Teknologi "MAS" (Micro Automatic System) digunakan untuk mengolah air limbah rumah sakit secara biologis dan otomatis. Teknologi ini menggunakan bakteri pengurai yang dikembangkan khusus untuk mendekomposisi limbah menjadi bahan yang tidak berbahaya. Sistem elektrik secara otomatis menggerakkan peralatan seperti pompa dosing, blower, dan pengurasan. Teknologi ini relatif murah dan mudah dioper
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015
1.
2.
3. iiiJurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
JURNAL PENGENDALIAN PENYAKIT
DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN
DEWAN REDAKSI
Penasihat : Direktur Jenderal PP dan PL
Sekretaris Ditjen PP dan PL
Penanggung Jawab : Kepala Bagian Hukormas
Redaktur : drg. Yossy Agustina , MH.Kes
dr. Ita Dahlia, MH.Kes
Ikron, SKM, MKM
dr. Ratna Budi Hapsari, M.Kes
Dewi Nurul Triastuti, SKM
Penyunting/Editor : Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D
Dr. Suwito, SKM, M.Kes
Design Grafis : Putri Kusumawardani, ST
Bukhari Iskandar, SKM
Eriana Sitompul
Fotografer : Firman Septiadi, SKM
Hilwati, SKM, M.Kes
Sri Sukarsih, Amd
Sekretariat : Mugi Wahidin, SKM, M.Kes
Suranti Amalia, Amd
Johanes Eko K., SKM, M.Kes
Adhy Prasetyo
Rr. Trihastati R H
Pairin
Ridho Ichsan Saini, SKM
Penerbit : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560
Telp/Fax: (021) 4225451
email: humas.p2pl@gmail.com
website: www.pppl.depkes.go.id
facebook: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan
4. vJurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga Jurnal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dapat diterbitkan demi memenuhi
kebutuhan pembaca dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan
khususnya pengendalian penyakit, baik yang menular maupun tidak menular serta
penyehatan Iingkungan di Indonesia.
Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini merupakan edisi 5 yang terbit
di penghujung tahun 2015. Jurnal ini diterbitkan dengan tujuan dapat mempublikasikan hasil
penelitian, karya ilmiah dan review terkait dengan program pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan. Diharapkan jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang ingin
mengetahui perkembangan terbaru tentang program pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan jurnal ini.
Kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi penyempurnaan dan kemajuan jurnal
ini.
Akhir kata, semoga jurnal ini dapat memberikan motivasi dan dorongan, serta bermanfaat
bagi kita semua.
Jakarta, Desember 2015
Direktur Jenderal PP dan PL
dr. H. Mohamad Subuh, MPPM
5. viiJurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
DAFTAR ISI
Halaman
Instalasi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit Dengan Menggunakan Teknologi Micro
Automatic System .......................................................................................................................................................... 1 – 8
Deteksi Dini Hipertensi Pada Pengemudi Bus Akap Selama Arus Mudik Lebaran 2015
di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi, Jawa Timur ........................................................................................... 9 – 15
Deteksi Dini Kanker Payudara dan Leher Rahim di Indonesia Tahun 2007-2014 ............................ 16 – 20
Kinerja Jumantik dan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Rejang Lebong
Tahun 2014 ...................................................................................................................................................................... 21 – 24
Meta-Analisis Hubungan Kondisi Lingkungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue ........ 25 – 29
Pengelolaan Limbah di Puskesmas di Sembilan Kabupaten/Kota Wilayah Kerja BBTKLPP
Jakarta Tahun 2013 ...................................................................................................................................................... 30 – 35
Risiko Kesehatan Radioaktivitas Penambangan Timah di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung, 2014 ................................................................................................................................................................. 36 – 40
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita di Desa Saitnihuta, Kabupaten
Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, 2015 ............................................................................... 41 – 48
Peningkatan Peran Perawat dalam Penemuan Suspek TB di Kota Palu ................................................ 49 – 60
Survei EpidemiologiTaeniasis/Sistiserkosis danSoil TransmittedHelminthiases di Kabupaten
Gianyar dan Karangasem, Bali, 2013 .................................................................................................................... 61 – 66
Pedoman Penulisan Naskah Jurnal Ditjen PP dan PL ..................................................................................... 67 – 68
6. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 1
INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH SAKIT
DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI MICRO AUTOMATIC SYSTEM
Hospital Wastewater Treatment Plant by Using Micro Automatic System Technology
P.A. Kodrat Pramudho, Widodo
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Jakarta, Ditjen PP dan PL,
Kementerian Kesehatan RI
Abstrak
Air limbah rumah sakit adalah air yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dengan kandungan bahan kimia B3 infeksius dan
non infeksius yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan. Seiring dengan
perkembangan penduduk banyak didirikan rumah sakit baru dengan aktifitasnya akan berpotensi menimbulkan pencemaran
baru, sehingga perlu diupayakan pengembangan teknologi yang murah dan aman didalam pengolahan air limbah.
Keunggulan teknologi “MAS” adalah pada penggunaan bakteri pengurai yang sudah diseleksi dan dimodifikasi lingkungan
hidupnya yang ditambahkan ke dalam sistem IPAL, serta penggunaan sistem elektrikal yang mampu menggerakan unit IPAL
secara otomatis dengan kelistrikan sederhana, dapat dikembangkan (duplikasi), sehingga teknologi ini akan memiliki nilai
ekonomis, efektifitas yang tinggi dengan hasil pengolahan sesuai dengan standard KepMenLh No.58 Tahun 1995.
Kata kunci : Pengolahan air limbah rumah sakit, teknologi micro automatic sistem
Abstract
Hospital waste water is water generated from the hospital with the chemicals B3 infectious and non-infectious potentially
polluting and harmful to people and the environment. Along with the many established residents of the new hospital with
potentially polluting activities would be new, so it is necessary the development of a cheap and safe technology in wastewater
treatment. Technological advantage "MAS" is the use of bacterial decomposition that have been selected and modified the
environment are added to the system WWTP, as well as system use electrical capable of moving unit WWTP automatically
with electrical simple, can be developed (duplication), so that this technology will have economic value, high effectiveness
with the results of the processing in accordance with standard KepMenLH 58 1995.
Keywords : Hospital waste water treatment, automatic micro system technology
Alamat Korespondensi: Widodo, Ssi, MM, BBTKLPP
Jakarta, Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, Jl, Balai Rakyat
No.2 Cakung Timur Jakarta Timur, Hp: 08128103845,
email: widkannai@gmail.com
PENDAHULUAN
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan
dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Jakarta
merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis
(UPT) di bidang teknik kesehatan lingkungan
dan pengendalian penyakit yang berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (Ditjen PP dan PL), Kementerian
Kesehatan RI. Salah satu tugas BBTKLPP Jakarta
adalah melaksanakan pengembangan model
dan teknologi tepat guna.
Terkait Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Proper), akhir November 2011 (dalam hal ini
termasuk rumah sakit), Kementerian Lingkungan
Hidup telah menetapkan 14 Rumah Sakit (RS)
dengan kategori biru, 27 merah, dan 1 hitam.
Kategori biru berarti RS menjalankan standar
pengelolaan lingkungan, sedangkan merah dan
hitam dinilai masih abai dalam mengelola
lingkungan. Pada tahun 2014, BBTKLPP Jakarta
telah melakukan kajian di bidang analisis
dampak kesehatan lingkungan (ADKL) di 12
rumah sakit di Kota Bandung. Hasil kajian
menunjukkan bahwa kualitas outlet Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) belum sesuai
dengan standar Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 58 Tahun 1995 tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah
Sakit (Tabel 1).
Dengan latar belakang permasalahan tersebut
dan sesuai dengan tugas fungsinya sebagai JFT
Sanitariandalammelakukanrisetdanpengembangan
di bidang teknologi penyehatan lingkungan,
maka perlu dikembangkan perencanaan, desain,
model dan penerapan teknologi IPAL rumah
sakit.
7. 2 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Perancangan disain mengacu ke Pedoman
Teknis Instalasi Pengolahan Air Limbah dengan
Sistem Biofilter Anaerob Aerob Pada Fasilitas
Pelayanan Kesehatan yang diterbitkan oleh
Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik
Dan Sarana Kesehatan Tahun 2011.
Dengan melihat keunggulan dan kelemahan
desain yang ada dilakukan penyempurnaan,
penerapan teknologi pengolahan air limbah
rumah sakit. Hasil penyempurnaan dinamai
dengan teknologi Micro Automatic Sistem (MAS).
Penyempurnaan dilakukan pada desain bak
pengolahan, pertumbuhan bakteri pengurai,
perpipaan dan sistem kelistrikan.
Teknologi IPAL dengan sistem MAS telah
diterapkan di beberapa wilayah seperti Kota
Bogor, Kabupaten Bogor, DKI Jakarta, Kota
Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang,
Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Karawang.
Kapasitas pengolahan bervariasi antara 25–
500 M3/hari atau setara dengan 25–500
tempat tidur. Penentuan 1M3 untuk satu
tempat tidur adalah atas dasar pengamatan di
lapangan dan kegagalan–kegagalan unit IPAL
yang telah ada, yang pada umumnya karena
kurangnya kapasitas unit pengolahan.
Rumah sakit dalam melaksanakan kegiatannya
yang terdiri dari pelayanan langsung maupun
tidak langsung akan mengeluarkan limbah cair.
Pengolahan air limbah rumah sakit menggunakan
teknologi ”MAS” (MICRO AUTOMATIC SYSTEM),
merupakan pengolahan gabungan antara fisika,
kimia dan biologis dan didukung dengan
penggunaan instrumen elektrik yang diatur
secara otomatis. Pengertian dari Micro adalah
mikroba/bakteri pengurai yang menguntungkan
yang dikembangkan dalam teknologi ”MAS”
adalah bakteri pengurai seperti:
1. Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp.
Kelompok bakteri ini berperan besar dalam
proses nitrifikasi yang merubah senyawa-
senyawa nitrogen beracun menjadi bahan-
bahan tak beracun. Nitrifikasi terjadi dalam
2 tahap, yaitu: Perubahan amonia menjadi
nitrit oleh Nitrosomonas sp., dilanjutkan
dengan perubahan dari nitrit menjadi nitrat
oleh bakteri Nitrobacter sp.
2. Aerobacter sp.
Bakteri ini mengubah karbohidrat menjadi
asam lemak dan ethanol.
3. Bacillus sp.
Bakteri ini adalah kelompok anaerob
fakultatif. Enzim yang dihasilkannya dapat
dimanfaatkan untuk melarutkan protein
padat yang tak larut, lemak dan karbohidrat.
Bakteri ini dapat merubah lemak tak larut
menjadi gliserol yang larut dalam air dan
asam lemak.
4. Pseudomonas sp.
Sekelompok bakteri anaerob fakultatif. Ia
dapat melarutkan bermacam-macam bahan
organik di dalam lumpur.
5. Shacaromyces sp.
Sekelompok jamur/ragi yang dapat melakukan
permentasi bahan organik di dalam air dan
lumpur serta sangat tahan terhadap bahan–
bahan yang digunakan dalam disinfektan,
zat tersebut akan terendap bersama biomasa
yang sudah mati.
Sedangkan pengertian dari AUTOMATIC SYSTEM
adalah penggunaan sistem elektrik yang mampu
bekerja menggerakan dosing pump, blower,
samersible pump, pengurasan pada unit bio
filter, wasserjet, unit microfilter, ozon generator
danunitpeneranganyangbekerjasecara otomatis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengolahan
dengan teknologi ”MAS” adalah jumlah bakteri
yang dikembangkan, nutrisi, suhu, pH, oksigen
terlarut serta daya toksik limbah terhadap sel-
sel mikroba.
Penggunaan teknologi ”MAS” mempunyai banyak
keuntungan, antara lain:
Mudah dalam pemeliharaan dan operasional
Tidak membutuhkan tenaga ahli yang khusus
Rendah dalam biaya operasional
Menghilangkan bau dan memperbaiki warna
air buangan
Menguraikan NH3 dan senyawa N lainnya yang
tinggi
Menguraikan PO4 dan senyawa P lainnya yang
tinggi
Menguraikan H2S dan senyawa S lainnya yang
tinggi
Menurunkan COD dan BOD
Menjaga kestabilan pH pada air buangan
Mempunyai kemampuan yang tinggi dalam
melakukan penguraian bahan organik (protein,
karbohidrat, lemak).
8. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 3
Effluent yang diharapkan
Effluent yang diharapkan dengan penggunaan
teknologi “MAS” kualitas sesuai dengan baku mutu
MenLH No. 58 Tahun 1995 untuk kegiatan RS.
