1. SKABIES
A. Morfologi dan Siklus Hidup Skabies
Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthopoda , kelas Arachnida, ordo Ackarina,
superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis. Kecuali
itu terdapat S. scabiei yang lainnya pada kambing dan babi.
Morfologi
Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung
dan bagian perutnya rata. Tungau ini transient, berwarna putih kotor, dan tidak
bermata. Ukurannya yang betina berkisar antara 330 – 450 mikron x 250 – 350 mikron,
sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 – 240 mikron x 150 – 200 mikron.
Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat alat
untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut,
sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat
berakhir dengan alat perekat.
Sarcoptes scabiei var hominis
Siklus Hidup
Siklus hidup tungau ini sebagai berikut. Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi
di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam
terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali
1
2. terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter sehari dan
sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50 .
Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan
menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang
kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3
hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4
pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa
memerlukan waktu antara 8 – 12 hari.(Handoko, R, 2001).
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 – 4 hari, kemudian larva meninggalkan
terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi
nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau betina akan mati setelah
meninggalkan telur, sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi. ( Mulyono, 1986).
Sarcoptes scabiei betina dapat hidup diluar pada suhu kamar selama lebih kurang 7
– 14 hari. Yang diserang adalah bagian kulit yang tipis dan lembab, contohnya lipatan
kulit pada orang dewasa. Pada bayi, karena seluruh kulitnya masih tipis, maka seluruh
badan dapat terserang. (Orkin, 2008).
Siklus Hidup Skabies
Sumber : http://seekerofthetruth12.wordpress.com/2010/12/30/pedikulosis-dan-skabies/
2
3. B. Gejala Klinis Skabies
Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah,iritasi dan rasa gatal pada kulit yang
umumnya muncul di sela-sela jari, siku, selangkangan, dan lipatan paha. Gejala lain
adalah munculnya garis halus yang berwarna kemerahan di bawah kulit yang
merupakan terowongan yang digali Sarcoptes betina. Gejala lainnya muncul
gelembung berair (vesikel) pada kulit.
Ada 4 tanda cardinal (Handoko, R, 2005) :
a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas
tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
b. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang
berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi,
yang seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun mengalami infestasi tungau,
tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna
putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1
cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi
sekunder ruam kulitnya menjadi polimarf (pustule, ekskoriasi dan lain-lain).
Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang
tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar,
lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia
eksterna (pria) dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan
dan telapak kaki.
d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostic. Dapat ditemukan satu
atau lebih stadium hidup tungau ini.
Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal tersebut.
C. DASAR PENEGAKKAN DIAGNOSIS PENYAKIT SKABIES
1. Anamnesis
Menurut Rahariyani (2007), beberapa hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis
antara lain:
1. Biodata
3
4. Perlu dikaji secara lengkap untuk umur, penyakit scabies bisa menyerang semua
kelompok umur, baik anak-anak maupun dewasa bisa terkena penyakit ini,
tempat, paling sering di lingkungan yang kebersihannya kurang dan padat
penduduknya seperti asrama dan penjara.
2. Keluhan Utama
Biasanya penderita datang dengan keluhan gatal dan ada lesi pada kulit.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya penderita mengeluh gatal terutama malam hari dan timbul lesi
berbentuk pustule pada sela-sela jari tangan, telapak tangan, ketiak, areola
mammae, bokong, atau perut bagian bawah. Untuk menghilangkan gatal,
biasanya penderita menggaruk lesi tersebut sehingga ditemukan adanya lesi
tambahan akibat garukan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada penyakit lain yang dapat menimbulkan scabies kecuali kontak
langsung atau tidak langsung dengan penderita.
5. Riwayat penyakit keluarga
Pada penyakit skabies, biasanya ditemukan anggota keluarga lain, tetangga atau
juga teman yang menderita, atau mempunyai keluhan dan gejala yang sama.
6. Psikososial
Penderita skabies biasanya merasa malu, jijik, dan cemas dengan adanya lesi
yang berbentuk pustul. Mereka biasanya menyembunyikan daerah-daerah yang
terkena lesi pada saat interaksi sosial.
7. Pola kehidupan sehari-hari
Penyakit skabies terjadi karena hygiene pribadi yang buruk atau kurang
(kebiasaan mandi, cuci tangan dan ganti baju yang tidak baik). Pada saat
anamnesis, perlu ditanya secara jelas tentang pola kebersihan diri penderita
maupun keluarga. Dengan adanya rasa gatal dimalam hari, tidur penderita
sering kali terganggu. Lesi dan bau yang ridak sedap, yang tercium dari sela-
sela jari atau telapak tangan akan menimbulkan gangguan aktivitas dan interaksi
sosial.
2. Pemeriksaan Fisik
Menurut Harahap (2000), dari pemeriksaan fisik didapatkan kelainan berupa:
1. Terowongan berupa garis hitam, lurus, berkelok, atau terputus-putus, berbentuk
benang.
4
5. 2. Papula, urtikaria, ekskoriasi dalam perubahan eksematous ialah lesi-lesi
sekunder yang disebabkan sensitisasi terhadap parasit, serta ditemukan
eksantem.
3. Terlihat infeksi bakteri sekunder dengan impegtinasi dan furunkulosis.
Lokasi biasanya pada tempat dengan stratum korneum yang tipis seperti: sela-sela
jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian
depan, areola mammae (wanita), umbilikus, bokong, genitalia eksterna (pria) dan
perutbagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tngan dan kaki bahkan
diseluruh permukaan kulit, sedangkan pada remaja dan dewasa dapat timbul pada
kulit kepala dan wajah (Siregar, 2005).
Sifat-sifat lesi berupa papula dan vesikel milier sampai lentikuler disertai
ekskoriasi. Bila terjadi infeksi sekunder tampak pustule lentiuler. Lesi yang khas
adalah terowongan (kanalikulus) milier, tampak berasal dari salah satu papula atau
vesikel, panjang kira-kira 1 cm, berwarna putih abu-abu. Ujung kanalikuli adalah
tempat persembunyian dan bertelur Sarcoptes scabiei (Siregar, 2005).
Gambar lesi skabies
Sumber: http://intanrisna.blogspot.com/2010/04/scabies.html
3. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Tabri (2005), diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya tungau
pada pemeriksaan mikroskopis yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
1. Kerokan kulit.
Minyak mineral diteteskan di atas papul atau terowongan baru yang masih
utuh, kemudian dikerok dengan menggunakan scalpel steril untuk mengangkat
atap papul atau terowongan, lalu diletakkan di atas gelas objek, di tutup dengan
gelas penutup, dan diperiksa di bawah mikroskop. Hasil positif apabila tampak
5
6. tungau, telur, larva, nimfa, atau skibala. Pemeriksaan harus dilakukan dengan
hati-hati pada bayi dan anak-anak atau pasien yang tidak kooperatif
2. Mengambil tungau dengan jarum.
Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap, lalu
digerakkan secara tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat
diangkat keluar.
