1. Media, budaya, dan upaya merawat
cita‐cita hidup bersama
Disampaikan pada resepsi 18 tahun Aliansi Jurnalis Independen:
Jakarta, 7 Agustus 2012
Yanuar Nugroho
Institut Kajian Inovasi – Universitas Manchester, Inggris
Manchester Institute of Innovation Research – University of Manchester, UK
yanuar.nugroho@manchester.ac.uk
Abstrak
Hidup manusia modern hari‐hari ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh media, yang
sebenarnya punya fitrah utama memperantarai yang privat dan yang publik untuk
mencari kemungkinan terbentuknya 'hidup bersama’. Apakah dalam gegap gempita
perkembangan teknologi dan industri media fitrah itu masih setia dijalani? Lansekap
media di Indonesia berubah secara dramatis dalam satu setengah dasawarsa
terakhir. Industri media berkembang pesat. Namun apakah peningkatan jumlah
perusahaan media ini mencerminkan meningkatnya keragaman dan kualitas isi?
Pertanyaan ini sentral; apalagi ketika dikaitkan dengan hak warga untuk bermedia
dan dinamika budaya masyarakat warga serta pesatnya kemajuan teknologi
komunikasi, khususnya Internet dan media sosial, yang telah mengubah wajah media
dan cara warga bermedia. Tapi apakah ini semua mampu menyediakan ruang publik
alternatif yang kini dipandang gagal disediakan oleh media seperti tercermin dalam
hype dan obsesi tentang media sosial hari‐hari ini? Dalam konteks di mana industri
media sedang bertumbuh, hal‐hal ini layak direnungkan untuk memahami tak hanya
pertumbuhan dan isi media yang dihasilkan, tetapi juga bagaimana perubahan
struktur industri media mempengaruhi dinamika warga negara –bukan sekedar
konsumen media. Nampaknya perkembangan industri media di Indonesia telah
menggeser status dan hakikat khalayak (pemirsa, pendengar, pembaca) dari warga
negara yang punya hak bermedia, menjadi sekedar konsumen media belaka.
Kata kunci
media, budaya, media baru, neoliberal, globalisasi, pembentukan selera
Pengantar
Faktualitas hidup manusia modern hari‐hari ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh media, baik
media konvensional seperti media cetak dan penyiaran audio‐visual ataupun media baru
(sering disebut media sosial berbasis Internet). Sejak era Reformasi tahun 1998, lansekap
media di Indonesia berubah secara dramatis. Sebelum 1998, hanya ada 279 perusahaan media
1
2. cetak dan lima stasiun televisi swasta. Kurang dari satu dekade berikutnya, jumlah televisi
swasta bertambah dua kali lipat –belum termasuk sekitar 20 stasiun televisi lokal—dan media
cetak meningkat tiga kali lipatnya. Namun apakah peningkatan jumlah perusahaan media ini
mencerminkan meningkatnya keragaman dan kualitas isi? Ada banyak asumsi di situ. Salah
satu yang paling penting adalah sejauh mana kepemilikan perusahaan media
mempengaruhinya. Misalnya, saat ini ada 455 perusahaan media beroperasi dari Sabang
sampai Merauke, yang dimiliki hanya oleh selusin pengusaha. Dan kita tahu bagaimana ihwal
kepemilikan berpengaruh mulai dari kebijakan hingga praktik ber‐perusahaan – media atau
tidak, sama saja. Maka, pertanyaan tentang keragaman dan kualitas isi media menjadi
sentral; apalagi ketika dikaitkan dengan hak warga untuk bermedia dan dinamika budaya
masyarakat warga.
Di sisi lain, ada perubahan besar dalam hal cakupan dan skala yang ditawarkan oleh Internet
dan media baru, dan bagaimana hidup kita makin dimediasi olehnya (Castells, 2010; Mansell,
2004). Kemajuan teknologi Internet jelas memberi manfaat pada perkembangan industri
media. Tapi apakah benar ia sungguh menyediakan ruang publik alternatif yang kini
dipandang gagal disediakan oleh media seperti tercermin dalam hype dan obsesi tentang
media sosial hari‐hari ini? Barangkali kita perlu sedikit berjarak (mengikuti Morozov, 2011).
Ada segumpal asumsi dalam perkara ini. Meski teknologi komunikasi dan penggunanya
berkembang pesat, ada banyak keterbatasan yang dihadapi seperti seperti kesenjangan
ketersediaan infrastruktur yang hanya terpusat di daerah maju, rendahnya akses dan literasi,
di antara banyak lainnya. Internet memang punya potensi besar menjadi sebuah medium baru
di mana para warga dapat berpartisipasi secara lebih bebas dalam kehidupan sosial, ekonomi,
dan politik (dan di beberapa kesempatan potensi ini sungguh nyata terwujud). Tetapi kita
tahu: mewujudkan potensi butuh strategi dan kerja keras, yang berbeda dari sekedar riuh‐
rendah mengejar obsesi.
Refleksi ini bertolak dari gejala globalisasi media yang tak hanya terkait dengan pertumbuhan
industri media dan kemajuan teknologi komunikasi yang mendorong operasi serta kontrol
lintas‐batas media, tetapi juga keseragaman isinya lewat konsentrasi kepemilikan (Gabel and
Bruner, 2003). Menjadi penting menelisik perkara ini lebih dalam karena proses globalisasi
media ini terkait erat dengan dinamika budaya dan mutu masyarakat. Herman dan Chomsky
(1988) malah melihat betapa tema ‘gaya‐hidup’, individualitas, dan materialitas yang diangkat
media cenderung berdampak negatif pada budaya kolektif: ia memperlemah rasa
kebersamaan dalam kehidupan bersama di masyarakat. Dalam konteks di mana industri
media sedang bertumbuh, hal‐hal ini layak direnungkan untuk memahami tak hanya
pertumbuhan dan isi media yang dihasilkan, tetapi juga bagaimana perubahan struktur
industri media mempengaruhi dinamika warga negara –bukan sekedar konsumen media.
Dalam refleksi ini, sebagian potret lansekap industri media di Indonesia (Nugroho et al., 2012)
akan dibahas dari perspektif hak warga negara (Berkhout et al., 2011). Meneruskan
konseptualisasi UNESCO (Joseph, 2005), ada tiga aspek hak warga dalam media: akses warga
terhadap informasi (tanpa akses ini mereka akan tersingkirkan dari pembangunan dan
transformasi hidup mereka sendiri); akses warga negara terhadap infrastruktur media (tanpa
akses ini membuat akses terhadap media menjadi mustahil); dan akses warga negara untuk
ikut mempengaruhi kerangka regulasi (tanpa akses ini warga negara dapat tersingkir dari
proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka). Refleksi semacam ini
barangkali penting karena industri media yang tumbuh dengan cepat dan ditopang oleh
logika laba –disadari atau tidak— mempengaruhi tak hanya dinamika ekonomi, tapi juga
sosial, budaya, dan politik publik. Satu gejala menyeruak, baik di Indonesia maupun di dunia
global: sebagai bisnis yang sangat menjanjikan, motif pencarian laba industri media
2
3. nampaknya telah melumat karakter publik dari media itu sendiri. Itu fokus dan titik pijak
dalam refleksi ini.
Sebagai panduan membaca catatan ini, setelah mencoba menguraikan beberapa konsep
dasar, pertama‐tama kita akan menelaah tentang peran media di masyarakat dalam konteks
kekinian yang ditandai oleh globalisasi. Gejala makin dalamnya media ikut menentukan
dinamika publik dan sekaligus menjadi mekanisme akumulasi kapital melahirkan imperatif
pertanyaan tidak saja tentang nilai‐nilai dan peran publik yang melekat padanya, namun juga
potensi pergeseran peran pekerja media. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana pasar
mempengaruhi perilaku sosial dan konstruksi‐konstruksi budaya –yakni cara kita hidup—
lewat seluruh gegap‐gempitanya. Akhirnya, refleksi singkat ini menawarkan satu panorama
masa depan media dan pekerja media dalam dunia yang makin tunggang‐langgang.
Media, budaya, dan globalisasi
Dari etimologinya, media (Latin, tunggal: medium) punya makna yang terkait erat pada, dan
menjadi bagian dari, ranah publik—locus publicus. Fitrah media yang paling utama adalah
memperantarai yang privat dan yang publik untuk mencari kemungkinan terbentuknya 'hidup
bersama’. Apakah dalam gegap gempita perkembangan teknologi dan industri media fitrah
itu masih setia dijalani?
Perkembangan industri media di Indonesia tak bisa dipungkiri telah menggeser status dan
hakikat khalayak (pemirsa, pendengar, pembaca) dari warga negara yang punya hak
bermedia, menjadi sekedar konsumen media belaka. Jika ini benar, lantas bagaimana dengan
seluruh gagasan luhur media sebagai sarana perjumpaan antara faktualitas individual dan
sebuah ideal sosial? Masih adakah ruang untuk mewujudkan gagasan itu? Dalam derap
kemajuan teknologi, bagaimana media di masa depan masih bisa berperan untuk merawat
cita‐cita hidup bersama kita? Apa konsekuensi ini semua pada pekerja media, pada warga
negara, dan pada perkembangan budaya kita?
Mencoba mencari jawab atas pertanyaan itu dari domain media dan budaya ataupun pasar
(ekonomi) semata, barangkali akan sama‐sama menabrak jalan buntu. Jawabannya bukan
terletak di dalam adiluhung‐nya peran media dalam dinamika budaya masyarakat dan hidup
bersama kita. Bukan pula ia ditemukan dalam pergerakan pasar yang dipandang selalu tunduk
pada hukum ekonomi atas permintaan dan penawaran. Jawabannya rupanya harus dicari di
luar kedua arena itu. Perspektif ekonomi‐politik ini menawarkan penjelasan melalui pelacakan
gagasan tentang kekuasaan (power) yang melingkupi sebagian perdebatan mengenai media
dan masyarakat serta posisi sosialnya. Refleksi semacam ini membidik dua ranah sekaligus:
struktur dan isi media –dan bagaimana keduanya berkaitan, khususnya lewat sistem
pengorganisasian dan pengendalian di mana isi media diproduksi, didistribusikan, dan
dikonsumsi.
Mengendalikan media makin berarti mengendalikan publik dalam hal cara pandang,
kepentingan, dan bahkan selera (Curran, 1991). Substansi media, baik fisik dan non‐fisik, telah
bergeser dari fungsinya sebagai medium dan mediator ruang publik yang memungkinkan
terjadinya interaksi kritis antar warga (Habermas, 1984; 1987; 1989), menjadi alat kekuasaan
untuk 'merekayasa kesadaran' (Herman and Chomsky, 1988) dan bahkan alat propaganda dan
monopoli (Bagdikian, 2004). Gagasan ini sentral untuk memahami dinamika media hari‐hari
ini ‐khususnya berbagai bentuk media massa—dan bagaimana ia mempengaruhi dinamika
dan membentuk budaya masyarakat kita. Tetapi, apa itu budaya? Kata budaya atau kultur
digunakan di sini secara umum untuk menunjuk pada keseluruhan cara hidup manusia (bdk:
3
4. tak hanya untuk menunjuk pada kinerja dan konteks seni, khususnya proses penemuan dan
proses kreatif karya seni). Dan kita tahu, hidup kita hari‐hari ini, dalam sebuah refleksi
kultural, tengah diserbu oleh apa yang kerap disebut dengan globalisasi.