Tabel 1. Baku mutu air limbah rumah sakit
No Parameter Satuan
MenLH
No. 58/1995
Batas Syarat
1 Suhu oC < 30
2 pH mg/l 6 - 9
3 BOD mg/l 30,0
4 COD mg/l 80,0
5 TSS mg/l 30,0
6 Amonia bebas mg/l 0,1
7 Posfat mg/l 2,0
8 Kuman
golongan koli
MPN/100
ml
10.000
METODE
Kajian ini merupakan hasil analisis dampak
kesehatan lingkungan di 12 rumah sakit di
Kota Bandung tahun 2014 dan berdasarkan
kajian literatur. Pengolahan air limbah rumah
sakit dengan sistem “MAS“ mempunyai beberapa
proses pengolahan seperti fisika, biologi, dan
kimiawi (absorbsi). Adapun proses siklus kimia
dan biologi yang terjadi pada bak-bak pengolahan
adalah sebagai berikut:
a. Unit grease trap
Pada unit grease trap yang ditempatkan di
unit gizi dan kantin dengan adanya bakteri
pengurai anaerob (Nitrosomonas sp, Nitrobacter
sp, Pseudomonas sp, dan Bacillus sp). Minyak
dan lemak diuraikan menjadi senyawa yang
lebih sederhana yang akan memudahkan
dalam proses berikutnya.
b. Unit sub bak pengumpul
Pengolahan tersebut dimaksudkan untuk
menurunkan kandungan bahan-bahan organik
dan anorganik secara fisika (gaya gravitasi)
untuk menahan kotoran kasar pencampuran
air baku, mengendapkan partikel yang
berukuran 10m, dan penguraian minyak
lemak oleh bakteri anaerobik. Pada proses
ini akan terjadi penurunan paramater, sehingga
akan memudahkan pengolahan pada proses
berikutnya.
c. Filter sand filter dan karbon (bio filter I dan II)
Pengolahan tersebut dimaksudkan untuk
menurunkan kandungan bahan-bahan organik
dan anorganik secara fisika (gaya gravitasi)
dan kimia karena dilengkapi dengan karbon
aktif yang mempunyai daya absorpsi terhadap
bahan–bahan pencemar seperti minyak lemak,
detergent, PO4, NH3. Untuk membantu ketahanan
karbon aktif dalam melakukan absorpsi
ditambahkan batu koral. Pada tahap proses
ini dengan adanya bakteri pengurai anaerob
dapat menyempurnakan penguraian bahan
pencemar yangada, sehingga akanmemudahkan
dalam proses selanjutnya.
d. Pengolahan biologis pada kolam aerasi
Pengolahan ini dimaksudkan untuk menurunkan
kandungan zat organik dan anorganik secara
biologis dengan menggunakan bakteri aerobik
yang bekerja pada daerah tengah dan
permukaan unit IPAL, sedangkan bakteri
anaerob bekerja di dasar lumpur. Kondisi aerob
dikondisikan dengan bantuan penambahan
udara bebas (blower) ini terjadi pada kolam
aerasi. Pada proses ini akan terjadi penurunan
dan siklus rantai kimia secara biologi yang
sangat mencolok untuk parameter BOD,
COD, H2S, NH3-N, NO2-N, NO3-N, PO4
3-
, dan
minyak lemak, sehingga akan memudahkan
pengolahan pada proses berikutnya.
e. Pengolahan disinfection
Pengolahan ini dimasudkan untuk membunuh
bakteri patogendanvirus denganmenggunakan
Ozongenerator. Selain itu juga mempunyai
kemampuan dalam melakukan degradasi/
penguraian bahan pencemar yang masih ada.
Diharapkan air hasil pengolahan terbebas
dari bakteri patogen dan virus.
f. Uji hayati (test tank)
Dalam uji hayati dilakukan terhadap ikan
yang ditempatkan dalam aquarium dari
kaca setebal 10 mm dengan ukuran 50 cm x
50 cm x 70 cm dengan sistem penambahan
air secara kontinyu dari bak akhir dengan
menggunakan pompa. Pada proses ini untuk
mengetahui kualitas air pengolahan yang
dihasilkan apakah masih berbahaya atau
tidak terhadap biota perairan.
g. Proses mikro filtrasi
Dalam proses ini menggunakan teknologi
spon membran dengan ukuran pori 0,1 µm,
penambahan carbon filter, sand filter dan
mikro filter dengan ukuran pori 0,1µm. Pada
9. 4 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
tahap ini air yang dihasilkan akan menjadi
air bersih yang dapat digunakan untuk
menyiram WC, sehingga menghemat penggunaan
air bersih dan pengolahan limbah cair akan
lebih bermanfaat.
h. Pengolahan lumpur
Dalam tahap ini lumpur-lumpur sebelum
dibuang baik dari proses IPAL sebelum
keluar/dibuang harus ditambahkan kaporit.
Diharapkan lumpur yang dibuang sudah
terbebas dari bakteri patogen dan virus.
Proses pembuangan lumpur pada unit IPAL
dilakukan 2 kali dalam setahun, bekerja
sama dengan dinas kebersihan setempat.
Gambardandisainpengolahanyangditerapkan
a. Disain tampak atas “MAS”
b. Disain tampak depan “MAS”
Peralatan operasional IPAL rumah sakit
Sistem pengolahan air limbah rumah sakit
dengan sistem “MAS “dalam operasionalnya untuk
mendapatkan kualitas air buangan (outlet) yang
memenuhi persyaratan standar, dilengkapi
dengan peralatan (Tabel 2).
Tabel 2. Tabel peralatan operasional IPAL rumah
sakit
No. Jenis peralatan Unit
1. Blower (khusus untuk IPAL) 1
2. Samersible pump (lumpur) 2
3. Box pannel 1
4. Water automatic 1
5. Wasserjet 2
6. Klep angin untuk blower
bagian bawah
18
7. Karbon filter 1
8. Karbon aktif 500 kg
9. Ozon generator 1
10. Micro filter 1
11. Ultra filter 1
12. Sarang tawon 6 M3
13. Micro/bakteri pengurai 48 liter
14. Water meter flow 1
15. Automatic dosing 1
a. Peralatan yang digunakan “MAS”
10. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 5
b. Bangunan IPAL di beberapa rumah sakit
Operasional IPAL harian
Lakukan pengontrolan semua kondisi bak
IPAL dari adanya kotoran sampah, dan
lakukan pengecekan peralatan IPAL seperti
pompa, blower dan panel.
Bila semua bak sudah terisi penuh hidupkan
panel pada posisi auto untuk peralatan
blower dan pompa sumersible.
Tambahkan bakteri pengurai BIODEKSTRAN
(Anaerob) pada sub bak pengumpul dan
grease trap 1 hari sekali sebanyak 2 lt.
Tambahkan bakteri pengurai MICROPLUS
(Aerob) pada bak aerasi 1 hari sekali
sebanyak 3 liter dan perhatikan debit harian
penggunaan air bersih perhari.
Lakukan pengecekan terhadap kualitas air
IPAL baik secara visual maupun laboratorium,
untuk pengujian di laboratorium dapat
dilakukan sebulan sekali (mengacu standar
baku mutu MenLH No. 58 Tahun 1995).
Untuk pengecekan harian lakukan terhadap
kualitas visual seperti kerjernihan dan bau
dari air outlet IPAL.
Operasional IPAL dengan kasus amonia,
TSS, COD, BOD, PO4
Lakukan pengontrolan semua kondisi bak
IPAL dari adanya kotoran sampah, dan
lakukan pula pengecekan peralatan IPAL
seperti pompa, blower dan panel.
Bila semua bak sudah terisi penuh hidupkan
panel pada posisi auto untuk peralatan
blower dan pompa sumersible.
Tambahkan bakteri pengurai ”BIODEKSTRAN
(Anaerob)” pada sub bak pengumpul dan
grease trap 1 hari sekali sebanyak 2 liter.
Tambahkan bakteri pengurai ”MICROPLUS
(Aerob)” pada bak aerasi 1 hari sekali
sebanyak 1 liter dan perhatikan debit harian
penggunaan air bersih perhari.
Khusus untuk Amonia dan Phosphat, tambahkan
bakteri pengurai ”AMONIA REMOVAL PLUS”
dan Kapur (CaCO3) bila pH < 6,5 – 7,5 pada
bak aerasi 1 hari sekali sebanyak 3 lt dan
perhatikan debit harian penggunaan air
bersih perhari.
Lakukan pengecekan terhadap kualitas air
IPAL baik secara visual maupun laboratorium,
untuk pengujian di laboratorium dapat dilakukan
sebulan sekali (mengacu standard baku mutu
MenLH No. 58 Tahun 1995). Untuk pengecekan
harian lakukan terhadap kualitas visual
seperti kerjernihan dan bau dari air outlet IPAL.
Operasional Filter Pada IPAL
Lakukan pengontrolan pompa pada unit filter
dan isi dengan air.
Tahap awal lakukan back wash dengan
memutar katup filter pada posisi back wash
(arah panah pada posisi back wash), lakukan
sampai air outlet filter bening/tidak keruh
dan matikan pompa air.
Tahap selanjutnya putar katup filter pada
posisi rinse dan hidupkan pompa lakukan
sampai air outlet filter bening/jernih dan
matikan pompa air.
Kemudian putar katup filter pada posisi filter
dan hidupkan pompa air dengan memutar
selector panel pada posisi auto, pompa akan
bekerja secara otomatis bila air pada bak
penampungan akhir IPAL habis pompa akan
11. 6 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
mati dengan sendirinya dan bila terisi
kembali pompa akan hidup kembali.
Pemeliharaan pada unit IPAL
Unit Grease trap
- Tambahkan “BIODEKSTRAN (Anaerob)” 1
hari sekali sebanyak 2 liter pada saluran
wastapel dapur/kantin dan siram dengan
air bersih.
- Kontrol unit grease trap 3 hari sekali dan
bila terdapat lemak dan kotoran dilakukan
pengambilan.
Unitsubbakpenampungandanbakpenampungan
utama
Lakukan pengontrolan saluran pipa dan
pompa dari kotoran seminggu sekali bila
memungkinkan lakukan setiap hari.
Unit Bio Filter IPAL
Buka cek valve backwash dan udara pada bak
biofilter, lakukan backwash bila laju alir air
limbah terlihat tersendat atau lakukan seminggu
sekali. Bak no.11 lumpurnya dibuang ke
medives/PT yang berizin.
Blower
Lakukan pengecekan harian blower dengan
memonitor terhadap kebisingan, dan jalannya
blower.
HASIL
Sistem pengolahan air limbah rumah sakit
dengan sistem “MAS“ merupakan teknologi
yang sangat sederhana dan mudah untuk
diterapkan dengan biaya yang relatif tidak
mahal dengan bahan–bahan yang dapat
disesuaikan dengan wilayah dan sumber dana
yang tersedia. Teknologi “MAS” telah sesuai
dengan baku mutu yang dipesyaratkan oleh
pemerintah yang mengacu pada KepMenLH
No.58 Tahun 1995, di dalam pelaksanaan uji
coba dapat dilihat hasil analisa laboratorium
selama satu tahun pada tahun 2014 adalah
sebagai berikut:
12. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 7
Grafik di atas menggambarkan antara hasil
pengukuran kualitas air buangan inlet dan
outlet pada sistem “MAS” yang telah diterapkan
di salah satu rumah sakit, untuk kualitas air
buangan selama periode satu tahun dengan
teknologi “MAS”. Hasil mengolahan air limbah
rumah sakit telah memenuhi standard
pemerintah dan telah aman bagi lingkungan.
PEMBAHASAN
Penerapan teknologi “MAS” pada pengolahan
air limbah rumah sakit sejak dibangun dan
dioperasionalkan mempunyai keunggulan dan
kelemahan pada sistem. Bila ditinjau dari hasil
pemeriksaan laboratorium untuk suhu, pH,
COD, BOD, TSS, amoniak, posfat dan coliform
dari bulan Januari sampai dengan Desember
ditahun 2014 untuk kualitas inlet IPAL di atas
baku mutu, sehingga diperlukan pengolahan
terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan,
sedangkan setelah melewati IPAL hasil outlet
dibawah baku mutu sehingga dapat langsung
dibuang kelingkungan.
Pada opersional harian pada sistem “MAS”,
seperti pembersihan lumpur pada proses
biofilter sangat mudah dilakukan dibandingkan
dengan teknologi biofilter yang telah ada. Proses
pembuangan lumpur cukup dengan membuka
katup udara pada sisi bak pengolahan udara
blower dihembuskan sampai semua lumpur
terangkat, kemudian kran pembuangan lumpur
dibuka biarkan sampai semua lumpur terbawa
kepenampungan lumpur.
Tenaga listrik yang digunakan pada teknologi
“MAS” yang di gunakan untuk mengerakkan
mesin blower sebagai supplai udara pada bak
aerasi, penggunaan mesin blower untuk kapasitas
olah 200 M3/hari diperlukan 2,2 KW. Sampai
dengan saat ini penulis belum menemukan
blower dengan tenaga listrik yang kecil.
Biaya pembuatan IPAL dengan teknologi
“MAS” sangat bervariasi tergantung ketersediaan
bahan material bangunan yang tersedia di
lokasi pembuatan sistem. Besar kecilnya biaya
yang dikeluarkan dapat diminimalisasi dengan
bahan, seperti untuk kapasitas olahan <10M3
per hari dapat menggunakan bahan bata merah
tampa di cor besi bertulang yang sangat cocok
untuk diterapkan di puskesmas–puskesmas,
untuk diatas >10M3 per hari penulis menyarankan
menggunakan besi bertulang agar didapat hasil
yang maksimal.
KESIMPULAN
Didalam operasional harian teknologi pengolahan
air limbah “MAS” tidak membutuhkan keahlian
yang khusus dan pendidikan tinggi, dapat
dioperasikan oleh operator yang dilatih terlebih
dahulu mengenai fungsi peralatan dan perpipaan
yang ada didalam bak IPAL. Operator yang
bertugas di IPAL dapat bekerja di posisi lain,
karena sistem dapat bekerja secara otomatis
13. 8 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
dengan kelistrikan yang sangat sederhana dan
dapat dikembangkan secara mandiri.
Pada saat dilakukan observasi lapangan, biaya
operasional yang dikeluarkan dengan menggunakan
bakteri yang dikembangkan oleh sistem “MAS”
untuk pengolahan 200 M3 per hari membutuhkan
biaya Rp 2.500.000,- per bulan.
Pengolahan air limbah rumah sakit dengan
teknologi “MAS” yang telah diterapkan di
beberapa kabupaten/kota provinsi Jawa Barat,
DKI Jakarta dan Banten dapat menjadi alternatif
pengolahan air limbah di klinik, rumah bersalin,
puskesmas dan rumah sakit.
