SlideShare una empresa de Scribd logo
1 de 25
Islam, Doktrin dan Peradaban<br />oleh Dr. Nurcholish Madjid<br />Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan <br />ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota<br />Disiplin Keilmuan Tradisional Islam: Ilmu Kalam (Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)(1/2)<br />Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.<br />Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.<br />Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum quot;
Santriquot;
 masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi). <br />Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang.<br />Pertumbuhan Ilmu Kalam<br />Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.<br />Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti quot;
pembicaraanquot;
. Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan quot;
pembicaraanquot;
 dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti quot;
pembicaraanquot;
, tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab quot;
manthiqiquot;
 berarti quot;
logisquot;
.<br />Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.<br />Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.<br />Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah<br />Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut:<br />Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
1quot;
 1]<br />Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam quot;
Peristiwa Shiffinquot;
 di situ 'Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan quot;
de jurequot;
-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam quot;
Peristiwa Shiffinquot;
 tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali, sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya mirip). [ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
2quot;
 2]<br />Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang 'ulama' yang disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:<br />Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan rasional) ... [ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
3quot;
 3]<br />Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu'tazilah.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
4quot;
 4] Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat (quot;
pengingkarquot;
 [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah (quot;
pembebasquot;
 [Tuhan dari sifat-sifat]).[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
5quot;
 5] <br />Kaum Mu'tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu'tazilah disebut sebagai quot;
titisanquot;
 doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
6quot;
 6] <br />Khalifah al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
7quot;
 7] Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
8quot;
 8] Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
9quot;
 9] Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.<br />Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma'mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.quot;
[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
10quot;
 10] <br />Plus-Minus Ilmu Kalam<br />Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu'tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy'ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu'tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu'tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu'tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu'tazilah. Ilmu Kalam al-Asy'ar'i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy'ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa quot;
jalan keselamatanquot;
 hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy'ari.<br />Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy'ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy 'ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-Asy'ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan sistem Ilmu Kalamnya dipandang sebagai quot;
jalan keselamatanquot;
, bersama dengan sistem al-Asy'ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadits yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat:<br />...Wus dadi prenca-prenca umat ingkang dihin-dihin ing atase pitung puluh loro pontho, lan mbesuk bakal pada prenca-prenca sira kabeh dadi pitting puluh telu pontho, setengah saking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabeh ing dalem neraka. Ana dene ingkang sewiji ingkang selamet iku, iya iku kelakuan ingkang wus den lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iya iku 'aqa'ide Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah lan Maturidiyyah.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
11quot;
 11]<br />(...Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan junjungan Rasulullah s.a.w., yaitu 'aqa'id (pokok-pokok kepercayaan) Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah dan M'aturidiyyah).<br />Kehormatan besar yang diterima al-Asy'ari ialah karena solusi yang ditawarkannya mengenai pertikaian klasik antara kaum quot;
liberalquot;
 dari golongan Mu'tazilah dan kaum quot;
konservatifquot;
 dari golongan Hadits (Ahl al-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal dan sekalian imam mazhab Fiqh). Kesuksesan al-Asy'ari merupakan contoh klasik cara mengalahkan lawan dengan meminjam dan menggunakan senjata lawan. Dengan banyak meminjam metodologi pembahasan kaum Mu'tazilah, al-Asy'ari dinilai berhasil mempertahankan dan memperkuat paham Sunni di bidang Ketuhanan (di bidang Fiqh yang mencakup peribadatan dan hukum telah diselesaikan terutama oleh para imam mazhab yang empat, sedangkan di bidang tasawuf dan filsafat terutama oleh al-Ghazali, 450-505 H/1058-1111 M). Salah satu solusi yang diberikan oleh al-Asy'ari menyangkut salah satu kontroversi yang paling dini dalam pemikiran Islam, yaitu masalah manusia dan perbuatannya, apakah dia bebas menurut paham Qadariyyah atau terpaksa seperti dalam paham Jabariyyah. Dengan maksud menengahi antara keduanya, al-Asy'ari mengajukan gagasan dan teorinya sendiri, yang disebutnya teori Kasb (al-kasb, acquisition, perolehan). Menurut teori itu, perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan Tuhan, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggung-jawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau acquisition, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, dan bukan yang lain, meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih dan diputus sendiri untuk dilakukan itu. Ini diungkapkan secara singkat dalam nadham Jawharat al-Tawhid demikian:<br />Wa indana li l abdi kasbun kullifa, wa lam yakun mu atstsiran fa 'l-tarifa.Fa laysa majburan wa la 'khtiyara wa laysa kullan yaf'alu 'khtiyara<br />(Bagi kita Ahl al-Sunnah manusia terbebani oleh kasb dan ketahuilah bahwa ia tidak mempengaruhi tindakannya.Jadi manusia bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas, namun tidak seorang pun mampu berbuat sekehendaknya).<br />Terhadap rumus itu Kiai Saleh Darat memberi komentar tipikal paham Sunni (menurut Ilmu Kalam Asy'ari) sebagai berikut:<br />... Maka Jabariyyah lan Qadariyyah iku sasar karone.Maka ana madshab Ahl al-Sunnah iku tengah-tengah antarane Jabariyyah lan Qadariyyah, metu antarane telethong lan getih metu rupa labanan khalishan sa'ghan li al-syaribin.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
12quot;
 12]<br />(... Maka Jabariyyah dan Qadariyyah itu kedua-duanya sesat. Kemudian adalah mazhab Ahl al-Sunnah berada di tengah antara Jabariyyah dan Qadariyyah, keluar dari antara kotoran dan darah susu yang murni, yang menyegarkan orang yang meminumnya).<br />Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy'ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy'ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu'tazilah dan Syi'ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mu'tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu alAsy'ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian: <br />... Sesungguhnya para pengikut paham Asy'ari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidak masuk akal... Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu'tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah --sehingga kaum Mu'tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah-- dan mereka (kaum Asy'ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada benda-benda bernyawa mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
13quot;
 13] <br />Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsy'ari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai quot;
sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan tersebutquot;
[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
14quot;
 14] Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
15quot;
 15]<br />Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy'ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional ('aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, quot;
salinanquot;
 atau quot;
kutipanquot;
), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum quot;
liberalquot;
, seperti golongan Mut'azilah, cenderung mendahulukan akal, dan kaum quot;
konservatifquot;
 khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta'wil), sebagaimana telah kita bahas.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
16quot;
 16] Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy'ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan quot;
bi la kayfaquot;
 (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) --menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy'ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.<br />Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy'ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu'tazilah, Ilmu Kalam al-Asy'ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta'aqqul (intelektualisasi).[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
17quot;
 17] Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategori-kategori yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa quot;
hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiranquot;
 (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi al-adzhan).[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
18quot;
 18]<br />Epistemologi Ibn Taymiyyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk interprestasi. Sebab baginya dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fithrah-nya: dengan fithrah itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
19quot;
 19] Fithrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama, yang disebut Ibn Taymiyyah sebagai quot;
fithrah yang diturunkanquot;
 (al-fithrah al-munazzalah). Maka metodologi kaum Kalam baginya adalah sesat.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
20quot;
 20]<br />Yang amat menarik ialah bahwa epistemologi Ibn Taymiyyah Yang Hanbali berdasarkan fithrah itu paralel dengan epistemologi Abu Ja'far Muhammad ibn Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi (wafat 381 H), seorang quot;
ahli Ilmu Kalamquot;
 terkemuka kalangan Syi'ah. Al-Qummi, dengan mengutip berbagai hadits, memperoleh penegasan bahwa pengetahuan tentang Tuhan diperoleh manusia melalui fitrah-nya, dan hanya dengan adanya fitrah itulah manusia mendapat manfaat dari bukti-bukti dan dalil-dalil.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
21quot;
 21]<br />Maka sejalan dengan itu, Ibn Taymiyyah menegaskan, bahwa pangkal iman dan ilmu ialah ingat (dzikr) kepada Allah. quot;
Ingat kepada Allah memberi iman, dan ia adalah pangkal iman .....pangkal ilmu.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
22quot;
 22] <br />CATATAN<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot;
  quot;
r1quot;
 1 Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, jil. 4, h. 237.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot;
  quot;
r2quot;
 2 Ibid, hh. 12-13.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot;
  quot;
r3quot;
 3 Ibid, h. 110.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot;
  quot;
r4quot;
 4 Ibid.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot;
  quot;
r5quot;
 5 Ibid., jil. 1, hh. 344 dan 345.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot;
  quot;
r6quot;
 6 Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq, h. 185.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot;
  quot;
r7quot;
 7 Minhaj, jil. 1, h. 344.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot;
  quot;
r8quot;
 8 Karena dominannya isu Kalam atau Sabda Allah apakah qadim atau hadits sebagai pusat kontroversi itu maka ada kaum ahli yang mengatakan penalaran tentang segi ajaran Islam yang relevan itu disebut Ilmu Kalam, seolah-olah merupakan ilmu atau teori tentang Kalam Allah. Disamping itu, seperti Ibn Taymiyyah, mengatakan bahwa ilmu itu disebut Ilmu Kalam dan para ahlinya disebut kaum Mutakallim, sesuai dengan makna harfiah perkataan kalam dan mutakallim (pembicaraan, hampir mengarah kepada arti quot;
orang yang banyak bicaraquot;
), ialah karena bertengkar sesama mereka dengan adu argumen melalui pembicaraan kosong, tidak substantif. (Lihat Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq, hh. 205-206).<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot;
  quot;
r9quot;
 9 Berkenaan dengan kontroversi ini, seorang orientalis kenamaan, Wilfred Cantwell Smith dari Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada (tempat banyak ahli keislaman Indonesia dan Dunia belajar dan mengajar, termasuk, Prof. H.M. Rasydi), membandingkan paham orang Islam, khususnya aliran Sunni, dengan paham orang Kristen. Kata Smith, yang sebanding dengan al-Qur'an dalam Islam itu bukanlah Injil dalam Kristen, melainkan diri 'Isa al-masih atau Yesus Kristus. Sebab, sebagaimana orang-orang Muslim (aliran Sunni) memandang al-Qur'an itu qadiim seperti Dzat Ilahi, orang-orang Kristen memandang 'Isa sebagai penjelmaan Allah dalam sistem teologia Trinitas, yang juga qadim, sama dengan al-Qur'an. Jadi jika bagi agama Islam al-Qur'an itulah wahyu Allah (Inggris: revelation, pengungkapan diri), maka bagi agama Kristen 'Isa al-Masih itulah wahyu, menampakkan Tuhan. Sedangkan Injil bukanlah wahyu, melainkan catatan tentang kehidupan 'Isa al-Masih, sehingga tidak sama kedudukannya dengan al-Qur'an, tetapi bisa dibandingkan dengan Hadits. Maka sejalan dengan itu Nabi Muhammad tidaklah harus dibandingkan dengan 'Isa al-Masih (karena dia ini quot;
Tuhanquot;
), tetapi dengan Paulus (karena dia ini, sama dengan Nabi Muhammad, adalah quot;
rasulquot;
). (Lihat, W. C. Smith, Islam in Modern History [Princenton, N.J.: Princeton University Press, 19771, hh. 17-18 fn). Pandangan Islam tentang Isa al-Masih sudah sangat terkenal, dan tidak perlu dikemukakan di sini. Tetapi tentang Paulus, cukup menarik mengetahui bahwa sudah sejak awal sekali orang-orang Muslim terlibat dalam kontroversi dan polemik sekitar tokoh ini. Menurut Ibn Taymiyyah, misalnya, Paulus (Arab: Bawlush ibn Yusya') adalah scorang tokoh Yahudi yang berpura-pura masuk agama Nasrani dengan maksud merusak agama itu melalui pengembangan paham bahwa 'Isa al-Masih adalah Tuhan atau jelmaan Tuhan. Ibn Taymiyyah mengemukakan bahwa peranan Paulus dalam merusak agama Nasrani sama dengan peranan 'Abdullah ibn Saba' dalam tnerusak agama Islam. Serupa dengan Paulus, 'Abdullah ibn Saba', kata Ibn Taymiyyah, adalah seorang tokoh Yahudi dari Yaman yang menyelundup ke dalam Islam dengan tujuan merusak agama itu dari dalam, dengan mengembangkan paham yang salah dan serba melewati batas tentang Ali ibn Abi Thalib dan Anggota Keluarga Nabi (Ahl al-Bayt) sebagaimana kemudian dianut oleh kaum Rafidlah dan kaum Syi'ah pada umumnya. (Lihat, Minhaj, jil. 1, h. 8 dan jil. 4, h. 269). Kiranya kontroversi dan polemik serupa itu tidak perlu mengejutkan kita, karena telah merupakan bagian dari sejarah pertumbuhan pemikiran keagamaan itu sendiri. <br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot;
  quot;
r10quot;
 10 Disini perlu kita tegaskan bahwa mihnah Khalifah al-Ma'mun itu, meskipun sangat buruk, tidak dapat disamakan dengan inquisition yang terjadi di Spanyol setelah reconquest. Karena mihnah itu dilancarkan dibawah semacam quot;
liberalismequot;
 Islam atau kebebasan berpikir yang menjadi paham Mu'tazilah, melawan mereka yang dianggap menghalangi quot;
liberalismequot;
 dan kebebasan itu, khususnya kaum quot;
fundamentalisquot;
 (al-Hasywiyyun, sebuah sebutan ejekan, yang secara harfiah berarti kurang lebih quot;
kaum sampahquot;
 karena malas berpikir dan menolak melakukan interprestasi terhadap ketentuan agama yang bagi mereka tidak masuk akal). Sedangkan inquisition di Spanyol kemudian Eropa pada umumnya secara total kebalikannya, yaitu atas nama paham agama yang fundamentalistik dan sempit melawan pikiran bebas yang menjadi paham para pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para failasuf yang saat itu telah belajar banyak dari warisan pemikiran Islam.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
r11quot;
 11 Hajj Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani, Tarjamat Sabil al-Abid 'ala Jawharat al-Tawhid (sebuah terjemah dan uraian panjang lebar atas kitab Ilmu Kalam yang terkenal, Jawharat al-Tawhid, dalam bahasa Jawa huruf Pego, tanpa data penerbitan), hh. 27-28.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
r12quot;
 12 Ibid., hh. 149-151.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
r13quot;
 13 Minhaj, jil. 1, h. 172.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
r14quot;
 14 Ibid., h. 170. <br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
r15quot;
 15 Ibid.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
r16quot;
 16 Lihat kajian kita tentang quot;
Interprestasi Metaforisquot;
 yang telah lalu.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
r17quot;
 17 Lihat Minhaj, jil. 1, hh. 235, 243, 254, 261, dan hh. 266. Juga Naqdl al-Manthiq, h. 25,164 dan 202.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
r18quot;
 18 Minhaj, jil. 1, hh. 243 dan 245.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
r19quot;
 19 Ibid., hh. 281 dan 291.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
r20quot;
 20 Naqdl al-Manthiq, hh. 38, 39, 171, 160-162, dan 172.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
r21quot;
 21 Abu Ja'far Muhammad ibn 'Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi, al-Tawhid (Qumm: Mu'assasat al-Nasyr al-Islami, 1398 H), hh. 22, 35, 82 dan 230.<br /> HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
