektif dan berdampak terhad peningkatan kesehatan
                          rhadap
masyarakat. Namun, pember imunisasi mempunyai risiko
                          berian
adanya kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Untuk itu, perlu
                         asca
agar efektifitas dan keamana
                          ananan vaksin tetap terpantau dan
terjaga dengan melakukan su
                          n surveilans KIPI yang efektif.

Upaya imunisasi dilaksanakan melalui kegiatan rutin dan
                         akan
tambahan. Kegiatan imunisas rutin meliputi pemberian
                         nisasi
imunisasi kepada bayi umur 0 tahun (BCG, DPT, Polio, Campak,
                          ur 0-1
HB), imunisasi kepada WUS/B
                         US/Bumil (TT), dan imunisasi kepada
anak SD (kelas 1: DT, dan kela 2-3: TT).
                          kelas




                      Sumber: K
                         ber: Koleksi Ditjen PP & PL



Kegiatan imunisasi tambahan dilakukan atas dasar ditemukannya
                         han
masalah, seperti Desa non UC potensial/risti KLB;
                        n UCI,
ditemukan/diduga adanya vir polio liar; hasil kinerja surveilans
                        a virus
AFP yang masih buruk/tidak b
                         ak berjalan; atau kegiatan lain
berdasarkan kebijakan teknis Catch Up Campaign Imunisasi
                        knis.
Campak juga dilakukan bagi a
                        agi anak sekolah dasar (kelas 1 – 6) di
beberapa provinsi.

Pada tahun 2005, kasus polio liar kembali ditemukan di
                          olio
Indonesia. Untuk itu, Outbrea Response Immunization (ORI)
                          break
dilakukan untuk memutus pes penularan di sekitar lokasi kasus.
Selain itu, Mop up Imunisasi d
                         sasi dilakukan dalam dua putaran di
Provinsi DKI Jakarta, Jawa Bar dan Banten, sedangkan Pekan
                         a Barat,
Imunisasi Nasional (PIN) dilak
                         dilakukan dalam tiga putaran, dengan
sasaran anak berusia 0 – 5 ta
                            tahun.




                                                                   43
Di tahun yang sama, bencana tsunami juga terjadi di Nangroe
     Aceh Darussalam dan Pulau Nias. Untuk itu, Crash Program
     Imunisasi Campak dilakukan bagi para korban pengungsi berusia
     0 – 5 tahun.



     KUSTA

     Berdasarkan catatan WHO, Indonesia saat ini masih menjadi
     salah satu negara penyumbang penyakit kusta terbesar di dunia.

     Meskipun Indonesia telah mencapai Eliminasi Kusta pada
     pertengahan tahun 2000, namun penyakit ini masih menjadi
     masalah kesehatan yang cukup besar. Sampai akhir tahun 2005,
     14 provinsi dan 155 kabupaten di Indonesia belum mencapai
     eliminasi.



     FRAMBUSIA

     Sampai saat ini, penyakit Frambusia masih belum dapat
     dieliminasi dari seluruh wilayah Indonesia.

     Penderita Frambusia banyak ditemukan di wilayah timur
     Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi
     Tenggara. Sedangkan di wilayah barat, ditemukan di NAD, Jambi,
     Banten, dan Jawa Timur. Wilayah-wilayah itu dikenal sebagai
     ”kantong Frambusia”.

     Keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan serta tempat
     tinggal di daerah pedalaman membuat penderita Frambusia sulit
     mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk menjangkau daerah-
     daerah kantong Frambusia yang tersebar di beberapa provinsi
     dan kabupaten di Indonesia, maka pada tahun 2000 mulai
     dilakukan survei daerah kantong Frambusia. Sejak saat itu
     sampai dengan tahun 2005, sejumlah 17.085 kasus dan kontak
     telah ditemukan serta diobati.




44
MALARIA

Sampai dengan tahun 2005, k
                         05, kebijakan Program Pemberantasan
Penyakit Malaria di Jawa dan Bali telah menggunakan strategi
penegakkan diagnosa kasus d
                          us dengan konfirmasi laboratorium,
yang dikenal dengan istilah Annual Parasite Incidence (API).
                         ah

Dalam lima tahun terakhir, ka
                        ir, kasus malaria di Pulau Jawa dan Bali
telah mengalami penurunan. Angka parasit malaria per seribu
                        nan.
penduduk (API) menurun, da sebesar 0,81 di tahun 2000
                         , dari
menjadi 0,15 per seribu pend
                          enduduk di tahun 2005.




                                              Sumber: koleksi Ditjen PP & PL




DEMAM BERDARAH DEN
                ENGUE

Metode tepat guna untuk me
                       k mencegah DBD adalah dengan
Pemberantasan Sarang Nyam (PSN) melalui 3M plus
                        yamuk
(Menguras, Menutup, dan M
                       n Mengubur) plus menabur larvasida,
penyebaran ikan pada tempa penampungan air, serta kegiatan
                       mpat
lainya yang dapat mencegah/
                       gah/memberantas nyamuk Aedes
berkembang biak.

Angka Bebas Jentik (ABJ), seb
                        , sebagai tolak ukur upaya
pemberantasan vektor melal PSN-3M, menunjukkan angka
                         elalui
partisipasi masyarakat dalaam mencegah DBD. Oleh karena itu,
                          laam
pendekatan pemberantasan DBD yang berwawasan kepedulian
                         san
masyarakat menjadi salah sat alternatif pendekatan baru.
                        h satu




                                                                               45
Sur
     Surveilans vektor dilakukan melalui kegiatan peman
                                                    mantauan jentik
     ole petugas kesehatan maupun juru/kader peman
     oleh                                           mantau jentik
     (Ju
     (Jumantik/Kamantik). Pengembangan sistem surveirveilans vektor
     sec
     secara berkala perlu terus dilakukan, terutama dalam kaitannya
                                                    dala
     den
     dengan perubahan iklim dan pola penyebaran kasus.
                                                   kasu




      umber: Koleksi Ditjen PP & PL
     Sum




     DE
     DEMAM CHIKUNGUNYA

     De
     Demam Chikungunya (Demam Chik) adalah suatu penyakit
                                                     tu p
     me
     menular dengan gejala utama demam mendadak, nyeri pada
                                                    ak, n
     per
     persendian terutama lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan,
                                                    ki d
     ser tulang belakang yang disertai ruam pada kulit.
     serta                                          kulit

     Pen
     Penyakit ini disebabkan oleh virus chikungunya dan ditularkan
     ole nyamuk Aedes aegepti, yang juga nyamuk penular DBD.
     oleh                                           pen



     ISP
     ISPA

     ISP termasuk Pneumonia, sering kali disebut seba wabah
     ISPA                                            ebagai
     ray yang terlupakan atau The Forgotten Pandemic karena
     raya                                            mic,
     kur
     kurangnya perhatian organisasi internasional terha
                                                     rhadap penyakit
     ini. Upaya yang dilakukan lebih dari sepuluh tahun yang lalu,
                                                     un
     bel
     belum juga menemukan suatu intervensi yang efektif untuk
                                                    efek
     me
     mengatasi penyakit ini.




46
Di tahun 1997, pendekatan Integrated Management Childhood
                         an
Illness (IMCI) atau Manajeme Terpadu Balita Sakit (MTBS)
                         emen
diperkenalkan. Pendekatan in merupakan model tatalaksana
                         an ini
kasus untuk berbagai penyak anak, seperti ISPA, Diare, Malaria,
                          yakit
Campak, Gizi Kurang, dan Kec
                          Kecacingan.




                                                    Sumber: Koleksi PP & PL
                  Gambar 23. Pneumonia pada anak


Selain menggunakan cara kla
                        klasifikasi gejala penyakit yang praktis
dan sederhana, dengan peng
                       enggunaan teknologi tepat guna, MTBS
juga mengatur pemisahan an
                       n antara tatalaksana penyakit
Pneumonia dan tatalaksana p
                       na penderita penyakit infeksi akut
telinga dan tenggorok.



TUBERKULOSIS

Upaya Pemerintah menanggu
                       nggulangi Tuberkulosis (TBC) semakin
menunjukkan kemajuan. Ini t
                          terlihat dari meningkatnya jumlah
penderita yang ditemukan da disembuhkan tiap tahunnya.
                       n dan




                                              Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL




                                                                               47
Pe
     Pengembangan Program Pengendalian TBC denga strategi
                                                      ngan
     D
     DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse  rse
     Chemotheraphy) sampai dengan tahun 2005 telah dilaksanakan
     Ch                                              elah
     di seluruh provinsi di Indonesia. Hasilnya, tercapai penurunan
                                                     apai
     in
     insiden kasus menular, yaitu dari 130/100.000 penduduk (WHO-
                                                      pen
     19
     1995) menjadi 170/100.000 penduduk.



     H
     HIV/AIDS DAN PMS

     Pa Desember 2003, WHO menetapkan kebijaka ”Three by
     Pada                                            akan
     Fiv Initiative”, yaitu target global akses pengobat Anti Retro
     Five                                            batan
     Vir (ARV) terhadap tiga juta ODHA pada tahun 2005.
     Viral                                           n 20

     Be
     Berdasarkan kebijakan itu, Menteri Kesehatan menetapkan
                                                  me
     ta
     target, bahwa sepanjang tahun 2005 sebanyak 10 ribu ODHA
                                                k
     te mendapatkan aksesbilitas pengobatan ARV.
     telah                                       RV.

     D tahun 2004, lima ribu ODHA telah mendapatkan pengobatan
     Di                                        tkan
     AR Sedangkan di tahun 2005, pengobatan telah diakses oleh
     ARV.                                      lah
     le
     lebih dari lima ribu ODHA.




     sumber: http://www.artasauthority.com
     su



     Sa
     Sampai dengan tahun 2005, Departemen Kesehata telah
                                                 hatan
     m
     menetapkan 75 rumah sakit sebagai pusat rujukan pengobatan
                                                ukan
     AR Penetapan tersebut sebagai bentuk komitme Indonesia
     ARV.                                       itmen
     da
     dalam mendukung 3 by 5.




48
Hingga Desember 2005, secara kumulatif tercatat 3.368 orang
mengidap HIV (+) dan sebanyak 2.682 orang mengidap AIDS.
Dengan meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS, maka
pemantauan terhadap kecenderungan HIV/AIDS dan sipilis pada
kelompok risiko tinggi dilakukan dengan cara pengambilan
sampel secara bersamaan setiap setahun sekali.



DIARE
Selain angka kesakitan yang masih tinggi, penyakit diare juga
sering menimbulkan KLB dengan tingkat CFR yang juga tinggi.
Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
diperoleh angka kematian diare (semua umur) 23 per 100.000
penduduk. Sedangkan pada Balita, 75 per 1000.000 penduduk.

Salah satu upaya menurunkan kematian akibat diare adalah
dengan tatalaksana yang tepat dan cepat. Upaya ini dilakukan
dengan mengadakan pelatihan petugas terintegrasi dengan
pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), serta
pengamatan tatalaksana diare di puskesmas sentinel.

Upaya lainnya, mengadakan kajian epidemiologi KLB Diare di
enam provinsi, seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, NTB,
NTT, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Pengolahan, analisa,
dan interpretasi data secara rutin juga akan dilakukan, sebagai
upaya kewaspadaan dini KLB Diare.



KECACINGAN

Untuk mempercepat penurunan prevalensi cacingan pada anak
sekolah dasar, kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan
bagi murid SD dilakukan oleh para guru di sejumlah SD, yang
tersebar di lima provinsi.

Sosialisasi materi pemberantasan penyakit kecacingan diberikan
kepada para guru, agar mereka memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang lebih tentang penyakit ini. Bahan materi,
berupa poster pencegahan cacingan dan lembar balik cacingan,
juga diberikan sebagai alat penunjang kegiatan.




                                                                  49
Dengan penyuluhan ini, diharapkan para murid dapat melakukan
     perilaku hidup sehat, seperti kebiasaan cuci tangan sebelum
     makan dan sesudah buang air besar, potong kuku, serta
     memakai alas kaki jika keluar rumah, sehingga terhindar dari
     penyakit kecacingan.



     FILARIASIS

     Hingga saat ini, Filariasis masih menjadi masalah kesehatan
     masyarakat Indonesia. Hasil mapping yang dilakukan sampai
     tahun 2004 menggambarkan adanya kasus kronis yang mencapai
     jumlah 8.243 orang, yang tersebar di 30 provinsi.

     Untuk itu, Indonesia melaksanakan Program Eliminasi Filariasis
     atas dasar kesepakatan Global WHO tahun 2000, yaitu “The
     Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public
     Health Problem the year 2020”, yang merupakan realisasi dari
     resolusi WHA pada tahun 1997.



     SCHISTOSOMIASIS

     Berbagai upaya pemberantasan penyakit Schistosomiasis telah
     dilakukan sejak tahun 1982 melalui bermacam bentuk kegiatan,
     seperti pengobatan penduduk, penyuluhan, dan perbaikan
     lingkungan.

     Langkah pemberantasan ditujukan pada cacing Schistosoma
     japonicum (host), keong Oncomelania hupensis lindoensis
     (hospes perantara), manusia, dan hewan mamalia (hospes
     definitif), dan lingkungan fisik maupun biologis.

     Sampai saat ini daerah endemis Schistosomiasis di Indonesia
     baru ditemukan di dua tempat, di Lembah Lindu (Kecamatan
     Kulawi, Kabupaten Donggala) dan Lembah Napu-Besoa
     (Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso).

     Schistosomiasis tidak mungkin dieradiksi. Oleh karena itu, tujuan
     program pemberantasan Schistosomiasis adalah eliminasi,
     supaya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.




50
FLU BURUNG

Flu burung atau Avian Influen adalah suatu penyakit menular
                          luenza
yang disebabkan oleh virus in
                         us influenza tipe A. Di Indonesia,
penyakit ini pertama kali dila
                          dilaporkan pada Agustus 2003.
Flu burung menular dari ungg ke unggas, dan dari unggas ke
                         unggas
manusia. Penyakit ini dapat m
                           at menular melalui udara yang
tercemar virus H5N1 yang be
                         g berasal dari kotoran atau sekreta
burung/unggas yang mender flu burung.
                           derita

Penularan dari unggas ke ma
                         manusia juga dapat terjadi jika
manusia telah menghirup uda yang mengandung virus flu
                         udara
burung atau kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi flu
                        ung
burung. Namun sampai saat i belum ada bukti yang
                        aat ini,
menyatakan bahwa virus flu bburung dapat menular dari manusia
ke manusia dan menular mel
                        melalui makanan.




          Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL
                                  P



Gejala awal penyakit ini pada manusia hampir sama dengan
                           ada
gejala flu pada umumnya, sep
                          , seperti demam (suhu badan di atas
38oC), batuk dan nyeri tenggo
                          nggorokan, radang saluran pernapasan
atas, pneumonia, infeksi mat dan nyeri otot. Sedangkan masa
                          mata,
inkubasi virus flu burung adal 2-10 hari setelah terpapar. Akan
                          adalah
tetapi, sebagian besar kasus m
                          sus menunjukkan gejala setelah 3-5 hari
setelah terpapar oleh virus te
                         us tersebut.




                                                                    51
Pengobatan bagi penderita, dapat dilakukan dengan oksigenasi
     bila terdapat sesak napas; hidrasi dengan pemberian cairan
     parenteral (infus); pemberian obat antivirus oseltamivir 75 mg
     dosis tunggal selama 7 hari; serta pemberian Amantadin di awal
     terjadi infeksi (sedapat mungkin dalam waktu 48 jam pertama,
     selama 3 - 5 hari).

     Untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh flu burung,
     Departemen Kesehatan telah mengambil beberapa tindakan,
     antara lain:
     1. Melakukan Investigasi pada pekerja, penjual dan penjamah
         produk ayam di beberapa daerah KLB flu burung pada ayam
         di Indonesia (untuk mengetahui infeksi flu burung pada
         manusia);
     2. Melakukan monitoring secara ketat terhadap orang-orang
         yang pernah kontak dengan orang yang diduga terkena flu
         burung. hingga terlewati dua kali masa inkubasi yaitu 14
         hari;
     3. Menyiapkan 44 rumah sakit di seluruh Indonesia untuk
         menyiapkan ruangan observasi terhadap pasien yang
         dicurigai mengidap Avian Influenza;
     4. Memberlakukan kesiapsiagaan di daerah yang mempunyai
         resiko, yaitu Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten,
         serta membentuk POSKO Flu Burung;
     5. Menginstruksikan kepada Gubernur pemerintah provinsi
         untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan
         terhadap kemungkinan terjangkitnya flu burung di wilayah
         masing-masing;
     6. Meningkatkan upaya penyuluhan kesehatan masyarakat dan
         membangun jejaring kerja dengan berbagai pihak untuk
         edukasi terhadap masyarakat agar masyarakat tetap
         waspada dan tidak panik;
     7. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan
         Departemen Pertanian dan pemerintah daerah dalam upaya
         penanggulangan flu burung; Mengumpulkan informasi yang
         meliputi aspek lingkungan dan faktor resiko untuk mencari
         kemungkinan sumber penularan oleh tim investigasi.




52
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA
SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

Cover Makalah Ilmu Lingkungan
Cover Makalah Ilmu LingkunganCover Makalah Ilmu Lingkungan
Cover Makalah Ilmu LingkunganNursidiq 92
 
CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI
 CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI
CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSIAkhmad Muhibudin
 
Format penulisan laporan
Format penulisan laporanFormat penulisan laporan
Format penulisan laporanYuliana
 
Contoh proposal pkm kewirausahaan
Contoh proposal pkm kewirausahaanContoh proposal pkm kewirausahaan
Contoh proposal pkm kewirausahaanZakiyul Mu'min
 
Contoh tabel data interval, data nominal, data ordinal, data distribusi freku...
Contoh tabel data interval, data nominal, data ordinal, data distribusi freku...Contoh tabel data interval, data nominal, data ordinal, data distribusi freku...
Contoh tabel data interval, data nominal, data ordinal, data distribusi freku...Sylvester Saragih
 
Agen agen infeksius
Agen agen infeksiusAgen agen infeksius
Agen agen infeksiusGilang Rizki
 
PPT Metode penelitian kuantitatif
PPT Metode penelitian kuantitatifPPT Metode penelitian kuantitatif
PPT Metode penelitian kuantitatifNona Zesifa
 
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat IndonesiaKemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat IndonesiaLestari Moerdijat
 
Laporan praktikum uji makanan
Laporan praktikum uji makananLaporan praktikum uji makanan
Laporan praktikum uji makanannurul Aulia sari
 
Review jurnal kualitatif
Review jurnal kualitatifReview jurnal kualitatif
Review jurnal kualitatifRuyung Movia
 
Kata pengantar, abstrak dan daftar isi
Kata pengantar, abstrak dan daftar isiKata pengantar, abstrak dan daftar isi
Kata pengantar, abstrak dan daftar isiNuri Andhika Pratama
 
Perbedaan penelitian kualitatif dan kuantitatif
Perbedaan penelitian kualitatif dan kuantitatifPerbedaan penelitian kualitatif dan kuantitatif
Perbedaan penelitian kualitatif dan kuantitatifAnNa Luph Black
 
Faktor faktor yang mempengaruhi perilaku
Faktor faktor yang mempengaruhi perilakuFaktor faktor yang mempengaruhi perilaku
Faktor faktor yang mempengaruhi perilakuhanafieminence
 
Patofisiologi sistem pernapasan
Patofisiologi sistem pernapasanPatofisiologi sistem pernapasan
Patofisiologi sistem pernapasanNona Zesifa
 

La actualidad más candente (20)

Soal dan Jawaban - ISBD
Soal dan Jawaban - ISBDSoal dan Jawaban - ISBD
Soal dan Jawaban - ISBD
 
penulisan daftar pustaka
penulisan daftar pustakapenulisan daftar pustaka
penulisan daftar pustaka
 
Cover Makalah Ilmu Lingkungan
Cover Makalah Ilmu LingkunganCover Makalah Ilmu Lingkungan
Cover Makalah Ilmu Lingkungan
 
CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI
 CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI
CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI
 
Format penulisan laporan
Format penulisan laporanFormat penulisan laporan
Format penulisan laporan
 
Konsep dan variabel
Konsep dan variabelKonsep dan variabel
Konsep dan variabel
 
Metode Persidangan
Metode PersidanganMetode Persidangan
Metode Persidangan
 
Contoh proposal pkm kewirausahaan
Contoh proposal pkm kewirausahaanContoh proposal pkm kewirausahaan
Contoh proposal pkm kewirausahaan
 
Contoh tabel data interval, data nominal, data ordinal, data distribusi freku...
Contoh tabel data interval, data nominal, data ordinal, data distribusi freku...Contoh tabel data interval, data nominal, data ordinal, data distribusi freku...
Contoh tabel data interval, data nominal, data ordinal, data distribusi freku...
 
Agen agen infeksius
Agen agen infeksiusAgen agen infeksius
Agen agen infeksius
 
Contoh proposal skripsi
Contoh proposal skripsiContoh proposal skripsi
Contoh proposal skripsi
 
PPT Metode penelitian kuantitatif
PPT Metode penelitian kuantitatifPPT Metode penelitian kuantitatif
PPT Metode penelitian kuantitatif
 
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat IndonesiaKemajemukan Masyarakat Indonesia
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
 
Laporan praktikum uji makanan
Laporan praktikum uji makananLaporan praktikum uji makanan
Laporan praktikum uji makanan
 
Skala pengukuran dalam penelitian
Skala pengukuran dalam penelitianSkala pengukuran dalam penelitian
Skala pengukuran dalam penelitian
 
Review jurnal kualitatif
Review jurnal kualitatifReview jurnal kualitatif
Review jurnal kualitatif
 
Kata pengantar, abstrak dan daftar isi
Kata pengantar, abstrak dan daftar isiKata pengantar, abstrak dan daftar isi
Kata pengantar, abstrak dan daftar isi
 
Perbedaan penelitian kualitatif dan kuantitatif
Perbedaan penelitian kualitatif dan kuantitatifPerbedaan penelitian kualitatif dan kuantitatif
Perbedaan penelitian kualitatif dan kuantitatif
 
Faktor faktor yang mempengaruhi perilaku
Faktor faktor yang mempengaruhi perilakuFaktor faktor yang mempengaruhi perilaku
Faktor faktor yang mempengaruhi perilaku
 
Patofisiologi sistem pernapasan
Patofisiologi sistem pernapasanPatofisiologi sistem pernapasan
Patofisiologi sistem pernapasan
 

Destacado

Pemberantasan Penyakit Menular
Pemberantasan Penyakit MenularPemberantasan Penyakit Menular
Pemberantasan Penyakit MenularAkfar ikifa
 
Profil dan karakteristik jamaah calon haji kota sibolga tahun 2016
Profil dan karakteristik jamaah calon haji kota sibolga tahun 2016Profil dan karakteristik jamaah calon haji kota sibolga tahun 2016
Profil dan karakteristik jamaah calon haji kota sibolga tahun 2016Harry Alfauzan
 
Pedoman Upacara Hari Pahlawan
Pedoman Upacara Hari PahlawanPedoman Upacara Hari Pahlawan
Pedoman Upacara Hari Pahlawansamrin khan
 
Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015
Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015
Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015Ditjen P2P Kemenkes
 
Masjid Agung Kudus Jawa Tengah
Masjid Agung Kudus Jawa TengahMasjid Agung Kudus Jawa Tengah
Masjid Agung Kudus Jawa Tengahputry df
 
Makalah penyakit menular dan tidak menular
Makalah penyakit menular dan tidak menularMakalah penyakit menular dan tidak menular
Makalah penyakit menular dan tidak menularMansurudin Rafa
 
Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013Ditjen P2P
 
Surat perintah tugas Puskesmas rawang kota sungai penuh provinsi jambi
Surat perintah tugas Puskesmas rawang kota sungai penuh provinsi jambiSurat perintah tugas Puskesmas rawang kota sungai penuh provinsi jambi
Surat perintah tugas Puskesmas rawang kota sungai penuh provinsi jambiOcy Partilova
 
Perkembangan Pendidikan ( Tajuk : Sejarah pendidikan di Malaysia )_Tugasan In...
Perkembangan Pendidikan ( Tajuk : Sejarah pendidikan di Malaysia )_Tugasan In...Perkembangan Pendidikan ( Tajuk : Sejarah pendidikan di Malaysia )_Tugasan In...
Perkembangan Pendidikan ( Tajuk : Sejarah pendidikan di Malaysia )_Tugasan In...Rosdi Ramli
 

Destacado (14)

Profil PP dan PL Tahun 2014
Profil PP dan PL Tahun 2014Profil PP dan PL Tahun 2014
Profil PP dan PL Tahun 2014
 
Pemberantasan Penyakit Menular
Pemberantasan Penyakit MenularPemberantasan Penyakit Menular
Pemberantasan Penyakit Menular
 
Profil dan karakteristik jamaah calon haji kota sibolga tahun 2016
Profil dan karakteristik jamaah calon haji kota sibolga tahun 2016Profil dan karakteristik jamaah calon haji kota sibolga tahun 2016
Profil dan karakteristik jamaah calon haji kota sibolga tahun 2016
 
Pedoman Upacara Hari Pahlawan
Pedoman Upacara Hari PahlawanPedoman Upacara Hari Pahlawan
Pedoman Upacara Hari Pahlawan
 
Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015
Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015
Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015
 
Masjid Agung Kudus Jawa Tengah
Masjid Agung Kudus Jawa TengahMasjid Agung Kudus Jawa Tengah
Masjid Agung Kudus Jawa Tengah
 
(5). program pembinaan kesehatan komunitas
(5). program pembinaan kesehatan komunitas(5). program pembinaan kesehatan komunitas
(5). program pembinaan kesehatan komunitas
 
Makalah penyakit menular
Makalah penyakit menularMakalah penyakit menular
Makalah penyakit menular
 
Materi Pelatihan Jumantik
Materi Pelatihan JumantikMateri Pelatihan Jumantik
Materi Pelatihan Jumantik
 
Renstra 2015-2019
Renstra 2015-2019Renstra 2015-2019
Renstra 2015-2019
 
Makalah penyakit menular dan tidak menular
Makalah penyakit menular dan tidak menularMakalah penyakit menular dan tidak menular
Makalah penyakit menular dan tidak menular
 
Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013
 
Surat perintah tugas Puskesmas rawang kota sungai penuh provinsi jambi
Surat perintah tugas Puskesmas rawang kota sungai penuh provinsi jambiSurat perintah tugas Puskesmas rawang kota sungai penuh provinsi jambi
Surat perintah tugas Puskesmas rawang kota sungai penuh provinsi jambi
 
Perkembangan Pendidikan ( Tajuk : Sejarah pendidikan di Malaysia )_Tugasan In...
Perkembangan Pendidikan ( Tajuk : Sejarah pendidikan di Malaysia )_Tugasan In...Perkembangan Pendidikan ( Tajuk : Sejarah pendidikan di Malaysia )_Tugasan In...
Perkembangan Pendidikan ( Tajuk : Sejarah pendidikan di Malaysia )_Tugasan In...
 

Similar a SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA

Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah KualaJournal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah KualaSyiah Kuala University
 
Kepmenkes no. 326 tahun 2013
Kepmenkes no. 326 tahun 2013Kepmenkes no. 326 tahun 2013
Kepmenkes no. 326 tahun 2013IdnJournal
 
Maternal mortality in indonesia
Maternal mortality in indonesiaMaternal mortality in indonesia
Maternal mortality in indonesiatetitejayanti1969
 
PROPOSAL PENELITIAN
PROPOSAL PENELITIAN PROPOSAL PENELITIAN
PROPOSAL PENELITIAN eddysastrawn
 
04520016 dwi-kameluh-agustina.ps
04520016 dwi-kameluh-agustina.ps04520016 dwi-kameluh-agustina.ps
04520016 dwi-kameluh-agustina.ps08552723782
 
daftar usulan drg widnya swari.docx
daftar usulan drg widnya swari.docxdaftar usulan drg widnya swari.docx
daftar usulan drg widnya swari.docxKetutBudiastri1
 
#1 FIX FIX BUKU STANDAR AKREDITASI RS.pdf
#1 FIX FIX BUKU STANDAR AKREDITASI RS.pdf#1 FIX FIX BUKU STANDAR AKREDITASI RS.pdf
#1 FIX FIX BUKU STANDAR AKREDITASI RS.pdfpepensutendi3
 
Proposal acara
Proposal acaraProposal acara
Proposal acaraswirawan
 
SK PP HIMPAUDI Munas III Bali
SK PP HIMPAUDI Munas III Bali SK PP HIMPAUDI Munas III Bali
SK PP HIMPAUDI Munas III Bali SekolahQita
 
Sejarah singkat berdiri unsrit
Sejarah singkat berdiri unsritSejarah singkat berdiri unsrit
Sejarah singkat berdiri unsritDodi Azhari
 
Panduan informasi 2012
Panduan informasi 2012Panduan informasi 2012
Panduan informasi 2012Ida Komariana
 
SAP HIPERTENSI TN Dd.docx
SAP HIPERTENSI TN Dd.docxSAP HIPERTENSI TN Dd.docx
SAP HIPERTENSI TN Dd.docxWindiiEryanti
 
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATANSTUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATANmariaseptiamemorini
 
Pedoman Visite Untuk Apoteker
Pedoman Visite Untuk Apoteker Pedoman Visite Untuk Apoteker
Pedoman Visite Untuk Apoteker Surya Amal
 

Similar a SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA (20)

Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah KualaJournal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
 
BPN 2011
BPN 2011BPN 2011
BPN 2011
 
Kepmenkes no. 326 tahun 2013
Kepmenkes no. 326 tahun 2013Kepmenkes no. 326 tahun 2013
Kepmenkes no. 326 tahun 2013
 
Mediakom38
Mediakom38Mediakom38
Mediakom38
 
Maternal mortality in indonesia
Maternal mortality in indonesiaMaternal mortality in indonesia
Maternal mortality in indonesia
 
PROPOSAL PENELITIAN
PROPOSAL PENELITIAN PROPOSAL PENELITIAN
PROPOSAL PENELITIAN
 
04520016 dwi-kameluh-agustina.ps
04520016 dwi-kameluh-agustina.ps04520016 dwi-kameluh-agustina.ps
04520016 dwi-kameluh-agustina.ps
 
daftar usulan drg widnya swari.docx
daftar usulan drg widnya swari.docxdaftar usulan drg widnya swari.docx
daftar usulan drg widnya swari.docx
 
