Sesi 1 tinjauan umum manajemen sumber daya manusia by dadang budiaji mm [comp...
Hukum ketenagakerjaan & hubungan industrial by dadang budiaji mm
1. PROGRAM PELATIHAN
LEGAL OFFICER
Aspek: Hukum Ketenagakerjaan
& Hubungan Industrial
Trainer:
Drs. Dadang Budiaji, MM.
1
2. Tentang Trainer
Dadang Budiaji
Pekerjaan:
• 1997-Now : Senior Manager HRD pada perusahaan garmen
• 1990-1997: Personnel Section Head pada perusahaan
tekstil
• 1992-Now : Part time lecturer pada MM Unpad dan FE-UKM
Pendidikan:
• S2: Magister Manajemen Unpad
• S1: Hubungan Internasional Fisip-Unpad
Kontak:
Email: dadangbudiaji@gmail.com, HP: 0816620647 2
3. Menyepakati groundrules:
• Tepat waktu
• Berpartisipasi aktif
• Tidak ada dering handphone
• Tidak merokok selama sesi pelatihan
• ..
• ..
3
4. Apa pengharapan anda
dari pelatihan ini?
• Setelah mengikuti pelatihan ini diharapkan
saya dapat:
– …Paham HI & HKI
– …Dpt selesaikan masalah2 di perusahaan
– …kuasai knowledge & skill2 dlm lingkup HI &
HKI (PP/PKB/PK/PHK)
– Paham hak & kewajiban para pelaku HI
4
5. Masalah ketenagakerjaan apa
yang sedang anda hadapi?
1. …Salah hitung pesangon
2. …Pelaksanaan aturan mutasi pegawai blm
sesuai
3. …Sikap atasan yg tdk mendengar masukan2
bawahan
4. Pelaksanaan aturan sanksi ganti rugi (alokasi)
tdk sesuai aturan yg ada
5. IA dan SP tdk berjalan semestinya
6. Pemecatan krn tdk lulus diklat penaksir muda
dan tdk lulus test kesehatan
5
7. Outsourcing
6. Agenda
Kamis, 30 Des 2010 :
08.00-10.15 1. Konsep Dasar & Kerangka Kerja Hub. Industrial
10.30-12.00 2. Hukum Otonom dan Hukum Heteronom
13.00-15.15 3. Perjanjian Kerja dan Peraturan Perusahaan
15.45-17.00 4. Outsourcing
Jumat, 31 Des 2010 :
08.00-09.45 5. Prosedur PHK, Perhitungan Upah dan Pesangon
10.00-11.30 6. Penyelesaian Perselisihan Industrial
13.00-15.30 7. Teknik Menghadapi Pemeriksaan Disnaker
8. Studi Kasus Perum Pegadaian
16.00 – 17.00 Post Test 6
9. Definisi
• Hubungan industrial adalah suatu sistem
hubungan yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang
dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh, dan
pemerintah yang didasarkan pada nilai
nilai Pancasila dan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
9
10. PENGUSAHA
Pancasila
PEMERINTAH &
UUD 45
10
PEKERJA
11. Perjanjian Kerja (PK),
Peraturan Perusahaan (PP) &
Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Trainer:
Drs. Dadang Budiaji, MM
(Praktisi & Konsultan SDM)
11
12. Hubungan Kerja
Hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.
12
13. HUBUNGAN KERJA
Pekerjaan
Upah
Perintah
Pekerja
PERJANJIAN KERJA
13
14. Perjanjian Kerja
Perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat
kerja, hak, dan kewajiban para
pihak.
14
15. Fungsi Pemerintah
• Menetapkan kebijakan
• Memberikan pelayanan
• Melaksanakan pengawasan
• Melakukan penindakan terhadap
pelanggaran peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan.
15
16. Fungsi Pekerja / Serikat Pekerja
• Menjalankan pekerjaan sesuai dengan
kewajibannya
• Menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi
• Menyalurkan aspirasi secara demokratis
• Mengembangkan keterampilan dan keahliannya
• Ikut memajukan perusahaan
• Memperjuangkan kesejahteraan anggota
beserta keluarganya
16
17. Fungsi Pengusaha / Organisasi Pengusaha
• Menciptakan kemitraan
• Mengembangkan usaha
• Memperluas lapangan kerja
• Memberikan kesejahteraan pekerja/buruh
secara terbuka, demokratis, dan
berkeadilan.
17
18. Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana
1. Serikat pekerja/serikat buruh (mikro & makro)
2. Organisasi pengusaha (makro)
3. Lembaga kerja sama bipartit (mikro)
4. Lembaga kerja sama tripartit (makro)
5. Peraturan perusahaan (mikro)
6. Perjanjian kerja bersama (mikro)
7. Peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan (makro)
8. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial (mikro & makro)
18
19. Sarana-sarana hubungan industrial
Mikro Makro
Serikat pekerja/serikat buruh Serikat pekerja/serikat buruh
Lembaga penyelesaian perselisihan
Lembaga kerja sama bipartit
hubungan industrial
Peraturan perusahaan/perjanjian Peraturan perundang-undangan
kerja bersama ketenagakerjaan
Lembaga penyelesaian perselisihan
Lembaga kerja sama tripartit
hubungan industrial
Organisasi pengusaha
19
20. • Serikat pekerja/serikat buruh adalah
organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan
maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh
dan keluarganya.
20
21. • Lembaga kerja sama bipartit adalah forum
komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan hubungan industrial
di satu perusahaan yang anggotanya terdiri
dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat
buruh atau unsur pekerja/buruh yang sudah
tercatat instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.
