Dokumen tersebut membahas tentang kebijakan dan strategi perkotaan nasional Indonesia, termasuk visi, misi, dan prinsip dasarnya. Dibahas pula permasalahan umum perkotaan seperti kepadatan penduduk, sarana prasarana yang kurang memadai, dan tingginya tingkat pencemaran lingkungan."
2. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-2
Daftar Isi
Bahan 1 Narasi Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional.................... 1-3
Bahan 2 Resolusi Konflik Menuju Kerjasama Antar Kota di Era
Otonomi* .................................................................................. 2-42
Bahan 3 Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi:
Isu Strategis, Bentuk Dan Prinsip............................................. 3-48
Bahan 4 Membangun Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah di
Wilayah Metropolitan di Indonesia (Tantangan
Pengembangan Wilayah Dalam Konteks Kebijakan
Desentralisasi dan Otonomi Daerah) ....................................... 4-64
Bahan 5 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan wilayah ................ 5-81
Bahan 6 Gerbangkertasusila................................................................ 6-105
Bahan 7 Konsep Kerjasama Daerah Kota Semarang dengan
Kabupaten Kendal sebagai Upaya Penataan Ruang
Wilayah Pesisir....................................................................... 7-113
Bahan 8 Pengembangan Kerjasama Regional Pengembangan di
Kawasan Cekungan Bandung, Studi Kasus Program
Bandung Ecotown.................................................................. 8-132
Bahan 9 Sasaran Kerjasama Dalam Penataan Ruang Wilayah........... 9-139
3. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-3
Bahan 1
Narasi Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional
Draft: 12 Februari 2010
1.1. Bab I : Pendahuluan
Sebagaimana umumnya negara-negara yang ekonominya sedang
tumbuh, Indonesia mengalami proses pertumbuhan penduduk
kawasan perkotaan yang cukup pesat (dengan persentase sebesar
5.89% dibanding persentase pertumbuhan penduduk total sebesar
1.175%), sehingga diperkirakan mulai sekitar tahun 2009 akan lebih
banyak penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perkotaan
daripada yang tinggal di kawasan perdesaan. Proses pertambahan
penduduk perkotaan, atau yang umum disebut urbanisasi ini, terjadi
akibat tiga hal: (i) perpindahan penduduk dari kawasan perdesaan ke
kawasan perkotaan, (ii) perluasan kawasan perkotaan termasuk ke
kawasan-kawasan pinggiran yang sudah berpenduduk, dan (iii)
pertumbuhan penduduk natural di kawasan perkotaan.
Gambar 1.1
Perbandingan Proyeksi Persentase Penduduk Perkotaan dan
Perdesaan di Indonesia 2000-2025
Sumber: BPS 2009 (diolah)
4. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-4
Meskipun dengan perubahan struktur demografi tersebut Indonesia
telah memasuki era “negara urban,” namun kesiapan pemerintah
maupun masyarakat pada umumnya masih terbatas dan umumnya
bersifat reaktif, dan tidak antisipatif. Padahal kota dengan
karakteristiknya yang berbeda dengan desa – seperti kepadatan
penduduk, bangunan dan lalu-lintas yang tinggi – membutuhkan sikap,
disiplin dan aturan berperilaku masyarakat yang berbeda. Demikian
pula, kota memerlukan pola dan jenis perencanaan, pembangunan
dan pengelolaan berbagai aspek – termasuk dalam hal sarana dan
prasarana – yang tidak sama dengan yang dibutuhkan oleh kawasan
bukan kota.
Terdapat tiga permasalahan utama perkotaan pada umumnya.
a. Pertama, ketidakmampuan pemerintah kota untuk memastikan
terwujudnya lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi yang
kondusif namun tetap memenuhi kesejahteraan rakyat dan
meningkatkan daya saing hingga ke tingkat global. Untuk itu,
diperlukan reformasi pemerinta mhan kota dan inovasi baru dalam
manajemen kota sehingga kota mampu memiliki sumber daya
yang memadai untuk menjalankan agenda pembangunan
kotanya. Salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas finansial
kota adalah melalui pemanfaatan potensi ekonomi lokal secara
optimal. Secara bersamaan, tingkat kemiskinan kota juga perlu
dikurangi agar terciptanya masyarakat perkotaan yang sejahtera
dan produktif secara ekonomi dan turut berkontribusi pada
pertumbuhan ekonomi perkotaan.
b. Permasalahan kedua adalah sarana prasarana kota dan
perumahan-permukiman yang tidak memadai bagi warga kota
sehingga mengakibatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan
yang relatif rendah dan juga menurunkan tingkat daya saing kota
karena tidak mampu menarik arus masuk modal dan manusia.
c. Ketiga, tingkat pencemaran lingkungan perkotaan yang semakin
tinggi akibat kegiatan dan jumlah penduduk perkotaan yang masif.
Diperlukan upaya untuk memastikan bahwa kegiatan perkotaan
masih sesuai dengan daya dukung lingkungan perkotaan.
Pengabaian akan hal ini dapat mengakibatkan tingkat kerawanan
bencana perkotaan yang semakin tinggi (terkait dengan land
subsidence, berkurangnya daerah resapan air serta perubahan
iklim), baik terhadap bencana alam ataupun man-made disaster
(kebakaran, banjir, dan seterusnya).
5. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-5
1.2. BAB 2 : TUJUAN, VISI, MISI DAN PRINSIP DASAR
1.2.1. Tujuan Penyusunan Kebijakan dan Strategi Nasional Perkotaan
Memberi arah yang jelas dan terukur bagi perencanaan,
pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan di Indonesia
agar sumber daya yang terbatas dan potensi yang ada dapat
digunakan sebaik-baiknya untuk mewujudkan visi perencanaan,
pembangunan dan pengelolaan perkotaan
1.2.2. Visi dan Misi Pembangunan dan Pengelolaan Perkotaan
“Terwujudnya masyarakat dan pemerintah daerah perkotaan yang
mandiri dan berkelanjutan, sekaligus menciptakan kota yang
memenuhi kesejahteraan rakyatnya secara berkeadilan dan mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, regional atau bahkan
nasional pada tahun 2025”
Untuk mencapai visi tersebut, misi yang perlu dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Mengupayakan secara bertahap, terus menerus, konsisten dan
terpadu agar semua kota di Indonesia pada tahun 2025 dapat
memenuhi standar pelayanan perkotaan minimal yang
ditetapkan melalui sebuah peraturan pemerintah
[Catatan: mungkin PP 65/2005 tentang Standard Pelayanan
Minimal dan PP 34/2009 tentang Pengelolaan Kawasan
Perkotaan dapat ditinjau kembali atau langsung dijadikan rujukan
dalam menyusun apa yang disebut standard pelayanan minimal
perkotaan yang harus dipenuhi pada tahun 2025].
2. Mengarahkan sebagian kota-kota sedang dan menengah secara
bertahap, terus menerus, konsisten dan terpadu untuk menjadi
kota-kota yang berperan sebagai pendorong bagi pertumbuhan
ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat di
wilayah yang dinaunginya (wilayah pengaruhnya) dalam periode
waktu 2010 hingga 2025
[Catatan: tidak setiap kota dapat otomatis berperan positif
terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitarnya sebagaimana
yang diharapkan ini; sebagian besar justru bersifat eksploitatif
dan merusak lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Untuk itu
diperlukan kebijakan dan tindakan khusus yang mengarahkan
terwujudnya interaksi yang saling menguntungkan ini. Kota-kota
sedang dan menengah ini kemungkinan terdiri atas sebagian
6. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-6
PKN dan seluruh PKW dalam RTRW-Nasional yang saat ini
berlaku].
3. Mendorong sejumlah kecil kota secara bertahap, terus menerus,
konsisten dan terpadu untuk dapat memiliki kelengkapan sarana,
prasarana (termasuk transportasi umum massal) serta
‘amenities’ yang dapat bersaing di tingkat internasional dalam
periode waktu 2010 hingga 2025
[Catatan:Khusus bagi sebagian yang sudah ditetapkan sebagai
PKN dalam RTRW-Nasional yang sedang berlaku dan sebagian
lagi kota-kota atau kawasan perkotaan yang memiliki
karakteristik khusus seperti untuk pusat wisata dan lainnya.
Namun, hampir dapat dipastikan bahwa tidak bisa semua 37
PKN yang ada dalam RTRWN diarahkan untuk menjadi kota
berkelengkapan dan berdaya-saing internasional pada tahun
2025, mengingat keterbatasan sumberdaya nasional yang ada
dan mengingat ketatnya persaingan antar-kota dalam
mengundang investasi dan kegiatan global, khususnya dengan
kota-kota di Asia Timur dan Asia Tenggara, yang mendapat
dukungan sumberdaya signifikan dari pemerintah nasionalnya
masing-masing].
1.2.3. Prinsip Dasar Pembangunan dan Pengelolaan Kawasan
Perkotaan
Rancangan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional ini memiliki
tiga prinsip-dasar pemahaman akan pembangunan perkotaan di
Indonesia, yaitu:
1. Kota harus dilihat sebagai suatu ”entitas sosio-spasial” di mana
wujud fisik dan ruang adalah cermin dari kondisi sosial, ekonomi,
budaya masyarakatnya. Oleh karena itu upaya pembangunan
kota tidak bisa lepas dari upaya pengembangan masyarakatnya.
2. Kota adalah bagian dari lingkungan sekitarnya, baik lingkungan
yang bersifat alami seperti hutan, sungai, daerah aliran sungai,
teluk, laut, pegunugan dan lain-lain. maupun lingkungan buatan
seperti kawasan perdesaan atau kota-kota lainnya. Oleh karena
itu kota yang berkelanjutan tidak hanya harus baik bagi
masyarakat dan lingkungan di dalam kota itu sendiri tetapi juga
harus berkontribusi positif terhadap masyarakat dan lingkungan
di sekitarnya. Pembangunan kota juga harus sesuai dengan
(harus mempertimbangkan) kondisi geografis-historis setempat.
7. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-7
3. Kota-kota Indonesia harus terbuka untuk semua orang, tidak ada
diskriminasi berdasarkan kaya-miskin, asli-pendatang maupun
perbedaan agama, suku, dan identitas pribadi lainnya.
Ketiga prinsip dasar ini menjadi basis bagi kebijakan perkotaan
nasional yang diusulkan serta mempengaruhi tingkat keberhasilan
pewujudan kebijakan perkotaan tersebut.
1.2.4. Filosofi Penyusunan KSPN
Konsep ini melihat bahwa Wealth disebarkan berdasarkan orang,
bukan ruang. Secara ruang, wealth terkonsentrasi, tetapi tersebar
merata bagi manusia. Kelemahan konsep ini adalah, manusia asli
kota akan lebih punya advantage dari pendatang. Oleh karena itu,
pemerintah berkewajiban untuk memfasilitasi dan menyiapkan
pendatang untuk mampu hidup “berkota” (dari segi skills). kota
juga harus berprinsip terbuka untuk semua.
Di dalam urban led development policy bukan hanya mengenai
alokasi sumber daya terpusat di kota, tapi justru memanfaatkan
added value yang dibuat kota untuk menghasikan ekonomi dan di
spread ke wilayah (dengan menggunakan intervensi pemerintah
yang memastikan hasil tersebut tersebar ke daerah (di tingkat
pusat)). Bentuk intervensi tersebut adalah “affirmative action”,
peningkatan kapasitas, dan upaya penguatan di daerah sehingga
desa tetap memiliki “bargaining position” yang lebih tinggi (“levelling
the playing field”).
(Kegiatann perkotaann mampu mengakomoodasi kebuttuhan untukk
individu untuk teruus meningk atkan kemammpuan dirinnya (“the
ideea of progreess (in qualiity of life)”)), sedangkaan kegiatan
perdesaan cenderung lebih me nekankan ppada konseep
“harmonnisasi” antarra pemenuhhan kebutuhaan dasar denngan
alam ssekitarnya. Oleh karenaa itu, harus diakui bahwwa ada
keterrbatasan sekktor perdesaaan untuk daapat meningkkatkan
“welll-being” maanusia (dalamm hal pendiidikan, dan ddaya saing),
sehingga teerjadi arus urrbanisasi da lam kurun wwaktu terakhhir
ini).
Akan tetaapi, perlu diitekankan baahwa konsepp ini tidak
mmendorong orrang untuk bermigrasi kke kota, nammun justru
mmendorong ppembangunaan kota-kotaa baru yang mampu
meengakomodaasi kebutuhaan masyarakaat dari desa yyang ingin
mmengalami ““the idea of pprogress” terrsebut. Di dalamm konsep
8. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-8
ini, paradigma kegiatan kotta yang menngkonsumsi ssumber dayaa
secara masif perlu diruubah. Kota jjustru harus dilihat sebaagai
jawabann dari upayaa pengentasaan kemiskinaan dan penjaagaan
kualit as lingkungaan.
Cari dataa persebaran kekayaan neegara.
