1. Sistem Pelayanan Kesehatan di Perancis
Sistem perawatan kesehatan Perancis menempati peringkat pertama di dunia oleh
World Health Organisation tahun 1997. Dibebaskan dari biaya untuk orang yang mengalami
penyakit kronis (Affections de longues durées) seperti kanker, AIDS atau Cystic Fibrosis.
Harapan hidup rata-rata setelah kelahiran adalah 79.73 tahun.
Tahun 2003, terdapat sekitar 120.000 orang di Perancis yang hidup dengan AIDS
Perancis, sebagaimana negara UE lainnya, berada dalam pengarahan UE untuk mengurangi
limbah bawah tanah di wilayah sensitif. Tahun 2006, Perancis baru 40% melaksanakan
pengarahan ini, menempatkannya sebagai salah satu negara dengan jumlah limbah
terendah di dalam UE karena memenuhi standar pengolahan limbah.
Kematian Chantal Sébire membangkitkan kembali debat terhadap eutanasia di
Perancis. Dilaporkan pada tanggal 21 Maret 2008. (Wikipedia)
Pada tahun 2000, WHO memberikan peringkat pertama pada Perancis dalam hal
memberikan perawatan kesehatan yang terbaik secara keseluruhan kepada warga
negaranya. Warga negara Prancis menikmati perawatan kesehatan universal yang didanai
oleh pemerintah melalui pajak penghasilan. Sekitar 75% dari biaya kesehatan ditanggung
oleh pemerintah. Selain itu, ada fasilitas perawatan swasta yang memungkinkan warga
untuk menerima prosedur bedah dengan biaya tambahan. Fasilitas ini adalah opsional dan
dimaksudkan untuk mereka yang memiliki uang. Harga yang ditetapkan oleh dokter swasta
sudah ditetapkan pemerintah. Secara keseluruhan ada 3,37 dokter per 1000 orang.
Sistem pelayanan kesehatan yang lengkap dengan akses yang mudah merupakan
salah satu persyaratan tak tertulis bagi sebuah negara maju, dan pemberian asuransi
kesehatan (askes) juga merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan yang baik dan
modern. Dan negara-negara berkembang banyak mencontoh baik seluruh maupun hanya
sebagian dari sistem pelayanan kesehatan disuatu negara maju. Misalnya, di negara dunia
ketiga seperti republik kita Indonesia, telah memiliki pelbagai infrastruktur pelayanan
kesehatan yang tergolong modern untuk sebuah negara berkembang. Rumah sakit yang
bagus banyak tersebar dipenjuru kota. Pelayanan kesehatan berupa akses dan obat-obat
2. generik tak lupa diberikan sebagai bagian dari pelayanan kesehatan yang baik. Namun
sayangnya hanya mereka yang memiliki akses saja yang bisa menggunakannya.
Bicara tentang pelayanan kesehatan, Indonesia bisa dikatakan mengikuti banyak
kebijakan-kebijakan yang dianut oleh sesama negara demokrasi lainnya. Katakanlah Amerika
Serikat, negara maju dengan sistem pelayanan kesehatan mutakhir yang memiliki banyak
sekali persamaan dalam penerapan kebijakan pelayanan kesehatannya. Misalnya saja, tidak
ada pelayanan kesehatan yang gratis, akses hanya bisa diberikan kepada mereka yang
terdaftar, masalah administrasi harus diselesaikan sebelum pasien bisa berobat (kecuali
gawat darurat), penggelembungan harga obat (baik yang generik maupun yang nongenerik), kebijakan pemindahan perawatan bagi pasien yang tidak mampu membayar
pengobatan, dan berbagai kebijakan lainnya yang ternyata tidak berpihak kepada
kebanyakan masyarakat Indonesia yang tergolong tidak mampu (atau kurang mampu).