Di sini mesti disadari bahwa gagasan globalisasi adalah salah satu gagasan yang tak pernah
usai didiskusikan dan terus diperdebatkan. Tanpa bermaksud menambah perdebatan itu,
refleksi ini menggunakan istilah globalisasi sebagai penanda tiga perkara (Herry‐Priyono,
2006). Satu, sebuah set proses sosial yang mentransformasi kondisi sosial manusia, dengan
jantungnya adalah pemampatan ruang dan waktu 1 . Dua, intensifikasi cara pandang, cara pikir
dan cara merasa manusia tentang dunia sebagai satu kebersatuan (globality) (Robertson,
1992). Tiga, transformasi corak aktivitas manusia yang makin intensif, cepat dan berdampak
yang tercermin dalam jejaring aktivitas, interaksi dan praktik kekuasaan (Held, 2000). Segera
bisa dilihat, bahwa dalam tiga perkara ini inovasi dan teknologi, khususnya teknologi
informasi‐dan‐komunikasi mengambil peran sentral. Manuel Castell menyebut bahwa
perkembangan teknologi adalah substrat globalisasi – tak mungkin globalisasi melaju secepat
saat ini tanpa ada perkembangan teknologi, khususnya Internet (Castells, 1996; 1997; 2001;
2005). Dengan memahami globalisasi sebagai penanda tiga perkara ini dan peran teknologi di
dalamnya, mudah‐mudahan akan lebih mudah bagi kita untuk memahami geliat berbagai
gejala yang mengepung kita hari‐hari ini.
Ketiga, pada inti globalisasi tersebut adalah ekonomi neoliberal dan faham neoliberalisme,
yang sayangnya banyak orang salah kaprah memahaminya 2 . Meminjam penyederhaan yang
diusulkan Herry‐Priyono (2003) untuk memahami perkara globalisasi ini, pada jantung
neoliberalisme ada dua lapis gagasan berikut. Pertama, manusia dilihat hanya sebagai homo
oeconomicus. Artinya, cara‐cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah salah
satu dari berbagai corak hubungan antar manusia, melainkan satu‐satunya corak yang
mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia (Becker, 1976; Evensky, 2005). Dengan
kata lain, tindakan dan hubungan antar pribadi kita maupun tindakan dan hubungan legal,
sosial, politis dan kultural kita hanyalah ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi
untung‐rugi dalam transaksi ekonomi. Kedua, gagasan ekonomi‐politik neoliberal adalah
argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika dan hanya jika lalu‐lintas modal
(finansial) yang dimiliki oleh pribadi (orang‐perorangan) dilepaskan dari kaitannya dengan
proses survival sosial dan ditujukan semata untuk akumulasi laba. Neoliberalisme, jelasnya,
adalah finansialisasi segalanya (Harvey, 2005). Bagi mereka yang pernah sedikit belajar
ekonomi, mungkin jelas bedanya dua hal ini. Bila dalam liberalisme klasik kepemilikan privat
masih dianggap punya tugas sosial untuk menyejahterakan seluruh masyarakat (misalnya
Smith, [1776] 2000), dalam neoliberalisme kepemilikan privat tersebut sudah demikian
absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi laba privat
(seperti Friedman, 1962). Singkatnya, dalam faham neoliberal, “tidak cukup ada pasar, tetapi
tidak boleh ada yang lain selain pasar” (Treanor, 2005). Karena itu mudah dipahami mengapa
neoliberalisme juga dianggap sebagai “bangkitnya kembali faham pasar bebas” (Gamble,
2001:127) yang pernah dalam sejarah ditinggalkan.
Maka, ketika kita berbicara mengenai globalisasi, kita sesungguhnya tengah bicara mengenai
tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal. Di dalamnya, ada
tiga hal. Pada (1) tataran tindakan, tata kekuasaan global ini bertumpu pada praktek bisnis
raksasa lintas negara, (2) pelaku utamanya adalah perusahaan‐perusahaan transnasional dan
1
Definisi ini barangkali paling dekat dengan yang dirumuskan oleh Giddens dalam bukunya tentang dunia
yang tunggang‐langgang (Giddens, 1999)
2
Lihat catatan Herry‐Priyono di Kompas (2009)
4
5. (3) proses kultural idelologis yang dibawa adalah konsumerisme (Sklair, 2002). Bagaimana ia
bekerja? Secara terbatas, saya gambarkan sebagai berikut 3 . Dalam globalisasi, praktik
perdagangan dan bisnis transnasional didiorong dan didukung oleh regulasi/kesepakatan
internasional dalam kerangka pasar bebas. Pada saat yang sama ideologi konsumerisme juga
didesakkan oleh kekuasaan luar biasa dari bisnis periklanan dalam bentuk logo, merk dan
label –di bawah sadar menanamkan prinsip ‘kenikmatan‐prestise‐status‐kemewahan’ pada
banyak individu (Tomlinson, 1990).
Karenanya, segera terlihat bahwa globalisasi terjadi bukan hanya ‘di luar sana’ –dalam rupa
berbagai tata kebijakan ekonomi politik global yang dipaksakan pada kebijakan publik melalui
tiga ‘mantra sakti’: deregulasi–privatisasi–liberalisasi. Namun, globalisasi juga terjadi ‘di
dalam sini’ –yang diinjeksikan ke dalam berbagai pilihan individu yang merujuk pada ragam
budaya, identitas dan gaya hidup global. Alih‐alih menawarkan keragaman pilihan bagi
konsumen –sebagaimana ia mengklaim dirinya—globalisasi justru menyeragamkan ‘rasa dan
selera’. Meminjam nama sebuah waralaba, masyarakat global digambarkan tengah
mengalami “McDonalds”‐isasi (Ritzer, 1993) –atau kasarnya, pendangkalan (banalisation).
Dan sebagaimana kita tahu, proses penyeragaman ‘rasa dan selera’ ini mendapatkan ‘bahan‐
bakar’nya dari insting dasar manusia untuk mengkonsumsi yang lalu dimanipulasi untuk
menjadi bagian dari permintaan dalam kurva ekonomi pasar. Bagi mereka yang mempelajari
psikologi industri atau manajemen periklanan, permintaan konsumen itu adalah sekedar
manifestasi insting konsumsi yang bisa direkayasa melalui advertensi (iklan) dan diinjeksikan
dalam kesadaran konsumen (Sklair, 2002). Implikasinya dalam ekonomi (dan ekonomi politik
pasar): tak ada lagi fondasi untuk mempercayai bahwa permintaan konsumen adalah alamiah.
Media di tengah globalisasi: Tegangan abadi
Lantas bagaimana media mesti dinilai saat ini – dalam masa globalisasi yang dikepung
gagasan neoliberal? Masihkah media menawarkan ruang publik dimana masyarakat warga
bisa berinteraksi secara kritis (seperti berulang‐ulang diidealisasikan Habermas, 1984; 1987;
1989; 2001) dan mendapatkan informasi yang independent dan terpercaya – dan karenanya
‘sakral’?
Sementara sebagian (kecil) pekerja media (seperti AJI) mempercayai posisi sakral media dan
berupaya mempertahankannya, ekonomi neoliberal memberi jawaban lugas: media adalah
bagian dari pasar; isi media adalah komoditas; dan dinamika media tunduk pada hukum pasar
(tentu selalu ada kekecualian, tapi itu hanyalah anomali). Beberapa buru‐buru menyergap:
apakah ini pertanda bahwa media kehilangan otoritasnya? Bukankah neoliberalisme justru
seharusnya sejalan dengan semangat media yang mengagungkan kebebasan (libre) –
khususnya dalam berkespresi? Benar, namun itu hanya separuh cerita, dan itupun ada pada
tingkat perkara yang berbeda. Pertama (pada tingkat mikro), pekerja media bisa saja bebas
berkarya dan mencipta isi media, tetapi kalau pasar tidak menerimanya meski itu bermutu, ia
harus mengubah karyanya –bahkan kalaupun ia tidak mau. Kedua (pada tingkat makro), kalau
bagi pekerja media kebebasan itu diwujudkan konkret lewat informasi dan isi media yang
valid dan bermutu, bagi para pemikir neoliberal, ia diwujudkan melalui penataan masyarakat
lewat logika pasar. Dan barangkali karena para pekerja media tidak seambisius para ekonom
dalam mengajukan gagasannya, isi media yang bermutu‐informatif‐dan‐valid terpaksa
‘tunduk’ pada hukum pasar. Gampangnya, cara masyarakat dididik untuk menghargai mutu
isi media adalah lewat mekanisme harga. Lewat apa? Rating dan periklanan.
3
Hal ini pernah saya sampaikan sebelumnya (Nugroho, 2002; 2005a; 2005b)
5
6. Dalam bisnis media, laba didapat dari konten melalui iklan. Sangat jelas, perkembangan
industri media sangat tergantung pada periklanan yang membuat industri tetap hidup. Dua
dasawarsa terakhir ini sekelompok kecil perusahaan media multinasional mendominasi pasar
global untuk hiburan, berita, televisi dan film. Pada tahun 2006, dua pertiga dari pemasukan
industri komunikasi global senilai US$250‐275 milyar dikuasai oleh delapan konglomerat
media: Yahoo, Google, AOL/Time Warner, Microsoft, Viacom, General Electric, Disney dan News
Corporation. Paruh pertama tahun itu juga, volume merger dalam media global, Internet dan
telekomunikasi mencapai US$300 milyar, tiga kali lebih besar dari pada paruh pertama tahun
1999. Padahal, limabelas tahun yang lalu, tak ada satupun dari semua perusahaan ini ada
dalam wujud serupa saat ini sebagai perusahaan media. Apa sebabnya? Besarnya nilai
ekonomi bisnis media ini ditopang oleh iklan komersial. Sekedar agar kita tahu, nilai iklan TV
di AS membubung drastis dari US$3,6 milyar pada tahun 1970 menjadi US$50,44 milyar pada
tahun 1999. Siapa pemirsa iklan ini? Dipukul rata, seorang anak yang berumur 12 tahun di AS
menonton rata‐rata 20 ribu jam iklan TV per tahun, dan bahkan anak‐anak berumur 2 tahun
pun sudah punya kesetiaan pada merk tertentu (Steger, 2009:78‐79). Indonesia sendiri
memiliki belanja iklan terbesar di Asia Tenggara, naik 24% dari 1,7 milyar USD pada tahun
2010 menjadi 2,1 milyar USD pada tahun 2011. 4 Pertumbuhan iklan di Indonesia disebabkan
oleh stabilnya pertumbuhan ekonomi, serta didorong oleh kuatnya konsumsi dan permintaan
domestik.
Semakin banyak konten yang dikonsumsi oleh pemirsa, semakin besar laba yang akan dikeruk
media. Logikanya jelas: operator media harus berusaha sebisa mungkin, untuk dapat
menciptakan konten yang menarik sebanyak mungkin pemirsa. Pemikiran seperti ini sangat
logis dan jelas dalam bisnis media – dan sepertinya tidak menimbulkan masalah yang serius.
Tetapi hal ini terus berlanjut: untuk menjaga permintaan konten yang menguntungkan agar
tetap tinggi, share pemirsa harus dijaga sedemikian rupa dengan cara memanipulasi
kebutuhan konsumen. Terlebih lagi, untuk meraih keuntungan lebih, konten harus diproduksi
dan didistribusikan dengan cara yang lebih ekonomis. Turunan dari logika ini sangat merusak,
tetapi inilah yang sedang terjadi pada media di Indonesia.