3. Epidermal shave biopsi.
Mencari terowongan atau papul yang dicurigai pada sela jari antara ibu jari dan
jari telunjuk, lalu dengan hati-hati diiris pada puncak lesi dengan scalpel no.16
yang dilakukan sejajar dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat
superficial sehingga tidak terjadi perdarahan dan tidak memerlukan anestesi.
Spesimen kemudian diletakkan pada gelas objek, lalu ditetesi minyak mineral
dan periksa di bawah mikroskop.
4. Tes tinta Burrow.
Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, kemudian segera dihapus dengan
alkohol. Jejak terowongan akan tampak sebagai garis yang karakteristik
berbelok-belok karena adanya tinta yang masuk. Tes ini mudah sehingga dapat
dikerjakan pada bayi/anak dan pasien nonkooperatif.
5. Kuretasi terowongan.
Kuretasi superficial sepanjang sumbu terowongan atau pada puncak papul, lalu
kerokan diperiksa dibawah mikroskop setelah ditetesi minyak mineral. Cara ini
dilakukan pada bayi, anak-anak dan pasien nonkooperatif.
D. Pengobatan
Menurut Handoko (2008), obat-obat anti skabies yang tersedia dalam bentuk
topikal antara lain:
1. Belerang endap (sulfur presipitatum), dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep
atau krim. Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.
Sulfur adalah antiskabietik tertua yang telah lama digunakan, sejak 25 M.
- Cara pemakaiannya: sangat sederhana, yakni mengoleskan salep setelah
mandi ke seluruh kulit tubuh selama 24 jam selama tiga hari berturut-turut.
- Keuntungannya: harganya yang murah dan mungkin merupakan satu-
satunya pilihan di negara yang membutuhkan terapi massal.Bila kontak
dengan jaringan hidup, preparat ini akan membentuk hydrogen sulfide dan
pentathionic acid (CH2S5O6) yang bersifat germicid dan fungicid. Secara
6
7. umum sulfur bersifat aman bila digunakan oleh anak-anak, wanita hamil
dan menyusui serta efektif dalam konsentrasi 2,5% pada bayi.
- Kerugian/Efek samping: pemakaian obat ini adalah bau tidak enak,
mewarnai pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi.
2. Emulsi benzil-benzoat (20-25%)
Benzil benzoat adalah ester asam benzoat dan alkohol benzil yang merupakan
bahan sintesis balsam peru.
- Cara Kerja: Benzil benzoat bersifat neurotoksik pada tungau skabies.
- Cara Pemakaian: Digunakan sebagai 25% emulsi dengan periode kontak 24
jam dan pada usia dewasa muda atau anak-anak, dosis dapat dikurangi
menjadi 12,5%. Benzil benzoate sangat efektif bila digunakan dengan baik
dan teratur dan secara kosmetik bisa diterima.
- Efek samping dari benzil benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan
pada wajah dan skrotum, karena itu penderita harus diingatkan untuk tidak
menggunakan secara berlebihan. Penggunaan berulang dapat menyebabkan
dermatitis alergi. Terapi ini dikontraindikasikan pada wanita hamil dan
menyusui, bayi, dan anak-anak kurang dari 2 tahun. Tapi benzil benzoate
lebih efektif dalam pengelolaan resistant crusted scabies.
3. Gama benzena heksa klorida (gameksan=gammexane ; Lindane
- Cara Kerja: Lindane juga dikenal sebagai hexaklorida gamma benzena,
adalah sebuah insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat (SSP)
tungau. Lindane diserap masuk ke mukosa paru-paru, mukosa usus, dan
selaput lendir kemudian keseluruh bagian tubuh tungau dengan konsentrasi
tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang menyebabkan eksitasi,
konvulsi, dan kematian tungau. Lindane dimetabolisme dan diekskresikan
melalui urin dan feses.
- Cara Pemakaian: Lindane tersedia dalam bentuk krim, lotion, gel, tidak
berbau dan tidak berwarna. Pemakaian secara tunggal dengan mengoleskan
ke seluruh tubuh dari leher ke bawah selama 12-24 jam dalam bentuk 1%
krim atau lotion. Setelah pemakaian dicuci bersih dan dapat diaplikasikan
lagi setelah 1 minggu. Hal ini untuk memusnahkan larva-larva yang
menetas dan tidak musnah oleh pengobatan sebelumnya. Beberapa
penelitian menunjukkan penggunaan Lindane selama 6 jam sudah efektif.
Dianjurkan untuk tidak mengulangi pengobatan dalam 7 hari, serta tidak
menggunakan konsentrasi lain selain 1%.
7
8. - Efek Samping: Efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas
SSP, kejang, dan bahkan kematian pada anak atau bayi walaupun jarang
terjadi. Tanda-tanda klinis toksisitas SSP setelah keracunan lindane yaitu
sakit kepala, mual, pusing, muntah, gelisah, tremor, disorientasi, kelemahan,
berkedut dari kelopak mata, kejang, kegagalan pernapasan, koma, dan
kematian. Beberapa bukti menunjukkan lindane dapat mempengaruhi
perjalanan fisiologis kelainan darah seperti anemia aplastik,
trombositopenia, dan pancytopenia.
4. Krotamiton 10%
Krotamion (crotonyl-N-etil-o-toluidin) digunakan sebagai krim 10% atau
lotion. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50% dan 70%.
- Cara pemakaian: Hasil terbaik telah diperoleh bila diaplikasikan dua kali
sehari selama lima hari berturut-turut setelah mandi dan mengganti pakaian
dari leher ke bawah selama 2 malam kemudian dicuci setelah aplikasi
kedua.
- Efek samping yang ditimbulkan berupa iritasi bila digunakan jangka
panjang.Beberapa ahli beranggapan bahwa Krotamiton krim ini tidak
memiliki efektivitas yang tinggi terhadap skabies. Krotamiton 10% dalam
krim atau losion, tidak mempunyai efek sistemik dan aman digunakan pada
wanita hamil, bayi dan anak kecil
5. Permetrin dengan kadar 5%
- Cara kerja: Merupakan sintesa dari pyrethroid dan bekerja dengan cara
mengganggu polarisasi dinding sel saraf parasit yaitu melalui ikatan dengan
natrium. Hal ini memperlambat repolarisasi dinding sel dan akhirnya terjadi
paralise parasit. Obat ini merupakan pilihan pertama dalam pengobatan
scabies karena efek toksisitasnya terhadap mamalia sangat rendah dan
kecenderungan keracunan akibat kesalahan dalam penggunaannya sangat
kecil. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit yang terabsorpsi di kulit dan
cepat dimetabolisme yang kemudian dikeluarkan kembali melalui keringat
dan sebum, dan juga melalui urin. Belum pernah dilaporkan resistensi
setelah penggunaan obat ini.