Gambar 1.2
Metode Peerumusan Viisi, Misi dan Sasaran KSPPN
1.3. BAB 3 PERMASALAHAN PERKOTAAN UMUM, KHUSUS DAN
STRATEGIS
1.3.1. Permasalahan Umum
Upaya identifikasi masalah perkotaan, baik melalui lokakarya
regional maupun dengan desk-study menghasilkan daftar masalah
sebagai berikut:
1. Aspek Kependudukan-Sosial-Budaya
a. Keterbatasan kemampuan antisipasi dan fasilitasi
pertambahan penduduk perkotaan (urbanisasi) beserta
karakteristiknya (dengan piramida penduduk yang
meningkatnya jumlah penduduk remaja dan anak-anak)
serta distribusi kependudukan yang tidak merata
b. Kurangnya rasa kepemilikan warga terhadap kota dan
kurangnya pemahaman masyarakat terhadap proses
perencanaan, penyusunan anggaran dan pemantauan dalam
pembangunan kota
c. Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) perkotaan yang
secara umum relatif masih rendah (walau sudah lebih tinggi
daripada masyarakat perdesaan)
d. Ketaatan hukum yang masih sangat rendah seiring dengan
menurunnya modal sosial di masyarakat perkotaan
e. Potensi budaya dan kearifan lokal yang belum termanfaatkan
secara optimal dalam pembangunan perkotaan serta
memudarnya nilai-nilai budaya, moral, etos kerja dan
kehidupan ‘berkota’ pada warga perkotaan
f. Potensi konflik antar warga yang cukup signifikan di
kelompok masyarakat perkotaan tertentu
g. Keterbatasan aksesibilitas warga terhadap pelayanan dasar
9. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-9
serta keterbatasan peluang pemanfaatan aset sosial-
budayanya.
2. Aspek Ekonomi-Finansial-Kemiskinan Kota
a. Potensi ekonomi lokal yang belum termanfaatkan secara
optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta
daya saing kota
b. Ekonomi informal perkotaan yang belum terkendali dengan
baik (serta belum adanya strategi yang jelas untuk
menghadapi pertumbuhan kegiatan ekonomi informal),
termasuk kurangnya perlindungan hukum bagi mereka dan
kurang lancarnya proses perizinan dan pembinaan terhadap
kegiatan ekonomi informal.
c. Tingginya tingkat kemiskinan dan tingkat penganguran di
kawasan perkotaan
d. Keterbatasan kapasitas fiskal/finansial pemerintah daerah
yang salah satu sebabnya adalah Rendahnya investasi
masyarakat dan dunia usaha
e. Ketidakteraturan lokasi usaha dan pasar
f. Industri pengolahan, perdagangan dan jasa yang belum
berperan
g. Sarana prasarana fisik dan non fisik yang kurang
mendukung kelancaran perdagangan
h. Sulitnya sistem pengkreditan yang diberikan kepada
penduduk miskin
i. Tingginya suku bunga yang diterapkan oleh lembaga
keuangan swasta terhadap Usaha Masyarakat Kecil
Menengah (UMKM)
3. Aspek Sarana-Prasarana-Perumahan
a. Keterbatasan jumlah, kualitas dan keterpaduan sarana-
prasarana dasar perkotaan (termasuk sanitasi dan air minum
serta energi/listrik), lebih khusus lagi keterbatasan akses
kepada pelayanan perkotaan bagi kaum miskin.
b. Keterbatasan penyediaan rumah layak dan terjangkau,
khususnya bagi kaum miskin, yang disertai dengan
keterbatasan jumlah, kualitas dan keterpaduan sarana-
10. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-10
prasarana dasar perkotaan sebagaimana disebutkan dalam
butir di atas menyebabkan masih tumbuhnya serta belum
tertanganinya secara memadai berbagai permukiman
kumuh di kawasan perkotaan yang tidak hanya
membahayakan kelangsungan hidup bagi penghuninya
tetapi juga menghambat upaya peningkatan kesejahteraan
mereka (walaupun di dalam permukiman-permukiman
kumuh seperti ini sering dijumpai masyarakat yang guyub
dan berjiwa kewirausahaan yang tinggi)
c. Belum adanya transportasi massal yang efisien, khususnya
di kota-kota metropolitan dan besar
d. Belum meratanya infrastruktur teknologi-informasi-
komunikasi (TIK) yang semakin penting di dalam
pembangunan di masa datang serta masih terbatasnya
karakteristik kota-kota Indonesia yang kondusif bagi
pertumbuhan industri kreatif
e. Belum terpenuhinya sarana dan prasarana lingkungan
permukiman yang berkualitas terpadu dan partisipatif
f. Kurang adanya strategi pembangunan prasarana, sarana
dan perumahan yang jelas terukur dan mndudukan fungsi
prasarana sebagai pengarah dan pengenderali struktur
ruang kota.
g. Kondisi geografis daerah (misalnya daerah pesisir) sebagai
belum dipertimbangkan sebagai karakter utama dalam
pembangunan sarana dan prasarana dalam perkotaan
maupun pengembangan ekonomi lokal.
h. Sulitnya pengadaan lahan perkotaan untuk sarana dan
prasarana (tidak hanya secara fisik tapi juga secara
legal/administratif dan ekonomi)
i. Kurangnya jumlah ruang hijau di wilayah perkotaan (ruang
terbuka hijau (RTH) dan hutan kota).
4. Aspek Tata Ruang dan Ketimpangan Regional
a. Masih besarnya ketimpangan antar-wilayah dalam hal
pembangunan dan taraf hidup warga.
b. Masih tingginya migrasi desa-kota yang diakibatkan oleh
ketimpangan desa-kota (perbedaan kualitas hidup dan
11. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-11
perbedaan kesempatan peningkatan kesejahteraan antara
perdesaan dan perkotaan).
c. Belum terwujudnya hirarki dan tata peran kota-kota yang
jelas sebagaimana yang diarahkan dalam rencana tata-
ruang nasional (PKN, PKW, PKSN dan lain-lain). Pun,
pembagian yang ada dalam rencana tata-ruang nasional
masih belum memungkinkan terwujudnya kota-kota atau
kawasan perkotaan unggulan di tingkat internasional.
d. Urban sprawling (pertumbuhan kawasan perkotaan yang
meluas, kepadatan relatif rendah dan boros lahan) yang
sudah menggejala tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga
kota sedang/menengah
e. Keterbatasan ruang publik di perkotaan serta pemanfaatan
ruang publik yang ada pun seringkali tidak sesuai dengan
fungsi yang ada serta tingginya harga lahan
f. Belum ada konsistensi kebijakan dan strategi
pengembangan sistem perkotaan nasional dan daerah,
begitu pula antara daerah dengan subsistem daerah lainnya.
Antara lain, lambannya legitimasi Rencana Tata Ruang
Wilayah Pulau (RTRWP) sehingga belum dapat
diintegrasikan secara terpadu dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota (RTRWK) dan strategi pembangunan daerah
dalam arti keseluruhan.
g. Belum terbangunnya simpul dan kerjasama ekonomi yang
lebih produktif antar daerah dalam suatu sistem kewilayahan
tata ruang terpadu.
5. Aspek Lingkungan dan Mitigasi Bencana
a. Kualitas lingkungan perkotaan yang cenderung menurun
(polusi dan lain-lain)
b. Tapak ekologis perkotaan yang cenderung meningkat
c. Tata bangunan dan lingkungan yang belum memperhatikan
daya dukung lingkungan setempat
d. Kurangnya kesiapan antisipasi dan upaya mitigasi bencana
e. Kurangnya koordinasi antar lembaga dalam menjaga kondisi
lingkungan
12. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-12
f. Kurangnya fungsi pengawasan terhadap kegiatan
pembangunan perkotaan yang merusak kondisi lingkungan,
baik dari segi pemerintah maupun masyarakat.
6. Aspek Tata Kelola dan Kelembagaan
a. Kurangnya kepemimpinan kota yang visioner dan berpihak
kepada rakyat (walau telah ada segelintir contoh-contoh
yang baik seperti Solo, Tarakan dan lain-lain)
b. Keterbatasan dalam penerapan tata-pemerintahan yang baik
serta manajemen perkotaan yang efektif dan efisien.
c. Keterbatasan kapasitas sumber daya manusia (SDM) aparat
pengelola kota
d. Belum berkembangnya kerjasama antar-wilayah dan antar-
pihak yang efektif dan efisien serta melindungi kepentingan
publik
e. Pola partisipasi publik yang masih belum jelas dalam proses-
proses pengambilan keputusan
f. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pemilihan kepala
daerah
1.3.2. Permasalahan Khusus
1. Permasalahan Khusus Per-Wilayah
Terdapat pula permasalahan yang khas per-wilayah sebagai
berikut:
a. Wilayah Sumatera
1) Kota-kota di wilayah Sumatera umumnya memiliki tingkat
pertumbuhan penduduk yang tinggi serta distribusi
kepadatan penduduk yang kurang merata (terutama
antara kota besar dengan kota sedang dan kecil).
2) Kota-kota di wilayah Sumatera juga masih mengalami
permasalahan kurangnya pelayanan dasar (terutama
listrik), perumahan yang layak dan terjangkau serta air
bersih. Keterbatasan pelayanan dasar ini turut
berimplikasi pada kurang optimalnya kegiatan industri
dan perekonomian perkotaan (khususnya sektor usaha
ekonomi menengah-kecil).
3) Dari segi sosial-budaya, pembangunan fisik perkotaan
13. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-13
belum optimal dalam menonjokan potensi budaya
perkotaan untuk industri pariwisata. Selain itu, upaya
pemerintah kota dan masyarakat untuk menjaga cagar
alam, fisik dan kearifan lokal sebagai salah satu modal
perkotaan juga masih rendah.
4) Dari segi perekonomian, permasalahan yang dihadapi
oleh kota-kota wilayah Sumatera adalah rendahnya
investasi modal yang masuk sehingga tidak mampu
meningkatkan kapasitas fiskal daerah secara signifikan.
Hal ini pada akhirnya
5) menyulitkan pembiayaan pembangunan secara
keseluruhan dan berakibat pada kurangnya mutu
pendidikan dan kesehatan masyarakat kota serta
sulitnya upaya pengentasan kemiskinan.
6) Pembangunan kawasan perkotaan juga belum tertata
dan cenderung tidak terkendali. Hal ini tercermin dari
besarnya jumlah pelanggaran peruntukan yang cukup
tinggi, kapasitas kelembagaan yang kurang memadai,
dan kurangnya pembangunan prasarana jalan.
7) Dari segi tata kelola dan kelembagaan, kota-kota di
wilayah Sumatera belum sepenuhnya memiliki pejabat di
tingkat level atas yang visioner serta sistem rekruitmen
yang kurang berdasarkan pada meritokrasi (cenderung
lebih berat pada aspek politis). Permasalahan lain
adalah adanya ‘overlapping’ tupoksi antar dinas, belum
jelasnya pola kerjasama antara pemerintah dengan
pihak swasta serta kurangnya upaya pemerintah untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas partisipasi publik di
dalam kegiatan pembangunan perkotaan.
8) Dari segi lingkungan, seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk dan kegiatan perkotaan, kualitas
lingkungan perkotaan di kota-kota wilayah Sumatera
cenderung menurun. Selain tingginya tingkat
pencemaran udara, air dan tanah dan persampahan
yang bertambah, salah satu masalah lingkungan yang
mengemuka adalah penurunan fungsi badan air sebagai
drainase alami (seperti rawa, sungai, balong).
9) Kota-kota di wilayah Sumatera juga umumnya rawan
14. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-14
bencana, sehingga dibutuhkan mitigasi (pengendalian
resiko) bencana yang lebih baik dan terintegrasi dengan
rencana pembangunan perkotaan.
b. Wilayah Jawa-Bali
1) Permasalahan perkotaan di kota-kota wilayah Jawa-Bali
didasari oleh tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di
kota-kota wilayah Jawa Bali sehingga menyulitkan upaya
antisipasi kebutuhan sarana prasarana dasar perkotaan
dan tidak terjaminnya aksesibilitas seluruh warga
terhadap pelayanan dasar perkotaan.
2) Fokus pembangunan yang cenderung fokus pada
optimalisasi pertumbuhan ekonomi juga mengakibatkan
kota-kota di wilayah Jawa-Bali kurang mengakomodir
kebutuhan sosial budaya masyarakat perkotaannya. Hal
ini mengakibatkan rendahnya modal sosial dan rasa
kepemilikan masyarakat terhadap upaya pembangunan
dan pemeliharaan lingkungan perkotaan yang tercermin
dari rendahnya ketaatan hukum (tidak hanya kasus
pidana-perdata, namun juga terhadap tata aturan
berkota yang dapat terlihat dari banyaknya kasus
pelanggaran peruntukan lahan, tata tertib perizinan,
berlalu lintas), serta banyaknya penyakit sosial di
masyarakat.
3) Dari segi perekonomian, permasalahan kota-kota di
wilayah Jawa-Bali adalah kurangnya daya saing dan
daya tarik bagi produk barang maupun produk wisata
yang dihasilkan akibat kurangnya infrastruktur dan modal
sosial yang memadai.
4) Dari segi tata ruang, permasalahan yang muncul adalah
pertumbuhan kota yang tidak terkontrol (“urban
sprawling”), ketidakmampuan kota-kota kecil untuk
berperan dalam mengurangi ketimpangan kota-desa,
serta minimnya ruang publik.
5) Dari segi aspek tata kelola dan kelembagaan,
permasalah di kota-kota wilayah Jawa Bali adalah
kurangnya pendidikan politik di masyarakat, birokrasi
yang tidak efisien (terlalu gemuk), sistem pengembangan
SDM aparat yang masih lemah, belum adanya
15. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-15
mekanisme pengaduan kinerja aparat yang berfungsi
efektif, dan pelaksanaan kerjasama antara pemerintah
dan pihak swasta yang masih kurang.
6) Untuk kota-kota di Jawa-Bali, isu utama lingkungan
adalah pencemaran udara, air dan tanah dan
persampahan. Isu-isu lainnya adalah kesadaran
terhadap lingkungan yang masih rendah, kurangnya
kepedulian terhadap energi yang terbarukan (“renewable
energy”). Dalam mengelola lingkungan, kota-kota
tersebut juga harus menghadapi isu pengelolaan
lingkungan antara lain rendahnya pembiayaan dan
teknologi yang tidak terbaru.