Bisnis penyedia konten dan bisnis iklan telah berkembang seiring dengan perkembangan
industri media. Saya tidak mengetahui secara pasti jumlah rumah produksi yang beroperasi di
republik ini, tetapi jumlahnya tentu tidak kecil dan pastilah akan meningkat seiring dengan
pertumbuhan industri media. Sebagian besar dari rumah produksi yang ada memproduksi
sinetron, karena sinetron merupakan acara yang paling banyak ditonton di televisi. Survey
Nielsen pada tahun 2001 menunjukkan bahwa pemirsa menghabiskan rata‐rata 26% waktu
mereka di televisi dengan menyaksikan sinetron, ini merupakan angka tertinggi dibanding
semua tipe program 5 . RCTI dan Indosiar menyatakan secara jelas bahwa sinetron merupakan
konten utama mereka karena memiliki rating tertinggi dari semua program (MPA Analysis,
2011). Sebagaimana amanat dari logika bisnis, duplikasi konten adalah suatu hal yang tidak
bisa dihindari. Multivision Plus adalah salah satu rumah produksi terbesar dan tersukses dalam
memproduksi sinetron, dan telah menghasilkan lebih dari 250 sinetron dalam 10 tahun
terakhir ini.
Media dapat menghasilkan konten yang lebih edukatif dan berkualitas, tetapi seringkali, laba
memainkan peran yang krusial di dalam perkembangan media dan proses produksi konten.
Kecenderungan konten yang diproduksi dengan motif profit dan diduplikasi dengan tujuan
4
Lihat Belanja Iklan Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/20/14403449/Belanja.Iklan.Indonesia.Tertinggi.di.Asia.Te
nggara
5
Berdasarkan Penghitungan Audience milik Nielsen yang dilakukan di 10 kota besar dari 2007‐2011.
6
7. menekan biaya produksi telah mengikis keberagaman informasi dan mengesampingkan
informasi lain yang lebih bermanfaat untuk warga. Kita bisa mudah membayangkan sulitnya
mencari pemasang iklan untuk program dokumenter yang lebih mendidik, misalnya,
ketimbang di program populer tak terlalu mendidik seperti sinetron. Saat ini, rumah‐rumah
produksi dan agensi‐agensi periklanan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
perusahaan media itu sendiri. Bahkan pada kenyataannya, perusahaan‐perusahaan media
juga memiliki in‐house production dan agensi periklanannya sendiri. Group MNC, contohnya,
memiliki produsen konten sendiri bernama MNC Pictures dan Innoform Media, juga agensi
kreatif milik mereka yaitu Star Media Nusantara.
Ketika konvergensi konten terlihat secara jelas pada televisi, hal yang sama juga terjadi di
kanal media lainnya. Kita dapat melihat dengan jelas bagaimana ruang‐ruang di surat kabar
dan majalan yang diambil oleh iklan berdampingan dengan rubrik ‘hiburan’ dengan
mengorbankan berita‐berita lain yang lebih berkualitas. Hal serupa juga terjadi pada
penyiaran radio. Sekedar menambah beberapa detil: Beberapa grup media berita, sebagai
respons terhadap situasi ini, telah mendirikan penyedia konten sendiri di dalam
perusahaannya. Tempo memiliki penyedia konten berbasis jurnalisme bernama TempoTV.
Tidak seperti MNC, yang fokus produksinya ada pada sinetron, TempoTV memfokuskan pada
produksi konten untuk stasiun televisi lokal dan dokumenter untuk LSM. Kompas juga
mendirikan sebuah penyedia konten bernama KompasTV; yang sebagian besar produksinya
adalah dokumenter dan biografi. Meskipun mereka mempunyai model bisnis yang serupa,
tetapi kehadiran mereka dapat menjadi alternatif untuk warga dalam mendapatkan konten
yang lebih baik dibandingkan hanya sinetron saja (lihat lebih detil dan lebih jauh di Nugroho et
al., 2012).
Dari uraian ini, mudah‐mudahan jelas bahwa isi media makin dalam memasuki arena
komoditas publik dan tanpa terhindarkan menjadi sebuah bagian dari mekanisme kapital.
Inilah jenius ekonomi yang secara halus menekuk kesakralan isi media menjadi sekedar
komoditi industri. Tentu ini membawa berbagai implikasi, salah satunya adalah pantas‐
tidaknya media hari ini masih dilekatkan dengan nilai‐nilai luhur alasan‐adanya (raison d’etre)
yakni menyediakan ruang publik bagi interaksi kritis warga.
Saya tak fasih dengan kerumitan menilai kepantasan itu. Akan tetapi, juga dalam segala
keterbata‐bataan ini, saya melihat gejala bahwa nilai‐nilai luhur media makin tidak
tertangkap oleh publik karena ia dikepung oleh hiruk‐pikuk materialitas yang melingkupinya.
Celakanya, sementara para insan dan pekerja media yakin bahwa dibutuhkan upaya keras
untuk mendidik publik lewat corak dan isi media yang bermutu, ekonomi kembali
menghempaskannya lewat mekanisme pasar dan ini kerap berujung pada pendangkalan.
‘Status’ yang dulunya tercermin dari mutu isi media, bergeser menjadi nilai ekonomi semata.
Gampangnya, kalau dulu Tempo atau Kompas mewakili sebuah prestis tertentu karena nilai
simboliknya menjaga kesakralan mutu isinya, kini prestis itu –di banyak media lain—tak lebih
dari rekayasa harga dan main mata dengan pemasang iklan. Fenomena iklan jaket, adalah
satu contohnya.
Apakah karena ini lantas sebaiknya fungsi publik media ditinggalkan begitu saja? Tidak.
Media dan pekerja media harus tetap mengusung panggilan luhur itu. Mirip seperti perang
gerilya, fungsi publik media harus terus diperjuangkan di tengah kepungan kedangkalan
jaman yang menilai segala sesuatu lewat nilai finansial. Gerilya ini akan abadi sepanjang kita
hidup dalam masa dimana pasar menjadi panglima. Apa yang saya haturkan di sini hanyalah
sedikit peran serta memahami perkara.
7
8. Medium dan pesan: Antara kemajuan dan ketercerabutan
Dari semua situasi ini timbul sebuah pertanyaan yang menarik: sejauh mana gagasan
‘medium adalah pesannya’ (McLuhan, 1964) berlaku? Apakah kita dapat tetap berpegang
pada asumsi McLuhan bahwa medium televisi itu sendiri –dan bukan konten di dalamnya–
yang karakteristiknya mampu memberikan dampak kepada masyarakat? Saya tak yakin itu
yang terjadi. Pemirsa justru cenderung terfokus pada konten (misalnya sinetron), dan
menyerap elemen struktural (seperti gaya hidup) yang diperkenalkan secara halus, melalui
periode waktu yang cukup panjang. Seringkali kita tidak menyadari implikasi sosial dari
medium hingga berubahnya nilai‐nilai dan norma‐norma masyarakat karena teknologi.
Implikasi ini dapat berupa implikasi budaya, agama, sosial, politik dan lain‐lain. Hal inilah yang
kita amati dan alami sekarang ini dengan media yang ada –seperti yang terlihat secara jelas di
televisi: penyebaran gaya hidup yang Jakarta‐ (atau Jawa‐) sentris secara masif melalui acara‐
acara seperti sinetron, dan telah menjadi sebuah obsesi di seluruh negeri, terjadi tanpa kita
sadari. Hal ini mungkin adalah konsekuensi yang tidak diharapkan dari praktek bisnis media
yang lazim terjadi. Bagaimanapun, praktek ini memiliki konsekuensi yang besar pada
masyarakat Indonesia.
Gagasan ‘medium adalah pesannya’ nampaknya lebih mengena pada media baru berbasis
Internet – di mana warga memiliki lebih banyak ruang untuk menciptakan ‘pesan’ mereka
sendiri. Terlebih lagi, Internet telah menciptakan jenis aktivisme dan keterlibatan sipil baru di
Indonesia (Lim, 2002; 2003; 2004; Nugroho, 2008; 2010a; 2010b) – sebagaimana juga yang
terjadi dengan ledakan media sosial (Nugroho, 2011; Nugroho and Syarief, 2012). Gagasan
McLuhan bahwa medium itu sendiri (Internet) adalah pesannya (adanya ruang yang bebas
dan keterlibatan warga) lebih terlihat nyata di sini. Meskipun Internet dan media sosial dapat
secara potensial membantu membangun ruang publik untuk warga, hal ini terhambat oleh
distribusi infrastruktur yang tidak merata, dan hanya terkonsentrasi di kota‐kota besar di
Sumatra dan Jawa‐Bali (Kominfo, 2010; 2011). Situasi seperti ini, jika tidak diperbaiki, dapat
menciptakan kesenjangan infrastruktur yang kemudian akan memicu terjadinya kesenjangan
informasi di antara warga. Mengapa ini penting?
Kalau kita sejenak melihat beberapa indikator ekonomi, kita tahu bahwa Indonesia lolos dari
krisis finansial yang menghantam di akhir tahun 90an. Dan kita makin ‘maju’. GNI per kapita
konstan meningkat (saat ini USD 4.200 per capita PPP), walaupun pertumbuhan GDP naik‐
turun. Enam tahun terakhir ini rasio orang miskin per kepala yang berada di garis kemiskinan
(USD 2 per hari) menurun, yang seharusnya menunjukkan bahwa jumlah orang miskin juga
menurun 6 . Namun, data dari Bank Dunia ini ditentang banyak pihak dan menimbulkan
banyak pertanyaan utamanya apakah kemiskinan aktual sungguh menurun 7 . Prakarsa, pada
akhir 2011 merilis risetnya sendiri dan, bertentangan dengan BPS yang datanya dipakai Bank
Dunia, menunjukkan bahwa kemiskinan total di Indonesia meningkat dari 40,4 juta pada
tahun 2008 menjadi 43,1 juta pada tahun 2010. Ini membuat Indonesia menjadi satu‐satunya
negara di Asia Tenggara yang kemiskinannya meningkat (Prakarsa, 2011). Walau ekonomi
negeri ini nampaknya membaik, kesenjangan juga meningkat. Menurut Bank Dunia, pada
tahun 2005 10% orang terkaya negeri ini menguasai 28,51% total pendapatan, sementara
20% termiskin hanya mendapatkan remah‐remah 8,34% 8 . Situasi ini tak membaik sampai
detik ini. Laporan World FactBook tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia duduk di ranking
6
Lihat database Bank Dunia http://databank.worldbank.org/ddp/home.do.
7
Misal, http://www.economist.com/blogs/banyan/2011/08/indonesias‐poverty‐line.
8
Perhitungan dari World Development Indicators and Global Development Finance Bank Dunia – lihat
http://databank.worldbank.org/ddp/home.do.
8
9. 81 dari 144 dalam hal Gini Index (ukuran kesenjangan pendapatan). Di banyak negara lain,
kesenjangan ekstrem semacam ini telah terbukti menjadi lahan subur konflik‐konflik sosial
yang mudah tersulut menjadi kekerasan – yang kini juga terbukti di Indonesia.
Dalam hal penggunaan Internet, prestasi (kalau boleh disebut demikian) Indonesia barangkali
sedikit lebih baik. Indonesia duduk di urutan keempat di Asia (setelah China, India dan
Jepang), dan ke delapan di dunia dalam hal jumlah pengguna Internet yakni sekitar 55 juta
orang menggunakannya saat ini. Namun, dalam hal penetrasi, Indonesia tertinggal di
belakang negara lain dengan hanya 22,4% populasi terhubung ke Internet – walau ini
sebenarnya adalah lompatan dari 14.1% pada bulan Maret 2011 9 . Di ASEAN, penetrasi
tertinggi adalah Brunei Darussalam (79,4%), lalu Singapura (77,2%), diikuti Malaysia (61,7%),
Filipina (29,2%) dan Thailand (27,4%) 10 .
