Dokumen tersebut membahas tentang peraturan pemerintah nomor 94 tahun 2010 mengenai penghasilan kena pajak dan objek pajak. Dokumen tersebut memberikan penjelasan mengenai berbagai aspek penghasilan yang dikenakan pajak seperti dividen, agio saham, selisih kurs, dan biaya pengembangan tanaman industri."
2. Ps. 2 : Saham Bonus
Objek pajak berupa dividen tidak termasuk
pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa
penyetoran yang berasal dari:
kapitalisasi agio saham, sepanjang jumlah nilai
nominal saham setelah pembagian saham bonus
tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva
tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) UU PPh
www.DudiWahyudi.com
3. Ps. 3 : Pengalihan Harta Kepada
Pegawai
Dalam hal terjadi pengalihan harta
perusahaan kepada pegawainya, maka
keuntungan berupa selisih antara harga pasar
harta tersebut dengan nilai sisa buku
merupakan penghasilan bagi perusahaan.
www.DudiWahyudi.com
4. Ps. 4 : Agio dan Disagio Saham
Agio saham yang timbul dari selisih lebih
antara nilai pasar saham dan nilai nominal
saham, tidak termasuk objek pajak
Disagio saham yang timbul dari selisih lebih
antara nilai nominal saham dan nilai pasar
saham, bukan merupakan pengurang dari
penghasilan bruto
www.DudiWahyudi.com
5. Contoh Agio Saham
Penjelasan Pasal 4 Ayat (1)
www.DudiWahyudi.com
PT A (belum Go Public) yang mempunyai modal dasar
sebesar Rp4.500.000.000,00 (terdiri dari 4.500.000
lembar saham) dan telah disetor penuh melakukan
ekspansi yang sumber pendanaannya diperoleh
dengan jalan meningkatkan modal saham dengan
menjual saham baru sejumlah 500.000 lembar (nilai
nominal Rp 1000,00/ lembar) dengan nilai jual Rp
750.000.000,00 (500.000 lembar saham x
Rp1.500,00) sehingga terdapat selisih di atas nilai
nominal sebesar Rp 250.000.000,00 (500.000 lembar
saham x Rp500,00) yang dibukukan sebagai agio
saham oleh PT A.
Atas agio saham tersebut bukan merupakan objek
Pajak Penghasilan bagi PT A.
6. Contoh Disagio Saham
Penjelasan Pasal 4 Ayat (2)
www.DudiWahyudi.com
Seperti pada ayat (1), namun nilai penjualan
500.000 lembar saham baru tersebut sebesar
Rp400.000.000,00. Atas selisih lebih antara
nilai nominal dan nilai pasar saham sebesar
Rp 100.000.000,00 (500.000 lembar saham x
(-Rp200,00)) tersebut dibukukan sebagai
disagio saham oleh PT A.
Atas disagio saham tersebut bukan
merupakan pengurang dari penghasilan bagi
PT A.
7. Ps. 5 : Bagian Laba KIK
Bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh
pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi
Kolektif termasuk keuntungan atas pelunasan
kembali unit penyertaannya, tidak termasuk
sebagai objek pajak
Berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan
yang merupakan Subjek Pajak luar negeri
www.DudiWahyudi.com
8. Ps. 6 : Bagian Laba Tahun
Berjalan
Pembagian laba secara langsung dan/atau
tidak langsung yang berasal dari saldo laba
termasuk saldo laba berdasarkan proyeksi
laba tahun berjalan merupakan objek pajak,
kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh
www.DudiWahyudi.com
9. Ps. 7 : Surplus BI
Surplus BI yang merupakan objek PPh adalah
surplus BI menurut laporan keuangan audit
setelah koreksi fiskal sesuai dengan UU PPh
dengan memperhatikan karakteristik BI
Ketentuan mengenai tata cara penghitungan
dan pembayaran PPh atas surplus BI diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan
(100/PMK.03/2011)
www.DudiWahyudi.com
10. Ps. 8 : Hubungan Antara Pihak-
pihak Yang Bersangkutan (i)
Hubungan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh dapat terjadi
karena ketergantungan atau keterikatan satu
dengan yang lain secara langsung atau tidak
langsung berkenaan dengan:
Usaha
Pekerjaan
Kepemilikan atau Penguasaan
www.DudiWahyudi.com
11. Ps. 8 : Hubungan Antara Pihak-
pihak Yang Bersangkutan (ii)
Hubungan Usaha dapat terjadi apabila terdapat
transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah
pihak.