- Cara pemakaian: Permethrin tersedia dalam bentuk krim 5%, yang
diaplikasikan selama 8-12 jam dan setelah itu dicuci bersih. Apabila belum
sembuh bisa dilanjutkan dengan pemberian kedua setelah 1 minggu.
Permethrin jarang diberikan pada bayi-bayi yang berumur kurang dari 2
8
9. bulan, wanita hamil dan ibu menyusui. Wanita hamil dapat diberikan
dengan aplikasi yang tidak lama sekitar 2 jam.
- Efek samping: jarang ditemukan, berupa rasa terbakar, perih dan gatal,
namun mungkin hal tersebut dikarenakan kulit yang sebelumnya memang
sensitive dan terekskoriasi.
E. Upaya Pencegahan
Untuk melakukan pencegahan terhadap penularan scabies, orang-orang yang kontak
langsung atau dekat dengan penderita harus diterapi dengan topikal skabisid. Terapi
pencegahan ini harus diberikan untuk mencegah penyebaran scabies karena seseorang
mungkin saja telah mengandung tungau scabies yang masih dalam periode inkubasi
asimptomatik. Selain itu untuk mencegah terjadinya reinfeksi melalui seprei, bantal,
handuk dan pakaian yang digunakan dalam 5 hari terakhir, harus dicuci bersih dan
dikeringkan dengan udara panas karena tungau scabies dapat hidup hingga 3 hari diluar
kulit, karpet dan kain pelapis lainnya sehingga harus dibersihkan (Orkin, 2005)
F. Diagnosis Banding
Diagnosis banding skabies adalah (Siregar, R.S,1996):
a. Prurigo
Diagnosis banding berupa prurigo hampir menimbulkan gejala yang sama dengan
skabies. Namun biasanya pada prurigo ditemukan papel-papel yang gatal, predileksi
pada bagian ekstensor ekstremitas. Hal ini berbeda dengan predileksi dari skabies yang
cenderung mengenai bagian tubuh yang memiliki stratum korneum kulit yang tipis,
seperti sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, ketiak, dll.
Gambar lesi prurigo
Sumber: http://www.dermis.net/dermisroot/en/33728/image.htm
9
10. b. Gigitan serangga
Diagnosis banding gigitan serangga biasanya gejalanya jelas timbul sesudah ada
gigitan. Efloresensinya urtikaria papuler yang hampir sama dengan skabies.
c. Folikulitis
Perbedaannya dengan skabies adalah bahwa pada folikulitis biasanya disertai nyeri
berupa pustule miliar dikelilingi daerah yang eritema.
Gambar lesi folikulitis superfisialis. Pustul multiple terlihat pada daerah jenggot.
Sumber: http://referatnaya.blogspot.com/2011_08_01_archive.html
10
11. PEDIKULOSIS KAPITIS
A. Morfologi dan Siklus Hidup Pediculosis Humanus Var Capitis
Bentuk pediculus humanus lonjong, pipih dorso-ventralkepala berbentuk segitiga,
segmen toraks bersatu dan abdomen bersegmen. Ujung setiap kaki dilengkapi dengan
kuku. Tuma kepala berjalan dari satu helai rambut ke rambut lain dengan menjepit rambut
dengan kuku-kukunya. Tuma dapat pindah ke hospes lain. Telur (nits) berwarna putih,
dilekatkan pada rambut dengan perekat kitin (chitin-like cement).Pediculus dewasa lebih
menyukai rambut di bagian belakang kepala daripada rambut bagian depan kepala. Tuma
kepala mengisap darah sedikit demi sedikit dalam jangka waktu lama. Waktu yang
diperlukan untuk pertumbuhan sejak telur sampai menjadi dewasa rata-rata 18 hari,
sedangkan tuma dewasa dapat hidup 27 hari (Sutanto, 2008)
Pediculosis humanus var capitis
Pediculosis humanus var capitis mempunyai 2 mata dan 3 pasang kaki, berwarna
abu-abu dan menjadi kemerahan jika telah menghisap darah. Terdapat 2 jenis kelamin
ialah jantan dan betina, yang betina dengan ukuran panjang 1,0-1,5 mm dan lebar kurang ½
panjangnya, jantan lebih kecil dan jumlahnya hanya sedikit. Siklus hidupnya melalui
stadium telur, larva, nimfa, dan dewasa. Telur diletakkan di sepanjang rambut dan
mengikuti tumbuhnya rambut, yang berarti makin ke ujung terdapat telur yang lebih
matang (Fitzpatrick, 2008).
11
12. Siklus hidup
Sumber : http://seekerofthetruth12.wordpress.com/2010/12/30/pedikulosis-dan-skabies/
B. Gejala Klinis Pedikulosis Kapitis
Gejala yang dominan hanya rasa gatal, terutama pada daerah oksiput dan temporal
serta dapat meluas ke seluruh kepala. Kemudian karena garukan, terjadi erosis, ekskoriasi,
dan infeksi sekunder (pus, krusta). Bila infeksi sekunder berat, rambut akan bergumpal,
disebabkan oleh banyaknya pus dan krusta (plikapelonika) dan disertai dengan pembesaran
kelenjar getah bening regional (oksiput dan retroaurikuler). Pada keadaan tersebut kepala
memberikan bau busuk (Mansjoer, 2000).
C. Dasar Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
- Biodata : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan
- Anamnesa yang berkaitan dengan pedikulosis
o Keluhan atau gejala yang dirasakan?
o Sejak kapan gejala dirasakan?
o Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien?
o Apakah pasien pernah mengalami gatal-gatal di sekitar kulit kepala?
12
13. o Apakah pasien pernah pinjam-meminjam alat mandi, handuk, baju, sisir,
bantal, kasur, topi kepada orang lain atau anggota keluarga?
o Identifikasi aktifitas pasien selama di rumah.
o Riwayat penggunaan obat (bagaimana pengobatan sebelumnya)?
2. Pemeriksaan fisik
Kulit kepala: ditemukan telur-telur di rambut pada oksiput dan di atas telinga
(biasanya terdapat kurang dari 10 ekor kutu dewasa). Ditemukan impetigo sekunder
dan furunkulosis (Fitzpatrick, 2008)
3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti adalah dengan menemukan kutu atau telur, terutama dicari di
daerah oksiput dan temporal, telur berwarna abu-abu dan berkilat (Mansjoer, 2000)
D. Pengobatan
1. Permethrin 1%
Permethrin 1% cream rinse diberikan ke kulit kepala dan rambut. Awalnya rambut
dicuci dengan shampo dan kemudian dikeringkan dengan handuk. Lalu diberikan
permethin 1% selama 10 menit kemudian dibilas. Hal ini diperkirakan dapat
membasmi sekitar 20-30% dari telur. Tetapi, disarankan pemakainnya diulang
apabila masih terlihat 7-10 hari setelahna. Permethrin mempunyai keuntungan efek
toksin yang rendah dan pengobatannya cepat.
