1. Produk fiqih Syiah Zaidiyah dan Isna'Asyariyah berbeda dari Sunni karena perbedaan konsep ijtihad dan sumber hukum mereka. Isna'Asyariyah memperbolehkan nikah mut'ah dan mengikuti fatwa para Imam.
2. Isna'Asyariyah memiliki empat tingkatan mujtahid dan mengikuti satu marja' taqlid. Mereka hanya menerima tafsir Al-Quran versi Ali bin Abi Thalib.
3.
Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptx
Ijtihad dan Produk Fiqih Syiah
1. 1
Ijtihad dan Produk Fiqih di dalam Syiah1
Oleh: Fadh Ahmad Arifan2
Pendahuluan
Meski beda Akidah dan tidak dianggap bagian dari Umat Islam, kalangan Syiah tetap
ngotot menganggap dirinya bagian dari umat. Mereka punya amaliah/ritual yang
seluruhnya didasarkan pada formulasi fiqih versi Mereka. Dari jenjang sekolah menengah
hingga Perguruan tinggi, jarang mengulas bagaimana formulasi nalar fiqih versi Syiah.
Rata-rata fokus utamanya berkisar di pandangan politik, teori filsafat dan aspek
teologinya. Oleh karena itu, yang menjadi fokus utama dalam kajian ini adalah bagaimana
konsep ijtihad, taqlid serta produk fiqih yang dihasilkan oleh kalangan Syiah Zaidiyah
maupun Isna „Asyariyah (Imamiyah).
Formulasi Ijtihad
Bagi Syiah Isna „Asyariah, berijtihad itu wajib kifayah. Gerakan Ijtihad di kalangan
Syiah dimaksudkan untuk melindungi doktrin Imamah. Sementara itu, Kedudukan
Mujtahid yakni sebagai Na’ib al-Imam (wakil Imam al-Ghaib).3
Di kalangan Syiah hanya
dikenal empat Mujtahid, yakni:
Mujtahid mutlak
Mujtahid fi al-furu’ (orang yang hanya punya otoritas melakukan ijtihad dalam
persoalan furu‟ dan tidak bisa melepaskan diri dari kerangka ijtihad Mujtahid
mutlak)
Mujtahid Mukharij (orang yang dibolehkan mengeluarkan pendapat pribadi
berdasar pendapat yang terkuat)
1
Artikel telah dimuat di website www.syiahindonesia.com
2
Penulis adalah alumni S2 Studi Islam di UIN Maliki Malang
3
Mohammad Baharun, Ijtihad dalam Perspektif Ulama Syiah Isna ‘Asyariyah, Jurnal Ulul albab, Vol 8 No 1
tahun 2007, hal 34
2. 2
Mukharij, yakni orang yang hanya dibolehkan memilih pendapat yang terkuat
serta tidak boleh mengeluarkan pendapat pribadi.4
Apabila seseorang itu tidak memenuhi kriteria sebagai Mujtahid, maka yang
bersangkutan dianjurkan taqlid. Para ahli hukum yang dijadikan tempat rujukan taqlid oleh
orang awam disebut dengan Marja’ taqlid (tempat yang berisi para Ayatullah yang
dijadikan rujukan bertaqlid). Marja’ taqlid muncul pada pertengahan abad ke 19 M,
digagas oleh Syekh Murtadha anshari. Marja‟ taqlid ini pada dasarnya tidak dikenal dalam
doktrin Syiah klasik.5
Dalam berijtihad, ulama Syiah Isna „Asyariyah merujuk pada sumber Hukum. Sumber
hukum versi mereka diantaranya, al-Quran, Sunnah, Ijma‟ dan Akal.6
Sementara di
kalangan Zaidiyah, sistematika sumber hukumnya adalah Ijma, Nash al-Quran dan
Sunnah, Qiyas dan Ijtihad lainnya: Istihsan, Maslahah mursalah dan Istihsab.