21
22. • Lembaga kerja sama tripartit adalah forum
komunikasi, konsultasi dan musyawarah
tentang masalah ketenagakerjaan yang
anggotanya terdiri dari unsur organisasi
pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh,
dan pemerintah.
22
23. • Peraturan perusahaan adalah peraturan
yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha
yang memuat syarat syarat kerja dan tata
tertib perusahaan.
23
24. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian
yang merupakan hasil perundingan antara
serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha,
atau beberapa pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat syarat syarat kerja,
hak dan kewajiban kedua belah pihak.
24
25. SKEMA PROSES MENUJU
KETENANGAN KERJA DAN BERUSAHA
Pilar
Hubungan Kerja Hubungan
Industrial
dan Hubungan
Industrial
untuk membina Saling
perlu
Percaya
Komunikasi untuk
Intensif membuat
Keadilan Ketenangan
Kerja dan
mengatur Perjanjian
Berusaha
Kerja untuk
Bersama tercipta
(PKB)
Tanggung
Berbagai Aspek
Jawab
yang Belum Diatur
Bersama 25
28. Perbedaan:
• Hukum Otonom = Mikro kondisional = Belum
diatur oleh peraturan perundangan = diatur
melalui kesepakatan/perjanjian = dituangkan
dalam PP/PKB dan Perjanjian Kerja
• Hukum Heteronom = Makro minimal = Sudah
diatur oleh peraturan perundangan = tinggal
dilaksanakan = bukan untuk dirundingkan atau
disepakati (kecuali ada ketentuannya) = hak-hak
normatif pekerja
28
30. Pointers dalam UU 13/2003
Pasal 90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan
penangguhan.
Pasal 91
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan
antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang
ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan
pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 30
31. Pasal 93
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan
pengusaha wajib membayar upah apabila :
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa
haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah,
menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau
keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang
tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang
menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan
ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun
halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas
persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. 31
32. Pasal 93
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut :
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum
pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut :
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk
selama 2 (dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu)
hari.
32
33. Pasal 94
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap
maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima
perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
Pasal 95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan
atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan
persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau
pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak
lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pem-
bayarannya.
33
34. Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
34
35. Daftar pelanggaran & Sanksi
Pelanggaran Ancaman
Hal Pelanggaran Denda
Pasal Pidana
Pengusaha tidak ikut program pensiun buruh maka pesangon 2 X
167.5 tabel (pasal 156 ayat 2)
1 sd 5 tahun d/a 100 - 500 jt
Cuti hamil 3 bulan & istirahat bagi pekerja perempuan yg
82 keguguran 1,5 bulan atau sesuai surat dokter
1 sd 4 tahun d/a 100 - 400 jt
90.1 Dilarang membayar upah dibawah UM (pasal 89) 1 sd 4 tahun d/a 100 - 400 jt
MemPHK karyawan berperkara di pengadilan dan dinyatakan
tidak bersalah dlm waktu kurang dari 6 bulan & keharusan
160.4&7 membayar pesangon pekerja yg divonis bersalah karena perkara
1 sd 4 tahun d/a 100 - 400 jt
pidana
93.2 Upah saat sakit, haid, tugas negara, cuti, tugas SP, pendidikan 1 sd 4 tahun d/a 10 - 400 jt
Buruh < 18 th & wanita hamil dilarang kerja malam dan wanita yg
76 kerja malam diberikan makanan & jemputan
1 sd 12 bulan 10 sd 100 juta
78.2 Kewajiban bayar upah lembur karyawan 1 sd 12 bulan 10 sd 100 juta
Kewajiban memberikan istirahat kerja, mingguan, cuti tahunan &
79.1&2 cuti panjang
1 sd 12 bulan 10 sd 100 juta
85.3 Kewajiban bayar lembur pada hari libur resmi 1 sd 12 bulan 10 sd 100 juta
78.1 Persetujuan lembur oleh karyawan & jam maksimal lembur .
Bantuan bagi pekerja yg di tahan pada 6 bulan pertama karena 35
160.1&2 pidana diluar pengaduan pengusaha
. .
36. ISI HUKUM YANG NORMATIF:
HAK PEKERJA / KEWAJIBAN PENGUSAHA
1. Upah Minimum Kota/Kabupaten :
A. Permenaker 01/99 pasal 14 : “Bagi Pekerja yang berstatus
tetap, tidak tetap dan dalam masa percobaan, upah diberikan
oleh pengusaha serendah-rendahnya sebesar upah minimum “
B. Permenaker 01/99 pasal 14 ayat 2 : “Upah Minimum hanya
berlaku bagi Pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1
(satu) tahun”
C. Permenaker 01/99 Pasal 14 ayat 3 : “Peninjauan besarnya upah
Pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan
atas kesepakatan tertulis antara Pekerja / Serikat Pekerja
dengan Pengusaha”.
36
37. 2. Upah Lembur :
- Undang-undang no. 1/1951 pasal 10
ayat 1, Jo-
- Kepmenaker no.60B/1998 pasal 3, Jo-
- Kepmenaker no.72/1984
- Kepmenaker 102/2004
A. Cara perhitungan upah se-jam bagi
karyawan harian tetap dan karyawan bulanan :
1/173 X Upah sebulan (minimun sebesar
UMR/UMK) Cara perhitungan upah se-jam bagi
karyawan borongan tetap : 1/7 X hasil rata-rata
37
sehari.