Sebagai salah satu pengguna Internet terbesar di dunia, apa yang dilakukan netter dari
Indonesia? Baik data dari pemerintah (Kominfo, 2010) dan lembaga peneliti pasar independen
IPSOS 11 mengkonfirmasi bahwa mereka adalah pengguna social media kelas berat: mereka
selalu ber‐mediasosial ketika online. 83% dari pengguna Internet di Indonesia adalah juga
pengguna media sosial – ini angka tertinggi di dunia, yang disusul Argentina (76%), Russia
(75%), Swedia (72%) dan Afrika Selatan (73%) – mengalahkan Inggris (65%), AS (61%) dan
Perancis (50%) 12 . Tercatat di bulan Mei 2012 Indonesia adalah ‘negara Facebook’ terbesar
keempat di dunia (setelah AS, Brazil dan India) dengan 42,6 juta pengguna (17,6% populasi,
142% populasi online) (Socialbakers, 2012). Saat ini ada 19,5 juta akun Twitter di Indonesia,
menjadikannya pengguna terbesar kelima di dunia tahun 2012 ini 13 . Begitu populernya media
sosial ini, seperti twitter, hingga apapun di’twit’ – mulai dari makanan, hingga topik serius
yang melahirkan seri panjang twit hingga disebut kultwit (kuliah twitter). Jika saja Descartes
masih hidup, barangkali ia akan menandai corak ini dengan ungkapan “Communico ergo sum”
– I share therefore I am.
Namun demikian, data publik terakhir yang tersedia (Kominfo, 2010), barangkali bisa
memaksa kita sedikit berpikir kritis. Jawa dan Sumatra serta wilayah barat Indonesia
menikmati infrastruktur telepon kabel dan nirkabel yang lebih baik. Pada tahun 2005,
terdapat 24.257 desa (34,68% dari seluruh desa) di Indonesia yang memiliki sambungan
telepon kabel. Pada tahun 2008, jumlah ini meningkat menjadi 24.701 desa, tapi dari segi
persentase menurun menjadi hanya 32,76% dikarenakan jumlah desa yang juga meningkat.
Sebagian besar desa yang tersambung ini ada di Jawa‐Bali dan Sumatra. Gambaran yang
sama juga terjadi untuk sambungan nirkabel. Desa‐desa di Jawa adalah wilayah yang paling
terhubung secara nirkabel (Kominfo, 2010:34).
Setelah reformasi 1998, ada harapan besar bahwa demokratisasi tidak hanya menyentuh
sistem politik tapi juga pemerintahan serta mengalihkan prioritas kepada pembangunan
regional. Akan tetapi, paling tidak di sektor telekomunikasi, kita melihat bahwa
9
Lihat Nielsen – Indonesia, “Indonesia The Most Reliant On Mobile Internet Access Across Southeast Asia:
Nielsen” 11 July 2011, http://id.nielsen.com/news/Release110711.shtml diakses Desember 2011.
10
Lihat InternetWorld Stats – www.Internetworldstats.com/stats3.htm.
11
Lihat http://www.ipsos‐na.com/news‐polls/pressrelease.aspx?id=5564.
12
Lihat “Most Global Internet Users Turn to the Web for Emails (85 per cent) and Social Networking Sites (62
per cent)”, IPSOS press release, available http://www.ipsos‐na.com/news‐polls/pressrelease.aspx?id=5564
13
Lihat
http://semiocast.com/publications/2012_01_31_Brazil_becomes_2nd_country_on_Twitter_superseds_Japa
n diakses 2 Mei 2012.
9
10. pembangunan masih belum terdistribusi dengan merata. Keadaan tersebut semakin
diperburuk oleh adanya kesenjangan di lapisan berikut dari pembangunan TIK, yaitu antara
kabel (serat optik) vs nirkabel. Infrastruktur kabel tertinggal jauh dalam hal pembangunan
dibanding infrastruktur nirkabel. Data resmi pemerintah mengkonfirmasi bahwa selama
kurun waktu 2004‐2009 terjadi pertumbuhan sangat rendah dalam hal penetrasi kabel (4%)
sementara jaringan nirkabel tumbuh sepuluh kali lipat (41%). Pelanggan kabel selama 2005‐
2009 menurun dengan laju rata‐rata 0,67% per tahun sementara pelanggan nirkabel
meningkat dengan laju fantastis 34% per tahun (Kominfo, 2010:33).
Bagaimana dengan media kita? Tak banyak bedanya. Media berjalan dan berkembang seiring
dan menyatu dengan teknologi komunikasi; dengan konsentrasinya yang terpusat hanya di
daerah‐daerah maju dan kesenjangan yang sangat besar dengan daerah‐daerah tertinggal,
penyebaran infrastruktur media tetap tidak terdistribusi secara merata. Ditambah lagi, kita
tahu dari pengalaman langsung betapa publik juga terpaksa mengkonsumsi konten acara
yang bermutu rendah dan tidak mendidik—tanpa memiliki pilihan lain. Dalam konteks ini, tak
heran jika di samping maraknya media sosial digunakan sebagai media alternatif
menyuarakan kegelisahan publik, jauh lebih dahulu sebelumnya stasiun televisi lokal dan
media komunitas (utamanya radio) muncul di berbagai daerah sebagai sebuah respon
gagalnya media berita utama menghadapi beragamnya kebutuhan sosial (lihat juga
Bagdikian, 2004). Namun, meski media komunitas dan media lokal menawarkan cara kepada
warga untuk mengakses informasi yang lebih berorientasi sosial dan lebih relevan terhadap
keseharian mereka (dan dengan demikian lebih berdampak pada kehidupan mereka), ia juga
jadi sasaran bisnis. Nyata di depan mata bahwa demi laba kelompok‐kelompok bisnis besar
mulai membeli media lokal untuk menjadi bagian dari jaringan bisnis mereka.
Apa yang kita amati di sini adalah fenomena yang mungkin dapat dikonseptualisasikan secara
tepat sebagai ‘ketercerabutan’ atau disembeddedness (jika meminjam istilah Polanyi, 1957),
yaitu sebuah situasi di mana perkembangan (penciptaan, difusi, adopsi) teknologi –termasuk
teknologi media—tercerabut dari konteks sosial yang menjadi landasan eksistensinya. Didikte
oleh revolusi teknologi internal, media semakin cepat terlepas dari keterkaitannya dengan
evolusi masyarakat dalam populasi massa. Makin banyaknya keterkaitan yang terlepas
menjadikan media kehilangan peran‐peran yang tersisa dalam merepresentasikan
permasalahan sosial yang dihadapi populasi massa karena telah menjadi produk revolusi
teknologi internal. Lihatlah kontras pertumbuhan (eksponensial) pengguna Internet di
Indonesia (dalam persentase populasi) dengan perkembangan (linear) atas beberapa indeks
pembangunan, misalnya. Sementara perkembangan teknologi mengikuti tren yang
eksponensial (atau setidaknya logistik)– perkembangan masyarakat selalu meningkat secara
linier. Terciptanya konten yang mencabut audiens dari realitasnya adalah gejala penanda
ketercerabutan ini.
Dalam terang ini, perkembangan media yang serampangan tanpa pertimbangan (mindless)
dapat memperburuk situasi. Media bisa jadi bertindak sebagai pelaku utama virtualisasi
ekonomi, politik, kebudayaan, dan hukum seperti yang terjadi saat ini. Dampak dari hal ini
bisa sangat buruk. Yang paling mengemuka: digerusnya hak warga bermedia.
Antara dinamika industri dan hak warga bermedia
Isu hak warga dalam bermedia, juga terhadap partisipasi warga dalam media, telah lama
didiskusikan baik di tingkat lokal maupun global. Pada prinsipnya, gagasan hak warga
bermedia bisa dipahami oleh semua pemangku kepentingan media. Namun pemahaman dan
penerimaan, apalagi penjaminan, adalah perkara lain. Ketika isu ini makin mengemuka akhir‐
10
11. akhir ini, dan dipakai sebagai perspektif untuk membedah kinerja media, jelaslah isi media
makin kehilangan mutunya, dan fungsi publiknya makin tergerus. Perkembangan industri
media lebih kentara untuk mendukung motif profit mereka semata.
Hak warga terhadap informasi, di sisi lain, hanya merupakan salah satu aspek dari
keseluruhan isu hak warga dalam bermedia yang harus dipenuhi (Joseph, 2005). Media
memiliki tugas untuk melindungi dan memungkinkan warga untuk menggunakan haknya
dengan cara mempertahankan karakter publik dan menyediakan ruang untuk keterlibatan
sipil. Akan tetapi, tugas suci ini kerap diabaikan karena kepentingan bisnis yang menyetir
industri media. Di Indonesia, hal ini ditandai dengan terjadinya konglomerasi dan konsentrasi
kepemilikan kelompok media di semua sektor media.
Kepemilikan media di Indonesia sangat terkonsentrasi, didominasi oleh dua belas kelompok
besar (Nugroho et al., 2012: Tabel 4.1.). Struktur yang terkonsentrasi ini mencerminkan
sebuah kendali tinggi pada tindakan maupun aliran informasi dari titik pusat hingga ke
periferal. Jaringan seperti ini tidak hanya menampilkan hubungan konsentrasi kepemilikan
dalam kerja media, tetapi juga memperlihatkan secara logis bagaimana kendali medium dan
konten terjadi. Apa implikasi langsungnya?
Menjalankan media secara murni sebagai bisnis, menjadikan berita dan informasi sebagai
komoditas serta mengkapitalisasi konten, sebagai bagian dari strategi bisnis, telah membuat
warga menjadi tidak berdaya. Dengan pertumbuhan industri yang eksponensial sekarang ini,
media tidak dalam posisi untuk menyediakan ruang atau ranah yang dibutuhkan oleh warga
untuk terlibat satu sama lain. Alih‐alih membudayakan masyarakat, media saat ini sepertinya
telah kehilangan karakter pembudayaannya. Apa yang dimaksud di sini terutama adalah
situasi di mana industri media telah membiarkan motif profit menghancurkan dan
menghapuskan karakter publik dari media. Dalam gambaran seperti ini, tidak ada tempat
untuk warga. Apa yang tersisa hanyalah pemirsa sebagai konsumen (yang mempunyai daya
beli, tetapi harus menerima program apapun yang ditayangkan) bukan sebagai warga negara
(dengan hak‐haknya).
Sepertinya saat ini lebih jelas terlihat, bahwa media di Indonesia lebih mewakili kepentingan
pasar daripada kepentingan warga atau negara. Hal ini terkadang terlihat sebagai sebuah
standar ganda: sensitif terhadap kegagalan‐kegagalan di badan‐badan publik atau komunitas
sipil, tetapi tidak sensifit terhadap kegagalan‐kegagalan yang sama pentingnya di sektor
pasar, terutama yang berdampak pada dunia korporasi swasta. Berikut ini satu contoh
mengenai Kelompok Lippo. Para pemilik saham Kelompok Lippo hanya tertarik dengan
informasi atau berita yang bersinggungan dengan kepentingan bisnis kelompoknya. Karena
Kelompok Lippo juga mempunyai bisnis di sejumlah sektor publik seperti jasa kesehatan dan
properti, berita mengenai sektor‐sektor ini akan dilaporkan oleh Beritasatu Media Holding
dengan gaya yang cenderung subjektif, sementara informasi atau berita yang berasal dari
sektor lain dapat dilaporkan secara lebih objektif di kanal‐kanal media mereka.
