Dokumen tersebut membahas tentang pengaruh cacing Fasciolopsis buski terhadap anemia di Desa Kalumpang Dalam, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Cacing buski hidup di usus manusia dan hewan serta menyebabkan anemia karena hisapan darah. Penyakit ini menular karena telur cacing yang keluar bersama tinja. Warga Desa Kalumpang Dalam rawan terinfeksi karena sering memakan tumbuhan air mentah.
Pengaruh fasciolopsis buski terhadap anemi di desa kalumpang dalam
1. 1
PENGARUH FASCIOLOPSIS BUSKI TERHADAP ANEMIA
DI DESA KALUMPANG DALAM
Diajukan sebagai Tugas Akhir Semester
Mata kuliah Sosiologi Kesehatan
Dosen Pengampu : Dra.VG.Tinuk Istiarti,M.Kes
Disusun Oleh :
Nana Noviana
No Absen : 22
PROGRAM STUDI MAGISTER PROMOSI KESEHATAN
KONSENTRASI KESEHATAN REPRODUKSI DAN HIV-AIDS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2010
2. 2
BAB I
Latar belakang
Penyakit adalah suatu penyimpangan biologis pada tubuh manusia yang dimasuki
bioorganisme atau agen lain yang juga dipengaruhi prinsip dan proses
biologis.Kerentanan terhadap penyakit berbeda-beda disetiap lapisan sosial
masyarakat. Dari angka statistik dapat disimpulkan bahwa banyak penderita penyakit
dari lapisan masyarakat social ekonomi rendah.
Penyakit merupakan suatu fenomena yang kompleks yang berpengaruh negatif.
Namun sebenarnya masyarakat sendiri yang menjadi sebab atau menimbulkan
penyebab suatu penyakit. Masyarakat lapisan bawah menghadapi tekanan stress,
lingkungan fisik yang kurang mendukung kesehatan serta lingkungan social.
Seterusnya bagi kita harus jelas hubungan sebab akibatnnya, apakah penyakit
menyebabkan kemiskinan ataukah kemiskinan menyebabkan penyakit, karena
keduanya saling menyebabkan.
Pada umumnya kita beranggapan bahwa kesehatan manusia dipengaruhi oleh
factor biologis, factor lingkungan dan factor prilaku manusia. Ditinjau dari segi
kemasyarakatan , keadaan sakit dianggap sebagai penyimpangan prilaku dari keadaan
social yang normative. Meskipun ilmu tan tekhnologi telah berkembang pesat dan
berhasil memperbaiki mutu hidup dan menaikkan usia harapan hidup, tetapi tetap
ditemukan kesenjangan morbiditas dan mortalitas pada lapisan masyarakat.
Jadi penyakit bukanlah semata-mata hal tidak berfungsinya salah satu organ tubuh
atau keseluruh tubuh kita, melainkan ketidak berfungsinya dengan baik manusia,
masyarakat didalam seluruh lingkungan hidup dan lingkungan budaya.
BAB II
TINJAUAN TEORI
3. 3
a. Lapisan Masyarakat dan masalah penyakit akibat cacing buski
Masyarakat senantiasa terdiri dari berbagai lapisan sosial dengan banyak
faktor yang menyebabkan perbedaan antara semua lapisan sosial masyarakat.
Lapisan masyarakat sosial ekonomi rendah lebih tinggi menderita suatu
penyakit, mungkin ini dikarenakan lingkungan fisik yang kurang mendukung ,
serta lingkungan sosial yang sangat rendah bahkan kalangan masyrakat ini
juga mengalami stress yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan
kerentanan masyarakat sosial ekonomi rendah lebih sering terserang penyakit.
Selain menjadikan masyarakat sebagai suatu objek telaah tentang
penyakit, masyarakat juga harus dijadikan subjek dalam menanggulangi
penyakit. Seperti halnya kekurang tahuan kita mengenai penyakit yang
disebabkan cacing buski yang terjadi di kalimantan selatan tepatnya di desa
kalumpang dalam, penanggulangannya setidaknya melibatkan peran serta aktif
masyarakat .Dengan cara demikian , penyakit yang disebabkan cacing buski
mendapatkan perhatian untuk ditanggulangi dengan melibatkan masyarakat .