r22quot;
 22 Naqdl al-Manthiq, h. 34. <br />Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.<br />Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.<br />Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum quot;
Santriquot;
 masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi). <br />Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang.<br />Pertumbuhan Ilmu Kalam<br />Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.<br />Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti quot;
pembicaraanquot;
. Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan quot;
pembicaraanquot;
 dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti quot;
pembicaraanquot;
, tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab quot;
manthiqiquot;
 berarti quot;
logisquot;
.<br />Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.<br />Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.<br />Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah<br />Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut:<br />Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
1quot;
 1]<br />Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam quot;
Peristiwa Shiffinquot;
 di situ 'Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan quot;
de jurequot;
-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam quot;
Peristiwa Shiffinquot;
 tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali, sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya mirip). [2]<br />Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang 'ulama' yang disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:<br />Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan rasional) ... [3]<br />Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu'tazilah.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
4quot;
 4] Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat (quot;
pengingkarquot;
 [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah (quot;
pembebasquot;
 [Tuhan dari sifat-sifat]).[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
5quot;
 5] <br />Kaum Mu'tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu'tazilah disebut sebagai quot;
titisanquot;
 doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.[ HYPERLINK quot;
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot;
  quot;
6quot;
 6] <br />Khalifah al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.[7] Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?[8] Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.[9] Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.<br />Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma'mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.quot;
[10] <br />SLAM KLASIK DAN KAJIAN ISLAM DI MASA DEPANFu'ad Jabali Keseluruhan sejarah Islam adalah pergumulan masyarakat Islam mewujudkan nilai-nilai Islam dalam ruang dan waktu tertentu. Catatan pergumulan tersebut lalu disistematisasi dan dilembagakan di balik nama-nama yang sekarang dikenal: tentang Tuhan dalam kaitannya dengan manusia dan alam disebut aqidah/filsafat, tentang hukum dan segala bentuk aplikasinya disebut fikih (atau, syari'ah), tentang makna al-Qur'an disebut tafsir, sementara cara-cara transmisi Islam dari satu generasi ke generasi lain atau dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lain disebut tarbiyah. Sebutan lain seperti adab (sejarah dan kebudayaan Islam), sufisme dan dakwah juga menunjuk pada hal yang sama: hasil pencapaian masyarakat Islam dalam menafsirkan dan mentransmisikan Islam.Di berbagai tempat dimana proses pendidikan Islam berlangsung-termasuk pesantren, masjid, madrasah, majlis taklim, kelompok pengajian dan IAIN-hasil-hasil capaian tersebut dipelajari. Aqidah, fikih/syari'ah, tafsir, sufisme dll. menjadi materi-materi kajian; bahkan di IAIN menjadi nama fakultas seperti Aqidah/Filsafat, Syari'ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab.Proses pelembagaan Islam tersebut-yaitu proses mengkristalnya Islam dalam berbagai ilmu dan aliran pemikiran atau mazhab-sudah mulai nampak dengan kuat terutama pada abad ke 2-3 H / 8-9 M dengan tokoh-tokoh seperti Malik ibn Anas (wafat th. 179 H / 795 M), Abu Hanifah (wafat 150/767), al-Syafi'i (wafat 204/820) dan Ahmad ibn Hanbal (wafat th. 241/855). Sejak abad ini secara intensif Islam diformulasikan, digeneralisasikan, dan dibuat hubungan antara satu sisi dengan yang lainnya. Yang muncul kemudian adalah Islam yang abstrak dan transenden, Islam yang sudah ditarik dari dunia nyata.Dengan generalisasi/abstraksi/transendensi, ciri khas Islam, atau kemampuan Islam untuk menyapa problem bawah yang yang sangat beragam, tertekan. Dengan kata lain, pendirian mazhab-dimana generalisasi dilembagakan-telah melahirkan alienasi. Pertama, mengalienasi Islam dari masyarakatnya. Untuk memahami generalisasi dan menurunkannya kembali ke tingkat detil memerlukan pengetahuan yang tidak sedikit sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya (dan mereka inilah yang kemudian disebut ahli agama, kyai, guru, ustaz dll). Mereka ini lalu menjadi semacam medium, lembaga perantara, antara Muslim awam dengan persoalan-persoalan mereka. Kedua, alienasi Muslim dari akar Islam, al-Qur'an dan Hadits. Dengan adanya mazhab kedua sumber itu secara tidak sadar terjauhkan dari umat yang semestinya menjadi pembacanya. Persoalan-persoalan yang timbul tidak lagi diadukan langsung kepada al-Qur'an dan Hadith tetapi kepada mazhab. Ketiga, mengalienasi masyarakat Islam dari Tuhannya. Tuhan kini didekati melalui mazhab, melalui institusi. Keempat, mengalienasi Islam dari persoalan aktual, karena mazhab tersebut dilahirkan pada masa tertentu untuk kebutuhan masyarakat tertentu, untuk merespon problem yang lahir pada masa tertentu, maka persoalan kekinian sendiri terpinggirkan dalam mazhab itu.Untuk keluar dari kemelut ini, seseorang harus bisa melampaui mazhab. 'Melampaui' berarti memecahkan kembali gumpalan-gumpalan mazhab, menguraikannya, mengembalikannya menjadi pecahan-pecahan kecil, dan menerapkannya pada kasus per kasus keseharian dalam bentuk bahan baku. Dengan cara ini, Islam akan kembali menjadi sederhana seperti masa awalnya, lebih fleksibel untuk dibentuk sesuai dengan ruang dan waktu. Tujuan Islam sebagai wahana mendekati Tuhan dan alat untuk menjawab persoalan-persoalan keseharian akan lebih efektif dicapai karena tidak ada lagi lembaga perantara yang memisahkan umat dengan kedua fungsi tersebut.Memecahkan gumpalan-gumpalan pemikiran yang sudah berabad-abad tersebut memang tidak mudah. Tetapi itulah agenda besar yang harus dilaksanakan jika ingin mengembalikan dinamika Islam ke tengah masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama IAIN, memainkan peranan penting dalam hal ini.Untuk tujuan tersebut, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, menguasai masa awal Islam yang simple sebagai bahan dasar-bahan yang dipakai para pendiri mazhab untuk membangun mazhabnya. Kedua, memahami masa dimana pertama kali institusionalisasi terjadi (atau masa dimana pertama kali mazhab-mazhab muncul). Kedua masa ini-masa awal Islam dan masa lahirnya mazhab-masuk ke dalam periode klasik Islam, yaitu masa yang membentang dari masa Nabi sampai Baghdad jatuh pada 1258. Masa ini merupakan masa yang sangat penting baik untuk memahami bangunan Islam sekarang maupun untuk membangun kembali pemahaman Islam yang akan datang.Struktur Ajaran IslamAbad ke 1 Hijrah. Pada masa ini Tuhan menurunkan wahyu yang [diyakini Muslim] paling sempurna ke dunia. Sebelumnya Tuhan menurunkan ajaranNya kepada nabi-nabi lain sejak Nabi Adam, tapi [bagi kaum Muslim] ajaranNya yang sempurna hanya diberikan kepada Nabi Muhammad. Sebagai penerima ajaran yang sempurna, Nabi Muhammad juga dianggap sebagai figur yang paling sempurna. Dibanding manusia lain yang pernah ada di dunia, termasuk nabi-nabi, Nabi Muhammad adalah yang terbaik. Demikian juga, umat Nabi Muhammad, sebagai umat yang menerima ajaran yang paling sempurna dari Nabi yang sempurna, adalah juga dipandang umat yang paling sempurna (kuntum khayra ummah). Dalam al-Qur'an disebutkan Nabi dan umatnya akan ditunjuk Tuhan untuk menjadi saksi ketika pengadilan di akhirat nanti terjadi (ummatan wasatan litakunu shuhada' 'ala al-nas).Walaupun umat Nabi Muhammad, termasuk yang sekarang, dianggap umat yang terbaik yang tengah menjalankan ajaran Tuhan yang terbaik, masa yang paling penting tetap berada pada saat ketiga kesempurnaan itu ada secara bersamaan, yaitu pada abad pertama Hijrah ketika Nabi hidup menjalankan ajaran di tengah-tengah umatnya. Demikian juga, walaupun Muslim kontemporer adalah umat yang terbaik, tetapi yang paling baik diantara seluruh generasi Muslim adalah mereka yang pernah hidup semasa dengan Nabi, mereka yang bersama Nabi membangun masyarakat Islam.Nabi dan umat sezamannya merupakan figur kunci dalam religiusitas orang Islam kapan pun. Apa yang dilakukan dan dikatakan mereka menjadi dasar hukum bagi orang Islam. Al-Qur'an dan Hadith Nabi adalah dua sumber ajaran Islam utama. Dari masa ke masa kedua sumber ini ditafsirkan dalam rangka menjawab berbagai macam persoalan pada zamannya. Produk dari penafsiran itu adalah tradisi Islam yang kaya raya, berupa mazhab-mazhab pemikiran (seperti Asy'ariyah, Mu'tazilah, Jabariyah dan Qadariyah dalam teologi; dan Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hanbali dalam fikih) yang kini terekam dalam buku-buku klasik. Semuanya itu adalah buah dari kembang yang ada pada abad pertama Hijriyah tersebut.Abad ke 2-3. Kalau masa Nabi adalah masa dimana pertama kali kesempurnaan ajaran Tuhan diturunkan, maka abad 2-3 Hijriyah adalah masa dimana untuk pertama kali ajaran-ajaran Tuhan yang diturunkan pada abad pertama tersebut dijabarkan dan dikristalisasikan dalam berbagai mazhab. Dengan kata lain, Islam abadi yang sudah direduksi pada masa Nabi kini direduksi lagi oleh para pendiri mazhab.Reduksi tingkat pertama selalu lebih baik dari reduski tingkat kedua. Reduksi tingkat pertama dilakukan Tuhan kepada manusia sempurna, Nabi. Reduksi tingkat kedua dilakukan oleh manusia biasa (artinya, bukan Nabi). Reduksi yang pertama, karena dilakukan oleh Tuhan, mengandung misteri dan keagungan. Dia sakral. Reduksi kedua, karena dilakukan manusia, lebih mudah diurai, tahap-tahapannya lebih mudah direkontruksi. Dia tidak sakral. Orang dianjurkan berwudu untuk menyentuh al-Qur'an (sebagai hasil dari reduksi tingkat pertama), dan membacanya bisa mendatangkan suasana spiritual dan mistik. Tidak demikian halnya dengan membaca buku al-Syafi'i (sebagai hasil reduksi tingkat kedua), misalnya.Tapi lepas dari perbedaan kedua tingkat reduksi tersebut, satu hal sama-sama dimiliki oleh kedua moment penting tersebut: sebagai 'yang pertama,' produk keduanya mengandung otoritas. Al-Qur'an dan buku al-Syafi'i, misalnya, senantiasa menjadi rujukan bagi masyarakat Islam yang datang belakangan. Ada orang yang menganggap reduksi tingkat pertama identik dengan kesempurnaan ajaran Tuhan, dan mengikuti apapun yang ada pada masa itu secara literal. Ada juga yang menganggap reduksi tingkat kedua sebagai identik dengan kebenaran Tuhan, dan mengikuti putusan-putusan mazhab secara literal. Dua pilihan itu sama-sama menafikan proses sebagai sesuatu yang esensi dalam Islam.Sesuatu 'yang pertama' selalu penting dan menentukan, karena di sinilah letaknya bagaimana sesuatu tersebut bermula. Di sinilah berbagai ketegangan terjadi, tarik-tarikan antara berbagai macam variable terjadi: tarik-tarikan antara kesempurnaan langit dengan keterbatasan bumi pada kasus Nabi; dan tarik-tarikan antara kesempurnaan Nabi dengan keterbatasan manusia biasa pada kasus pembentukan mazhab. Pada kasus Nabi ada reduksi tingkat pertama, pada kasus mazhab ada reduksi tingkat kedua (reduksi dari reduksi).Kalau mampu mengurai bagaimana reduksi terjadi, bagaimana tarik-tarikan bekerja, pada kedua tingkatan itu, maka akan sampai kepada pemahaman yang baik tentang Islam. Dengan memahami proses reduksi tingkat pertama, dari makna abadi di wilayah Tuhan ke makna yang dibatasi ruang dan waktu pada masa Nabi, seseorang bisa memahami mana tradisi Arab abad ke 7 dan mana Islam yang universal. Yang akan diterapkan adalah Islam, bukan tradisi Arab. Lewat pemahaman proses reduksi tingkat kedua, dari ajaran Nabi dan sahabatnya ke mazhab oleh para pendirinya, sesorang akan bisa menjawab posisi mazhab-mazhab pemikiran dalam Islam. Haruskah kaum Muslim terus mengikuti Imam Shafi'i?Al-Qur'an, dan Hadits serta sejarah hidup Nabi adalah reduksi dari realitas wilayah langit. Sebagai reduksi, dia tidak persis sama dengan makna abadi yang merupakan bentuk asli agama. Walau begitu harus dicatat bahwa, karena Nabi adalah makhluk yang terbaik dan al-Qur'an adalah ungkapan yang terbaik, maka sejarah hidup Nabi dan al-Qur'an, serta kata-kata Nabi adalah bentuk reduksi dunia langit yang terbaik yang mungkin dimiliki oleh umat Islam. Atau dengan kata lain, al-Qur'an dan Nabi adalah pintu terbaik yang kaum Muslim miliki untuk memahami Islam.Karena al-Qur'an dan hadith Nabi adalah ungkapan yang terbaik yang dipunyai, maka umat Islam harus tahu persis bagaimana ungkapan yang terbaik itu sebenarnya. Seperti dikatakan al-Qur'an dan Hadits Nabi, kaum Muslim harus mecontoh dan mengikuti Nabi. 'Mencontoh' dan 'mengikuti' hanya mungkin dilakukan kalau mereka tahu persis apa yang sebenarnya terjadi pada masa Nabi. Historisitas menjadi penting. 'Apa sebenarnya yang telah terjadi' menjadi penting untuk direkonstruksi oleh semua umat Islam.Tapi pada level kedua, karena Al-Qur'an dan Hadits Nabi itu terhubungkan dengan dunia langit, maka selain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, seseorang juga harus mampu menemukan makna apa sebenarnya yang ada di balik kata-kata atau peristiwa tersebut. Jawaban ini, karena terkait dengan dunia langit, tidak ada yang tahu. Hanya Tuhanlah yang tahu sebenarnya, dan karena itu para ulama selalu mengatakan 'wallalu a'lam bi al-sawab' ketika dia mengkahiri sebuah bahasan. Dan karena tidak ada yang persis tahu maka jawaban terhadap pertanyaan ini tidak satu. Jamak, plural.Ajaran Islam yang sebenarnya adalah ajaran Nabi sebelum mengalami reduksi. Inilah yang harus ditangkap. Berbagai macam tafsiran al-Qur'an, dan berbagai macam mazhab ditulis dalam rangka menangkap kesempurnaan ajaran Islam tersebut. Manusia, sebagai amkhluk yang tidak sempurna tentu tidak akan mampu menangkap sepenuhnya kesempurnaan ajaran Tuhan. Dan di sinilah esensi dari beragama: ada dinamika, ada pencarian yang terus menerus, proses menjadi yang tanpa batas. Kata 'Islam' sendiri' berarti 'sedang berusaha selamat'. (Bukan 'silm' yang berati 'selamat'). 'Muslim', berbeda dengan 'Salim', adalah 'orang-orang yang sedang berusaha menjadi Islam'. Dalam berislam ada dinamika, ada usaha yang terus menerus, bahkan usaha dan dinamika adalah esensi dari berislam. Dalam pengertian ini, orang yang tidak memiliki dinamika di dalam dirinya bisa disebut non-Muslim.Dialog dengan Sumber UtamaAda komponen penting pada suatu permulaan: kesederhanaan. Sesuatu yang pertama selalu sederhana, simple, mudah dipahami, dan merakyat. Ajaran-ajaran Nabi seperti yang terungkap dalam Hadits-Hadits Nabi menggambarkan keadaan ini. Karena simple, selain mudah dipahami, ajaran-ajaran Islam juga sangat fleksibel. Penyebaran Islam ke wilayah yang lebih luas dan kemampuan beradaptasi dengan komunitas lokal hanya mungkin terjadi jika ada fleksibelitas. Sesuatu yang simple, sederhana selalu mampu merangkul masyarakat yang lebih luas.Contoh yang bagus adalah syahadat dan aqidah. Jika seorang ingin masuk Islam, dia diwajibkan mengucapkan syahadat, yaitu kesaksian bahwa hanya Allahlah Tuhan yang Esa dan bahwa Muhammad adalah utusanNya. Hanya ucapan itu, tidak ada upacara atau kegiatan ritual lain yang kompleks. Pada perkembangan berikutnya muncul apa yang bernama aqidah. Kalau syahadat adalah komitmen individu, maka aqidah adalah komitmen suatu kelompok. Dengan kata lain, aqidah adalah syahadatnya masyarakat. Syahadat hanya satu dan dari orang ke orang ungkapannya sama. Aqidah jumlahnya banyak (Wasiyat Abu Hanifah, Aqidah Tahawiyah dll) dan ungkapannya beragam.Yang menjadi perhatian utama adalah persoalan pengungkapan dan kaitannya dengan waktu. Syahadat, sebagai bagian dari permulaan, sangat simpel. Ungkapannya pendek. Aqidah, bagian dari masa belakangan, lebih kompleks dan ungkapannya panjang sekali. Tidak seperti Syahadat, aqidah mengharuskan penganutnya untuk mengakui banyak hal: mulai dari pengakuan keesaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, kalam Tuhan, sampai ke pengakuan bahwa mengusap sepatu itu wajib dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia terancam menjadi kafir. Orang yang tidak mengakui salah satu komponen aqidah itu akan dianggap sebagai 'orang lain' atau bukan bagian dari masyarakat (jama'ah). Keyakinan yang berkembang di luar jama'ah disebut sekte.Kalau menggunakan aqidah sebagai acuan dalam beragama, maka seseorang telah keluar dari simplisitas dan menghadirkan kompleksitas beragama yang menyulitkan orang untuk berislam. Sebaliknya kalau menggunakan syahadat, seseorang akan kembali ke simplisitas dan memudahkan orang untuk berislam. Semakin simpel suatu ajaran, semakin sedikit kata-kata yang dibuat, semakin banyak masyarakat yang bisa dimasukkan ke dalamnya. Semakin rumit sebuah ajaran, semakin panjang sebuah rumusan doktrin, semakin banyak orang yang tersingkirkan. Seperti perintah, quot;
Semua orang masuk!quot;
 Dengan tiga kata ini tidak ada seorangpun yang disingkirkan. Tetapi begitu ditambah satu kata lagi (menjadi 4 kata), quot;
Semua orang Padang masuk.quot;
 Selain orang Padang tidak boleh masuk. Banyak orang tersingkirkan. Kalau ditambah satu kata lagi (menjadi 5 kata), quot;
Semua orang Padang kaya masuk.quot;