#1 FIX FIX BUKU STANDAR AKREDITASI RS.pdf
#1 FIX FIX BUKU STANDAR AKREDITASI RS.pdf#1 FIX FIX BUKU STANDAR AKREDITASI RS.pdf
#1 FIX FIX BUKU STANDAR AKREDITASI RS.pdf
 
5_6100522747819984470.pdf
5_6100522747819984470.pdf5_6100522747819984470.pdf
5_6100522747819984470.pdf
 
Proposal acara
Proposal acaraProposal acara
Proposal acara
 
SK PP HIMPAUDI Munas III Bali
SK PP HIMPAUDI Munas III Bali SK PP HIMPAUDI Munas III Bali
SK PP HIMPAUDI Munas III Bali
 
Sejarah singkat berdiri unsrit
Sejarah singkat berdiri unsritSejarah singkat berdiri unsrit
Sejarah singkat berdiri unsrit
 
Panduan informasi 2012
Panduan informasi 2012Panduan informasi 2012
Panduan informasi 2012
 
Ldks
LdksLdks
Ldks
 
KMK
KMKKMK
KMK
 
SAP HIPERTENSI TN Dd.docx
SAP HIPERTENSI TN Dd.docxSAP HIPERTENSI TN Dd.docx
SAP HIPERTENSI TN Dd.docx
 
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATANSTUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
 
Pedoman Visite Untuk Apoteker
Pedoman Visite Untuk Apoteker Pedoman Visite Untuk Apoteker
Pedoman Visite Untuk Apoteker
 
pedoman visite
pedoman visitepedoman visite
pedoman visite
 

Más de Ditjen P2P

Buku Saku Imunisasi untuk Petugas Kesehatan
Buku Saku Imunisasi untuk Petugas KesehatanBuku Saku Imunisasi untuk Petugas Kesehatan
Buku Saku Imunisasi untuk Petugas KesehatanDitjen P2P
 
Profil Ditjen P2P Tahun 2022
Profil Ditjen P2P Tahun 2022Profil Ditjen P2P Tahun 2022
Profil Ditjen P2P Tahun 2022Ditjen P2P
 
Profil Ditjen P2P 2021.pdf
Profil Ditjen P2P 2021.pdfProfil Ditjen P2P 2021.pdf
Profil Ditjen P2P 2021.pdfDitjen P2P
 
Kaleidoskop Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 2016
Kaleidoskop Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 2016Kaleidoskop Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 2016
Kaleidoskop Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 2016Ditjen P2P
 
Pencapaian Indikator Pemantauan Janji Presiden
Pencapaian Indikator Pemantauan Janji PresidenPencapaian Indikator Pemantauan Janji Presiden
Pencapaian Indikator Pemantauan Janji PresidenDitjen P2P
 
Laporan Evaluasi Kinerja Ditjen PP dan PL Tahun 2015
Laporan Evaluasi Kinerja Ditjen PP dan PL Tahun 2015Laporan Evaluasi Kinerja Ditjen PP dan PL Tahun 2015
Laporan Evaluasi Kinerja Ditjen PP dan PL Tahun 2015Ditjen P2P
 
Capaian dan Kegiatan Pengendalian Penyakit Semester I tahun 2015
Capaian dan Kegiatan Pengendalian Penyakit Semester I tahun 2015Capaian dan Kegiatan Pengendalian Penyakit Semester I tahun 2015
Capaian dan Kegiatan Pengendalian Penyakit Semester I tahun 2015Ditjen P2P
 
Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014
Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014
Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014Ditjen P2P
 
Kaledeiskop Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2015
Kaledeiskop Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2015Kaledeiskop Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2015
Kaledeiskop Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2015Ditjen P2P
 
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2014
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2014Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2014
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2014Ditjen P2P
 
Lakip simkar 2014
Lakip simkar 2014Lakip simkar 2014
Lakip simkar 2014Ditjen P2P
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014 Ditjen P2P
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014 Ditjen P2P
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi II Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi II Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi II Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi II Tahun 2014 Ditjen P2P
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014Ditjen P2P
 
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013 Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013 Ditjen P2P
 
Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2
Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2
Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2Ditjen P2P
 
Profil pppl2012
Profil pppl2012Profil pppl2012
Profil pppl2012Ditjen P2P
 
Buku evaluasi indikator 2010 2012
Buku evaluasi indikator 2010   2012Buku evaluasi indikator 2010   2012
Buku evaluasi indikator 2010 2012Ditjen P2P
 

Más de Ditjen P2P (20)

Buku Saku Imunisasi untuk Petugas Kesehatan
Buku Saku Imunisasi untuk Petugas KesehatanBuku Saku Imunisasi untuk Petugas Kesehatan
Buku Saku Imunisasi untuk Petugas Kesehatan
 
Profil Ditjen P2P Tahun 2022
Profil Ditjen P2P Tahun 2022Profil Ditjen P2P Tahun 2022
Profil Ditjen P2P Tahun 2022
 
Profil Ditjen P2P 2021.pdf
Profil Ditjen P2P 2021.pdfProfil Ditjen P2P 2021.pdf
Profil Ditjen P2P 2021.pdf
 
Kaleidoskop Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 2016
Kaleidoskop Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 2016Kaleidoskop Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 2016
Kaleidoskop Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 2016
 
Pencapaian Indikator Pemantauan Janji Presiden
Pencapaian Indikator Pemantauan Janji PresidenPencapaian Indikator Pemantauan Janji Presiden
Pencapaian Indikator Pemantauan Janji Presiden
 
Laporan Evaluasi Kinerja Ditjen PP dan PL Tahun 2015
Laporan Evaluasi Kinerja Ditjen PP dan PL Tahun 2015Laporan Evaluasi Kinerja Ditjen PP dan PL Tahun 2015
Laporan Evaluasi Kinerja Ditjen PP dan PL Tahun 2015
 
Capaian dan Kegiatan Pengendalian Penyakit Semester I tahun 2015
Capaian dan Kegiatan Pengendalian Penyakit Semester I tahun 2015Capaian dan Kegiatan Pengendalian Penyakit Semester I tahun 2015
Capaian dan Kegiatan Pengendalian Penyakit Semester I tahun 2015
 
Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014
Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014
Buku Data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Semester I Tahun 2014
 
Kaledeiskop Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2015
Kaledeiskop Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2015Kaledeiskop Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2015
Kaledeiskop Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2015
 
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2014
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2014Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2014
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2014
 
Lakip simkar 2014
Lakip simkar 2014Lakip simkar 2014
Lakip simkar 2014
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi II Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi II Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi II Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi II Tahun 2014
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
 
Komik Rabies
Komik RabiesKomik Rabies
Komik Rabies
 
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013 Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
 
Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2
Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2
Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2
 
Profil pppl2012
Profil pppl2012Profil pppl2012
Profil pppl2012
 
Buku evaluasi indikator 2010 2012
Buku evaluasi indikator 2010   2012Buku evaluasi indikator 2010   2012
Buku evaluasi indikator 2010 2012
 

Último

Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatanssuser963292
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...Kanaidi ken
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggeraksupriadi611
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptxMiftahunnajahTVIBS
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxLK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxPurmiasih
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxmawan5982
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapsefrida3
 
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatLatihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatArfiGraphy
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxdpp11tya
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxsukmakarim1998
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxssuser50800a
 
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxsdn3jatiblora
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTIndraAdm
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 

Último (20)

Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxLK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
 
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatLatihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
 