2. Pyrethrin
Pyrethrin diperoleh dari suatu sari alami bunga chrysanthemum. Pytherin yang
dikombinasi dengan piperonyl butoxide adalah neurotoksik untuk kutu tetapi
kurang toksik terhadap manusia. Produk ini seperti sampo dimana diberikan pada
rambut yang kering dan didiamkan selama 10 menit sebelum dibilas. Penggunaan
dapat diulang 7-10 hari kemudian untuk membasmi kutu kepala yang baru.
3. Malathion
Malathion adalah penghambat kolinesterase dan telah digunakan selama 20 tahun
untuk pengobatan kutu kepala. Malathion 0,5% atau 1% digunakan dalam bentuk
lotion atau spray.
Caranya: malam sebelum tidur, rambut dicuci dengan sabun kemudian dipakai
lotion malathion, lalu kepala ditutup dengan kain. Keesokan harinya, rambut dicuci
13
14. lagi dengan sabun lalu disisir dengan sisir yang halus dan rapat. Pengobatan ini
dapat diulang lagi seminggu kemudian, jika masih terdapat kutu atau telur.
4. Lindane 1%
Lindane adalah organochloride yang mempunyai efek toksik terhadap CNS apabila
penggunaanya tidak benar. Penggunaannya seperti sampo dan dapat didiamkan
kurang lebih selama 10 menit dengan pemakaian yang berulang dalam 7-10 hari.
Dalam beberapa tahun kasus resisten pernah dilaporkan diseluruh dunia. Oleh
karena adanya efek toksik terhadap CNS yang dapat menyebabkan serangan dan
kematian, sehingga penggunaan lindane terhadap pasien harus dibatasi.
5. Krotamiton 10%
Krotamitron 10% dalam bentuk lotion digunakan untuk terapi. Pemakaiaanya
adalah dengan pengolesan di kulit kepala dan didiamkan selama 24 jam sebelum
dibilas. Aman untuk anak-anak, dewasa, dan wanita hamil.
E. Upaya Pencegahan
Penyakit ini pada dasarnya dapat dicegah melalui pola hidup yang bersih. Misalnya
dengan pemberantasan kutu yang berada dilingkungan sekitar. Benda-benda yang terpapar
dengan penderita (misalnya, kasur, bantal, linen, handuk, mainan, topi) seharusnya dicuci
bila memungkinkan kemudian dikeringkan. Air yang digunakan adalah air panas dengan
suhu lebih dari 50-55°C selama paling kurang 5 menit.
Membersihkan lingkungan tempat tinggal akan membantu mengurangi kesempatan
untuk terpapar kembali dengan kutu kepala. Periksalah setiap orang yang berada didalam
lingkungan rumah tangga pada saat bersamaan, sebelum membersihkan lingkungan
tersebut. Bersihkan semua lantai dengan alat penghisap debu, permadani, bantal, karpet,
dan semua pelapis meubel yang ada. Semua sisir dan sikat rambut yang digunakan oleh
penderita kutu kepala harus di rendam dalam air dengan suhu diatas 130°F( 540C) ,
alkohol atau pedikulosid selama 1 jam.
Penjelasan kepada anak-anak terutama tentang cara mencegah penularan melalui
penggunaan topi, sisir, dan bandana bersama juga dapat dipertimbangkan. Menyediakan
tempat penyimpanan barang-barang milik anak secara terpisah di dalam ruang kelas juga
dapat mencegah penyebaran kutu ini.
14
15. F. Diagnosis banding
Diagnosis banding pedikulosis korporis (Mansjoer, 2000) :
1. Tinea kapitis
Adalah dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala dimana terdapat kelainan
berupa lesi bersisik, kemerahan, kerion dan gatal. Pada pemeriksaan dengan KOH,
akan didapatkan spora dan hifa yang merupakan elemen jamur yang merupakan
penyebab tinea kapitis.
Gambar kerion
Sumber : http://alfinzone.wordpress.com/2010/11/17/60/
Persamaan antara pedikulosis kapitis dan tinea kapitis antara lain:
Pada kedua kasus terdapat pruritus sebagai salah satu gejala
Pada kedua kasus dapat timbul papula, namun papula yang timbul di
pedikulosis capitis diakibatkan karena gigitan sedangkan pada tinea kapitis
karena peradangan yang timbul akibat infeksi jamur
Pada kedua kasus dapat timbul pus dan krusta, pada pedikulosis kapitis pus dan
krusta timbul karena infeksi sekunder
Lesi pada kedua kasus dapat menjalar hingga alis mata dan dekat mata
Kedua kasus sering terjadi pada pasien anak-anak
Dapat terjadi limfadenopati regional pada kedua kasus
Perbedaan pedikulosis kapitis dan tinea kapitis:
15
16. No Pedikulosis Kapitis Tinea Kapitis
1 Gejala pruritus merupakan gejala awal Gejala awal dapat berupa papula eritema
dan lebih berat pada malam hari, gejala tous dan pruritus yang didapati memiliki
pruritus dapat mengganggu aktivitas derajat yang minimal
termasuk tidur di malam hari
2 Erosi dan ekskoriasi sering terjadi Erosi dan ekskoriasi sangat jarang
karena garukan akibat pruritus yang terjadi
berat
3 Alopecia merupakan gejala yang jarang Alopecia sering terjadi
terjadi pada pedikulosis kapitis
4 Tidak terdapat perubahan warna rambut Grey patch ringworm merupakan tanda
yang khas dengan terjadinya perubahan
warna rambut menjadi abu-abu dan tidak
berkilat lagi.
5 Tidak terdapat kerion Kerion reaksi peradangan yang berat
pada tinea kapitis yang berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang
lebah dengan sebukan sel radang yang
padat di sekitarnya, terutama jika
penyebabnya adalah Microsporum canis
dan Microsporum gypseum
6 Tidak terdapat black dot Black dot ringworm merupakan salah
satu tanda yang khas terutama jika
disebabkan oleh Trichophyton tonsurans
dan Trichophyton violaceum. Rambut
yang terkena infeksi patah, tepat pada
muara folikel dan yang tertinggal adalah
ujung rambut yang penuh dengan spora.
Ujung rambut yang hitam itu member
gambaran yang khas, yaitu black dot
7 Pada pemeriksaan wood lamp, Pada pemeriksaan wood lamp dapat
fluoresensi yang didapat berwarna berwarna kehijauan sampai kuning
kuning kehijauan kehijauan pada by M canis, M audouinii,
M rivalieri, dan M ferrugineum atau
hijau sampai biru keputihan pada
Trichophyton schoenleinii
8 Dapat ditemukan Pediculus humanus Tidak ditemukan Pediculus humanus
var. capitis pada rambut penderita var. capitis kecuali pada infeksi
sekunder dari kedua belah pihak
16
17. 2. Pioderma (Impetigo Krustosa)
Impetigo krustosa disebabkan oleh Staphylococcus beta hemolyticus ditandai
dengan eritema dan vesikel yang cepat memecah sehingga jika penderita datang
berobat yang terlihat adalah krusta tebal berwarna kuning seperti madu.