38. B. Cara perhitungan upah lembur :
Untuk yang 6 hari kerja seminggu :
Hari kerja biasa :
- Jam ke I dihitung 1½ X
- Jam ke II dst dihitung 2 X
- Hari Libur yang bukan hari Sabtu :
- Jam ke I – VII dihitung 2 X
- Jam ke VIII dihitung 3 X
- Jam ke IX dst dihitung 4 X
Hari Libur yang jatuh pada hari Sabtu :
- Jam ke I – V dihitung 2 X
- Jam ke VI dihitung 3 X
- Jam ke VII dst dihitung 4 X
Untuk yang 5 hari kerja seminggu :
Hari Libur :
- Jam ke I – VIII dihitung 2 X
- Jam ke IX dihitung 3 X
38
- Jam ke X dst dihitung 4 X
39. 3. JAMSOSTEK
Undang-undang no. 3/92 pasal 4 ayat 1 Jo pasal 29 Jo
PP no. 14/93 pasal 2 ayat 3 :
“Perusahaan yang mempekerjakan sebanyak 10 orang atau lebih
atau membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah) sebulan, maka wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya
dalam program Jamsostek”.
39
40. 4. a. Istirahat Kerja, ½ jam setelah kerja 4 jam (Pasal 79 ayat 2 UU
13/2003)
b. Istirahat Mingguan, 1 hari setelah kerja 6 hari
c. Istirahat tahunan, 12 hari setelah kerja 12 bulan
d. Ijin meninggalkan pekerjaan di luar istirahat tahunan (Pasal 93
ayat 4 UU13/2003) :
- Pekerja kawin : 3 hari
- Anak pekerja khitanan : 2 hari
- Anak pekerja dibaptis : 2 hari
- Anak pekerja kawin : 2 hari
- Anggota keluarga pekerja meninggal dunia : 2 hari
- Istri pekerja melahirkan : 2 hari
- Anggota keluarga pekerja lainnya yang serumah meninggal dunia:
1 hari (bukan suami/istri, orang tua/mertua. Anak/menantu)
40
41. 5. a. Cuti haid untuk pekerja wanita yang merasakan sakit waktu haid,
haid hari ke 1 dan 2 (Pasal 93 ayat 2:b, UU No.13/2003)
b. Cuti hamil dan melahirkan untuk pekerja wanita. 1½ bulan
sebelum melahirkan dan 1½ bulan setelah melahirkan (total : 3
bulan)
6. Upah selama sakit (Pasal 93 ayat 3 UU No.13/2003)
– 4 bulan pertama 100%
– 4 bulan kedua 75%
– 4 bulan ketiga 50%
– Berikutnya 25%, sebelum PHK
41
42. 7. THR : Kepmenaker no.4/94
- Masa Kerja > 1 tahun : 1 bulan upah
- Masa Kerja < 1 tahun tetapi > masa percobaan ( 3 bulan)
X bulan
X Upah sebulan (> UMR/UMK)
12
8. Uang Pesangon (Pasal 156 ayat 2,3,4 UU No.13/2003)
penghargaan masa kerja dan ganti kerugian untuk PHK di
perusahaan
42
45. Perjanjian Kerja (PK),
Peraturan Perusahaan (PP) &
Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Trainer:
Drs. Dadang Budiaji, MM
(Praktisi & Konsultan SDM)
45
46. Hubungan Kerja
Hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.
46
47. HUBUNGAN KERJA
Pekerjaan
Upah
Perintah
Pekerja
PERJANJIAN KERJA
47
48. Perjanjian Kerja
Perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat
kerja, hak, dan kewajiban para
pihak.
48
49. Dasar Hukum
UU No. 13 / 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Bab IX Tentang Hubungan Kerja
Pasal 50 s.d. 66
Kepmennakertrans No. 100 / 2004
Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
49
50. Persyaratan PKWT
• Tidak dapat mensyaratkan masa percobaan. Sanksi:
persyaratan masa percobaan batal demi hukum
• Dibuat hanya untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis
dan sifat/kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu. Sanksi: demi hukum menjadi PKWTT
• Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
• Jangka waktu PKWT atas dasar jangka waktu tertentu
maks. 2 th. dan perpanjangannya maks. 1 kali untuk maks.
1 th
• Pembaruan PKWT hanya dapat dilakukan setelah lebih dari
30 hari berakhirnya PKWT lama, hanya untuk 1 kali dan
maks. 2 tahun. Sanksi: demi hukum menjadi PKWTT
51. KATEGORISASI PERJANJIAN KERJA
Perjanjian Kerja Masa Percobaan Pengangkatan
Waktu Tidak 1 x 3 Bulan Kary. Tetap
Tertentu (PKWTT)
Perjanjian Kerja Sekali Selesai 3+2
Perjanjian Kerja Musiman
Waktu Tertentu 4 Kategori
2+1
(PKWT)
Bisnis Baru
Lepas <= 20 HK/BL
<= 3 BL
52. Persyaratan PKWT
• Tidak dapat mensyaratkan masa percobaan. Sanksi:
persyaratan masa percobaan batal demi hukum
• Dibuat hanya untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis
dan sifat/kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu. Sanksi: demi hukum menjadi PKWTT
• Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
• Jangka waktu PKWT atas dasar jangka waktu tertentu
maks. 2 th. dan perpanjangannya maks. 1 kali untuk maks.
1 th
• Pembaruan PKWT hanya dapat dilakukan setelah lebih dari
30 hari berakhirnya PKWT lama, hanya untuk 1 kali dan
maks. 2 tahun. Sanksi: demi hukum menjadi PKWTT
52
53. • Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang
selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian
kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu
tertentu atau untuk pekerja tertentu.
• Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang
selanjutnya disebut PKWTT adalah perjanjian
kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat
tetap
53
54. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
Pasal 50-63.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Pasal 51
(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
54
55. Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan
perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Pasal 54
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
e dan f, tidak boleh ber-tentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian
kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang
kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama,
serta pekerja/buruh dan pengusaha masing masing mendapat 1 (satu)
perjanjian kerja.