Hubungan Pekerjaan terjadi apabila terdapat
hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian
jasa, atau pelaksanaan kegiatan secara langsung
atau tidak langsung antara kedua pihak
Hubungan kepemilikian atau penguasaan terjadi
apabila terdapat:
penyertaan modal secara langsung atau tidak
langsung ex Pasal 18 ayat (4) huruf a UU PPh
hubungan penguasaan secara langsung atau tidak
langsung ex Pasal 18 ayat (4) huruf b UU PPh
www.DudiWahyudi.com
12. Transaksi Yang Bersifat Rutin
(Penjelasan Pasal 8 Ayat (2)
www.DudiWahyudi.com
Pembelian
Penjualan
Imbalan Lain
13. Contoh Hubungan Pekerjaan
Langsung
Penjelasan Pasal 8 Ayat (3)
www.DudiWahyudi.com
Tuan B merupakan direktur PT X dan Tuan C
merupakan pegawai PT X. Dalam hal ini,
antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C
terdapat hubungan pekerjaan langsung
Jika Tuan B dan/atau Tuan C menerima
bantuan atau sumbangan dari PT X atau
sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan
tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan
bagi yang menerima karena antara PT X
dengan Tuan B dan/atau Tuan C mempunyai
hubungan pekerjaan langsung
14. Contoh Hubungan Pekerjaan Tidak
Langsung
Penjelasan Pasal 8 Ayat (3)
www.DudiWahyudi.com
Tuan A bekerja sebagai petugas dinas luar
asuransi dari perusahaan asuransi PT X.
Meskipun Tuan A tidak berstatus sebagai pegawai
PT X, namun antara PT X dan Tuan A dianggap
mempunyai hubungan pekerjaan tidak langsung
Jika Tuan A menerima bantuan atau sumbangan
dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau
sumbangan tersebut merupakan objek Pajak
Penghasilan bagi pihak yang menerima karena
antara PT X dan Tuan A mempunyai hubungan
pekerjaan tidak langsung
15. Penguasaan Manajemen
Langsung
Penjelasan Pasal 8 Ayat (4) huruf b
www.DudiWahyudi.com
PT
X
PT
Y
PT AA
Tuan A Tuan B Tuan C
Direktur
Direktur Komisaris
DirekturKomisaris
Tuan B JuniorTuan E
DirekturKomisaris
Anak
Hubungan
manajeme
n langsung
Hubungan
manajeme
n langsung
Hubungan
manajeme
n langsung
16. Penguasaan Manajemen Tidak
Langsung
Penjelasan Pasal 8 Ayat (4) huruf b
www.DudiWahyudi.com
PT AB
PT
X
Tuan O
Tuan P
Direktur
Komisaris
Tuan O dan Tuan P
mempunyai wewenang
dalam menentukan
kebijaksanaan dan/atau
mengambil keputusan
dalam rangka
menjalankan kegiatan PT
X
Hubungan
manajemen
tidak
langsung
17. Ps. 9 : Selisih Kurs (i)
Keuntungan atau kerugian selisih kurs diakui
berdasarkan sistem pembukuan dan dilakukan
secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan
Selisih kurs tidak diakui sebagai penghasilan
atau biaya jika berkaitan langsung dengan
usaha Wajib Pajak yang:
dikenakan PPh final; atau
tidak termasuk objek pajak
www.DudiWahyudi.com
18. Ps. 9 : Selisih Kurs (ii)
Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata
uang asing yang tidak berkaitan langsung
dengan usaha Wajib Pajak yang:
dikenakan PPh final; atau
tidak termasuk objek pajak
diakui sebagai penghasilan atau biaya
sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan
www.DudiWahyudi.com
19. Contoh Kerugian Selisih Kurs(i)
Penjelasan Pasal 9 Ayat (2)
www.DudiWahyudi.com
PT A bergerak di bidang penyewaan apartemen. Sesuai dengan kontrak,
sewa apartemen tiap bulan adalah sebesar US$1,000 dan diterbitkan
invoice setiap tanggal 1.