Anehnya, sebagai sesama negara penganut demokrasi liberal, Perancis sangat
bertolak belakang dengan Amerika. Disana pelayanan kesehatannya sangatlah murah
bahkan bila pasien hanya ingin berkonsultasi dengan dokternya mengenai penyakit apa yang
mungkin menimpanya, mereka tidaklah dipungut biaya sama sekali. Ada pula kebijakan
pelayanan kesehatan selama 24 jam yang memungkinkan seseorang memesan obat dari
suatu resep ke rumah sakit lalu pihak rumah sakit langsung mengirimkan dokternya beserta
perawat dan dua orang petugas rumah sakit untuk mengantarkan pesanan. Mereka
memiliki standar operasional prosedur tentang waktu pengantaran berbanding dengan jarak
pengiriman, sehingga orang yang memesan tidak perlu menunggu lama, hebatnya lagi,
harga yang harus dibayarkan hanya untuk pembelian obatnya saja! Tidak ada biaya lain yang
dikenakan oleh pihak rumah sakit!
Di Perancis, Anda dilindungi, titik. Itu tidak tergantung pada pekerjaan, tidak
tergantung pada organisasi pemeliharaan kesehatan, dan hal itu tidak tergantung pada
apakah Anda mengisi formulir dengan benar. Di bawah peraturan baru (prosedur konsultasi
yang dikoordinasikan [dalam bahasa Prancis, parcours de soins coordonné]) Dokter umum (
“médecin généraliste” atau “Docteur”) lebih diharapkan untuk bertindak sebagai “penjaga
pintu gerbang” yang merujuk pasien ke dokter spesialis atau rumah sakit.
Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara berkembang yang besar seharusnya bisa
melihat bahwa Amerika bukanlah contoh yang baik bagi pelayanan kesehatan karena sangat
banyak kasus-kasus kriminal dalam bidang kesehatan yang menyangkut dengan hak seorang
3. warga negara untuk tetap sehat dan mendapatkan pelayanan kesehatan mereka. Menurut
saya ini tidak manusiawi, banyak sekali relawan-relawan peristiwa 9/11 yang sakit dan tidak
mendapat perhatian dari pemerintah Amerika sendiri. Mereka bahkan ada yang ditahan
karena dicuriugai menipu pemerintah dan mengambil keuntungan dari pelayanan kesehatan
gratis, padahal mereka jelas-jelas terdaftar pada satuan relawan dan palang merah swadaya
yang izinnya diberikan langsung oleh Presiden tepat dua hari paska 9/11. Mereka yang tidak
menerima perlakuan ini, bersama Michael Moore, menyadari bahwa sistem pelayanan
kesehatan di Amerika (dan negara lain seperti Indonesia) memiliki tendensi pada modal dan
ekonomi. Sistem kesehatan telah menjadi instrumen ekonomis untuk ikut menentukan
pendapatan per-kapita sehingga tendensi utama suatu rumah sakit adalah meningkatkan
keuntungan yang diperoleh dan bukan menyembuhkan orang sakit atau membantu mereka
yang membutuhkannya.
Angka kematian bayi di Perancis adalah 3,9 per 1.000 kelahiran hidup, dibandingkan
dengan 7 di AS, dan rata-rata harapan hidup 79,4 tahun, dua tahun lebih daripada di
Amerika. Negara ini jauh lebih banyak tempat tidur rumah sakit dan dokter per kapita
dibanding Amerika, dan jauh lebih rendah tingkat kematian akibat diabetes dan penyakit
jantung. Baru-baru ini dalam peringkat pelayanan kesehatan di WHO, Perancis diurutan
pertama, sementara Amerika mencetak gol 37, sedikit lebih baik daripada Kuba dan satu
tingkat di atas Slovenia.
Dibagian pelayanan kesehatan ibu dan anak, pemerintah Perancis menyediakan
tenaga asisten rumah-tangga secara cuma-cuma bagi ibu-ibu yang bekerja diinstansi
pemerintah, ibu-ibu yang suaminya bekerja pada pemerintah dan mereka yang tercatat
sebagai warga, negara yang baru saja melahirkan bayi dimana tidak ada orang untuk
merawat sang bayi pada waktu tertentu. Jadi bagi mereka yang baru saja melahirkan dapat
merasa tenang meninggalkan rumah untuk bekerja. Lagipula, bila sang ibu adalah pegawai
pemerintah maka ada pemotongan jam kerja sekitar sepertiga dari jam seharusnya tanpa
pemotongan gaji atau upah. Ini sangatlah manusiawi mengingat peran ibu dalam lingkup
keluarga dan pekerjaannya yang tidak bisa mereka tinggalkan. Karena itu kebijakan
pemerintah Perancis dinilai sangat melindungi warga negaranya.