Masalah kesehatan ini tidak hanya di atasi dengan perbaikan fasilitas dan
pelayanan kesehatan,namun juga perlu berbagai tindakan pencegahan dan
pengikut sertaan masyarakat dalam menanggulanginya.Dan untuk terlaksana
kegiatan ini diperlukan pemahaman akan berbagai faktor lingkungan terutama
secara etiologis berkaitan dengan berbagai jenis penyakit.Bahwa masyarakat
lapisan sosial ekonomi rendah ini memiliki mortalitas dan morniditas yang tinggi
justru dalam berbagai jenis penyakit infeksi dan infestasi parasit seperti cacing
buski.
b. Mengenal cacing buski
4. 4
Fasciolopsis Buski berdasarkan literature hanya ada hidup di kawasan Asia
Setalan yakni perairan rawa sebarannya wilayah Banglades, Kamboja, China Tengah
dan China Selatan, Vietnam, Malaysia, Thailand, Pakistan, dan Vietnam disamping
Indonesia. Cacing ini bukan saja bisa menyerang manusia, juga bisa menyerang babi,
anjing, dan kelinci. Cacing buski dewasa bisa sepanjang 75 mm, atau 3 inci dan lebar
20 mm atau 1 inci.
Berdasarkan literartur tersebut, cacing buski tidak hidup di hati, melainkan
biasanya hidup diarea teratas usus kecil, dalam jumlah sangat banyak, dan dapat pula
hidup di area bawah usus dan di dalam perut, tetapi tak pernah ditemukan di bagian
tubuh lain. Dalam tubuh individu yang terserang cacing buski setiap cacing buski
dewasa dapat memproduksi sedikitnya 25 ribu telur per hari, dan terus berkembang
biak.
F. buski merupakan salah satu parasit trematoda terbesar dengan ukuran panjang
2- 7.5 cm, lebar 0.8- 2 cm dan tebal ± 3 mm. Menginfeksi manusia karena berada
dalam lumen usus. Siklus hidup cacing ini dimulai dengan menghasilkan telur,
selanjutnya menetas menjadi mirasidium, keluar mencari dan menginfeksi spesies
keong/siput (hospes perantara). Di dalam keong, mirasidium berubah bentuk menjadi
sporokista, redia, dan terakhir serkaria. Serkaria akan mengadakan enkistasi pada
tumbuhan air, tahan dengan kondisi temperatur air yang dingin (10-2 0ºC) namun tidak
tahan terhadap kekeringan
F. buski hidup dan berkembang biak di dalam usus manusia atau hewan (kerbau,
sapi, kambing, kucing, anjing, dan babi hutan), berbentuk pipih seperti lintah (pacat)
dan berwarna putih. Cacing ini menghisap darah se hingga orang yang mengandung
cacing ini akan sakit dan mengalami anemia. Fasciolopsiasis mudah menular dan
apabila sudah berada dalam usus akan bertelur dalam jumlah ribuan, berkembang biak
dan dapat mengeluarkan ribuan telur tersebut bersamaan dengan kotoran. Manusia
terinfeksi cacing ini dikarenakan memakan tumbuhan air yang mentah atau yang tidak
dimasak dengan baik yang berisi metaserkaria. Metaserkaria akan mengadakan
enkistasi, melekat pada mukosa duodenum atau jejunum dan berkembang menjadi
5. 5
cacing dewasa dalam waktu 3 bulan. Pada infeksi ringan gejala penyakit tidak begitu
jelas. Cacing dewasa hidup dalam duodenum dan jejenum , mampu hidup sampai 12
bulan. Namun pada infeksi berat cacing dapat ditemukan di lambung dan bagian usus
lainnya, jumlah tinja sangat banyak dan berisi banyak makanan yang belum dicerna
dan hal ini menunjukkan terjadinya proses malabsorbsi. Jumlah cacing yang banyak
pada penderita dapat mengakibatkan kematian
Tahap awal kehidupan cacing buski dimulai dalam bentuk telur tidak bere mbrio
yang keluar dari usus melalui tinja dan berada di air. Embrionisasi akan terjadi selama
3- 7 minggu tergantung suhu air yang ideal antara 18- 35ºC (Faust et al., 1970;
Miyazaki, 1991; Garcia et al., 1996). Setelah fase ini dilalui, telur akan menetas d an
berubah menjadi mirasidium yang mencari keong/siput air untuk melalui suatu fase
perubahan bentuk menjadi sporokista, redia dan serkaria. Selanjutnya serkaria akan
mencari tanaman air untuk mengadakan enkistasi pada batang/umbi/daun yang
bersentuhan den gan air. Di dalam tanaman air ini serkaria akan berubah menjadi
metaserkaria.