Pada tanggal 1 September 2010 PT A menerbitkan invoice sebesar US$
1,000 kepada penyewa. Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah
Rp9.000,00 per 1 US$. Pada tanggal 1 September 2010 tersebut PT A
mengakui penghasilan atas sewa apartemen sebesar Rp9.000.000,00
(US$ 1,000 x Rp9.000,00).
Pada tanggal 15 September 2010 penyewa membayar sewa apartemen.
Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp8.700,00 per 1 US$,
sehingga nilai sewa yang dibayar adalah sebesar Rp8.700.000,00 (US$
1,000 x Rp8.700,00).
Atas perbedaan waktu antara tanggal penerbitan invoice dan tanggal
pembayaran timbul kerugian selisih kurs bagi PT A sebesar Rp300.000,00
((Rp9.000,00 - Rp8.700,00) x US$ 1,000)).
Atas kerugian selisih kurs tersebut tidak diakui sebagai biaya bagi PT A
karena berasal dari penyewaan apartemen yang telah dikenai Pajak
Penghasilan bersifat final.
20. Contoh Kerugian Selisih Kurs(i)
Penjelasan Pasal 9 Ayat (2)
www.DudiWahyudi.com
1 September 15
September
Invoice terbit
US$1.0000
Kurs
Rp9.000/$
Pendapatan
dalam Rp
Rp9.000.000,0
0
Pembayaran
US$1.0000
Kurs
Rp8.700/$
Penerimaan
dalam Rp
Rp8.700.000,0
0
Rugi Selisih
Kurs
Rp300.000,00
21. Contoh Kerugian Selisih Kurs (ii)
Penjelasan Pasal 9 Ayat (3)
www.DudiWahyudi.com
PT A yang bergerak di bidang penyewaan apartemen, pada bulan
September 2010 mendapatkan pinjaman sebesar US$ 10,000,000
yang digunakan masing-masing sebesar US$ 9,000,000 untuk
membangun apartemen, dan sebesar US$ 1,000,000 untuk
membeli alat transportasi yang akan dipergunakan untuk usaha
jasa angkutan.
Atas keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang
berasal dari pinjaman sebesar US$ 1,000,000 tersebut dapat diakui
sebagai penghasilan atau biaya karena:
a. tidak berkaitan langsung dengan usaha PT A di bidang penyewaan
apartemen yang dikenakan PPh Finall; dan
b. merupakan pengeluaran untuk 3M penghasilan lainnya berupa usaha
jasa angkutan yang atas penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan
dengan tarif Pasal 17 UU PPh
22. Contoh Kerugian Selisih Kurs (ii)
Penjelasan Pasal 9 Ayat (3)
www.DudiWahyudi.com
PT A
Usaha : Penyewaan
Apartemen
Pinjaman US$
10.000
US$ 9.000 Membangun apartemen US$ 9.000 Membeli alat
transportasi untuk usaha jasa
angkutan
Keuntungan/kerugian selisih
kurs
Keuntungan/kerugian selisih
kurs
Diakui sebagai
penghasilan/biaya
23. Ps. 10 : PM Tidak Dapat
Dikreditkan
Pajak Masukan (PM )yang tidak dapat
dikreditkan dapat dikurangkan sepanjang
dapat dibuktikan PM tersebut:
Benar-benar telah dibayar, dan
berkenaan dengan pengeluaran untuk 3M
penghasilan
PM yang tidak dapat dikreditkan atas harta
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun, harus dikapitalisasi dan
dibebankan melalui penyusutan atau
amortisasi www.DudiWahyudi.com
24. Ps. 11 : Pembebanan Biaya
Tanaman Industri dan
Ternak
Biaya pengembangan tanaman industri yang
berumur lebih dari 1 tahun dan hanya 1 kali
memberikan hasil, dikapitalisasi dan
merupakan bagian dari HPP
Biaya pemeliharaan ternak yang berumur lebih
dari 1 tahun dan hanya 1 kali memberikan
hasil, dikapitalisasi dan merupakan bagian dari
HPP
www.DudiWahyudi.com
25. Biaya Pengembangan
Penjelasan Pasal 11 Ayat (1)
www.DudiWahyudi.com
Yang dimaksud dengan "biaya
pengembangan" adalah seluruh pengeluaran
yang terkait dengan tanaman industri
termasuk :
pembelian bibit,
pemeliharaan, dan