Sedangkan Indonesia, dengan rumah sakitnya yang besar (yang hanya terpusat
dikota saja) dan kemegahan serta kemewahan gaya hidup dokternya, ternyata sama saja
dengan Amerika yang keuntungan finansialnya melandasi pelayanan kesehatan mereka.
4. Contohnya, seorang nelayan Tegal yang tidak memiliki biaya berobat terpaksa gantung diri
karena saat Puskesmas desa merujuknya kerumah sakit kota, ternyata rumah sakit yang
dituju malah menolak dan mengirimkannya kembali ke Puskesmas asal hanya karena alasan
sepele, tidak memilki akses dan kekurangan biaya administrasi!
Menurut saya tindakan ini konyol sekali mengingat hidup manusia terjadi diatas
tanah bukan diatas kertas! Di Perancis (negara maju) dan Kuba (negara berkembang, sama
seperti kita), pasien hanya ditanyai nama dan tanggal lahir sebelum mereka mendapat
nomor antrian, bahkan di Kuba, bila pasien tidak memiliki biaya transportasi untuk pulang
kerumah maka pihak rumah sakit akan menyediakan uang atau mengantarkannya bila ada
kendaraan dan petugas yang sedang ‘nganggur’.
Seharusnya pemerintah kita mengubah atau bahkan merombak sistem pelayanan
kesehatan Indonesia yang berpihak pada mereka yang ‘berduit’ ini. Kita bisa meneladani
banyak hal dari Kuba, sesama negara berkembang yang pelayanan kesehatannya terlengkap
di dunia, agar dapat seperti atau bahkan melampaui Perancis, negara maju dengan sistem
pelayanan yang sangatlah manusiawi dan merakyat. Karena menjadi sehat adalah hak setiap
manusia, setiap warga negara. Maka pemerintah sebagai orang yang telah kita percayai
seharusnya bisa melindungi kita dengan kebijakan pelayanan kesehatan yang merakyat dan
murah, dimana pemberian akses yang mudah lumrah, dimana kemudahan mengakses
pelayanan kesehatan seharusnya berlandaskan kemanusiaan yang adil dan beradab
bukannya keuntungan, dimana pemerintah seharusnya memberikan kesempatan yang sama
kepada setiap warga negara yang membutuhkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu
perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengingat ideologi Indonesia
yaitu Pancasila, yang sangatlah kerakyatan dan merakyat. Keniscayaan pemerintah kita
seharusnya dipertanyakan, sudahkah mereka menerapkan ideologi Pancasila dalam
mengambil setiap kebijakan yang menyangkut kehidupan rakyat?
MESKI telah tercantum sebagai sila kelima dalam dasar negara selama 58 tahun,
keadilan sosial bagi penduduk Indonesia masih jauh dari harapan. Yang terjadi justru
kesenjangan sosial yang makin tajam. Sebagian penduduk tinggal di perumahan tak layak
huni, hidup di bawah garis kemiskinan serta tak mempunyai akses pada pendidikan dan
5. pekerjaan yang layak. Bukan karena tak berusaha, melainkan tak mempunyai kesempatan
yang sama.
SYUKURLAH walau masih di atas kertas, pemerintah telah memulai implementasi
keadilan sosial. Dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 2 dinyatakan
"Negara mengembangkan jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".
Tahun 2002 dibentuk Gugus Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di bawah
Kantor Wakil Presiden RI. Saat ini konsep SJSN telah disosialisasikan ke pelbagai pihak dan
draf Rancangan Undang-Undang SJSN masuk tahap final sebelum diajukan ke DPR. Upaya ini
perlu didukung masyarakat agar seluruh penduduk Indonesia menikmati keadilan sosial.
Rujukan sistem jaminan sosial di antaranya adalah negara-negara Eropa, termasuk Perancis.
Negara ini dalam laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2000 menduduki
peringkat pertama dari 191 negara anggota WHO dalam memberikan pelayanan kesehatan
secara menyeluruh kepada penduduknya.