Manusia terinfeksi jika menkonsumsi tanaman air yang mengandung metaserkaria
secara mentah. Di dalam usus halus ( duodenum atau jejenum ) metaserkaria
mengadakan enkistasi dan selanjutnya akan berkembang menjadi cacing dewasa
setelah 3 bulan dengan masa hidup tidak melebihi dari 6 bulan (Garcia et al., 1996).
Siklus hidup parasit cacing dari golongan trematoda usus cukup kompleks karena
memerlukan berbagai tahap kehidupan, memerluka n hospes perantara yang spesifik
yaitu keong/siput air tawar untuk perkembangannya dan adanya media baik berbentuk
tanaman air/ikan/keong sebagai tempat enkistasi.
Pada cacing buski, tanaman air merupakan tempat enkistasi yang potensial untuk
menimbulkan infeksi bagi manusia yang mengkonsumsinya secara mentah. Jika dalam
satu tahap (fase) kehidupan kondisi fisik lingkungan yang tidak memungkinkan atau
tidak adanya kondisi biologis yang mendukung (tersedianya hospes perantara), maka
otomatis siklus akan terp utus.
6. 6
Warga Kalimantan Selatan tepatnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara di desa
Kalumpang Dalam, terserang penyakit cacing buski, dan jumlah tersebut relatif
menurun dibanding tahun 1999. Penyakit cacing buski memiliki kemiripan seperti
penyakit cacing perut lainnya, tetapi lebih ganas .Selain penderita akan mengalami
kurang gizi akibat parasit cacing buski, perut penderita juga membesar dan rambut
kepala rontok akhirnya penderita plontos. Belum diketahui penyebab penyakit tersebut
endemis di beberapa desa kawasan berawa-rawa HSU, padahal serangan penyakit itu
hampir jarang ditemukan di dunia, dan di Indonesia juga .
Para penderita penyakit tersebut umumnya adalah anak-anak, dan belum pernah
ditemukan kasus serangan terhadap orang dewasa. Karena anak-anak biasanya suka
bermain di air rawa-rawa kawasan desa tersebut kemudian memakan apa saja yang
ada di rawa seperti buah teratai, umbi-umbian, dan buah tanaman rawa lainnya tanpa di
masak lebih dahulu. Seperti yang terjadi di Desa-desa endemis Kecamatan Sungai
Pandan, Kecamatan Babirik, dan Kecamatan Danau Panggang Kabupaten HSU yang
ketiga wilayah itu merupakan kawasan yang sebagian besar adalah rawa monotan.
BAB III
TINJAUAN KASUS
7. 7
a. Letak Geografis, Iklim, dan Curah Hujan
Ditinjau secara geografis, Kabupaten Hulu Sungai Utara terletak pada koordinat
antara 2º sampai 3º lintang selatan dan 115º sampai 116º bujur timur. Wilayah
Kabupaten Hulu Sungai Utara terletak di daerah dataran rendah dengan ketinggian
berkisar antara 0 m sampai dengan 7 m di atas permukaan air laut dan dengan
kemiringan berkisar antara 0 persen sampai dengan 2 persen.
Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim,
keadaan geografi dan perputaran/pertemuan arus udara. Jumlah curah hujan terbanyak
di tahun 2005 terjadi pada bulan Februari yang mencapai 359 mm dan pada bulan April
yang mencapai 351 mm dengan jumlah hari hujan masing-masing 14 dan 19.
Data penggunaan tanah pada tahun 2005 di wilayah Kabupaten Hulu Sungai
Utara yaitu untuk Kampung seluas 4.283 Ha, Sawah seluas 23.853 Ha, Kebun
Campuran 1.859 Ha, Hutan Rawa 29.711 Ha, Rumput Rawa 22.768 Ha dan Danau
seluas 1.800 Ha serta penggunaan lainnya yang tak dapat dirinci seluas 1.224 Ha.
b. Luas Wilayah
8. 8
Luas wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara adalah ± 892,7 km² atau hanya ±
2,38 persen dibandingkan dengan luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
Dengan luas wilayah sebesar 892,7 km² ini, sebagian besar terdiri atas dataran
rendah yang digenangi oleh lahan rawa baik yang tergenang secara monoton maupun
yang tergenang secara periodik. Kurang lebih 570 km² adalah merupakan lahan rawa
dan sebagian besar belum termanfaatkan secara optimal.
c. Batas Wilayah
Batas wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara adalah sebagai berikut:
Utara Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Tabalong
Selatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah
Barat Provinsi Kalimantan Tengah
Timur Kabupaten Balangan
d. Administrasi Wilayah
Kabupaten Hulu Sungai Utara terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan setelah
terbentuknya Kabupaten Balangan dengan jumlah desa/kelurahan yang tersebar
sebanyak 219 desa/kelurahan. Selain itu, desa/kelurahan di Kabupaten Hulu Sungai
Utara dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori, antara lain Desa Swadaya
sebanyak 3 (di Kecamatan Banjang), Desa Swakarya ada 1 (di Kecamatan Banjang),
dan Desa Swasembada sebanyak 215 desa.
e. Kependudukan
Jumlah penduduk Kabupaten Hulu Sungai Utara berdasarkan hasil proyeksi
2008 adalah 216.181 orang dengan jumlah rumah tangga tercatatsebanyak 51.582
9. 9
yang tersebar di 219 kelurahan/desa. Kabupaten dengan luas wilayah 892,70 km² ini
memiliki kepadatan penduduk (population density) 240 jiwa per km² dan rata-rata setiap
keluarga terdiri dari 4 orang. Secara umum, dalam kurun 2004-2007 perkembangan
pendudukmengalami pertambahan. Pada tahun 2007 jumlah penduduk bertambah 1,78
persen dibandingkan tahun sebelumnya.
f. Lain-lain
Di kabupaten ini terkenal dengan dengan fauna khasnya, yaitu Itik Mamar atau
itik Alabio dan kerbau rawa (Latin:bubalus bubalis) di kecamatan Danau Panggang
dan kecamatan Paminggir.
g. KASUS
Kasus serangan cacing buski pernah diderita seorang anak kecil Kecamatan Babirik
desa Kalumpang Dalam, anak itu menderita perut membesar tetapi kurus kering,
kemudian dimulut keluar binatang aneh seperti lintah darat, bewarna merah dan
jumlahnya ribuan ekor, selain dimulut juga keluar binatang itu saat buang air besar,
sehingga warga setempat tadinya mengira anak tersebut terkena guna-guna.
Penyakit itu dianggap aneh, karena biasanya kalau diserang penyakit cacing
paling dikenal hanya cacing gelang atau cacing kremi belum pernah ada cacing seperti
itu, yakni pendek hanya sekitar ibu jari.
BAB IV
PEMBAHASAN
10. 10
Desa Kalumpang Dalam terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan
selatan,yang merupakan daerah yang sangat terpencil. Terletak di tengah danau yang
dapat dijangkau dengan naik perahu motor atau bias juga dengan perahu
dayung.Didaerah desa kalumpang dalam ini juga masih percaya dengan adanya ilmu
hitam ( santet ) sehingga sewaktu ditemuka kasus anak yang mengeluarkan cacing baik
dari mulut maupun saat bung air besar, semua masyarakat kalumpang dalam
menanggap bahwa anak tersebut terkena ilmu hitam ( santet ) tersebut.