7) Kota-kota di wilayah Jawa-Bali juga umumnya rawan
bencana, sehingga dibutuhkan mitigasi (resiko) bencana
yang lebih baik dan terintegrasi dengan rencana
pembangunan perkotaan.
c. Wilayah Sulawesi
1) Permasalahan perkotaan di wilayah Sulawesi adalah
kurangnya kualitas sarana dan prasarana perkotaan,
baik fisik maupun non fisik.
2) Kebijakan kota juga belum mencerminkan karakteristik
kota wilayahnya (hal ini terkait dengan kondisi geografis
dan nilai sosial budaya warga belum sepenuhnya
diakomodir oleh sarana prasarana perkotaan).
3) Dari segi sosial-budaya, permasalahan utama adalah
kecenderungan adanya konflik di antara masyarakat
perkotaan yang terkait dengan kuatnya nilai budaya
serta kesenjangan ekonomi-sosial di masyarakat dan
belum ditanggapi dengan pendekatan pendekatan
sosial-budaya dalam manajemen konflik yang lebih
memadai.
4) Dari segi perekonomian, permasalahan yang
mengemuka adalah sumber daya manusia dan alam
yang belum dimanfaatkan secara optimal serta
terbatasnya sumber daya modal untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi kota-kota di wilayah Sulawesi.
5) Kota-kota di wilayah ini juga masih memiliki isu
16. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-16
ketimpangan antar wilayah yang cukup tinggi, baik
antara kota besar dengan kota sedang-kecil (misalnya
antara kota Makassar dengan kota-kota lainnya) ataupun
antara desa-kota.
6) Dari segi tata kelola dan kelembagaan, kota-kota
tersebut dilihat masih memiliki masalah dengan tingkat
pendidikan politis dan kekritisan masyarakat dalam
memilih pemimpin, serta sistem manajemen rekrutmen
SDM yang belum baik (belum selalu sesuai kapasitas
pejabat dengan posisi yang ditentukan dan pemanfaatan
e-government yang belum maksimal untuk pelayanan
publik.
7) Untuk kota-kota di Sulawesi selain isu pencemaran
udara, air dan tanah dan persampahan isu-isu lain yang
mengemuka adalah “current practices” pemerintah
dalam hal penyususan anggaran belanja yang masih
belum memperhatikan aspek lingkungan. Isu-isu lainnya
adalah degradasi lingkungan di kota pesisir pantai dan
kerusakan hutan di kota - kota di daerah perbukitan dan
pegunungan.
d. Wilayah Indonesia Timur
1) Permasalahan perkotaan di wilayah Kawasan Indonesia
Timur (KTI) adalah kurangnya kualitas sarana dan
prasarana perkotaan, baik fisik maupun non fisik.
2) Dari segi sosial-budaya, permasalahan utama adalah
kecenderungan adanya konflik di antara masyarakat
perkotaan yang terkait dengan kuatnya nilai budaya
serta kesenjangan ekonomi-sosial di masyarakat dan
belum ditanggapi dengan pendekatan pendekatan
sosial-budaya dalam manajemen konflik yang lebih
memadai.
3) Dari segi perekonomian, permasalahan yang
mengemuka adalah sumber daya manusia dan alam
yang belum dimanfaatkan secara optimal serta
terbatasnya sumber daya modal untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi kota-kota di wilayah KTI.
4) Kurangnya sarana prasarana pendukung untuk
17. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-17
menunjang aktifitas ekonomi, seperti pelabuhan dan
jalan.
5) Untuk kota-kota di KTI, isu lingkungan yang mengemuka
adalah penyusunan anggaran belanja yang masih belum
memperhatikan aspek lingkungan. Isu-isu lainnya adalah
degradasi lingkungan di kota pesisir pantai dan
kerusakan hutan di kota - kota di daerah perbukitan dan
pegunungan. Hal ini terkait dengan kurang
dilestarikannya kearifan lokal (seperti budaya Masosi di
Maluku) yang cenderung berakibat pada eksploitasi
sumber daya alam yang tidak terkontrol dan kegiatan
perkotaan yang tidak ramah lingkungan
e. Wilayah Kalimantan
1) Di kota-kota wilayah Kalimantan, masyarakat perkotaan
umumnya masih mengalami rendahnya kualitas hidup
akibat terbatasnya kualitas dan aksesibilitas pelayanan
publik. Untuk itu, sumber-sumber pendapatan dari
daerah perlu diprioritaskan untuk dikembalikan ke
wilayah ini dalam rangka mempercepat pembangunan di
daerah (terutama untuk membangun infrastruktur untuk
menarik investor)
2) Pembangunan di beberapa kota di wilayah Kalimantan
belum mencerminkan karakteristik perkotaannya (dalam
hal ini, aspek geografis dan aspek historis kota-kota di
Kalimantan yang umumnya bersifat kota sungai ataupun
kota hutan belum diakomodir ke dalam rencana
pembangunan kota dengan baik).
3) Pembangunan ekonomi perkotaan di wilayah ini juga
kurang membuka potensi ekonomi bagi masyarakat
pesisir, yang sebagian besar termasuk masyarakat
miskin, serta tingginya suku bunga pinjaman bagi
pengusaha UMKM
4) Kota-kota di wilayah Kalimantan belum memiliki suatu
simpul dan kerjasama ekonomi yang lebih produktif
antar daerah dalam suatu sistem kewilayahan tata ruang
yang terpadu.
5) Kebijakan daerah terkait perekonomian belum
18. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-18
menyentuh dan menguntungkan kepentingan usaha
kecil-menangah dan sektor informal.
6) Dalam memenuhi kebutuhan perkotaan, kota-kota di
wilayah Kalimantan cenderung belum memiliki pola
mekanisme kerjasama antar daerah dan swasta yang
belum baik. Selain itu, terdapat isu keterbatasan fiskal
dan SDM aparat dalam melakukan pembangunan
perkotaan, khususnya karena banyaknya pemekaran
daerah.
7) Untuk kota-kota di wilayah Kalimantan, permasalahan
lingkungan yang dihadapi tidak hanya pencemaran
lingkungan di perkotaan, namun juga kehutanan dan
sungai. Hal ini ternasuk perambahan dan pembalakan
liar, kebakaran hutan, berkurangnya sempadan sungai
dan pencemaran sungai dari limbah rumah tangga, kapal
dan industri.
8) Kota-kota di wilayah Kalimantan juga umumnya rawan
kebakaran hutan, sehingga dibutuhkan mitigasi yang
lebih baik dan terintegrasi dengan rencana
pembangunan perkotaan.
2. Permasalahan Khusus Per-Tipologi Kota
a. Kota-kota Metropolitan
1) Terdapat delapan kota di Indonesia, yaitu Jakarta,
Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya,
Makassar dan Denpasar yang merupakan kota inti dan
bersama-sama dengan kota-kota dan kawasan
perkotaan di sekitarnya masing-masing membentuk
sebuah kawasan metropolitan. Kawasan metropolitan
tersebut umumnya berpenduduk lebih dari satu juta jiwa.
Dengan total penduduk lebih kurang 24 juta jiwa atau
lebih kurang 20% dari total jumlah penduduk perkotaan
di Indonesia dengan rata-rata pertumbuhan 1,66%, jauh
melebihi jumlah penduduk kawasan metropolitan yang
lain, kawasan Jabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi dan Cianjur) bahkan membentuk
sebuah agglomerasi perkotaan yang sering disebut
mega (lo)politan. Permasalahan umum yang ada, antara
lain:
19. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-19
2) Kota-kota metropolitan umumnya memiliki penduduk
dengan latar belaang pendidikan, asal-usul, suku,
agama, tingkat ekonomi yang sangat beragam.
Keragaman ini jika tidak tertangani dengan baik, di
tengah-tengah kepadatan yang sangat tinggi dan modal
sosial yang pada umumnya rendah, mudah
menimbulkan ketegangan atau bahkan konflik horizontal
(antar anggota masyarakat).
3) Kota-kota metropolitan umumnya memiliki sumberdaya
manusia yang lebih baik daripada kota-kota besar,
sedang atau kecil, khususnya terkait dengan latar
belakang pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki
wargaya. Hal ini juga brarti mereka umumnya lebih kritis
terhadap berbagai kekurangan yang ada. Namun
demikian, mereka juga umumnya terlalu sibuk dengan
kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sehingga
partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan publik
(seperti gotong royong) lebih sedikit.
4) Karena skala pasar yang besar, kota-kota metropolitan
umumnya memiliki daya-tarik ekonomi yang sangat
tinggi. Di tengah-tengah kondisi Indonesia yang masih
diwarnai oleh kesenjangan tingkat kesejahteraan yang
lebar, kota-kota metropolitan akan selalu mengundang
pendatang untuk mengadu keuntungan. Sektor-sektor
yang umumnya dipilih adalah yang bersifat informal
karena tidak ada entry barrier. Kegiatan sektor informal
perkotaan (di bidang perdagangan retail, transportasi,
perumahan, industri dan jasa) ini sangat membantu
kaum miskin dan kelas menengah untuk tinggal dan
berusaha di kota (bahkan terkadang menjadi satu-
satunya tumpuan keberadaan mereka di kota
metropolitan terkait). Lebih jauh, sektor informal bahkan
dapat menjadi jenjang untuk pengentasan kemiskinan.
Sayangnya, sebagian besar kota-kota metropolitan di
Indonesia belum memiliki strategi yang jelas dan tepat
untuk menangani pertumbuhan sektor informal ini.
Padahal jika tidak ditangani dengan baik, sektor informal
ini bisa sangat merugikan kepentingan publik pada
umumnya serta membahayakan otoritas pemerintah
20. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-20
sebagai pembuat aturan dan pelindung kepentingan
publik.
5) Walaupun secara absolut memiliki/mengelola jumlah
uang yang lebih besar, namun kota-kota metropolitan di
Indonesia pada umumnya (kecuali Jakarta) justru
memiliki kapasitas fiskal yang lebih rendah dibanding
kota-kota besar atau sedang. Hal ini disebabkan oleh
besarnya permasalahan yang harus dihadapi dan
kebutuhan yang harus dipenuhi oleh kota-kota tersebut.
6) Kota-kota metropolitan di Indonesia menghadapi
kesenjangan sarana-prasarana dan perumahan layak
huni yang jauh lebih besar daripada kota-kota besar,
sedang maupun kecil. Hal ini juga terkait dengan
sedikitnya serta mahalnya lahan yang tersedia untuk
sarana, prasarana dan perumahan, khususnya untuk
anggota masyarakat berpenghasilan rendah. Akibatnya
perkampungan kumuh pun lebih umumnya lebih
merebak dibanding di kota-kota lainnya.
7) Kota-kota metropolitan umumnya juga menimbulkan
polusi-polusi yang paling besar, baik yang dirasakan di
dalam kawasan metropolitan terkait maupun di wilayah
sekitarnya. Bahkan, dampak lingkungan dari kegiatan
kota-ktoa metropolitan dapat dirasakan di wilayah (oleh
masyarakat) yang jauh dari lokasi kota metropolitan
terkait (jejak ekologisnya besar).
8) Kota-kota metropolitan yang umumnya berada di muara
sungai besar/tepi pantai menghadapi ancaman dampak
perubahan iklim.
9) Kapasitas kelembagaan kota-kota metropolitan
umumnya lebih baik. Namun, lagi-lagi, dibandingkan
dengan kompleksitas permasalahan yang ada seringkali
masih belum sebanding (bisa dilihat dari berbagai
permasalahan yang tidak terpecahkan, bahkan terus
berkembang seperti kemacetan lalu-lintas, banjir,
perkampungan kumuh, dan lain-lain).
10) Kerjasama antara kota inti dan kota-kota atau kawasan
perkotaan di sekitar menjadi sangat penting, namun
umumnya belum berjalan dengan baik/efektif (masih
21. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-21
ditandai oleh egoisme wilayah dan pertimbangan untung-
rugi masing-masing kota secara sempit).
b. Kota-kota Besar
1) Kota-kota besar adalah kota berpendudukan antara 500
ribu jiwa hingga 1 juta jiwa. Sebagian dari mereka adalah
ibukota propinsi. Permasalahan umum yang dihadapi
kota-kota besar di Indonesia adalah:
2) Keragaman dan kepadatan penduduk sudah mulai tinggi,
namun umumnya belum setinggi di kawasan
metropolitan. Permasalahan yang terkait dengan
penduduk pun sudah mulai mengarah seperti yang
dihadapi oleh kota-kota metropolitan, walau dengan
skala yang lebih kecil. Umumnya memiliki tingkat
pertumbuhan penduduk yang tinggi (rata-rata 2.86%
dibanding pertumbuhan kota pada umumnya yang
sekitar 1.82%).
3) Kapasitas finansial kota-kota besar umumnya lebih baik
daripada kota-kota sedang dan kecil. Bahkan, karena
tingkat permasalahannya tidak sebesar dan se-kompleks
di kota-kota metropolitan, kapasias fiskal kota-kota
besar umumnya juga lebih baik (gambaran kuantitatif).
4) Masalah-masalah lain pun cenderung mirip atau
mengarah ke permasalahan di kota-kota metropolitan
tetapi dengan skala yang lebih kecil. Namun terkadang
dengan kemampuan menangani masalah yang tidak
jauh berbeda, sehingga kota-kota besar memiliki
kesempatan untuk memecahkan masalahnya lebih baik
daripada kota-kota metropolitan.