Di negara itu, seperti dituturkan salah seorang penduduk Paris, Danielle-yang duduk
sederet dengan Kompas dalam penerbangan ke Paris-segala aspek kebutuhan penduduk
dicukupi lewat sistem jaminan sosial. Dari urusan kesehatan, bantuan pemeliharaan anak,
biaya sekolah, perumahan, tunjangan kecelakaan kerja dan kecacatan, pensiun, tunjangan
saat kehilangan kerja, sampai pelatihan agar mendapat pekerjaan.
"Sistem jaminan sosial termasuk asuransi kesehatan di Perancis sangat baik. Namun,
peningkatan jumlah penduduk menyebabkan keuangan sistem jaminan sosial ini terganggu
sehingga pemerintah membuat pelbagai perubahan," cerita Danielle.
Dalam membangun dan menerapkan suatu sistem jaminan sosial, demikian Direktur
Dana Jaminan Sosial bagi Pekerja Tambang Perancis (Social Security Fund for the
Miners/CANSSM) Christian Rollet, memang terdapat pelbagai tantangan dan kesulitan,
selain makan waktu dan biaya.
"Namun, masalah akan makin banyak jika sistem jaminan sosial tak segera
dikembangkan. Jaminan sosial membantu masyarakat menghadapi risiko serta merupakan
cara membangun sosial dan ekonomi masyarakat," ujar Rollet yang menjadi konsultan Uni
Eropa bagi pengembangan SJSN.
Menurut Rollet, jaminan sosial merupakan faktor kunci pembangunan ekonomi dan
sumber daya manusia. Pekerja yang terjamin kesehatannya akan lebih produktif dan risiko
6. sosial dapat dicegah atau dikompensasi. Mekanisme redistribusi pendapatan menjamin
jalannya perekonomian sementara biaya kesehatan bisa meningkatkan pendapatan tenaga
kesehatan dan kesehatan industri.
SEBAGAIMANA negara Eropa Barat lain, sejarah perkembangan sistem jaminan sosial
termasuk asuransi sosial kesehatan di Perancis telah berlangsung lebih dari 100 tahun.
Perkembangannya kemudian diwarnai pelbagai faktor sosial, ekonomi dan politik, termasuk
sistem yang berkembang di negara tetangganya, Jerman dan Inggris. Saat wilayah AlsaceLorraine-yang semula dicaplok Jerman, kembali ke Perancis seusai Perang Dunia I- misalnya,
di wilayah itu telah ada sistem jaminan sosial yang dikembangkan Kanselir Jerman Otto von
Bismarck.
Seperti dipaparkan dalam buku Sistem Jaminan Sosial di Perancis yang diterbitkan
Badan Koordinasi dan Pembangunan Hubungan Internasional (Adecri) Perancis, sistem
bantuan sosial mulai berkembang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 berbasis kontribusi
sukarela dari para pekerja.
Sistem yang dikembangkan Jerman dan dibawa Alsace-Lorraine saat bergabung
kembali dengan Perancis mempercepat perkembangan sistem jaminan sosial di Perancis.
Lewat perdebatan panjang, skema asuransi diluncurkan lewat undang-undang di tahun 1930
untuk melindungi pekerja di bidang perdagangan dan industri terhadap masalah keuangan
sebagai akibat sakit, kehamilan dan persalinan, kecacatan, serta masa tua dan kematian.
Pendanaan berdasar asas solidaritas lewat kontribusi pemberi dan penerima kerja.
Sistem jaminan sosial yang komprehensif untuk melindungi seluruh penduduk
berkembang pesat setelah Perang Dunia II. Tahun 1945 disusun skema umum (Regime
General) dengan misi mempercepat cakupan jaminan sosial bagi seluruh penduduk. Ada
upaya untuk menyatukan pelbagai dana jaminan sosial.
"Namun, serikat pekerja sektor swasta keberatan mengalami penurunan manfaat
jika disatukan. Sebaliknya, para pekerja independen seperti seniman dan pedagang juga
keberatan jika dikelompokkan bersama para pekerja bergaji tetap, khawatir dengan
besarnya premi yang harus dibayar," tutur Rollet.