 Semakin banyak lagi orang yang tersingkirkan. Proses seperti ini telah terjadi pada rumusan doktrin Islam.Semua itu tidak untuk mengatakan bahwa perluasan doktrin atau penjabaran Islam tidak perlu ada. Simplisitas Islam ketika memasuki suatu masa tertentu atau tempat tertentu perlu dipadukan dengan budaya lokal. Simplisitas harus dibiarkan terbuka supaya orang bisa masuk beserta semua kekayaan imajinasi, fikiran dan budayanya. Ini adalah proses yang tidak bisa dihindarkan. Budaya Islam berkembang dengan pesat justeru karena kesiapan Islam untuk dimasuki orang-orang banyak, ide banyak. Jika simplisitas dibekukan, maka Islam tidak akan bisa berkembang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk.Tidak juga berarti bahwa simplisitas itu tidak diperlukan lagi. Masyarakat Islam awal adalah suatu bahan dasar yang bisa dipakai untuk membangun berbagai ekspresi Islam. Problem masyarakat yang semakin kompleks memerlukan rumusan Islam yang sepadan. Beragama memerlukan proses pemilikan. Islam harus menjadi bagian dari individu dan masyarakat. Proses pemilikan melibatkan dialog yang kompleks antara individu dan masyarakat, dengan segala kekayaannya-baik budaya, sejarah maupun kepentingan-dengan Islam. Hasilnya tidak lagi Islam yang simpel. Komplikasi adalah suatu keharusan dalam proses pemilikan. Jika hal tersebut tidak terjadi, Islam yang dianut akan menjadi Islam yang teralienasi dari dunia nyata. Tetapi rumusan baru yang kompleks tersebut harus bisa diturunkan lagi setiap saat ke dalam bentuk simplenya yang asli. Ketika kompleksitas telah berubah menjadi belenggu yang membingungkan, baik itu terjadi pada tingkat individu maupun generasi, akan ada tempat untuk kembali. Kembali ke kesederhanaan, kembali ke bahan baku, untuk kemudian kembali membuat kesepakatan-kesepakatan baru, bangunan-bangunan baru.Simplisitas-kompleksitas dalam Islam juga bisa dilihat pada tingkat sumber. Pada masa awal sumber Islam hanya al-Qur'an dan Hadits Nabi. Belum ada ijma`, belum ada qiyas. Belum ada buku mazhab, baik dalam bidang fikih maupun teologi. Pada masa itu al-Qur'an dan Hadits Nabi langsung berhadapan dengan tradisi lokal, dengan realitas masyarakat. Suasana yang sama sekali berbeda dengan saat ini. Sekarang al-Qur'an dan Hadits sudah dibentengi oleh berbagai tradisi dan buku. Al-Qur'an dan Hadits Nabi tidak lagi berdialog langsung dengan realitas kekinian, tapi diperantarai oleh buku dan tradisi tersebut, yang sering sangat kokoh sehingga tidak tembus-sehingga akhirnya tidak lagi merasakan keindahan dan kesucian al-Qur'an-yang sering tidak paham dengan tradisi tertentu, dengan persoalan tertentu.Menghadirkan al-Qur'an dan Hadits langsung kehadapan umat masa kini, tanpa perantara, juga berarti mengembalikan otoritas kedua sumber itu. Kembali ke masa awal Islam yang simpel berarti mengembalikan rumusan-rumusan kebenaran al-Qur'an dan Hadits yang simpel. Dari kedua sumber inilah dimulai upaya membangun tradisi Islam yang baru, melakukan teoritisasi, problematisasi, mendialogkan kembali kedua sumber itu dengan kompleksitas persoalan nyata. Dengan kata lain, perlu melakukan hal yang persis dilakukan oleh generasi kaum Muslimin sebelum mazhab-mazhab terbentuk. Besar kemungkinan hasil dialog tersebut akan melahirkan mazhab-mazhab baru, seperti halnya generasi abad ke 2-3 masyarakat Islam yang melahirkan Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Mazhab yang terbentuk adalah mazhab yang lahir langsung dari al-Qur'an. Bukan mazhab yang lahir dari mazhab. Hubungan dengan mazhab-mazhab tersebut tidak instruktif, tapi aspiratif. Hasil pemikiran yang dikembangkan di IAIN bisa jadi tidak merupakan kelanjutan darti mazhab-mazhab tersebut. Bisa jadi ada loncatan, ada sesuatu yang sama sekali baru. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat usia mazhab-mazhab (fikih) sekarang sudah lebih dari 1000 tahun.Menjadikan mazhab-mazhab yang ada sebagai sumber aspirasi tidak sama dengan merendahkan kedudukan mazhab-mazhab tersebut. Sekali lagi perlu ditegaskan mazhab-mazhab tersebut adalah mazhab pertama yang terinstitusionalisasi dalam Islam. Sebagai yang pertama ia juga memiliki otoritas, tentu saja pada level yang berbeda dengan al-Qur'an dan Hadits. Dari mazhab-mazhab itulah Muslim kontemporer bisa berkaca bagaimana problem-problem masyarakat mereka diadukan kepada al-Qur'an dan Hadits. Dalam hal ini proses institusionalisasi menjadi lebih penting diperhatikan daripada hasilnya.Arti BermazhabBagaimana berkaca pada mazhab? Ambil contoh Abu Hasan al-Asy'ari (wafat th. 324/935), tokoh penting di balik pendirian mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang kini menjadi anutan masyarakat Islam di Indonesia. Bagaimana cara memposisikan pendiri mazhab Asy'ariyyah ini?Pertama perlu ditegaskan kembali bahwa suatu pemikiran muncul karena adanya tantangan. Jenis pemikiran akan ditentukan oleh jenis tantangan. Untuk memahami suatu pemikiran, seseorang harus memahami dulu tantangan apa yang dihadapi oleh para pemikir pada masa itu. Persoalan apa sebenarnya yang tengah dijawab, problem apa yang tengah dipikirkan. Abu Hasan al-Asy'ari merumuskan pikiran teologinya karena adanya tantangan Mu'tazilah. Yang terakhir ini, sebagai akibat dari kajian filsafat, berusaha memasukkan elemen akal yang lebih besar ke dalam interpretasi wahyu. Kontroversi ini terkristalisasi dalam beberapa persoalan seperti sifat Tuhan, kalam Allah, perbuatan manusia dll. Karena pikiran al-Ay'ari merupakan reaksi atau jawaban dari lontaran Mu'tazilah, maka isi pikiran al-Asy'ari akan ditentukan oleh isu yang dilontarkan Mu'tazilah.Buku, sebagai catatan suatu pemikiran, juga harus dipahami seperti itu. Suatu buku lahir dari konteks tertentu, pada suatu ruang dan waktu tertentu. Jika ingin memahami buku itu maka yang harus dilakukan adalah menyusun kembali konteks kelahiran buku tersebut, atau, dengan kata lain, sejarah yang mengitari kelahiran buku tersebut, totalitas realitas sejarah yang melahirkan buku atau karya tersebut. Kalau ini benar, maka kajian sejarah menjadi sangat penting dalam memahami sebuah teks. Pemahaman sejarah mendahului pemahaman teks.Buku teologi Abu Hasan, karena ditulis sebagai respon terhadap pemikiran Mu'tazilah, ditentukan isinya oleh Mu'tazilah. Isunya isu Mu'tazilah. Tentu saja dengan jawaban yang berbeda. Buku Maqalat-nya berisi persoalan-persoalan yang memang sedang menjadi isu saat itu. Kalau ingin menggunakan teologi Asy'ariyah sekarang, apakah seseorang akan menganut pikirannya dalam persoalan-persoalan Mu'tazilah itu? Persoalan yang tidak menjadi isu besar dalam masyarakat saat ini? Apakah sekarang isu sifat Tuhan, misalnya, sedang diperdebatkan di wilayah publik di TV, koran, radio, seperti halnya hal itu diperdebatkan dengan media yang berbeda pada masa Abu Hasan al-Asy'ari? Muslim sekarang punya persoalan tersendiri, yang sama sekali bukan persoalan sifat Tuhan atau bisa tidaknya melihat Tuhan di akhirat. Muslim sekarang perlu rumusan teologi yang bisa menjawab persoalan kekinian mereka. Bukan teologi yang bisa memecahkan persoalan masa Abu Hasan al-Asy'ari.Tentu saja warisan Abu Hasan, seperti halnya warisan tradisi Islam masa lalu lainnya, sangat penting dipelajari. Bukan untuk diikuti secara literal, tapi untuk dijadikan cermin. Ketika bercermin, yang muncul adalah bayangan sendiri, bukan bayangan Abu Hasan. Muslim sekarang membaca Abu Hasan untuk melihat diri sendiri, memahami masyarakat sendiri. Yang menjadi pusat perhatian adalah umat Islam kontemporer, persoalan kontemporer. Mereka boleh saja menjadi pengikut Abu Hasan. Tapi pengikut yang baik adalah pengikut yang bisa mengulangi event dia: bahwa dia maju ke depan berfikir mencari pemecahan problem pada masanya. Menjadi pengikut dia, berarti maju memikirkan dan mencari pemecahan problem pengikut itu sendiri. Problem Abu Hasan tidak mesti diikuti. Isi buku Abu Hasan tidak mesti dihafalkan dan diyakini sampai berkeyakinan bahwa teologi yang dianut isinya sama dengan isi buku Abu Hasan. Teologi kontemporer adalah teologi masa kontemporer, teologi yang berisi kata-kata sendiri, yang merujuk pada benda-benda yang ada di sekitar umat saat ini.Tentu saja seseorang baru bisa merumuskan teologi yang tepat untuk dirinya kalau ia paham apa persoalannya. Teologi suatu generasi, atau aliran pemikiran apapun dalam suatu generasi, adalah jawaban generasi tersebut pada persoalan mereka. Pada saat itu aliran pemikiran tersebut memang cocok (karena memang dirumuskan untuk memecahkan persoalan mereka). Kalau seseorang ingin merumuskan paham keagamaan yang cocok buat dirinya, pertama-tama ia harus paham apa problem dirinya. Kesalahan mengidentifikasi problem akan melahirkan rumusan pikiran yang salah buat dirinya.Walaupun teologi banyak disebut, uraian di atas juga berlaku untuk ekspresi Islam lainnya, misalnya fikih. Fikih adalah rumusan manusia tentang persoalan hukum pada masanya. Fikih al-Syafi'i adalah fikih yang ditulis untuk menjawab persoalan hukum masanya. Apa persoalan masa kini? Apakah persoalan umat sekarang sama dengan persoalan yang dihadapi oleh imam Syafi'i?, sehingga kalau ingin mengikuti mazhab Syafi'i berarti harus mengikuti semua apa yang dia tulis dalam bukunya, lepas dari apakah apa yang dia tulis itu relevan buat Muslim saat ini? Atau apakah juga menjadi pengikut al-Syafi'i berarti mengikuti jejaknya dalam hal memacu dirinya untuk menjawab persoalan pada masanya?Kembali ke Abu Hasan. Pada tingkat pertama, menjadi pengikut Abu Hasan berarti mencontoh dia dalam hal keteguhan dan keyakinan serta ketekunannya dalam menjawab tantangan pada masanya untuk menciptakan kemaslahatan umat masanya. Pada level kedua, menjadi pengikutnya berarti mengikuti ajaran dia. Tapi ajaran dia tidak identik dengan apa yang dia katakan dalam buku-buku mereka. Jadi apa ajaran mereka? Ajaran mereka bukan pada level detil, yaitu bahwa Qur'an itu bukan mahluk atau bahwa seseorang pasti melihat Tuhan di akhirat, tapi pada tingkat prinsip yang lebih tinggi. Apa itu? Seseorang akan melihat suatu contoh yang menjadi salah satu isu utama pada masa Abu Hasan: hubungan antara Tuhan dengan sifatNya.Pada waktu kalangan ahli Hadits mengatakan bahwa dhat Tuhan itu berbeda dengan sifatNya dan bahwa sifat Tuhan itu abadi maka persoalanpun muncul. Dhat Tuhan abadi. Sifat Tuhan, yang ada dalam diri Tuhan, juga abadi. Bukankah itu berarti mengakui adanya dua keabadian dalam diri Tuhan (yaitu dhat dan sifatNya)?Abu al-Hudhayl (wafat th. 226/840), salah seorang tokoh Mu'tazilah, berkeyakinan bahwa mengakui sifat Tuhan sebagai berbeda dengan dhatNya adalah sirik. Dhat Tuhan itu, menurutnya, tidak berbeda dengan sifatNya. Dhat Tuhan adalah sifatNya. SifatNya adalah dhat Tuhan. Lalu dengan apa Tuhan mengetahui? Tuhan mengetahui bukan dengan 'sifat mengetahui' yang ada dalam dhatNya, tapi lagsung dengan dhatNya. Dhat Tuhan itu adalah ilmu. Ilmu adalah dhat Tuhan. Dalam pandangan Mu'tazilah, inilah tawhid yang sebenarnya (dan karena itu mereka menamakan dirinya ahli tawhid).Abu Hasan menolak pandangan Mu'tazilah tersebut. Tuhan berfirman dalam al-Qur'an bahwa Dia itu memiliki sifat. Nabi juga menyatakan begitu. Sahabat Nabi juga menyatakan begitu. Penolakan Mu'tazilah pada sifat Tuhan adalah penolakan pada kata-kata Tuhan, Nabi dan sahabatnya.Pada saat yang sama Abu Hasan juga tidak setuju dengan pandangan ahli Hadits yang mengatakan bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan dhatNya. Mengatakan bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan dhatNya dan bahwa sifatNya itu abadi memang akan menggiring pada pemahaman adanya dualisme dalam diri Tuhan. Ini tidak benar. Yang benar-setelah diperdebatkan di kalangan para pengikut Abu Hasan sendiri-adalah quot;
Sifat Tuhan itu bukan Tuhan dan bukan juga bukan Tuhan (laa huwa walaa ghayruh).quot;
Doktrin yang dirumuskan oleh kelompok Asy`ariyah itu seperti dua sisi mata uang. Ia adalah penolakan dan sekaligus juga pengakuan terhadap kedua kelompok yang bertikai di atas. Lewat quot;
Sifat Tuhan itu bukan Tuhanquot;
 mereka tolak Mu'tazilah dan mereka rangkul ahli Hadits yang berpendapat bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan Tuhan. Lewat quot;
Bukan juga bukan Tuhanquot;
, mereka tolak ulama Hadits dan mereka rangkul orang Mu'tazilah yang menyamakan Tuhan dengan sifatnya. Dua-duanya ditolak dan dua-duanya diterima dalam waktu yang bersamaan.Sebelum doktrin Asy'ariyah tentang sifat Tuhan itu diterima oleh kebanyakan orang Sunni, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), Abu Hasa al-Asy'ari dan pengikutnya menjadi bulan-bulanan kedua kelompok yang berusaha dia kompromikan. Oleh Mu'tazilah dia ditolak, oleh ulama salaf juga tidak disukai. Keduanya sama-sama merasa tidak terwakili. Sampai abad ke 12 para pengikut al-Asy'ari masih harus bertarung di jalan-jalan Baghdad melawan pendukung Mu'tazilah dan pendukung ahli Hadits.Bagaimana Asy`ariyah sekarang bisa diterima oleh kebanyakan umat? Rahasia di balik rumusan ajaranya mungkin bisa membantu untuk menjawabnya. Semangat dari rumusan quot;
Sifat Tuhan itu bukan Tuhan dan bukan juga bukan Tuhanquot;
 adalah bahwa realitas Tuhan itu bukan seperti yang dijelaskan baik oleh Mu'tazilah maupun oleh ahli Hadith. Definisi yang mereka rumuskan sama-sama tidak mampu menghadirkan eksistensi Tuhan yang sebenarnya. Makanya ditolak.Kalau begitu, rumusan yang diajukan Asy`ariyah itu sesungguhnya bukan sebuah definisi, tapi lebih berupa sebuah pengakuan yang tulus: pertama, pengakuan terhadap usaha Mu'tazilah dan ahli Hadith untuk memahami realitas Tuhan; kedua, pengakuan bahwa realitas Tuhan itu jauh lebih kompleks dari deskripsi yang dibuat oleh Mu`tazilah dan oleh ulama salaf (dan oleh manusia manapun).Lalu apa artinya menjadi pengikut Abu Hasan al-Asy'ari? Artinya berislam menurut prinsip Abu Hasan: mengakui relativitas setiap deskripsi tentang Tuhan dan ajaranNya, memberi hak kepada masing-masing kelompok pembuat deskripsi tersebut untuk terus ada, dan menghindari ekstrimitas dalam berislam. Posisi Abu hasan adalah posisi tengah, yang berusaha menjembatani berbagai ekstrimitas berbagai pihak yang bersebrangan. Menjadi pengikut Abu Hasan adalah memegang teguh prinsip ini. Persoalan-persoalan luar yang dia diskusikan pada masanya, seperti persoalan Tuhan dan sifatNya, bagi Muslim sekarang ada pada lapisan kedua. Mengajarkan teologi Asy'ariyah di lembaga-lembaga pendidikan Islam, termasuk IAIN, harus dikonsentrasikan pada lapisan pertama, pada lapisan prinsip. Langkah berikutnya adalah melihat lapisan pertama tersebut dengan kaca mata awal Islam: Apakah dia punya dasar kuat dalam al-Qur'an dan Hadith? Apakah ini posisi yang diambil Nabi?Ilmu BantuIslam adalah agama Tuhan untuk manusia. Berasal dari Tuhan, Islam adalah agama Tuhan. Buat manusia, Islam adalah agama manusia. Tuhan dan manusia adalah dua realitas yang tidak bisa dipisahkan dari agama. Tanpa salah satunya agama tidak akan ada.Karakteristik dua realitas ini sama sekali berbeda. Tuhan adalah realitas yang sangat luhur dan tak terbatas. Manusia adalah realitas yang rendah dan penuh dengan keterbatasan. Di wilayah Tuhan ada makna abadi. Tuhan menghendaki supaya makna tersebut dipahami manusia. Supaya bisa dipahami, makna yang ada di wilayah Tuhan tersebut harus direduksi sedemikian rupa sehingga manusia mampu menangkapnya. Dengan kata lan, makna itu harus diperkecil, dibuat miniaturnya, sebab kalau tidak begitu, manusia yang sangat terbatas ini tidak akan mampu menangkapnya.Islam, dengan demikian, hanya bisa dipahami dengan baik manakala perhatian Muslim ditujukan pada dua wilayah sekaligus: wilayah Tuhan dan wilayah manusia. Ajaran-ajaran Islam yang ada di wilayah Tuhan perlu ditangkap dan dipahami, dan ajaran Tuhan tersebut bisa ditangkap lewat wilayah manusia. Apa yang ada di wilayah manusia adalah pintu masuk memasuki dunia langit. Agama, kitab suci, Nabi adalah pintu memasuki dunia langit. Untuk memahami dunia langit seseorang harus memahami dunia manusia, memahami kitab suci, memahami Nabi. Tanpa pemahaman itu dunia langit tidak akan bisa ditangkap dengan baik.Oleh karena agama pada dasarnya untuk manusia, maka sebagian kebenaran agama juga ada pada manusia. Karena ada manusialah agama ada. Yang membenarkan agama adalah manusia. Manusia demikian penting posisinya dalam agama. Dia adalah titik temu antara dunia langit dan dunia bumi. Sebagai titik pertemuan, manusia menjadi unik. Mengkaji keunikan manusia-dengan segala produknya, termasuk budaya, tradisi, bahasa, ilmu pengetahuan dan teknologi-adalah sebuah kemestian dalam memahami agama. Dalam rangka inilah ilmu-ilmu seperti filsafat, sosiologi, antropologi, dan psikologi, menjadi penting untuk dikaji di IAIN.Ilmu-ilmu sosial seperti itu bukan hanya baik untuk memahami Islam juga mutlak diperlukan untuk menerapkan Islam. Agama Islam harus diterapkan dalam tingkah laku. Karena itu dalam merealisasikan Islam umat Islam kontemporer harus mengetahui diri mereka sendiri, kelebihan dan kekurangan mereka, apa kemauan dan cita-cita mereka. Islam persis diturunkan untuk tujuan-tujuan itu: membantu manusia untuk hidup makmur, adil, bahagia.PenutupDitegaskan bahwa masa klasik-masa yang membentang dari abad ke-1 H/ ke-7 sampai jatuhnya Baghdad pada abad ke-7 H/ ke-13 M-adalah masa dimana dua peristiwa penting terjadi. Pertama, diturunkannya wahyu secara sempurna ke dunia lewat Nabi Muhammad; kedua, dilembagakannya wahyu tersebut dalam berbagai mazhab yang dianut masyarakat Islam sekarang. Produk kedua peristiwa tersebut-yaitu al-Qur'an, Hadith Nabi, Sirah (sejarah hidup Nabi), Maghazi (sejarah peperangan Nabi) pada peristiwa pertama dan buku-buku yang ditulis para imam mazhab dan pengikut mereka pada peristiwa kedua-beserta konteks yang mengitarinya tersimpan dalam khazanah buku-buku yang sangat kaya. Buku-buku tersebut mutlak diperlukan dalam keberagamaan masyarakat Muslim sekarang. Baik kelompok yang ingin mengikuti warisan itu secara utuh (yang ingin mengikuti al-Qur'an dan Hadith Nabi serta ajaran-ajaran para pendiri mazhab sepersis mungkin) ataupun kelompok yang ingin mengikuti warisan tersebut secara terbuka (mempelajari warisan tersebut lewat konteks yang melahirkannya dan berusaha menarik semangat yang ada di balik ekspresi verbal warisan tersebut kemudian menerapkannya kembali dalam konteks mereka yang berbeda dengan ekspresi verbal bisa jadi berbeda) tidak mungkin melepaskan diri dari khazanah klasik tersebut.Dengan kata lain, hanya lewat penguasaan tradisi klasik tersebutlah bangunan Islam mungkin didirikan. Reinterpretasi, tajdid, gerakan Salafi, kontekstualisasi, atau apapun bentuk gerakan yang muncul di masyarakat Islam, hanya mungkin berdiri dengan kokoh kalau dia berakar kuat dalam tradisi Islam klasik. Pilihan arah dan bentuk kajian Islam, baik di IAIN maupun di lembaga-lembaga kajian Islam lainnya, harus berpijak pada tradisi Islam klasik. Al-Qur'an, Hadith, dan karya-karya imam mazhab harus menjadi pijakan.Warisan Islam klasik tersebut tentu harus dibaca dengan kreatif. Untuk itu pemahaman tentang manusia-sebagai penerima dan pelaksana agama-beserta produknya (budaya, ilmu, teknologi) mutlak diperlukan. Tuhan dan manusia, langit dan bumi, seperti dua sisi mata uang dalam agama.  <br /> <br />
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam
Kajian Ilmu Kalam