SARAN
1. Penggunaan teknologi “MAS” untuk pengolahan
air limbah perlu sosialisasi, agar dapat
diterapkan di puskesmas dan rumah sakit
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dan
penyempurnaan dalam penggunaan blower
sebagai sumber oksigen dengan teknologi
alternatif lainnya agar didapatkan biaya
operasional yang lebih murah dan dapat
ditempatkan di daerah yang tidak mempunyai
sumber listrik.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
semua pihak yang telah berperan dalam
penerapan teknologi “MAS” pada pengolahan
air limbah di di beberapa kabupaten/kota di
provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten,
sehingga teknologi ini dapat dituangkan dalam
bentuk tulisan dan diimformasikan kepada
tenaga sanitarian di indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Metcalf & Eddy. 2004. Wastewater Engineering
Treatmen and Reuse. Fourth Edition. McGraw
– Hill Companiies. New York. USA.
C. Fred Gurnham. 1971. Industrial Wastewater
Control. Academic Press. New York. USA.
____1977. Fate of Pollutants in the Air and Water
Environments. Volume 8. Part 2. Chemical and
biological fate of pollutants in the environment”.
New York. USA.
James G. Cappuccino Natalie Sherman. 1983.
Microbiology Laboratory Manual. Addison –
Wesley Publishing Company. Ney York. USA
Raswari. 1986. Sistem Perpipaan. UI Press.
Indonesia.
MenLH No 58 Tahun 1995 Tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit.
14. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 9
Deteksi Dini Hipertensi pada Pengemudi Bus AKAP
Selama Arus Mudik Lebaran 2015 di Pelabuhan Ketapang
Banyuwangi, Jawa Timur
Early Detection of Hypertension in Intercity and inter-provincial Bus Drivers
During Idul Fitri Celebration 2015 at Ketapang Port, Banyuwangi, East Java
Pipin Arisandi, Rahmat Subakti, Rofiud Darojat, Sholikah
Kantor Kesehatan Pelabuhan Probolinggo, Direktorat Jenderal PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI
Abstrak
Kantor Kesehatan Pelabuhan Probolinggo sebagai otoritas kesehatan di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi berupaya
melakukan pemeriksaan kesehatan pengemudi bus AKAP (Antar Kota Antar Propinsi) selama arus mudik lebaran Tahun
2015 di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun
2013. Sampel yang diambil sejumlah 102 pengemudi. Desain penelitian ini menggunakan cross sectional dan pengambilan
sampelnya secara simple random sampling. Jumlah pengemudi bus yang mempunyai tekanan darah tinggi (hipertensi)
sebesar 43,1%. Faktor yang mempunyai hubungan dengan kejadian hipertensi dengan tingkat signifikan sebesar 0,05 adalah
umur (p=0,039; OR=2,556), waktu istirahat (p=0,037; OR=2,397), merokok (p=0,017; OR=3,333), minum kopi (p=0,040;
OR=2,389), lingkar perut (p=0,030; OR=2,417), dan indeks massa tubuh (IMT) (p=0,022; OR=2,552). Faktor dominan yang
berhubungan dengan kejadian hipertensi pada sopir bus AKAP adalah merokok (p=0,012), minum kopi (p=0,020), dan IMT
(p=0,009). Hasil penelitian pada pengemudi bus AKAP ini dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling dominan terhadap
kejadian hipertensi adalah IMT. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pihak pemangku kebijakan terutama
perusahaan otobus untuk dapat memantau perkembangan kesehatan karyawannya.
Kata kunci : Pengemudi bus, hipertensi, Pelabuhan Ketapang
Abstract
Port Health Office of Probolinggo as health authorities in Port of Ketapang Banyuwangi that a have done examination AKAP
bus (Inter-City Inter-Province) during Lebaran 2015 in the Port of Ketapang Banyuwangi as mandated by Presidential
Instruction Number 4 of 2013. Samples taken a number of 102 driver. Using cross-sectional design of this study and taking
the sample by simple random sampling. Number of bus drivers who have high blood pressure (hypertension) amounted to
43.1%. Factors that have a relationship with hypertension with a significant level of 0.05, among others: age (p = 0.039; OR =
2.556), breaks (p = 0.037; OR = 2.397), smoking (p = 0.017; OR = 3.333) , coffee (p = 0.040; OR = 2.389), waist circumference
(p = 0.030; OR = 2.417), and body mass index (BMI) (p = 0.022; OR = 2.552). The dominant factors associated with
hypertension in AKAP bus driver was smoking (p = 0.012), coffee (p = 0.020), and BMI (p = 0.009). Results of research on this
AKAP bus driver can be concluded that the most dominant factor on the incidence of hypertension is BMI. Expected results of
this study can be used by the stakeholders, especially companies always otobus to monitor the development of the health of
its employees.
Keywords : Bus driver, hypertention, Port of ketapang
Alamat Korespondensi: Pipin Arisandi, KKP Probolinggo,
Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, Jl. Tanjung Tembaga Baru
Probolinggo,Hp:082301661666,e-mail:pipinaris@yahoo.com
PENDAHULUAN
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),
jumlah penderita hipertensi di seluruh dunia
diperkirakan sebanyak 600 juta orang, dengan
3 juta kematian setiap tahun. Di Indonesia,
hipertensi merupakan penyebab kematian
nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis (6,8%)
dari proporsi penyebab kematian pada semua
umur (Malope, 2012).
Bila dibandingkan hasil Riskesadas tahun
2007 dan 2013, terjadi penurunan prevalensi
hipertensi di Indonesia, yaitu dari 31,7% tahun
2007 (Riskesdas, 2007) menjadi 25,8% tahun
2013 (Riskesdas, 2013). Asumsi terjadinya
penurunan bisa bermacam-macam mulai dari
alat pengukur tensi yang berbeda sampai pada
kemungkinan masyarakat sudah mulai datang
berobat ke fasilitas kesehatan. Namun sebaliknya
terjadi peningkatan prevalensi hipertensi
berdasarkan wawancara (apakah pernah didiagnosis
nakes dan minum obat hipertensi) dari 7,6%
tahun 2007 menjadi 9,5% tahun 2013 (Riskesdas,
2013).
15. 10 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Salah satu penyebab kematian yang juga
cukup tinggi adalah kecelakaan. Menurut WHO
(2009), pada tahun 2004, kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab kematian nomor sembilan
di seluruh dunia yang didominasi oleh
kecelakaan lalu lintas darat. Diprediksi pada
tahun 2030 akan menjadi penyebab kematian
nomor 5 di dunia. Guna mengantisipasi hal
tersebut, maka pada tahun 2010 ditetapkan
Amanat Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) Nomor 64/255 untuk mengendalikan
dan mengurangi tingkat fatalitas korban
kecelakaan lalu lintas jalan secara global. Pada
tahun 2011, dilaksanakan Konferensi World
Health Assembly (WHA) tentang isu Decade of
Action for Road Safety (DoA).
Dalam kaitan ini, komitmen Pemerintah
Indonesia ditunjukkan dengan adanya UU
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Rencana Umum
Nasional Keselamatan (RUNK) Jalan 2011-2035
(pasal 203), Pencanangan Dekade Aksi Keselamatan
Jalan Indonesia di Istana Merdeka Tahun 2011,
Penerbitan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun
2013 yang melibatkan integrasi lintas sektor
dalam kelima pilar, dimana Menteri Kesehatan
sebagai koordinator pilar kelima, yaitu
Penanganan Pra dan Pasca Kecelakaan.
Kecelakaan lalu lintas darat mendominasi
diantara jenis cedera yang lain. Angka kejadian
kecelakaan lalu lintas darat cenderung
meningkat dalam jumlah maupun jenisnya.
Angka kematian diperkirakan meningkat dari
5,1 juta pada tahun 1990 menjadi 8,4 juta pada
tahun 2020 atau meningkat sebesar 65%. Data
Riskesdas menyebutkan bahwa prevalensi
kecelakaan transportasi darat mencapai 25,9%
dari seluruh penyebab cedera Iainnya. Tahun
2010, jumlah kematian akibat kecelakaan telah
mencapai 31.234 jiwa, hal ini berarti setiap 1
jam terdapat sekitar 3-4 orang meninggal
akibat kecelakaan lalu lintas.
Kantor Kesehatan Pelabuhan Probolinggo
sebagai unit pelaksana teknis yang berada di
bawah Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan telah melakukan
upaya yang diamanatkan oleh Instruksi Presiden
berupa pemeriksaan kesehatan pengemudi
selama arus mudik Lebaran 2015 di Pelabuhan
Ketapang Banyuwangi, sekaligus melakukan
penelitian pada pengemudi bus AKAP sebagai
populasi penelitian dengan jalur Pulau Jawa-
Bali selama arus mudik Lebaran 2015 di
Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
hipertensi pada pengemudi bus AKAP (Antar
Kota Antar Propinsi) jurusan Pulau Jawa-Bali di
Pelabuhan Penyeberangan Ketapang, Banyuwangi
selama arus mudik Lebaran 2015.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai rujukan bagi pengambil
kebijakan di wilayah Pelabuhan Penyeberangan
Ketapang dalam rangka deteksi dini hipertensi
pada pengemudi bus AKAP guna mengantisipasi
kejadian kecelakaan lalu lintas saat arus mudik
dan balik di tahun mendatang.
METODE
Penelitian dilaksanakan selama arus mudik
Lebaran yaitu bulan Juli 2015, dengan jenis
desain cross sectional study. Jumlah sampel
penelitian sebanyak 102 pengemudi bus AKAP
dengan lintasan Pulau Jawa dan Bali yang
diambil secara simple random sampling. Jenis
data adalah data primer yang diperoleh dengan
melakukan wawancara secara langsung terhadap
pengemudi bus AKAP pada saat parkir di
Pelabuhan Penyeberangan Ketapang Banyuwangi
menggunakan kuesioner dan dan melakukan
pengukuran.
Variabel independen penelitian terdiri dari:
1)Karakteristik pengemudi bus, meliputi umur
dan jenis kelamin; 2)Perilaku atau kebiasaan
pengemudi bus yang meliputi merokok setiap
hari, waktu istirahat, dan minuman yang
dikonsumsi saat berkendara; dan 3)Pengukuran
pada pengemudi bus meliputi tinggi badan,
berat badan, lingkar perut, dan tekanan darah.
Cara pengumpulan data dilakukan melalui
dua tahapan, yaitu: 1)Melakukan wawancara;
dan 2)Melakukan pengukuran tinggi badan dan
lingkar perut mengunakan meteran, serta
pengukuran berat badan dan tekanan darah
menggunakan timbangan dan tensi meter.
HASIL
Hasil penelitian adalah sebagai berikut:
Analisis univariat
Karakteristik responden:
1. Jenis kelamin
16. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 11
Semua (100%) pengemudi bus AKAP berjenis
kelamin laki-laki.
2. Umur
Umur responden sebagian besar (68,6%) di
atas 40 tahun dengan rata-rata umur 43
tahun, umur termuda 21 tahun, sedangkan
umur tertua 62 tahun.
3. Waktu Istirahat
Pada umumnya pengemudi istirahat setiap
4 jam (63,7%). Rata-rata istirahat setiap 4,3
jam. Istirahat yang paling lama setiap 8 jam,
sedangkan yang paling cepat setiap 2 jam
sekali.
4. Merokok
Responden pada umumnya (74,5%) merokok
setiap hari.
5. Minum kopi
Hanya sebesar 35% pengemudi yang
mempunyai kebiasaan minum kopi saat
mengendarai bus.
6. Lingkar perut
Sebagaian besar (51%) kurang dari 90 cm,
rata-rata 91,1 cm, terkecil 67 cm, sedangkan
yang tersbesar 133 cm.
7. Indeks Massa Tubuh (IMT)
IMT didapatkan dari hasil pengukuran berat
badan dalam satuan kilogram dan tinggi
badan dalam satuan meter. IMT didominasi
(53%) oleh pengemudi dengan kategori
obesitas (≥25 kg/m2), rata-rata 25,8 kg/m2,
terendah 17 kg/m2, sedangkan yang tertinggi
44 kg/m2.
8. Tekanan darah
Pada umumnya (56,9%) mempunyai tekanan
darah normal, rata-rata tekanan darah sistolik
136,4 mmHg, tekanan darah sistolik terendah
100 mmHg, sedangkan tekanan sistolik yang
tertinggi 220 mmHg.
Analisis bivariat
Analisis ini untuk mengetahui hubungan antara
variabel independen (umur, waktu istirahat,
merokok, minum kopi, lingkar perut, IMT) dan
variabeldependen(kejadianhipertensi).Berdasarkan
hasil uji statistik (bivariat) dengan tingkat
kepercayaan 95% (α=0,05), menunjukkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara umur,
waktu istirahat, merokok, minum kopi, lingkar
perut dan IMT dan kejadian hipertensi (Tabel 1).