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 

SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA

  • 1. SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PP & PL DEPARTEMEN KESEHATAN R I 2007
  • 2. SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL PP & PL Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, maka saya menyambut baik terbitnya buku ”SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA”, sebagai informasi antargenerasi untuk mengetahui dan memahami hasil proses perjalanan panjang upaya pemberantasan penyakit, sebagai bagian integral pembangunan kesehatan nasional. Upaya pemberantasan penyakit di Indonesia telah dimulai jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, sejalan dengan perkembangan serta kemajuan teknologi kedokteran dan kesehatan modern, terutama di Benua Eropa dan Amerika. Pada era Kolonialisme, pemberantasan penyakit sebesar-besarnya ditujukan agar kepentingan Kolonial untuk mendapat sumber daya manusia yang sehat terpenuhi. Belajar dari pengalaman, maka pada era awal kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia melakukan penataan organisasi kelembagaan guna mengefektifkan upaya pemberantasan penyakit. Upaya pemberantasan penyakit di Indonesia mencatat sukses di tahun 1972, dengan terbasminya penyakit cacar, sehingga Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada tahun 1974. Prestasi lain yang juga patut diingat adalah kemampuan kita membasmi polio pada tahun 1990 melalui gerakan nasional, yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN), yang mampu membebaskan Indonesia dari penyakit polio. Dewasa ini kita sedang menghadapi tantangan yang sangat berat (double bourden). Kita tidak hanya dihadapkan pada masalah “penyakit menular”, tapi juga pada masalah “penyakit tidak menular”, seperti jantung, diabetes, kanker, maupun penyakit atau kecacatan akibat cedera dan kecelakaan. Namun kita harus yakin, dengan kerja keras dan pengolahan program yang solid, kita bersama mampu melaksanakan tugas mulia yang berhasil dan berdaya guna, yaitu pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Dengan mengetahui dan memahami sejarah pemberantasan penyakit, diharapkan masyarakat dapat lebih mandiri dan juga berpartisipasi dalam upaya pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, maupun upaya pertolongan secara dini. Sekali lagi, saya menyambut baik adanya penerbitan buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indoensa. Untuk itu, saya ucapkan terima kasih atas ide maupun upaya gigih yang tak kenal menyerah untuk memberi manfaat bagi masyarakat luas. Kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini, saya sampaikan terima kaasih dan penghargaan setinggi-tingginya, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan petunjuk kepada kita semua. Jakarta, Desember 2007 Direktur Jenderal PP & PL, ttd dr. I Nyoman Kandun, MPH NIP 140 066 762 i
  • 3. DAFTAR ISI Sambutan Direktur Jenderal PP & PL ................................................................... ...... i Daftar Isi ........................................................................................... ......................... ii SK Pembentukan Tim Penyusun Sejarah Direktorat Jenderal PP & PL Tahun 2007 ............................................................... ... iii Pemberantasan Penyakit Era Kolonial (Awal Abad 20 – 1945) ........................................... 1 Pemberantasan Penyakit Era Awal Kemerdekaan dan Demokrasi Terpimpin (1945 – 1965) ........................................................................... 24 Pemberantasan Penyakit Era Pembangunan Nasional (1966 – 1975) ............................... 43 Pemberantasan Penyakit Era Reformasi (2000 – 2007) ..................................................... 63 Foto Dirjen .......................................................................................... ................................. 87 Daftar Pustaka ................................................................................................................... 100 ii
  • 4. KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN (PP & PL) DEPARTEMEN KESEHATAN RI NOMOR : HK.03.05/D/1.4/2510/2007 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN SEJARAH DIREKTORAT JENDERAL PP & PL TAHUN 2007 DIREKTUR JENDERAL PP & PL, Menimbang : a. bahwa untuk mengungkapkan data sejarah yang mengandung nilai perjuangan dan kebanggaan di bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, maka perlu disusun sejarah Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL); b. bahwa untuk menyusun sejarah Direktorat Jenderal PP & PL sebagaimana diuraikan pada huruf a di atas, perlu dibentuk Tim Penyusun Sejarah Direktorat Jenderal PP & PL Tahun 2007, yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3273); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3447); 4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1575/Menkes/SK/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan Republik Indonesia;
  • 5. MEMUTUSKAN Menetapkan : Pertama : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN SEJARAH DIREKTORAT JENDERAL PP & PL TAHUN 2007. Kedua : Tim Penyusun Sejarah Direktorat Jenderal PP & PL Tahun 2007 adalah sebagai berikut. Penasehat : Direktur Jenderal PP & PL Pelindung : Sekretaris Ditjen PP & PL Pengarah : 1. Direktur Sepimkesma 2. Direktur PPML 3. Direktur PPBB 4. Direktur PPTM 5. Direktur PL Tim Pelaksana : Ketua Kepala Bagian Hukum, Organisasi, dan Humas Wakil Ketua : Kepala Bagian Program dan Informasi Sekretaris Kepala Sub Bagian Humas 1. Bidang Inventarisasi Dokumen dan Pengumpulan Data Anggota : 1. Imam Setiaji, SH 2. dr. Desak Made Wismarini 3. Inri Denna, S.Sos 4. Eriana Sitompul 5. Risma 2. Bidang Analisis Data dan Editing Dokumentasi Anggota : 1. Sudjais, SKM, MM 2. Drs. Yusraluddin, M.Kes 3. Drs. Yulikarmen, M.Kes 4. Ahmad Abdul Hay, SKM 5. Dewi Nurul Triastuti, SKM 3. Narasumber : 1. Drs. Rajin Sinulingga 2. dr. Arwati Soeparto, MPH 3. M. Daud, B.Sc 4. dr. Nyoman Kumara Rai, MPH 5. dr. Brotowasisto, MPH 6. Drs. Sumarlan, SKM 7. Drs.Sutardjo Martono 8. Sunarjo, SKM 9. Sayuti, SKM, M.Epid 10. P. Simanjuntak, SKM 11. Slamet Nugroho, DPHI
  • 6. 4. Sekretariat 1. Mudji Wahono 2. Tohar 3. Siti Djubaidah Ketiga : Tim penyusun sebagaimana Diktum Kedua keputusan ini bertugas sebagai berikut. 1. Mengumpulkan data dan bahan-bahan penyusunan sejarah Ditjen PP & PL; 2. Melakukan review terhadap naskah sejarah yang telah dikumpulkan; 3. Melakukan penyusunan draft awal sejarah Ditjen PP & PL; 4. Melakukan finalisasi edisi pertama. Keempat : Tim penyusun bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal PP & PL melalui Sekretaris Ditjen PP & PL dan wajib menyampaikan laporan secara berkala. Kelima : Semua pembiayaan yang berkaitan dengan penyusunan Sejarah Direktorat Jenderal PP & PL dibebankan pada DIPA Ditjen PP & PL. Keenam : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya apabila terdapat kekeliruan di kemudian hari. Keputusan ini disampaikan, Yth. 1. Sekretaris Jenderal Depkes RI 2. Inspektur Jenderal Depkes RI 3. Para Direktur Jenderal di lingkungan Depkes RI 4. KPPN Jakarta V dan VI di Jakarta 5. Yang bersangkutan untuk diketahui dan dilaksanakan
  • 7. PEMBERANTASAN PENYAKIT ERA KOLONIAL (AWAL ABAD 20 – 1945) Pemberantasan penyakit menular yang dijalankan pada era Kolonial merupakan upaya preventif yang mencakup beberapa penyakit, sebagai berikut. CACAR Pada tahun 1804, untuk pertama kalinya penyakit cacar berjangkit di Batavia. Penyakit itu berasal ”Isle de France” (Mauritius), yang masuk Batavia dengan perantaraan para anak budak belian, berusia 6–12 tahun, penyakit itu terbawa sampai Batavia. Untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut, vaksinasi pun mulai diberikan. Awalnya, vaksinansi cacar hanya diberikan bagi penduduk pribumi yang sehari-hari bergaul dengan orang Eropa. Namun pada akhirnya, vaksinasi juga diberikan kepada mereka yang tidak menolak pemberian vaksinasi. Kemudian pada September 1811 – Maret 1816, Letnan Gubernur Thomas Stanford Raffles, salah satu pemimpin Inggris yang berkuasa saat itu, mulai mengembangkan wilayah pemberian vaksinasi cacar di daerah Jawa. Saat itu, pemberian vaksinasi cacar telah dilakukan oleh juru cacar pribumi, yang telah dididik di beberapa rumah sakit tentara. 1
  • 8. Sumber: http://nl.wikipedia.org Gambar 1. Thomas Stanford Raffles Pada tahun 1820, Peraturan Jawatan Kesehatan Sipil (Reglement voor den BGD) ditetapkan. Bersamaan dengan itu, Peraturan Pelaksanaan Vaksinasi Cacar (Reglement op de uitoefening der koepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie) juga dikeluarkan, yang isinya: 1. Seluruh usaha vaksinasi ditempatkan di bawah seorang Inspektur; 2. Di setiap karesidenan diangkat seorang pengawas (opziener), sedapat-dapatnya dokter setempat; 3. Pengawas tiap minggu harus memberi vaksinasi di tempat kedudukannya dan sekitarnya; 4. Untuk tempat-tempat yang jauh dari tempat kedudukan pengawas, digunakan juru cacar (vaccinateur) pribumi, yang sebelumnya dididik oleh pengawas; 5. Tiap bulan pengawas harus mengirimkan laporan kepada residen dan inspektur, dan tiap enam bulan memeriksa hasil pekerjaan para juru cacar; 6. Inspektur bertanggung jawab atas pengiriman bibit cacar ke seluruh karesidenan. 2
  • 9. Dari waktu ke waktu, penyempurnaan pelaksanaan pencacaran mulai dilakukan. Bibit cacar yang tadinya didatangkan dari Eropa, kini mulai dibuat sendiri. Untuk mendukung pembuatan bibit cacar sendiri, maka di tahun 1879, ”Parc vaccinogene” didirikan di daerah Batu Tulis, Jawa Barat. Sumber: http://www.schaakclubutrecht.nl Gambar 2. dr. A Schuckink Kool (kedua dari kanan) Kemajuan pembuatan vaksin mulai terlihat di tahun 1884, ketika dr. A. Schuckink Kool berhasil membuat vaksin di Meester Cornelis (Jatinegara), dengan menggunakan sapi sebagai tempat pembiakan. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, 6 Agustus 1890, tentang pendirian Parc Vaccinogen atau Landskoepok Inrichting di Rumah Sakit Tentara Weltevreden-Batavia, maka lembaga pembuatan vaksin dipindah ke Batavia. Dengan berjalannya waktu dan semakin meningkatnya kegiatan produksi vaksin, maka pada tahun 1896 didirikan Parc Vaccinogen Instituut Pasteur, Bandung. Dengan berdirinya institut tersebut, maka di tahun 1918, lembaga pembuatan vaksin cacar dipindahkan ke Bandung, bersatu dengan Instituut Pasteur, dan berubah nama menjadi Landskoepok Inrichting en Instituut Pasteur. Seiring dengan perkembangan pembuatan vaksin, di tahun 1926, Dr. L. Otten berhasil menyempurnakan pembuatan vaksin, dari larutan dalam gliserin menjadi vaksin kering in vacuo. 3
  • 10. Sumber: http://bandungheritage.org Gambar 3. Instituut Pasteur, kini PT Biofarma, Bandung KUSTA Pada tahun 1655, Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan leprozerie di Kepulauan Seribu (Teluk Jakarta), sebagai tempat penampungan para penderita kusta. Sesuai dengan cara yang diterapkan di Eropa saat itu, maka di tahun 1770 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan peraturan pengasingan bagi penderita kusta yang ada di daerah konsolidasinya. Sampai dengan pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda telah mengembangkan leprozerie di berbagai daerah, seperti Ambon, Banda, Ternate, Manado, Gorontalo, Riau, Bangka, dan Bengkulu. Namun pada tahun 1865, Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan yang menyatakan bahwa penderita penyakit kusta dianggap tidak menular. Dengan adanya surat keputusan itu, maka para penderita kusta tidak boleh dipaksa masuk leprozerie. Mereka diberi kebebasan memilih untuk tetap tinggal dalam liprozerie atau meninggalkannya. Berdasarkan hasil kongres Lepra pertama di Berlin (Jerman), di tahun 1897 peraturan pengasingan paksa diterapkan kembali. Kongres tersebut menyatakan bahwa lepra adalah penyakit menular. Atas dasar itu, Pemerintah Hindia Belanda kembali membangun liprozerie bagi penderita kusta. 4
  • 11. Namun di tahun 1932, peraturan pengasingan paksa di leprozerie dihapus oleh Dr. J. B. Sitanala, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberantasan Kusta. Ia bertindak atas referensi pemberantasan penyakit kusta di Norwegia. Pertimbangan lainnya, penerapan sistem tersebut di Filipina dan Hindia Barat tidak membawa hasil memuaskan. Sebagai gantinya, Dr. J. B. Sitanala menerapkan sistem ”tiga langkah” sebagai upaya pemberantasan kusta, yaitu ekplorasi, pengobatan, dan pemisahan. Eksplorasi, merupakan tindakan untuk mendapatkan data terpercaya di tiap daerah, termasuk data untuk mengetahui sikap masyarakat terhadap penyakit kusta. Eksplorasi ini menjadi awal dari surveilans penyakit kusta. Pengobatan, merupakan tindakan pemberian obat berdasarkan hasil eksplorasi. Pengobatan dilakukan di poliklinik kusta, yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal penderita. Sekali seminggu, para penderita kembali mengunjungi poliklinik untuk mendapat pengobatan. Pemisahan, merupakan tindakan pemisahan penderita kusta dari lingkungannya, tanpa paksaan. Pemisahan dilakukan dengan menempatkan penderita kusta dalam rumah tersendiri, yang masih berada dalam lingkungan keluarga. Penerapan sistem ”tiga langkah” ini tidak otomatis menutup akses sistem leprozerie. Penampungan di leporozerie tetap dilakukan dengan tanpa paksaan (sukarela). Sampai dengan tahun 1940, sebanyak 47 liprozerie telah tersebar di seluruh wilayah Hindia Belanda, dihuni 4955 penderita kusta. MALARIA Pemberantasan penyakit malaria di Indonesia mulai menemukan titik terang, ketika di tahun 1882 Laveran berhasil menemukan plasmodium malarie sebagai penyebab penyakit malaria, dengan penularan melalui nyamuk. 5
  • 12. Menyadari bahwa penyakit malaria telah menjadi ancaman kesehatan rakyat di beberapa wilayah, maka di tahun 1911, Jawatan Kesehatan Sipil didirikan sebagai bentuk upaya penyelidikan dan pemberantasan penyakit malaria. Dari waktu ke waktu, lingkup kerja Jawatan Kerja Sipil semakin meluas. Untuk itu, pada tahun 1924, Biro Malaria Pusat (Centrale Malaria Bureau) didirikan. Dalam menjalankan fungsinya, Biro Malaria Pusat selalu bekerja sama dengan Bagian Penyehatan Teknik (Gezondmakingswerken). Pada tahun 1929, Biro Malaria Pusat mulai mendirikan cabang di Surabaya, dengan fokus pelayanan kepulauan bagian timur. Sedangkan untuk wilayah seluruh Sumatera, pelayanan dilakukan oleh cabang Medan. Sumber: http://id.wikipedia.org Gambar 4. Nyamuk Anopheles, penyebab malaria Dalam upaya pemberantasan, para mantri malaria ditugaskan untuk menentukan jenis nyamuk dan jentik, memeriksa persediaan darah, mengadakan pembedahan lambung nyamuk, serta membuat peta wilayah. Penerapan riset sebagai upaya pemberantasan malaria juga dilakukan dengan beberapa cara, antara lain pembunuhan dan pencegahan berkembangnya jentik di sarang-sarang; pembunuhan nyamuk dewasa dengan asap, obat nyamuk, dan sebagainya; penggunaan kelambu/kasa nyamuk pencegah kontak antara manusia dengan nyamuk; serta kininisasi dalam epidemi. Dengan penerapan riset yang berdasarkan penyelidikan yang tepat terhadap biologi nyamuk penyebab malaria, maka dapat ditemukan berbagai pola pemberantasannya. 6