Sehingga orang tua dari anak tersebut mengobati anaknya dengan mencari
orang yang “pinter” ( dukun ) yang bias mengobati anaknya. Namun ternyata anak
tersebut setelah diberikan pengobatan oleh orang “pinter” tetap saja mengeluarkan
cacing baik dari mulutnya dan juga saat buang air besar. Setelah kejadian tersebut
maka turunlah petugas kesehatan untuk meneliti penyakit tersebut, kemudian baru
diketahui bahwa penyakit itu adalah Fasciolopsis buski, dan bila anak diketahui
diserang penyakit itu oleh petugas kesehatan segera diobati sehingga tidak sampai
parah.
Desa Kalumpang Dalam merupakan daerah endemis fasciolopsiosis, yaitu suatu
penyakit yang disebabkan oleh parasit berbentuk cacing yang disebut fasciolosis buski
yang menghuni lumen usus penderita.
Berdasarkan hasil survey 1990, prevalensi fasciolopsiosis di kabupaten tersebut
berkisar antara 5,18%-27%. Penderita adalah umumnya anak sekolah dan penduduk
usia produktif, yaitu 16-35 tahun. Pada 2002, telah dilakukan penelitian epidemiologi
yang meliputi aspek parasitologi, biologi, sosioantropologi tentang fasciolopsiosis di
kabupaten tersebut.
Tidak di daerah sub-tropis sampai daerah tropis, penyakit ini menyebar,ini
karena hygiene lingkungan yang kurang baik seperti kebiasaan membuang kotoran.
Masyarakat Desa Kalumpang Dalam memang mempunyai kebiasaan membuang
semua sampah dan membuang kotoran di danau, yang mana danu tersebut bukan
danau yang mengalir airnya sehingga semua kotoran yang dibuang ke danau otomatis
11. 11
akan tetap berada didanau dan tidak larut .Sehingga karena Higiene lingkungan yang
disebabkan pencemaran tanah / debu oleh telor dan atau larva cacing atau Penyakit
parasit usus banyak ditemukan tersebar luas protozoa yang berasal dari tinja penderita,
karena tidak tersedianya jamban yang memenuhi persyaratan.
Pada kasus di Desa Kalumpang Dalam ini dimungkinkan karena terjadi
pergantian kondisi lingkungan dalam setiap pergantian musim yaitu pada musim hujan
terjadi genangan air rawa sampai pada kedalaman tinggi, dan pada musim kemarau
secara bertahap air menjadi surut sampai akhirnya kering. Menjelang musim kemarau
penduduk mulai bercocok tanam padi dan palawija. Kontak dengan tanah akan
membukakan port de entry bagi telur infektif sehingga akhirnya ikut tertelan lewat
tangan atau pada makanan/minuman yang telah terkontaminasi. Sejak telur matang
tertelan sampai menjadi cacing dewasa yang siap bertelur diperlukan waktu sekitar 2
bulan. Dalam jumlah yang banyak, cacing tersebut dapat bergumpal dalam usus seperti
bola (bolus) menyebabkan sakit perut dan pada anak- anak hal ini sangat
membahayakan, sehingga harus dilakukan tindakan operatif untuk mengatasinya
Namun karena cacing ini sifatnya mengisap darah walaupun sangat sedikit
(0,002 ml/hari per cacing) maka prevalensinya patut mendapat perhatian.