5) Secara umum, inovasi justru sering muncul dari kota-
kota besar seperti di Solo (penanganan permukiman
kumuh dan sektor informal), Yogya (kerjasama dengan
Sleman dan Bantul, walau inisiatif utama justru dipegang
oleh Sleman) dan Balikpapan (dalam hal kebijakan
kependudukan).
c. Kota-kota Sedang
Kota-kota sedang adalah kota-kota yang berpenduduk
antara 100 ribu jiwa hingga 500 ribujiwa. Sebagian dari
22. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-22
mereka adalah ibukota propinsi. Permasalahan umum yang
dihadapi kota-kota sedang di Indonesia adalah: Sebagian
kota dengan ukuran penduduk sedang sudah berhasil
mengembangkan pendekatan inovatif dalam mengatasi
masalah perkotaan, seperti Pekalongan (dalam hal
perumahan/permukiman, pendekatan pembangunan
perkotaan yang manusiawi, dan lain-lain). Namun belum
setiap kota memiliki agenda pembangunan kota yang
terencana dan terkendali
d. Kota-kota Kecil
Kota-kota kecil adalah kota-kota yang berpenduduk antara
hingga 100 ribu jiwa. Sebagiandari mereka adalah ibukota
propinsi. Permasalahan umum yang dihadapi kota-kota kecil
diIndonesia adalah: Permasalahan umum yang dihadapi oleh
kota kecil di Indonesia adalah antara lain mengatasi
kemiskinan kota dan aksesibilitas terhadap lapangan kerja
yang mengakomodasi jumlah tenaga kerja.
Jumlah 1980 2000 2010 2015
Penduduk Juta
Jiwa %
Juta
Jiwa %
Juta
Jiwa %
Juta
Jiwa %
< 500 ribu 19,191 57.9 60,194 68.5 86,483 68.3 98,607 68.3
500 rb - 1
juta 3,255 9.8 6,171 7 6,051 4.8 5,810 4
1 juta - 5
juta
4,742 14.3 10,431 11.9 18,830 14.9 17,839 12.4
5 juta - 10
juta 5,984 18 0 0 0 0 5,338 3.7
> 10 juta 0 0 11,065 12.6 15,206 12 16,822 11.6
TOTAL 33,172 100 87,861 100 126,570 100 144,416 100
Tabel 1. Jumlah dan Proporsi Penduduk Perkotaan Indonesia per Tiap Jenis Kota Tahun 1980, 2000, 2010 dan
2015 (dalam juta jiwa) – Sumber: UN Population Division, 2007
23. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-23
3. Permasalahan Prioritas Nasional
Walaupun permasalahan yang dijabarkan di atas bersifat penting
namun mengingat sumber daya yang terbatas harus ditetapkan
prioritas atau permasalahan yang dianggap paling mendesak
untuk diatasi segera. Dalam hal ini diusulkan 14 butir
permasalahan prioritas sebagai berikut:
a. Secara makro-sektoral, belum termanfaatkannya potensi
kota sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan
kesejahteraan rakyat serta penghapusan kemiskinan. Hal ini
juga disebabkan oleh ketidak-terpaduan antara kebijakan-
kebijakan dan kegiatan-kegiatan ekonomi perkotaan serta
belum dijadikannya pembangunan kota yang kondusif bagi
upaya-upaya penumbuhan ekonomi, peningkatan
kesejahteraan rakyat dan penghapusan kemiskinan.
(permasalahan dasar bagi K-1)
b. Secara makro-spasial, belum adanya atau belum jelasnya
respon yang tepat terhadap ketimpangan pembangunan
antar-wilayah; masih kuatnya konsentrasi pertumbuhan
perkotaan – yang sekaligus cermin dari konsentrasi manfaat
pembangunan – di Jakarta dan sekitarnya pada khususnya
dan pulau Jawa, sebagian Sumatera dan sebagian Sulawesi
pada umumnya. Di sisi lain, sumberdaya untuk
pembangunan yang ada pada saat ini masih sangat terbatas
dan jika disebarkan secara ”sangat merata” ke seluruh
wilayah geografis yang ada di Nusantara justru malah tidak
akan memberikan manfaat yang maksimal, terutama
mengingat banyaknya daerah-daerah yang memiliki
kepadatan rendah. Oleh karena itu yang perlu
didesentralisasikan adalah konsentrasi-konsentrasi sarana,
prasarana dan kegiatan perkotaan sehingga terbentuk lebih
banyak konsentrasi-konsentrasi yang cukup kuat di berbagai
wilayah di Tanah Air. Hubungan desa-kota juga perlu
diperbaiki dan mencegah hubungan kota-desa yang
cenderung parasitik (permasalahan dasar bagi K-2)
c. Tingkat pembangunan/pengembangan manusia yang masih
rendah, baik yang terkait dengan pendidikan, kesehatan dan
kesejahteraan (IPM, walau sudah jauh lebih baik daripada
penduduk perdesaan) pada umumnya maupun yang terkait
dengan ”tata-cara” tinggal di kawasan perkotaan. Terkait
24. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-24
dengan hal ini, perlu adanya dimensi urbanisasi dalam upaya
pengembangan manusia Indonesia agar pada saat hidup
berkota, mampu bersaing dan meningkatkan taraf hidupnya.
(permasalahan dasar bagi K-3)
d. Masih, bahkan semakin rendahnya modal sosial masyarakat
perkotaan yang turut menyebabkan peningkatan kerawanan
sosial (kriminalitas, kenakalan remaja, narkoba maupun
lainnya) dan kurang berkembangnya/terpeliharanya budaya
lokal, serta kurangnya fasilitas bagi remaja/anak-anak untuk
menyalurkan/mengembangkan bakatnya di bidang olah-
raga, budaya, lainnya (seperti adanya gelanggang remaja);
Untuk itu penting sekali untuk meningkatkan kualitas
administrasi kependudukan, karena data tersebut
merupakan hal yang akurat untuk perumusan kebijakan yang
tepat guna dengan komposisi masyarakat
(permasalahan dasar bagi K-3)
[catatan: dua permasalahan di atas sekaligus merupakan representasi dari
kurangnya perhatian pembangunan sosial-budaya-manusia kota atau
pembangunan yang terlalu berorientasi kepada fisik]
e. Masih rendahnya kapasitas fiskal dan manajemen ekonomi
perkotaan pada umumnya seiring dengan belum
termanfaatkannya secara optimal potensi lokal untuk
pengembangan ekonomi kota, peningkatan daya saing kota
serta kesejahteraan masyarakat pada umumnya (termasuk
dalam hal ini adalah maraknya praktek retribusi daerah yang
ditujukan untuk meningkatkan PAD namun dikuatirkan dalam
jangka panjang justru dapat mengecilkan skala ekonomi kota
– karena kota tersebut menjadi tidak menarik untuk
investasi); (permasalahan dasar bagi K-4)
f. Kegiatan ekonomi informal perkotaan yang belum terwadahi
dengan baik (atau belum diresponnya secara tepat
pertumbuhan ekonomi perkotaan informal) serta belum
teratasinya secara tuntas dan terpadu kemiskinan di
perkotaan; (permasalahan dasar bagi K-4)
g. Belum terpenuhinya sarana dan prasarana dasar perkotaan
serta kebutuhan enerji yang dapat memungkinkan warga
kota hidup dengan layak/nyaman serta memungkinkan
ekonomi kota untuk tumbuh dan bersaing (termasuk dalam
25. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-25
hal ini sarana dan prasarana – termasuk transportasi – yang
khas dibutuhkan kawasan-kawasan permukiman tertentu
seperti permukiman di pulau-pulau kecil, pinggir pantai,
pinggir sungai, pinggir hutan, kawasan pegunungan,
perbatasan negara dan lain-lain) serta belum diterapkannya
keterpaduan antara tata-ruang dan pengembangan sarana-
prasarana, khususnya transportasi umum (misalnya
diterapkannya prinsip Transit-Oriented Development);
(permasalahan dasar bagi K-5)
h. Belum terpenuhinya kebutuhan rumah dan lingkungan
permukiman yang layak dan terjangkau bagi semua warga
kawasan perkotaan yang terkait dengan aksesibilitas
terhadap sumber penghidupan yang tidak menyeluruh bagi
masyarakat perkotaan. (permasalahan dasar bagi K-5)
i. Belum diterapkannya penataan ruang perkotaan yang
berbasis pemeliharaan lingkungan jangka panjang (termasuk
pengendalian ”urban sprawl” dan efisiensi pemanfaatan
lahan kota) serta belum ditegakkannya aturan tata ruang
yang sudah ada; (permasalahan dasar bagi K-6)
j. Rendahnya kualitas administrasi pertanahan dan jaminan
kepemilikan lahan (“secure tenure”) di Indonesia yang
merupakan isu strategis di setiap wilayah di Indonesia,
dengan penekanan pada aspek yang berbeda-di tiap
wilayah. ((permasalahan dasar bagi K-6)
k. Menurunnya kualitas lingkungan perkotaan dan
permukiman pada umumnya seiring dengan tidak
tertanganinya pencemaran udara, air dan tanah serta tidak
memadainya sarana dan prasarana yang dapat
meningkatkan kualitas lingkungan kota (termasuk RTH);
(permasalahan dasar bagi K-7)
l. Belum terintegrasinya upaya-upaya pencegahan, mitigasi
dan penanganan pasca-bencana – baik yang alami seperti
perubahan iklim, gempa, tsunami, angin topan dan lainnya
maupun yang buatan manusia seperti kebakaran, banjir dan
lainnya – ke dalam sistem perencanaan, pembangunan dan
pengelolaan kawasan perkotaan pada umumnya;
(permasalahan dasar bagi K-7)
26. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-26
m. Masih relatif kurangnya kepemimpinan (walikota atau kepala
daerah) yang visioner dan berorientasi kepada kepentingan
masyarakat luas serta lemahnya kapasitas
manajemen/birokrasi/aparat untuk menerjemahkan visi
tersebut ke dalam tindakan nyata (menyangkut kapasitas
aparat, tupoksi yang tumpang-tindih, kemampuan
kerjasama/koordinasi yang terbatas, peraturan yang tidak
berorientasi kepada kepentingan umum, peraturan yang
tidak diterapkan, sistem rekrutmen yang tidak baik dan lain-
lain); (permasalahan dasar bagi K-8)
n. Masih terbatasnya penerapan prinsip-prinsip tata-
pemerintahan yang baik (”good governance”) termasuk
dalam hal transparansi, akuntabilitas dan partisipasi serta
efisiensi dan efektifitas yang juga terkait dengan masih
terbatasnya upaya pencegahan dan penindakan terhadap
praktek-praktek korupsi (termasuk dalam hal ini adalah
peran-serta masyarakat yang lebih besar dalam proses
perencanaan, pembangunan serta pengelolaan dan
monitoring).
(permasalahan dasar bagi K-8)
1.3.3. Kondisi Lingkungan Strategis yang Menentukan
1. Konteks Perkembangan Global
Globalisasi ekonomi yang diiringi dengan persaingan antar kota-
kota di dunia sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi
regional/negara masing-masing. Persaingan global ini akan
semakin menuntut kota-kota berlomba menjadi tempat tinggal
dan beraktifitas yang tidak hanya memiliki sarana dan prasarana
memadai dan kompetitif (termasuk hotel dan sarana konvensi
yang bertaraf internasional), tetapi juga secara umum harus: (i)
atraktif bagi investasi – termasuk dalam hal kemudahan
birokrasi, (ii) menarik untuk dikunjungi, termasuk memiliki
amenities dan keindahan visual, (iii) aman dan nyaman untuk
dikunjungi maupun dihuni (antara lain tingkat kriminalitas yang
rendah), maupun (iv) memiliki lingkungan yang kondusif bagi
meningkatnya produktifitas dan kreativitas. Tanpa karakteristik
ini, sulit bagi kota-kota kita untuk berperan secara optimal
sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah dan
meningkatkan kesejahteraan warga.
27. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-27
2. Konteks Perkembangan Nasional
Desentralisasi dan demokratisasi tata pemerintahan
mempengaruhi efektifitas kebijakan nasional, khususnya yang
terkait dengan pembangunan skala lokal. Di samping itu
kapasitas daerah untuk menjalankan kewajibannya di bidang
pembangunan perkotaan masih perlu ditingkatkan, apalagi pada
kota-kota yang diarahkan untuk menjadi pusat-pusat
pertumbuhanwilayah (yang bersifat positif, bukan eksploitatif).
Kerjasama antar kota maupun antara kota dengan daerah di
sekitarnya penting untuk terus didorong dan diperkuat.
Sementara itu peranpropinsi perlu lebih diperjelas.
3. Konteks Perkembangan Lokal/Daerah
Meningkatnya kepadatan penduduk serta perebutan ruang
antara penggunaan tanah yang subur untuk pertanian dengan
perkotaan (ancaman terjadinya ‘pulau kota’).
1.4. BAB 4 : KEBIJAKAN DAN STRATEGI PERKOTAAN NASIONAL
1.4.1. Kebijakan Perkotaan
Usulan kkebijakan daan strategi pperkotaan nasional di ddalam
naras i ini memp ertimbangkaan permasallahan priorittas perkotaann
yang sudaah diidentifikkasi di bab 33 dan sesuaii dengan vissi, misi
dann prinsip KKSPN yang sudah dijellaskan di b ab 3. Penjeelasan
secarra lebih dettil mengenaai latar belakkang pemiliihan kebijakkan
dan straategi untuk mengatasi ppermasalahaan prioritas terdapat di
ddalam Technnical Workinng Papers
1
yaang menjadii lampiran
naarasi ini.