Gambar lesi impetigo krustosa
Persamaan antara pedikulosis kapitis dan impetigo krustosa, antara lain:
Pada kedua penyakit dapat ditemukan pus dan krusta
Pruritus merupakan salah satu gejala penyakit yang dapat terjadi
Limfadenopati regional dapat terjadi
Pada kedua kasus dapat didapati gigitan serangga terutama jika pioderma ini
merupakan infeksi sekunder pedikulosis kapitis
Sering terjadi pada anak-anak
Perbedaan antara pedikulosis kapitis dan impetigo krustosa:
No Pedikulosis Kapitis Impetigo krustosa
1 Gejala pruritus merupakan gejala awal Gejala awal dapat berupa vesikel dan
dan lebih berat pada malam hari, gejala eritema yang mudah pecah sehingga
pruritus dapat mengganggu aktivitas kemudian meninggalkan eksudat pus
termasuk tidur di malam hari diwajah, pruritus minimal.
2 Erosi dan ekskoriasi sering terjadi Erosi dan ekskoriasi sangat jarang
karena garukan akibat pruritus yang terjadi, namun dapat terjadi karena
berat pruritus
3 Gejala dan gambaran klinik terjadi di Predileksi terjadinya lesi adalah di
kepala dan rambut pasien mwajah, yakni di sekitar hidung dan
mulut karena dianggap merupakan
sumber infeksi tersebut.
4 Tidak ada komplikasi ke organ dalam Dapat melibatkan ginjal sehingga
menimbulkan glomerulonefritis
17
18. 3. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik memberikan gambaran klinis berupa daerah eritema dan
skuama pada daerah kepala dan terasa gatal oleh penderita. Dapat dibedakan dengan
pedikulosis kapitis dengan tidak ditemukannya telur ataukutu pada daerah kepala yang
gatal.
Gambar dermatitis seboroik
Sumber: http://www.docstoc.com/docs/55947197/Dermatitis-Seboroik
Perbedaan antara pedikulosis kapitis dan dermatitis seboroik:
No Pedikulosis Kapitis Dermatitis seboroik
1 Gejala pruritus merupakan gejala awal Gejala awal dapat berupa eritema dan
dan lebih berat pada malam hari, gejala skuama berminyak dan pruritus terjadi
pruritus dapat mengganggu aktivitas pada dermatitis seboroik yang
termasuk tidur di malam hari bermanifestasi secara aktif
2 Erosi dan ekskoriasi sering terjadi Erosi dan ekskoriasi sangat jarang
karena garukan akibat pruritus yang terjadi, namun dapat terjadi karena
berat pruritus
3 Tidak terdapat skuama Dapat terjadi skuama berminyak dengan
batas yang tidak terlalu jelas dan agak
kekuningan. Skuama yang halus mulai
sebagai bercak kecil yang kemudian
mengenai seluruh kulit kepala dengan
skuama yang halus dan kasar. Kelainan
ini disebut pitiariasis sika
4 Kecenderungan rambut untuk rontak Rambut punya kecendenrungan untuk
kurang rontok, mulai di bagian vertex dan
frontal
5 Tidak terjadi blefaritis Dapat terjadi blefaritis
6 Hanya terjadi di kulit kepala dan rambut Dapat mengenai liang telinga luar,
sebagai tempat tinggal organism lipatan nasolabial, daerah sterna, areola
mammae, lipatan di bawah mammae
pada wanita, interskapular, umbilicus,
lipat paha, dan daerah anogenital
7 Papula yang timbul di kulit kepala Papula sering timbul di daerah pipi,
karena gigitan kutu hidung dan dahi 18
19. Persamaan antara pedikulosis kapitis dan dermatitis seboroik:
Daerah predileksi yaitu di daerah kulit kepala
Dapat terbentuk eksudat dan krusta yang tebal
Pruritus merupakan salah satu gejala yang dapat terjadi pada kedua kasus
Sering terjadi pada anak-anak, pada dermatitis seboroik dihubungkan dengan
aktifnya kelenjar sebasea.
19
20. PEDIKULOSIS KORPORIS
A. Morfologi dan Daur Hidup Pediculosis humanus var corporis
Pediculosis humanus var corporis mempunyai 2 jenis kelamin, yakni jantan dan
betina berukuran panjang 1,2-4,2 mm dan lebar kira-kira ½ panjangnya, sedangkan yang
jantan lebih kecil. Siklus hidup dan warna kutu ini sama dengan yang ditemukan pada
kepala (Fitzpatrick, 2008).
Pada kutu tubuh P.humanus var corporis lebih besar dari kutu kepala 30%, tapi
pada dasarnya memiliki morfologi yang sama. Rentang kehidupan rata-rata 18 hari dan
selama waktu ini kutu betina dapat menghasilkan 270-300 telur. Kutu ini biasanya
ditularkan melalui pakaian yang terkontaminasi atau tempat tidur. Kutu bisa bertahan
hidup di lapisan pakaian tanpa makan sampai 3 hari. Setelah terkena, tidak mencuci
pakaian dan mengganti baju memungkinkan kutu dapat bertahan (Fitzpatrick, 2008).
Pediculus humanus var corporis
Siklus hidup Pediculus humanus var corporis
20
21. B. Gejala Klinis Pedikulosis Korporis
Gejala klinisnya (Fitzpatrick, 2008):
- Makula, terutama pada daerah tubuh tempat pakaian terikat seperti pinggang,
bokong, dan paha.
- Bekas garukan berukuran 1,5 cm pada badan karena gatal baru berurang dengan
garukan yang lebih intensif.
- Kadang timbul infeksi sekunder dengan pembesaran kelenjar getah bening
regional/
- Pigmentasi pascainflamasi yang terjadi pada kasus kronis
C. Dasar Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
- Biodata : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan
- Anamnesa yang berkaitan dengan pedikulosis
o Keluhan atau gejala yang dirasakan?
o Sejak kapan gejala dirasakan?
o Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien?
o Apakah pasien pernah mengalami gatal-gatal di sekitar badan?
o Apakah pasien pernah pinjam-meminjam alat mandi, handuk, baju, sisir,
bantal, kasur, topi kepada orang lain atau anggota keluarga?
o Identifikasi aktifitas pasien selama di rumah.
o Riwayat penggunaan obat (bagaimana pengobatan sebelumnya)?
2. Pemeriksaan Fisik
Terlihat jalur bekas garukan sejajar, perubahan-perubahan urtikaria, dan papula
erithematosa, lesi tampak jelas. Ditemukan kutu-kutu yang biasanya terdapat pada
lipatan-lipatan pakaian dan jarang sekali di kulit.