55
56. Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas
persetujuan para pihak.
Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak
tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) didasarkan atas :
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis
bertentangan dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat
(1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa
asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara
keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam
bahasa Indonesia. 56
57. Pasal 58
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi
hukum.
Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
57
58. (5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu
tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu
tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah
melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian
kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu
ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 60
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa
percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang
berlaku.
58
59. Pasal 61
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya
hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi
tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris
pengusaha
dapat mengakhiri per-janjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak
mendapatkan hak haknya se-suai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
59
60. Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya
jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau
berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan
membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh
sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Pasal 63
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang
kurangnya memuat keterangan :
a. nama dan alamat pekerja/buruh;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah.
60
61. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
BAB II
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG SEKALI SELESAI ATAU SEMENTARA
SIFATNYA YANG PENYELESAIANNYA PALING LAMA 3 (TIGA) TAHUN
Pasal 3
(1) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang
didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun.
(3) Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT
tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan.
(4) Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan
batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
(5) Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena
kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan
pembaharuan PKWT.
(6) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah melebihi masa
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
(7) Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) tidak
ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.
(8) Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) yang
dituangkan dalam perjanjian.
61
62. BAB III
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG BERSIFAT MUSIMAN
Pasal 4
(1) Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya
tergantung pada musim atau cuaca.
(2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.
Pasal 5
(1) Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target
tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman.
(2) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.
Pasal 6
Pengusaha yang mempekerjaan pekerja/buruh berdasarkan PKWT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 harus membuat daftar nama pekerja/buruh yang melakukan
pekerjaan tambahan.
Pasal 7
PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dilakukan
pembaharuan.
62
63. BAB IV
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG BERHUBUNGAN
DENGAN PRODUK BARU
Pasal 8
(1) PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan
untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang
untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun.
(3) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan
pembaharuan.
Pasal 9
PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya boleh diberlakukan
bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di
luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.
63
64. BAB V
PERJANJIAN KERJA HARIAN ATAU LEPAS
Pasal 10
(1) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal
waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran,
dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua
puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.
(3) Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja
harian lepas berubah menjadi PKWTT.
Pasal 11
Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan dari
ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya.
64
65. Pasal 12
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian
kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.
(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-
kurangnya memuat :
a. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.
b. nama/alamat pekerja/buruh.
c. jenis pekerjaan yang dilakukan.
d. besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.
(3) Daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
sejak mempekerjakan pekerja/buruh.
65
66. BAB VI
PENCATATAN PKWT
Pasal 13
PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak penandatanganan.
Pasal 14
Untuk perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 maka yang dicatatkan adalah daftar
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(2).
66
67. BAB VII
PERUBAHAN PKWT MENJADI PKWTT
Pasal 15
(1) PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah
menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
(2) Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2), atau Pasal 5 ayat (2), maka PKWT berubah menjadi
PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
(3) Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), maka
PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.
(4) Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka PKWT berubah menjadi
PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
(5) Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4), maka hak-hak pekerja/buruh dan prosedur
penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi
PKWTT. 67
69. Contoh PKWT (Latihan)
PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU
Yang bertanda tangan dibawah ini :
1. N a m a : Djoni Balaputeradewa
Jabatan : HRD Manager
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pengusaha P.T. Ogah Mundur,
berkedudukan di jalan Majapahit No. 89, selanjutnya disebut Pihak Pertama.
2. N a m a :
Alamat :
Bertindak untuk dan atas nama sendiri, selanjutnya disebut pihak kedua
Pada hari ini, ................... tanggal............................Pihak Pertama dengan Pihak Kedua
telah setuju untuk mengadakan Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu sebagai berikut :
Pasal 1
Pihak Pertama menerima Pihak Kedua sebagai Pekerja Waktu Tertentu (Pekerja Kontrak)
pada Departemen /Jabatan : .........................../................................selama.......BULAN,
terhitung mulai tanggal..............................s/d........................... dengan gaji sebesar
Rp....................................( .............................................................. ) per bulan.
Dalam pelaksanaan tugas-tugas pekerjaan Pihak Kedua bertanggung-jawab kepada :
...........................................
69
70. Pasal 2
Pihak Kedua berjanji :
1. Akan mematuhi segala peraturan dan tata tertib yang ditetapkan oleh Pihak Pertama
2. Akan mematuhi perintah Atasan/Pimpinan
3. Melaksanakan tugas-tugas pekerjaan dengan sebaik-baiknya
4. Bersedia dipindahkan atau ditempatkan ulang dimanapun juga yang dianggap perlu oleh
Pihak Pertama
5. Tidak akan melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi Pihak Pertama,
termasuk memberikan informasi-informasi yang menyangkut rahasia perusahaan kepada
pihak ketiga.
Pasal 3
Pihak Kedua setuju dan bersedia untuk dikenakan denda atau ganti rugi atas perbuatan yang merusak
atau merugikan dengan sengaja maupun karena kecerobohannya atas barang-barang milik Pihak
Pertama.
Pasal 4
Kedua belah pihak berhak untuk memutuskan Perjanjian Kerja kapanpun selama masa perjanjian
dengan pemberitahuan paling lambat 1 minggu sebelumnya. Apabila Pihak Pertama memutuskan
perjanjian kerja, maka Pihak Pertama akan membayar ganti rugi kepada Pihak Kedua sebesar 1 bulan
upah, kecuali apabila Pihak Kedua telah melakukan kesalahan/pelanggaran berat/besar dan atau
tindak pidana, maka pihak Pertama tidak akan memberikan ganti rugi.