Tabel 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada pengemudi bus AKAP selama arus
mudik Lebaran 2015 di Pelabuhan Penyeberangan Ketapang – Banyuwangi
Variabel
Tekanan Darah
Total
(%)
P value ORNormal Hipertensi
n(%) n(%)
Umur
- ≤ 40 tahun
- > 40 tahun
Waktu istirahat
- Setiap 4 jam sekali
- Lebih dari 4 jam sekali
Merokok
- Tidak
- Ya
Minum kopi
- Tidak
- Ya
Lingkar perut
- < 90 cm
- ≥ 90 cm
Indeks Massa Tubuh
- < 25 cm
- ≥ 25 cm
23(71,9)
35(50,0)
42(64,6)
16(43,2)
20(76,9)
38(50,0)
43(64,2)
15(42,9)
35(67,3)
23(46,0)
33(68,8)
25(46,3)
9(28,1)
35(50,0)
23(35,4)
21(56,8)
6(23,1)
38(50,0)
24(35,8)
20(57,1)
15(31,3)
(31,3)
15(31,3)
29(53,7)
32(100)
70(100)
65(100)
37(100)
26(100)
76(100)
67(100)
35(100)
52(100)
50(100)
48(100)
54(100)
0,039*
0,037*
0,017*
0,040*
0,030*
0,022*
2,556
2,397
3,333
2,389
2,417
2,552
*)Signifikan dengan α=0,05
17. 12 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Analisis multivariat
Analisis ini digunakan untuk mengetahui
faktor dominan yang berhubungan dengan
kejadian hipertensi. Hasil analisis multivariat
menunjukkan bahwa indeks massa tubuh/IMT
merupakan faktor dominan kejadian hipertensi
pada pengemudi bus AKAP lintasan Pulau Jawa
dan Bali selama arus mudik Lebaran 2015
(Tabel 2).
Tabel 2. Faktor dominan yang berhubungan dengan
kejadian hipertensi pada pengemudi bus AKAP saat
arus mudik dan balik Lebaran 2015 di Pelabuhan
Ketapang Banyuwangi.
Variabel β Wald p-value
- Umur
- Waktu istirahat
- Merokok
- Minum kopi
- IMT
-0,919
-0,892
-1,488
-1,161
-1,271
3,083
3,378
6,372
4,498
6,846
0,079
0,066
0,012*)
0,020*)
0,009*)
Keterangan : *) signifikan dengan α=0,05
PEMBAHASAN
Umur
Umur pengemudi bus AKAP lintasan Pulau
Jawa dan Bali di atas 40 tahun lebih banyak
daripada yang di bawah 40 tahun. Kejadian
hipertensi pada pengemudi bus AKAP selama
arus mudik Lebaran 2015 paling banyak dialami
oleh kelompok umur lebih dari 40 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian ini, umur
mempunyai hubungan yang signifikan dengan
kejadian hipertensi (p<0,05) dengan OR=2,556.
Hal ini menunjukkan bahwa umur di atas 40
tahun 2,556 kali lebih tinggi berisiko hipertensi
dibandingkan dengan pengemudi yang berumur
di bawah 40 tahun. Hal tersebut sesuai dan
umumnya berkembang pada saat umur seseorang
mencapai paruh baya yakni cenderung meningkat
khususnya yang berusia lebih dari 40 tahun
bahkan pada usia lebih dari 60 tahun ke atas
(Krummel, 2004). Kejadian hipertensi meningkat
drastis pada usia 55-64 tahun dan Indeks Massa
Tubuh (Tesfaye, 2007). Arteri kehilangan
elastisitas dan tekanan darah meningkat seiring
bertambahnya usia. Williams (1991) menyatakan
bahwa umur, ras, jenis kelamin, merokok,
kolesterol darah, intoleransi glukosa, dan berat
badan dapat mempengaruhi kejadian hipertensi .
Black dan Hawks (2005) menyatakan bahwa
seseorang rentan mengalami hipertensi primer
50-60% pasien yang berumur diatas 60 tahun
mempunyai tekanan darah di atas 140/90 mmHg.
Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya
usia, karena perubahan struktur pada pembuluh
darah besar, sehingga lumen menjadi lebih
sempit dan dinding pembuluh darah menjadi
lebih kaku yang mengakibatkan meningkatnya
tekanan darah sistolik (Depkes RI, 2006). Hasil
penelitian lain (Wahyuni, 2013) bahwa hipertensi
dapat dipengaruhi oleh usia ≥40 tahun.
Waktu istirahat
Pasal 90 dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, bahwa pengemudi kendaraan bermotor
umum setelah mengemudikan kendaraan selama
4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat
paling singkat setengah jam. Hasil dari
wawancara didapatkan menunjukkan bahwa
pengemudi bus AKAP telah mengikuti aturan
tersebut, walaupun masih ada sekitar 36,3%
yang belum menerapkannya. Hasil penelitian
ini bahwa waktu istirahat mempunyai hubungan
yang signifikan dengan kejadian hipertensi
(p<0,05) dan OR=2,387. Artinya bahwa pengemudi
bus yang tidak istirahat setiap 4 jam sekali
mempunyai risiko 2,387 lebih tinggi menderita
hipertensi dibandingkan dengan pengemudi
yang istirahat setiap 4 jam sekali. Kemampuan
pengemudi ada batasnya, semakin kurang istirahat
akan meningkatkan kejadian kelelahan. Penderita
hipertensi pada umumnya mengalami nyeri,
selain itu penderita juga mudah lelah, merasa
tidak nyaman, sulit bernafas, sukar tidur
(Dalimartha dkk, 2008), sehingga perlu istirahat
yang cukup untuk memulihkannya.
Merokok
Pengemudi bus AKAP jurusan Pulau Jawa
dan Pulau Bali pada umumnya mempunyai
kebiasaan merokok setiap hari (74,5%).
Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa
merokok mempunyai hubungan yang signifikan
dengan kejadian hipertensi (p<0,05) dengan
OR=3,333. Artinya bahwa pengemudi bus
AKAP yang merokok mempunyai risiko
hipertensi 3,333 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan pengemudi bus AKAP yang tidak
merokok. Merokok merupakan faktor risiko
perilaku yang masih dapat dirubah terjadinya
hipertensi (Kemenkes, 2014). Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian Namira (2013)
18. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 13
bahwa proporsi kejadian hipertensi juga
banyak ditemukan (72,2%) pada kelompok
pramudi yang memiliki kebiasaan mengonsumsi
rokok.
Penelitian dari Destry (2012), pada pengemudi
busway di koridor 1 juga menemukan proporsi
kejadian hipertensi lebih tinggi pada responden
dengan status perokok dibandingkan dengan
responden dengan status bukan perokok dan
status mantan perokok. Selain itu penelitian
Sateesh (2013) padasupir bus diIndiamenemukan
60% supir bus yang memiliki kebiasaan
mengonsumsi rokok lebih banyak menderita
hipertensi (Anggraeni, 2012). Kejadian ini
dikarenakan merokok menyebabkan kebutuhan
oksigen untuk disuplai ke jantung menjadi
meningkat.
Kebiasaan merokok pada orang yang
menderita tekanan darah tinggi akan
menyebabkan semakin besar risiko kerusakan
pada pembuluh darah arteri (Hull, 1996).
Penelitian lain yang sejalan adalah penelitian
yang dilakukan oleh Syukraini Irza (2009)
pada masyarakat Nagari Bungo Tanjung
Sumatera Barat, mendapatkan bahwa perilaku
merokok merupakan faktor risiko kejadian
hipertensi dengan besar risiko 6,9 kali lebih
besar untuk terjadinya hipertensi dan
penelitian yang dilakukan oleh Fajar Haninda
(2011), menemukan bahwa ada hubungan
antara jumlah rokok dengan kejadian hipertensi
pada pasien di Layanan Kesehatan Cuma-Cuma.
Minum Kopi
Pengemudi bus AKAP jurusan Pulau Jawa
dan Bali yang mempunyai kebiasaan minum
kopi terutama sebagai minuman penghilang
dahaga saat aktifitas mengendarai bus, yaitu
mencapai 35%. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pengemudi bus AKAP yang minum kopi
mempunyai hubungan yang signifikan (p<0,05)
dengan kejadian hipertensi denga OR=2,389.
Artinya bahwa pengemudi yang minum kopi
mempunyai risiko kejadian hipertensi sebesar
2,389 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
pengemudi yang tidak minum kopi. Hasil
penelitian ini sejalan dengan Wahyuni (2012)
bahwa konsumsi kopi mempengaruhi terjadinya
penyakit hipertensi sebesar 82%.
Minum kopi berbahaya bagi penderita hipertensi,
karena senyawa kafein bisa menyebabkan
tekanan darah meningkat tajam. Cara kerja
kafein dalam tubuh dengan mengambil alih
reseptor adinosin dalam sel saraf yang akan
memicu produksi hormon adrenalin dan
menyebabkan peningkatan tekanan darah,
sekresi asam lambung, dan aktivitas otot, serta
perangsang hati untuk melepaskan senyawa
gula dalam aliran darah untuk menghasilkan
energi ekstra. Kafein mempunyai sifat antagonis
endogenus adenosin, sehingga dapat menyebabkan
vasokontriksi dan peningkatan resistensi
pembuluh darah tepi (Hasrin, 2012).
Menurut Yuda Hananta (2011), bahwa
hipertensi dipengaruhi oleh faktor risiko ganda,
baik yang bersifat endogen (tidak dapat diganti),
seperti usia, jenis kelamin dan genetik, maupun
yang bersifat eksogen (dapat diubah), seperti
kelebihan berat badan, konsumsi garam, rokok
dan kopi. Penelitian yang sama juga dari Hasrin
Mannan (2012), bahwa konsumsi kopi
merupakan faktor risiko kejadian hipertensi
dengan OR=1,56. Hal tersebut menunjukkan
bahwa responden yang mengonsumsi kopi
berisiko 1,56 kali lebih tinggi menderita
hipertensi dibandingkan dengan yang tidak
mengonsumsi kopi.
Lingkar perut
Hasil pengukuran lingkar perut pada
pengemudi bus AKAP lintasan Pulau Jawa–Bali
bahwa jumlah pengemudi yang lingkar
perutnya <90 cm ternyata hampir sama dengan
jumlah pengemudi yang lingkar perutnya ≥90
cm. Walaupun demikian, lebar yang <90 cm
lebih banyak (52%) dibandingkan yang ≥90
cm. Lingkar perut yang ≥90 cm menunjukkan
bahwa seseorang tersebut mengalami obesitas
abdominalis (Kemenkes, 2014). Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa lingkar perut pada
pengemudi bus mempunyai hubungan yang
signifikan dengan kejadian hipertensi (p<0,05)
dengan OR=2,417. Artinya bahwa pengemudi
yang lingkar perutnya ≥90cm mempunyai
risiko hipertensi 2,417 kali lebih tinggi
dibandingkandenganpengemudi yangmempunyai
lingkar perut di bawah 90 cm.
Indeks Massa Tubuh
Pengemudi bus AKAP jurusan Pulau Jawa–
Bali yang mempunyai IMT≥25 Kg/m2 sebesar
53%. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara
IMT pengemudi bus dengan kejadian hipertensi
19. 14 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(p<0,05) dengan OR=2,552. Artinya bahwa
pengemudi bus yang mempunyai IMT ≥25 kg/m2
berisiko 2,552 kali lebih tinggi menderita
hipertensi dibandingkan dengan pengemudi
bus yang memiliki IMT <25 Kg/m2.
Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Oda
dan Kawai (2010) bahwa ada hubungan positif
antara IMT dengan peningkatan kejadian
hipertensi. Menurut Nurrahmani (2012),
peningkatan berat badan memainkan peranan
penting pada mekanisme timbulnya hipertensi
pada orang dengan obesitas. Dalam penelitian
Nieky Greyti Dien (2014), terdapat hubungan
Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan tekanan
darah pada penderita hipertensi di poliklinik
hipertensi dan nefrologi BLU RSUP Prof. Dr. R.D.
Kandou Manado dengan nilai p=0,033 dan
p=0,006. Adanya hubungan antara IMT dengan
tekanan darah (p<0.05) dan kekuatan hubungan
tersebut adalah rendah (0.200<r<0.399). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi IMT seseorang maka akan disertai juga
dengan peningkatan darah sistolik dan tekanan
diastolik (Hendrik, 2011).
Faktor dominan
Semua variabel kecuali jenis kelamin, karena
semua pengemudi bus AKAP berjenis kelamin
laki-laki menunjukkan nilai yang signifikan.
Untuk memperolah variabel yang dominan
terhadap kejadian hipertensi maka dilakukan uji
multivariat dengan menggunakan regresi
logistik. Hasil uji menunjukkan bahwa variabel
yang dominan terjadinya hipertensi adalah
merokok, minum kopi, dan IMT. Dari ketiga
faktor tersebut yang paling dominan adalah
IMT. Artinya bahwa IMT mempunyai faktor
risiko yang paling besar di antara faktor risiko
lainnya yang berhubungan dengan kejadian
hipertensi pada pengemudi bus AKAP jurusan
Pulau Jawa–Bali.
KESIMPULAN
Kejadian hipertensi pada pengemudi bus
AKAP jurusan Pulau Jawa-Bali saat arus mudik
Lebaran 2015 adalah sebesar 43,1%. Faktor-
faktor yang berhubungan dengan kejadian
hipertensi tersebut adalah umur, waktu
istirahat, merokok, minum kopi, lingkar perut,
dan IMT. Faktor dominan adalah IMT, diikuti
merokok dan minum kopi.
SARAN
1. Perlu adanya aktivitas fisik yang cukup
untuk pengemudi bus agar lemak yang
menumpuk dapat berkurang sehingga berat
badan pengemudi bus ideal dengan tingginya.
2. Perusahaan otobus maupun otoritas di
terminal perlu membentuk Posbindu khusus
agar kesehatan pengemudi bus khususnya
tekanan darah dapat terpantau dan ditangani
sesegera mungkin.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan selesainya penelitian ini, kami
mengucapkan terima kasih kepada seluruh
karyawan dan karyawati di Kantor Kesehatan
Pelabuhan Probolinggo khususnya wilayah
kerja Pelabuhan Tanjung Wangi yang telah
memberikan motivasi, dan bantuan tenaga
dalam pelaksanaan kegiatan ini, sehingga
terlaksana dengan baik, lancar dan sukses.
DAFTAR PUSTAKA
Krummel. 2004.Medical Nutrition Therapy in
Cardiovascular Disease.