pembesaran tanaman sampai dijual
26. Biaya Pemeliharaan
Penjelasan Pasal 11 Ayat (2)
www.DudiWahyudi.com
Yang dimaksud dengan "biaya pemeliharaan"
adalah seluruh pengeluaran yang terkait
dengan ternak termasuk :
pembelian bibit,
pemeliharaan, dan
pembesaran ternak sampai dijual
27. Pasal 12 : Pinjaman Tanpa Bunga
Dari Pemegang Saham
Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham
yang diterima Wajib Pajak PT diperkenankan
apabila:
pinjaman berasal dari dana pemegang saham sendiri
dan bukan dari pihak lain;
modal yang seharusnya disetor pemegang saham
telah disetor seluruhnya;
pemegang saham tidak dalam keadaan merugi; dan
penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan
keuangan untuk kelangsungan usahanya
Apabila pinjaman yang diterima tidak memenuhi
ketentuan tsb, atas pinjaman tersebut terutang
bunga dengan tingkat suku bunga wajar
www.DudiWahyudi.com
28. Pasal 13 : Non Deductible
Expenses
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang:
bukan merupakan objek pajak;
pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau
dikenakan pajak berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dan Norma
Penghitungan Khusus
Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh
pemberi penghasilan.
www.DudiWahyudi.com
29. Pasal 14 : Pelunasan Sendiri PPh
Dalam Tahun Berjalan
Orang pribadi dalam negeri yang menerima
atau memperoleh penghasilan di atas PTKP
sehubungan dengan pekerjaan dari bukan
pemotong PPh Pasal 21, wajib:
memiliki NPWP;
melaksanakan sendiri penghitungan dan
pembayaran PPh dalam tahun berjalan; dan
melaporkan penghitungan dan pembayaran PPh
terutang dalam tahun berjalan dalam SPT
Tahunan
www.DudiWahyudi.com
30. Pasal 15 (1) : Saat Pemotongan
PPh Pasal 21
Akhir bulan terjadinya pembayaran,
atau
Akhir bulan terutangnya penghasilan
Tergantung peristiwa yang terjadi lebih
dulu
www.DudiWahyudi.com
31. Pasal 15 (2) : Saat Pemotongan
PPh Pasal 22
Saat pembayaran, atau
Saat tertentu lainnya yang diatur
Menteri Keuangan
www.DudiWahyudi.com
32. Pasal 15 (3) : Saat Pemotongan
PPh Pasal 23
Akhir bulan dibayarkannya
penghasilan
Akhir bulan disediakan untuk
dibayarkannya penghasilan
Akhir bulan jatuh temponya
pembayaran penghasilan
Tergantung peristiwa yang terjadi lebih
dulu
www.DudiWahyudi.com
33. Pasal 15 (4) : Saat Pemotongan
PPh Pasal 26 Ayat (1)
Akhir bulan dibayarkannya
penghasilan
Akhir bulan disediakan untuk
dibayarkannya penghasilan
Akhir bulan jatuh temponya
pembayaran penghasilan
Tergantung peristiwa yang terjadi lebih
dulu
www.DudiWahyudi.com
34. Saat Terutang PPh Pasal 23/26
Penjelasan Pasal 15 Ayat (3) dan (4)
www.DudiWahyudi.com
pada saat pembayaran
saat disediakan untuk dibayarkan (seperti:
dividen)
jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa)
saat yang ditentukan dalam kontrak atau
perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan
jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa
lainnya)
35. Saat Terutang PPh Pasal 23/26
Penjelasan Pasal 15 Ayat (3) dan (4)
www.DudiWahyudi.com
Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk
dibayarkan":
a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah
saat pembagian dividen diumumkan atau
ditentukan dalam RUPS Tahunan
b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada
tanggal penentuan kepemilikan pemegang
saham yang berhak atas dividen (recording
date).