Más contenido relacionado

La actualidad más candente

Tauhid di indonesia
Tauhid di indonesiaTauhid di indonesia
Tauhid di indonesiaseiei akito
 
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalamPertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalamIsa Ansori
 
Sejarah timbulnya aliran kalam klasik
Sejarah timbulnya aliran kalam klasikSejarah timbulnya aliran kalam klasik
Sejarah timbulnya aliran kalam klasikHashiful Insi
 
sejarah dan perkembangan ilmu tauhid
sejarah dan perkembangan ilmu tauhidsejarah dan perkembangan ilmu tauhid
sejarah dan perkembangan ilmu tauhidRoisMansur
 
Teologi Islam - Mutazilah
Teologi Islam - MutazilahTeologi Islam - Mutazilah
Teologi Islam - MutazilahIslamic Studies
 
Pengantar ilmu kalam
Pengantar ilmu kalamPengantar ilmu kalam
Pengantar ilmu kalamSukrinTaib
 
Perkembangan Pemikiran Islam: Ilmu kalam
Perkembangan Pemikiran Islam: Ilmu kalamPerkembangan Pemikiran Islam: Ilmu kalam
Perkembangan Pemikiran Islam: Ilmu kalamZaenal Arifin
 
Akidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalam
Akidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalamAkidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalam
Akidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalamAbulkhair Abdullah
 
Ppt teologi-islam
Ppt teologi-islamPpt teologi-islam
Ppt teologi-islamUlul Azmi
 
Bangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalamBangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalamAnwar Ma'rufi
 
Kel 2 agama (urgensi tauhid sosial)
Kel 2 agama (urgensi tauhid  sosial)Kel 2 agama (urgensi tauhid  sosial)
Kel 2 agama (urgensi tauhid sosial)desliana_korea
 
Ruang lingkup ilmu kalam (1) copy
Ruang lingkup ilmu kalam (1)   copyRuang lingkup ilmu kalam (1)   copy
Ruang lingkup ilmu kalam (1) copySahara Pond's
 
Makalah sejarah munculnya teologi islam
Makalah sejarah munculnya teologi islamMakalah sejarah munculnya teologi islam
Makalah sejarah munculnya teologi islamsaiful anwar
 
Definisi ilmu kalam
Definisi ilmu kalamDefinisi ilmu kalam
Definisi ilmu kalamRimacxnku27
 

La actualidad más candente (20)

Tauhid di indonesia
Tauhid di indonesiaTauhid di indonesia
Tauhid di indonesia
 
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalamPertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
Pertemuan i dasar dan sejarah timbulnya ilmu kalam
 
Sejarah timbulnya aliran kalam klasik
Sejarah timbulnya aliran kalam klasikSejarah timbulnya aliran kalam klasik
Sejarah timbulnya aliran kalam klasik
 
Pengantar Ilmu kalam
Pengantar Ilmu kalamPengantar Ilmu kalam
Pengantar Ilmu kalam
 
sejarah dan perkembangan ilmu tauhid
sejarah dan perkembangan ilmu tauhidsejarah dan perkembangan ilmu tauhid
sejarah dan perkembangan ilmu tauhid
 
Teologi Islam - Mutazilah
Teologi Islam - MutazilahTeologi Islam - Mutazilah
Teologi Islam - Mutazilah
 
Ilmu Kalam : Mutazilah
Ilmu Kalam : MutazilahIlmu Kalam : Mutazilah
Ilmu Kalam : Mutazilah
 
Pengantar ilmu kalam
Pengantar ilmu kalamPengantar ilmu kalam
Pengantar ilmu kalam
 
Perkembangan Pemikiran Islam: Ilmu kalam
Perkembangan Pemikiran Islam: Ilmu kalamPerkembangan Pemikiran Islam: Ilmu kalam
Perkembangan Pemikiran Islam: Ilmu kalam
 
Akidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalam
Akidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalamAkidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalam
Akidah, ushuluddin, teologi, tauhid, dan ilmu kalam
 
Ppt teologi-islam
Ppt teologi-islamPpt teologi-islam
Ppt teologi-islam
 
Maqasid ilmu kalam
Maqasid ilmu kalamMaqasid ilmu kalam
Maqasid ilmu kalam
 
Mutazilah
Mutazilah Mutazilah
Mutazilah
 
Bangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalamBangunan epistemologi ilmu kalam
Bangunan epistemologi ilmu kalam
 
Kel 2 agama (urgensi tauhid sosial)
Kel 2 agama (urgensi tauhid  sosial)Kel 2 agama (urgensi tauhid  sosial)
Kel 2 agama (urgensi tauhid sosial)
 
Ruang lingkup ilmu kalam (1) copy
Ruang lingkup ilmu kalam (1)   copyRuang lingkup ilmu kalam (1)   copy
Ruang lingkup ilmu kalam (1) copy
 
Makalah sejarah munculnya teologi islam
Makalah sejarah munculnya teologi islamMakalah sejarah munculnya teologi islam
Makalah sejarah munculnya teologi islam
 
ILMU KALAM
ILMU KALAM ILMU KALAM
ILMU KALAM
 
makalah teologi islam
makalah teologi islammakalah teologi islam
makalah teologi islam
 
Definisi ilmu kalam
Definisi ilmu kalamDefinisi ilmu kalam
Definisi ilmu kalam
 

Destacado

Pengertian Ilmu Kalam
Pengertian Ilmu KalamPengertian Ilmu Kalam
Pengertian Ilmu KalamRimacxnku27
 
Ilmu kalam
Ilmu kalamIlmu kalam
Ilmu kalamsayudiy
 
Sejarah kelahiran ilmu kalam
Sejarah kelahiran ilmu kalamSejarah kelahiran ilmu kalam
Sejarah kelahiran ilmu kalamabdullahtamlikha
 
ppt aliran dalam ilmu kalam
ppt aliran dalam ilmu kalamppt aliran dalam ilmu kalam
ppt aliran dalam ilmu kalamChy Mey Cliquerz
 
Aliran Jabariyah dan Aliran qadariyah
Aliran Jabariyah dan Aliran qadariyahAliran Jabariyah dan Aliran qadariyah
Aliran Jabariyah dan Aliran qadariyahRezaQyu RezaQta
 

Destacado (6)

Pengertian Ilmu Kalam
Pengertian Ilmu KalamPengertian Ilmu Kalam
Pengertian Ilmu Kalam
 
Ilmu kalam
Ilmu kalamIlmu kalam
Ilmu kalam
 
Sejarah kelahiran ilmu kalam
Sejarah kelahiran ilmu kalamSejarah kelahiran ilmu kalam
Sejarah kelahiran ilmu kalam
 
Ilmu kalam
Ilmu kalamIlmu kalam
Ilmu kalam
 
ppt aliran dalam ilmu kalam
ppt aliran dalam ilmu kalamppt aliran dalam ilmu kalam
ppt aliran dalam ilmu kalam
 
Aliran Jabariyah dan Aliran qadariyah
Aliran Jabariyah dan Aliran qadariyahAliran Jabariyah dan Aliran qadariyah
Aliran Jabariyah dan Aliran qadariyah
 

Similar a Kajian Ilmu Kalam

ilmu kalam adalah ilmu yang juga biasa disebut ilmu tauhid atau ushuluddin
ilmu kalam adalah ilmu yang juga biasa disebut ilmu tauhid atau ushuluddinilmu kalam adalah ilmu yang juga biasa disebut ilmu tauhid atau ushuluddin
ilmu kalam adalah ilmu yang juga biasa disebut ilmu tauhid atau ushuluddinIbniTrisalAdam2
 