Bias keterwakilan ini bukan sekadar melindungi sistem korporasi, karena bias ini juga telah
merebut kesempatan publik untuk memahami dunia yang sebenarnya (Bagdikian,
2004:xviii)14 . Dengan begitu, ia menyembunyikan informasi yang mungkin penting bagi
publik. Kita melihat saat ini, bagaimana pemilik media menggunakan medianya sebagai alat
untuk menyampaikan kepentingan‐kepentingannya. Situasi ini semakin memburuk ketika
14
Mungkin layak juga untuk dicatat bahwa menurut Hermann dan Chomsky (1988), pilihan yang paling bias
dalam media muncul dari pre‐seleksi orang‐orang berpikiran kanan, internalisasi konsepsi‐ulang, dan
adaptasi personal terhadap hambatan kepemilikan, organisasi, pasar dan kekuasaan politik.
11
12. pemilik media juga menjadi politisi dan menggunakan media sebagai alat kampanye politik
untuk mempengaruhi opini publik. Karena meskipun para pemilik media tidak terafiliasi
dengan politik, media masih mempunyai kecenderungan untuk mengarah kepada satu
pandangan politik tertentu, dan ini mempengaruhi netralitas dari media. Memastikan bahwa
mereka memiliki lingkungan politik yang bersahabat merupakan keinginan yang tidak dapat
ditolak oleh sebagian besar korporasi‐korporasi besar. Hal ini mendukung mereka untuk
memaksimalkan tingkat profit mereka, sementara mereka tidak terlalu peduli dengan faktor‐
faktor lain seperti keadaan sosial, lingkungan, kebudayaan dan lain‐lain.
Hal ini menjadi dilema bagi media yang pemiliknya terlibat dalam politik. Intervensi dari
pemilik telah menciptakan tekanan di dalam media. Di satu sisi, tidak diragukan lagi, pemilik
dan para pemegang saham adalah penting bagi media. Di sisi lain, media harus
memperjuangkan integritasnya untuk memastikan berita dan informasi yang disajikan tidak
bias, terutama untuk publikasi berita yang mengecilkan pemilik media. Bagaimana caranya?
Tampaknya, menyeimbangkan berita yang berkaitan dengan kepentingan pemilik (misal
vivanews) telah menjadi sebuah pilihan di mana media dapat memperjuangkan dan
menunjukkan integritasnya. Namun, hal ini juga menunjukkan besarnya dampak dari persepsi
publik terhadap media. Itu sebabnya beberapa media berusaha untuk tidak menyampaikan
isu‐isu sensitif yang berkaitan dengan pemiliknya dengan tujuan untuk menjaga agar persepsi
publik terhadap medianya tetap positif. Hal ini terdengar seperti bias dalam media, tetapi
kemudian, netralitas dalam media memang sangat sulit ditemukan (Bagdikian, 2004).
Penelitian doktoral Nurhayani Saragih (2012) misalnya menunjukkan tujuh dari dua belas grup
tersebut teridentifikasi mendukung gerakan “Pilpres Satu Putaran” (Viva‐Visi Media Asia,
MNC group, CT Corp, Elang Mahkota Teknologi, Tempo Inti Media, Kompas Gramedia, Jawa
Pos) yang melibatkan dana dari sejumlah konsultan politik (termasuk Fox Indonesia, LSI, dan
lain‐lainnya).
Pada titik ini kita dapat merangkum sejumlah isu‐isu utama di dalam industri media di
Indonesia dalam kaitannya dengan hak warga bermedia. Pertama, konten. Sebagaimana telah
didiskusikan di bagian awal laporan ini, konten telah menjadi sebuah isu yang
menghubungkan aspek‐aspek dalam media mulai dari hulu (produksi) hingga hilir (distribusi).
Meskipun begitu, inti dari isu konten dapat terkait dengan alasan utama eksistensi media,
yaitu menyediakan ruang publik untuk warga negera agar dapat terlibat dalam sebuah
masyarakat yang demokratis dan rasional (Habermas, 1984; 1989). Konten media adalah
media itu sendiri di mana dengannya warga dapat terlibat, dan pesan dari media itu, yang
melaluinya warga dapat terlibat. Di satu sisi, produksi konten harus didasarkan pada, dan
cerminan dari, kebutuhan warga negara. Namun, gagasan tentang ‘kebutuhan’ sendiri cukup
problematis karena sangat mudah disalahartikan sebagai ‘keinginan’: tidak semua yang
diinginkan adalah yang dibutuhkan. Tetapi, bisnis, termasuk media, beroperasi tepat di logika
‘merekayasa keinginan manusia’ dan mengartikannya sebagai ‘kebutuhan manusia’. Secara
teori, satu kebaikan media adalah bahwa media mempunyai kekuatan untuk mendidik warga
mengenai apa yang mereka butuhkan – bukan sekedar apa yang mereka inginkan. Media
harus, dan sudah seharusnya, mendidik dan ‘memberadabkan publik’ melalui kontennya.
Sayangnya, pernyataan ini sepertinya tidak berhasil. Sebaliknya, konten media telah menjadi
sangat tergantung pada rating, yang mencerminkan tidak lebih dari ‘keinginan manusia’ (lebih
tepatnya: keinginan yang ter‐rekayasa) daripada ‘kebutuhan manusia’. Rating, telah menjadi
norma yang baru.
Kedua, perkembangan tekno‐ekonomi. Sementara motif profit sudah secara jelas menjadi
pendorong utama perkembangan industri media saat ini, inovasi dalam teknologi media juga
menjadi faktor yang tidak kalah pentingnya. Seperti yang sudah didiskusikan sebelumnya,
kemajuan teknlogi, khususnya Internet dan media baru, telah mengubah struktur dan model
12
13. bisnis media, tidak hanya menyediakan platform baru untuk distribusi konten seperti saat ini,
tetapi juga untuk konvergensi media dan strategi digitalisasi yang akan datang (Lawson‐
Borders, 2006). Sayangnya, kebijakan media sepertinya tidak mampu mengimbangi
kecepatan perkembangan teknologi dan ekonomi. Ketika kebijakan‐kebijakan yang ada saat
ini tidak dijalankan untuk membatasi konsentrasi kepemilikan media, belum ada kebijakan
yang disiapkan untuk mengantisipasi dampak dari model‐model bisnis baru yang
berkembang, sebagai konsekuensi dari konvergensi dan digitalisasi media yang akan datang.
Sebagian besar peraturan media hanya terfokus pada konten (terlepas dari
ketidakmampuannya untuk menjamin keberagaman), dan mengabaikan cara‐cara di mana
praktek‐praktek bisnis baru akan berdampak terhadap hak warga dalam bermedia (Joseph,
2005)
Ketiga, kebijakan media. Seperti yang telah disebutkan di atas, kebijakan‐kebijakan yang ada
saat ini amat tertinggal di belakang perkembangan bisnis media. Beberapa kebijakan
sebenarnya telah dirumuskan dengan baik, namun diimplementasikan secara buruk.
Kebijakan lainnya terlalu ambigu dan secara sengaja diterjemahkan sebagai hal yang
menguntungkan bisnis media. KIDP mengajukan tuntutan mengenai UU Penyiaran no.
32/2002 Pasal 18(1) dan Pasal 34(4). Meskipun kedua pasal tersebut mengatur kepemilikan
dan membatasi jumlah ijin yang diberikan kepada institusi penyiaran tunggal, tidak ada
pernyataan yang jelas bagaimana efek yang diberikan oleh pembatasan ini. Interpretasi yang
tidak jelas dari pasal‐pasal ini diinterpretasikan oleh KIDP sebagai dukungan legal atas
konglomerasi di bisnis media, yang telah memiliki dampak sangat besar dalam hal akses
media dan konten.
Terakhir, profesionalisme para jurnalis. Jurnalisme adalah sebuah profesi yang memiliki fungsi
sosial: jurnalis menyampaikan berita dan informasi kepada warga sebagai pemirsa. Jurnalis
memiliki pengaruh tentang apa yang diinformasikan kepada warga, dan sebaliknya, terlibat
dengan realitas yang disampaikan dalam informasi atau berita tersebut. Telah menjadi sifat
dari jurnalis – sebagai profesi – untuk mewakili kepentingan publik dengan menyampaikan
informasi yang dapat dipercaya dan berarti bagi publik . Namun, pada kenyataannya, tidak
semua jurnalis memenuhi tugas mereka seperti yang dimandatkan karena mereka juga
berkaitan dengan, dan harus melayani, korporasi media di mana mereka bekerja serta
kepentingan‐kepentingannya. Ini menunjukkan adanya tekanan antara ‘komitmen’ (sebagai
seorang jurnalis) dan ‘pekerjaan’ (sebagai seorang pegawai). Tekanan tersebut akan selalu
ada, karena mengabaikan salah satu dari dua hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak
mungkin. Sebagaimana pun publik mempertanyakan kemandirian dan kredibilitas para
jurnalis, para jurnalis pun sebenarnya ada di bawah tekanan dalam bekerja untuk kepentingan
media. Meskipun begitu, apa yang dalam keseharian semakin tampak oleh warga adalah
pelemahan secara sistematis terhadap pekerjaan jurnalis sebagai perwujudan sebuah
komitmen. Kerja jurnalis (yang lemah secara sistematis) seperti ditunjukan dalam sebagian
besar media 15 menunjukkan bahwa mereka lebih peduli pada jurnalis sebagai sebuah
pekerjaan, daripada jurnalis sebagai sebuah komitmen.
Dalam pemahamannya mengenai karakter publik dari media, Lippman (1922) menekankan
bahwa manusia –termasuk jurnalis– mempunyai kecenderungan untuk lebih percaya
‘gambaran‐gambaran di kepala’ daripada memberikan pendapat yang didasarkan pada
pemikiran kritis. Di sini, jurnalisme merupakan metode yang tidak efektif dalam mendidik
15
Sering, meskipun tak banyak, TEMPO direferensikan sebagai salah satu kanal yang masih
mempertahankan jurnalisme berkualitas tinggi. Operator media lain yang dulu memiliki reputasi untuk
kualitas tingginya, seperti Kompas, di sisi lain, menunjukkan penurunan standar jurnalismenya.
13
14. publik. Oleh karena itu, pemberitaan bukanlah merupakan cermin dari kondisi sosial, tetapi
laporan dari sebuah aspek yang telah menonjolkan dirinya sendiri. Meskipun begitu, berita
yang dibuat oleh jurnalis akan cenderung subjektif karena ia menyampaikan tafsir kebenaran
dari jurnalis, dan berita itu sendiri dibatasi oleh bagaimana para jurnalis mengkonstruksi
realitas.
Pembahasan mengenai peran dari jurnalis, sementara menyimpulkan isu‐isu yang
menyangga media di Indonesia, membawa kita kembali kepada isu utama dari media dalam
pemahaman McLuhan (1964): keterpautan antara medium dan pesan.