Tesfaye.2007.Association between body mass
index and blood pressure across three
population in Africa and Asia.
William. 1991.Hypertensive vascular disease, di
dalam Wilson Jean D. et al., editor, Harrison’s
Principles of Internal Medicine.
Black & Hawks. 2005. Medical surfical nursing :
clinical management for positive outcomes.
Departemen Kesehatan RI. 2006.Pedoman Teknis
Penemuan Dan Tatalaksana Penyakit
Hipertensi.
UU Nomor 22. 2009. Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Dalimartha Setiawan dkk. 2008. Care Your Self
Hipertensi.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Buku Pintar
PTM Penyakit Tidak Menular dan Faktor Risiko
Seri 2.
Namira Wadjir dkk. 2013. Hipertensi Pada Pramudi
Bus TransJakarta di PT. Bianglala Metropolitan
Tahun 2013.
Destry. 2012. Indeks masa tubuh, lama bekerja,
kebiasaan makan, dan gaya hidup hubungannya
dengan hipertensi pada pramudi (pengemudi)
bus Transjakarta tahun 2012.
20. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 15
Anggraeni, Vina. 2012. Tingkat kebisingan lalu
lintas dan risiko hipertensi pada supir angkutan
umum KWKwilayah JakartaTimur tahun 2012.
Hull, Alison. 1996. Penyakit jantung hipertensi
dan nutrisi.
Ika Puji Wahyuni. 2013. Faktor Risiko Penyakit
Hipertensi Pada Laki-Laki di Wilayah Kerja
Puskesmas Tawangrejo Kota Madiun.
Hananta Yuda, I Putu. 2011. Deteksi Dini dan
Pencegahan 7 Penyakit Penyebab Mati Muda.
Irza, S. 2009. Analisis Faktor Risiko Hipertensi
Pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung,
Sumatera Barat.
Haninda, fajar, dkk. 2011. Hubungan Antara
Kebiasaan Merokok dan Kejadian Hipertensi
di Layanan Kesehatan Cuma-Cuma Ciputat
Hasrin Mannan, dkk. 2012. Faktor Risiko
Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas
Bangkala Kabupaten Jeneponto Tahun 2012
Oda, Eiji and Ryu Kawai. 2010. Body Mass Index
is More Strongly Associated with Hypertension
than Waist Circumference in Apparently
Healthy Japanese Men and Women.
Nurrahmani, Ulfa. 2012. Stop! Hipertensi
Malope Sheila. 2012. Hubungan Lingkar Lengan
Atas dan Lingkar Pinggang dengan Tingkat
Hipertensi pada Pasien Rawat Jalan di
Poliklinik Interna RSJ Prof. Dr. V. L.
Ratumbuysang Provinsi Sulawesi Utara.
Kemenkes. 2013. Riset Kesehatan Dasar
Riskesdas 2013
Nieky Greyti Dien, dkk. 2014. Hubungan Indeks
Massa Tubuh (IMT) Dengan Tekanan Darah
Pada Penderita Hipertensi di Poliklinik
Hipertensi dan Nefrologi Blu Rsup Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado.
Hendrik. 2011. Hubungan Indeks Massa Tubuh
Dengan Tekanan Darah Pada Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
21. 16 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Deteksi Dini Kanker Payudara dan Leher Rahim di Indonesia
Tahun 2007-2014
Breast and Cervical Cancer Early Detection in Indonesia, 2007-2014
Mugi Wahidin
Subdit Pengendalian Penyakit Kanker, Direktorat PPTM, Direktorat Jenderal PP dan PL,
Kementerian Kesehatan RI
Abstrak
Kanker merupakan penyakit tidak menular yang menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia
dengan prevalensi 1,4 per 1000 penduduk dan penyebab kematian nomor 7 dari seluruh penyebab kematian. Kanker
payudara merupakan salah satu jenis kanker dengan insidens tertinggi, diikuti kanker leher rahim. Untuk dapat mendeteksi
kanker payudara dan leher rahim secara dini dan pengobatan segera, maka Direktorat PPTM, Ditjen PP dan PL, Kementerian
Kesehatan RI telah mengembangkan dan memperkuat kegiatan deteksi dini kanker payudara dan leher rahim secara nasional
dengan melibatkan lintas program dan lintas sektor serta organisasi/instansi terkait lainnya. Kajian ini merupakan tinjauan
pustaka yang mengacu pada laporan Ditjen PP dan PL tahun 2007-2014, buku pedoman, Renstra Kemenkes 2015-2019,
Keputusan dan Peraturan Menteri, buku dan jurnal penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif
secara komprehensif berdasarkan pada pokok masalah dalam upaya pengendalian kanker payudara dan leher rahim di
Indonesia. Sampai dengan tahun 2014, kegiatan deteksi dini kanker payudara dan leher rahim telah dilaksanakan di seluruh
provinsi di Indonesia, meliputi 304 kabupaten/kota dan 1986 puskesmas. Jumlah kumulatif perempuan berusia 30-50 tahun
yang telah diskrining tahun 2007-2014 sebanyak 904.099 orang. Dari jumlah yang telah diskrining tersebut, 2.368
diantaranya (2,6 per 1000) menunjukkan adanya tumor payudara, sedangkan 44.654 (4,94%) dengan IVA positif, dan 1.056
(1,2 per 1000) dengan suspek kanker leher rahim. Kegiatan deteksi dini kanker payudara dan leher rahim perlu terus
dikembangkan dan diperkuat di daerah yang sudah melaksanakan dan diperluas ke daerah lain yang belum melaksanakan
untuk mencapai target dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019.
Kata kunci: Deteksi dini, kanker payudara, kanker leher rahim, Indonesia
Abstract
Cancer is not a contagious disease that is becoming one of the major public health problem in Indonesia with a prevalence of
1.4 per 1000 population and the leading cause of death from all causes of death 7. Breast cancer is one type of cancer with the
highest incidence, followed by cervical cancer. To be able to detect breast cancer and cervical cancer early and immediate
treatment, the Directorate PPTM, DG of Disease Control and Environmental Health, Ministry of Health has been developing
and strengthening the activities of early detection of breast cancer and cervical cancer nationally, involving cross-program
and cross-sector as well as organizations / other relevant agencies. This study is a literature review that refers to reports DG
and PL years 2007-2014, manuals, Ministry of Health Strategic Plan 2015-2019, Decision and Regulation, books and research
journals. The analytical method used is descriptive analysis comprehensively based on the subject matter in an effort to
control breast and cervical cancer in Indonesia. Until 2014, the activities of early detection of breast and cervical cancer has
been implemented in all provinces in Indonesia, covering 304 districts / cities and 1986 health centers. The cumulative
number of women aged 30-50 years who had been screened in 2007-2014 as many as 904 099 people. Of the amount that
has been screened, 2,368 of them (2.6 per 1000) indicate the presence of breast tumors, whereas 44 654 (4.94%) with
positive IVA, and 1,056 (1.2 per 1000) with suspected cancer of the cervix. Activities of early detection of breast and cervical
cancer need to be developed and strengthened in areas that are already carrying out and extended to other areas which have
not implemented to achieve the target in the Strategic Plan of the Ministry of Health Year 2015-2019.
Keywords: Early detection, breast cancer, cervical cancer, Indonesia
Alamat Korespondensi: Mugi Wahidin, Subdit
Pengendalian Penyakit Kanker, Direktorat PPTM, Ditjen
PP dan PL, Jl. Percetakan Negara No.29 Jakarta Pusat, Hp.
085775088113,email:wahids_wgn@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Kanker merupakan penyakit tidak menular
yang menjadi salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama di Indonesia dengan
prevalensi 1,4 per 1000 penduduk dan
penyebab kematian nomor 7 (5,7%) dari
seluruh penyebab kematian di Indonesia
(Riskesdas 2012).
Kanker juga menyebabkan beban pemerintah
yang sangat tinggi dalam pembiayaan
kesehatan bila tidak ditemukan secara dini.
Kanker payudara merupakan salah satu jenis
kanker dengan insidens tertinggi pada
perempuan, dengan estimasi 40 per 100.000
22. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 17
perempuan, diikuti kanker leher rahim (17 per
100.000perempuan)(Globocan,IARC2012).
Insidens tersebut meningkat bila dibandingkan
dengan tahun 2002, yaitu berturut-turut 26 per
100.000 perempuan (kanker payudara) dan 16
per 100.000 perempuan (kanker leher rahim)
(Globocan, IARC, 2002). Pada tahun 2010, jenis
kanker tertinggi yang dilaporkan dari RS
seluruh Indonesia pada pasien rawat inap
adalah kanker payudara (28,7%), dan kanker
leher rahim (12,8%).
Untuk dapat mendeteksi kanker payudara
dan leher rahim secara dini (early detection)
dan pengobatan segera (prompt treatment),
maka Direktorat PPTM, Ditjen PP dan PL,
Kementerian Kesehatan telah mengembangkan
dan memperkuat kegiatan deteksi dini kanker
payudara dan leher rahim secara nasional
dengan melibatkan lintas program dan lintas
sektor, perguruan tinggi, organisasi profesi,
pihak swasta, yayasan, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), dan organisasi terkait
lainnya seperti Female Cancer Program (FCP),
Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu
(SIKIB), Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet
Kerja (OASE-KK), dan Tim Penggerak PKK.
Pada tahun 2007, Kementerian Kesehatan RI
telah mulai mengembangkan Pilot Proyek
Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dan
Payudara di 6 kabupaten di 6 provinsi di
Indonesia, yaitu 1)Kabupaten Deli Serdang
(Sumatera Utara); 2)Gresik (Jawa Timur);
3)Kebumen (Jawa Tengah); 4)Gunung Kidul (DI
Yogyakarta); 5)Karawang (Jawa Barat); dan
6)Gowa (Sulawesi Selatan). Dalam pengembangan
pilot proyek tersebut, secara teknis dibantu
oleh the Johns Hopkins Program for
International Education in Gynecology and
Obstetricts (JHPIEGO), yaitu LSM yang bergerak
dalam bidang kesehatan perempuan yang
berafiliasi dengan John Hopkins University,
Amerika Serikat. Selain itu juga bekerja sama
dengan Female Cancer Program.
Pada tanggal 21 April 2008, dicanangkan
program nasional deteksi dini kanker leher
rahim dan payudara oleh Ibu Negara (pada
waktu itu Hj. Ani Yudhoyono).
Selanjutnya pada tahun 2010 diterbitkan
Kepmenkes Nomor 796 Tahun 2010 tentang
Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara
dan Kanker Leher Rahim yang dijadikan
sebagai petunjuk dalam pelaksanan deteksi
dini kanker payudara dan leher rahim di
Indonesia.
Untuk memperkuat dan mengakselerasi
pencapaian target program, pada tanggal 21
April 2015 dilakukan Pencanangan Program
Nasional Peran Serta Masyarakat dalam
Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker pada
Perempuan Indonesia 2015-2019 oleh Ibu
Negara (Iriana Jokowi).
Program ini terus dikembangkan dan
diperluas ke kabupaten/kota dan provinsi lain
di Indonesia.
Kemudian pada tahun 2015 diterbitkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 tahun
2015 tentang Penanggulangan Kanker Payudara
dan Kanker Leher Rahim untuk penyesuaian
kebutuhan program pengendalian kanker
payudara dan leher rahim yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
796 Tahun 2010.
Deteksi dini (penapisan/skrining) adalah
upaya pemeriksaan atau tes sederhana dan
mudah yang dilaksanakan pada populasi
masyarakat sehat, yang bertujuan untuk
membedakan masyarakat yang sakit atau
berisiko terkena di antara masyarakat yang
sehat.
Untuk deteksi dini kanker payudara, kegiatan
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan adalah
Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS) atau
Clinical Breast Examination (CBE), sedangkan
yang dilakukan sendiri oleh kelompok
masyarakat berisiko adalah Periksa Payudara
Sendiri (SADARI). Untuk deteksi dini kanker
leher rahim adalah dengan melakukan Inspeksi
Visual dengan Asam Asetat (IVA) dan
pengobatan segera dengan krioterapi
(criotherapy) untuk IVA positif (lesi pra kanker
leher rahim positif).
Pemeriksaan SADANIS dan SADARI bertujuan
untuk mendeteksi adanya benjolan pada
payudara sedini mungkin agar dapat dilakukan
penanganan sesegera mungkin, sedangkan
pemeriksaan IVA untuk menemukan lesi pra
kanker leher rahim sebelum menjadi kanker.
Kegiatan deteksi dini dengan melakukan
SADANIS dan IVA memiliki beberapa keuntungan,
sebagai berikut: 1)Pemeriksaan lebih sederhana,
mudah, cepat, dan hasil dapat diketahui secara
langsung; 2)Tidak memerlukan sarana
laboratorium; 3)Dapat dikerjakan oleh dokter
umum dan bidan di puskesmas bahkan di
23. 18 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
dalam mobil; 4)SADANIS dan IVA (termasuk
krioterapi) dapat dilakukan dengan kunjungan
tunggal (single visit approach), sehingga lebih
efektif dan meminimalisir kemungkinan lost to
follow-up. 5)Cakupan deteksi dini dengan IVA
minimal 80% selama lima tahun akan
menurunkan insidens kanker leher rahim
secara signifikan (WHO, 2006); 6)Sensitifitas IVA
sebesar 77% (56-94%) dan spesifisitas 86%
(74-94%) (WHO, 2006); 7)Deteksi dini kanker
leher rahim dengan frekuensi 5 tahun sekali
dapat menurunkan kasus kanker leher rahim
83,6% (IARC, 1986); dan 8)Deteksi dini kanker
payudara dengan CBE dapat menemukan
stadium I dan II (downstaging) sebesar 68%
(RegionalWorkshop NCCP, India 2010).