Tasyri masa daulah umayyah
Tasyri masa daulah umayyahTasyri masa daulah umayyah
Tasyri masa daulah umayyahjefrihilda
 
Ushul Fiqh Perkembangan Hukum Islam.doc
Ushul Fiqh Perkembangan Hukum Islam.docUshul Fiqh Perkembangan Hukum Islam.doc
Ushul Fiqh Perkembangan Hukum Islam.docAndreaGilang
 
Masa Kejayaan Islam Yang dinantikan kembali
Masa Kejayaan Islam Yang dinantikan kembaliMasa Kejayaan Islam Yang dinantikan kembali
Masa Kejayaan Islam Yang dinantikan kembaliمحمد Rydoe
 
Islam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradabanIslam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradabanIdul Choliq
 
Sejarah dan perkembangan filsafat islam
Sejarah dan perkembangan filsafat islamSejarah dan perkembangan filsafat islam
Sejarah dan perkembangan filsafat islammoh najmi albegama
 
Komparasi Filsuf muslim klasik dan filsuf muslim modern.pdf
Komparasi Filsuf muslim klasik dan filsuf muslim modern.pdfKomparasi Filsuf muslim klasik dan filsuf muslim modern.pdf
Komparasi Filsuf muslim klasik dan filsuf muslim modern.pdfIrfan Pathurahman
 
Dinasti Abasiyah
Dinasti AbasiyahDinasti Abasiyah
Dinasti Abasiyahlistibahati
 
3. studi islam di barat, timur, indonesia
3. studi islam di barat, timur, indonesia3. studi islam di barat, timur, indonesia
3. studi islam di barat, timur, indonesiaMarhamah Saleh
 
PENGANTAR_ILMU_KALAM_ppt.ppt
PENGANTAR_ILMU_KALAM_ppt.pptPENGANTAR_ILMU_KALAM_ppt.ppt
PENGANTAR_ILMU_KALAM_ppt.pptDienEmirats1
 
Kelompok 4 filsafat islam
Kelompok 4 filsafat islamKelompok 4 filsafat islam
Kelompok 4 filsafat islamDewi_Sejarah
 
null.pptx
null.pptxnull.pptx
null.pptxScHardi
 
Fikih kel 6
Fikih kel 6Fikih kel 6
Fikih kel 6Ltfltf
 
Mukadimah _ Buku Mentoring ISLAM SAJA KALAM UPI
Mukadimah _ Buku Mentoring ISLAM SAJA KALAM UPIMukadimah _ Buku Mentoring ISLAM SAJA KALAM UPI
Mukadimah _ Buku Mentoring ISLAM SAJA KALAM UPIRizky Faisal
 
fdokumen.com_filsafat-islam-55939a788412d.ppt
fdokumen.com_filsafat-islam-55939a788412d.pptfdokumen.com_filsafat-islam-55939a788412d.ppt
fdokumen.com_filsafat-islam-55939a788412d.pptchoirulamirudin1
 
Mukadimah buku mentoring islam saja kalam upi
Mukadimah   buku mentoring islam saja kalam upiMukadimah   buku mentoring islam saja kalam upi
Mukadimah buku mentoring islam saja kalam upiRizky Faisal
 
Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Ltfltf
 

Similar a Kajian Ilmu Kalam (20)

ilmu kalam adalah ilmu yang juga biasa disebut ilmu tauhid atau ushuluddin
ilmu kalam adalah ilmu yang juga biasa disebut ilmu tauhid atau ushuluddinilmu kalam adalah ilmu yang juga biasa disebut ilmu tauhid atau ushuluddin
ilmu kalam adalah ilmu yang juga biasa disebut ilmu tauhid atau ushuluddin
 
Tasyri masa daulah umayyah
Tasyri masa daulah umayyahTasyri masa daulah umayyah
Tasyri masa daulah umayyah
 
Ushul Fiqh Perkembangan Hukum Islam.doc
Ushul Fiqh Perkembangan Hukum Islam.docUshul Fiqh Perkembangan Hukum Islam.doc
Ushul Fiqh Perkembangan Hukum Islam.doc
 
Presentasi Agama
Presentasi Agama Presentasi Agama
Presentasi Agama
 
Masa Kejayaan Islam Yang dinantikan kembali
Masa Kejayaan Islam Yang dinantikan kembaliMasa Kejayaan Islam Yang dinantikan kembali
Masa Kejayaan Islam Yang dinantikan kembali
 
Islam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradabanIslam, doktrin dan peradaban
Islam, doktrin dan peradaban
 
Sejarah dan perkembangan filsafat islam
Sejarah dan perkembangan filsafat islamSejarah dan perkembangan filsafat islam
Sejarah dan perkembangan filsafat islam
 
Komparasi Filsuf muslim klasik dan filsuf muslim modern.pdf
Komparasi Filsuf muslim klasik dan filsuf muslim modern.pdfKomparasi Filsuf muslim klasik dan filsuf muslim modern.pdf
Komparasi Filsuf muslim klasik dan filsuf muslim modern.pdf
 
Dinasti Abasiyah
Dinasti AbasiyahDinasti Abasiyah
Dinasti Abasiyah
 
Al ghozali
Al ghozaliAl ghozali
Al ghozali
 
3. studi islam di barat, timur, indonesia
3. studi islam di barat, timur, indonesia3. studi islam di barat, timur, indonesia
3. studi islam di barat, timur, indonesia
 
PENGANTAR_ILMU_KALAM_ppt.ppt
PENGANTAR_ILMU_KALAM_ppt.pptPENGANTAR_ILMU_KALAM_ppt.ppt
PENGANTAR_ILMU_KALAM_ppt.ppt
 
Kelompok 4 filsafat islam
Kelompok 4 filsafat islamKelompok 4 filsafat islam
Kelompok 4 filsafat islam
 
null.pptx
null.pptxnull.pptx
null.pptx
 
Fikih kel 6
Fikih kel 6Fikih kel 6
Fikih kel 6
 
Mukadimah _ Buku Mentoring ISLAM SAJA KALAM UPI
Mukadimah _ Buku Mentoring ISLAM SAJA KALAM UPIMukadimah _ Buku Mentoring ISLAM SAJA KALAM UPI
Mukadimah _ Buku Mentoring ISLAM SAJA KALAM UPI
 
fdokumen.com_filsafat-islam-55939a788412d.ppt
fdokumen.com_filsafat-islam-55939a788412d.pptfdokumen.com_filsafat-islam-55939a788412d.ppt
fdokumen.com_filsafat-islam-55939a788412d.ppt
 
Mukadimah buku mentoring islam saja kalam upi
Mukadimah   buku mentoring islam saja kalam upiMukadimah   buku mentoring islam saja kalam upi
Mukadimah buku mentoring islam saja kalam upi
 
Fiqh kel 6
Fiqh kel 6Fiqh kel 6
Fiqh kel 6
 
Spe Bab3
Spe Bab3Spe Bab3
Spe Bab3
 

Último

Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .Ustadz Habib
 
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAHWJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAHRobert Siby
 
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024milliantefraim
 
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdfPenampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdfDianNovitaMariaBanun1
 
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syaratIhsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syaratpuji239858
 
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)ErnestBeardly1
 
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 ShortRenungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 ShortRobert Siby
 
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga BahagiaSEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga BahagiaRobert Siby
 
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT - STUDI QURAN
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT -  STUDI QURANAYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT -  STUDI QURAN
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT - STUDI QURANBudiSetiawan246494
 
KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.
KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.
KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.MeidarLamskingBoangm
 
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.KennayaWjaya
 
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUSWJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUSRobert Siby
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6Adam Hiola
 

Último (13)

Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
 
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAHWJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
 
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024
 
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdfPenampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
 
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syaratIhsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
 
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
 
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 ShortRenungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
 
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga BahagiaSEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
 
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT - STUDI QURAN
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT -  STUDI QURANAYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT -  STUDI QURAN
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT - STUDI QURAN
 
KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.
KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.
KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.
 
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.
 
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUSWJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
 