Gambar 1.3
Metode Penyusunan Kebijakan ddan Strategi Perkotaan Nasional
Sesuai deengan visi KKSPN, maka seluruh usuulan kebijakaan dan
strateegi di sini beertujuan untuuk mewujuddkan masyyarakat dann
pemerinttah daerah perkotaann yang mmandiri daan
berkelannjutan” sekkaligus mencciptakan koota yang meemenuhi
keesejahteraa n rakyatnyya secara bberkeadilan dan mampuu
mendoronng pertumbuhan ekonoomi lokal, rregional ataau
bahkan nnasional serrta berdayaa saing di tinngkat global pada
tahuun 2025
11
TWP 01: RReview Kebijakan Perkotaan di Indoonesia; TWP 2 Revview Praktik Terbaaik
28. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-28
Pengelolaan KKota Nasional dan IInternasional; TWP 03a Sarrana Prasana Perkootaan; TWP
03b P erumahan; TWP 003c Transportasi; TTWP 03d ICT; TWWP 04a Tantangan
Pembangunan Ekonomi Perkkotaan; TWP 04b Kapasitas Fiskal ; TWP 04c Kemiskkinan
Kota; TWP 05 Sosial BudayaKependudukan; TTWP06a Sistem Taata Kota Nasionaal; TWP
06b Sistemm Pertanahan dan Pengendalian Tat a Ruang; TWP 07 Lingkungan, Mitiigasi
Bencana dann Perubahan Iklim; TWP 08 Tataa Kelola Kelembaggaan; TWP 09 AHHP
Untuk mencapai hal tersebut, berikut adalah kebijakan perkotaan
nasional yang diusulkan:
1. Meningkatkan Peran Kota-Kota Sebagai Pendorong
Pertumbuhan Ekonomi Lokal, Regional dan Nasional
(Urban-LED Development Policy)
Aktifitas perekonomian perkotaan mempunyai kontribusi
signifikan terhadap aktifitas perekonomian nasional. Kotribusi
tersebut dapat ditunjukkan pada pertumbuhan kontribusi melalui
perubahan kurun waktu. Pada tahun 1980-an kontribusi aktifitas
perekonomian hanya sebesar 61,1%. Sedangkan di akhir tahun
perhitungan (tahun 2008), kontribusi aktifitas perekonomian
perkotaan sudah mencapai 78,1% atau hampir mencapai 80%
dari seluruh aktifitas perekonomian nasional.
Arah kebijakan ini melihat bahwa dimensi perkotaan perlu
dimanfaatkan potensinya untuk berbagai bidang pembangunan
(misalnya pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi).
Namun tidak berarti upaya pembangunan hanya fokus ke
pembangunan perkotaan, karena pembangunan perdesaan tetap
harus diperhatikan untuk menjaga hubungan desa-kota yang
seimbang.
Korelasi antara misi dan arah kebijakan ini (“urban-led
development”) baru bisa berhasil jika ada kota-kota yang mampu
mengambil sumber daya global untuk pembangunan nasional.
Namun untuk menghindari urban primasi (dari kota berdaya
saing global ini), perlu ada kota untuk menjembatani
pertumbuhan ekonomi nasional tersebut, dan fokus pada
pembangunan wilayahnya sehingga mampu mensejahterakan
daerah hinterland. Secara bertahap, pendekatan ini
memungkinkan seluruh kota mampu memenuhi Standar
Pelayanan Perkotaannya.
90.0%
76.1%76.7%77.4%78.1%
29. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-29
74.1%73.6%
70.0%60.0%50.0%40.0%30.0%20.0%10.0%0.0%
80.0%
Gambar 4. Kontribusi PDB Perkotaan terhadap PDB
Nasional (berserta Linear Forecast
Trendline)
Kebijakan ini memerlukan sinergi antar-sektor maupun antar-
wilayah untuk mendorong pembangunan kota, terutama
penyediaan pelayanan dasar perkotaan dan sarana prasarana
yang selanjutnya akan dapat memfasilitasi berbagai kegiatan
sektor ekonomi perkotaan dengan baik (termasuk menyediakan
‘urban amenities’ perkotaan sehingga kota menjadi lebih nyaman
untuk dihuni bagi para profesional dan mampu menarik investor
asing). Selain fasilitas, diperlukan juga tata ruang kota yang
memastikan adanya kelancaran arus transportasi yang turut
berdampak pada laju alur distribusi perekonomian.
2. Menyebarkan Konsentrasi Pertumbuhan Perkotaan Untuk
Mengatasi Ketimpangan Pembangunan Antar-Wilayah
(Decentralized Concentration)
Decentralized concentration merupakan persebaran pusat-
pusat urbanisasi dan investasi infrastruktur diarahkan kepada
sejumlah tertentu konsentrasi pertumbuhan (“city-cluster
development”) yang terdesentralisasi. Tujuan dari pendekatan ini
adalah untuk mengurangi primasi jakarta (Jabodetabekpunjur)
melalui persebaran konsentrasi pertumbuhan perkotaan ke
beberapa wilayah. Jumlah kota yang akan ditetapkan sebagai
pusat konsentrasi pertumbuhan lain diperkirakan sekitar 5 < x <
10 , tapi tidak semua PKN di RTRWN, dan sejumlah tertentu
30. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-30
kota-kota yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi
regional (sisa PKN, plus beberapa PKW dan PSKN). Agar azas
keadilan dapat dipenuhi, kebijakan ini juga mensyaratkan agar
Standar Pelayanan Perkotaan Minimum dapat dipenuhi oleh
semua kota/kawasan perkotaan selambat-lambatnya tahun
2025.
Pendekatan ini melihat bahwa distribusi sumber daya harus
dilakukan secara strategis, dan dapat efektif dalam
meningkatkan daya saing maupun membangun ekonomi
regional. Sumber daya tersebut harus dipusatkan pada titik-titik
yang tersebar (dan bukannya distribusi yang dipaksakan merata,
namun terbatas).Arah kebijakan ini membantu memastikan
adanya distribusi sumber daya ke pusat pertumbuhan yang
memang ditetapkan sebagai kota berdaya saing global (namun
untuk menghilangkan ketimpangan regional, harus dipastikan
adanya titik pertumbuhan di Kawasan Timur Indonesia dan
kawasan tertinggal lainnya).
3. Mengedepankan Pembangunan Sosial-Budaya Dan Manusia
Di Dalam Pembangunan Perkotaan
Konsep ini memastikan bahwa kota tidak hanya menjadi mesin
pertumbuhan ekonomi bagi nasional, namun juga mampu
mensejahterakan warganya.
Untuk itu, diperlukan sinergi antar sektor untuk memastikan
setiap kegiatan perkotaan berorientasi kepada kesejahteraan
warganya secara inklusif (mampu memenuhi kebutuhan isik,
ekonomi, sosial dan budaya) dan mampu mencerminkan nilai
sosial-budaya masyarakatnya, serta melibatkan partisipasi
masyarakat secara penuh di kegiatan pembangunan perkotaan
sehingga menumbuhkan modal sosial dan rasa kepemilikan.
Untuk mencapai hal tersebut, kebijakan administrasi
kependudukan perlu dikedepankan karena mampu memberikan
basis data bagi pemerintah kota untuk merumuskan kebijakan
yang tepat guna bagi masyarakat perkotaan.
4. Memastikan Kota Mampu Memanfaatkan Potensi Ekonomi
Lokal Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Warga Dan
Kapasitas Fiskal Kota-Kota
Umumnya kota-kota di Indonesia belum memanfaatkan potensi
ekonomi lokalnya dengan baik (kalaupun ada, seringkali potensi
31. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-31
ekonomi lokalnya termanfaatkan dengan baik, namun untuk
daerah lain, dan tidak kembali ke kotanya). Kurang
termanfaatkannya potensi ekonomi terlihat dari cenderung tidak
adanya korelasi antara pertumbuhan ekonomi kota dengan
peningkatan kesejahteraan warganya. Sebagai contoh di kota
Batam, pertumbuhan ekonominya tinggi namun masih memiliki
tingkat kemiskinan yang tinggi juga.
Arahan kebijakan untuk pemanfaatan potensi ekonomi lokal ini
memungkinkan peningkatan kapasitas fiskal kota sehingga
mampu mendorong pembangunan kotanya sehingga mampu
memenuhi standar pelayanan perkotaan, dan bagi kota yang
ditetapkan sebagai pendorong ekonomi regional dan berdaya
saing global, mampu menyediakan sumber daya finansial untuk
pembangunan “urban amenities” yang dibutuhkan.
5. Memacu Pemenuhan Kebutuhan Sarana Prasarana dan
Perumahan Bagi Masyarakat Kota Sesuai Dengan Fungsi
Yang Ditetapkan dan Karakteristik Setempat, serta
Berorientasi Pada Pola Pembangunan Kota Yang Berbasis
Angkutan Umum Massal (Transit-Oriented Development)
Secara umum, kondisi sarana prasarana kota-kota di Indonesia
tertinggal, baik secara kuantitas maupun kualitas. Untuk itu,
harus dipastikan bahwa: 1) setiap kota mampu memenuhi
standar pelayanan minimal sarana prasarana perkotaan, 2)
sebagian kota memiliki sarana prasarana yang mendorong
pertumbuhan ekonomi di tingkat wilayah, serta 3) ada sejumlah
kecil kota yang ditetapkan untuk bersaing di tingkat
global/internasional dapat memiliki sarana prasarana,
termasuk TIK, yang kompetitif dan juga memastikan,
kebutuhan warga untuk perumahan yang layak dan terjangkau
terpenuhi dan bahwa permukiman kumuh dapat
diperbaiki/dihapuskan.
Prinsip di dalam kebijakan ini adalah sarana prasarana harus
sesuai dengan kondisi spesifik daerah (geografis, sosio, dan
ekonomi). Sebagai contoh, memastikan kota-kota sungai di
pulau Kalimantan memiliki rencana penyediaan sarana
prasarana yang sesuai dengan kondisi geografisnya, yaitu
mengedepankan pembangunan transportasi air, dan bukan
darat. Penyediaan sarana prasarana kota juga diorientasikan
pada pendekatan transit-oriented development, yaitu
32. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-32
pembangunan kawasan perkotaan yang berbasis ada sistem
angkutan umum dan terintegrasi dengan tata guna lahan dan
desain kota sehingga menghasilkan mobilisasi penduduk
perkotaan yang efisien.
6. Mengendalikan Pertumbuhan Kawasan Perkotaan Yang
Cenderung Melebar dan Boros Lahan (“Urban Sprawl”)
Disertai Dengan Upaya Meningkatkan Efisiensi Penggunaan
Lahan Perkotaan
Umumnya pembangunan kota seringkali terhambat karena
pertumbuhan perkotaan yang melebar (urban sprawling) dan
manajemen pertanahan yang masih rendah kualitasnya. Untuk
itu pengendalian urban sprawling, diperlukan penerapan
instrumen seperti “urban growth boundaries” secara terencana
dan konsisten dan penataan kota yang kompak dan efisien,
dengan menggunakan mekanisme insentif disinsentif (misalnya
insentif untuk pembangunan sawah lestari, serta disinsentif untuk
konversi lahan. Untuk mengatasi isu manajemen pertanahan,
diperlukan reformasi manajemen pertanahan sehingga mampu
mempermudah kegiatan pembangunan kota.
Tata ruang juga harus memastikan terpenuhinya kebutuhan
masyarakat, misalnya memastikan perumahan terjangkau di
tengah kota (yang juga turut mendukung produktivitas ekonomi
perkotaan dan mencegah urban sprawl) serta kurangnya ruang
publik (yang juga dapat sekaligus menjadi ruang terbuka hijau) di
dalam kota yang dapat digunakan sebagai sarana pertemuan
seluruh masyarakat kota (seperti alun-alun, city square dan lain
lain - pertokoan Mall tidak bisa dianggap sebagai ruang publik
karena dimiliki swasta dan tidak bisa berfungsi sebagai ruang
yang benar-benar menjadi milik publik). Prinsip ini juga sekaligus
mendorong terwujudnya RTH 30% sebagaimana diamanatkan
oleh UU 26/2007 untuk mengatasi penurunan kualitas
lingkungan perkotaan dan permukiman.
Dengan arah kebijakan ini, sistem tata ruang mampu mendorong
perwujudan kota-kota yang memenuhi standar pelayanan
perkotaan serta berdaya saing global secara lebih cepat
33. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-33
7. Mendorong Kota-Kota Meningkatkan Kualitas Kesehatan
Lingkungan Permukiman Sekaligus Mempersiapkan Kota-
Kota Dalam Menghadapi Perubahan Iklim Dan Kemungkinan
Bencana
Umumnya kota-kota di Indonesia mengalami penurunan kondisi
lingkungan akibat kegiatan perkotaan yang masif dan tidak
ramah lingkungan, serta tidak siap terhadap perubahan iklim
(padahal banyak kota-kota di Indonesia rawan terhadap bencana
karena merupakan negara kepulauan). Arah kebijakan ini
memastikan bahwa, terlepas dari fungsi kota sebagai mesin
pertumbuhan ekonomi ataupun tempat tinggal, namun kegiatan
pembangunan perkotaan senantiasa berorientasi untuk mampu
mengatasi dampak perubahan iklim (melalui upaya adaptasi)
serta potensi bencana, dan tetap menjaga kualitas lingkungan
8. Memfasilitasi Munculnya Kepemimpinan Yang Visioner Dan
Meningkatkan Kapasitas Aparatur Dan Kelembagaan Kota
Serta Mendorong Diterapkannya Prinsip-Prinsip Tata
Pemerintahan Yang Baik
Arah kebijakan ini melihat pentingnya kepemimpinan yang
visioner, kapasitas apratur dan kelembagaan kota yang baik
serta penerapan prinsip pemerintahan yang baik, sebagai faktor-
faktor yang signifikan untuk memacu muncul inovasi-invoasi
pengelolaan kota. Inovasi tersebut berkontribusi terhadap
perwujudan misi dan sasaran KSPN secara lebih cepat (baik
untuk memastikan setiap kota memenuhi standar pelayanan
perkotaan, mampu mendorong ekonomi regional ataupun
mampu berdaya saing global).