Target cakupan deteksi dini pada perempuan
berusia 30-50 tahun yang telah ditetapkan oleh
Kementerian Keshetan RI,yaitu sebesar 50%
pada tahun 2019 (Renstra Kemenkes RI, 2015-
2019).
Kegiatan deteksi dini kanker payudara dan
leher rahim dilaksanakan di puskesmas dan
rumah sakit rujukan di kabupaten/kota dan
provinsi, dengan kegiatan pokok: 1)Advokasi
dan sosialisasi; 2)Pelatihan untuk Pelatih
(ToT=Training of Trainer); 3)Pelatihan provider
di kabupaten/kota; 4)Pelatihan kader di
puskesmas; 5)Promosi kesehatan;
6)Pelaksanaan skrining (deteksi dini);
7)Pencatatan dan pelaporan (surveilans); dan
8)Monitoring dan evaluasi.
Pencatatan dan pelaporan menggunakan
formulir baku sesuai dengan Kepmenkes
Nomor 796 Tahun 2010 sebagaimana telah
diubah dengan Permenkes Nomor 34 Tahun
2015. Data diinput ke dalam register dan
Sistem Informasi Surveilans Penyakit Tidak
Menular berbasis web. Data diolah dan
dianalisis secara otomatis oleh sistem informasi
dan dapat diakses secara berjenjang mulai dari
puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota,
dinas kesehatan provinsi, dan Kementerian
Kesehatan RI (Direktorat PPTM, Ditjen PP dan
PL).
METODE
Kajian ini merupakan tinjauan pustaka yang
mengacu pada laporan Ditjen PP dan PL tahun
2007-2014, buku pedoman, Renstra Kemenkes
2015-2019, Keputusan dan Peraturan Menteri,
buku dan jurnal penelitian. Metode analisis
yang digunakan adalah analisis deskriptif
secara komprehensif berdasarkan pada pokok
masalah dalam upaya pengendalian kanker
payudara dan leher rahim di Indonesia.
HASIL
Sampai dengan tahun 2014, kegiatan deteksi
dini kanker payudara dan leher rahim telah
dilaksanakan di seluruh (34) provinsi di
Indonesia, meliputi 304 dari seluruh kabupaten/
kota yang ada di Indonesia (59%), dan 1986
puskesmas (19,9%). Jumlah tenaga kesehatan
yang telah dilatih sebagai pelatih (trainer)
sebanyak 430 orang, terdiri dari dokter
spesialis (obgin, onkolog obgin, dan bedah),
dokter umum dan bidan. Jumlah pelaksana
(provider) deteksi dini di puskesmas sebanyak
4.127 orang, terdiri dari 2.671 bidan dan 1.456
dokter umum, atau rata-rata 2 orang per
puskesmas.
Jumlah kumulatif sasaran (perempuan
berusia 30-50 tahun) yang telah diskrining di
Indonesia tahun 2007-2014, yaitu sebanyak
904.099 orang (2,45%) (Gambar). Dari jumlah
yang telah diskrining tersebut, 2.368 diantaranya
(2,6 per 1000) menunjukkan adanya tumor
payudara, sedangkan 44.654 (4,94%) dengan
IVA positif, dan 1.056 (1,2 per 1000) dengan
suspect kanker leher rahim. Sejak tahun 2007
jumlah sasaran yang diskrining meningkat
seiring dengan bertambahnya jumlah provider
dan daerah yang melaksanakan kegiatan
deteksi dini (Gambar).
24. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 19
PEMBAHASAN
Keberhasilan kegiatan deteksi dini kanker
payudara dan leher rahim dengan cara
SADANIS dan IVA di Indonesia dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti jumlah tenaga
kesehatan yang dilatih, kondisi geografis, serta
ketersediaan sarana. Selain itu, dalam
melaksanakan SADANIS dan IVA memerlukan
keterampilan tenaga kesehatan yang memadai,
sehingga pelatihan yang diberikan harus
terstandar, dan disertai dengan adanya
supervisi yang ketat.
Deteksi dini kanker payudara dan leher
rahim dilaksanakan secara bersamaan
(terintegrasi) mengingat sasaran (subyek)
pemeriksaan yang sama, yaitu perempuan
berusia 30-50 tahun. Namun pemilihan sasaran
ini memiliki keterbatasan, karena perbedaan
karakterisik kedua jenis kanker. Kanker
payudara cenderung dialami oleh perempuan
dengan umur yang lebih tua (≥40 tahun),
sedangkan kanker leher rahim pada umur yang
lebih muda. Hal ini memungkinkan adanya
sasaran yang tidak tercakup dalam kegiatan
deteksi dini.
Walaupun kegiatan deteksi dini sudah
dilaksanakan di seluruh (34) provinsi, 59%
kabupaten/kota, namun jumlah puskesmas
yang melaksanakan kegiatan deteksi dini
(19,89%; 1986/10000) dan cakupan deteksi dini
masih sangat rendah (2,45%), sedangkan target
pada tahun 2019 sebesar 50%).
Rendahnya cakupan, antara lain karena
belum tersedianya biaya kegiatan deteksi dini
tersebut di semua daerah. Meskipun
belakangan ini BPJS Kesehatan sudah mulai
menanggung pembiayaan, tetapi jumlahnya
masih terbatas. Hasil deteksi dini kanker
payudara, menunjukkan bahwa suspek kanker
payudara sebesar 2,6 per 1000, yaitu lebih
tinggi bila dibandingkan dengan estimasi
Globocan tahun 2012 (40 per 100.000 atau 0,4
per 1000). Namun hal ini karena estimasi
Globocan memperhitungkan seluruh perempuan,
sedang deteksi dini perempuan berusia 30-50
tahun.
Berdasarkan hasil pemeriksaan IVA tahun
2007-2014, sebanyak 44.654 (4,94%)
menunjukkan hasil positif. Angka ini dianggap
masih wajar, karena masih dalam rentang 3-5.
Sementara itu jumlah suspek kanker leher rahim
yang ditemukan adalah sebesar 1,2 per 1000,
hampir mendekati hasil pemeriksaan
sebelumnya yang dilakukan oleh Female
Cancer Program di DKI Jakarta, yaitu 1 per
1000 perempuan. Hasil ini juga jauh lebih
tinggi bila dibandingkan dengan estimasi
Globocan tahun 2012 (17 per 100.000), namun hal
ini juga karena estimasi Globocan
memperhitungkan seluruh perempuan, sedangkan
untuk deteksi dini hanya pada perempuan
berusia 30-50 tahun.
KESIMPULAN
1. Hingga tahun 2014, kegiatan deteksi dini
kanker payudara dan leher rahim telah
dilaksanakan di seluruh (34) provinsi, 304
(59%) kabupaten/kota, dan 1986 (19,8%)
puskesmas di Indonesia, dengan rata-rata
jumlah tenaga kesehatan terlatih sebanyak 2
orang per puskesmas. Cakupan deteksi dini
kanker payudara dan leher rahim masih
rendah (2,45%), sedangkan target capaian
tahun 2019 sebesar 50%.
2. Hasil kegiatan deteksi dini kanker payudara
dan leher rahim di Indonesia tahun 2007-
2014, menunjukkan bahwa 2,6 per 1000
perempuan (usia 30-50 tahun) merupakan
suspek kanker payudara, sedangkan dengan
suspek kanker leher rahim sebesar 1,2 per
1000 perempuan.
SARAN
Untuk meningkatkan cakupan deteksi dini
kanker payudara dan leher rahim di Indonesia
dan tercapainya target tahun 2019, maka:
1. Perlu dorongan yang lebih besar dari
Kementerian Kesehatan RI dalam peningkatan
dan penguatan serta percepatan kegiatan
deteksi dini kanker payudara dan leher
rahim di berbagai daerah di Indonesia.
2. Dinas Kesehatan provinsi dan kabupaten/
kota perlu lebih meningkatkan jumlah
fasilitas pelayanan kesehatan khususnya
puskesmas yang mampu melakukan deteksi
dini kanker payudara dan leher rahim
dengan dukungan pembiayaan lebih
memadai dari pemerintahan daerah setempat
dan/atau BPJS
3. Perlu peningkatan kerja sama lintas
program, lintas sektor, LSM, organisasi
25. 20 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
profesi, dan organisasi/instansi terkait
lainnya di berbagai tingkatan administratif
baik di pusat maupun daerah. Selain itu
perlu melibatkan para tokoh masyarakat,
tokoh agama, dan juga para suami.
4. Perlu advokasi untuk daerah yang belum
mengembangkan kegiatan deteksi dini dan
melakukan kegiatan monitoring yang lebih
intensif ke daerah yang sudah
mengembangkan kegiatan deteksi dini, serta
evaluasi di semua tingkatan administratif secara
berkala dan berkelanjutan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Direktorat Jenderal PP dan PL Kementerian
Kesehatan RI serta Pemerintah Daerah Provinsi
dan Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan
kegiatan deteksi dini kanker payudara dan
kanker leher rahim.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman
Nasional Pengendalian Penyakit Kanker.
Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2005-2010. Statistik
Morbiditas dan Mortalitas di Rumah Sakit.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman
Penemuan dan Penatalaksanaan Penyakit
Kanker Tertentu di Komunitas. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Riset Kesehatan
Dasar. Jakarta.
International Agency for Research on Cancer
(IARC). 2012. Globocan, Lyon.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman
Teknis Pengendalian Kanker Payudara dan
Kanker Leher Rahim. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Riset
Kesehatan Dasar. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 796
Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis
Pengendalian Kanker Payudara dan Kanker
Leher Rahim.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun
2015.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/2015 tentang Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan 2015-2019.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Rasjidi, Imam. 2010. Epidemiologi Kanker pada
Wanita. Jakarta: CV Sagung Seto.
WHO, 2002. National Cancer Control Programmes
Policy and Managerial Guidelines, Geneva.
26. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 21
Kinerja Jumantik dan Kejadian Demam Berdarah Dengue
di Kabupaten Rejang Lebong Tahun 2014
Performance of “Jumantik” and Incidence of Dengue Hemorhagic Fever
in Rejang Lebong District, 2014
Rustam Aji
Politeknik Kesehatan Bengkulu
Abstrak
Demam Berdarah (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang penyebarannya sangat cepat dan
seringkali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Salah satu kegiatan dalam pengendalian DBD adalah dengan
melaksanakan program Jumatik, namun keberhasilan dalam menurunkan kejadian DBD sangat ditentukan oleh kinerja
Jumantik. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Rejang Lebong dengan desain cross sectional study. Besar sampel adalah
total populasi, berjumlah 40 responden. Jenis data adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 20 responden (50%) berumur di bawah 35 tahun,
sebagian besar (55%) laki-laki, sebagian besar (40%) berpendidikan SMP, sebagian besar (30%) bekerja sebagai pedagang,
dan pada umumnya (82,5%) lama menjadi Jumantik di bawah 1 tahun. Dari Tabel 2 di atas, terlihat bahwa sebanyak 25
Jumantik (62,5%) mempunyai kinerja baik, sedangkan sisanya (37,5%) kurang baik. Hasil analis bivariat menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara kinerja Jumantik dan kejadian DBD.
Kata kunci: Kinerja Jumantik, kejadian DBD, Rejang Lebong
Abstract
Dengue Fever (DHF) is an infectious disease caused by the dengue virus is spreading fast and often lead to extraordinary
events (KLB). One of the activities in dengue control is to implement the program Jumatik, but success in reducing the
incidence of dengue is largely determined by the performance of Jumantik. This Peneliltian dilaksnakan in Rejang Lebong
with cross sectional study design. The sample size is the total population, were 40 respondents. This type of data is primary
data obtained through interviews using a questionnaire. The results showed that as many as 20 respondents (50%) aged
under 35 years, the majority (55%) of men, most (40%) junior high school education, the majority (30%) worked as a trader,
and in general ( 82.5%) long been Jumantik under 1 year. From the above Table 2, it appears that as many as 25 Jumantik
(62.5%) had a good performance, while the rest (37.5%) were less good. Analysts bivariate results showed a significant
relationship between performance Jumantik and incidence of dengue.
Keywords: Performance of “ Jumantik”, DHF incidence, Rejang Lebong
Alamat Korespondensi: Rustam Aji, Politeknik Kesehatan
Bengkulu, email: adjieroestamadjie@rocketmail.com
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan
salah satu jenis penyakit menular akut yang
masih menjadi masalah kesehatan baik
individu, keluarga maupun masyarakat. Hal ini
karena penyebarannya yang sangat cepat dan
seringkali menimbulkan kejadian luar biasa
(KLB). Penyakit ini disebabkan oleh virus
dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti melalui gigitan dan air liurnya,
kemudian virus masuk ke dalam aliran darah,
sehingga menimbulkan DBD (WHO 2004).
Pada awalnya salah satu strategi Kementerian
Kesehatan dalam pengendalian DBD adalah
dengan cara melakukan fogging (pengasapan),
kemudian diperluas dengan menggunakan
larvasida yang ditaburkan ke tempat
penampungan air (TPA). Kedua cara tersebut
ternyata belum menunjukkan hasil yang optimal,
hal ini ditandai dengan makin meningkatnya
jumlah kasus dan penyebaran DBD di Indonesia
(Kemenkes, 2013).
Menyadari hal tersebut, maka dalam
program pengendalian DBD saat ini lebih
mengutamakan pengendalian kepadatan
populasi vektor DBD dengan melakukan
Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN DBD)
dengan cara 3M atau 3M-plus.