  • 13. Pemberantasan malaria di pantai, dapat dilakukan dengan cara Species-assaineering. Pertama, membuat tanggul sepanjang garis pantai. Tinggi tanggul dibuat melebihi tinggi air laut saat pasang, begitu juga pada tanah di belakang tanggul. Cara kedua, yaitu dengan membuat sebuah saluran. Saluran ini dibuat mulai dari muara sungai sampai melewati batas pemecah gelombang air laut. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan pembagian kinine, penggunaan kelambu/alat pembunuhan nyamuk, pemberian minyak tanah di sarang nyamuk, penempatan kandang kerbau di antara rumah tinggal dan sarang nyamuk, serta pemeliharaan tambak secara higienis. Sedangkan pemberantasan malaria di daerah pedalaman, beberapa cara yang dapat dilakukan adalah seperti berikut. 1. Menghadapi An. ludlowi tawar di kolam-kolam ikan, yaitu dengan menembus tanggul untuk mengeluarkan airnya dan merubah kolam ikan menjadi sawah; 2. Cara biologis, yaitu dengan memasukkan ikan tawes dan ikan kepala timah dalam kolam; 3. Memberantas An. aconitus, An. minimus, dan An. Macolatus (biasa ditemukan di tempat yang rendah, saluran air yang kurang terpelihara, dan persawahan) dilakukan cara pemeliharaan saluran air (saluran air masuk maupun pembuangan) secara baik, sehingga tebingnya terbebas dari tumbuh-tumbuhan; penanaman padi secara serentak di persawahan yang pengairannya tergantung dari satu saluran air yang sama; mengeringkan sawah yang tidak digarap dalam dua masa penanaman; 4. Khusus An. maculatus, digunakan cara biologis dengan menanam tepi aliran/anak sungai dengan tumbuh- tumbuhan yang rindang. Cara ini berguna untuk menutupi air dari cahaya dan sinar matahari (cara yang lebih murah dari pada ”subsoil drainage” dan ”hillpoot drainage”). SAMPAR/PES Pada Maret 1911, kasus sampar pertama ditemukan di daerah Malang. Penemuan ini memperkuat dugaan adanya penyakit sampar di Jawa Timur, yang ternyata benar. Penyakit sampar telah meluas di Kabupaten Malang, kemudian menjalar ke barat melalui Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Madiun. 7
  • 14. Saa itu rantai penularan antara tikus, pinjal, dan manusia masih Saat nm be berupa hipotesis. Dengan bukti yang cukup, diketah adanya etahui hu hubungan antara sampar tikus dan sampar manusi Untuk itu, nusia. pe pemberantasan difokuskan pada pemutusan jarak rak hu hubungan/kontak antara manusia dengan tikus. Pa tahun 1915, Dinas Pemberantasan Pes dibent untuk Pada bentuk me memutus kontak antara manusia dengan tikus. Dinas ini bertugas . Din me melakukan perbaikan perumahan dan pembinaan dalam an d me mengurus rumah tangga, hingga tidak ada lagi tempat tikus tem be bersarang. Sumber: http://www.arsipjatim.go.id Gambar 5. Laporan Triwulan Pertama Dinas Pemberantasan Pes, 1916 Di samping usaha perbaikan rumah, pemberian vaksinasi juga vak dil dilakukan. Awalnya, rakyat diberikan vaksin Haffkin Karena ffkine. ha hasilnya tidak memuaskan, pada vaksinasi berikutn digunakan kutnya vak Otten (mulai tahun 1934), yang ternyata dapat vaksin dap me menurunkan 20 % angka kematian dari angka semuemula. Da Daerah Temanggung, Tegal, dan Majalengka yang dianggap ng d seb sebagai ”sarang” terus diamati dan diawasi dengan cermat, gan seb sebagai upaya memberantas penyakit ini. 8
  • 15. FRAMBUSIA Di zaman penjajahan, penyak Frambusia (patek) dapat nyakit dikatakan sebagai penyakit ra kit rakyat, karena diderita oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Di tahun 1920, istilah ”pembe mberantasan” mulai digunakan. Pemberantasan ini dilakukan dengan memberi suntikan kan Neosalvarsan, sebagai pengo ngobatan penderita frambusia, yang ternyata berhasil memberi pepenyembuhan. Keberhasilan itu telah menar perhatian dan membuka mata narik rakyat, khususnya penderita frambusia. Untuk itu, meski harus rita membayar, mereka berkump di suatu tempat, yang akan umpul didatangi dokter sekali semininggu untuk memberi pengobatan. Upaya pemberantasan framb ambusia secara teratur mulai dilakukan pada tahun 1934, atas prakar dr. Kodiyat, seorang dokter akarsa Karesidenan Kediri. Di awal kemerdekaan, pembe mberantasan dilakukan dengan cara pemberian obat Penicillin bag penderita. Setelah itu, bagi pengobatan frambusia mulai menggunakan sistem ulai Treponematosis Control Progr rogramme Simplified (TCPS), yang secara bertahap telah menca ncakup seluruh wilayah tanah air. Meski belum merata, namun telah mencapai hasil sangat un memuaskan. Sumber: http://www www.rmaf.org.ph Gambar 6. dr. KodiyatKolera ar 9
  • 16. Penyakit Kolera mulai dikenal pada tahun 1821. Penyakit ini termasuk penyakit sangat akut. Namun sampai dengan tahun 1860, sifatnya yang menular atau tidak, masih diperdebatkan. Setiap kali kolera mewabah, maka vaksinansi massa dan penyuluhan higiene akan diadakan. Tahun 1911, vaksin kolera mulai dibuat oleh Nyland. Meski vaksin sudah diproduksi, sampai dengan tahun 1920, penyakit kolera tetap mewabah setiap tahun. Antara tahun 1920 – 1927 tidak ada laporan wabah. Wabah terakhir terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1927. TRACHOMA Antara tahun 1926 – 1928, dilakukan penyelidikan prevalensi trachoma. Hasilnya, ditemukan beberapa daerah terjangkit, yang menjadi sarang penyakit tersebut. Berdasarkan temuan tersebut, pada tahun 1928 mulai diadakan pemberantasan penyakit Trachoma di daerah Tegal. Di tahun 1932, tercatat 16 poliklinik mata di Kabupaten Tegal dan Pemalang. TUBERKULOSIS Penyakit Tuberkulosis telah lama dikenal dengan berbagai sebutan, seperti ”batuk darah”, ”batuk kering”, dan sebagainya. Bagi penderita tuberkulosis yang mampu, perawatan diberikan di tempat peristirahatan, yang dinamakan ”sanatorium”. Tempat peristirahatan ini terletak di daerah pegunungan, dengan anggapan iklim pegunungan berpengaruh baik bagi kesehatan penderita. Dari waktu ke waktu, banyak orang menganggap bahwa tuberkulosis bukan masalah penting bagi Indonesia, negeri yang bermandikan cahaya matahari dengan kehidupan alam terbuka. 10
  • 17. Ternyata kenyataan berkata lain. Tuberkulosis tetap menjadi rkata masalah. Untuk itu di tahun 1 un 1917, dibentuk suatu panitia khusus, yang bertugas menyelidiki jumlah penduduk pribumi yang idiki menderita penyakit tuberkulo dan paru-paru. rkulosis Sumber: http://www.qoop.nl Gambar 7. Lingkung sekitar Sanatorium Tosari kungan Sumber: http://www.stamps-auction.com Gambar 8. Villa Ju illa Juliana – Sanatorium Tosari 11
  • 18. Pada Oktober 1918, didirikan suatu badan swasta berbentuk yayasan, yang mendapat bantuan tenaga dan keuangan dari Pemerintah. Yayasan itu bernama ”Stichting der Centrale Vereeniging tot Bestrijding der Tuberculose” (SCVT). Rencananya, yayasan ini akan mendirikan sanatoria, mengusahakan perawatan penderita di rumah, dan higiene sekolah sebagai upaya pemberantasan penyakit ini. Sampai dengan tahun 1930, belum ada langkah sistematis sebagai upaya pemberantasan tuberkulosis. Kegiatan mulai terlihat ketika SCVT mulai banyak mendirikan poliklinik penyakit paru di kota-kota besar. Sistem penyebaran poliklinik (”Consultatie Bureau”) juga dilakukan sehingga mempermudah pencarian kontak penderita tuberkulosis, serta pengobatan difokuskan pada gejala (simtomatis) dan perbaikan gizi penderita. Sampai akhir penjajahan Belanda, telah tersebar poliklinik paru di 20 ibu kota karesidenan. HIGIENE DAN SANITASI Dalam perkembangannya, taraf pertama usaha higiene dan sanitasi adalah tertuju pada pemberantasan wabah, baru kemudian meluas pada pencegahan penyakit. Bertepatan dengan adanya wabah kolera, langkah pertama yang dilakukan adalah pembentukan badan “Higiene Commissie” (Panitia Higiene) pada tahun 1911 di Batavia. Badan ini telah melakukan beberapa hal, seperti pemberian vaksinasi massa secara besar-besaran, penyediaan air minum, serta penganjuran untuk memasak air atau membubuhi air dengan kaliumpermanganaat, yang telah disediakan dengan cuma-cuma. Usaha higiene saat zaman penjajahan Belanda telah dirintis oleh dr. W. Th. de Vogel, yang berpengalaman sebagai dokter di Kota Semarang. 12
  • 19. Saat menjabat sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Sipil pala (Hoofdinspecteur) di tahun 19 ia mengusulkan agar n 1916, pemerintah merubah organis Jawatan Kesehatan Sipil. Usul itu anisasi disampaikan atas dasar peng engalaman sebagai dokter. Menurut de Vogel, tugas pen pengobatan dan perawatan perorangan (penyelenggaraan rumah sak dan poliklinik) sebaiknya sakit dilimpahkan kepada prakarsa swasta dan badan semi arsa pemerintah, dengan atau tan subsidi. Dengan begitu, tanpa pemerintah bisa memberi pe ri perhatian lebih kepada usaha higiene, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Langkah nyata mulai dilakuka di tahun 1924, dengan kukan dibentuknya Dinas Higiene. Sebagai langkah pertama, dinas ini e. melakukan “pemberantasan cacing tambang” di wilayah Banten. san Sumber: www.historycooperative.org Gambar 9. Pendidikan keseh kesehatan bagi rakyat oleh matri higiene Upaya pemberantasan dititikititikberatkan pada pendidikan kesehatan bagi masyarakat, yat, yaitu dengan mendorong mereka untuk mendirikan kakus sedesederhana, serta menggunakannya. Upaya pemberantasan denga sistem higiene ini diprakarsai oleh engan dr. J. L. Hydrick dari Rockefell Foundation (tahun 1924 – 1939). feller Lambat laun, pemberantasan cacing tambang semakin asan berkembang, dan dikenal isti “medisch hygienische l istilah propaganda”. 13
  • 20. Pro Propaganda ini ditujukan tidak hanya untuk pembe mberantasan cac tambang, tetapi juga pemberantasan penyak perut cacing nyakit lain lainnya, dengan cara penyuluhan di berbagai sekola dan kolah pen pengobatan bagi anak sekolah yang menderita sakit. saki Sumber: www.historycooperative.org Gambar 10. Kecacingan pada anak, sebelum dan sesuda diobati esudah Tah 1933, suatu organisasi higiene mulai berope Tahun operasi dalam ben bentuk “Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten” Percontohan ten”. ini berlokasi di Purwokerto, dengan harapan kabup bupaten lain akan me mencontoh dan melakukan hal yang sama. Da Dalam kedudukannya, Dinas Higiene terpisah dari Dinas Kuratif. ari D Na Namun dalam pelaksanaannya, kerjasama erat mencakup men beb beberapa program tetap dilakukan keduanya, sepeeperti: 1. Tindakan kekarantinaan, seperti isolasi, observa desinfeksi, servasi, penyidikan epidemiologi, dan tindakan perlindu lindungan lainnya saat menghadapi wabah (penyakit yang termas dalam masuk ordonasi epidemic); 2. Tindakan preventif terhadap penyakit-penyakit rakyat, akit seperti membangun assainering/penyehatan terhadap n te malaria, pembuatan kakus terhadap penyakit cacing kit c tambang dan penyakit perut lainnya (termasuk pengamatan suk dan penyuluhan penggunaannya), pengawasan air minum asan (termasuk pengawasan terhadap perusahaan es, minuman, an e dan susu); 3. Mengadakan kursus dukun, sebagai upaya menghadapi men banyaknya kasus kematian bayi dan anak; 4. Pendidikan kesehatan bagi rakyat, termasuk pemberian k pe kursus untuk guru sekolah dan perkumpulan wanita. nw 14
  • 21. PEMBERANTASAN PENYAKIT ERA AWAL KEMERDEKAAN DAN DEMOKRASI TERPIMPIN (1945 – 1965) Era Demokrasi Terpimpin di Indonesia ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Dengan adanya dekrit tersebut, maka pada 10 Juli 1959, Kabinet Kerja Pertama dibentuk, dengan Kolonel Prof. Dr. Satrio sebagai Menteri Muda Kesehatan. Pada era ini, berbagai lembaga kesehatan, terutama di bidang pemberantasan penyakit, telah berdiri dan tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut, antara lain Lembaga Eijkman (Jakarta), Lembaga Pasteur (Bandung), Lembaga Pemberantasan Penyakit Malaria (Jakarta), Lembaga Pemberantasan Penyakit Kelamin (Surabaya), Lembaga Pemberantasan Penyakit Rakyat (Yogyakarta), Lembaga Pemberantasan Penyakit Pes (Bandung), serta Lembaga Pemberantasan Penyakit Mata (Semarang). Dengan adanya lembaga-lembaga tersebut, maka Departemen Kesehatan bertugas mengelolanya, termasuk mengelola sekolah dan kursus bidang kesehatan, jawatan perlengkapan, badan pengawas perusahaan farmasi (Bapphar), kedinasan, rumah sakit, serta balai pengobatan. 15
  • 22. Sumber: http://www.eijkman.go.id Gambar 11. Gedung Lembaga Eijkman, Jakarta karta Pri Prinsip kebijakan kesehatan pada masa Demokrasi Terpimpin rasi dit ditujukan pada beberapa usaha, yaitu: 1. Memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi segenap peraturan-peraturan kesehatan; 2. Memperbanyak pendidikan tenaga kesehatan, baik dokter tan, maupun tenaga paramedik; 3. Menyelenggarakan pembaharuan kebijaksanaa anaan perumahsakitan, balai pengobatan, dan sejuml BKIA; umlah 4. Menentukan kebijaksanaan mengenai kefarma rmasian, menggiatkan penggunaan obat-obatan asli serta pendirian sert pabrik-pabrik obat nasional, seperti ABDI, PAPH PHROS; 5. Pembasmian malaria dengan membentuk KOPE OPEM; 6. Mengintensifkan pemberantasan penyakit Frambusia; Fram 7. Menunjang penyelesaian Trikora dan Dwikora dengan ora d menyediakan tenaga medik, paramedik, dan peralatan; n pe 8. Perbaikan gizi masyarakat melalui Revolusi Makanan Rakyat Mak dan Operasi Komando Buta Gizi; 9. Penyelenggaraan Rombongan Kesehatan Indon donesia (RKI) untuk pemeliharaan kesehatan jemaah haji; 10. Pembinaan usaha-usaha kesehatan swasta; 11. Pembentukan Badan Pelindung Susila Kedokter kteran; 12. Perkembangan Kesehatan Olah Raga, berhubun dengan ubung akan adanya Asian Games dan Game of the New Emerging Force (GANEFO). 16
  • 23. PERIODE DITJEN KRIDA NIRMALA – DITJEN P4M Pada tahun 1965, organisasi Departemen Kesehatan mengalami perubahan mendasar, yaitu dengan dibentuknya beberapa direktorat jenderal (Ditjen) sebagai unit pelaksana teknis (UPT), yang sebelumnya tidak ada dalam struktur organisasi Departemen Kesehatan. Untuk itu, Departemen Kesehatan membentuk Direktorat Jenderal Krida Nirmala, yang artinya “upaya atau kerja untuk menghilangkan penyakit”, sebagai UPT bidang penyakit menular. Sebagai peleburan dari KOPEM dengan Bagian Pencegahan Penyakit, maka Ditjen Krida Nirmala yang saat itu dipimpin oleh dr. Marsaid, mempunyai beban kerja di bidang penyakit beserta permasalahannya, antara lain penyakit malaria, cacar, tuberkulosis, kusta, kolera, diare, frambusia, dan lainnya. Selain itu, permasalahan kesehatan karantina (laut, udara, dan perbatasan darat) serta kesehatan transmigrasi juga menjadi tanggung jawabnya. Seiring dengan waktu, Menteri Kesehatan kemudian mengangkat dr. R.E.M. Suling menjadi Direktur Jenderal Krida Nirmala, menggantikan dr. Marsaid, walau hanya dalam jangka waktu singkat. Setelah itu, Prof. Dr. J. Sulianti Saroso diangkat untuk menduduki jabatan tersebut. Bersamaan dengan itu, Direktorat Jenderal Krida Nirmala berganti nama menjadi Direktorat Jenderal Pencegahan, Pembasmian, dan Pemberantasan Penyakit Menular (Ditjen P4M). SAMPAR/PES Pada akhir tahun 1910, penyakit sampar/pes mulai menyebar di Indonesia. Penyakit ini, selama kurang lebih 40 tahun, telah menyerang sekitar 240 ribu orang di Pulau Jawa. Penyakit pes menyebar di wilayah Nusantara melalui alat angkutan laut (kapal). Selain mengangkut beras, ternyata di atas kapal juga berkeliaran tikus-tikus yang terjangkit penyakit pes. 17
  • 24. Penyakit ini pertama kali berjangkit di Pelabuhan Surabaya, kemudian menyebar ke daerah Pasuruan, Malang, Kediri, Madiun, Surakarta, Boyolali, Magelang, dan Yogyakarta. Pada tahun 1919, penyakit ini menyebar ke wilayah Jawa Tengah melalui Pelabuhan Semarang. Di tahun 1922, penyakit ini masuk ke Bumiayu melalui Pelabuhan Tegal. Dua tahun kemudian, penyakit ini menyebar ke wilayah Jawa Barat melalui Pelabuhan Cirebon. Di tahun 1927, penyakit pes mewabah di daerah Pasuruan, dengan jumlah korban yang cukup besar. Pemberantasan penyakit pes menggunakan racun serangga berupa ”DDT Spraying” mulai dilakukan tahun 1952 dan membawa hasil yang sangat memuaskan. Di akhir tahun 1960 dan di tahun 1961 tidak lagi dilaporkan adanya kasus pes. KOLERA Pada tahun 1928, dilaporkan bahwa Indonesia telah berhasil memberantas penyakit kolera. Meski dinyatakan ”berhasil”, namun ternyata masih tertinggal satu jenis Vibrio Cholerae di Indonesia, yakni Vibrio Eltor. Dengan demikian, maka di awal kemerdekaan Republik Indonesia, penyakit ini kembali berjangkit. Untuk mengatasinya, berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Indoneisa, antara lain dengan pemberian vaksin TCD (typhus, cholerae, desentry) kepada anggota Angkatan Perang dan anak- anak sekolah, sebagai upaya pengebalan di tahun 1950. Penelitian terhadap penyakit kolera terus dilakukan dari waktu ke waktu. Hasilnya, pada tahun 1957 ditemukan Vibrio Eltor di Makassar. Penemuan oleh Tanamal ini terjadi saat penyakit kolera sedang kembali berjangkit di Makassar dan Jakarta, yang dikenal dengan peristiwa Enteries Choleroformis. Di tahun 1961, kolera juga mewabah di Semarang, hingga menimbulkan kematian. Untuk itu, di tahun 1962, cholera eltor masuk dalam UU Nomor 6 tahun 1962 tentang Wabah. Artinya, penyakit ini harus segera diberantas, jika mewabah. 18