1.4.2. Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional
Untuk perwujudan kebijakan yang diusulkan di atas, terdapat
tujuh strategi umum yang diidentifikasi, yaitu:
1. Peningkatan kapasitas pemerintah kota untuk dapat melakukan
reformasi dan inovasi dalam kegiatan pembangunan perkotaan
2. Penerapan kombinasi peraturan-pengendalian (pendekatan
command and control) sistem pasar (kompetisi, insentif-
disinsentif)
3. Kerjasama antar pihak (antar daerah, antara pusat-daerah dan
antar-pihak (pemerintah, swasta dan masyarakat) untuk
34. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-34
pemenuhan kebutuhan perkotaan
4. Penetapan sasaran terukur dan bertahap (misalnya untuk
tahun 2015, 2020, 2025) untuk setiap komponen kebijakan
5. Penguatan identitas kota
6. Meningkatkan pemahaman masyarakat melalui edukasi publik
7. Penggunaan citizen report card untuk kegiatan monitoring dan
evaluasi berkala
Sementara itu, strategi pembangunan perkotaan di tingkat nasional
yang diusulkan adalah sebagai berikut: Strategi Pembangunan dan
Pengelolaan Perkotaan:
1. Strategi Untuk Mewujudkan Urban-LED Development Policy
Di Tingkat Nasional
Strategi untuk mewujudkan urban-LED development policy di
tingkat nasional adalah:
a. Promosi pentingnya peran kota terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional kepada pemerintah
b. Penyediaan prasarana kota yang sesuai dengan rencana
pembangunan kota sebelum kegiatan pengembangan kota
(infrastructure-led development)
c. Penyediaan pelayanan publik sesuai dengan Standar
Pelayanan Perkotaan
d. Pelibatan masyarakat dan pihak swasta secara aktif dalam
pemenuhan kebutuhan sarana prasarana dan perumahan
perkotaan
2. Strategi Untuk Mendorong Berkembangnya Pusat-Pusat
Pertumbuhan di Kawasan Timur Indonesia pada khususnya
dan Kawasan Perkotaan Lain di Luar Pulau Jawa Terkait
Dengan Ketimpangan Pembangunan Antar-Wilayah
Strategi untuk mendorong berkembangnya pusat-pusat
pertumbuhan di Kawasan Timur Indonesia pada khususnya
dan kawasan perkotaan lain di luar pulau Jawa terkait dengan
ketimpangan pembangunan antar-wilayah melalui penerapan
konsep ‘decentralized concentration’ adalah:
a. Penetapan dan fasilitasi kota-kota terpilih untuk menjadi
pusat kegiatan ekonomi berdaya saing internasional
35. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-35
b. Peningkatan keterkaitan antara kota dengan hinterland-nya
yang saling menguntungkan
c. Pengalihan industri di Jawa-Bali menjadi padat jasa
d. Percepatan pembangunan prasarana dan sarana produksi
yang berkualitas terutama pada kawasan ekonomi khusus
e. Percepatan pembangunan perkotaan yang secara geografis
terletak di koridor strategis transportasi laut dalam
f. Penerapan mekanisme insentif disinsentif khusus Kawasan
Timur Indonesia yang mampu bersaing dengan kondisi pasar
3. Strategi Untuk Pembangunan Sosial-Budaya Masyarakat
Perkotaan
Strategi untuk pembangunan sosial-budaya masyarakat
perkotaan adalah sebagai berikut:
a. Penerapan prinsip berkeadilan dan inklusif dalam
penyediaan sarana-prasarana yang sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik masyarakat perkotaan
b. Sinergi program sektoral dalam pembangunan perkotaan
yang mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat
perkotaan
c. Penyediaan fasilitas untuk interaksi sosial antar warga
d. Penggunaan pendekatan community-based development
dalam kegiatan pembangunan perkotaan
e. Pemeliharaan dan pengembangan aset fisik dan aktivitas
perkotaan yang merupakan warisan sejarah dan bernilai
budaya
4. Strategi Pemanfaatan Potensi Ekonomi Lokal Untuk
Meningkatkan Daya Saing, Kesejahteraan Warga Dan
Kapasitas Fiskal Daerah
Strategi pemanfaatan potensi ekonomi lokal untuk
meningkatkan daya saing, kesejahteraan warga dan
kapasitas fiskal daerah adalah:
a. Penggunaan konsep “One area, one priority product” untuk
kegiatan industri kreatif serta memperpanjang lama singgah
bagi kegiatan industri pariwisata
36. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-36
b. Peningkatan keterpaduan antara kegiatan ekonomi
perkotaan dan rencana tata ruang, baik di tingkat nasional,
regional dan lokalMenyusun rencana pembangunan ekonomi
perkotaan di tingkat nasional yang melengkapi rencana tata
ruang nasional
c. Penataan kegiatan ekonomi informal perkotaan dan
mempersiapkan pelaku ekonomi informal untuk menjadi
bagian dari ekonomi formal secara bertahap
d. Penyediaan sumber daya (energi, finansial, SDM, teknologi)
yang dibutuhkan untuk kegiatan ekonomi setempat
5. Strategi Untuk Memastikan Bahwa Setiap Kota Dapat
Memenuhi Kebutuhan Sarana dan Prasarana Warganya
(Sesuai Dengan Karakteristik Setempat) Serta Memastikan
Bahwa Kota-Kota Yang “Ditugasi” Untuk Bersaing di Tingkat
Global/Internasional Dapat Memiliki Prasarana
Strategi untuk memastikan bahwa setiap kota dapat memenuhi
kebutuhan sarana dan prasarana warganya (sesuai dengan
karakteristik setempat) serta memastikan bahwa kota-kota yang
“ditugasi” untuk bersaing di tingkat global/internasional dapat
memiliki prasarana, termasuk TIK, yang kompetitif adalah:
a. Peningkatan kapasitas kota dalam menyusun RPIJM yang
jelas, terukur dan mendudukkan fungsi prasarana sebagai
pengarah dan pengendali struktur ruang kota
b. Pengembangan mobilisasi sumber pendanaan sarana
prasarana selain dana pemerintah melalui kemitraan swasta-
pemerintah dan dana dari masyarakat sendiri (swadaya)
c. Pengembangan kampanye dan edukasi publik di dalam
pemanfaatan dan pemeliharaan infrastruktur publik secara
berkelanjutan. Mobilisasi sumber pendanaan sarana dan
prasarana selain dana pemerintah melalui kemitraan swasta-
pemerintah dan dana dari masyarakat sendiri (swadaya)
d. Pengintegrasian perencanaan transportasi dengan
perencanaan tata ruang, perancangan kota (urban design)
dan infrastruktur
e. Penyediaan fasilitas sarana prasarana dan perumahan yang
aman, layak, terjangkau dan sesuai dengan karakteristik
masyarakat Peningkatan kapasitas pengelolaan transportasi
37. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-37
publik (baik bagi pemerintah daerah maupun swasta)
6. Strategi untuk mendorong penerapan tata-pemerintahan
kota yang baik
Strategi untuk pengendalian tata ruang adalah:
a. Penyesuaian implementasi rencana tata ruang perkotaan
dengan Rencana Kerja Pemerintah (maupun yang jangka
menengah dan jangka panjang)
b. Pengendalian pemanfaatan ruang perkotaan dengan
penerapan mekanisme insentif dan disinsentif (termasuk
sanksi) baik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah,
maupun terhadap pihak swasta dan masyarakat
c. Peningkatan kapasitas pelaku dalam pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam
pembangunan daerah dan penataan ruang
7. Strategi Untuk Memastikan Kesiapan Kota-Kota Terhadap
Risiko Perubahan Iklim
Strategi untuk memastikan kesiapan kota-kota terhadap
risiko perubahan iklim adalah:
a. Pengembangan upaya peningkatan teknologi ramah-
lingkungan dan mitigasi bencana baik secara finansial,
maupun dalam bentuk penyediaan fasilitas dan pelatihan
peningkatan kapasitas
b. Penerapan mekanisme pengendalian yang kuat terhadap
kegiatan pembangunan kota agar tidak merusak lingkungan
dan sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan
penerapan mekanisme insentif dan disinsentif (termasuk
sanksi)
c. Penguatan koordinasi yang efektif dan efisien antara
pemerintah kota, Badan Penanggulangan Bencana Daerah
dan pemerintah pusat (khususnya di daerah-daerah rawan
bencana).
d. Penerapan konsep carbon-neutral cities
8. Strategi Untuk Mendorong Penerapan Tata-Pemerintahan
Kota Yang Baik
Strategi untuk mendorong penerapan tata-pemerintahan kota
38. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-38
yang baik adalah:
a. Penerapan sistem rekrutmen calon aparatur pemerintah
kota/daerah berdasarkan fair play, kompetensi dan
kebutuhan
b. Penerapan prinsip good governance dalam menyusun
kebijakan perkotaan, perencanaan pembangunan dan tata
kelola pemerintahan pembangunan perkotaan dan
pelayanan publik dengan kinerja terukur
c. Penguatan kelembagaan dan kerjasama antar-kota, kota
dengan daerah lain, termasuk dengan daerah di sekitarnya
untuk meningkatan kapasitas pemerintah kota, efisiensi dan
efektifitas pelayanan publik
d. Pelibatan pemangku kepentingan dalam perencanaan dan
pembangunan kota melalui forum perkotaan
1.4.3. Rencana Tindak
1. Sasaran Umum Nasional
Sasaran Umum Nasional dari KSPN adalah terpenuhinya
pelayanan dasar perkotaan, sesuai dengan Standar Pelayanan
Perkotaan, di semua kota-kota di Indonesia, dan terwujudnya
beberapa pusat perkotaan secara tersebar yang berfungsi
sebagai pendorong ekonomi regional, serta terbangunnya
segelintir pusat perkotaan yang memiliki daya saing internasional
dalam menarik investasi global.
Untuk sasaran nasional ini, perlu ditekankan bahwa angka-angka
30%, 60% yang digunakan di dalam Sasaran Umum Nasional
hanyalah sekedar perhitungan rasional dan linear jika ingin
mewujudkan visi di tahun 2025. Apabila dirasa terlalu ambisius
(setelah mempertimbangkan kondisi dan sumber daya yang ada
sebagai tolak ukur) dapat saja diubah atau dibuat progresif, di
mana pada tahap awal pertambahannya sedikit tetapi kemudian
meningkat secara lebih drastis. Metode ini adalah kombinasi
antara perhitungan rasional dari sumber daya dan kapasitas
yang ada dan keputusan politis (misalnya kebijakan “sejuta
rumah” atau “seribu tower”) namun lebih dapat terukur dan
(relatif) lebih membumi. Perlu kajian lebih lanjut dengan
bappenas dan depkeu serta departemen pekerjaan umum untuk
menyusun sasaran nasional secara tepat sesuai dengan
39. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-39
kapasitas yang ada.
2. Indikator sasaran nasional
Untuk mencapai kondisi tersebut, diperlukan indikator sasaran
nasional untuk setiap komponen kebijakan di dalam KSPN
sehingga kebijakan disertai dengan sasaran pencapaian yang
terukur dan terikat waktu serta dicapai secara bertahap.
a. Untuk komponen kebijakan sarana prasarana perkotaan
Diusulkan untuk antara lain menggunakan standar
pelayanan perkotaan
Ditargetkan dalam periode 2010-2014 (RPJMN II), sudah
mampu mencapai: 1) 30% dari seluruh kota di Indonesia
sudah menerapkan standar pelayanan perkotaan, 2) 10%
dari kota-kota tersebut sudah mampu didesignasikan
sebagai kota yang memiliki sarana prasarana memadai
untuk berdaya saing global, serta 3) 20% dari kota tersebut,
sudah mampu didesignasikan sebagai kota yang memiliki
sarana prasarana memadai untuk menjadi pusat regional
Untuk periode 2015-2019 (RPJMN III), ditargetkan: 1) 60%
dari seluruh kota di Indonesia sudah menerapkan standar
pelayanan perkotaan, 2) 15% dari kota-kota tersebut sudah
mampu didesignasikan sebagai kota yang memiliki sarana
prasarana memadai untuk berdaya saing global, serta 3)
30% dari kota tersebut, sudah mampu didesignasikan
sebagai kota yang memiliki sarana prasarana memadai
untuk menjadi pusat regional
Sehingga dalam periode akhir 2020-2024 (RPJMN IV),
ditargetkan: 1) Seluruh kota di Indonesia sudah menerapkan
standar pelayanan perkotaan, 2) 20% dari kota-kota tersebut
sudah mampu didesignasikan sebagai kota yang memiliki
sarana prasarana memadai untuk berdaya saing global,
serta 3) 45% dari kota tersebut, sudah mampu
didesignasikan sebagai kota yang memiliki sarana prasarana
memadai untuk menjadi pusat regional
b. Untuk komponen kebijakan untuk peningkatkan kualitas
lingkungan perkotaan
Diusulkan untuk antara lain menggunakan indikator
sasaran nasional berupa pemenuhan 30% ruang
40. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-40
terbuka hijau (RTH):
Ditargetkan dalam periode 2010-2014 (RPJMN II), terdapat
30% dari seluruh kota di Indonesia yang sudah memiliki RTH
seluas 30% dari total luas kota. Untuk periode 2015-2019
(RPJMN III), terdapat 60% dari seluruh kota di Indonesia
yang sudah memiliki RTH seluas 30% dari total luas kota.
Sehingga dalam periode akhir 2020-2024 (RPJMN IV),
seluruh kota di Indonesia sudah memenuhi ketentuan RTH
seluas 30% dari total luas kota.