36. Saat Terutang PPh Pasal 23/26
Penjelasan Pasal 15 Ayat (3) dan (4)
www.DudiWahyudi.com
yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo
pembayaran" adalah saat kewajiban untuk
melakukan pembayaran yang didasarkan atas
kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau
faktur
37. Pasal 16 : Pengkreditan PPh Pasal
23/PPh Pasal 26
Dalam hal pemotongan PPh Pasal23
atau PPh Pasal 26 dilakukan pada
tahun pajak yang berbeda dengan
tahun pajak pengakuan penghasilan,
maka atas PPh yang telah dipotong
tersebut dapat dikreditkan pada
tahun pajak dilakukan pemotongan.
www.DudiWahyudi.com
38. Contoh Saat Pengkreditan
Penjelasan Pasal 16
www.DudiWahyudi.com
Pada bulan Oktober 2009 PT A memberikan pinjaman kepada
PT B sebesar Rp1.000.000.000,00 dengan tingkat bunga
sebesar 10% per tahun. Jatuh tempo pembayaran bunga setiap
tanggal 1 April dan 1 Oktober.
Pada 1 April 2010, PT B membayar bunga sebesar
Rp50.000.000,00 kepada PT A. Atas bunga pinjaman ini, PT A
telah mengakui sebagai penghasilan di tahun 2009 sebesar
Rp25.000.000,00 (bunga selama Oktober s.d Desember 2009).
Sesuai ketentuan, PT B melakukan pemotongan PPh Pasal 23
pada saat jatuh tempo pembayaran pada tanggal l April 2010
sebesar Rp7.500.000,00 (15% x Rp50.000.000,00) dan kepada
PT A diberikan bukti pemotongannya.
Atas pemotongan PPh Pasal 23 tersebut, dapat dikreditkan oleh
PT A pada tahun 2010
39. Pasal 17 : Saat Pengakuan
Penghasilan dan Biaya
Dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak, dapat ditetapkan saat
pengakuan penghasilan dan biaya
dalam hal-hal tertentu sesuai dengan
kebijakan Pemerintah
www.DudiWahyudi.com
40. Saat Pengakuan Penghasilan dan
Biaya
Penjelasan Pasal 17
www.DudiWahyudi.com
Pada dasarnya saat pengakuan biaya dan penghasilan
dilakukan secara taat asas berdasarkan matching of costs
againts revenues
Namun, dalam hal-hal tertentu karena kebijakan Pemerintah,
Dirjen Pajak dapat mengatur saat pengakuan penghasilan
dan biaya yang berbeda
Yang dimaksud dengan "dalam hal-hal tertentu" antara lain:
a. saat pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit
non performing loan dalam rangka menunjang
percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai
dengan kebijakan Pemerintah, atau
b. saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak
karena adanya perubahan Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan
41. Pasal 18 : PPh Pasal 23 Royalti
PPh Pasal 23 atas royalti yang
dilakukan dengan cara bagi hasil
dipotong oleh pihak yang wajib
membayarkan
Ketentuan mengenai dasar pemotong
an PPh Pasal 23 Royalti diatur
dengan Peraturan Dirjen Pajak
www.DudiWahyudi.com
42. Pasal 19 : Penghasilan Yang Tidak
Dikenai PPh Final
Dalam hal penghasilan tidak dikenai
PPh Final dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri, atas
penghasilan tersebut dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif Pasal
17 UU PPh
www.DudiWahyudi.com
43. Pasal 20 : Pengkreditan Pemotongan
PPh Pasal 21/22/23 Lebih
Tinggi
PPh Pasal 21/22/23 yang dipotong
atau dipungut dengan tarif lebih tinggi
karena tidak berNPWP, dapat
dikreditkan terhadap PPh yang
terutang untuk tahun pajak yang
bersangkutan setelah Wajib Pajak
tersebut memiliki NPWP
www.DudiWahyudi.com
44. Contoh Pengkreditan Pemotongan
PPh Dengan Tarif Lebih Tinggi
www.DudiWahyudi.com
Tuan A, belum memiliki NPWP, memperoleh penghasilan
sebesar Rp20.000.000,00 sehubungan dengan jasa
konsultasi yang dilakukannya pada tahun 2009.