Karena itu, di Perancis ada tiga badan utama yang mengelola sistem jaminan sosial,
yaitu Regime General yang mencakup para pekerja swasta (kini diperluas bagi pegawai
negeri, mahasiswa, veteran perang, serta penduduk yang mendapat bantuan dari
pemerintah); Dana bagi Pekerja Pertanian (MSA); dan Dana bagi Pekerja Independen
7. (CANAM). Selain itu, ada sejumlah badan pengelola dana khusus antara lain untuk pekerja
tambang (CANSSM), pekerja kereta api (SNCF), industri gas dan listrik (EDF), transportasi
publik Paris (RATP), pelaut, dan Bank Perancis.
Sistem jaminan sosial di Perancis diperluas secara bertahap. Kalau semula difokuskan
pada jaminan kesehatan, tunjangan kecelakaan kerja, dan pensiun, kemudian ditingkatkan
pada pelbagai bentuk tunjangan dan bantuan untuk keluarga serta jaringan pengaman bagi
penduduk yang memiliki pendapatan di bawah minimum serta mereka yang kehilangan
pekerjaan.
Tahun 1978, seluruh penduduk Perancis mendapat tunjangan keluarga dari dana
nasional untuk program tunjangan keluarga (CNAF) yang dikelola Regime General tanpa
syarat apa pun. Sementara itu, program pensiun menjamin pendapatan minimum di masa
tua bagi penduduk yang hanya memberi kontribusi kecil, bahkan yang tidak berkontribusi.
Asuransi kesehatan juga diperluas lewat cakupan kesehatan universal (CMU) hingga
mencakup seluruh penduduk, termasuk mereka yang tidak bekerja. Dalam hal ini
pemerintah memberi subsidi yang ditetapkan tiap tahun oleh parlemen. Dengan demikian,
seluruh penduduk Perancis mendapat jaminan sejak lahir sampai meninggal untuk hidup
layak.
Seiring perkembangan demografi terjadi ketidakseimbangan neraca keuangan.
Maka, dilakukan sejumlah perubahan. Salah satunya, premi asuransi yang dibayar bersama
oleh pemberi kerja (employer) dan penerima kerja (employee) tidak hanya berdasarkan gaji,
tetapi berdasarkan seluruh pendapatan (gaji, bonus, uang lembur, dan sebagainya).
Persentase kontribusi antara pemberi dan penerima kerja berbeda-beda untuk tiap skema
jaminan (tunjangan kesehatan, kehilangan pekerjaan, janda, keluarga, pensiun, dan
sebagainya).
"Dana jaminan sosial untuk tiap skema dikelola badan yang independen, dijalankan
oleh dewan yang merupakan perwakilan pemberi dan penerima kerja. Ada pengawasan dari
pemerintah agar tidak terjadi penyimpangan peraturan, tapi tidak ada intervensi dalam
kebijakan," tutur Rollet.
DI bidang kesehatan, penduduk Perancis telah menikmati akses luas dan adil
terhadap pelayanan kesehatan. Berbeda dengan Jerman atau Inggris, di Perancis tak
diterapkan sistem rujukan, sehingga pasien boleh memilih pergi ke dokter manapun, juga
langsung ke dokter spesialis tanpa lewat dokter keluarga atau dokter umum.
8. Hal ini mengakibatkan biaya perawatan kesehatan membengkak. Untuk menjaga
agar asuransi tak mengalami kesulitan keuangan, ada komite yang membuat perkiraan biaya
dan penerimaan untuk menjamin keseimbangan neraca keuangan.
Pengaturan hanya dilakukan antara perwakilan asuransi sosial kesehatan dan
perwakilan organisasi profesi (dokter, tenaga kesehatan lain dan apotek) serta asosiasi
rumah sakit dalam membuat kesepakatan mengenai biaya pemeriksaan dan perawatan
pasien tiap kunjungan, serta harga obat yang masuk daftar obat esensial, sehingga semua
asuransi sama harganya.
Umumnya pasien membayar langsung (fee for service) ke penyedia pelayanan
kesehatan. Dokter praktik swasta atau administrasi rumah sakit memasukkan data nomor
kartu jaminan sosial pasien ke komputer badan pengelola asuransi, kemudian pihak asuransi
mengirim penggantian ke rekening bank pasien.