  • 25. Dengan kemajuan teknologi kesehatan, pemberian kekebalan dilakukan dengan menggunakan vaksinasi Chotipa (cholera, typhus, dan parathypus), yang dikenal dengan istilah pemberian ”Ring Vaksinasi”. CACAR Penyakit Cacar tergolong penyakit karantina. Wabah cacar kembali melanda Indonesia di tahun 1948, setelah tidak berjangkit selama 25 tahun terakhir. Penyakit ini bermula dari Singapura/Malaka, menyebar ke Sumatera dan pulau lainnya di Indonesia, seperti Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara, melalui lalu lintas darat dan laut. Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 1 Gambar 12. Saridi, salah seorang penderita cacar Untuk mencegah penyebaran penyakit cacar, maka pada tahun 1951 pencacaran massal dilakukan di Pulau Jawa, Sumatera, dan pulau-pulau lain di Indonesia. Upaya ini (Smallpox Eradication Programme) dikembangkan sejalan dengan kebijakan global dunia, melalui WHO, untuk membasmi penyakit cacar. Pembasmian dimungkinkan, karena penyakit cacar tidak mempunyai vektor penyakit. Selain itu, vaksin cacar yang sangat efektif juga telah dihasilkan oleh Bio Farma. 19
  • 26. Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 1 Gambar 14. Pencacaran umum di Pasar Jatisrono, 20 November 1960 Sebelum Perang Dunia II, pencacaran dilakukan dengan pemberian vaksin cacar kering serta vaksin cacar basah. Namun setelah perang berakhir, pencacaran tidak lagi menggunakan vaksin cacar basah, yang digunakan hanya vksin kering saja. Untuk memenuhi kebutuhan vaksin kering, Prof. Dr. Sardjito membuat vaksin kering di sebuah laboratorium yang berada di Klaten, kemudian membagikannya ke sejumlah daerah di Indonesia. Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 2 Gambar 13. Prof. Dr. Sardjito Dengan ditemukannya vaksin cacar, maka pada tahun 1972, Pemerintah Indonesia berhasil membasmi penyakit tersebut. Dengan keberhasilan itu, di tahun 1974, Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO. 20
  • 27. TUBERKULOSIS Penyakit Tuberkulosis di Indonesia termasuk salah satu penyakit rakyat yang banyak menelan korban. Upaya pemberantasan penyakit Tuberkulosis pada jaman penjajahan Belanda telah dilakukan oleh Stichting Centrale Vereniging voor de Tuberculose Bestrijding (SCVT) di tahun 1918, dengan mendirikan lima sanatorium dan 20 biro konsultasi. Aktivitas SCVT telah diambil alih oleh Pemerintah Indonesia sejak jaman Pemerintahan Jepang. SCVT ini kemudian dijadikan sebagai Yayasan Perkumpulan Pusat Pemberantasan Penyakit Paru-Paru (Yayasan P6), bertempat di Jakarta. Yayasan sejenis kemudian didirikan di beberapa kota di Jawa, seperti Jember, Semarang, dan Cirebon. Sumber: http://www.general-anaesthesia.com Gambar 15. Robert Koch, penemu basil tuberkulosis Pada era 1950, diketahui adanya vaksin yang dapat memberikan kekebalan tubuh terhadap kuman penyakit penyebab tuberkolusis. Vaksin tersebut adalah vaksin BCG. Dengan adanya vaksin itu, pada Oktober 1952, Pemerintah Indonesia, WHO, dan UNICEF menandatangani persetujuan untuk memulai program percontohan dan latihan pemberantasan penyakit tuberkulosis. 21
  • 28. Pada Juli 1953, diadakan konferensi pertama pemberantasan penyakit paru-paru. Rekomendasi dari konferensi ini dipergunakan sebagai sebagai dasar upaya pemberantasan penyakit tuberkolosis paru-paru, dengan vaksinasi BCG sebagai salah satu upaya preventif yang penting. MALARIA Malaria dikenal sebagai penyakit yang berjangkit secara endemik di daerah tropis. Penyakit ini merupakan penyakit rakyat yang paling banyak penderitanya dan berjangkit di seluruh wilayah Indonesia. Sebelum Perang Dunia II, usaha pemberantasan Malaria dilakukan dengan sistem pemberantasan sarang nyamuk, dengan membersihkan genangan air atau menyemprot air dengan minyak tanah. Seusai Perang Dunia II, ditemukan obat DDT yang dapat digunakan sebagai pembunuh serangga (insektisida dengan sistem penyemprotan rumah-rumah). Pemberantasan malaria dilakukan dengan dua upaya, yaitu preventif dengan pengendalian vektor penyakit (nyamuk) dan pengobatan penderita sebagai upaya kuratif, dan sampai saat ini untuk memberantas penyakit malaria belum diketemukan vaksinnya, sehingga penyakit ini menjadi salah satu penyakit menular yang sulit diberantas. Sumber: BukuSejarahKesehatan Nasional Indonesia Jilid 2 Gambar 16. Pasukan Penyemprot DDT, 12 November 1960 22
  • 29. Pada era 1950, Pemerintah In ah Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Amerika, melalui USAID, mencanangkan Komando lalui Basmi Malaria (KOPEM). KOP KOPEM merupakan suatu ”task force” Departemen Kesehatan, deng tugas khusus membasmi dengan penyakit malaria. Pada Januari 1959, Pemerinta Indonesia bersama WHO serta rintah USAID menandatangani Perseersetujuan Pembasmian Malaria. Tujuannya, agar penyakit ma malaria berhasil terbasmi dari wilayah Indonesia dalam tahun 1970 Pemberantasan ditandai dengan 970. dilakukannya penyemprotan DDT pertama oleh Presiden tan Soekarno pada 12 November 1959, di Daerah Istimewa ber Yogyakarta. Kegiatan pembas basmian ini, meliputi: 1. Penyemprotan rumah di seluruh Jawa, Bali, dan Lampung, h selama tahap attack; 2. Penemuan penderita sec secara aktif dan pasif serta pengobatan radikal terhadap yang po g positif pada bagian akhir tahap attack dan tahap konsolidasi; 3. Penyelidikan entomologi logi; 4. Penataran tenaga. Dengan demikian, 12 Novem vember ditetapkan sebagai HARI KESEHATAN NASIONAL, yang hingga kini tetap diperingati setiap tahun. Sumber: Pembangunan Kesehatan Edisi 1992 unan Gambar 17. Preside RI pertama, Ir. Soekarno, esiden melakukan penyemprotan DDT sebagai upaya pemberantasan malaria di Desa Tirtomartani, Yogyakarta, 12 November 1959. ni, 23
  • 30. FRAMBUSIA FR Fr Frambusia merupakan penyakit rakyat yang erat kaitannya rat k de dengan kebersihan perorangan (higiene dan sanita anitasi). Se Sebelum Perang Dunia II, upaya pemberantasan penyakit an p fr frambusia telah dilakukan dengan cara pemberian suntikan rian neosalvarsan. Upaya yang dilakukan oleh dr. Kod ne odiyat telah be berhasil menurunkan tingkat infeksi frambusia hingga kurang hin da 1%. dari S Setelah Perang Dunia II berakhir, pemberantasan penyakit san p fr frambusia kembali dilanjutkan. Keseriusan membe mberantas fr frambusia ditandai dengan pemberian bantuan obat baru n ob ”P ”Penicilin Antibiotik” oleh WHO dan UNICEF. U Upaya pemberantasan frambusia telah dikenal luas dengan l lua is istilah ”Treponematosis Control Program”. Su Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 2 Gambar 18. Penyematan Bintang Jasa kepada dr. Kodiyat oleh r. Ko Menteri Kesehatan Mayjen dr. Satrio di Istana Yogyakarta, 28 Desember 1964 ta, 2 24
  • 31. KUSTA Antara tahun 1950 – 1960, sekitar 80 ribu penduduk Indonesia diperkirakan menderita penyakit kusta. Dari jumlah tersebut, hanya lima ribu orang yang di rawat di rumah saki kusta, sedangkan sisanya masih berada di tengah-tengah masyarakat. Meski penyakit Kusta tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini cukup menimbulkan dampak sosial, karena menimbulkan leprofobia di kalangan masyarakat. Untuk mengatasinya, maka didirikan rumah sakit khusus kusta, sebagai upaya pemberatasan dengan pola perawatan penderita. Saat itu telah terdapat 52 rumah sakit kusta (Leprosaria), termasuk kampung lepra, di seluruh Indonesia, dengan kapasitas sekitar lima ribu tempat tidur, yang dibina oleh pemerintah dan Bala Keselamatan (dengan subsidi pemerintah). Dalam usaha pemberantasan kusta, Lembaga Kusta Kementerian Kesehatan melakukan penelitian, pendidikan, usaha koordinasi, serta mencari cara pemberantasan yang tepat. Lembaga tersebut meliputi laboratorium, klinik, poliklinik pusat dan poliklinik pembantu, Leproseri Tangerang dan Lenteng Agung, serta Pusat Epidemiologi di Desa Wates Bekasi. Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 2 Gambar 18. Pemeriksaan penderita kusta di RS Kusta Sitanala, Tangerang 25
  • 32. Saat itu, Jawa Tengah merupakan satu-satunya provinsi yang telah memiliki Dinas Pemberantasan Kusta, dengan dua orang dokter di Semarang. Pelatihan juga diberikan kepada para mantri lepra, yang kemudian ditugaskan di Jakarta, Semarang, Lamongan, Madura, Gorontalo, dan daerah lainnya. Mereka bertugas mengobati para penderita dengan menggunakan obat-obatan sulphon, antara lain promin, diazone, sulphetrone, diamino-diphenyl-sulphone (DDS). Selain menggunakan obat-obatan, Leproseri Tangerang (sekarang Pusat Rahabilitasi Kusta Sitanala) juga melakukan usaha pemisahan bayi baru lahir dari orang tuanya yang menderita Kusta. Observasi dilakukan sekitar lima tahun, kemudian jika lepromin anak itu negatif akan divaksinasi dengan vaksin BCG sampai reaksi lepromin menjadi positif. FILARIASIS Filariasis, yang juga disebut penyakit kaki gajah merupakan penyakit rakyat yang erat kaitannya dengan kebersihan perorangan, higiene, serta sanitasi lingkungan. Di Indonesia, penyebab panyakit ini adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, sejenis cacing (mikrofilaria) yang menyerang saluran kelenjar limpa dan funiculus spermaticus, sehingga penderita mengalami kecacatan di bagian anggota tubuh, seperti kaki. Penyakit ini menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan penularan melalui perantaraan nyamuk, terutama species culex dan spesies mansonia. POLIOMYELITIS Poliomyelitis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus polio. Penyakit ini penyebab cacat tubuh pada anak, sehingga mengalami kelumpuhan. 26
  • 33. PEMBERANTASAN PENYAKIT ERA PEMBANGUNAN NASIONAL (1966 – 1975) PERIODE DITJEN P3M Berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular (Ditjen P3M) mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas pokok Departemen Kesehatan di Bidang Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Pemberantasan Penyakit Menular Langsung, Epidemiologi dan Imunisasi, serta Higiene Sanitasi. Untuk menyelenggarakan tugasnya, Ditjen P3M yang saat itu dipimpin oleh dr. Adhyatma, MPH, mempunyai fungsi: a. Perumusan kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan di bidang pemberantasan penyakit menular dan higiene Sanitasi sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Pelaksanaan pemberantasan penyakit menular dan Higiene Sanitasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. Pemberantasan penyakit menular dan higiene sanitasi, sesuai pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas pokok Ditjen P3M dalam kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri; d. Kesehatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 27
  • 34. Pada era Pembangunan Nasional (Pelita), pemberantasan penyakit menular ditujukan untuk mematahkan rantai penularan. Untuk itu, cara yang dilakukan adalah dengan menghilangkan sumber atau pembawa penyakit, mencegah adanya hubungan dengan penyebab penyakit, serta memberi kekebalan kepada penduduk. Pemberantasan penyakit pada Pelita I ditentukan atas dasar beberapa pertimbangan, sebagai berikut. 1. Perjanjian luar negeri, seperti International Health Regulation (IHR), yang dituangkan dalam Undang-undang Karantina (cacar, kolera, dan pes); 2. Penyakit yang menjadi masalah kesehatan rakyat dan telah diketahui cara efektif pemberantasannya, seperti malaria, tuberkulosis, kusta, frambusia, dan penyakit kelamin; 3. Penyakit lain yang timbul sebagai wabah dan diperlukan pengambilan tindakan, seperti penyakit antraks, demam berdarah, serta penyakit lain yang memerlukan survei, studi, dan percobaan pemberantasan untuk menyiapkan cara penanggulangannya (Filariasis, Schistosomiasis, dan Cacing tambang. Upaya pemberantasan penyakit di daerah bukanlah suatu perkara mudah, terkait dengan bentuk dan letak wilayah Indonesia. Untuk itu, berbagai permasalahan yang timbul di daerah harus diselesaikan secara tepat dan cepat, dengan melakukan: 1. Penelitian keadaan penyakit dan pola penyebarannya (epidemiological surveilance); 2. Pembangunan unit pengamatan (surveillance unit); 3. Pemeriksaan laboratorium; 4. Kekarantinaan dengan cara meningkatkan pencegahan masuk/keluarnya penyakit menular ke/dari luar negeri; 5. Higiene dan Sanitasi, dengan cara perbaikan persediaan air minum pedesaan dalam usaha pemberantasan/pencegahan penyakit, seperti kolera); 6. Mendidik masyarakat untuk membiasakan diri untuk hidup higienis. 28
  • 35. MALARIA Kebijakan pokok pemberantasan malaria pada era ini adalah melaksanakan pemberantasan agar malaria tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Untuk itu, penyemprotan dilakukan terhadap 8,6 juta rumah di sumber penularan, penemuan penderita secara pasif dan aktif, pengobatan 32,6 juta penderita, serta melatih puluhan ribu tenaga pemberantasan malaria. DEMAM BERDARAH Usaha pemberantasan penyakit demam berdarah meliputi 3 bidang, yaitu surveilance, pengobatan penderita, dan pemberantasan. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes Gambar 19. Nyamuk Aedes aegypti Di Bidang Surveilance, 12 provinsi melaporkan adanya penderita dengue haemorhagic fever (DHF). Dilaporkan juga adanya wabah di Provinsi Aceh, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Riau, dan Jawa Tengah. Laporan specimen selalu disampaikan oleh Laboratorium Pusat dan Bio Farma secara teratur. Untuk itu, survei vektor dilakukan terhadap 20 kota di 12 provinsi. Sedangkan di bidang pemberantasan, dilakukan kegiatan penyemprotan menggunakan Malathion, percobaan aplikasi abate terhadap 115 ribu rumah, dan peniadaan sarang nyamuk melalui penyuluhan kesehatan terhadap 2,4 juta rumah. 29
  • 36. FILARIASIS DAN SCHISTOSOMIASIS Dalam rangka pemberantasan penyakit Filariasis dan Schistosomiasis telah dilakukan mirofilaria, survei di 10 kabupaten di Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Timur, serta pemberantasan penyebar penyakit. Untuk meningkatkan pemberantasan penyakit ini, pada 3 Februari 1975 diadakan Penataran Tenaga Pimpinan/Pelaksana Pemberantasan Filariasis di Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Penataran diikuti perwakilan dari tiga provinsi, yaitu Irian Jaya yang diwakili oleh Dokabu Sorong dan Dokabu Merauke, Sulawesi Utara yang diwakili oleh Kepala Unit Surveilance dan Staf Dinas Kesehatan Provinsi, serta Nusa Tenggara Timur yang dihadiri oleh semua Dokabu dan seorang dokter puskesmas. RABIES Pemberantasan penyakit rabies telah dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan pemberian vaksin anti rabies kepada hewan, perbaikan sistem pelaporan dan pencatatan, serta peningkatan kesadaran dan kerjasama yang baik dari para petugas. Cara tersebut membuahkan hasil yang cukup baik, dimana dilaporkan adanya penurunan jumlah orang yang digigit hewan dan permintaan pengobatan/vaksinasi. TUBERKULOSIS Pada Pelita I, fokus pemberantasan penyakit paru-paru adalah dengan menurunkan tuberkolusis incidente. Pemberantasan dilakukan dengan cara pemberian suntikan BCG kepada semua anak umur 0–14 tahun. Saat itu, vaksinasi mencakup sekitar 38 juta anak Indonesia. Daerah Jawa dan Bali berhasil mencapai 80% dari target, sedangkan daerah lainnya mencapai sekitar 51%. 30