Konstruksi budaya dan mekanisme pasar dalam media: Implikasi
Jika refleksi ini diteruskan selangkah lagi, barangkali yang perlu ditelisik adalah apa makna
semua ini bagi insan media? Apa peran pekerja media karena di balik tiap media ada
keterlibatan mereka? Apakah pekerja media saat ini masih berada dalam posisi sebagai
bagian eksklusif dari masyarakat yang bisa mengarahkan orientasi budaya atau menciptakan
inovasi budaya? Ataukah mereka harus menerima posisi mereka sebagai ‘profesional’ sebagai
bagian dari kelas pekerja, beserta struktur pembagian kerja dan standarnya sendiri?
Akan tetapi jangan pernah lupa, jantung globalisasi adalah ekonomi yang membutuhkan
sumber daya manusia yang bisa saling menggantikan (interchangeable) dan bisa saling
mengisi (modular) untuk memompa kinerja ekonomi. Jika seorang pekerja tidak bekerja
(entah karena sakit, cuti, PHK atau pensiun), maka tempatnya harus bisa digantikan oleh
seorang pekerja lainnya. Kini gantilah kata “pekerja” dengan insinyur, analis, akuntan –atau
dalam fokus kita, pekerja media. Di sinilah kaitannya: di mata neoliberal, fungsi pendidikan
media tak lain adalah untuk (1) membuat pekerja media bisa saling menggantikan dan
mengisi satu sama lain; dan (2) mencetak generasi konsumen media yang baru yang
memastikan roda pasar media tetap berputar. Kedengarannya kejam, tetapi inilah realita
hbungan langsung antara pendidikan media/komunikasi dan globalisasi.
Mudah‐mudahan sampai di sini kita melihat perkara penting ini: acapkali serbuan
neoliberalisme lewat media justru terjadi lewat berbagai kerumitan yang seolah tak kasat
mata. Hanya jika kita memaksa diri berefleksi, kebrutalan itu baru kentara. Ditarik lebih luas,
hal yang mirip juga terjadi pada konstruksi budaya dan perilaku sosial lewat mekanisme pasar.
Bagaimana pasar sebenarnya mempengaruhi perilaku sosial dan konstruksi budaya? Budaya
apa yang dibawa globalisasi neoliberal ini? Ketika menelaah rasionalitas pemerintah di tengah
gempuran neoliberalisme dengan menggunakan kajian kekuasaan warisan Foucault, Colin
Gordon akhirnya menyimpulkan bahwa dunia kini tengah hidup dalam sebuah budaya (kultur)
yang baru, yakni, “tatakelola identitas diri dan relasi‐relasi yang didasarkan pada kapitalisasi
kehidupan” (Gordon, 1991:44). Tetapi bukankah kapital (modal) bukan hanya uang/finansial?
Benar, tetapi bagi ekonomi neoliberal itu hanyalah soal pelintiran kata‐kata belaka.
Seorang ekonom, Ben Fine (2000), meneliti karya empat pemikir besar: Pierre Bourdieu, Gary
Becker, James Coleman dan Robert Putnam yang mendasari gagasan ‘modal sosial’ (social
capital) yang didalamnya mencakup ‘modal budaya’ (cultural capital) dan ‘modal spiritual’
(spiritual capital). Kesimpulannya menyesakkan. Ia bilang, bahwa modal sosial “hanyalah
kiasan belaka. Jika tidak, pasti ada modal yang bukan sosial, yang secara relatif punya potensi
14
15. berbeda dari modal sosial” (Fine, 2000:26) 16 , dan pasti ada kemungkinan untuk memisahkan
ruang produksi sosial dari ekonomi. Konsekuensinya, ini berarti bahwa beberapa jenis modal
bukanlah sosial. Kalau tidak, pembedaan bentuk sosial dari modal jenis lain tak ada artinya.
Nyatanya tidak. Anggapan bahwa modal adalah asosial itu keliru. Sebaliknya, seluruh modal
itu sosial dan tak ada produksi yang berada di luar konteks sosial dan institusional.
Ekonomi neoliberal, menurut Fine, justru membuat orang berpikir bahwa segalanya adalah
modal (capital): uang, barang dan properti, tetapi juga kepintaran, pengaruh, kepercayaan
dan jaringan. Jadi kalau apa yang pada mulanya digagas oleh Bourdieu, Becker, Coleman dan
Putnam mengenai ‘modal sosial’ sebenarnya ditujukan untuk memahami sebentuk kapasitas
warga untuk terlibat dalam dinamika kekuasaan guna menentukan berbagai keputusan yang
mempengaruhi hidup bersama mereka (misalnya dalam Putnam, 1993a; Putnam, 1993b), ia
kini dipelintir habis‐habisan: modal sosial tak lebih adalah idiom neoliberal.
Lalu bagaimana konstruksi budaya (culture) mesti dipahami? Menurut Anthony Giddens
(1984), reproduksi sosial (dan budaya) berlangsung lewat dualitas yang jarang kita
pertanyakan antara praktik sosial dan struktur sosial: tindakan dan praktik sosial selalu
mengandaikan struktur sosial tertentu; sementara struktur adalah ‘hasil’ (outcome) dari
berulangnya praktik sosial 17 . Ini bisa kita lihat jelas mulai dari anak‐anak yang selalu rebutan
ke MacDonald’s hingga pengusaha yang rutin menyogok polisi atau bea cukai; mulai dari
kebiasaan menonton sinetron hingga keinginan menghadiri pameran di museum.
Apa yang sentral dalam dualitas praktik‐dan‐struktur ini, namun kerap lolos dari pengamatan,
adalah fungsi sarana‐antara (modality). Berebutannya anak‐anak mendatangi waralaba
MacDonalds, misalnya, bertumpu pada sarana‐antara berupa status yang melekat padanya.
Dalam budaya, sarana‐antara ini berwujud ‘bingkai tafsir’ (interpretation scheme). Yang
membedakan apakah orang menonton sinetron atau dokumenter, membeli Kentucky Fried
Chicken atau Ayam Goreng Kalasan, ikut dalam Indonesian Idol atau lomba baca puisi adalah
‘bingkai tafsir’ ini. Dan jelas, kepadanya melekat erat citarasa‐selera (taste). Pertanyaannya,
bagaimana citarasa ini terbentuk?
Dulu, seorang pujangga Inggris Bernard Shaw, dalam karyanya Man and Superman tahun 1903
menyampaikan petuah bagi kaum revolusioner (“Maxims for Revolutionaries”). Petuah nomor
satu berbunyi “Do not do unto others as you would that they should do unto you. Their tastes
may not be the same” (“Jangan lakukan pada orang lain agar orang lain melakukannya
kepadamu sesuai keinginanmu. Selera mereka belum tentu sama”). Petuah ini memenangkan
hati banyak orang, termasuk para ekonom, dalam waktu cukup lama. Namun, dua ekonom
George Stigler dan Gery Becker, pada tahun 1977 mencoba menekuk petuah ini.
Menggunakan teori pilihan rasional (rational choice theory), esai mereka yang terkenal De
gustibus non est disputandum (dalam hal citarasa, tak ada perdebatan), menyatakan bahwa
semua individu punya selera yang sama sehingga perbedaan dalam perilaku mereka selalu
bisa dijelaskan lewat perbedaan yang teramati lewat kendala yang dihadapi ketika
16
Kutipan aslinya, “Social capital is simply an oxymoron. To be otherwise, there would have to be some sort of
capital that is not social relative to which social capital has the potential to be distinctive” (Fine, 2000:26).
17
Apa yang dipahami sebagai struktur di sini bukanlah melulu benda atau organisasi, melainkan skemata
(cara berpikir, cara bertindak, dll.). Ada tiga gugus struktur: (1) struktur signifikasi (signification)
menyangkut skemata simbolik, penyebutan dan wacana; (2) struktur dominasi (domination) yang
mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi) dan (3) struktur legitimasi
(legitimacy) yang menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap dalam tata‐hukum (Giddens,
1979:82; 1984:29‐33).
15
16. menentukan kegunaan (utility) dan bukannya dari perbedaan yang tak teramati dalam hal
selera (taste) (Stigler and Becker, 1977).
Setelah sekian lama para ekonom percaya (walau sulit menjelaskan) bahwa citarasa setiap
orang berbeda thesis ini tentu mengejutkan. Ia segera disambut dengan sorak‐sorai karena
menjelaskan, atau tepatnya justru meniadakan, apa yang selama ini susah dijelaskan dalam
teori ekonomi tentang selera, yang dianggap tidak rasional (Blaug, 2001). Becker bahkan
menerima Hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 1992 karena pandangannya tentang
rasionalitas tindakan manusia. Bisa dimengerti karenanya kalau tesis ini tak mendapat
tentangan dari para ekonom mainstream, kecuali dari mereka di kubu ekonomi budaya
(cultural economics).
Para ekonom budaya, sejak Baumol dan Bowen (1966), mengajukan berbagai bukti empirik
bahwa selera sangat bisa dibedakan menurut pendapatan, umur, pekerjaan, tingkat
pendidikan, dan lebih‐lebih lagi lamanya mereka dididik secara formal (misalnya Dickenson,
1992; Dobson and West, 1990). Bahkan sebelumnya, Bourdieau juga menegaskan bahwa ada
kaitan erat antara citarasa kelas sosial dan modal pendidikan (Bourdieu, 1979). Selain itu juga
banyak bukti lain tentang pentingnya pendidikan dini tentang budaya yang nantinya akan
mempengaruhi berbagai bentuk partisipasi dalam beragam kegiatan kebudayaan (mulai dari
sekedar menonton hingga partisipasi aktif berkebudayaan) terlepas dari perbedaan dalam
pendapatan atau biaya menghadiri kegiatan tersebut (O'Hagan, 1996). Singkatnya, bahwa
citarasa dan selera itu sudah secara endogen ada dan tak bisa diabaikan begitu saja hanya
karena ia tak teramati seperti klaim Stigler dan Becker. Lebih‐lebih lagi, bukankah ‘kegunaan’
(utility) yang melekat dalam barang ekonomi juga sama‐sama tak bisa diamati seperti
‘selera’?
Namun juga bahkan ketika para ekonom budaya itu benar, bahwa citarasa itu berbeda dan
pembentukannya sangat dipengaruhi oleh berbagai jenis situasi dan relasi sosial, faktanya
ekonomi modern berhasil menjinakkannya secara cerdik. Pertama, misalnya kenyataan
bahwa berbagai produk industri klutural modern umumnya bersifat ‘pengalaman berjangka’
(experience goods) – di mana citarasa terbentuk lewat proses konsumsi dalam jangka waktu
tertentu dan bahkan mengakibatkan ‘ketagihan rasional’ (rational addiction). Lihatlah
berbagai jenis game mulai dari Play station hingga Nintendo, atau saksikanlah acara‐acara
macam sinetron atau Pop Idol, dan anda akan segera paham maksud saya. Sebenarnya sambil
diam‐diam mengakui bahwa selera itu tidak seragam dan stabil, melalui konstruksi konsumsi
semacam ini ekonomi modern mempengaruhi citarasa itu seraya mencoba
menyeragamkannya, baik bentuk maupun isinya. Kedua, akhirnya soal selera, dalam
ekonomi, tetaplah berujung pada permintaan dan penawaran. Di sini, para ekonom budaya
pun terkecoh. Dalam ekonomi, yang penting adalah pasar, bukan individual. Maka soalnya
segera mengerucut pada elastisitas harga dan permintaan akan teater, opera, konser, film,
tarian, lukisan, dan lain sebagainya (Blaug, 2001).
Namun jika kita ingat bahwa berbagai produk kultural adalah experience goods seperti dibahas
sebelumnya, apakah kita bisa sungguh‐sungguh yakin bahwa permintaan komoditi budaya
terpisah dari suplai (yang menyangkut biaya dan harga) –dan sebaliknya? Tentu meragukan.