Oleh karena Tuan A belum berNPWP, atas penghasilan
tersebut dipotong PPh Pasal 21 oleh pemberi penghasilan
dengan tarif lebih tinggi 20%, sehingga PPh Pasal 21 yang
dipotong adalah Rp 1.200.000,00 (5% x 120% x
Rp20.000.000,00)
Pada tahun 2011, Tuan A mendaftarkan dirinya untuk
mendapatkan NPWP dan melaporkan SPT Tahunan PPh
Tahun Pajak 2009 dan 2010.
Atas kredit pajak sebesar Rp1.200.000,00 yang dipotong
pada tahun 2009 tersebut, Tuan A hanya dapat
mengkreditkannya dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak
2009
45. Pasdsl 21 : Pembebasan
Pemotongan
Pemungutan PPh
WP yang dalam tahun pajak berjalan dapat
membuktikan tidak akan terutang PPh karena:
mengalami kerugian fiskal;
berhak kompensasi kerugian fiskal; atau
PPh yang telah dibayar lebih besar dari Pajak
PPh yang akan terutang,
dapat mengajukan permohonan pembebasan
pemotongan /pemungutan PPh kepada Dirjen
Pajak
www.DudiWahyudi.com
46. Pasdsl 21 : Pembebasan
Pemotongan
Pemungutan PPh
Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya
dikenakan pajak bersifat final, dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari
pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang
dapat dikreditkan kepada Dirjen Pajak
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengajuan permohonan pembebasan dari
pemotongan /pemungutan PPh diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
www.DudiWahyudi.com
47. Pasal 22 : Kompensasi Rugi
BUT
Dalam menghitung PPh Pasal 26 ayat (4),
terhadap BUT yang terutang PPh pada suatu
tahun pajak, kerugian fiskal tidak dapat
dikompensasikan lagi dengan Penghasilan
Kena Pajak setelah dikurangi dengan PPh
www.DudiWahyudi.com
48. Pasal 23 : Pembayaran PPh Pasal
26 Ayat (4) BUT
PPh terutang dari Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT harus
dibayar lunas sebelum SPT Tahunan PPh
disampaikan.
Dalam hal WP BUT memperpanjang jangka
waktu penyampaian SPT Tahunan PPh, PPh
terutang berdasarkan penghitungan
sementara harus dibayar lunas sebelum
penyampaian pemberitahuan perpanjangan
jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh
www.DudiWahyudi.com
49. Pasal 24 : Penerapan P3B
P3B hanya berlaku bagi orang pribadi atau
badan yang merupakan Subjek Pajak:
dalam negeri dari Indonesia, dan/atau
dari negara mitra
yang dibuktikan dengan Surat Keterangan
Domisili (SKD)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penerapan P3B diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak
www.DudiWahyudi.com
50. Surat Keterangan Domisili
Penjelasan Pasal 24 Ayat (1)
www.DudiWahyudi.com
surat keterangan yang diterbitkan dan/atau
disahkan oleh :
pejabat yang berwenang di bidang perpajakan
(Competent Authority) atau
pejabat yang ditunjuk berdasarkan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda
51. Pasal 25 : EOI, MAP, Bantuan
Penagihan
Dirjen Pajak dapat melaksanakan
kesepakatan dengan negara mitra dalam
rangka pertukaran informasi, prosedur
persetujuan bersama, dan bantuan
penagihan
Ketentuan lebih lanjut diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
PER-41/PJ/2011 EOI
PER-48/PJ/2010 MAP
www.DudiWahyudi.com
52. Pasal 26 : Hubungan Ketentuan Perjanjian
Internasional dan Ketentuan
Domestik
Dalam ketentuan perpajakan dalam perjanjian
internasional berbeda dengan ketentuan UU PPh,
perlakuan perpajakannya didasarkan pada
ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai
dengan berakhirnya perjanjian dimaksud, dengan
syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan
Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional
(UU No. 24 Tahun 2000)
Pelaksanaan perlakuan perpajakan tsb dilakukan
setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan
Ketentuan lebih diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan
www.DudiWahyudi.com
53. Pasal 27 : Pembukuan Terpisah
WP harus menyelenggarakan pembukuan
secara terpisah dalam hal:
memiliki usaha yang penghasilannya dikenai PPh
final dan tidak final;
menerima atau memperoleh penghasilan yang
merupakan objek pajak dan bukan objek pajak;
atau
mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas
perpajakan di bidang Pajak Penghasilan
Biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan,
pembebanannya dialokasikan secara
proporsional www.DudiWahyudi.com
54. Pasal 28 : Perubahan Tahun
Buku
Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun
buku dan telah mendapat persetujuan Dirjen
Pajak, harus melaporkan penghasilan yang
diterima atau diperoleh dalam bagian tahun buku
yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru
dalam SPT Tahunan tersendiri untuk Bagian
Tahun Pajak yang bersangkutan
Sisa rugi fiskal yang masih dapat
dikompensasikan yang berasal dari tahun-tahun
pajak sebelum perubahan tahun buku dapat
dikompensasikan dengan penghasilan untuk
Bagian Tahun Pajak dan Tahun Pajak berikutnya
www.DudiWahyudi.com
55. Perubahan Tahun Buku
Penjelasan Pasal 28 Ayat (1)
www.DudiWahyudi.com
Wajib Pajak dengan tahun buku dari 1 Juli 2009
sampai dengan 30 Juni 2010 (tahun buku 2009)
melakukan perubahan tahun bukunya yang telah
disetujui Direktur Jenderal Pajak menjadi 1
Oktober 2009 sampai dengan 30 September 2010
(tahun buku 2010).
Dalam hal ini, penghasilan yang diterima atau
diperoleh sejak 1 Juli 2010 sampai dengan 30
September 2010 harus dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
2010 tersendiri
56. Contoh Kompensasi Rugi
Penjelasan Pasal 28 Ayat (2)
www.DudiWahyudi.com
Tahun buku PT X adalah Oktober sampai dengan September.
PT X berencana mengubah tahun buku menjadi Januari
sampai dengan Desember mulai Tahun Pajak 2010. PT X
memiliki rugi fiskal yang berasal dari Tahun Pajak 2007.
Untuk sisa rugi fiskal Tahun Pajak 2007 (Oktober 2006
sampai dengan September 2007) dapat dikompensasikan
dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-
turut sampai dengan 5 (lima) tahun, yaitu mulai Tahun Pajak
2008 sampai dengan 2011 sebagai berikut:
Tahun Pajak I : 2008 (Oktober 2007 sampai dengan September
2008)
Tahun Pajak II : 2009 (Oktober 2008 sampai dengan September
2009)
Tahun Pajak III : Bagian Tahun Pajak 2009 (Oktober 2009
sampai dengan dengan Desember 2009)
Tahun Pajak IV : 2010 (Januari 2010 sampai dengan Desember
2010)
Tahun Pajak V : 2011 (Januari 2011 sampai dengan Desember
57. Pasal 29 dan 30 : Fasilitas PPh
Kepada WP yang melakukan penanaman modal baru
dalam industri pionir, yang tidak mendapatkan fasilitas
Pasal 31A UU PPh dapat diberikan fasilitas
pembebasan atau pengurangan PPh badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal
Industri adalah industri yang memiliki keterkaitan yang
luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang
tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki
nilai strategis bagi perekonomian nasional
Ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan www.DudiWahyudi.com