Kajian Ilmu Kalam

  • 1. Islam, Doktrin dan Peradaban<br />oleh Dr. Nurcholish Madjid<br />Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan <br />ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota<br />Disiplin Keilmuan Tradisional Islam: Ilmu Kalam (Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)(1/2)<br />Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.<br />Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.<br />Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum quot; Santriquot; masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi). <br />Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang.<br />Pertumbuhan Ilmu Kalam<br />Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.<br />Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti quot; pembicaraanquot; . Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan quot; pembicaraanquot; dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti quot; pembicaraanquot; , tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab quot; manthiqiquot; berarti quot; logisquot; .<br />Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.<br />Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.<br />Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah<br />Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut:<br />Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 1quot; 1]<br />Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam quot; Peristiwa Shiffinquot; di situ 'Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan quot; de jurequot; -nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam quot; Peristiwa Shiffinquot; tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali, sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya mirip). [ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 2quot; 2]<br />Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang 'ulama' yang disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:<br />Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan rasional) ... [ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 3quot; 3]<br />Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu'tazilah.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 4quot; 4] Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat (quot; pengingkarquot; [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah (quot; pembebasquot; [Tuhan dari sifat-sifat]).[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 5quot; 5] <br />Kaum Mu'tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu'tazilah disebut sebagai quot; titisanquot; doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 6quot; 6] <br />Khalifah al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 7quot; 7] Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 8quot; 8] Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 9quot; 9] Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.<br />Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma'mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.quot; [ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 10quot; 10] <br />Plus-Minus Ilmu Kalam<br />Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu'tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy'ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu'tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu'tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu'tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu'tazilah. Ilmu Kalam al-Asy'ar'i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy'ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa quot; jalan keselamatanquot; hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy'ari.<br />Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy'ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy 'ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-Asy'ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan sistem Ilmu Kalamnya dipandang sebagai quot; jalan keselamatanquot; , bersama dengan sistem al-Asy'ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadits yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat:<br />...Wus dadi prenca-prenca umat ingkang dihin-dihin ing atase pitung puluh loro pontho, lan mbesuk bakal pada prenca-prenca sira kabeh dadi pitting puluh telu pontho, setengah saking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabeh ing dalem neraka. Ana dene ingkang sewiji ingkang selamet iku, iya iku kelakuan ingkang wus den lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iya iku 'aqa'ide Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah lan Maturidiyyah.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 11quot; 11]<br />(...Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan junjungan Rasulullah s.a.w., yaitu 'aqa'id (pokok-pokok kepercayaan) Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah dan M'aturidiyyah).<br />Kehormatan besar yang diterima al-Asy'ari ialah karena solusi yang ditawarkannya mengenai pertikaian klasik antara kaum quot; liberalquot; dari golongan Mu'tazilah dan kaum quot; konservatifquot; dari golongan Hadits (Ahl al-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal dan sekalian imam mazhab Fiqh). Kesuksesan al-Asy'ari merupakan contoh klasik cara mengalahkan lawan dengan meminjam dan menggunakan senjata lawan. Dengan banyak meminjam metodologi pembahasan kaum Mu'tazilah, al-Asy'ari dinilai berhasil mempertahankan dan memperkuat paham Sunni di bidang Ketuhanan (di bidang Fiqh yang mencakup peribadatan dan hukum telah diselesaikan terutama oleh para imam mazhab yang empat, sedangkan di bidang tasawuf dan filsafat terutama oleh al-Ghazali, 450-505 H/1058-1111 M). Salah satu solusi yang diberikan oleh al-Asy'ari menyangkut salah satu kontroversi yang paling dini dalam pemikiran Islam, yaitu masalah manusia dan perbuatannya, apakah dia bebas menurut paham Qadariyyah atau terpaksa seperti dalam paham Jabariyyah. Dengan maksud menengahi antara keduanya, al-Asy'ari mengajukan gagasan dan teorinya sendiri, yang disebutnya teori Kasb (al-kasb, acquisition, perolehan). Menurut teori itu, perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan Tuhan, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggung-jawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau acquisition, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, dan bukan yang lain, meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih dan diputus sendiri untuk dilakukan itu. Ini diungkapkan secara singkat dalam nadham Jawharat al-Tawhid demikian:<br />Wa indana li l abdi kasbun kullifa, wa lam yakun mu atstsiran fa 'l-tarifa.Fa laysa majburan wa la 'khtiyara wa laysa kullan yaf'alu 'khtiyara<br />(Bagi kita Ahl al-Sunnah manusia terbebani oleh kasb dan ketahuilah bahwa ia tidak mempengaruhi tindakannya.Jadi manusia bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas, namun tidak seorang pun mampu berbuat sekehendaknya).<br />Terhadap rumus itu Kiai Saleh Darat memberi komentar tipikal paham Sunni (menurut Ilmu Kalam Asy'ari) sebagai berikut:<br />... Maka Jabariyyah lan Qadariyyah iku sasar karone.Maka ana madshab Ahl al-Sunnah iku tengah-tengah antarane Jabariyyah lan Qadariyyah, metu antarane telethong lan getih metu rupa labanan khalishan sa'ghan li al-syaribin.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 12quot; 12]<br />(... Maka Jabariyyah dan Qadariyyah itu kedua-duanya sesat. Kemudian adalah mazhab Ahl al-Sunnah berada di tengah antara Jabariyyah dan Qadariyyah, keluar dari antara kotoran dan darah susu yang murni, yang menyegarkan orang yang meminumnya).<br />Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy'ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy'ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu'tazilah dan Syi'ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mu'tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu alAsy'ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian: <br />... Sesungguhnya para pengikut paham Asy'ari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidak masuk akal... Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu'tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah --sehingga kaum Mu'tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah-- dan mereka (kaum Asy'ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada benda-benda bernyawa mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 13quot; 13] <br />Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsy'ari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai quot; sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan tersebutquot; [ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 14quot; 14] Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 15quot; 15]<br />Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy'ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional ('aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, quot; salinanquot; atau quot; kutipanquot; ), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum quot; liberalquot; , seperti golongan Mut'azilah, cenderung mendahulukan akal, dan kaum quot; konservatifquot; khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta'wil), sebagaimana telah kita bahas.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 16quot; 16] Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy'ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan quot; bi la kayfaquot; (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) --menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy'ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.<br />Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy'ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu'tazilah, Ilmu Kalam al-Asy'ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta'aqqul (intelektualisasi).[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 17quot; 17] Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategori-kategori yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa quot; hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiranquot; (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi al-adzhan).[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 18quot; 18]<br />Epistemologi Ibn Taymiyyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk interprestasi. Sebab baginya dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fithrah-nya: dengan fithrah itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 19quot; 19] Fithrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama, yang disebut Ibn Taymiyyah sebagai quot; fithrah yang diturunkanquot; (al-fithrah al-munazzalah). Maka metodologi kaum Kalam baginya adalah sesat.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 20quot; 20]<br />Yang amat menarik ialah bahwa epistemologi Ibn Taymiyyah Yang Hanbali berdasarkan fithrah itu paralel dengan epistemologi Abu Ja'far Muhammad ibn Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi (wafat 381 H), seorang quot; ahli Ilmu Kalamquot; terkemuka kalangan Syi'ah. Al-Qummi, dengan mengutip berbagai hadits, memperoleh penegasan bahwa pengetahuan tentang Tuhan diperoleh manusia melalui fitrah-nya, dan hanya dengan adanya fitrah itulah manusia mendapat manfaat dari bukti-bukti dan dalil-dalil.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 21quot; 21]<br />Maka sejalan dengan itu, Ibn Taymiyyah menegaskan, bahwa pangkal iman dan ilmu ialah ingat (dzikr) kepada Allah. quot; Ingat kepada Allah memberi iman, dan ia adalah pangkal iman .....pangkal ilmu.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 22quot; 22] <br />CATATAN<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot; quot; r1quot; 1 Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, jil. 4, h. 237.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot; quot; r2quot; 2 Ibid, hh. 12-13.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot; quot; r3quot; 3 Ibid, h. 110.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot; quot; r4quot; 4 Ibid.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot; quot; r5quot; 5 Ibid., jil. 1, hh. 344 dan 345.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot; quot; r6quot; 6 Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq, h. 185.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot; quot; r7quot; 7 Minhaj, jil. 1, h. 344.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot; quot; r8quot; 8 Karena dominannya isu Kalam atau Sabda Allah apakah qadim atau hadits sebagai pusat kontroversi itu maka ada kaum ahli yang mengatakan penalaran tentang segi ajaran Islam yang relevan itu disebut Ilmu Kalam, seolah-olah merupakan ilmu atau teori tentang Kalam Allah. Disamping itu, seperti Ibn Taymiyyah, mengatakan bahwa ilmu itu disebut Ilmu Kalam dan para ahlinya disebut kaum Mutakallim, sesuai dengan makna harfiah perkataan kalam dan mutakallim (pembicaraan, hampir mengarah kepada arti quot; orang yang banyak bicaraquot; ), ialah karena bertengkar sesama mereka dengan adu argumen melalui pembicaraan kosong, tidak substantif. (Lihat Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq, hh. 205-206).<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot; quot; r9quot; 9 Berkenaan dengan kontroversi ini, seorang orientalis kenamaan, Wilfred Cantwell Smith dari Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada (tempat banyak ahli keislaman Indonesia dan Dunia belajar dan mengajar, termasuk, Prof. H.M. Rasydi), membandingkan paham orang Islam, khususnya aliran Sunni, dengan paham orang Kristen. Kata Smith, yang sebanding dengan al-Qur'an dalam Islam itu bukanlah Injil dalam Kristen, melainkan diri 'Isa al-masih atau Yesus Kristus. Sebab, sebagaimana orang-orang Muslim (aliran Sunni) memandang al-Qur'an itu qadiim seperti Dzat Ilahi, orang-orang Kristen memandang 'Isa sebagai penjelmaan Allah dalam sistem teologia Trinitas, yang juga qadim, sama dengan al-Qur'an. Jadi jika bagi agama Islam al-Qur'an itulah wahyu Allah (Inggris: revelation, pengungkapan diri), maka bagi agama Kristen 'Isa al-Masih itulah wahyu, menampakkan Tuhan. Sedangkan Injil bukanlah wahyu, melainkan catatan tentang kehidupan 'Isa al-Masih, sehingga tidak sama kedudukannya dengan al-Qur'an, tetapi bisa dibandingkan dengan Hadits. Maka sejalan dengan itu Nabi Muhammad tidaklah harus dibandingkan dengan 'Isa al-Masih (karena dia ini quot; Tuhanquot; ), tetapi dengan Paulus (karena dia ini, sama dengan Nabi Muhammad, adalah quot; rasulquot; ). (Lihat, W. C. Smith, Islam in Modern History [Princenton, N.J.: Princeton University Press, 19771, hh. 17-18 fn). Pandangan Islam tentang Isa al-Masih sudah sangat terkenal, dan tidak perlu dikemukakan di sini. Tetapi tentang Paulus, cukup menarik mengetahui bahwa sudah sejak awal sekali orang-orang Muslim terlibat dalam kontroversi dan polemik sekitar tokoh ini. Menurut Ibn Taymiyyah, misalnya, Paulus (Arab: Bawlush ibn Yusya') adalah scorang tokoh Yahudi yang berpura-pura masuk agama Nasrani dengan maksud merusak agama itu melalui pengembangan paham bahwa 'Isa al-Masih adalah Tuhan atau jelmaan Tuhan. Ibn Taymiyyah mengemukakan bahwa peranan Paulus dalam merusak agama Nasrani sama dengan peranan 'Abdullah ibn Saba' dalam tnerusak agama Islam. Serupa dengan Paulus, 'Abdullah ibn Saba', kata Ibn Taymiyyah, adalah seorang tokoh Yahudi dari Yaman yang menyelundup ke dalam Islam dengan tujuan merusak agama itu dari dalam, dengan mengembangkan paham yang salah dan serba melewati batas tentang Ali ibn Abi Thalib dan Anggota Keluarga Nabi (Ahl al-Bayt) sebagaimana kemudian dianut oleh kaum Rafidlah dan kaum Syi'ah pada umumnya. (Lihat, Minhaj, jil. 1, h. 8 dan jil. 4, h. 269). Kiranya kontroversi dan polemik serupa itu tidak perlu mengejutkan kita, karena telah merupakan bagian dari sejarah pertumbuhan pemikiran keagamaan itu sendiri. <br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.htmlquot; quot; r10quot; 10 Disini perlu kita tegaskan bahwa mihnah Khalifah al-Ma'mun itu, meskipun sangat buruk, tidak dapat disamakan dengan inquisition yang terjadi di Spanyol setelah reconquest. Karena mihnah itu dilancarkan dibawah semacam quot; liberalismequot; Islam atau kebebasan berpikir yang menjadi paham Mu'tazilah, melawan mereka yang dianggap menghalangi quot; liberalismequot; dan kebebasan itu, khususnya kaum quot; fundamentalisquot; (al-Hasywiyyun, sebuah sebutan ejekan, yang secara harfiah berarti kurang lebih quot; kaum sampahquot; karena malas berpikir dan menolak melakukan interprestasi terhadap ketentuan agama yang bagi mereka tidak masuk akal). Sedangkan inquisition di Spanyol kemudian Eropa pada umumnya secara total kebalikannya, yaitu atas nama paham agama yang fundamentalistik dan sempit melawan pikiran bebas yang menjadi paham para pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para failasuf yang saat itu telah belajar banyak dari warisan pemikiran Islam.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; r11quot; 11 Hajj Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani, Tarjamat Sabil al-Abid 'ala Jawharat al-Tawhid (sebuah terjemah dan uraian panjang lebar atas kitab Ilmu Kalam yang terkenal, Jawharat al-Tawhid, dalam bahasa Jawa huruf Pego, tanpa data penerbitan), hh. 27-28.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; r12quot; 12 Ibid., hh. 149-151.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; r13quot; 13 Minhaj, jil. 1, h. 172.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; r14quot; 14 Ibid., h. 170. <br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; r15quot; 15 Ibid.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; r16quot; 16 Lihat kajian kita tentang quot; Interprestasi Metaforisquot; yang telah lalu.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; r17quot; 17 Lihat Minhaj, jil. 1, hh. 235, 243, 254, 261, dan hh. 266. Juga Naqdl al-Manthiq, h. 25,164 dan 202.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; r18quot; 18 Minhaj, jil. 1, hh. 243 dan 245.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; r19quot; 19 Ibid., hh. 281 dan 291.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; r20quot; 20 Naqdl al-Manthiq, hh. 38, 39, 171, 160-162, dan 172.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; r21quot; 21 Abu Ja'far Muhammad ibn 'Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi, al-Tawhid (Qumm: Mu'assasat al-Nasyr al-Islami, 1398 H), hh. 22, 35, 82 dan 230.