Seperti halnya dalam ekonomi kesehatan yang berdasarkan pada permintaan yang
dipengaruhi penawaran (rumah sakit dan perusahaan farmasilah yang akhirnya
mempengaruhi permintaan akan jasa kesehatan dan obat), ekonomi kultural pun berjalan
dalam corak serupa. Juga, seperti dokter yang seharusnya tak berpihak namun nyatanya
justru menggunakan jubah ‘keahlian’ (expertise) mereka untuk bermain sebagai Tuhan dan
mempengaruhi permintaan dalam ekonomi kesehatan, budayawan dan para ahli budaya pun
terpeleset dalam jebakan yang sama.
16
17. Dalam diskusi ini, barangkali pelan‐pelan mulai disadari betapa sentralnya peran media.
Semata‐mata bukan karena ia membawa informasi dinamika perkembangan budaya dan nilai
ekonomi budaya, melainkan, lebih penting lagi, karena ia terlibat erat dalam pembentukan
citarasa itu sendiri. Namun, kembali kita berhadapan dengan kenyataan bahwa di ujung
perkara, media adalah satuan bisnis yang tidak bisa mengelak dari tujuan akumulasi modal
dan laba. Omongan bahwa insting dan rasa‐merasa kita adalah hal yang alami makin menjadi
omongan yang kehilangan makna. Kalau setiap hari anak‐anak kita diserbu iklan TV tentang
bergengsinya McDonald’s, dalam diri anak berlangsung proses pembentukan jenis status
sosial yang berkisar pada tersedianya burger itu di tangan mereka. Kalau tiap hari kita
menyaksikan tayangan film‐film yang menawarkan mimpi dan gaya hidup a la Hollywood,
dalam diri kita sendiri berlangsung proses pembentukan selera dan gagasan tentang sukses
seperti itu. Maka, seperti anak‐anak yang akan sedih dan tidak merasa hebat jika tidak makan
burger McDonald’s, kita juga merasa belum puas jika belum menghidupi gaya hidup seperti
mereka yang kita lihat di media kita. Maka, yang sebenarnya ada bukanlah konsumsi,
melainkan konsumerisme –konsumsi yang mengada‐ada.
Bahkan kalaupun ilustrasi di atas terlihat komikal, ia menggambarkan seperti apa hidup
bersama (sosialitas) kita sedang dibentuk oleh kultur global ini lewat media. Dan tentu jangan
lupa bahwa gaya hidup global ini tengah diekspor ke seluruh penjuru dunia. Apalagi, seperti
halnya akumulasi laba adalah motivasi kunci kinerja bisnis media, logika bisnis juga lah yang
akan lebih menentukan arah, corak, dan isi media. Hal‐hal selain itu –misalnya apakah sajian
media mendidik publik dalam menghadapi berbagai perkara hidup (termasuk mendidik
citarasa publik akan isi media sendiri)— tidak pernah menjadi soal utama. Gampangnya, kalau
bermanfaat, ya syukurlah. Tetapi kalau tidak, toh tujuan mendidik publik untuk menghadapi
perkara hidup tidak pernah menjadi tujuan media hari‐hari ini.
Sekedar contoh, lihatlah pop idol yang menjamur mulai dari X‐factor di Inggris, American Idol
hingga versi lokalnya Indonesian Idol. Kalaupun ada, ‘bingkai tafsir’ macam apakah yang
dibawanya? Bagi bisnis, itu tak penting sepanjang laba yang dikeruk dibelakangnya lestari.
Lihat saja, dalam dunia media, TV dan studio film AS mengeruk 50%‐60% keuntungannya di
luar AS dan dan angka itu mencapai 70% untuk perusahaan rekaman musik. Hanya ada tujuh
perusahaan pembuat film, bagian dari konglomerasi dunia, yang mendominasi pasar film
global dan hanya ada lima perusahaan yang menguasai industri musik dunia. Hollywood
mengeruk US$11 milyar dari pembelian acaranya yang disiarkan TV‐TV di seluruh dunia
(termasuk Indonesia) pada tahun 2002 – naik dari 7 milyar di tahun 1998 (Gabel and Bruner,
2003:106). Ini semua dimungkinkan dengan adanya 180 satelit geostasioner komersial yang
memancarkan komunikasi suara, data dan gambar ke seluruh muka bumi (h.78).
Jadi, mungkin ibarat mendulang angin kalau kita meletakkan harapan pada media untuk
membantu merumuskan ‘bingkai tafsir’ atas kebudayaan dan keberadaban publik. Yang
terjadi malah sebaliknya. Karena ingin segera memburu laba, bisnis media malah terpelanting
menjadi bisnis intip‐mengintip murahan atas dasar komersialisasi insting sensual dan pamer
gaya hidup. Dan kita tahu bahwa dalam komersialisasi insting murahan macam itu estetika
tidak lagi punya tempat. Maka kini kita mengerti, persoalan kebudayaan tidak lagi karena
ketidaktahuan (ignorance) seperti yang dikeluhkan para ahli budaya setengah abad yang lalu.
Soal budaya hari‐hari ini adalah soal kedangkalan (banality), dan ia makin mengkhawatirkan.
Kekhawatiran ini muncul karena cara produksi kultur kontemporer dalam masyarakat hari‐
hari ini dilakukan lewat desakan atau program (entah itu karena tujuan komersial atau semata
filantropi bisnis) dan bukannya tercipta sebagai proses konstruksi tradisi alamiah yang
dimaksudkan menjadi sarana fungsi‐fungsi sosial‐budaya. Kalau kultur dipandang sebagai
produk, kesamaan akan mempermudah segala prosesnya (baik produksi maupun
17
18. distribusinya). Atas dasar itulah warna‐warni budaya dalam globalisasi hanya dimungkinkan
dalam homogenisasi budaya.
Dalam hal bahasa, misalnya, pada abad ke‐16 hanya ada tujuh juta orang yang berbicara
dalam bahasa Inggris. Pada tahun 1990an angka ini membengkak menjadi lebih dari 350 juta
lebih pengguna asli dan 400 juta lebih menggunakannya sebagai bahasa kedua. Sementara
itu, dalam rentang waktu yang sama, jumlah bahasa yang dipakai di dunia anjlok dari sekitar
14.500 bahasa pada abad ke‐15 menjadi kurang dari 7 ribu saja pada tahun 2007. Dengan
kecepatan ini, para ahli bahasa memperkirakan bahwa 50%‐90% dari bahasa yang sekarang
ini ada akan lenyap di akhir abad ke‐21 (Steger, 2009:81‐83).
Itu mengapa kita menyaksikan munculnya kultur populer yang makin homogen yang selain
termediasi lewat Bahasa Inggris juga didesakkan oleh ‘industri kultural barat’ yang berpusat di
New York, Hollywood, London dan Milan. Dalam kemelut lenyapnya berbagai bahasa asli,
sudah –dan akan makin—jamak kita dapati orang Indian mengenakan sepatu Nike di tepi
sungai Amazon, anak muda Palestina mengenakan kaos Chicago Bulls di Ramallah, atau
warga Indonesia menyantap Kentucky Fried Chicken di sebelah warung gudeg di Yogyakarta 18 .
Walau ada negara‐negara yang mencoba mencegah ‘imperialisme kultural’ ini (misalnya
dilarangnya antena parabola untuk menangkap siaran satelit di Iran, atau pemerintah
Perancis menerapkan tarif dan kuota untuk film impor, atau semua film buatan luar negeri di‐
dubbing di Italia), tetapi penyebaran kultur populer ini tak akan bisa dihentikan.
Apa etos kultur populer ini? Benyamin Barber amat sinis. Dalam bukunya Consumed (2007) ia
bilang, kalau pun ada etos, kapitalisme ini hanya punya satu etos, yakni ‘etos pengkerdilan’
(ethos of infantilisation). Etos pengkerdilan ini mengubah orang dewasa menjadi kanak‐kanak
dan menelan warga negara bulat‐bulat, melalui iklan dan barang‐barang konsumsi yang
membodohi, sementara tetap mentargetkan anak‐anak sebagai konsumennya (Barber, 2007).
Etos ini berdiri di atas sikap bahwa akhir itu tak pernah ada bagi barang‐barang konsumsi.
Untuk memperluas pasar dan mengeruk laba, produk global yang homogen perlu direkayasa
bagi anak‐anak dan kaum muda yang makmur. Seperti halnya kesenjangan pendapatan di
dunia justru akan membuat warga‐warga di negara miskin makin terobsesi, mereka yang
sudah berumur pun (entah di negara kaya atau miskin) ingin kembali ‘muda’ melalui konsumsi
itu. Maka bisalah kita kini memahami mengapa sementara Danau Toba atau Candi
Prambanan tidak bertambah pengunjungnya secara berarti, jumlah keluarga yang berpiknik
dan liburan di mall‐mall atau amusement centre malah melonjak jauh. SINETRON vs
dokumenter.
Barangkali semua kisah dan angka‐angka di atas justru makin menyesakkan bagi kita yang
tengah mencoba memahami pembentukan kultur. Karena ia dibentuk, pasti ada media
pembentukannya – dan kembalilah kita terbentur pada persoalan media. Tak sulit untuk
memahami bahwa aliran kultur global ini bergantung pada kekuasaan bisnis media. Seperti
kita tahu, laba adalah keutamaan bisnis media, dan kalau isi media yang membombardir
masyarakat dengan kultur globalnya itu makin menggemukkan pundi‐pundinya, kloplah
sudah. Dan itulah yang tengah terjadi. Membuat kenyataan kultur global makin jenuh dengan
formula pertunjukan TV yang beragam‐namun‐seragam dan berbagai iklan yang dungu
(mindless), perusahaan‐perusahaan media ini makin membentuk identitas dan struktur
keinginan –atau ‘kerangka tafsir dalam struktur citarasa kultural’—kita (meminjam teori
Giddens).
18
Gudeg adalah makanan khas dari kota Yogyakarta, Indonesia.
18
19. Media dan pekerja media: Panorama masa depan
Nilai‐nilai yang disebarkan oleh perusahaan media transnasional ini tak hanya mengukuhkan
hegemoni kultur populer. Ia juga mengakibatkan depolitisasi realitas sosial dan melemahnya
ikatan antar warganegara. Depolitisasi sosial terjadi lantaran transformasi siaran berita dan
program‐program pendidikan menjadi info‐tainment yang dangkal. Karena penyajian siaran
berita hanya membawa separuh laba dibandingkan sajian hiburan, perusahaan media pun
tergoda mengejar laba lebih tinggi dengan mengabaikan pemisahan keramat antara praktik
kantor berita dan keputusan bisnis. Justru makin banyak aliansi antara kantor berita dan
perusahaan hiburan dan makin luaslah gejala jurnalis ditekan agar bekerjasama dengan
operasi bisnis mereka.
Sementara itu, media pun mencecar kohesi warganegara. Dengan menginduksikan logika
bisnis lewat berbagai isi media, pelan‐pelan gagasan warganegara digerogoti tanpa ada
perlawanan berarti baik dari pemerintah (yang terbeli) maupun warga (yang terlena).