  • 37. PES Pengamatan terhadap penya pes pada era ini tidak nyakit menemukan gejala-gejala yan mencurigakan akan timbulnya a yang kasus/wabah. KOLERA Guna memberantas penyakit kolera, pemerintah akit menitikberatkan usaha terseb pada pengamatan dan rsebut pengobatan dini secara tepat Hasilnya, case fatality rate (CFR) epat. sebesar 35,8% (tahun 1969– –1970) berhasil diturunkan menjadi 5,6 % di tahun 1973 – 1974. 74. FRAMBUSIA Treponematis Control Program Sejak tahun 1951, sistem Trep Simplified (TCPS) guna memb emberantas penyakit frambusia telah mencapai banyak keberhasila asilan. Sampai akhir Pelita I, pemeri meriksaan telah dilakukan terhadap sekitar 219 juta orang. Progra ini sampai akhir Pelita I telah ogram meliputi TCPS konsolidasi, TC maintenance, dan TCPS integrasi i, TCPS puskesmas, dengan jumlah ke ah keseluruhan sebanyak 3.016 buah. Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL Gambar 20. Gejala fa awal penyakitfFrambusia ala fase Benjolan di kulit (papula)berb )berbentuk seperti buah arbei, tidak sakit, permukaan basah tanpa nanah kaan 31
  • 38. KU KUSTA Pad Pelita I, daerah pemberantasan penyakit kusta telah Pada me mencakup 83% dari jumlah kabupaten di Indonesia Kegiatan esia. pen penemuan penderita sampai akhir Pelita I mencapa 80 % dari capai tar target, yaitu sebesar 40.245 penderita dari target 50 ribu et 5 pen penderita. Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL Gambar 21. Kelainan kulit pada penderita kusta, berupa bercak berwarna a ber keputihan atau kemerahan, mati rasa, tidak gatal, dan tidak sakit Keb Keberhasilan program pemberantasan penyakit kusta ini telah t kus me mengalirkan bantuan hibah dari Sasakawa Foundat dation, Jepang. Ban Bantuan hibah ini sangat berguna untuk pengemba mbangan rumah sak kusta di Tangerang dan Sulawesi Selatan. sakit CA CACAR Da Dalam usaha pemberantasan penyakit cacar, Peme emerintah Ind Indonesia mengambil kebijakan peningkatan penga ngamatan dan pem pemberian kekebalan penyakit cacar kepada 1/3 penduduk 3 pe Ind Indonesia. Pem Pemerintah juga mengambil kebijakan lain dengan ikut serta gan dal dalam Global Smallpox Eradication Program (SEP) pada tahun P) p 196 1967. 32
  • 39. Sejak keikutsertaan dalam SEP, Indonesia mulai mengalami banyak kemajuan dalam pemberantasan penyakit cacar, hingga dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada 25 April 1974. PENYAKIT KELAMIN Upaya pemberantasan penyakit kelamin telah dilakukan di 139 kabupaten pada tahun 1973 – 1974. Hasilnya, ditemukan 100 ribu penderita. Untuk itu, segera dilakukan pencegahan terhadap 20 ribu sumber penularan. Kebijakan yang dilakukan pada Pelita I guna memberantas penyakit ini adalah sebagai berikut. 1. melaksanakan penemuan penderita; 2. melanjutkan penyuntikan seminggu sekali; 3. meningkatkan pendidikan kepada masyarakat tentang penyakit kelamin; 4. mengembangkan cara pemberantasan gonorrohoea. Sampai akhir Pelita I, pemberantasan penyakit kelamin telah dilaksanakan di 81 kabupaten. EPIDEMIOLOGI DAN KARANTINA Dalam usaha pemberantasan penyakit, maka dilakukan pengamatan epidemiologi, imunisasi, serta karantina kesehatan pelabuhan/haji. Beberapa hal yang dilakukan, antara lain: 1. Penyempurnaan (pembaruan dan penyederhanaan) dalam sistem pelaporan pada Mei 1975; 2. Pemberian vaksinasi cacar dan BCG kepada sekitar 8 juta anak, sebagai usaha pemberantasan penyakit cacar dan Tuberkulosis paru-paru; 3. Penyempurnaan tiga kantor Dinas Kesehatan Pelabuhan (DKP), yaitu dengan penyediaan alat-alat medik, higiene dan sanitasi di delapan DKP, serta peningkatan usaha karantina haji. 33
  • 40. HIGIENE DAN SANITASI Sebagai usaha higiene dan sanitasi, maka dilakukan beberapa hal, sebagai berikut. 1. Pencegahan pencemaran lingkungan di 10 kotamadya dari 10 provinsi; 2. Pengangkatan 85 tenaga penilik kesehatan dan 245 sanitarian; 3. Lokakarya Pengurusan dan Pemeliharaan Sarana Air Minum Pedesaan, yang diikuti 30 orang peserta dari 13 provinsi. PERIODE DITJEN PPM & PLP Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP) mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas pokok Departemen Kesehatan di bidang pemberantasan penyakit bersumber binatang, pemberantasan penyakit menular langsung, epidemiologi dan imunisasi, serta penyehatan lingkungan pemukiman dan penyehatan air. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Ditjen PPM & PLP mempunyai fungsi: a. Perumusan kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan di bidang pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan pemukiman sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Pelaksanaan pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan pemukiman berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. Pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas pokok Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 34
  • 41. INPRES SAMIJAGA Guna mempercepat akses masyarakat akan kebutuhan sanitasi dasar, seperti air minum dan jamban keluarga yang memenuhi persyaratan kesehatan, maka mulai tahun 1974 pemerintah menetapkan kebijakan Inpres Samijaga (sarana air minum dan jamban keluarga). Inpres ini memberikan bantuan pembangunan sarana air bersih dan jamban keluarga bagi masyarakat serta penempatan tenaga kesehatan, seperti tenaga dokter dan sanitarian di puskesmas guna meningkatkan upaya penyuluhan kesehatan masyarakat, khususnya di bidang kesehatan lingkungan. Di samping pembangunan saranan sanitasi tersebut, Inpres Samijaga juga memberikan bantuan pembangunan sarana kesehatan, seperti gedung puskesmas dan puskesmas keliling, dengan segala fasilitas lainnya yang berhubungan dengan kegiatan pembangunan sarana air minum dan jamban keluarga. P4D Pemberantasan penyakit diare di Indonesia dimulai sejak Repelita III (1981), sebagai kelanjutan kegiatan penanggulangan penyakit kolera dan gastroenteritis (1978). Penyakit diare/kolera merupakan penyakit yang banyak diderita masyarakat Indonesia. Penyakit ini erat kaitannya dengan perilaku hidup masyarakat. Di samping tingginya angka kesakitan, penyakit ini juga sering menimbulkan KLB yang disertai dengan kematian. Untuk memberantas penyakit itu, pemerintah mengembangkan Program Pemberantasan Penyakit Diare (P4D) di seluruh puskesmas, dengan tujuan memperluas cakupan pelayanan penderita, terutama pelayanan melalui posyandu, sebagai upaya tatalaksana penderita diare di sarana kesehatan dan masyarakat. 35
  • 42. Tatalaksana penderita menjadi efektif setelah dikembangkan upaya rehidrasi oral dengan menggunakan oralit (sesuai dengan anjuran WHO tahun 1973) dan cairan rumah tangga sebagai pertolongan pertama. Dengan dilaksanakannya tatalaksana tersebut dengan cepat dan tepat, angka kematian akibat diare dapat diturunkan, terutama saat terjadi KLB. PENGEMBANGAN PROGRAM IMUNISASI Pengembangan Program Imunisasi (PPI) dimulai pada era tahun 70-an. Program ini bertujuan mempercepat pencapaian sasaran program imunisasi guna mencegah penyebaran penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Awalnya, program ini baru mencakup pemberian vaksinasi BCG. Seiring dengan waktu, selanjutnya program diperluas terhadap vaksinasi dasar, seperti DPT, polio, TT, dan campak. ERADIKSI POLIOMYELITIS Poliomyelitis merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan kecacatan bagian tubuh, seperti kaki, sehingga penderita mengalami kelumpuhan. Pada tahun 1949–1951, penyakit Poliomyelitis hampir menjadi wabah di Jakarta. Kemudian di tahun 1954, penyakit ini mewabah di Bandung, namun tidak berlangsung lama. Pada era tahun 1980, pemerintah mengembangkan Program Imunisasi yang diprioritaskan bagi bayi dan anak balita. Melalui gerakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) diharapkan penyakit ini tidak ditemukan lagi di wilayah Indonesia. Namun sejalan dengan kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi, pada tahun 2005 penyakit ini kembali ditemukan di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Berdasarkan pengalaman tersebut, di tahun 1980, Pemerintah Indonesia mulai mengembangkan Program Imunisasi (PPI) yang diprioritaskan bagi bayi dan anak balita. 36
  • 43. Untuk mensukseskan program ini, Pemerintah menjadikan program ini sebagai gerakan nasional, yang dikenal dengan Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Dengan gerakan nasional ini, diharapkan penyakit poliomylities dapat diberantas. Namun pada tahun 2005, penyakit ini ternyata muncul kembali di Sukabumi, Jawa Barat, yang diperkirakan berasal dari Afrika. DEMAM BERDARAH DENGUE Pada tahun 1968, penyakit Demam Berdarah Dengue (dengue haemorraghic fever) mulai berjangkit di Indonesia. Awalnya, penyakit tersebut berjangkit di Surabaya, kemudian menyebar ke berbagai wilayah, seperti Semarang, Jakarta, Palembang. menimbulkan wabah. Sampai saat ini seluruh wilayah di Indonesia telah terjangkit penyakit ini, dan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue serta disebarkan dengan perantaraan nyamuk aedes aegypti ini sulit diberantas karena terkait erat dengan perilaku masyarakat dan kesehatan lingkungan. FILARIASIS Penyakit Filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit rakyat yang erat kaitannya dengan kebersihan perorangan, higiene, serta sanitasi lingkungan. Di Indonesia, Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi dikenal sebagai penyebab panyakit ini, dengan penyebaran hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pemberantasan filarisis di Indonesia menggunakan obat Diethyl Carbamazize Citrae (DEC), yang sangat efektif dalam membunuh microfilaria maupun macrofilaria. Pengobatan massal dengan dosis standar, yang dilakukan di sekitar Bendungan Gumbasa (Sulawesi Tengah) dan Banjar (Kalimantan Selatan), merupakan salah satu metode yang digunakan. 37
  • 44. Me Metode lainnya adalah pengobatan dosis rendah di h diikuti dosis sta standar, yang dilakukan di Kalimantan Selatan, Flores Barat, dan Flor Kab Kabupaten Batang Hari (Jambi). Ternyata, pengoba obatan ini sangat ber berhasil. Ber Berdasarkan pengalaman, pengamatan, serta pene enelitian, maka dip diputuskan penggunaan DEC dosis rendah semingg sekali inggu sel selama 40 minggu, sebagai program pemberantasa filariasis. tasan Sumber:Koleksi Ditjen PP & PL Gam Gambar 22. SC SCHISTOSOMIASIS Sch Schistosomiasis adalah penyakit parasitik akibat infeksi cacing t inf Sch Schistosoma, dengan gejala klinis awal gatal-gatal saat serkaria tal s ma masuk ke dalam kulit. Ter Terdapat empat spesies cacing Schistosoma yang menjadi parasit ng m pad manusia, yaitu Schistosoma haematobium, Schistosoma pada , Sch ma mansonni, Schistosoma japonicum, Schistosoma mekongi. a me Pen Penyelidikan epidemiologi Schistosomiasis dilakuka kukan ber berdasarkan beberapa kriteria, yaitu berdasarkan jenis an je pen penyebaran schistosomiasis di dunia, manivestasi klinis, dampak asi k sos ekonomi, dan pemberantasan. sosio Di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia, Schistomiasis merupakan sis m ma masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar dan ar d me memerlukan usaha yang kuat untuk memberantas hingga tuntas. tas Di dunia, penderita penyakit ini mencapai 200 juta orang, uta sed sedangkan yang terancam penyakit ini mencapai 600 juta ai 60 pen penduduk (population at risk). 38
  • 45. PEMBERANTASAN PENYAKIT ERA REFORMASI (2000 – 2007) PERIODE DITJEN PPM & PLP – DITJEN PP & PL Seiring dengan perkembangan jaman, semakin berkembang pula berbagai jenis penyakit di tengah masyarakat, baik penyakit menular maupun tidak menular. Berbagai penyakit baru yang dikenal dengan istilah New-emerging Diseases pun turut berkembang, seperti penyakit Severe Accute Respitory Syndrome (SARS), Avian Influenza (flu burung), Meningitis Meningokokus, serta penyakit zoonosis lain (Hanta virus, Nipah Virus). Menyadari perkembangan tersebut, maka dibutuhkan pemantauan dan cara pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan yang tepat. Untuk itu diadakan perubahan nama Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP) menjadi Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL). Ditjen PP & PL mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Untuk menjalankan tugas dan fungsi secara maksimal, yang mencakup seluruh daerah di Indonesia, Ditjen PP & PL dibantu oleh tiga unit pelaksana teknis (UPT), yaitu Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKLPPM), serta Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso (RSPI-SS). 39
  • 46. KANTOR KESEHATAN PELABUHAN Sampai tahun 1962 urusan kekarantinaan dilakukan berdasarkan Ordonansi Karantina. Dengan berkembangnya zaman, urusan kekarantinaan dilaksanakan dalam dinas Kesehatan Pelabuhan, baik laut maupun udara, sesuai dengan International Sanitary Regulation dari WHO. Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) adalah suatu unit pelaksana teknis (UPT) Ditjen PP & PL, dibidang pemberantasan dan pencegahan penyakit menular. KKP mempunyai tugas melaksanakan pencegahan masuk dan keluarnya penyakit karantina dan penyakit menular potensial wabah, kekarantinaan, pelayanan kesehatan terbatas di wilayah kerja pelabuhan laut/udara dan lintas batas, serta pengendalian dampak kesehatan lingkungan. BTKLPPM Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKLPPM) merupakan salah satu UPT di lingkungan Ditjen PP & PL, yang bergerak di Bidang Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular. Diberlakukannya “otonomi daerah” dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka kesehatan menjadi “urusan” yang wajib diserahkan dan dilaksanakan oleh masing-maisng daerah (kabupaten/kota). Meski demikian, pengecualian “kewenangan” bidang kesehatan tetap berlaku, diantaranya dalam hal pengelolaan pemberantasan penyakit menular dan kesehatan lingkungan yang masih menjadi wewenang pemerintah. BTKLPPM bertugas sebagai pelaksana surveilans epidemiologi, kajian dan penapisan teknologi, laboratorium rujukan, kendali mutu, kalibrasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan model dan teknologi tepat guna, kewaspadaan dini dan penanggulangan KLB/Wabah dan bencana di bidang pemberantasan penyakit menular dan kesehatan lingkungan serta kesehatan matra. 40
  • 47. RSPI PROF. DR. SULIANTI SAROSO Pada tahun 1958, Stasiun Karantina (pindahan dari Pulau Onrust Kuiper) didirikan di daerah Pelabuhan Tanjung Priok. Fungsinya, untuk menampung penderita penyakit karantina dari kapal. Di tahun 1964, Stasiun Karantina juga difungsikan sebagai tempat menampung penderita penyakit cacar dari Jakarta dan sekitarnya, yang berjumlah sekitar 2.358 orang. Namun sejak Indonesia dinyatakan bebas cacar pada tahun 1972, kegiatan pun berkurang, sehingga pada 28 April 1978, Stasiun Karantina berubah fungsi menjadi Rumah Sakit Karantina. Rumah Sakit Karantina mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan, pengobatan, perawatan, karantina dan isolasi serta pengelolaan penyakit menular tertentu. Dalam perjalanannya, rumah sakit ini tidak hanya merawat penderita penyakit wabah, tetapi juga penyakit menular atau infeksi lainnya. Sumber: http://www.navigasi.net Gambar 22. Museum Pulau Onrust, salah satu bangunan yang masih tersisa Untuk dapat melakukan pelayanan kesehatan secara maksimal, maka pada 1 Desember 1993, pelayanan Rumah Sakit Karantina dipindahkan ke lokasi baru di daerah Sunter dan berganti nama menjadi Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso (RSPI-SS). Dengan demikian, pada 1 Januari 1994, Rumah Sakit Karantina ditutup dan RSPI-SS di buka untuk umum. 41