3. Pemeriksaan Penunjang
21
22. Diagnosis pasti adalah menemukan kutu dan telur pada serat kapas pakaian. Bisa
juga dilakukan pemeriksaan lampu wood pada lesi yang akan berfloresensi
berwarna kuning-kehijauan.
D. Pengobatan
1. Gameksan (Lindane)
Cara Kerja: Gameksan atau lindane adalah organoklorid yang dapat membunuh
kutu dengan menyebabkan aralisis system respiratorius. Obat ini menekan aksi
parasit dengan menyerap langsung pada parasit dan telurnya. GABA-gated chloride
channel menurunkan inhibisi neuronal yang mengakibatkan terjadinya hipereksitasi
system saraf pusat sehingga menyebabkan kematian. Cara Pemakaian: Gameksan
1% dioleskan tipis diseluruh tubuh kemudian didiamkan 24 jam, setelah itu
penderita disuruh mandi. Efek samping: dapat menimbulkan risiko tokisisitas pada
system saraf pusat (Ko CJ, 2004).
2. Permethrin 5%
Cara Kerja : mengganggu transport sodium pada arthropoda, kemudian
menimbulkan depolarisasi neuromembran dan berakhir dengan paralisis system
respiratoriusnya.
Cara Pemakaian: krim permethrin 5% dioleskan diseluruh tubuh sampai jempol,
kemudian didiamkan 8-10 jam lalu dibersihkan dengan cara mandi (Fitzpatrick,
2008)
3. Benzil benzoate
Cara kerja: merusak system saraf kutu dan akhirnya menyebabkan kematian hanya
dalam waktu 5 menit.
Cara Pemakaian: Digunakan sebagai 25% emulsi dengan periode kontak 24 jam
dan pada usia dewasa muda atau anak-anak, dosis dapat dikurangi menjadi 12,5%.
Benzil benzoate sangat efektif bila digunakan dengan baik dan teratur dan secara
kosmetik bisa diterima.
Efek samping dari benzil benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan, karena itu
penderita harus diingatkan untuk tidak menggunakan secara berlebihan.
Penggunaan berulang dapat menyebabkan dermatitis alergi. Terapi ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui, bayi, dan anak-anak kurang
dari 2 tahun.
22
23. 4. Malathion
Malathion adalah senyawa organofosfat yang bekerja sebagai inhibitor
kolinesterase lemah dan menyebabkan paralisis system respiratorius arthropoda.
Obat ini memiliki rentang keamanan penggunaan yang baik. Malathion
membutuhkan waktu 8 sampai 12 jam untuk waktu terapi dan tidak memunculkan
bau yang tidak sedap. Lebih jauh lagi, vehikulum malathion adalah 78%
isopropanol sehingga mudah terbakar (Ko CJ, 2004)
Vehikulum pada malathion sangat mempengaruhi efikasinya. Dipentene terpineol
dan 78% isopropanol adalah bahan vehikulum untuk esikasi malathion tertinggi.
Kelebihan dari malathion adalah sangat ampuh membunuh kutu golongan
pediculus humanis dan tidak menyebabkan urticaria serta insidensi rendah
menimbulkan dermatitis kontk alergi dan iritan.
E. Upaya Pencegahan
Edukasi pencegahan difokuskan kepada factor pencetus terjadinya penyakit
pedikulosis korporis. Edukasi pencegahan bisa dilakukan dengan cara pasien disarankan
untuk mandi, mengganti dan mencuci baju setiap hari. Menghindari kebiasaan bertukar
baju dengan orang lain dan tidur bersama-sama apalagi dengan jumlah yang padat. Media
tempat terdapatnya pediculosis humanis corporis seperti baju, selimut maupun sprei bisa
dicuci dengan air panas untuk menjaga kebersihan pakaian dari mikroorganisme penyebab
(Fitzpatrick, 2008).
F. Diagnosis Banding
1.Skabies
Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap Sarcoptes scabiei var hominis dan produknya.
Persamaannya dengan pedikulosis korporis adalah: dari manifestasi klinis pruritus
nokturna, biasanya penyakit ini juga menyerang manusia secara berkelompok dengan
latar belakanga hygiene yang buruk yang sama dengan penyakit pedikulosis korporis.
Efloresensi manifestasi kliniknya juga ditemukan makula, ekskoriasi dan lesi bekas
garukan di kulit penderita.
Perbedaannya terletak pada : kalau skabies dalam pemeriksaan selanjutnya akan
ditemukan tungau sebagai penyebabnya dengan ekskoriasi yang lebih luas daripada
23
24. pedikulosis korporis. Pada skabies ditemukan lesi yang berbentuk
terowongan/kunikulus. Perbedaan selanjutnya terletak pada daerah predileksi lesi.
Dimana skabies pada umumnya menyerang daerah tubuh/kulit dengan stratum
korneum yang tipis (sela-sela jari tangan, ketiak, dll) sedangkan pedikulosis korporis
pada daerah lipatan-lipatan baju tempat terdapatnya kutu.
Gambar lesi akibat skabies
Sumber: http://pedscases.com/user/questions/215
2. Neurotic Excoriation
Merupakan diagnosis diferensial dari pedikulosis korporis. Daerah predileksi biasanya
dipermukaan ekstensor ekstremitas, wajah bagian atas belakang. Gejala dan
manifestai yang ditemukan hampir sama dengan pedikulosis korporis. Perbedaannya
pada penyakit ini, pasien memiliki gangguan psikis dan neurogenik yang melatar-
belakangi timbulnya lesi garukan dikulit.Pasien merasa gatal, lesi berkerak, erosi
linier, eritema. Erosi dan Bekas luka tdk berbatas jelas, ukurannya sama, dan jumlah
variabel. Erosi, kerak, dan bekas luka hanya terletak di mana pasien dapat memilih
(pasien sadar menggaruk diri sendiri).
Gambar lesi ekskoriasi
Sumber: http://andinidwikartikasari.blogspot.com/2010/11/kulit-manusia.html
24
25. PEDIKULOSIS PUBIS
A. Morfologi dan Siklus Hidup Phthirus pubis
P.pubis bentuknya pipih dorsoventral, bulat menyerupai ketam dengan kuku pada
ketiga pasang kakinya. Stadium dewasa berukuran 1,5-2 mm dan berwarna abu-abu.
Karena bentuknya menyerupai ketam , P.pubis juga disebut crab louse.
P.pubis hidup pada rambut kemaluan, dapat juga ditemukan pada rambut ketiak,
jenggot, kumis, alis dan bulu mata. Tuma memasukkan bagian mulutnya kedalam kulit
untuk jangka waktu beberapa hari sambil mengisap darah. Waktu yang diperlukan untuk
pertumbuhan telur menjadi tuma dewasa lebih kurang 3-4 minggu.