Memang, di mata pasar tak ada warganegara – yang ada hanyalah konsumen. Maka lalu tidak
relevan misalnya membicarakan hak‐hak warganegara atas kesehatan, pendidikan atau air
bersih. Yang berlaku adalah hukum pasar (walau ada undang‐undang): yang berhak sehat,
tersekolahkan atau bisa minum adalah mereka yang punya uang. Bahkan kinerja
pemerintahan pun dinilai dari keberhasilan ekonominya, misalnya berapa jumlah investasi
luar negeri atau peningkatan pertumbuhan ekonomi. Peran pemerintah akhirnya bergeser
menjadi serupa pengusaha – dan ini pun terjadi di negara kita.
Di tengah hiruk pikuk dunia dangkal yang tunggang‐langgang karena serbuan globalisasi
neoliberal ini, lantas bagaimana dengan masa depan media dan peran insan/pekerja media?
Perkembangan teknologi seperti pencetakan dan penerbitan buku menyebabkan perubahan
sosial besar lewat literasi: tak hanya orang makin bepikir secara linier, individualistis, tapi juga
memungkinkan pengekangan pikiran dan rasa, ketercerabutan, desakan atas spesialisasi, dan
bahkan praktik militerisasi modern. Karena itu, McLuhan merayakan munculnya teknologi
media baru seperti radio, TV, telepon dan komputer (dan kemudian Internet): ia meyakini
bahwa teknologi ini akan mengembalikan fungsi otak‐kanan yang ditekan oleh literasi. Dalam
argumennya bahwa media adalah pesan itu sendiri (the medium is the message) bagi McLuhan
yang lebih penting adalah struktur media ketimbang isinya karena struktur itu membentuk
kesadaran manusia secara lebih mendalam. Misalnya, sementara struktur media cetak
konvensional mengkotak‐kotakkan mereka yang membacanya secara pribadi, struktur media
baru mendorong keterhubungan dan membangun komunitas internasional (global village)
yang melompati batas‐batas politik sempit (McLuhan and Fiore, [1967] 2001). McLuhan tak
begitu tertarik dengan siapa yang menguasai produksi dibandingkan dengan jenis‐jenis
pemikiran dan kesadaran sensorik yang difasilitasi lewat TV.
Nampaknya, McLuhan terkecoh. Ambillah film seri TV atau sinetron sebagai contoh.
McLuhan benar, bahwa kebanyakan film seri di TV tidak mendorong pemikiran linier
(misalnya lewat alur cerita yang beragam). Namun ironisnya, kebanyakan isinya menceritakan
drama yang itu‐itu juga (percintaan, si baik melawan si jahat, atau sekedar orang biasa
menjadi sosok tenar). Dan seringkali, berbagai acara itu menampilkan episode‐episode
ulangan – Hal ini juga bahkan terjadi dengan berita. Jadi, sementara mediumnya tidak linier,
isinya tetap saja linier. Tapi bagi raksasa media, siapa yang peduli akan hal ini? Sejauh acara‐
acara itu ditonton dan membawa untung, dan sejauh ia dan iklan‐iklannya membuat makin
banyak orang berintegrasi dengan budaya global (artinya membeli produk‐produk kultur
global) seperti mengenakan Levi’s, membawa Master Card, dan Cadillacs – hal itu tak akan
pernah menjadi soal.
19
20. Bagaimana kita bisa memetakan panorama media dan budaya kita di masa depan, di dalam
dunia dangkal yang berlari tunggang‐langgang ini? Pertama‐tama, nampaknya
perkembangan teknologi (informasi dan komunikasi) sudah jelas memunculkan pertanyaan
akan peran publik media memediasi berbagai kemungkinan terciptanya hidup bersama.
Internet dan media sosial, jelaslah saat ini, menjadi kanal pelepasan atas kegusaran akan
ketidakmampuan media konvensional menjalankan peran publiknya. Yang akan kita tuju,
barangkali di depan mata ini, adalah sebentuk citizens media yang pada jantungnya disokong
oleh social media ‐media warga yang muncul dan berkembang intrinsik dalam social media.
Apa yang saat ini kita amati tumbuh dengan cepat –blogging, micro blogging, photo/video
blogging, social networking sites, dan lain‐lain– adalah penanda akan makin segeranya kita
menjejak masa social‐media‐based citizens media ini. Barangkali kalau tidak disebut
mengalami transformasi, media akan mendapatkan konteks yang sungguh baru. Tanpa harus
buru‐buru meratap atau bersorak, kita mesti peka memindai konsekuensi‐konsekuensi yang
bisa jadi segera menghantam ke pokok perkara: isi media dan dinamika pekerja media di
masa depan.
Internet, khususnya web2.0, makin akan menjadi alat utama produksi –atau setidaknya
diseminasi—media. Tak hanya karena ini menggenapi visi Habermas (dan Marshall McLuhan
dalam beberapa hal) tentang media yang demokratis, melainkan karena web2.0 akan makin
menjadi landasan berbagai tindakan ekonomi, sosial dan politik di masa depan. Tentu saja
apa yang membuat Morozov sinis tentang potensi web2.0‐social media yang justru delusional
harus diperhatikan. Didorong teknologi digitalisasi, Internet akan menjadi ether interaksi yang
makin luas. Isi dan corak media serta hidup masyarakat bermedia akan makin banyak
tergantung pada teknologi online dan menghadirkan beragam karya insan media lewat web.
Namun ingat: ada jarak luas, dan akan makin membentang, antara penyajian sebuah isi media
dan upaya membangun kesadaran lewat isi itu.
Berikutnya, di masa depan kapitalisme kultural ini, satu situasi hampir pasti. Bagi ekonom
seperti Jeremy Rifkin (2000), masa depan budaya hanya satu: ia akan makin terjerembab
dalam komersialisasi. Kapitalisme kultural ini bukan hanya berarti prioritisasi ekonomi jasa
dan informasi atas ekonomi industri, namun lebih dalam lagi: komersialisasi pengalaman itu
sendiri. Pendorongnya jelas: inovasi teknologi – internet dan media. Dalam perspektif ini,
budaya (culture), seperti halnya alam (nature) bisa terus dikeruk sampai habis. Industri gaya
hidup, misalnya, adalah tambang besar komodifikasi kultur dan keberagaman. Dan dalam
masa ketika ‘apapun bisa dikomodifikasi’ seperti saat ini, tidak mudah memikirkan
tandingannya. Kecenderungan counter‐cultural justru menjadi target jeli pemasaran. Mulai
dari soal musik (perjalanan musik hip‐hop dan rap sejak ia menjadi bagian radikalisasi kulit
hitam hingga kini malah menjadi mainstream budaya kulit putih – dan kehilangan pesan
radikalnya) hingga makanan (produk organik atau fair trade sebagai instrumen keadilan bagi
produsen kecil hingga jadi gaya hidup bergengsi kelas menengah atas). Media di sini sudah,
sedang, dan akan terus memainkan peranan sangat penting.
Mencermati masa depan memang tidak mudah, dan sering kita justru terjebak pada obsesi.
Salah satu obsesi studi media dan budaya hari‐hari ini nampaknya berpusat pada upaya
menafsir berbagai karya di media, sembari berupaya menemukan penjelasan untuk
memahami kinerjanya, dan tentu saja kaitannya dengan bagaimana dunia bekerja. Tentu tak
ada salahnya obsesi semacam ini, namun ia tak cukup untuk meneropong masa depan.
Refleksi media dan budaya, apalagi dalam kaitan merawat cita‐cita hidup bersama ini, mesti
lebih peka memahami corak konsumsi dan berbagai ‘tipu‐muslihat’ dalam dinamika produksi
isi media karena di situlah terletak kunci memahami masa depan. Kalau tidak, ia tak akan
peka membedakan antara pemirsa aktif, pengelana cyber, pembaca, tukang‐belanja,
20
21. pengamat, pengintip, atau jurnalis warga, karena semuanya dianggap konsumen oleh
ideologi pasar neoliberal ini.
Oleh karena itu, perlu diingat bahwa citarasa kebanyakan (mayoritas) belum tentu selalu
merupakan pandu yang baik bagi arah kebudayaan. Bahkan, merenungkan data‐data dan
kajian literatur dalam seluruh rangkaian riset media di CIPG‐Hivos yang saya pimpin ini, saya
cenderung mengatakan ‘tidak’. Saya kira di sini ada satu pokok penting. Tidak cukup kalau
kita hanya merefleksikan situasi kedangkalan kultural ini dan refleksi itu ternyata tak lebih
dari apologi. Kita harus beranjak lebih jauh: refleksi itu haruslah menyangkut gerakan kritik
terhadap situasi pendangkalan yang akan terus terjadi ini dan membangun tindakan sedikit
lebih konkrit. Di sinilah pentingnya memasukkan kembali agenda keadaban (civility) untuk
beberapa kemungkinan intervensi.
Pada akhirnya: Keterlibatan nyata
Pertama adalah kebutuhan publik untuk mengatasi kekhawatiran mengenai besarnya
perkembangan konglomerasi media dan hasilnya, yaitu konsentrasi kepemilikan yang
berdampak terhadap kualitas jurnalisme dan mengancam keberagaman konten/informasi.
Hal ini untuk memastikan bahwa perkembangan industri media tidak akan menghilangkan
raison d’être media sebagai locus publicus, ranah publik yang memediasi kehidupan warga
negara sipil.
Kedua, dalam keprihatinan yang sama, poin aksi selanjutnya adalah untuk merevitalisasi
peran pengaturan dari badan‐badan sektor publik, khususnya Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). KPI seharusnya memiliki kewenangan untuk mengendalikan lansekap industri media
dan cara di mana perusahaan‐perusahaan media bekerja. Tanpa otoritas penuh, KPI hanya
akan mendampingi Kemenkominfo dalam meregulasi lanskap media. Dengan adanya KPI
sebagai institusi publik yang independen dan memiliki otoritas, juga akan memastikan
eksistensi kanal publik untuk menyampaikan kekhawatiran terkait kinerja media di Indonesia.
Ketiga, melanjutkan proses revisi UU Penyiaran. Meskipun agenda politik di dalamnya
tampak jelas, sulit untuk melibatkan publik dalam proses pembuatan kebijakan. Di sinilah
muncul permintaan bagi warga negara yang aktif dan peduli untuk secara terbuka menuntut
proses revisi dibuat transparan agar dapat dilihat publik. Revisi UU Penyiaran harus digunakan
sebagai momentum publik untuk menetapkan landasan baru bagi keterlibatan warga negara
dalam memastikan perlindungan terhadap hak‐hak mereka atas media.
Keempat, sebesar apapun keprihatinan kami terhadap perkembangan media industri yang
berbasis keuntungan, menghidupkan kembali media publik yaitu TVRI dan RRI merupakan hal
yang sangat penting. Tanpa memiliki penyiaran publik yang kuat dan berkualitas tinggi,
tidaklah mungkin memastikan pembentukan ranah publik di mana warga negara dapat
menyuarakan pandangan‐pandangan mereka dan ikut terlibat dalam interaksi yang sehat,
atau untuk memastikan pemenuhan hak warga negara dalam bermedia.
Kelima, temuan‐temuan kami menunjukkan bahwa media (atau forum) alternatif sangatlah
penting untuk memberi kesempatan warga negara mengambil peran aktif dalam isu‐isu yang
secara langsung berhubungan dengan mereka. Seperti yang kami perlajari dari riset ini, media
komunitas menawarkan lebih dari sekadar wacana publik: media komunitas menyediakan
akses untuk pengalaman komunal dan, yang paling penting, menawarkannya sebagai bagian
dari jaringan proyek sosio‐kultural dan sosio‐politik. Kebijakan‐kebijakan media tidak boleh
membahayakan eksistensi media alternatif di Indonesia, tetapi justru harus memeliharanya.
21