Pasal 5
Sebelum mencapai masa kerja 3 (tiga) bulan Pihak Kedua tidak berhak atas fasilitas-fasilitas jaminan
sosial & kesejahteraan lainnya kecuali : Jaminan Pengobatan karena kecelakanaan kerja dan jaminan
Kematian sesuai limit dan ketentuan Undang-undang Jamsostek.
70
71. Pasal 6
Kontrak Kerja ini berakhir pada tanggal : .................................. dan dengan sendirinya
hubungan kerja antara Pihak Pertama dan Pihak Kedua otomatis berakhir pula secara
tanpa syarat dan tanpa tuntutan apapun.
Pasal 7
Kesepakatan kerja ini dibuat dalam keadaan sehat dan sadar serta tanpa paksaan dari
pihak manapun. Apabila dikemudian hari selama masa perjanjian ternyata ada hal-hal
yang belum disepakati atau belum diatur dalam kesepakatan ini atau ada perbedaan
pendapat, maka kedua belah pihak sepakat untuk bermusyawarah secara kekeluargaan
dengan merujuk atau tunduk kepada Hukum Ketenagakerjaan yang berlaku.
Ditandatangani di Surabaya, tanggal ……………………
PIHAK PERTAMA PIHAK KEDUA
(Djoni Balaputeradewa) ( …………………….…..)
71
73. Peraturan Perusahaan
Peraturan yang dibuat secara
tertulis oleh pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja dan
tata-tertib perusahaan.
73
74. Perjanjian Kerja Bersama
Perjanjian yang merupakan hasil perundingan
antara serikat pekerja/serikat buruh atau
beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang
tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat
syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah
pihak.
74
75. PERBEDAAN PKB DENGAN PP
Perbedaan PKB dengan PP
(Peraturan Perusahaan)
PKB PP
Manajemen konsultasi
Perundingan antara SP/SB
Pembuatan dengan SP/SB, wakil
dengan manajemen
pekerja/buruh
Pendaftaran Di instansi pemerintah -
Pengesahan - Instansi pemerintah
Masa berlaku 2 tahun 2 tahun
75
76. SKEMA PROSES MENUJU
KETENANGAN KERJA DAN BERUSAHA
Pilar Hubungan
Hubungan Kerja Industrial
dan Hubungan
Industrial
untuk membina Saling
perlu
Percaya
Komunikasi untuk
Intensif membuat
Ketenangan
Keadilan
Kerja dan
mengatur Perjanjian
Berusaha
Kerja untuk
Bersama tercipta
(PKB)
Tanggung
Berbagai Aspek
Jawab
yang Belum Diatur
Bersama 76
77. SKEMA PENGATURAN HAK DAN KEWAJIBAN
Hubungan Kerja
dan Hubungan
Industrial Makro minimal (peraturan
Perjanjian Kerja (PK)
perundang-undangan
Pengaturan Hak &
Kewajiban bagi Individual
para pelaku Peraturan Perusahaan
(PKB)
Mikro
kondisional Kolektif
(Syarat Kerja)
Tujuan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB)
Ketenangan Kerja Kelangsungan &
Produktifitas
& Berusaha Kesejahteraan
77
78. Dasar Hukum PKB
UU No. 13/2003
Konvensi ILO No. 87 dan No.98
UU No.21 / 2000
78
79. Syarat-Syarat Perundingan
SP beranggotakan minimal 50%
pekerja
Tercatat di Depnaker / Disnaker
Surat mandat dari masing2 institusi
79
80. Tujuan PKB
Menciptakan hubungan kerja yang
harmonis dinamis dan berkeadilan serta
suasana kerja yang sehat dan kondusif
di Perusahaan
80
81. Fungsi PKB
Mengatur hubungan kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak secara tegas dan jelas
Sebagai alat kontrol dan alat ukur terhadap
pelaksanaan hubungan industrial
Mengantisipasi kejadian di kemudian hari
Memberi petunjuk terhadap mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial
Memberikan kepastian hukum dalam sebuah
bentuk hubungan kerja
81
82. Proses Penyusunan PKB
A. Persiapan
B. Perundingan
C. Dokumentasi
D. Sosialisasi
E. Pelaksanaan
F. Evaluasi
G. Feedback
82
83. A. Persiapan
1. Pembentukan Tim PKB
2. Penyusunan Kerangka Dasar / Outline
3. Study
Study Empiris
Study Komparatif
Study Historis
Study Hukum
1. Draft Awal
2. Presentasi
3. Draft Akhir
4. Pengajuan
83
84. 3. Study
Study Empiris, Komparatif, Historis, Hukum
Study Empiris
Upaya mengumpulkan data/informasi
faktual dan valid di lapangan, a.l :
Aspirasi anggota
Peraturan Perusahaan/KKB sebelumnya
Neraca Keuangan Perusahaan
Survey Pasar
Inflasi
Komposisi Manajemen & Kepemilikan Saham
Segmen Pasar
Kebijakan Negara 84
85. 3. Study
Study Komparatif
Upaya melakukan perbandingan mengenai
kondisi dan syarat- syarat kerja di
Perusahaan lain pada industri yang sejenis
(apple to apple)
85
86. 3. Study
Study Historis
Upaya mengumpulkan data/ informasi
mengenai kejadian-kejadian di masa
lalu yang menguntungkan karyawan
yang bisa dijadikan acuan/
yurisprudensi
86
87. 3. Study
Study Hukum
Upaya mempelajari dasar-dasar hukum
(ketenagakerjaan) yang berkaitan
dengan berbagai permasalahan yang
terkandung dalam draft PKB
87
89. Pengajuan Draft PKB
Dilakukan dengan disertai surat
pengantar dan permintaan utk berunding
30 hari setelah pengajuan, perundingan
harus sudah dimulai
89
90. Tata tertib perundingan
Mengatur tata cara/aturan main
teknis perundingan, a.l :
susunan team perunding kedua belah pihak
waktu dan tempat perundingan
hak dan kewajiban kedua belah pihak
biaya perundingan
Dibahas di hari pertama perundingan
90
91. Kekuatan
Dukungan Stakeholders
Mental & moril
Wawasan Pengetahuan
Hukum, Ekonomi, Sosial, Politik
Negotiation Skill
Communication Skill
Data dan Informasi
Team Work
Networking
91
93. A. Sebelum Berunding
(Persiapan)
Pemilihan SDM Negosiator
Kesiapan fisik dan mental team
Pembagian tugas
Penguasaan materi yg akan dibicarakan
Target yg ingin dicapai
Strategi yg akan diterapkan
Pengetahuan ttg lawan runding
Kelengkapan dokumen/data/informasi
Analisa kendala dan kemungkinan buruk
Kelengkapan audio visual
Pengenalan tempat
93
Positive thinking
94. B. Selama Berunding
Di awal
Berdo’a
Perkenalan
Penegasan agenda pembicaraan
Pembahasan tata tertib (hari pertama)
Penegasan lamanya waktu perundingan
Review hasil perundingan sebelumnya
Penunjukan notulen
94
95. B. Selama Berunding
Di Tengah
Bicaralah yang runut/sistematis
Perhatikan pembicaraan lawan
Jangan melakukan rapat dalam rapat
Buat catatan-catatan
Konsentrasi
Lakukan kontak mata
Kutip pernyataan dari lawan yg menguntungkan
Hindari pertentangan pendapat sesama kawan