Setiap komponen kebijakan harus memiliki indeks
pencapaian sasaran, baik dengan cara menggunakan indeks
pencapaian sasaran terkait yang sudah ada, ataupun melalui
kegiatan penyusunan indeks pencapaian sasaran yang
terkait bagi komponen kebijakan yang belum memiliki indeks
pencapaian sasaran ataupun bersifat kualitatif, (seperti
misalnya kebijakan untuk pembangunan sosial-budaya
masyarakat perkotaan dan penerapan tata pemerintahan
yang baik).
c. Matriks Kebijakan, Strategi, Rencana Tindak dan
Indikator Sasaran Nasional
1.5. BAB 5 : CAKUPAN DAN INSTITUSIONALISASI KSPN
KSPN akkan diikuti oleh penyuusunan KSPPD Wilayah (Kebijakann
dan Strateegi Perkotaaan Daerah uuntuk Wilayyah) serta KKSPD
tingkkat kota. KSSPN berperran sebagai payung baggi penyusunnan
KSPD pper wilayah ddan KSPD yaang akan dissusun oleh seetiap
pemeriintah kota.
Tujuan ppenyusunan KSPD Willayah adalahh sebagai beentuk
pengeejawatahan dari buku IIII RPJMN 2010-2014 (Perpres 5 tahun
20100) yang menngakomodasii aspirasi daan kebutuhaan
pembanggunan per wwilayah (Summatera, Jawwa-Bali, Kaliimantan,
Suulawesi, dann NTB, NTTT, Kep. Malluku dan Pappua (Kawasaan
Timur Inddonesia) dann menjadi paanduan bagi implementaasi
program lintas sektorr di tingkat wwilayah.
Sedangkaan KSPD tinngkat kota aadalah dokummen daerah yang
meng integrasikann perencanaaan spasial ddan non-spaasial dalam
ppembangunaan kota dan n implementaasi menjadi panduan bagi
program lintas sektorr di tingkat ddaerah.
41. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 1-41
1.6. BAB 6 : PENUTUP
Institusionalisasi KSPN ini membutuhkan koordinasi tidak hanya
antara Badan Perencanaan Pembangunan NAsional, Departemen PU
dan Departemen Dalam, namun juga perlu melibatkan secara aktif
Departemen Keuangan (untuk mekanisme perimbangan dana) dan
departemen terkait lainnya (diusulkan pelibatan Departemen
Perhubungan dan Departemen Kelautan dan Perikanan, serta
Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan). Perlu pula
dilakukan kajian untuk memastikan tipe produk hukum yang
dibutuhkan untuk memastikan penerapan dokumen ini sebagai acuan
oleh pemerintah kota. Selain itu, dokumen ini, beserta dengan
lampirannya (yang berlaku sebagai naskah akademis) harus
dinformasikan kepada publik (sesuai dengan UU 14 tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik) dan harus memastikan adanya
metode partisipasi masyarakat yang efektif di dalam penyempurnaan
KSPN ini sebelum menjadi produk hukum.
Sebagai catatan, usulan kebijakan dan strategi di dalam narasi KSPN
ini masih berupa draft yang masih akan disempurnakan setelah uji
coba di tiga kota (lokasi uji coba akan ditentukan kemudian).
42. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 2-42
Bahan 2
Resolusi Konflik Menuju Kerjasama Antar Kota
di Era Otonomi*
Oleh : Hardi Warsono
1. Identifikasi Institusi Pengelola Prasarana Kota Saat ini Pada era otonomi,
institusi yang menangani tugas yang sama memiliki nama yang berbeda
antar kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Berikut hasil identifikasi nama
institusi pengelola prasarana kota di 4 daerah yang termasuk kawasan
metropolitan Semarang.
43. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 2-43
2. Identifikasi Kerjasama Yang Telah Ada Dari identifikasi awal, beberapa
kerjasama yang telah terjalin sampai saat ini meliputi :
☻ Sekretariat Bersama Kedungsepur yang mulai berlaku tahun 1998
akan berakhir tahun 2003. Sampai saat ini sedang persiapan
Memorandum tahap 2. Cakupan wilayah lebih luas dibandingkan
dengan kawasan metropolitan Semarang, yaitui meliputi cakupan
metro Semarang (kota Semarang, kabupaten Kendal, Kab. Semarang
dan kab. Demak) ditambah Kabupaten Grobogan;
☻ Kajian tentang Semarang Greater, merupakan kajian tentang rintisan
kerjasama bidang air bersih;
☻ Memorandum (pemanfaatan air bersih) antara Pemerintah Kabupaten
Kendal dan Pemerintah Kota Semarang;
☻ Rintisan Kerjasama Air Bersih antara Pemerintah Kota Semarang
dengan Pemerintah Kabupaten Semarang.
3. Potensi Kerjasama Antar Daerah di Kawasan Metropolitan
Kegiatan FGI awalnya menemukan sikap skeptis terhadap kegiatan
fasilitasi ini. Hal ini terutama dihinggapi oleh kota hinterland. Mereka
memandang dalam kerjasama yang akan dibangun hanya kota induk
yang diuntungkan, karena umumnya memandang bahwa kerjasama
hanya akan dilakukan dalam kerangka mengatasi masalah kota induk
(kota Semarang). Sementara kota terdekat hanya dirugikan karena harus
ikut menanggung masalah kota Semarang. Sebenarnya kerjasama
dapat dibangun dengan tujuan saling menguntungkan : bagi kota
44. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 2-44
Semarang, masalah dapat teratasi dengan bantuan kota hinterland,
sedangkan kota hinterland dapat memanfaatkan kerjasama dengan
tujuan mengoptimalkan pertumbuhan daerah pinggiran yang terimbas
keramaian kota induk dan memanfaatkan luberan kegiatan produktif kota
induk yang tak lagi tertampung oleh luasan kota induk yang terbatas.
Dengan demikian, tujuan kerjasama hendaknya diarahkan pada :
☻ mengatatasi masalah kota induk
☻ memberdayakan kota hinterland
Secara diagramatis, potensi kerjasama yang dihasilkan dari resolusi
konflik ini dapat diviasualisasikan sebagai berikut :
45. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 2-45
Konsep pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered
development) merupakan sumber dan inspirasi bagi munculnya strategi
pemberdayaan (empowerment). Pemberdayaan merupakan salah satu
strategi pembangunan yang diimplementasikan dan dikembangkan
dalam kegiatan pembangunan, terutama di negara-negara sedang
berkembang. Paradigma pemberdayaan ini mempunyasi asumsi bahwa
“pembangunan akan berjalan dengan sendirinya apabila masyarakat
diberi hak untuk mengelola sumber daya alam yang mereka miliki dan
46. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 2-46
menggunakannya untuk pembangunan masyarakat”. Sementara untuk
efektivitas program kerjasama antar kota perlu disiapkan kelembagaan
dengan pilihan sebagai berikut :
☻ Kerjasama antar daerah tanpa kelembagaan permanen di tingkat
metro (sebatas forum koordinasi)
☻ Kerjasama antar daerah, di tingkat metro ada kelembagaan
permanen (Badan Metropolitan)
☻ Kerjasama antar daerah dengan kelembagaan propinsi tanpa
kelembagaan permanen
4. Simpulan
☻ Perundangan tentang otonomi daerah meski memberikan harapan
dan kebebasan pada kabupaten/kota untuk membangun diri,
membawa konsekuensi ego daerah yang semakin mengental.
Kurangnya “kekuatan propinsi” untuk mengatur hubungan antar kota
juga berimplikasi makin menyulitkan koordinasi antar kota yang
kemudian makin menumpuknya potensi konflik khususnya pada
wilayah perbatasan.
☻ Potensi konflik yang terjadi baik karena kedekatan lokasi maupun efek
negatif suatu kegiatan kota, dapat diresolusi menjadi potensi
kerjasama bila dikelola dengan baik.
☻ Pengelolaan wilayah terutama pada kota yang cenderung makin
berkembang menjadi kota metropolitan perlu kajian kelembagaan
yang cermat dan hatihati.
5. Rekomendasi
a. Diperlukan komitmen yang kuat dari masing-masing kabupaten/ kota
yang telah berhasil mengidentifikasi potensi kerjasamanya untuk
meneruskan langkah sampai pelakasanaan dan pengelolaan
b. Diperlukan kajian dan kesepatan pemilihan bentuk kelembagaan
yang mengelola kerjasama dengan 3 alternatif lembaga kota
metropolitan yaitu:
☻ Kerjasama antar daerah tanpa kelembagaan permanen di tingkat
metro (sebatas forum koordinasi) antar daerah, di tingkat metro
ada kelembagaan permanen (Badan Metropolitan) dengan payung
kelembagaan Kedungsepur
47. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 2-47
☻ Kerjasama antar daerah dengan kelembagaan provinsi tanpa
kelembagaan permanent
48. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 3-48
Bahan 3
Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Era
Otonomi:
Isu Strategis, Bentuk Dan Prinsip
Oleh Yeremias T. Keban1
3.1. Abstrak
Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu isu yang perlu
diperhatikan pemerintah saat ini mengingat perannya dalam
menentukan ketahanan negara, dan melihat begitu banyak masalah
dan kebutuhan masyarakat di daerah yang harus diatasi atau dipenuhi
dengan melewati batas-batas wilayah administratif. Untuk
mensukseskan kerjasama ini diperlukan identifikasi isu-isu strategis,
bentuk atau model kerjasama yang tepat, dan prinsip-prinsip yang
menuntun keberhasilan kerjasama tersebut. Mengingat peran
strategis yang dimainkan propinsi dalam sistem negara kesatuan ini,
maka peningkatan peran dan kemampuan propinsi dalam mekanisme
kerjasama ini, termasuk penyesuaian struktur dan fungsi
kelembagaannya, harus menjadi agenda penting pemerintah di masa
mendatang.
3.2. Latar Belakang
Kenyataan menunjukan bahwa setelah diberlakukannya UU Nomor 22
Tahun 1999, otonomi daerah ternyata telah dipersepsikan dan disikapi
secara variatif oleh beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia.
Misalnya mereka mempersepsikan otonomi sebagai momentum untuk
memenuhi keinginan-keinginan daerahnya sendiri tanpa
memperhatikan konteks yang lebih luas yaitu kepentingan negara
secara keseluruhan dan kepentingan daerah lain yang berdekatan.
Akibatnya, muncul beberapa gejala negatif yang meresahkan antara
lain berkembangnya sentimen primordial, konflik antar daerah,
berkembangnya proses KKN, konflik antar penduduk, eksploitasi
sumberdaya alam secara berlebihan, dan munculnya sikap “ego
daerah” yang berlebihan. Kabupaten atau kota cenderung
memproteksi seluruh potensinya secara ketat demi kepentingannya
49. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 3-49
sendiri, dan menutup diri terhadap kabupaten atau kota lain. Dampak
negatif kegiatan ekonomi di suatu daerah pada daerah lain, seperti
externalities, juga tidak dihiraukan lagi. Bahkan sentimen daerah mulai
timbul dengan adanya kecenderungan umum mengangkat “putera
daerah” menjadi pegawai negeri sipil daerah.
Munculnya gejala-gejala negatif tersebut diatas patut mendapatkan
perhatian serius karena cepat atau lambat akan mempengaruhi
disintegrasi bangsa. Melihat letak dan kondisi geografis Indonesia
serta perbedaan kondisi sosial budaya, ekonomi, dan politik seperti
sekarang ini maka hubungan antara pemerintahan daerah yang satu
dengan pemerintah daerah yang lain patut mendapatkan perhatian
serius. Bagaimanapun hubungan antara mereka merupakan perekat
sosial yang menentukan ketahanan nasional. Hubungan antara satu
kabupaten dengan kabupaten lain, antara kabupaten dengan kota,
antara kota yang satu dengan kota yang lain, atau juga antara
kabupaten/kota dengan propinsi harus selalu dimonitor dan dievaluasi.
Dengan kata lain, tingkat kohesi antara mereka harus selalu
diperhatikan.
1
Penulis adalah Dosen tetap Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisipol UGM, dosen
pada MAP, MPKD dan MEP UGM di Yogyakarta, dan konsultan capacity building for local
government, human resource management, dan poverty alleviation pada beberapa Program
Pemerintah sejak 1999.
Mandat untuk membina hubungan ini telah diungkapkan dalam Nomor
22 Tahun 1999 sejak 1 Januari 2000 yang kemudian direvisi melalui
UU Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini menunjukan bahwa Pemerintah RI
memang telah menyadari arti pentingnya kerjasama ini. Namun
sangat disayangkan bahwa sampai saat ini kebijakan tersebut belum
ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang bersifat teknis.
Dan sebagai akibatnya berbagai kebijakan lama di Departemen Dalam
Negeri yang mengatur tentang kerjasama antar daerah masih
digunakan seperti:
a. Permendagri No 6 Tahun 1975 tentang Kerjasama antar Daerah.
b. Kepmendagri Nomor 275 Tahun 1982 tentang Pedoman
Kerjasama Pembangunan antar Daerah.
c. SE-MENDAGRI No 114/4538/PUOD tanggal 4 Desember 1993
tentang Petunjuk Pelaksana Mengenai Kerjasama antar Daerah.
d. SE-MENDAGRI No 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993
tentang Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama antar
50. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 3-50
Propinsi (Sister Province) dan antar kota (Sister City) dalam dan
Luar Negeri.
Harus diakui bahwa kebijakan-kebijakan yang telah berumur lebih dari
satu dekade ini kurang mengakomodasikan situasi dan kondisi saat
ini, sehingga di masa mendatang harus segera diformulasikan
kebijakan-kebijakan baru yang lebih sesuai. Karena begitu pentingnya
kerjasama tersebut, maka setelah diberlakukan Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 ini, berbagai peraturan pemerintah dan
peraturan pelaksanaan lainnya harus segera dibentuk.
Tulisan ini ingin mengartikulasikan kembali akan pentingnya
kerjasama antar pemerintah daerah atau intergovernmental
cooperation, dan memberikan nuansa akademik yang menyangkut
isu-isu strategis, prinsip-prinsip dan agenda pelaksanaan cooperative
arrangements antara pemerintah daerah, yang dapat digunakan
sebagai input bagi penyusunan peraturan pelaksanaan kerjasama
tersebut di masa mendatang.