Phthirus pubis
B. Gejala klinis Phthiriasis Pubis
Menurut Djuanda (2010), gejala klinis yang terutama dari pedikulosis pubis adalah
gatal di daerah pubis dan di sekitarnya. Gatal ini dapat meluas sampai ke daerah abdomen
dan dada, disitu dijumai bercak-bercak yang berwarna abu-abu atau kebiruan yang disebut
sebagai makula serulae. Kutu ini dapat dilihat dengan mata biasa dan susah untuk
dilepaskan karena kepalanya dimasukkan ke dalam muara folikel rambut.
Gejala patognomonik lainnya adalah black dot, yaitu adanya bercak-bercak hitam
yang tampak jelas pada celana dalam berwarna putih yang dilihat oleh penderita pada
waktu bangun tidur. Bercak hitam ini merupakan krusta berasal dari darah yang sering di
interpretasikan salah sebagai hematuria. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan
pembesaran kelenjar getah bening regional (Mensjoer, 2000)
25
26. C. Dasar Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
- Biodata : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan
- Anamnesa yang berkaitan dengan pedikulosis
o Keluhan atau gejala yang dirasakan?
o Sejak kapan gejala dirasakan?
o Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien?
o Apakah pasien pernah mengalami gatal-gatal di sekitar pubis?
o Apakah pasien pernah pinjam-meminjam alat mandi, handuk, baju, sisir,
bantal, kasur, topi kepada orang lain atau anggota keluarga?
o Identifikasi aktifitas pasien selama di rumah.
o Riwayat hubungan seksual
o Riwayat penggunaan obat (bagaimana pengobatan sebelumnya)?
2. Pemeriksaan Fisik
Rambut pubis atau paha dihuni oleh beberapa buah telur (nits) saja atau sampai tak
terhitung jumlahnya.
Ditemukan noktah-noktah hitam kecil / black dot yang merupakan titik-titik darah
terhisap dalam kutu dewasa ataupun bagian kotorannya.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan dengan perhatian khusus terhadap kemaluan kalau perlu
dengan menggunakan kaca pembesar, biasanya ditemukan telur atau kutu bentuk
dewasa (Mansjoer, 2000).
D. Pengobatan
Pengobatannya sama dengan pengobatan pedikulosis korporis, yakni dengan krim
gameksan 1% atau emulsi benzyl benzoate 25% yang dioleskan dan didiamkan 4 hari
kemudian, jika belum sembuh. Sebaiknya rambut kelamin dicukur. Pakaian dalam direbus
atau diseterika. Mitra seksual harus pula diperiksa dan jika perlu diobati.
- Gameksan 1%
26
27. Cara Kerja: Gameksan atau lindane adalah organoklorid yang dapat membunuh
kutu dengan menyebabkan aralisis system respiratorius. Obat ini menekan aksi
parasit dengan menyerap langsung pada parasit dan telurnya. GABA-gated
chloride channel menurunkan inhibisi neuronal yang mengakibatkan terjadinya
hipereksitasi system saraf pusat sehingga menyebabkan kematian.
Cara Pemakaian: Gameksan 1% dioleskan tipis diseluruh tubuh kemudian
didiamkan 24 jam, setelah itu penderita disuruh mandi.
Efek samping: dapat menimbulkan risiko tokisisitas pada system saraf pusat
(Ko CJ, 2004).
- Benzyl benzoate 25%
Benzil benzoat adalah ester asam benzoat dan alkohol benzil yang merupakan
bahan sintesis balsam peru.
Cara Kerja: Benzil benzoat bersifat neurotoksik.
Cara Pemakaian: Digunakan sebagai 25% emulsi dengan periode kontak 24 jam
dan pada usia dewasa muda atau anak-anak, dosis dapat dikurangi menjadi
12,5%. Benzil benzoate sangat efektif bila digunakan dengan baik dan teratur
dan secara kosmetik bisa diterima.
Efek samping dari benzil benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan , karena
itu penderita harus diingatkan untuk tidak menggunakan secara berlebihan.
Penggunaan berulang dapat menyebabkan dermatitis alergi. Terapi ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui, bayi, dan anak-anak
kurang dari 2 tahun.
E. Upaya Pencegahan
Edukasi pencegahan difokuskan kepada factor pencetus terjadinya penyakit
pedikulosis pubis. Edukasi pencegahan dengan meningkatkan hygiene pasien dan
menghindari hubungan seksual dengan orang yang mengidap pedikulosis pubis sebagai
salah satu factor risiko dari penyakit hubungan seksual.
F. Diagnosis Banding
1. Dermatitis seboroik
Dermatitis seboroik memberikan gambaran klinis berupa daerah eritema dan
skuama pada daerah pubis dan terasa gatal oleh penderita.
27
28. Gambar dermatitis seboroik pada bayi
Sumber:
http://www.dermnetnz.org/common/image.php?path=/dermatitis/img/cradle.jpg
2. Dermatomikosis
Pada penyakit dermatomikosis, biasanya didapatkan ruam ataupun lesi dengan tepi
berskuama, eritematous, dan meninggi serta berbentuk lingkaran (siklik) dan gatal.
Penyebabnya adalah jamur.
Gambar salah satu bentuk lesi dermatomikosis
Sumber: http://kantongkeresek.wordpress.com/author/kantongkeresek/
28
29. CUTANEUS LARVA MIGRANS
A. Siklus Hidup Cutaneus Larva Migrans
Sumber : http://www.scribd.com/doc/52741225/RESPONSI-KASUS-lily-clm
29
30. B. Gejala klinis creeping eruption / Cutaneus larva migrans
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula akan
timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linier atau
berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan.
Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah
berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya papul
merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa,
menimbul, dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa cm.
rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Tempat predileksi adalah di
tungkai, plantar, tangan, anus, bokong dan paha, juga di bagian tubuh dimana saja
yang sering berkontak dengan tempat larva berada (Aisah, 2007).
C. Dasar Penegakkan Diagnosis Cutenaeus larva migrans
1. Anamnesis
Beberapa hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis antara lain:
a. Biodata
Perlu dikaji secara lengkap untuk umur, penyakit cuteneus larva migrant
biasanya menyerang anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Orang
dewasa biasanya berhubungan dengan faktor resiko pekerjaan sebagai tukang
kebun, petani, dan orang-orang dengan hobi atau aktivitas yang berhubungan
dengan tanah lembab dan berpasir (Jusych, 2009).
b. Keluhan Utama
Biasanya penderita datang dengan keluhan rasa gatal yang menjalar yang
merupakan karakteristik cutaneus larva migrant/ creeping eruption.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya pasien mengeluh rasa gatal dan panas ketika larva menembus kulit.
Lesi berbentuk papul kemerahan disertai gatal yang hebat. Rasa gatal biasanya
lebih hebat pada malam hari, sehingga pasien sulit tidur. Biasanya terdapat
krusta akibat lesi dan bila pasien sering menggaruk, dapat menimbulkan iritasi
yang rentan terhadap infeksi sekunder.