95
96. B. Selama Berunding
Di Tengah
Gunakan time out untuk konsolidasi
Ciptakan suasana yang kondusif
Bersikap santun
Kreatif mencari alternatif pemecahan
Hindari debat kusir
Lakukan Klarifikasi (mengejar dg pertanyaan2 susulan)
Hindari mendominasi pembicaraan
Tumbuhkan rasa percaya diri
Fokus
96
97. B. Selama Berunding
Di akhir
Buat risalah rapat
Bacakan dan koreksi jika ada kesalahan
pengertian maupun penulisan
Tandatangani oleh semua yang hadir
Tegaskan pelaksanaan pertemuan berikutnya
Salam
97
100. Definisi
• Outsourcing adalah menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis
(UU 13/2003, pasal 64)
100
102. Syarat & Ketentuan Outsorcing
• Bukan fungsi pokok perusahaan
• Dilakukan terpisah dari kegiatan utama
• Dialihkan kepada suatu badan hukum
• Ada perjanjian alih-daya tertulis
• Kondisi ketenagakerjaan (hak-hak
normatif) sesuai ketentuan yang berlaku
103. Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk
badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya
sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
103
104. (6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara
tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian
kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih
menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan
pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan
kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan
hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
104
105. Pasal 66
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh
pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan
langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a
adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat
secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang
bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan
wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki
izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan
huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja
antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. 105
106. Penjelasan Pasal 66
• Ayat (1)
– Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok
atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan
pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
– Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan
yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu
perusahaan.
• Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning
service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering,
usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa
penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha
penyediaan angkutan pekerja/buruh.
106
107. Matriks Kebijakan & Strategi Hubungan Kerja
Jenis Fungsi Bukan
pokok fungsi pokok
Sifat Perusahaan perusahaan
Terus PKWTT /
PKWTT
Menerus Outsourcing
Tidak Terus PKWT /
PKWT
Menerus Outsourcing
110. Definisi
• Pemutusan hubungan kerja adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu
hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha
(UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan:
Bab I: ketentuan umum pasal 1 ayat 25)
110
111. Dasar Hukum
• UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan:
BAB XII Pemutusan Hubungan Kerja,
Pasal 150 s.d. 172
111
112. Pointers tentang PHK
dalam UU 13/2003
Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan
terjadi pemutusan hubungan kerja.
Pasal 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
alasan :
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut
keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas)
bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena
memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan,112
atau menyusui bayinya;
113. f. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu
perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus
serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan
serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam
kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama;
h. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang
berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak
pidana kejahatan;
i. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan
kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat
keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum
dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan
pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang
bersangkutan.
113
114. 2 Kategori PHK
• PHK tanpa penetapan: tidak perlu meminta
putusan penetapan PHK dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan
industrial
• PHK dengan penetapan: perlu atau wajib
meminta putusan penetapan PHK dari
lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial 114
115. PHK tanpa penetapan
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3)
tidak diperlukan dalam hal :
a. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja,
bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri,
secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi
adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu
tertentu untuk pertama kali;
c. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan
ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-
undangan; atau
d. Pekerja/buruh meninggal dunia. 115
117. TABEL JENIS TANGGUNGJAWAB PENGUSAHA (HAK KARYAWAN)
KODE JENIS UANG PESANGON KETERANGAN Dasar Aturan
Gaji pokok + tunjangan
UP Uang pesangon tetap Psl. 157 jo 156 ayat 2
Gaji pokok + tunjangan Psl. 157 jo
UPMK Uang penghargaan masa kerja tetap 156 ayat 3
UPH Uang penggantian hak
1/2 bulan gaji
UPH1 Cuti belum di ambil pokok Psl. 156 ayat 4 a
Biaya ongkos pulang pekerja & Sesuai tempat diterima
UPH2 keluarganya kerja Psl. 156 ayat 4 b
Penggantian perumahan, pengobatan & 15
UPH3 perawatan %.UP+UPMK Psl. 156 ayat 4 c
Sesuai KKB / KK / Per.