Demam Berdarah Dengue di Indonesia
pertama kali dilaporkan di Kota Surabaya dan
DKI Jakarta pada tahun 1968, sedangkan virus
DBD ditemukan tahun 1972. Kemudian DBD
mulai menyebar ke berbagai provinsi di
27. 22 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Indonesia, sehingga tahun 1980 seluruh
provinsi telah terjangkit penyakit ini.
Indonesia merupakan daerah endemis DBD
dengan jumlah kasus sebanyak 117.830 pada
tahun 2008 dan 953 kematian. Tahun 2010
tercatat sebanyak 156.086 kasus, menempati
urutan tertinggi di ASEAN dengan 1.358 kematian.
Pada tahun 2011, jumlah kasus menurun
dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 49.486
kasus dengan 403 kematian (Ditjen PP dan PL,
2012).
Kabupaten Rejang Lebong dengan luas
wilayah 1.515.76 km2 terdiri dari 122 desa dan
34 kelurahan dengan jumlah penduduk 250,608
jiwa dan kepadatan penduduk 165 per km2
(Dinkes Kabupaten Rejang Lebong, 2012).
Berdasarkan Laporan Tahunan Dinas
Kesehatan Provinsi Bengkulu tahun 2012,
jumlah kasus DBD di 4 kabupaten, yaitu sebanyak
157 kasus, berturut- turut terdiri dari 66, 51, 24,
dan 16 di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu
Selatan, 51 Bengkulu Tengah, dan Kepahiang.
Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Rejang
Lebong tahun 2014, jumlah kasus DBD di
Puskesmas Perumnas Curup, Kabupaten Rejang
Lebong selama 8 tahun sebanyak 324 kasus,
terdiri dari 7 kasus tahun 2006, 52 (2007), 79
(2008), 57 (2009), 16 (2010), 19 (2011), 66
(2012), dan 28 (2013).
Juru Pemantau Jentik (Jumantik) adalah
anggota masyarakat yang secara sukarela memantau
keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di
lingkungannya. Jumlah Jumantik DBD di
desa/kelurahan di 10 Kabupaten/kota di
Provinsi Bengkulu tahun 2012, adalah sebanyak
58 orang, terdiri dari 8 Jumantik di Kabupaten
Muko-Muko, 8 (Kaur), 9 (Bengkulu Utara), 8
(Bengkulu Tengah), 9 (Bengkulu Selatan), 8
(Rejang Lebong), 8 (Seluma), 8 (Lebong), 8
(Kepahiang), dan 8 (Kota Bengkulu) (Dinkes
Provinsi Bengkulu, 2012).
Pada awal dibentuknya Jumantik, mereka
rajin, melakukan pengecekan Tempat
Penampungan Air (TPA) 2 kali per bulan,
membagikan leaflet dan bubuk abate. Bila ada
kasus DBD melapor ke Puskesmas dan Dinas
Kesehatan, dan bersama petugas puskesmas dan
dinas kesehatan melakukan penyemprotan
(fogging).
Namun demikian, masyarakat di Kecamatan
Curup Kota, Curup Tengah, dan Curup Selatan
mengeluhkan kinerja para petugas kader
jumantik yang pernah dilatih, karena tidak
melaksanakan tugasnya sebagaimana
mestinya.
Di lain pihak, jumantik juga mengeluhkan
masalah honor. Pada waktu pelatihan mereka
mendapatkan honor, namun, setelah itu tidak
pernah mereka dapatkan. Pembinaan dan
bimbingan berupa penyegaran dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong tidak
pernah didapatkan lagi, sehingga semangat
untuk bekerja sudah tidak ada. Harapan dari
petugas Jumantik adalah agar pemerintah
daerah menyediakan honor khusus yang
bersumber dari APBD, dan warga masyarakat
dapat menjaga TPA di masing-masing rumah
tidak menjadi tempat perindukan nyamuk.
Tujuan Penelitian ini adalah: 1)Mengetahui
distribusi frekuensi karakteristik responden
yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan dan lama kerja menjadi petugas
kader jumantik; dan 2)Mengetahui hubungan
kinerja kaderJumantik dengan kejadian DBD.
METODE
Desain penelitian adalah cross sectional
study. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten
Rejang Lebong. Pengambilan data dan
pengolahan data dilaksanakan dari bulan April
sampai bulan Desember 2014. Besar sampel
adalah total populasi, yaitu sebanyak 40
Jumantik. Data dikumpulkan dengan melakukan
wawancara pada Jumatik (responden)
menggunakan kuesioner.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis univariat, karakteristik
Jumantik dapat dilihat pada Tabel 1, dan
kinerja jumantik pada Tabel 2.
Tabel 1. Distribusi frekuensi Jumantik menurut
karakteristik di Kabupaten Rejang Lebong tahun
2014
Karakteristik n %
Umur
< 35 tahun 20 50,0
>35 tahun 20 50.0
Jumlah 40 100
Jenis Kelamin
Laki-laki 22 55,0
28. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 23
Perempuan 18 45,0
Jumlah 40 100
Pendidikan
SD 6 15,0
SMP 16 40,0
SMA 14 35,0
D.3 2 5,0
S.1 2 5,0
Jumlah 40 100
Pekerjaan
PNS 8 20,0
Swasta 11 27,5
Petani 3 7,5
Tukang 2 5,0
Pedagang 12 30,0
Buruh 4 10,0
Jumlah 40 100
Lama menjadi Jumantik
> 1 tahun 33 82,5
< 1 tahun 7 17,5
Jumlah 40 100
Berdasarkan Tabel 1 di atas diketahui
bahwa karakteristik sebanyak 20 responden
(50%) berumur di bawah 35 tahun, sebagian
besar (55%) laki-laki, sebagian besar (40%)
berpendidikan SMP, sebagian besar (30%)
bekerja sebagai pedagang, dan pada umumnya
(82,5%) lama menjadi Jumantik di bawah 1
tahun.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Jumantik menurut kinerja
di Kabupaten Rejang Lebong tahun 2014
Dari Tabel 2 di atas, terlihat bahwa sebanyak
25 Jumantik (62,5%) mempunyai kinerja baik,
sedangkan sisanya (37,5%) kurang baik.
Hasil analis bivariat, menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara kinerja
Jumantik dan kejadian DBD.
KESIMPULAN
1. Setengah dari responden (50%) berumur
dibawah 35 tahun, sebagian besar
responden (55%) laki-laki, sebesar 40%
berpendidikan SMP, 30% bekerja sebagai
pedagang, dan padaumumnya(82,5%)lainnya
menjadi jumantik di bawah 1 tahun.
2. Secara statistik ada hubungan yang signifikan
antara kinerja kader jumantik dan kejadian
DBD.
SARAN
1. Jumantik perlu lebih meningkatkan
kinerjanya, agar kejadian DBD dapat ditekan
serendah mungkin.
2. Perlu diberikan pembinaan dan penyegaran
kepada oleh Dinas Keshatan secara berkala.
3. Bagi peneliti, diharakan dapat melaksankan
penelitian lanjutan dengan metode yang
lebih baik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu dalam
pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arta Sapta Rini, Ferry Efendi, Eka Misbahatul M
Has. 2011. Hubungan pemberdayaan ibu
pemantau jentik (Bumantik) dengan indikator
keberhasilan Pemberantasan Sarang Nyamuk
di Kelurahan Wonokromo Surabaya.
Direktorat Jenderal PP dan PL, Kementerian
Kesehatan RI. 2012. Penanggulangan Penyakit
DBD melalui kerjasama dengan kader juru
pemantau jentik. Jakarta.
Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong.
2012. Laporan Tahunan Geografi dan
Kesehatan.
Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu. 2012.
Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi
Bengkulu. Kabid P2M. Bengkulu.
Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong.
2014. Laporan Kepala Bidang Program
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang
Lebong.
Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong.
2013. Laporan Kantor Statistik Kabupaten
Rejang Lebong dalam Profil Kesehatan
Kabupaten Rejang Lebong.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Buletin
Jendela Epidemiologi: Demam Berdarah
Kinerja Jumantik n %
Baik 25 62,5
Kurang 15 37,5
Jumlah 40 100
29. 24 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Dengue. Vol 2. Agustus 2010. Pusat Data dan
Surveilans Epidemiologi.
Marista Octaviani Tanjung. 2012. Perilaku Kader
Jumantik Dalam Melaksanakan PSN DBD 3M
Plus di Kelurahan Jomblang Kecamatan
Candisari.
Menurut Sumarmo. 2005. Epidemiologi Lingkungan.
Universitas Gadjah Mada (UGM).
Notoatmodjo. 2009. Konsep Dasar Perilaku dan
Promosi Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi
Penelitian Keperawatan (Pedoman Notoatmodjo.
2009. Konsep Dasar Perilaku dan Promosi
Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi
Penelitian Keperawatan (Pedoman Skripsi,
tesis dan instrumen penelitian keperawatan).
Salemba Medika. Jakarta.
Ni Putu Desi Ary Sandhi. 2013. Pengaruh Faktor
Motivasi Terhadap Kinerja Juru Pemantau
Jentik DalamPelaksanaan PSN Di Kecamatan
Denpasar Selatan.
Rizqi Mubarokah. 2012. Upaya peningkatan
Angka Bebas Jentik DBD melalui pergerakan
juru pemantau jentik (jumantik) di RW I
Kelurahan Danyang Kecamatan Purwodadi
Kabupaten Grobogan.
Sri Suharti, R. 2010. Hubungan Pengetahuan dan
Motivasi dengan Perilaku Kepala Keluarga
dalam Pemberantasan PSN-DBD di Wilayah
Kerja Puskesmas Loa Ipuh Kabupaten Kutai
Karta Negara.
WHO. 2004. Panduan lengkap pencegahan dan
pengendalian dengue dan demam berdarah
dengue. Jakarta: EGC.
Yuristisia, Harinda Wina. 2012. Analisis Implementasi
Kebijakan Pengendalian Demam Berdarah
Dengue pada Kader Juru Pemantau Jentik di
Wilayah Kelurahan Sendangmulyo Kecamatan
Tembalang Kota Semarang.
30. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 25
Meta-Analisis Hubungan Kondisi Lingkungan dengan Kejadian
Demam Berdarah Dengue
Meta-Analysis of Environmental Conditions Associated with Dengue Hemorrhagic Fever
Suwito1, Edwin Siswono2
1Subdit Pengendalian Arbovirosis, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI
2Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Abstrak
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan permasalahan kesehatan, dan telah menyebar di semua kabupaten/kota di
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan dengan kejadian DBD. Desain
penelitian ini adalah studi literatur menggunakan metode meta-analisis. Sampel diambil dari 27 hasil penelitian metode
kasus kontrol dan lima hasil penelitian metode potong lintang yang dipilih berdasarkan nilai OR. Hasil penelitian
mendapatkan adanya hubungan bermakna antara kondisi tempat penampungan air (OR=2,63; 95% CI=1,79-3,88),
keberadaan jentik metode kasus kontrol (OR=2,96; 95% CI=1,97-4,45), dan keberadaan jentik metode potong lintang
(OR=4,67; 95% CI = 2, 68-8,14) dengan kejadian DBD.
Kata kunci: Meta-analisis, kondisi lingkungan, demam berdarah dengue
Abstract
Dengue hemorrhagic fever is a major health problem in Indonesia. All of areas in Indonesia are at risk of dengue
transmission. The purpose of this study to determine the association between environmental conditions and dengue
hemorrhagic fever. Study design is a literature review using meta-analysis method with the total sample of 27 case-control
studies and five cross sectional random effect model for the summary of OR. The results revealed a significant associatiated
with dengue hemorrhagic fever are container conditions (OR=2.63; 95% CI=1.79-3.88), the presence of mosquito larvae in
the case control (OR=2.96; 95% CI=1.97-4.45), and the presence of larvae in the sectional (OR=4.67; 95% CI=2.68-8.14).
Keywords: Meta-analysis, environmentak conditions, dengue hemorrhagic fever
Alamat korespondensi: Suwito, Subdit Pengendalian
Arbovirosis, Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL,
Kemenkes RI, Jl. Percetakan Negara No.29JakartaPusat,
Hp: 081379729578, e-mail:suwito_enk@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
penyakit yang ditandai dengan demam tinggi
(mendadak tanpa sebab yang jelas),
manifestasi perdarahan, trombositopeni,
hemokonsentrasi dan disertai dengan atau tanpa
pembesaran hati (hepatomegali)
Penyakit ini pertama kali dikenal di Filipina
pada tahun 1953 (WHO, 2009). Berdasarkan
etiologi, penyakit ini disebabkan oleh virus
dengue serotipe 2, 3, dan 4 yang diisolasi dari
pasien tahun 1956. Dua tahun kemudian, virus
dengue dengan berbagai serotipe diisolasi dari
pasien selama epidemik di Bangkok, Thailand.
Selama kurang lebih tiga dekade, DBD telah
ditemukan di Kamboja, China, India, Indonesia,
Malaysia, Maldives, Myanmar, Singapura, Sri
Lanka, Vietnam, dan beberapa kepulauan di
Pasifik (Shepard dkk, 2013).
Di Indonesia, kasus DBD pertama kali
ditemukan di Surabaya dan DKI Jakarta pada
tahun 1968, kemudian mulai menyebar ke
beberapa provinsi di Indonesia. Pada tahun
2004, jumlah kabupaten/ kota terjangkit DBD
sebanyak 334, tahun 2014 meningkat menjadi
511 kabupaten/kota. Tahun 1968 Insidence
Rate (IR) DBD dilaporkan sebesar 0,05 per
100.000 penduduk dengan Case Fatality Rate
(CFR) sebesar 41,3%, sedangkan tahun 2007
dan 2014, IR sebesar 71,18 dan 39,62 per
100.000 penduduk, dengan CFR 1,00% dan
0,09% (Kemenkes RI, 2015).
Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara statistik faktor lingkungan
memiliki hubungan yang bermakna dengan
kejadian DBD. Pemasangan kawat kassa pada
ventilasi misalnya dapat menekan risiko
gigitan nyamuk penular DBD. Studi di Kota
Bandar Lampung pada tahun 2012
menunjukkan bahwa risiko terkena DBD orang
yang tinggal di rumah yang tidak dipasang
kawat kassa, 4,75 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan orang yang tinggal di
31. 26 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
rumah yang dipasang kawat kassa. (Tamza,
2013).
Kondisi tempat penampungan air atau
kontainer yang ada di rumah merupakan salah
satu faktor risiko kejadian DBD. Penelitian
yang dilakukan di Kota Medan, Sumatera Utara
menunjukkan bahwa risiko terjangkit DBD
pada kondisi tempat penampungan air yang
terbuka atau tidak baik 2,9 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan kondisi tempat
penampungan air yang tertutup atau baik
(Nurmaida, 2003).
Salah satu faktor lingkungan lainnya yang
memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD
adalah keberadaan jentik nyamuk pada tempat
penampungan air atau kontainer. Hal ini dapat
terlihat dari studi yang dilakukan di Kota
Kendari, Sulawesi Tenggara pada tahun 2011
bahwa pada tempat penampung air yang
terdapat jentik di dalamnya, risiko
terjangkitnya DBD 3,17 kali lebih besar
dibandingkan dengan tempat penampungan air
yang tidak terdapat jentik (Mulyawan, 2011).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan kondisi lingkungan (pemasangan
kawat kassa ventilasi, keberadaan jentik
nyamuk dan kondisi tempat penampungan air
(TPA) dengan kejadian DBD.
METODE
Penelitian ini merupakan review literature
dengan metode meta-analisis yang merupakan
analisis terhadap studi-studi sebelumnya
dengan melakukan penelusuran dan analisis
ilmiah secara sistematis, dengan kaidah statistik
yang terstruktur, serta menarik kesimpulan
melalui nilai penggabungan ukuran efek studi.
Penelitian yang diikutsertakan pada meta-
analisis ini adalah desain studi case control dan
cross sectional pada penelitian epidemiologi.
Variabel independen yang digunakan dalam
penelitian ini faktor risiko DBD berupa
karakteristik individu dan kondisi lingkungan
dengan variabel dependen adalah kejadian
DBD. Data yang digunakan merupakan data
tersier yang berasal dari penelitian yang telah
dipublikasikan melalui mesin pencari Google
Scholar dan database Perpustakaan FKM UI.
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian yang digunakan dalam meta-
analisis ini merupakan laporan dari penelitian
yang dilakukan di Indonesia. Studi ini
dilaksanakan dengan melakukan pencarian
artikel pada database jurnal nasional yang
ditemukan melalui mesin pencari Google
Scholar dan koleksi skripsi dan tesis di
Perpustakaan FKM UI. Langkah identifikasi
hingga analisis dilakukan pada bulan Mei-Juni
2015.
Populasi dan sampel penelitian
Populasi dalam penelitian ini merupakan
seluruh penelitian yang telah terpublikasi di
jurnal nasional dan dapat diakses melalui
internet terutama dalam bentuk jurnal full-text
dan juga database penelitian mahasiswa FKM
UI. Sedangkan sampel penelitian adalah studi
terpilih yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
eksklusi. Proses penentuan jumlah dan
pemilihan sampel penelitian dimulai dari
identifikasi (identification), penyaringan (screening),
pemenuhan syarat (eligibilty) hingga
ditentukan jurnal yang akan dimasukkan
kedalam meta-analisis (inklusi studi).
Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan instrumen abstraksi yang
dianalisis menggunakan software STATA 12.0.
Instrumen penelitian mencakup karakteristik
masing-masing penelitian seperti nama
peneliti, tahun publikasi, lokasi penelitian,
waktu penelitian, desain studi, usia subjek
penelitian, jumlah sampel, nilai asosiasi (OR
dengan 95% CI). Selengkapnya bentuk instrumen
penelitian dapat dilihat pada bagian lampiran.
Analisis data
Analisis data yang digunakan pada penelitian
ini adalah uji heterogenitas, uji bias publikasi,
dan odds ratio gabungan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungankondisitempatpenampungan air dan
kejadian DBD pada penelitian case control
Hasil uji statistik odds ratio gabungan pada
model random effect, terdapat hubungan yang
signifikan antara faktor tempat penampungan
air dan kejadian DBD. Hal ini sejalan dengan
32. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 27
penilaian risiko, bahwa lingkungan yang
memiliki tempat penampungan air dengan
kondisi terbuka memiliki risiko 2,63 kali lebih
tinggi untuk terkena penyakit demam berdarah
dengue dibandingkan dengan tempat
penampungan air dengan kondisi tertutup.
(95% CI; 1,79-3,88) (Gambar 1).
Gambar 1. Forest plot hubungan tempat penampungan
air dan kejadian DBD pada penelitian case control
Hubungan keberadaan jentik nyamuk dan
kejadian DBD pada penelitian case control
Hasil uji statistik odds ratio gabungan pada
model random effect, terdapat hubungan yang
signifikan antara faktor keberadaan jentik
nyamuk dan DBD. Hal ini sejalan dengan
penilaian risiko, bahwa lingkungan rumah yang
ditemukan jentik nyamuk memiliki risiko 2,96
kali lebih tinggi untuk terkena penyakit demam
berdarahdenguedibandingkan dengan lingkungan
rumah yang tidak ditemukan jentik nyamuk.
(95% CI; 1,97-4,45) (Gambar 2).
Gambar 2. Forest plot hubungan keberadaan jentik
nyamuk dengan dan kejadian DBD pada penelitian
case control
Hubungankondisitempatpenampungan air dan
kejadian DBD pada penelitian cross
sectional
Hasil uji statistik odds ratio gabungan pada
model random effect tidak ada hubungan yang
signifikan antara faktor kondisi tempat
penampungan air dan kejadian DBD (95% CI;
0,64-1,81) (Gambar 3).
Gambar 3. Forest plot hubungan kondisi tempat
penampungan air dan kejadaian DBD pada
penelitian cross sectional
Hubungan keberadaan jentik nyamuk dan
kejadian DBD pada penelitian cross
sectional
Hasil uji statistik odds ratio gabungan pada
model random effect, terdapat hubungan yang
signifikan antara faktor keberadaan jentik
nyamuk dan kejadian DBD. Hasil penilaian
risiko juga menunjukkan terdapat adanya
perbedaan, yaitu kondisi tempat penampungan
air yang terdapat jentik memiliki risiko 4,67
kali lebih tinggi untuk terkena penyakit demam
berdarah dengue dibandingkan dengan kondisi
tempat penampungan air tidak terdapat jentik.
(95% CI; 2,68 - 8,14) (Gambar 4)
Gambar 4. Forest plot hubungan keberadaan jentik
nyamuk dengan kejadian DBD pada penelitian cross
sectional
33. 28 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
KESIMPULAN
1. Hasil meta-analsis kondisi yang
menunjukkan hubungan yang signifikan
dengan kejadian DBD pada penelitian case
control, yaitu kondisi tempat penampungan
air terbuka memiliki risiko 2,63 kali lebih
tinggi terkena DBD dan keberadaan jentik
memiliki risiko DBD 2,96 kali lebih tinggi.
2. Hasil meta-analsis kondisi yang
menunjukkan hubungan yang signifikan
dengan kejadian DBD pada penelitian cross
sectional, yaitu keberadaan jentik memiliki
risiko DBD 4,67 kali lebih tinggi.
SARAN
Pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
merupakan alternatif terbaik untuk menjaga
tempat penampungan air supaya tetap tertutup
dan selalu dikuras setiap minggu, sehingga
bebas dari jentik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia serta kasubdit dan staf Subdit
Arbovirosis, Direktorat PPBB.
DAFTAR PUSTAKA
Anker M and Arima Y. 2011. Male-female
differences in the number of reported incident
dengue fever cases in six Asian
countries. Western Pacific Surveillance and
Response Journal, 2(2):17-23.
doi:10.5365/wpsar.2011.2.1.002
Begg, Colin B & Jesse A. 1998. Publication bias:
A problem in interpreting medical data.
Journal of
Royal Statistical Society A; 151(3): 419-463
Bhatt S, Gething PW, Brady OJ, Messina JP,
Farlow AW, Moyes CL et.al. 2013. The global
distribution and burden of dengue.
Nature;496:504-507.
Brady OJ, Gething PW, Bhatt S, Messina JP,
Brownstein JS, Hoen AG et al. 2012. Refining
the global spatial limits of dengue virus
transmission by evidence-based consensus.
PLoS Negl Trop Dis. 2012 ;6:e1760.
doi:10.1371/journal.pntd. 0001760.
Cendrawirda. 2008. Hubungan Faktor Individu
Anak, Faktor Sosio Demografi Keluarga, dan
Faktor Lingkungan Dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue Pada Anak di Kota
Tembilahan Kabupaten Indra Giri Hilir
Provinsi Riau Tahun 2008. Tesis Program
Pascasarjana Program Studi Epidemiologi
Komunitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Hajar, Siti. 2013. Hubungan Pemberantasan
Sarang Nyamuk DBD (PSN-DBD) Dengan
Kejadian Demam Berdarah Dengue di
Wilayah Kerja Puskesmas Watampone
Kabupaten Bone Sulawesi Selatan Tahun 2013.
Tesis Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan
MasyarakatUniversitasIndonesia
Hasyimi. 2011. Hubungan Tempat
Penampungan Air dan Faktor Lainnya
dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Provinsi DKI Jakarta Dan Bali.
Media Litbang Kesehatan Vol 21 Nomor 2
Tahun 2011
Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela
Epidemiologi: Topik Utama Demam
Berdarah Dengue. Vol. 2. Jakarta
Mulyawan, I Kadek. 2011. Pola Sebaran dan
Faktor Risiko Kejadian DBD di Kota Kendari
Tahun 2010. Tesis: Program Pascasarjana
Program Studi IKM Universitas Gadjah
Mada
Nurmaida. 2012. Hubungan Jarak Penangkaran
Walet dan Faktor Risiko Lainnya dengan
Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kota
Medan Tahun 2013. Tesis Program
Pascasarjana Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia
Purwanto. 2013. Hubungan Kondisi Kesehatan
Lingkungan Rumah dan Perilaku
Pencegahan DBD dengan Kejadian Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) di 3
Kecamatan Endemis DBD Kabupaten
Karawangan Tahun 2012. Tesis Program
Pascasarjana Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia
Salawati. 2010. Kejadian Demam Berdarah
Dengue Berdasarkan Faktor Lingkungan dan
Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk di
Wilayah Puskesmas Srondol Kecamatan
Banyumanik Kota Semarang Tahun 2010.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia Vol
6 No 2 Tahun 2010
34. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 29
Sandra. 2010. Hubungan Karakteristik Individu
dan Kondisi Tempat Penampungan Air (TPA)
dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
di Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong
Tahun 2010. Skripsi FKM UI, Depok.
Shepard DS, Undurraga EA, Halasa YA. 2013.
Economic and Disease Burden of Dengue in
Southeast Asia. PLoS Negl Trop Dis 7(2):
e2055. doi:10.1371/journal.pntd.0002055
Sibe. 2009. Faktor Risiko Kejadian Demam
Berdarah Dengue di Kecamatan Tempe
Kabupaten Wajo 2009. Jurnal MKMI Vol 6
No.4 Oktober 2010
Sitio, Andi. 2005. Hubungan Perilaku Tentang
Pemberantasan Sarang Nyamuk dan
Kebiasaan Keluarga dengan Kejadian
Demam Berdarah Dengue di Kecamatan
Medan Perjuangan Kota Medan Tahun 2008.
TesisPascasarjana FKMUNDIP
Subagia. 2012. Lingkungan Dalam Rumah,
Mobilitas dan Riwayat Kontak sebagai
Determinan Kejadian Demam Berdarah
Dengue di Denpasar Tahun 2012. Repository
UNUD, Bali
Superiyatna, Herra. 2011. Hubungan Faktor
Risiko Dengan Kejadian DBD di Kabupaten
Cirebon Tahun 2011. Tesis Program
Pascasarjana Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Surya. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
di Kelurahan Abianse Kecamatan Mengwi
Kabupaten Badung Tahun 2012. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Vol 4, No. 2 November
2014
Suryani. 2011. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan
Lubang Buaya Kecamatan Cipayung, Jakarta
Timur Tahun 2010-Maret 2011. Skripsi FKM
UI, Depok.
Susanto, R. Heru. 2007. Systematic Review Hasil
Penelitian Kesehatan Masyarakat Tentang
Dampak Program Pencegahan dan
Pemberantasan Demam Berdarah Dengue
terhadap Insiden Demam Berdarah Dengue.
Tesis FKM UI, Depok.
Tamza, Gema. (2013). Hubungan Faktor
Lingkungan dan Perilaku Dengan Kejadian
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah
Kelurahan Perumnas Way Halim Kota
Bandar Lampung. Jurnal Kesehatan
Masyarakat 2013, Volume 2, Nomor 2, April
2013.
Usman, Sarip. 2002. Faktor Risiko yang
Berhubungan Dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue di Kota Bandar Lampung
Tahun 2002. Tesis Pascasarjana FKM UI,
Depok.
Wita, Refni. 2014. Faktor Risiko Kejadian
Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Kelurahan Pondok Kelapa, Kecamatan Duren
Sawit, Jakarat Timur Tahun 2014. Skripsi
FKM UI, Depok
WHO. 2009. Dengue guidelines for diagnosis,
treatment, prevention, and control new
edition. World Health Organization