  • 48. Sejak diresmikan penggunaannya pada 21 April 1994, RSPI-SS telah melakukan tugas pelayanan penyembuhan dan perawatan penderita secara menyeluruh. Selain itu, RSPI-SS juga menjalankan fungsi sebagai: 1. pelaksana rujukan nasional di bidang penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya; 2. penatalaksanaan penyakit infeksi menular lainnya; 3. penelitian klinik dan epidemiologi penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya; 4. pelaksanaan sistem kewaspadaan dini, penanggulangan wabah/kejadian luart biasa (KLB); 5. pendidikan dan pelatihan di bidang penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya; 6. penelitian dan pengembangan di bidang penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya; 7. pengelolaan sistem informasi penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya. Beberapa tahun terakhir, RSPI-SS telah menunjukkan kemampuannya dalam upaya penanggulangan penyakit infeksi maupun penyakit lainnya, seperti Diare, HIV/AIDS, Tifoid, Salmonellosis, KLB Demam Berdarah, KLB SARS, KLB Polio, dan KLB Flu Burung. PERIODE DITJEN PP & PL Perubahan nomenklatur Ditjen P2M dan PL menjadi Ditjen PP & PL atas dasar Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2005 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Repbulik Indonesia dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan. Sebagai upaya pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tersebut, Ditjen PP & PL telah menyusun dan melaksanakan berbagai program, sebagai berikut. 42
  • 49. PROGRAM IMUNISASI Imunisasi telah diakui sebaga upaya pencegahan penyakit paling agai efektif dan berdampak terhad peningkatan kesehatan rhadap masyarakat. Namun, pember imunisasi mempunyai risiko berian adanya kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Untuk itu, perlu asca agar efektifitas dan keamana ananan vaksin tetap terpantau dan terjaga dengan melakukan su n surveilans KIPI yang efektif. Upaya imunisasi dilaksanakan melalui kegiatan rutin dan akan tambahan. Kegiatan imunisas rutin meliputi pemberian nisasi imunisasi kepada bayi umur 0 tahun (BCG, DPT, Polio, Campak, ur 0-1 HB), imunisasi kepada WUS/B US/Bumil (TT), dan imunisasi kepada anak SD (kelas 1: DT, dan kela 2-3: TT). kelas Sumber: K ber: Koleksi Ditjen PP & PL Kegiatan imunisasi tambahan dilakukan atas dasar ditemukannya han masalah, seperti Desa non UC potensial/risti KLB; n UCI, ditemukan/diduga adanya vir polio liar; hasil kinerja surveilans a virus AFP yang masih buruk/tidak b ak berjalan; atau kegiatan lain berdasarkan kebijakan teknis Catch Up Campaign Imunisasi knis. Campak juga dilakukan bagi a agi anak sekolah dasar (kelas 1 – 6) di beberapa provinsi. Pada tahun 2005, kasus polio liar kembali ditemukan di olio Indonesia. Untuk itu, Outbrea Response Immunization (ORI) break dilakukan untuk memutus pes penularan di sekitar lokasi kasus. Selain itu, Mop up Imunisasi d sasi dilakukan dalam dua putaran di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Bar dan Banten, sedangkan Pekan a Barat, Imunisasi Nasional (PIN) dilak dilakukan dalam tiga putaran, dengan sasaran anak berusia 0 – 5 ta tahun. 43
  • 50. Di tahun yang sama, bencana tsunami juga terjadi di Nangroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias. Untuk itu, Crash Program Imunisasi Campak dilakukan bagi para korban pengungsi berusia 0 – 5 tahun. KUSTA Berdasarkan catatan WHO, Indonesia saat ini masih menjadi salah satu negara penyumbang penyakit kusta terbesar di dunia. Meskipun Indonesia telah mencapai Eliminasi Kusta pada pertengahan tahun 2000, namun penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan yang cukup besar. Sampai akhir tahun 2005, 14 provinsi dan 155 kabupaten di Indonesia belum mencapai eliminasi. FRAMBUSIA Sampai saat ini, penyakit Frambusia masih belum dapat dieliminasi dari seluruh wilayah Indonesia. Penderita Frambusia banyak ditemukan di wilayah timur Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan di wilayah barat, ditemukan di NAD, Jambi, Banten, dan Jawa Timur. Wilayah-wilayah itu dikenal sebagai ”kantong Frambusia”. Keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan serta tempat tinggal di daerah pedalaman membuat penderita Frambusia sulit mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk menjangkau daerah- daerah kantong Frambusia yang tersebar di beberapa provinsi dan kabupaten di Indonesia, maka pada tahun 2000 mulai dilakukan survei daerah kantong Frambusia. Sejak saat itu sampai dengan tahun 2005, sejumlah 17.085 kasus dan kontak telah ditemukan serta diobati. 44
  • 51. MALARIA Sampai dengan tahun 2005, k 05, kebijakan Program Pemberantasan Penyakit Malaria di Jawa dan Bali telah menggunakan strategi penegakkan diagnosa kasus d us dengan konfirmasi laboratorium, yang dikenal dengan istilah Annual Parasite Incidence (API). ah Dalam lima tahun terakhir, ka ir, kasus malaria di Pulau Jawa dan Bali telah mengalami penurunan. Angka parasit malaria per seribu nan. penduduk (API) menurun, da sebesar 0,81 di tahun 2000 , dari menjadi 0,15 per seribu pend enduduk di tahun 2005. Sumber: koleksi Ditjen PP & PL DEMAM BERDARAH DEN ENGUE Metode tepat guna untuk me k mencegah DBD adalah dengan Pemberantasan Sarang Nyam (PSN) melalui 3M plus yamuk (Menguras, Menutup, dan M n Mengubur) plus menabur larvasida, penyebaran ikan pada tempa penampungan air, serta kegiatan mpat lainya yang dapat mencegah/ gah/memberantas nyamuk Aedes berkembang biak. Angka Bebas Jentik (ABJ), seb , sebagai tolak ukur upaya pemberantasan vektor melal PSN-3M, menunjukkan angka elalui partisipasi masyarakat dalaam mencegah DBD. Oleh karena itu, laam pendekatan pemberantasan DBD yang berwawasan kepedulian san masyarakat menjadi salah sat alternatif pendekatan baru. h satu 45
  • 52. Sur Surveilans vektor dilakukan melalui kegiatan peman mantauan jentik ole petugas kesehatan maupun juru/kader peman oleh mantau jentik (Ju (Jumantik/Kamantik). Pengembangan sistem surveirveilans vektor sec secara berkala perlu terus dilakukan, terutama dalam kaitannya dala den dengan perubahan iklim dan pola penyebaran kasus. kasu umber: Koleksi Ditjen PP & PL Sum DE DEMAM CHIKUNGUNYA De Demam Chikungunya (Demam Chik) adalah suatu penyakit tu p me menular dengan gejala utama demam mendadak, nyeri pada ak, n per persendian terutama lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan, ki d ser tulang belakang yang disertai ruam pada kulit. serta kulit Pen Penyakit ini disebabkan oleh virus chikungunya dan ditularkan ole nyamuk Aedes aegepti, yang juga nyamuk penular DBD. oleh pen ISP ISPA ISP termasuk Pneumonia, sering kali disebut seba wabah ISPA ebagai ray yang terlupakan atau The Forgotten Pandemic karena raya mic, kur kurangnya perhatian organisasi internasional terha rhadap penyakit ini. Upaya yang dilakukan lebih dari sepuluh tahun yang lalu, un bel belum juga menemukan suatu intervensi yang efektif untuk efek me mengatasi penyakit ini. 46
  • 53. Di tahun 1997, pendekatan Integrated Management Childhood an Illness (IMCI) atau Manajeme Terpadu Balita Sakit (MTBS) emen diperkenalkan. Pendekatan in merupakan model tatalaksana an ini kasus untuk berbagai penyak anak, seperti ISPA, Diare, Malaria, yakit Campak, Gizi Kurang, dan Kec Kecacingan. Sumber: Koleksi PP & PL Gambar 23. Pneumonia pada anak Selain menggunakan cara kla klasifikasi gejala penyakit yang praktis dan sederhana, dengan peng enggunaan teknologi tepat guna, MTBS juga mengatur pemisahan an n antara tatalaksana penyakit Pneumonia dan tatalaksana p na penderita penyakit infeksi akut telinga dan tenggorok. TUBERKULOSIS Upaya Pemerintah menanggu nggulangi Tuberkulosis (TBC) semakin menunjukkan kemajuan. Ini t terlihat dari meningkatnya jumlah penderita yang ditemukan da disembuhkan tiap tahunnya. n dan Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL 47
  • 54. Pe Pengembangan Program Pengendalian TBC denga strategi ngan D DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse rse Chemotheraphy) sampai dengan tahun 2005 telah dilaksanakan Ch elah di seluruh provinsi di Indonesia. Hasilnya, tercapai penurunan apai in insiden kasus menular, yaitu dari 130/100.000 penduduk (WHO- pen 19 1995) menjadi 170/100.000 penduduk. H HIV/AIDS DAN PMS Pa Desember 2003, WHO menetapkan kebijaka ”Three by Pada akan Fiv Initiative”, yaitu target global akses pengobat Anti Retro Five batan Vir (ARV) terhadap tiga juta ODHA pada tahun 2005. Viral n 20 Be Berdasarkan kebijakan itu, Menteri Kesehatan menetapkan me ta target, bahwa sepanjang tahun 2005 sebanyak 10 ribu ODHA k te mendapatkan aksesbilitas pengobatan ARV. telah RV. D tahun 2004, lima ribu ODHA telah mendapatkan pengobatan Di tkan AR Sedangkan di tahun 2005, pengobatan telah diakses oleh ARV. lah le lebih dari lima ribu ODHA. sumber: http://www.artasauthority.com su Sa Sampai dengan tahun 2005, Departemen Kesehata telah hatan m menetapkan 75 rumah sakit sebagai pusat rujukan pengobatan ukan AR Penetapan tersebut sebagai bentuk komitme Indonesia ARV. itmen da dalam mendukung 3 by 5. 48
  • 55. Hingga Desember 2005, secara kumulatif tercatat 3.368 orang mengidap HIV (+) dan sebanyak 2.682 orang mengidap AIDS. Dengan meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS, maka pemantauan terhadap kecenderungan HIV/AIDS dan sipilis pada kelompok risiko tinggi dilakukan dengan cara pengambilan sampel secara bersamaan setiap setahun sekali. DIARE Selain angka kesakitan yang masih tinggi, penyakit diare juga sering menimbulkan KLB dengan tingkat CFR yang juga tinggi. Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 diperoleh angka kematian diare (semua umur) 23 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada Balita, 75 per 1000.000 penduduk. Salah satu upaya menurunkan kematian akibat diare adalah dengan tatalaksana yang tepat dan cepat. Upaya ini dilakukan dengan mengadakan pelatihan petugas terintegrasi dengan pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), serta pengamatan tatalaksana diare di puskesmas sentinel. Upaya lainnya, mengadakan kajian epidemiologi KLB Diare di enam provinsi, seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Pengolahan, analisa, dan interpretasi data secara rutin juga akan dilakukan, sebagai upaya kewaspadaan dini KLB Diare. KECACINGAN Untuk mempercepat penurunan prevalensi cacingan pada anak sekolah dasar, kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan bagi murid SD dilakukan oleh para guru di sejumlah SD, yang tersebar di lima provinsi. Sosialisasi materi pemberantasan penyakit kecacingan diberikan kepada para guru, agar mereka memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih tentang penyakit ini. Bahan materi, berupa poster pencegahan cacingan dan lembar balik cacingan, juga diberikan sebagai alat penunjang kegiatan. 49
  • 56. Dengan penyuluhan ini, diharapkan para murid dapat melakukan perilaku hidup sehat, seperti kebiasaan cuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar, potong kuku, serta memakai alas kaki jika keluar rumah, sehingga terhindar dari penyakit kecacingan. FILARIASIS Hingga saat ini, Filariasis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Hasil mapping yang dilakukan sampai tahun 2004 menggambarkan adanya kasus kronis yang mencapai jumlah 8.243 orang, yang tersebar di 30 provinsi. Untuk itu, Indonesia melaksanakan Program Eliminasi Filariasis atas dasar kesepakatan Global WHO tahun 2000, yaitu “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem the year 2020”, yang merupakan realisasi dari resolusi WHA pada tahun 1997. SCHISTOSOMIASIS Berbagai upaya pemberantasan penyakit Schistosomiasis telah dilakukan sejak tahun 1982 melalui bermacam bentuk kegiatan, seperti pengobatan penduduk, penyuluhan, dan perbaikan lingkungan. Langkah pemberantasan ditujukan pada cacing Schistosoma japonicum (host), keong Oncomelania hupensis lindoensis (hospes perantara), manusia, dan hewan mamalia (hospes definitif), dan lingkungan fisik maupun biologis. Sampai saat ini daerah endemis Schistosomiasis di Indonesia baru ditemukan di dua tempat, di Lembah Lindu (Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala) dan Lembah Napu-Besoa (Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso). Schistosomiasis tidak mungkin dieradiksi. Oleh karena itu, tujuan program pemberantasan Schistosomiasis adalah eliminasi, supaya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. 50
  • 57. FLU BURUNG Flu burung atau Avian Influen adalah suatu penyakit menular luenza yang disebabkan oleh virus in us influenza tipe A. Di Indonesia, penyakit ini pertama kali dila dilaporkan pada Agustus 2003. Flu burung menular dari ungg ke unggas, dan dari unggas ke unggas manusia. Penyakit ini dapat m at menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang be g berasal dari kotoran atau sekreta burung/unggas yang mender flu burung. derita Penularan dari unggas ke ma manusia juga dapat terjadi jika manusia telah menghirup uda yang mengandung virus flu udara burung atau kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi flu ung burung. Namun sampai saat i belum ada bukti yang aat ini, menyatakan bahwa virus flu bburung dapat menular dari manusia ke manusia dan menular mel melalui makanan. Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL P Gejala awal penyakit ini pada manusia hampir sama dengan ada gejala flu pada umumnya, sep , seperti demam (suhu badan di atas 38oC), batuk dan nyeri tenggo nggorokan, radang saluran pernapasan atas, pneumonia, infeksi mat dan nyeri otot. Sedangkan masa mata, inkubasi virus flu burung adal 2-10 hari setelah terpapar. Akan adalah tetapi, sebagian besar kasus m sus menunjukkan gejala setelah 3-5 hari setelah terpapar oleh virus te us tersebut. 51
  • 58. Pengobatan bagi penderita, dapat dilakukan dengan oksigenasi bila terdapat sesak napas; hidrasi dengan pemberian cairan parenteral (infus); pemberian obat antivirus oseltamivir 75 mg dosis tunggal selama 7 hari; serta pemberian Amantadin di awal terjadi infeksi (sedapat mungkin dalam waktu 48 jam pertama, selama 3 - 5 hari). Untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh flu burung, Departemen Kesehatan telah mengambil beberapa tindakan, antara lain: 1. Melakukan Investigasi pada pekerja, penjual dan penjamah produk ayam di beberapa daerah KLB flu burung pada ayam di Indonesia (untuk mengetahui infeksi flu burung pada manusia); 2. Melakukan monitoring secara ketat terhadap orang-orang yang pernah kontak dengan orang yang diduga terkena flu burung. hingga terlewati dua kali masa inkubasi yaitu 14 hari; 3. Menyiapkan 44 rumah sakit di seluruh Indonesia untuk menyiapkan ruangan observasi terhadap pasien yang dicurigai mengidap Avian Influenza; 4. Memberlakukan kesiapsiagaan di daerah yang mempunyai resiko, yaitu Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten, serta membentuk POSKO Flu Burung; 5. Menginstruksikan kepada Gubernur pemerintah provinsi untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap kemungkinan terjangkitnya flu burung di wilayah masing-masing; 6. Meningkatkan upaya penyuluhan kesehatan masyarakat dan membangun jejaring kerja dengan berbagai pihak untuk edukasi terhadap masyarakat agar masyarakat tetap waspada dan tidak panik; 7. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan Departemen Pertanian dan pemerintah daerah dalam upaya penanggulangan flu burung; Mengumpulkan informasi yang meliputi aspek lingkungan dan faktor resiko untuk mencari kemungkinan sumber penularan oleh tim investigasi. 52