UPH4 Hal lain sesuai KKB / KK / PP Prs. Psl. 156 ayat 4 d
Sesuai KKB / KK / Per.
Upis Uang pisah Prs. Psl. 158 ayat 4
117
GK Ganti Kerugian Perundingan Psl. 158 ayat 4
118. TABEL UANG PESANGON SESUAI
MASA KERJA
Dasar
KODE Lama Kerja KETERANGAN Aturan
MK0 < 1 th 1 upah UU 13/2003 Psl. 156 ayat 2 a
MK1 Lebih 1 th tapi kurang 2 th 2 upah UU 13/2003 Psl. 156 ayat 2 b
MK2 Lebih 2 th tapi kurang 3 th 3 upah UU 13/2003 Psl. 156 ayat 2 c
MK3 Lebih 3 th tapi kurang 4 th 4 upah UU 13/2003 Psl. 156 ayat 2 d
MK4 Lebih 4 th tapi kurang 5 th 5 upah UU 13/2003 Psl. 156 ayat 2 e
MK5 Lebih 5 th tapi kurang 6 th 6 upah UU 13/2003 Psl. 156 ayat 2 f
MK6 Lebih 6 th tapi kurang 7 th 7 upah UU 13/2003 Psl. 156 ayat 2 g
MK7 Lebih 7 th tapi kurang 8 th 8 upah UU 13/2003 Psl. 156 ayat 2 h
118
MK8 > 8 th 9 upah UU 13/2003 Psl. 156 ayat 2 i
119. TABEL UANG PENGHARGAAN
MASA KERJA(UPMK)
Dasar
KODE Lama Kerja KETERANGAN Aturan
Upmk0 Klasifikasi UPMK < 3 tahun 0 upah -
UU 13/2003 Psl. 156 ayat 3
Upmk1 Klasifikasi UPMK 3 - 6 th 2 upah a
UU 13/2003 Psl. 156 ayat 3
Upmk2 Klasifikasi UPMK 6 - 9 th 3 upah b
UU 13/2003 Psl. 156 ayat 3
Upmk3 Klasifikasi UPMK 9 - 12 th 4 upah c
UU 13/2003 Psl. 156 ayat 3
Upmk4 Klasifikasi UPMK 12 - 15 th 5 upah d
UU 13/2003 Psl. 156 ayat 3
Upmk5 Klasifikasi UPMK 15 - 18 th 6 upah e
Upmk6 Klasifikasi UPMK 18 - 21 th 7 upah UU 13/2003 Psl. 156 ayat 3 f
UU 13/2003 Psl. 156 ayat 3
Upmk7 Klasifikasi UPMK 21 - 24 th 8 upah g
119
UU 13/2003 Psl. 156 ayat 3
Upmk8 Klasifikasi UPMK > 24 th 10 upah h
120. TABEL HAK PESANGON KARYAWAN SESUAI ALASAN TERJADINYA PHK
UPH2 UPH3
KO UPM UPH1 UP
JENIS PENYEBAB PHK DASAR ATURAN UP (transpo (rmh+o Upis GK
DE K (cuti) H4
rt) bat)
1 Karyawan melakukan kesalahan berat (berdasar Pasal 158 (1,3) jo KepMK 012/03, jo SE 0 0 1 1 0 0
putusan pengadilan) 13/2005
2 Karyawan melakukan pelanggaran sesuai Pasal 161 (3) 1 1 1 1 15% 0 0
ketentuan kontrak kerja dan telah mendapat
Surat Peringatan
3 Karyawan berperkara pidana lebih dari 6 bulan Pasal 160 (3,6,7) jo SE 13/2005 0 1 1 1 0 0
(kasusnya bukan pengaduan Pengusaha)
4 Mengundurkan diri Pasal 162 (1,2) 0 0 1 1 0 1
5 Bukan karena kesalahan, tapi pekerja dapat Pasal 27 KEP. 150/2000 jo UUK 13/2003 2 1 1 1 15% 0 0 1
menerima psl 191
6 Prubahan status,penggabungan,peleburan/ Pasal 163 (1) 1 1 1 1 15% 0 0
perubahan kepemilikan, pekerja tidak bersedia
lanjut kerja.