Al-Quran yang dipahami Syiah berbeda dengan versi Ahlu sunnah. Di kalangan Isna
„Asyariyah, al-Quran itu berjumlah 17 ribu ayat. Mereka hanya mengakui al-Quran yang
dikodifikasi oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka hanya menerima
penafsiran/pemahaman al-Quran yang diberikan oleh Ali bin Abi thalib dan para Imam
Maksum yang berasal dari keluarga Ahl bait.7
Terkait sunnah, sunnah yang dimaksud ialah sunnah para Imam Ahl bait. Ia memiliki
validitas yang sama dengan Sunnah Rasulullah saw berdasarkan kemaksuman mereka.8
Pengamalan Sunnah di Isna „Asyariyah merujuk pada 4 kitab yaitu al-Kafi karangan
Muhammad bin Ya‟qub al-Kulani, Man La Yahduruhu al-faqih karangan Abu Jakfar
Muhammad, al-Tahzib dan al-Ibtishar. Dua kitab terakhir ini karangannya Muhammad
bin Hasan at-Tusi.
Ada hal-hal yang dianggap bukan tergolong lapangan ijtihad. Di dalam Syiah Isna
„Asyariyah, materi-materi Imamah, Ismah (kemaksuman), Taqiyah, Marja’iyat at-taqlid,
4
Nina M. Armando (ed), Ensiklopedi Islam: Edisi baru, jilid 3 (PT Ichtiar baru Van Houve, 2005), hal 271
5
Mohammad baharun, Epistemologi Antagonisme Syiah, (Malang: Pustaka bayan, 2004), hal 102
6
Mohammad Baharun, 2007, hal 34
7
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, (UIN Jakarta Press, 2006), hal 238
8
Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan 5 Mazhab, jilid 3, (Pustaka cahaya, 2008), hal 51
3. 3
Wilayat al-faqih sebagai suatu keniscayaan yang masuk wilayah Qat‟iyat. Bagi Ahlu
Sunnah, semua kategori itu masuk ke dalam dimensi Zanniyat.9
Produk fiqih
Dari konsep ijtihad, macam-macam Mujtahid dan persoalan taqlid diatas, baik Zaidiyah
maupun Isna „Asyariyah menghasilkan produk fiqih yang berbeda. Misalnya bila Zaidiyah
mengharamkan Nikah mut‟ah, maka ulama Isna „Asyariyah masih membolehkan hal itu.
Di dalam Syiah Isna „Asyariyah bisa ditemukan pendapat/fatwa mereka tentang Waris,
Menurut ulama mereka, seorang Muslim berhak Mewarisi kerabatnya yang non Muslim.
Tapi non Muslim tidak berhak mewarisi kerabat muslimnya.10
Yang seperti ini jelas
berlawanan dengan sabda Rasulullah saw, “Orang muslim tak mewarisi orang kafir, dan
orang kafir tak mewarisi orang muslim” (HR. Abu Dawud).
Selanjutnya perlu mengenal pendapat fiqih di kalangan Syiah Zaidiyah. Zaidiyah
dipandang sebagai kelompok yang moderat dan pemahaman fiqihnya cukup dekat dengan
Ahlu sunnah (sunni). Diantara pendapat fiqihnya: Haramnya memakan hasil sembelihan
non Muslim, Haramnya menikahi perempuan ahl Kitab dan Pembatasan pemberian hibah
yakni 1/3 harta benda.11
Kesimpulan
Bila ditarik sebuah kesimpulan, nampak jelas kalangan Syiah terutama Isna „Asyariyah
memiliki formulasi nalar fiqih yang berbeda dibandingkan dengan Zaidiyah maupun
kalangan Ahlu sunnah. Yang menjadi ciri khas dari Isna „Asyariyah adalah pandangan
mereka tentang kebolehan nikah Mut‟ah serta ketergantungan mereka kepada para Imam
yang dianggap maksum.
Di dalam Isna „Asyariyah sepertinya tidak dijumpai konsep ganjaran pahala ketika
berijtihad. Di Ahlu sunnah sudah lazim dikenal ganjaran pahala berijtihad, mengacu pada
sabda Rasulullah saw, “Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak
mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala
(HR. Bukhari dan Muslim). Wallahu’allam
9
Mohammad Baharun, Op, Cit., 2007, hal 47-46
10
Muhammad Ibrahim Jannati, Op, Cit., hal 33
11
Asmawi, Op, Cit., hal 248