<br /> HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; r22quot; 22 Naqdl al-Manthiq, h. 34. <br />Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.<br />Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.<br />Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum quot; Santriquot; masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi). <br />Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang.<br />Pertumbuhan Ilmu Kalam<br />Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.<br />Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti quot; pembicaraanquot; . Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan quot; pembicaraanquot; dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti quot; pembicaraanquot; , tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab quot; manthiqiquot; berarti quot; logisquot; .<br />Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.<br />Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.<br />Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah<br />Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut:<br />Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 1quot; 1]<br />Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam quot; Peristiwa Shiffinquot; di situ 'Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan quot; de jurequot; -nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam quot; Peristiwa Shiffinquot; tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali, sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya mirip). [2]<br />Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang 'ulama' yang disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:<br />Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan rasional) ... [3]<br />Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu'tazilah.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 4quot; 4] Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat (quot; pengingkarquot; [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah (quot; pembebasquot; [Tuhan dari sifat-sifat]).[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 5quot; 5] <br />Kaum Mu'tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu'tazilah disebut sebagai quot; titisanquot; doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.[ HYPERLINK quot; http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam2.htmlquot; quot; 6quot; 6] <br />Khalifah al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.[7] Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?[8] Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.[9] Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.<br />Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma'mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.quot; [10] <br />SLAM KLASIK DAN KAJIAN ISLAM DI MASA DEPANFu'ad Jabali Keseluruhan sejarah Islam adalah pergumulan masyarakat Islam mewujudkan nilai-nilai Islam dalam ruang dan waktu tertentu. Catatan pergumulan tersebut lalu disistematisasi dan dilembagakan di balik nama-nama yang sekarang dikenal: tentang Tuhan dalam kaitannya dengan manusia dan alam disebut aqidah/filsafat, tentang hukum dan segala bentuk aplikasinya disebut fikih (atau, syari'ah), tentang makna al-Qur'an disebut tafsir, sementara cara-cara transmisi Islam dari satu generasi ke generasi lain atau dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lain disebut tarbiyah. Sebutan lain seperti adab (sejarah dan kebudayaan Islam), sufisme dan dakwah juga menunjuk pada hal yang sama: hasil pencapaian masyarakat Islam dalam menafsirkan dan mentransmisikan Islam.Di berbagai tempat dimana proses pendidikan Islam berlangsung-termasuk pesantren, masjid, madrasah, majlis taklim, kelompok pengajian dan IAIN-hasil-hasil capaian tersebut dipelajari. Aqidah, fikih/syari'ah, tafsir, sufisme dll. menjadi materi-materi kajian; bahkan di IAIN menjadi nama fakultas seperti Aqidah/Filsafat, Syari'ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab.Proses pelembagaan Islam tersebut-yaitu proses mengkristalnya Islam dalam berbagai ilmu dan aliran pemikiran atau mazhab-sudah mulai nampak dengan kuat terutama pada abad ke 2-3 H / 8-9 M dengan tokoh-tokoh seperti Malik ibn Anas (wafat th. 179 H / 795 M), Abu Hanifah (wafat 150/767), al-Syafi'i (wafat 204/820) dan Ahmad ibn Hanbal (wafat th. 241/855). Sejak abad ini secara intensif Islam diformulasikan, digeneralisasikan, dan dibuat hubungan antara satu sisi dengan yang lainnya. Yang muncul kemudian adalah Islam yang abstrak dan transenden, Islam yang sudah ditarik dari dunia nyata.Dengan generalisasi/abstraksi/transendensi, ciri khas Islam, atau kemampuan Islam untuk menyapa problem bawah yang yang sangat beragam, tertekan. Dengan kata lain, pendirian mazhab-dimana generalisasi dilembagakan-telah melahirkan alienasi. Pertama, mengalienasi Islam dari masyarakatnya. Untuk memahami generalisasi dan menurunkannya kembali ke tingkat detil memerlukan pengetahuan yang tidak sedikit sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya (dan mereka inilah yang kemudian disebut ahli agama, kyai, guru, ustaz dll). Mereka ini lalu menjadi semacam medium, lembaga perantara, antara Muslim awam dengan persoalan-persoalan mereka. Kedua, alienasi Muslim dari akar Islam, al-Qur'an dan Hadits. Dengan adanya mazhab kedua sumber itu secara tidak sadar terjauhkan dari umat yang semestinya menjadi pembacanya. Persoalan-persoalan yang timbul tidak lagi diadukan langsung kepada al-Qur'an dan Hadith tetapi kepada mazhab. Ketiga, mengalienasi masyarakat Islam dari Tuhannya. Tuhan kini didekati melalui mazhab, melalui institusi. Keempat, mengalienasi Islam dari persoalan aktual, karena mazhab tersebut dilahirkan pada masa tertentu untuk kebutuhan masyarakat tertentu, untuk merespon problem yang lahir pada masa tertentu, maka persoalan kekinian sendiri terpinggirkan dalam mazhab itu.Untuk keluar dari kemelut ini, seseorang harus bisa melampaui mazhab. 'Melampaui' berarti memecahkan kembali gumpalan-gumpalan mazhab, menguraikannya, mengembalikannya menjadi pecahan-pecahan kecil, dan menerapkannya pada kasus per kasus keseharian dalam bentuk bahan baku. Dengan cara ini, Islam akan kembali menjadi sederhana seperti masa awalnya, lebih fleksibel untuk dibentuk sesuai dengan ruang dan waktu. Tujuan Islam sebagai wahana mendekati Tuhan dan alat untuk menjawab persoalan-persoalan keseharian akan lebih efektif dicapai karena tidak ada lagi lembaga perantara yang memisahkan umat dengan kedua fungsi tersebut.Memecahkan gumpalan-gumpalan pemikiran yang sudah berabad-abad tersebut memang tidak mudah. Tetapi itulah agenda besar yang harus dilaksanakan jika ingin mengembalikan dinamika Islam ke tengah masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama IAIN, memainkan peranan penting dalam hal ini.Untuk tujuan tersebut, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, menguasai masa awal Islam yang simple sebagai bahan dasar-bahan yang dipakai para pendiri mazhab untuk membangun mazhabnya. Kedua, memahami masa dimana pertama kali institusionalisasi terjadi (atau masa dimana pertama kali mazhab-mazhab muncul). Kedua masa ini-masa awal Islam dan masa lahirnya mazhab-masuk ke dalam periode klasik Islam, yaitu masa yang membentang dari masa Nabi sampai Baghdad jatuh pada 1258. Masa ini merupakan masa yang sangat penting baik untuk memahami bangunan Islam sekarang maupun untuk membangun kembali pemahaman Islam yang akan datang.Struktur Ajaran IslamAbad ke 1 Hijrah. Pada masa ini Tuhan menurunkan wahyu yang [diyakini Muslim] paling sempurna ke dunia. Sebelumnya Tuhan menurunkan ajaranNya kepada nabi-nabi lain sejak Nabi Adam, tapi [bagi kaum Muslim] ajaranNya yang sempurna hanya diberikan kepada Nabi Muhammad. Sebagai penerima ajaran yang sempurna, Nabi Muhammad juga dianggap sebagai figur yang paling sempurna. Dibanding manusia lain yang pernah ada di dunia, termasuk nabi-nabi, Nabi Muhammad adalah yang terbaik. Demikian juga, umat Nabi Muhammad, sebagai umat yang menerima ajaran yang paling sempurna dari Nabi yang sempurna, adalah juga dipandang umat yang paling sempurna (kuntum khayra ummah). Dalam al-Qur'an disebutkan Nabi dan umatnya akan ditunjuk Tuhan untuk menjadi saksi ketika pengadilan di akhirat nanti terjadi (ummatan wasatan litakunu shuhada' 'ala al-nas).Walaupun umat Nabi Muhammad, termasuk yang sekarang, dianggap umat yang terbaik yang tengah menjalankan ajaran Tuhan yang terbaik, masa yang paling penting tetap berada pada saat ketiga kesempurnaan itu ada secara bersamaan, yaitu pada abad pertama Hijrah ketika Nabi hidup menjalankan ajaran di tengah-tengah umatnya. Demikian juga, walaupun Muslim kontemporer adalah umat yang terbaik, tetapi yang paling baik diantara seluruh generasi Muslim adalah mereka yang pernah hidup semasa dengan Nabi, mereka yang bersama Nabi membangun masyarakat Islam.Nabi dan umat sezamannya merupakan figur kunci dalam religiusitas orang Islam kapan pun. Apa yang dilakukan dan dikatakan mereka menjadi dasar hukum bagi orang Islam. Al-Qur'an dan Hadith Nabi adalah dua sumber ajaran Islam utama. Dari masa ke masa kedua sumber ini ditafsirkan dalam rangka menjawab berbagai macam persoalan pada zamannya. Produk dari penafsiran itu adalah tradisi Islam yang kaya raya, berupa mazhab-mazhab pemikiran (seperti Asy'ariyah, Mu'tazilah, Jabariyah dan Qadariyah dalam teologi; dan Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hanbali dalam fikih) yang kini terekam dalam buku-buku klasik. Semuanya itu adalah buah dari kembang yang ada pada abad pertama Hijriyah tersebut.Abad ke 2-3. Kalau masa Nabi adalah masa dimana pertama kali kesempurnaan ajaran Tuhan diturunkan, maka abad 2-3 Hijriyah adalah masa dimana untuk pertama kali ajaran-ajaran Tuhan yang diturunkan pada abad pertama tersebut dijabarkan dan dikristalisasikan dalam berbagai mazhab. Dengan kata lain, Islam abadi yang sudah direduksi pada masa Nabi kini direduksi lagi oleh para pendiri mazhab.Reduksi tingkat pertama selalu lebih baik dari reduski tingkat kedua. Reduksi tingkat pertama dilakukan Tuhan kepada manusia sempurna, Nabi. Reduksi tingkat kedua dilakukan oleh manusia biasa (artinya, bukan Nabi). Reduksi yang pertama, karena dilakukan oleh Tuhan, mengandung misteri dan keagungan. Dia sakral. Reduksi kedua, karena dilakukan manusia, lebih mudah diurai, tahap-tahapannya lebih mudah direkontruksi. Dia tidak sakral. Orang dianjurkan berwudu untuk menyentuh al-Qur'an (sebagai hasil dari reduksi tingkat pertama), dan membacanya bisa mendatangkan suasana spiritual dan mistik. Tidak demikian halnya dengan membaca buku al-Syafi'i (sebagai hasil reduksi tingkat kedua), misalnya.Tapi lepas dari perbedaan kedua tingkat reduksi tersebut, satu hal sama-sama dimiliki oleh kedua moment penting tersebut: sebagai 'yang pertama,' produk keduanya mengandung otoritas. Al-Qur'an dan buku al-Syafi'i, misalnya, senantiasa menjadi rujukan bagi masyarakat Islam yang datang belakangan. Ada orang yang menganggap reduksi tingkat pertama identik dengan kesempurnaan ajaran Tuhan, dan mengikuti apapun yang ada pada masa itu secara literal. Ada juga yang menganggap reduksi tingkat kedua sebagai identik dengan kebenaran Tuhan, dan mengikuti putusan-putusan mazhab secara literal. Dua pilihan itu sama-sama menafikan proses sebagai sesuatu yang esensi dalam Islam.Sesuatu 'yang pertama' selalu penting dan menentukan, karena di sinilah letaknya bagaimana sesuatu tersebut bermula. Di sinilah berbagai ketegangan terjadi, tarik-tarikan antara berbagai macam variable terjadi: tarik-tarikan antara kesempurnaan langit dengan keterbatasan bumi pada kasus Nabi; dan tarik-tarikan antara kesempurnaan Nabi dengan keterbatasan manusia biasa pada kasus pembentukan mazhab. Pada kasus Nabi ada reduksi tingkat pertama, pada kasus mazhab ada reduksi tingkat kedua (reduksi dari reduksi).Kalau mampu mengurai bagaimana reduksi terjadi, bagaimana tarik-tarikan bekerja, pada kedua tingkatan itu, maka akan sampai kepada pemahaman yang baik tentang Islam. Dengan memahami proses reduksi tingkat pertama, dari makna abadi di wilayah Tuhan ke makna yang dibatasi ruang dan waktu pada masa Nabi, seseorang bisa memahami mana tradisi Arab abad ke 7 dan mana Islam yang universal. Yang akan diterapkan adalah Islam, bukan tradisi Arab. Lewat pemahaman proses reduksi tingkat kedua, dari ajaran Nabi dan sahabatnya ke mazhab oleh para pendirinya, sesorang akan bisa menjawab posisi mazhab-mazhab pemikiran dalam Islam. Haruskah kaum Muslim terus mengikuti Imam Shafi'i?Al-Qur'an, dan Hadits serta sejarah hidup Nabi adalah reduksi dari realitas wilayah langit. Sebagai reduksi, dia tidak persis sama dengan makna abadi yang merupakan bentuk asli agama. Walau begitu harus dicatat bahwa, karena Nabi adalah makhluk yang terbaik dan al-Qur'an adalah ungkapan yang terbaik, maka sejarah hidup Nabi dan al-Qur'an, serta kata-kata Nabi adalah bentuk reduksi dunia langit yang terbaik yang mungkin dimiliki oleh umat Islam. Atau dengan kata lain, al-Qur'an dan Nabi adalah pintu terbaik yang kaum Muslim miliki untuk memahami Islam.Karena al-Qur'an dan hadith Nabi adalah ungkapan yang terbaik yang dipunyai, maka umat Islam harus tahu persis bagaimana ungkapan yang terbaik itu sebenarnya. Seperti dikatakan al-Qur'an dan Hadits Nabi, kaum Muslim harus mecontoh dan mengikuti Nabi. 'Mencontoh' dan 'mengikuti' hanya mungkin dilakukan kalau mereka tahu persis apa yang sebenarnya terjadi pada masa Nabi. Historisitas menjadi penting. 'Apa sebenarnya yang telah terjadi' menjadi penting untuk direkonstruksi oleh semua umat Islam.Tapi pada level kedua, karena Al-Qur'an dan Hadits Nabi itu terhubungkan dengan dunia langit, maka selain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, seseorang juga harus mampu menemukan makna apa sebenarnya yang ada di balik kata-kata atau peristiwa tersebut. Jawaban ini, karena terkait dengan dunia langit, tidak ada yang tahu. Hanya Tuhanlah yang tahu sebenarnya, dan karena itu para ulama selalu mengatakan 'wallalu a'lam bi al-sawab' ketika dia mengkahiri sebuah bahasan. Dan karena tidak ada yang persis tahu maka jawaban terhadap pertanyaan ini tidak satu. Jamak, plural.Ajaran Islam yang sebenarnya adalah ajaran Nabi sebelum mengalami reduksi. Inilah yang harus ditangkap. Berbagai macam tafsiran al-Qur'an, dan berbagai macam mazhab ditulis dalam rangka menangkap kesempurnaan ajaran Islam tersebut. Manusia, sebagai amkhluk yang tidak sempurna tentu tidak akan mampu menangkap sepenuhnya kesempurnaan ajaran Tuhan. Dan di sinilah esensi dari beragama: ada dinamika, ada pencarian yang terus menerus, proses menjadi yang tanpa batas. Kata 'Islam' sendiri' berarti 'sedang berusaha selamat'. (Bukan 'silm' yang berati 'selamat'). 'Muslim', berbeda dengan 'Salim', adalah 'orang-orang yang sedang berusaha menjadi Islam'. Dalam berislam ada dinamika, ada usaha yang terus menerus, bahkan usaha dan dinamika adalah esensi dari berislam. Dalam pengertian ini, orang yang tidak memiliki dinamika di dalam dirinya bisa disebut non-Muslim.Dialog dengan Sumber UtamaAda komponen penting pada suatu permulaan: kesederhanaan. Sesuatu yang pertama selalu sederhana, simple, mudah dipahami, dan merakyat. Ajaran-ajaran Nabi seperti yang terungkap dalam Hadits-Hadits Nabi menggambarkan keadaan ini. Karena simple, selain mudah dipahami, ajaran-ajaran Islam juga sangat fleksibel. Penyebaran Islam ke wilayah yang lebih luas dan kemampuan beradaptasi dengan komunitas lokal hanya mungkin terjadi jika ada fleksibelitas. Sesuatu yang simple, sederhana selalu mampu merangkul masyarakat yang lebih luas.Contoh yang bagus adalah syahadat dan aqidah. Jika seorang ingin masuk Islam, dia diwajibkan mengucapkan syahadat, yaitu kesaksian bahwa hanya Allahlah Tuhan yang Esa dan bahwa Muhammad adalah utusanNya. Hanya ucapan itu, tidak ada upacara atau kegiatan ritual lain yang kompleks. Pada perkembangan berikutnya muncul apa yang bernama aqidah. Kalau syahadat adalah komitmen individu, maka aqidah adalah komitmen suatu kelompok. Dengan kata lain, aqidah adalah syahadatnya masyarakat. Syahadat hanya satu dan dari orang ke orang ungkapannya sama. Aqidah jumlahnya banyak (Wasiyat Abu Hanifah, Aqidah Tahawiyah dll) dan ungkapannya beragam.Yang menjadi perhatian utama adalah persoalan pengungkapan dan kaitannya dengan waktu. Syahadat, sebagai bagian dari permulaan, sangat simpel. Ungkapannya pendek. Aqidah, bagian dari masa belakangan, lebih kompleks dan ungkapannya panjang sekali. Tidak seperti Syahadat, aqidah mengharuskan penganutnya untuk mengakui banyak hal: mulai dari pengakuan keesaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, kalam Tuhan, sampai ke pengakuan bahwa mengusap sepatu itu wajib dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia terancam menjadi kafir. Orang yang tidak mengakui salah satu komponen aqidah itu akan dianggap sebagai 'orang lain' atau bukan bagian dari masyarakat (jama'ah). Keyakinan yang berkembang di luar jama'ah disebut sekte.Kalau menggunakan aqidah sebagai acuan dalam beragama, maka seseorang telah keluar dari simplisitas dan menghadirkan kompleksitas beragama yang menyulitkan orang untuk berislam. Sebaliknya kalau menggunakan syahadat, seseorang akan kembali ke simplisitas dan memudahkan orang untuk berislam. Semakin simpel suatu ajaran, semakin sedikit kata-kata yang dibuat, semakin banyak masyarakat yang bisa dimasukkan ke dalamnya. Semakin rumit sebuah ajaran, semakin panjang sebuah rumusan doktrin, semakin banyak orang yang tersingkirkan. Seperti perintah, quot; Semua orang masuk!quot; Dengan tiga kata ini tidak ada seorangpun yang disingkirkan. Tetapi begitu ditambah satu kata lagi (menjadi 4 kata), quot; Semua orang Padang masuk.quot; Selain orang Padang tidak boleh masuk. Banyak orang tersingkirkan. Kalau ditambah satu kata lagi (menjadi 5 kata), quot; Semua orang Padang kaya masuk.quot; Semakin banyak lagi orang yang tersingkirkan. Proses seperti ini telah terjadi pada rumusan doktrin Islam.Semua itu tidak untuk mengatakan bahwa perluasan doktrin atau penjabaran Islam tidak perlu ada. Simplisitas Islam ketika memasuki suatu masa tertentu atau tempat tertentu perlu dipadukan dengan budaya lokal. Simplisitas harus dibiarkan terbuka supaya orang bisa masuk beserta semua kekayaan imajinasi, fikiran dan budayanya. Ini adalah proses yang tidak bisa dihindarkan. Budaya Islam berkembang dengan pesat justeru karena kesiapan Islam untuk dimasuki orang-orang banyak, ide banyak. Jika simplisitas dibekukan, maka Islam tidak akan bisa berkembang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk.Tidak