7 Perubahan status, penggabungan, peleburan, Pasal 163 (2) 2 1 1 1 15% 0 0
pengusaha tidak bersedia menerima karyawan
kembali bekerja
8 Perusahaan tutup karena rugi, force majeur Pasal 164 (1) 1 1 1 1 15% 0 0
9 Perusahaan tutup karena melakukan efisiensi Pasal 164 (3) 2 1 1 1 15% 0 0
10 Perusahaan pailit Pasal 165 1 1 1 1 15% 0 0
11 Karyawan meninggal dunia Pasal 166 2 1 1 1 15% 0 0
12 Karyawan tidak masuk 5 hari secara berturut- Pasal 168 (1,3) 0 0 1 1 0 0 0
turut tanpa surat yg dpt dipertanggungjawabkan
(mangkir)
13 Pengusaha menganiaya karyawan & pengusaha Pasal 169 (1,2) 2 1 1 1 15% 0 0
wanprestasi
14 Karyawan mengalami sakit berkepanjangan, Pasal 172 2 2 1 1 15% 0 0
mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan
tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah 12
bulan
15 Karyawan masuk masa pensiun (Belum Pasal 167 (1,5) 2 1 1 1 15% 0 0
diikutkan program pensiun)
16 Karyawan masuk masa pensiun (Telah diikutkan Pasal 167 (1) 0 0 1 1 15% 0 120
0
program pensiun dgn iuran dari perusahaan)
122. Dasar Hukum
• Undang-undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial
• Disahkan di Jakarta Pada Tanggal 14
Januari 2004 oleh Presiden Republik
Indonesia: Megawati Soekarnoputri
122
123. Sistimatika UU 2 / 2004
• BAB I. KETENTUAN UMUM (Pasal 1 – 2)
• BAB II. TATA CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
– Bagian Kesatu Penyelesaian Melalui Bipartit (Pasal 3 – 7)
– Bagian Kedua Penyelesaian Melalui Mediasi (Pasal 8 – 16)
– Bagian Ketiga Penyelesaian Melalui Konsiliasi (Pasal 17 – 28)
– Bagian Keempat Penyelesaian Melalui Arbitrase (Pasal 29 – 54)
• BAB III. PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
– Bagian Kesatu Umum (Pasal 55 – 60)
– Bagian Kedua Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi (Pasal 61- 73)
– Bagian Ketiga Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti (Pasal 74 – 80)
123
124. • BAB IV. PENYELESAIAN PERSELISIHAN MELALUI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
– Bagian Kesatu Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim
• Paragraf 1 Pengajuan Gugatan (Pasal 81 – 88)
• Paragraf 2 Pemeriksaan Dengan Acara Biasa (Pasal 89 – 97)
• Paragraf 3 Pemeriksaan Dengan Acara Cepat (Pasal 98 – 99)
• Paragraf 4 Pengambilan Putusan (Pasal 100 – 112)
– Bagian Kedua Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi (Pasal
113 – 115)
• BAB V. SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN
PIDANA
– Bagian Kesatu Sanksi Administratif (Pasal 116 – 121)
– Bagian Kedua Ketentuan Pidana (Pasal 122)
• BAB VI. KETENTUAN LAIN-LAIN (Pasal 123)
• BAB VII. KETENTUAN PERALIHAN (Pasal 124)
124
• BAB VIII. KETENTUAN PENUTUP (Pasal 125 – 126)
125. Definisi
• Perselisihan Hubungan Industrial adalah
perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan
(Pasal 1 ayat 1 UU 2 / 2004)
125
126. • Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak
dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
• Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
• Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
• Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan
antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
kewajiban keserikatpekerjaan.
126
129. Perundingan Bipartit
• Perundingan bipartit adalah perundingan
antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha
untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
129
130. Bagian Kesatu
Penyelesaian Melalui Bipartit
Pasal 3
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui
perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah
satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai
kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Pasal 4
(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah
satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling
lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.
(3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati
memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.
(4) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan
melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.
(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
(6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau130
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
132. Mediasi & Mediator
• Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi
adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator yang netral.
• Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator
adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai
mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan
mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
132
133. Pasal 13
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian
Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui mediasi, maka:
a. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak;
c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator
yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
d. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c
dianggap menolak anjuran tertulis;
e. Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran
tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat
perjanjian bersama untuk kemudian didaftar di pengadilan hubungan industrial
pada pengadilan negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian
bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
133
135. Konsiliasi & Konsiliator
• Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh
seorang atau lebih konsiliator yang netral.
• Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi
syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri,
yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
135
perusahaan.
136. Pasal 23
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian
Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui konsiliasi, maka:
a. Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah
disampaikan kepada para pihak;
c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada konsiliator
yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
d. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c
dianggap menolak anjuran tertulis;
e. Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada
huruf a, maka, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran
tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat
perjanjian bersama untuk kemudian didaftar di pengadilan hubungan industrial
pada pengadilan negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama
untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
136
138. Arbitrase & Arbiter
• Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan
kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan
Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para
pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian
perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para
pihak dan bersifat final.
• Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter
adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri
untuk memberikan putusan mengenai perselisihan
kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya 138
mengikat para pihak dan bersifat final.
139. Pasal 44
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya
mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih.
(2) Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau
majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang
berselisih dan arbiter atau majelis arbiter.
(3) Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian.
(5) Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gagal, arbiter atau
majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.
Pasal 51
(1) Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih
dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.
(2) Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan.
(3) Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilaksanakan oleh
salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi
di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan
diperintahkan untuk dijalankan.
(4) Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam waktu selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan didaftarkan pada Panitera
Pengadilan Negeri setempat dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan arbitrase.
139
140. Pasal 52
(1) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan diduga
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan;
c. putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan perselisihan;
d. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e. putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan,
Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau
sebagian putusan arbitrase.
(3) Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.
Pasal 53
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui 140
arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
141. PENYELESAIAN PERSELISIHAN
MELALUI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Pasal 103
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung
sejak sidang pertama.
Pasal 104
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103
ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.
Pasal 105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus
sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam
sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2).
Pasal 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani,
Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan. 141
142. Pasal 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan
diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak.
Pasal 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat
dilaksanakan
lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.
Pasal 109
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan
bersifat tetap.
Pasal 110
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan
perselisihan
pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi
kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam sidang majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.
Pasal 111
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan
secara
tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam waktu selambat- 142
lambatnya
143. Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi
Pasal 113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang
Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara
perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan
oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 115
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan
kerja
pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
143
145. Definisi
• Pengawasan ketenagakerjaan adalah
kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan
(UU 13/2003)
145
146. BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas
ketenaga-kerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna
menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 178
(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri
pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden. 146
147. Pasal 179
(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan KeputusanMenteri.
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta
wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 wajib :
a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
147