3.3. Mengapa Diperlukan Kerjasama
Dalam kenyataan, kita mengenal batas wilayah administratif (sesuai
peraturan perundangan), dan batas wilayah fungsional (sesuai
hubungan sosial ekonomi lintas batas administratif). Setiap daerah
memiliki batas wilayah administratif yang ditentukan secara formal
melalui peraturan perundangan, akan tetapi dalam kenyataan
berbagai masalah dan kepentingan sering muncul sebagai akibat dari
hubungan fungsional di bidang sosial ekonomi yang melewati batas-
batas wilayah administratif tersebut. Dalam konteks ini, alasan utama
diperlukan kerjasama antara pemerintah daerah adalah agar
berbagai masalah lintas wilayah administratif dapat diselesaikan
bersama dan sebaliknya agar banyak potensi yang mereka miliki
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Konsekuensinya
adalah harus dilakukan pembenahan microorganizationnal abilities of
governments di tingkat daerah – suatu bentuk reformasi manajemen
publik yang harus diperhatikan pemerintah saat ini, dan tidak semata
membenahi macroorganizational capacities di tingkat pusat (lihat Pollit
& Bouckaert, 2000: 10). Dengan kata lain, pembenahan kemampuan
institusi pemerintahanan di bawah pusat sangat diperlukan.
Alasan lain dilakukannya kerja sama antar pemerintah daerah adalah
sebagai berikut:
a. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat membentuk kekuatan yang
51. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 3-51
lebih besar. Dengan kerjasama antar pemerintah daerah,
kekuatan dari masing-masing daerah yang bekerjasama dapat
disinergikan untuk menghadapi ancaman lingkungan atau
permasalahan yang rumit sifatnya daripada kalau ditangani
sendiri-sendiri. Mereka bisa bekerjasama untuk mengatasi
hambatan lingkungan atau mencapai tingkat produktivitas yang
lebih tinggi.
b. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat mencapai kemajuan yang
lebih tinggi. Dengan kerjasama, masing-masing daerah akan
mentransfer kepandaian, ketrampilan, dan informasi, misalnya
daerah yang satu belajar kelebihan atau kepandaian dari daerah
lain. Setiap daerah akan berusaha memajukan atau
mengembangkan dirinya dari hasil belajar bersama.
c. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat lebih berdaya. Dengan
kerjasama, masing-masing daerah yang terlibat lebih memiliki
posisi tawar yang lebih baik, atau lebih mampu memperjuangkan
kepentingannya kepada struktur pemerintahan yang lebih tinggi.
Bila suatu daerah secara sendiri memperjuangkan
kepentingannya, ia mungkin kurang diperhatikan, tetapi bila ia
masuk menjadi anggota suatu forum kerjasama daerah, maka
suaranya akan lebih diperhatikan.
d. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat memperkecil atau
mencegah konflik. Dengan kerjasama, daerah-daerah yang
semula bersaing ketat atau sudah terlibat konflik, dapat bersikap
lebih toleran dan berusaha mengambil manfaat atau belajar dari
konflik tersebut.
e. Masing-masing pihak lebih merasakan keadilan. Masing-masing
daerah akan merasa dirinya tidak dirugikan karena ada
transparansi dalam melakukan hubungan kerjasama. Masing-
masing daerah yang terlibat kerjasama memiliki akses yang sama
terhadap informasi yang dibuat atau digunakan.
f. Masing-masing pihak yang bekerjasama akan memelihara
keberlanjutan penanganan bidang-bidang yang dikerjasamakan.
Dengan kerjasama tersebut masing-masing daerah memiliki
komitmen untuk tidak mengkhianati partnernya tetapi memelihara
hubungan yang saling menguntungkan secara berkelanjutan.
g. Kerjasama ini dapat menghilangkan ego daerah. Melalui
kerjasama tersebut, kecendrungan “ego daerah” dapat dihindari,
52. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 3-52
dan visi tentang kebersamaan sebagai suatu bangsa dan negara
dapat tumbuh.
Di masa mendatang, karena kerjasama antar pemerintah daerah
harus dilihat sebagai suatu kebutuhan penting yang tidak terelakkan
maka harus ada upaya yang sistimatis dan berkesinambungan dari
pihak pemerintah untuk memperkenalkan, mendorong dan
menginstitusionalisasikan kerjasama antara daerah agar pemerintah
daerah terbiasa melakukannya dan dapat mengambil manfaatnya.
3.4. Beberapa Isu-isu Strategis
Dalam kaitan dengan kerjasama tersebut terdapat tiga isu strategis
yang harus diidentifikasikan untuk kemudian dipelajari dan dibenahi,
yaitu (1) membenahi peran dan kemampuan Propinsi dalam
menyelenggarakan fungsi kerjasama antar daerah atau “local
government cooperation”, (2) menentukan bidang-bidang yang dapat
atau patut dikerjasamakan, dan (3) memilih model-model kerjasama
yang sesuai dengan hakekat bidang-bidang tersebut. Isu-isu ini
dianggap strategis karena posisinya sangat menentukan keberhasilan
kerjasama antar pemerintah daerah di masa mendatang.
3.4.1. Peran dan Kemampuan Propinsi
Secara formal Propinsi diberi peran yang cukup berarti dalam
menyelenggarakan kerjasama tersebut. Kewenangan Propinsi
sebagai daerah otonom telah diatur oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2000, yang mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota serta kewenangan
bidang pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan ini meliputi
bidang pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kehutanan
dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian,
penanaman modal, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, sosial, penataan ruang, permukiman, pekerjaan
umum, perhubungan, lingkungan hidup, politik dalam negeri dan
administrasi publik, pengembangan otonomi daerah, perimbangan
keuangan, dan bidang hukum dan perundang-undangan (lihat Pasal
3). Di dalam menjalankan kewenangan ini, Propinsi tidak hanya
memainkan peran sebagai pelaksana dan pengatur bidang tersebut
secara langsung dan lintas Kabupaten/Kota, tetapi juga
menyediakan dukungan/bantuan kerjasama antar Kabupaten/Kota
dalam bidang tertentu seperti pengembangan prasarana dan sarana
wilayah, penanaman modal, industri dan perdagangan, pertanian,
53. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 3-53
dan sebagainya. Dengan demikian secara formal, kerjasama antar
Kabupaten/Kota harus diatur atau difasilitasi oleh Propinsi.
Di dalam Peraturan Pemerintah yang sama juga dikatakan bahwa
Kabupaten/Kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan salah
satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan
tersebut melalui kerjasama antar Kabupaten/Kota, kerjasama
antara Kabupaten/Kota dengan Propinsi, atau menyerahkan
kewenangan tersebut kepada Propinsi. Dan pelaksanaan
kewenangan melalui kerjasama atau penyerahan suatu
kewenangan kepada Propinsi harus didasarkan pada Keputusan
Kepala Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (lihat PP Nomor 25
Tahun 2000, Pasal 4, butir a dan b).
Akan tetapi, ketentuan tentang peran Propinsi menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 seringkali dikritik karena
penyerahan kewenangan kepada Propinsi ini tidak
mempertimbangkan tingkat kemampuan Propinsi, yang menurut
kenyataannya bervariasi baik antara Jawa dan luar Jawa maupun
antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Hal
ini dapat menimbulkan masalah serius karena, secara teoritis suatu
penyerahan kewenangan kepada suatu pihak yang tidak
mempertimbangkan kemampuan dari pihak yang bersangkutan,
maka penyerahan tersebut akan menjadi sumber masalah di
kemudian hari (lihat Keban, 2004: 115). Didalam kenyataan, tingkat
kemampuan Propinsi untuk menyediakan dukungan kerjasama di
bidang pertanian, industri dan perdagangan, penanaman modal,
pengembangan prasarana dan sarana wilayah, pengaturan
kesepakatan tentang penataan tata ruang, dan penyelesaian
perselisihan antar Kabupaten/Kota, juga belum diketahui. Karena itu,
efektivitas implementasi dari Peraturan Pemerintah ini dapat
dikatakan masih diragukan.
3.4.2. Bidang-bidang yang dikerjasamakan
Identifikasi dan perencanaan mengenai bidang-bidang yang
dikerjasamakan jarang dilakukan, kecuali ada masalah gawat yang
menuntut penanganan segera. Harus diakui selama ini bahwa
kerjasama antar daerah (kabupaten-kota, kota-kota, kabupaten-
kabupaten, kabupaten/kota- propinsi) belum dirasakan sebagai suatu
kebutuhan sehingga tidak diperhitungkan dalam proses
perencanaan. Padahal berbagai permasalahan atau keputusan
54. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 3-54
internal suatu Kota/Kabupaten atau Propinsi sering berkaitan dengan
permasalahan atau keputusan di luar batas wilayahnya. Demikian
juga, ada banyak permasalahan pada suatu lokasi atau daerah yang
muncul ke permukaan karena adanya kebijakan yang berasal dari
daerah yang lain, seperti sampah, kriminalitas, kependudukan,
pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Suatu kebijakan publik yang
dibuat oleh suatu Kota atau Kabupaten sering kurang
memperhitungkan dampaknya bagi Kota atau Kabupaten lain.
Kerjasama antar Pemda merupakan salah satu dari pilihan-pilihan
yang dihadapi Pemerintah Daerah. Tidak semua masalah dan
pelayanan di daerah harus diselesaikan melalui Kerjasama antar
Pemda. Hanya masalah dan pelayanan tertentu yang dipecahkan
atau diselesaikan melalui kerjasama tersebut. Untuk itu, dibutuhkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Cara yang efektif untuk
menentukan kebutuhan tersebut adalah dengan mempelajari
hakekat permasalahan yang dihadapi atau kebutuhan yang
dirasakan dengan menggunakan prinsip “demand driven”, yaitu (1)
apakah suatu masalah tersebut timbul dari luar wilayah administratif
Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang serius ke
dalam wilayah administratif Pemerintah Daerah yang bersangkutan,
atau (2) apakah suatu masalah timbul dari dalam suatu wilayah
administratif Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak
yang serius keluar wilayah administratif Pemerintah Daerah yang
lain. Cara untuk mengetahui dampak tersebut adalah dengan
melakukan survey, kunjungan lapangan secara langsung,
mendengar berbagai keluhan warga yang terkena dampak,
melakukan focus group discussion dan penilaian terhadap
keseriusan dampak tersebut.
Untuk meningkatkan sensitivitas dalam melihat berbagai
permasalahan tersebut, diperlukan dua perspektif penting yang
melihat suatu Pemerintah Daerah baik dalam konteks administratif
maupun fungsional. Mengamati permasalahan yang dihadapi dalam
batas wilayah administratif adalah mengidentifikasi berbagai
permasalahan didalam wilayah Pemerintah Daerah yang mungkin
membawa dampak keluar batas wilayah Pemerintah Daerah.
Sementara itu, mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas
wilayah fungsional adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan
lintas wilayah administratif. Permasalahan-permasalahan yang
diidentifikasi tersebut harus diaggregasikan dan diartikulasikan untuk
55. Materi Tentang
Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
PT Jakarta Konsultindo 3-55
mendapatkan perhatian publik, DPRD, dan eksekutif.
3.4.3. Model Kerjasama
Selama ini, model-model kerjasama yang dapat dipilih sesuai
dengan hakekat bidang-bidang yang dikerjasamakan, nampaknya
belum diidentifikasikan secara luas. Belum teridentifikasikannya
model yang handal tersebut telah mempersulit pelaksanaan atau
perwujudan kerjasama antar daerah sebagaimana dituntut oleh PP
Nomor 25 Tahun 2000. Karena itu, perlu diinisiasi suatu model
mengenai kerjasama antar daerah dan sektor, yang kemudian dapat
dijadikan contoh. Pembahasan tentang model-model kerjasama
nampaknya cukup luas karena menyangkut banyak bentuk
kerjasama sehingga disajikan secara tersendiri dalam sub bahasan
berikut.
3.5. Bentuk-Bentuk Kerjasama
Secara teoritis, istilah kerjasama (cooperation) telah lama dikenal dan
dikonsepsikan sebagai suatu sumber efisiensi dan kualitas pelayanan
(lihat Rosen, 1993). Kerjasama telah dikenal sebagai cara yang jitu
untuk mengambil manfaat dari ekonomi skala (economies of scales).
Pembelanjaan atau pembelian bersama, misalnya, telah membuktikan
keuntungan tersebut, dimana pembelian dalam skala besar atau
melebihi “threshold points”, akan lebih menguntungkan dari pada
dalam skala kecil. Dengan kerjasama tersebut biaya overhead
(overhead cost) akan teratasi meskipun dalam skala yang kecil.
Sharing dalam investasi, misalnya, akan memberikan hasil akhir yang
lebih memuaskan seperti dalam penyediaan fasilitas dan peralatan,
serta pengangkatan spesialis dan administrator. Kerjasama juga
dapat meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya dalam pemberian
atau pengadaan fasilitas, dimana masing-masing pihak tidak dapat
membelinya sendiri. Dengan kerjasama, fasilitas pelayanan yang
mahal harganya dapat dibeli dan dinikmati bersama, seperti pusat
rekreasi, pendidikan orang dewasa, transportasi, dsb. Kerjasama
antar Pemerintah Daerah adalah suatu bentuk pengaturan kerjasama
yang dilakukan antar pemerintahan daerah dalam bidang-bidang yang
disepakati untuk mencapai nilai efisiensi dan kualitas pelayanan yang
lebih baik.
Secara historis, mekanisme kerjasama antar pemerintah lokal telah
menjadi isu penting di negara maju (lihat Henry, 1995) dimulai dari
bidang yang sangat terbatas seperti kepolisian dan pemadam