Tempat predileksi adalah di tempat – tempat yang kontak langsung dengan
tanah, baik saat beraktivitas duduk, ataupun berbaring, seperti di tungkai,
plantar, tangan, anus, bokong dan paha juga di bagian tubuh di mana saja yang
sering berkontak dengan tempat larva berada.
d. Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada penyakit lain yang dapat menimbulkan cutaneus larva migrans
kecuali kontak langsung dengan tanah lembab atau berpasir, yang telah
terkontaminasi dengan feces anjing atau kucing
30
31. biasanya menyembunyikan daerah-daerah yang terkena lesi pada saat interaksi
sosial.
e. Pola kehidupan sehari-hari
Biasanya ditemukan pada orang-orang yang jarang menggunakan alas kaki pada
tanah lembab ataupun pasir yang terkontaminasi agen penyebab.
2. Pemeriksaan Fisik
Menurut Aisah (2007), dari pemeriksaan fisik didapatkan kelainan berupa:
Terdapatnya bentuk yang khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang
lurus atau berkelok – kelok, menimbul dan terdapat papul atau vesikel di atasnya.
Mula – mula , pada point of entry, akan timbul papul, kemudian diikuti oleh bentuk
yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok – kelok (snakelike
appearance– bentuk seperti ular) yang terasa sangat gatal, menimbul dengan lebar
2 – 3 mm, panjang 3 – 4 cm dari point of entry, dan berwarna kemerahan. Adanya
lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan larva tersebut telah berada dikulit
selama beberapa jam atau hari.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan eosinofilia perifer dan ditemukannya
larva filariform nematode pada pemeriksaan biopsi kulit (Inderayanti, 2011).
D. Pengobatan
Sejak tahun 1963, telah diketahui bahwa antihelmintes berspektrum luas, misalnya
tiabendazol (mintezol), ternyata efektif. Dosisnya 50mg/kgBB/hari, sehari 2 kali,
diberikan berturut-turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum
sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Obat ini sukar didapat. Efek
sampingnya mual, pusing, dan muntah. Eyster mencobakan pengobatan topical
solusio tiabendazol dalam DMSO dan ternyata efektif. Demikian pula pengobatan
dengan suspensi obat tersebut secara oklusi selama 24-48 jam telah dicoba oleh
Davis dan Israel.
Obat lain adalah albendazol, dosis sehari 400 mg sebagai dosis tunggal, diberikan
3 hari berturut-turut. Cara terapi ialah dengan menggunakann CO2 snow (dry ice)
dengan penekanan selama 45” sampai 1’, dua hari berturut-turut. Penggunaan N2
liqoid juga dicobakan. Cara beku dengan menyemprotkan kloretil sepanjang lesi.
Cara tersebut di atas agak sulit karena kita tidak mengetahui secara pasti dimana
larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan disekitarnya. Pengobatan
cara lama dan sudah ditinggalkan adalah dengan preparat antimon.
E. Upaya edukasi dan pencegahan :
Edukasi :
31
32. Konsumsi obat secara teratur.
Menjaga kebersihan lingkungan dan hewan peliharaan seperti kucing.
1. Terhadap Keluarga
Awasi pengkonsumsian obat pasien
Meningkatkan sistem sanitasi yang baik terutama yang terkait dengan feses.
Pemakaian sepatu pada area dimana banyak terdapat penyakit cacing
tambang.
Memperhatikan kebersihan dan menghindari kontak yang terlalu banyak
dengan hewan-hewan yang merupakan karier cacing tambang.
2. Terhadap Lingkungan
Menjaga kebersihan dan sanitasi.
Pemakaian sepatu pada area yang banyak terdapat penyakit cacing tambang.
Menghindari kontak yang terlalu banyak dengan hewan-hewan yang
merupakan karier cacing tambang seperti kucing dan anjing.
F. Diagnosis Banding
1. Skabies
Gejala yang ditimbulkan hampir sama dengan skabies. Yang membedakan pada
skabies terowongan yang terbentuk tidak sepanjang seperti pada penyakit
cutaneus larva migran.
2. Dermatofitosis
Biasanya penyakit ini memiliki gejala yang sama dengan penyakit
dermatofitosis. Lesi yang berbentuk polisiklik biasanya tumpang tindih dengan
penyakit dermatofitosis yang disebabkan oleh mikroorganisme jamur.
3. Dermatitis insect bite
Diagmosis banding ini ditegakkan oleh karena gejala awal pada permulaan lesi
berupa papul yang menyerupai cutaneus larva migran.
4. Herpes zooster
Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, papul – papul lesi dini dapat
menyerupai herpes zoster, oleh sebab itu penyakit herpes zoster bisa menjadi
diferensial diagnosis pada penyakit cutaneus lava migran.
32
33. DAFTAR PUSTAKA
Aisah S.2007. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima.
Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI.
Djuanda, A., Hamzah,M. Aisah, S. 2010 Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keenam.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Handoko R, Djuanda A, Hamzah M. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.4.
Jakarta: FKUI.
Handoko R. 2008. Skabies. Dalam: Adhi D, Mochtar M, Siti A, editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 5. Cetakan ke 3. Jakarta. Balai Penerbit FK UI.
Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit.Ed.1. Jakarta: Hipokrates.
Inderayanti, L. 2011. Cutaneus larva migrans. Responsi Kasus Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Rumah Sakit Haji Surabaya.[skripsi] Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Malang.
Jusych, LA. Douglas MC.Cutaneous Larva Migrans: Overview, Treatment and
Medication. Diunduh dari www.emedicine.com. Pada tanggal 6 Maret 2012.
Ko CJ, Elston DM. 2004. Pediculosis. J Am Acad Dermatol.
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani, W, Setiowulan, W. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi 3, Jilid 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Mulyono. 1986. Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit dan Kelamin, 1st ed, ,Jakarta:
Meidian Mulya Jaya.
Orkin Miltoin, Howard L. Maibach. 2008. Scabies and Pediculosis. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine, 7th. USA: McGrawHill.
Rahariyani, Loetfia Dwi. 2007. Buku Ajar Asuhan keperawatan Klien gangguan Sistem
Integumen. Jakarta : EGC.
Siregar R.S, Wijaya C, Anugerah P. 1996. Saripati Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.3.
Jakarta: EGC.
Siregar R.S. 2005. Skabies. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta. EGC.
33
34. Sutanto, I, Ismid S.I, Sjarifuddin P, Sungkar, S. 2008. Pedikulosis. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran Edisi 4. Jakarta: FKUI.
Tabri F. 2005. Skabies pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja SA, Sugito TL, Kurniati
DD, editor. Infeksi kulit pada bayi dan anak. Jakarta: FKUI.
Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest SA, Paller AS, Leffel GJ. 2008. Fitzpatrick’s
Dermatology in General medicine. 7th ed. New York: Mc Graw Hill: p.2035
34