juga berarti bahwa simplisitas itu tidak diperlukan lagi. Masyarakat Islam awal adalah suatu bahan dasar yang bisa dipakai untuk membangun berbagai ekspresi Islam. Problem masyarakat yang semakin kompleks memerlukan rumusan Islam yang sepadan. Beragama memerlukan proses pemilikan. Islam harus menjadi bagian dari individu dan masyarakat. Proses pemilikan melibatkan dialog yang kompleks antara individu dan masyarakat, dengan segala kekayaannya-baik budaya, sejarah maupun kepentingan-dengan Islam. Hasilnya tidak lagi Islam yang simpel. Komplikasi adalah suatu keharusan dalam proses pemilikan. Jika hal tersebut tidak terjadi, Islam yang dianut akan menjadi Islam yang teralienasi dari dunia nyata. Tetapi rumusan baru yang kompleks tersebut harus bisa diturunkan lagi setiap saat ke dalam bentuk simplenya yang asli. Ketika kompleksitas telah berubah menjadi belenggu yang membingungkan, baik itu terjadi pada tingkat individu maupun generasi, akan ada tempat untuk kembali. Kembali ke kesederhanaan, kembali ke bahan baku, untuk kemudian kembali membuat kesepakatan-kesepakatan baru, bangunan-bangunan baru.Simplisitas-kompleksitas dalam Islam juga bisa dilihat pada tingkat sumber. Pada masa awal sumber Islam hanya al-Qur'an dan Hadits Nabi. Belum ada ijma`, belum ada qiyas. Belum ada buku mazhab, baik dalam bidang fikih maupun teologi. Pada masa itu al-Qur'an dan Hadits Nabi langsung berhadapan dengan tradisi lokal, dengan realitas masyarakat. Suasana yang sama sekali berbeda dengan saat ini. Sekarang al-Qur'an dan Hadits sudah dibentengi oleh berbagai tradisi dan buku. Al-Qur'an dan Hadits Nabi tidak lagi berdialog langsung dengan realitas kekinian, tapi diperantarai oleh buku dan tradisi tersebut, yang sering sangat kokoh sehingga tidak tembus-sehingga akhirnya tidak lagi merasakan keindahan dan kesucian al-Qur'an-yang sering tidak paham dengan tradisi tertentu, dengan persoalan tertentu.Menghadirkan al-Qur'an dan Hadits langsung kehadapan umat masa kini, tanpa perantara, juga berarti mengembalikan otoritas kedua sumber itu. Kembali ke masa awal Islam yang simpel berarti mengembalikan rumusan-rumusan kebenaran al-Qur'an dan Hadits yang simpel. Dari kedua sumber inilah dimulai upaya membangun tradisi Islam yang baru, melakukan teoritisasi, problematisasi, mendialogkan kembali kedua sumber itu dengan kompleksitas persoalan nyata. Dengan kata lain, perlu melakukan hal yang persis dilakukan oleh generasi kaum Muslimin sebelum mazhab-mazhab terbentuk. Besar kemungkinan hasil dialog tersebut akan melahirkan mazhab-mazhab baru, seperti halnya generasi abad ke 2-3 masyarakat Islam yang melahirkan Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Mazhab yang terbentuk adalah mazhab yang lahir langsung dari al-Qur'an. Bukan mazhab yang lahir dari mazhab. Hubungan dengan mazhab-mazhab tersebut tidak instruktif, tapi aspiratif. Hasil pemikiran yang dikembangkan di IAIN bisa jadi tidak merupakan kelanjutan darti mazhab-mazhab tersebut. Bisa jadi ada loncatan, ada sesuatu yang sama sekali baru. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat usia mazhab-mazhab (fikih) sekarang sudah lebih dari 1000 tahun.Menjadikan mazhab-mazhab yang ada sebagai sumber aspirasi tidak sama dengan merendahkan kedudukan mazhab-mazhab tersebut. Sekali lagi perlu ditegaskan mazhab-mazhab tersebut adalah mazhab pertama yang terinstitusionalisasi dalam Islam. Sebagai yang pertama ia juga memiliki otoritas, tentu saja pada level yang berbeda dengan al-Qur'an dan Hadits. Dari mazhab-mazhab itulah Muslim kontemporer bisa berkaca bagaimana problem-problem masyarakat mereka diadukan kepada al-Qur'an dan Hadits. Dalam hal ini proses institusionalisasi menjadi lebih penting diperhatikan daripada hasilnya.Arti BermazhabBagaimana berkaca pada mazhab? Ambil contoh Abu Hasan al-Asy'ari (wafat th. 324/935), tokoh penting di balik pendirian mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang kini menjadi anutan masyarakat Islam di Indonesia. Bagaimana cara memposisikan pendiri mazhab Asy'ariyyah ini?Pertama perlu ditegaskan kembali bahwa suatu pemikiran muncul karena adanya tantangan. Jenis pemikiran akan ditentukan oleh jenis tantangan. Untuk memahami suatu pemikiran, seseorang harus memahami dulu tantangan apa yang dihadapi oleh para pemikir pada masa itu. Persoalan apa sebenarnya yang tengah dijawab, problem apa yang tengah dipikirkan. Abu Hasan al-Asy'ari merumuskan pikiran teologinya karena adanya tantangan Mu'tazilah. Yang terakhir ini, sebagai akibat dari kajian filsafat, berusaha memasukkan elemen akal yang lebih besar ke dalam interpretasi wahyu. Kontroversi ini terkristalisasi dalam beberapa persoalan seperti sifat Tuhan, kalam Allah, perbuatan manusia dll. Karena pikiran al-Ay'ari merupakan reaksi atau jawaban dari lontaran Mu'tazilah, maka isi pikiran al-Asy'ari akan ditentukan oleh isu yang dilontarkan Mu'tazilah.Buku, sebagai catatan suatu pemikiran, juga harus dipahami seperti itu. Suatu buku lahir dari konteks tertentu, pada suatu ruang dan waktu tertentu. Jika ingin memahami buku itu maka yang harus dilakukan adalah menyusun kembali konteks kelahiran buku tersebut, atau, dengan kata lain, sejarah yang mengitari kelahiran buku tersebut, totalitas realitas sejarah yang melahirkan buku atau karya tersebut. Kalau ini benar, maka kajian sejarah menjadi sangat penting dalam memahami sebuah teks. Pemahaman sejarah mendahului pemahaman teks.Buku teologi Abu Hasan, karena ditulis sebagai respon terhadap pemikiran Mu'tazilah, ditentukan isinya oleh Mu'tazilah. Isunya isu Mu'tazilah. Tentu saja dengan jawaban yang berbeda. Buku Maqalat-nya berisi persoalan-persoalan yang memang sedang menjadi isu saat itu. Kalau ingin menggunakan teologi Asy'ariyah sekarang, apakah seseorang akan menganut pikirannya dalam persoalan-persoalan Mu'tazilah itu? Persoalan yang tidak menjadi isu besar dalam masyarakat saat ini? Apakah sekarang isu sifat Tuhan, misalnya, sedang diperdebatkan di wilayah publik di TV, koran, radio, seperti halnya hal itu diperdebatkan dengan media yang berbeda pada masa Abu Hasan al-Asy'ari? Muslim sekarang punya persoalan tersendiri, yang sama sekali bukan persoalan sifat Tuhan atau bisa tidaknya melihat Tuhan di akhirat. Muslim sekarang perlu rumusan teologi yang bisa menjawab persoalan kekinian mereka. Bukan teologi yang bisa memecahkan persoalan masa Abu Hasan al-Asy'ari.Tentu saja warisan Abu Hasan, seperti halnya warisan tradisi Islam masa lalu lainnya, sangat penting dipelajari. Bukan untuk diikuti secara literal, tapi untuk dijadikan cermin. Ketika bercermin, yang muncul adalah bayangan sendiri, bukan bayangan Abu Hasan. Muslim sekarang membaca Abu Hasan untuk melihat diri sendiri, memahami masyarakat sendiri. Yang menjadi pusat perhatian adalah umat Islam kontemporer, persoalan kontemporer. Mereka boleh saja menjadi pengikut Abu Hasan. Tapi pengikut yang baik adalah pengikut yang bisa mengulangi event dia: bahwa dia maju ke depan berfikir mencari pemecahan problem pada masanya. Menjadi pengikut dia, berarti maju memikirkan dan mencari pemecahan problem pengikut itu sendiri. Problem Abu Hasan tidak mesti diikuti. Isi buku Abu Hasan tidak mesti dihafalkan dan diyakini sampai berkeyakinan bahwa teologi yang dianut isinya sama dengan isi buku Abu Hasan. Teologi kontemporer adalah teologi masa kontemporer, teologi yang berisi kata-kata sendiri, yang merujuk pada benda-benda yang ada di sekitar umat saat ini.Tentu saja seseorang baru bisa merumuskan teologi yang tepat untuk dirinya kalau ia paham apa persoalannya. Teologi suatu generasi, atau aliran pemikiran apapun dalam suatu generasi, adalah jawaban generasi tersebut pada persoalan mereka. Pada saat itu aliran pemikiran tersebut memang cocok (karena memang dirumuskan untuk memecahkan persoalan mereka). Kalau seseorang ingin merumuskan paham keagamaan yang cocok buat dirinya, pertama-tama ia harus paham apa problem dirinya. Kesalahan mengidentifikasi problem akan melahirkan rumusan pikiran yang salah buat dirinya.Walaupun teologi banyak disebut, uraian di atas juga berlaku untuk ekspresi Islam lainnya, misalnya fikih. Fikih adalah rumusan manusia tentang persoalan hukum pada masanya. Fikih al-Syafi'i adalah fikih yang ditulis untuk menjawab persoalan hukum masanya. Apa persoalan masa kini? Apakah persoalan umat sekarang sama dengan persoalan yang dihadapi oleh imam Syafi'i?, sehingga kalau ingin mengikuti mazhab Syafi'i berarti harus mengikuti semua apa yang dia tulis dalam bukunya, lepas dari apakah apa yang dia tulis itu relevan buat Muslim saat ini? Atau apakah juga menjadi pengikut al-Syafi'i berarti mengikuti jejaknya dalam hal memacu dirinya untuk menjawab persoalan pada masanya?Kembali ke Abu Hasan. Pada tingkat pertama, menjadi pengikut Abu Hasan berarti mencontoh dia dalam hal keteguhan dan keyakinan serta ketekunannya dalam menjawab tantangan pada masanya untuk menciptakan kemaslahatan umat masanya. Pada level kedua, menjadi pengikutnya berarti mengikuti ajaran dia. Tapi ajaran dia tidak identik dengan apa yang dia katakan dalam buku-buku mereka. Jadi apa ajaran mereka? Ajaran mereka bukan pada level detil, yaitu bahwa Qur'an itu bukan mahluk atau bahwa seseorang pasti melihat Tuhan di akhirat, tapi pada tingkat prinsip yang lebih tinggi. Apa itu? Seseorang akan melihat suatu contoh yang menjadi salah satu isu utama pada masa Abu Hasan: hubungan antara Tuhan dengan sifatNya.Pada waktu kalangan ahli Hadits mengatakan bahwa dhat Tuhan itu berbeda dengan sifatNya dan bahwa sifat Tuhan itu abadi maka persoalanpun muncul. Dhat Tuhan abadi. Sifat Tuhan, yang ada dalam diri Tuhan, juga abadi. Bukankah itu berarti mengakui adanya dua keabadian dalam diri Tuhan (yaitu dhat dan sifatNya)?Abu al-Hudhayl (wafat th. 226/840), salah seorang tokoh Mu'tazilah, berkeyakinan bahwa mengakui sifat Tuhan sebagai berbeda dengan dhatNya adalah sirik. Dhat Tuhan itu, menurutnya, tidak berbeda dengan sifatNya. Dhat Tuhan adalah sifatNya. SifatNya adalah dhat Tuhan. Lalu dengan apa Tuhan mengetahui? Tuhan mengetahui bukan dengan 'sifat mengetahui' yang ada dalam dhatNya, tapi lagsung dengan dhatNya. Dhat Tuhan itu adalah ilmu. Ilmu adalah dhat Tuhan. Dalam pandangan Mu'tazilah, inilah tawhid yang sebenarnya (dan karena itu mereka menamakan dirinya ahli tawhid).Abu Hasan menolak pandangan Mu'tazilah tersebut. Tuhan berfirman dalam al-Qur'an bahwa Dia itu memiliki sifat. Nabi juga menyatakan begitu. Sahabat Nabi juga menyatakan begitu. Penolakan Mu'tazilah pada sifat Tuhan adalah penolakan pada kata-kata Tuhan, Nabi dan sahabatnya.Pada saat yang sama Abu Hasan juga tidak setuju dengan pandangan ahli Hadits yang mengatakan bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan dhatNya. Mengatakan bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan dhatNya dan bahwa sifatNya itu abadi memang akan menggiring pada pemahaman adanya dualisme dalam diri Tuhan. Ini tidak benar. Yang benar-setelah diperdebatkan di kalangan para pengikut Abu Hasan sendiri-adalah quot; Sifat Tuhan itu bukan Tuhan dan bukan juga bukan Tuhan (laa huwa walaa ghayruh).quot; Doktrin yang dirumuskan oleh kelompok Asy`ariyah itu seperti dua sisi mata uang. Ia adalah penolakan dan sekaligus juga pengakuan terhadap kedua kelompok yang bertikai di atas. Lewat quot; Sifat Tuhan itu bukan Tuhanquot; mereka tolak Mu'tazilah dan mereka rangkul ahli Hadits yang berpendapat bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan Tuhan. Lewat quot; Bukan juga bukan Tuhanquot; , mereka tolak ulama Hadits dan mereka rangkul orang Mu'tazilah yang menyamakan Tuhan dengan sifatnya. Dua-duanya ditolak dan dua-duanya diterima dalam waktu yang bersamaan.Sebelum doktrin Asy'ariyah tentang sifat Tuhan itu diterima oleh kebanyakan orang Sunni, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), Abu Hasa al-Asy'ari dan pengikutnya menjadi bulan-bulanan kedua kelompok yang berusaha dia kompromikan. Oleh Mu'tazilah dia ditolak, oleh ulama salaf juga tidak disukai. Keduanya sama-sama merasa tidak terwakili. Sampai abad ke 12 para pengikut al-Asy'ari masih harus bertarung di jalan-jalan Baghdad melawan pendukung Mu'tazilah dan pendukung ahli Hadits.Bagaimana Asy`ariyah sekarang bisa diterima oleh kebanyakan umat? Rahasia di balik rumusan ajaranya mungkin bisa membantu untuk menjawabnya. Semangat dari rumusan quot; Sifat Tuhan itu bukan Tuhan dan bukan juga bukan Tuhanquot; adalah bahwa realitas Tuhan itu bukan seperti yang dijelaskan baik oleh Mu'tazilah maupun oleh ahli Hadith. Definisi yang mereka rumuskan sama-sama tidak mampu menghadirkan eksistensi Tuhan yang sebenarnya. Makanya ditolak.Kalau begitu, rumusan yang diajukan Asy`ariyah itu sesungguhnya bukan sebuah definisi, tapi lebih berupa sebuah pengakuan yang tulus: pertama, pengakuan terhadap usaha Mu'tazilah dan ahli Hadith untuk memahami realitas Tuhan; kedua, pengakuan bahwa realitas Tuhan itu jauh lebih kompleks dari deskripsi yang dibuat oleh Mu`tazilah dan oleh ulama salaf (dan oleh manusia manapun).Lalu apa artinya menjadi pengikut Abu Hasan al-Asy'ari? Artinya berislam menurut prinsip Abu Hasan: mengakui relativitas setiap deskripsi tentang Tuhan dan ajaranNya, memberi hak kepada masing-masing kelompok pembuat deskripsi tersebut untuk terus ada, dan menghindari ekstrimitas dalam berislam. Posisi Abu hasan adalah posisi tengah, yang berusaha menjembatani berbagai ekstrimitas berbagai pihak yang bersebrangan. Menjadi pengikut Abu Hasan adalah memegang teguh prinsip ini. Persoalan-persoalan luar yang dia diskusikan pada masanya, seperti persoalan Tuhan dan sifatNya, bagi Muslim sekarang ada pada lapisan kedua. Mengajarkan teologi Asy'ariyah di lembaga-lembaga pendidikan Islam, termasuk IAIN, harus dikonsentrasikan pada lapisan pertama, pada lapisan prinsip. Langkah berikutnya adalah melihat lapisan pertama tersebut dengan kaca mata awal Islam: Apakah dia punya dasar kuat dalam al-Qur'an dan Hadith? Apakah ini posisi yang diambil Nabi?Ilmu BantuIslam adalah agama Tuhan untuk manusia. Berasal dari Tuhan, Islam adalah agama Tuhan. Buat manusia, Islam adalah agama manusia. Tuhan dan manusia adalah dua realitas yang tidak bisa dipisahkan dari agama. Tanpa salah satunya agama tidak akan ada.Karakteristik dua realitas ini sama sekali berbeda. Tuhan adalah realitas yang sangat luhur dan tak terbatas. Manusia adalah realitas yang rendah dan penuh dengan keterbatasan. Di wilayah Tuhan ada makna abadi. Tuhan menghendaki supaya makna tersebut dipahami manusia. Supaya bisa dipahami, makna yang ada di wilayah Tuhan tersebut harus direduksi sedemikian rupa sehingga manusia mampu menangkapnya. Dengan kata lan, makna itu harus diperkecil, dibuat miniaturnya, sebab kalau tidak begitu, manusia yang sangat terbatas ini tidak akan mampu menangkapnya.Islam, dengan demikian, hanya bisa dipahami dengan baik manakala perhatian Muslim ditujukan pada dua wilayah sekaligus: wilayah Tuhan dan wilayah manusia. Ajaran-ajaran Islam yang ada di wilayah Tuhan perlu ditangkap dan dipahami, dan ajaran Tuhan tersebut bisa ditangkap lewat wilayah manusia. Apa yang ada di wilayah manusia adalah pintu masuk memasuki dunia langit. Agama, kitab suci, Nabi adalah pintu memasuki dunia langit. Untuk memahami dunia langit seseorang harus memahami dunia manusia, memahami kitab suci, memahami Nabi. Tanpa pemahaman itu dunia langit tidak akan bisa ditangkap dengan baik.Oleh karena agama pada dasarnya untuk manusia, maka sebagian kebenaran agama juga ada pada manusia. Karena ada manusialah agama ada. Yang membenarkan agama adalah manusia. Manusia demikian penting posisinya dalam agama. Dia adalah titik temu antara dunia langit dan dunia bumi. Sebagai titik pertemuan, manusia menjadi unik. Mengkaji keunikan manusia-dengan segala produknya, termasuk budaya, tradisi, bahasa, ilmu pengetahuan dan teknologi-adalah sebuah kemestian dalam memahami agama. Dalam rangka inilah ilmu-ilmu seperti filsafat, sosiologi, antropologi, dan psikologi, menjadi penting untuk dikaji di IAIN.Ilmu-ilmu sosial seperti itu bukan hanya baik untuk memahami Islam juga mutlak diperlukan untuk menerapkan Islam. Agama Islam harus diterapkan dalam tingkah laku. Karena itu dalam merealisasikan Islam umat Islam kontemporer harus mengetahui diri mereka sendiri, kelebihan dan kekurangan mereka, apa kemauan dan cita-cita mereka. Islam persis diturunkan untuk tujuan-tujuan itu: membantu manusia untuk hidup makmur, adil, bahagia.PenutupDitegaskan bahwa masa klasik-masa yang membentang dari abad ke-1 H/ ke-7 sampai jatuhnya Baghdad pada abad ke-7 H/ ke-13 M-adalah masa dimana dua peristiwa penting terjadi. Pertama, diturunkannya wahyu secara sempurna ke dunia lewat Nabi Muhammad; kedua, dilembagakannya wahyu tersebut dalam berbagai mazhab yang dianut masyarakat Islam sekarang. Produk kedua peristiwa tersebut-yaitu al-Qur'an, Hadith Nabi, Sirah (sejarah hidup Nabi), Maghazi (sejarah peperangan Nabi) pada peristiwa pertama dan buku-buku yang ditulis para imam mazhab dan pengikut mereka pada peristiwa kedua-beserta konteks yang mengitarinya tersimpan dalam khazanah buku-buku yang sangat kaya. Buku-buku tersebut mutlak diperlukan dalam keberagamaan masyarakat Muslim sekarang. Baik kelompok yang ingin mengikuti warisan itu secara utuh (yang ingin mengikuti al-Qur'an dan Hadith Nabi serta ajaran-ajaran para pendiri mazhab sepersis mungkin) ataupun kelompok yang ingin mengikuti warisan tersebut secara terbuka (mempelajari warisan tersebut lewat konteks yang melahirkannya dan berusaha menarik semangat yang ada di balik ekspresi verbal warisan tersebut kemudian menerapkannya kembali dalam konteks mereka yang berbeda dengan ekspresi verbal bisa jadi berbeda) tidak mungkin melepaskan diri dari khazanah klasik tersebut.Dengan kata lain, hanya lewat penguasaan tradisi klasik tersebutlah bangunan Islam mungkin didirikan. Reinterpretasi, tajdid, gerakan Salafi, kontekstualisasi, atau apapun bentuk gerakan yang muncul di masyarakat Islam, hanya mungkin berdiri dengan kokoh kalau dia berakar kuat dalam tradisi Islam klasik. Pilihan arah dan bentuk kajian Islam, baik di IAIN maupun di lembaga-lembaga kajian Islam lainnya, harus berpijak pada tradisi Islam klasik. Al-Qur'an, Hadith, dan karya-karya imam mazhab harus menjadi pijakan.Warisan Islam klasik tersebut tentu harus dibaca dengan kreatif. Untuk itu pemahaman tentang manusia-sebagai penerima dan pelaksana agama-beserta produknya (budaya, ilmu, teknologi) mutlak diperlukan. Tuhan dan manusia, langit dan bumi, seperti dua sisi mata uang dalam agama.  <br /> <br />