Penggantian biaya rawat jalan umumnya tidak 100 persen, ada iur biaya (copayment) dari peserta asuransi. Penggantian bervariasi tergantung jenis pelayanan
kesehatan, misalnya dokter umum, spesialis, dan dokter gigi 70 persen, tenaga kesehatan
lain 60 persen, pembelian lensa kacamata 65 persen. Untuk pengambilan obat, pasien tak
perlu keluar uang, cukup menunjukkan kartu jaminan sosial. Kecuali obat yang belum masuk
daftar asuransi, penggantiannya 35-65 persen.
Untuk rawat inap di rumah sakit, pasien membayar sekitar 10 Euro per hari untuk
kamar dan makanan. Adapun untuk obat, perawatan dokter, atau biaya operasi, pasien
tidak perlu membayar.
Rumah sakit di Perancis, seperti Hopital Saint Antoine-salah satu rumah sakit publik
yang terbesar di Paris-tampak nyaman dengan taman di antara blok bangunan. Bangunan
tua itu di dalamnya telah dipermodern, bersih, dan tak berbau obat.
Menurut Direktur RS St Antoine Chantal de Singly yang didampingi Kepala Perawat
Felix Perro, umumnya pasien dirawat dalam kamar tersendiri maksimal dua pasien per
kamar. "Rumah sakit di Perancis tak mengenal kelas kamar. Semua pasien fasilitasnya sama.
Yang membedakan antara peserta asuransi biasa dengan swasta, yang membayar lebih,
hanyalah pasien boleh memilih dokter," jelas De Singly.
Fasilitas standar kamar perawatan terdiri dari tempat tidur mekanis yang bisa
disesuaikan dengan keperluan. Bagian kepala tempat tidur dilengkapi monitor serta alat
9. bantu napas dan peralatan lain. Setiap kamar dilengkapi kursi pengunjung, meja, lemari, TV,
serta kamar mandi.
Di Perancis kebanyakan dokter, umum maupun spesialis, berpraktik swasta. Untuk
bekerja di rumah sakit prosedurnya berat, lewat tes ketat. Umumnya yang diterima adalah
dokter spesialis. Dokter umum berpraktik swasta atau di klinik kesehatan. Untuk mengikuti
perkembangan teknologi kedokteran, dokter swasta berpraktik paruh waktu di rumah sakit
pendidikan serta mengikuti pelatihan berkesinambungan.
"Masalah pelayanan kesehatan di Perancis adalah tidak ada sistem rujukan. Pasien
boleh datang ke dokter umum, dokter spesialis atau langsung ke unit gawat darurat di
rumah sakit. Kadang-kadang unit gawat darurat kebanjiran pasien, terutama di malam hari,
akhir pekan atau masa liburan, karena dokter praktik swasta berlibur. Hal ini pula yang
terjadi pada masa gelombang panas awal bulan Agustus lalu," papar De Singly.
Menurut Rollet, asuransi kesehatan berlaku di seluruh negara, bahkan di negaranegara Eropa Barat. Di luar itu orang harus mengisi formulir agar biaya kesehatan diganti.
Begitu pula sebaliknya, penduduk negara Eropa lain jika sakit dan berobat di Perancis akan
mendapat ganti dari asuransi mereka.
Diakuinya, penyebaran tenaga kesehatan terutama dokter tidak merata, karena
dokter bebas memilih tempat praktik. Ada daerah yang punya banyak dokter, tetapi ada
wilayah yang sangat kekurangan. Namun, secara umum jumlah dokter cukup. Yang kurang
adalah jumlah perawat, jadi Perancis harus merekrut dari Spanyol dan negara lain.
Untuk menjamin kualitas pelayanan rumah sakit ada badan akreditasi, sedangkan
untuk dokter belum ada. Jika ada keluhan, pasien bisa mengadu ke badan penjamin standar
pelayanan dokter (Ordre des medecins) yang kemudian memeriksa masalahnya. Dokter
yang terbukti bersalah akan diskors.
Dengan pelbagai jaminan itu, di luar kelemahan yang ada, Perancis menduduki
peringkat pertama dalam hal kinerja sistem kesehatan. Bukan tak mungkin Indonesia
mencapai hal itu. Tentu saja perlu waktu serta kemauan kuat dari seluruh pihak untuk
memulai dan melaksanakan sistem jaminan sosial.