S. stercoralis merupakan nematoda usus yang utamanya terdapat di daerah tropik dan
subtropik, jarang ditemukan di daerah yang beriklim dingin. Diketahui hanya cacing
dewasa betina yang hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan jejenum . Cacing
betina berbentuk filariform, halus, tidak berwarna dan panjangnya ± 2 mm. Cara
berkembang biaknya diduga secara partenogenesis . Telur bentuk parasitik diletakkan
di mukosa usus, kemudian telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform yang
masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Larva S.stercoralis berkembang
lebih cepat daripada larva cacing tambang, dalam waktu 34-48 jam terbentuk larva
filariform yang infektif. Larva ini mempunyai kelangsungan hidup yang pendek di tanah
kira- kira 1 -2 minggu. Parasit ini mempunyai 3 macam daur hidup, yaitu : siklus
langsung, siklus tidak langsung, dan autoinfeksi.
12. 12
Siklus langsung, yaitu setelah 2- 3 hari di tanah, larva r habditiform akan berubah
menjadi larva filariform sebagai bentuk yang infektif. Jika larva f ilariform menembus
kulit manusia, maka larva akan tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena dan
kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru.
Dari paru, parasit yang mulai menjadi dewasa akan menembus alveolus , masuk
trakhea dan laring , sehingga akan terjadi refleks batuk yang menyebabkan parasit
tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing
betina dewasa ditemukan 28 hari sesudah infeksi. Siklus tidak langsung, yaitu larva
rhabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan betina dalam bentuk bebas.
Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva
rhabditiform . Larva rhabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menjadi larva
filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rhabditiform
tersebut dapat juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus bentuk bebas ini terus
menerus menghasilkan bentuk infektif sehingga perkembangan bentuk bebas di tanah
dapat mencapai endemisitas tinggi.
Siklus tidak langsung ini terjadi apabila keadaan lingkungan sekitarnya optimum,
sesuai dengan habitat yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, yaitu daerah
tropik beriklim lembab. Sebaliknya, siklus langsung sering terjadi di daerah yang lebih
dingin dengan keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.
Autoinfeksi, yaitu larva rhabditiform kadang - kadang menjadi larva filariform di usus
atau di daerah sekitar anus, misalnya pada penderita yang mengalami obstipasi lama
sehingga bentuk rhabditiform sempat berubah menjadi filariform di dalam usus.
Sedangkan pada penderita diare menahun dimana kebersihan kurang diperhatikan,
bentuk rh abditiform akan menjadi filariform pada tinja yang masih melekat di sekitar
dubur.
Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit sekitar anus, maka terjadi
suatu daur perkembangan di dalam hospes. Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan
strongyloidiasis menahun pada penderita yang hidup di daerah non - endemik. Daerah
yang panas dan tingkat kelembaban tinggi, ditambah sanitasi yang kurang, sangat
13. 13
menguntungkan cacing Strongyloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung.
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur, berpasir,
tercampur humus.
Pencegahan strongyloidiasis tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan
melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi antara lain memakai alas kaki.
Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan dan cara pembuatan serta
pemakaian jamban juga penting untuk pencegahan penyakit cacing ini
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
14. 14
Kesimpulan
Desa Kalumpang Dalam berada di daerah rawa dimana air rawa tergenang tidak
mengalir, hampir sepanjang tahun di kedalaman 1 - 2 meter. Kondisi desa cenderung
terisolir dan cukup jauh dengan desa yang lain. Aktifitas masyarakat hampir seluruhnya
tergantung pada air rawa tersebut, antara lain buang air, mandi, mencuci pakai an,
mencuci bahan masakan, alat makan, bahkan menggosok gigi. Sebagian besar
masyarakat buang air di lokasi yang cukup jauh dari perkampungan, menggunakan
(perahu) atau (perahu motor).
Namun sebagian masyarakat tampaknya buang air di tempat yang sederhana
berupa undakan yang dipasang di tepi titian, tanpa dinding atau tirai. Sedangkan di
tempat tersebut juga dilakukan aktifitas sehari - hari, mandi mencuci pakaian dll,
Sehingga dapat dibayangkan bahwa keadaan tersebut mengkondisikan masyarakat
berada pada tingkat risiko yang paling tinggi terinfeksi F. buski .
Berdasarkan pekerjaan petani merupakan pekerjaan yang paling berisiko terjadinya
penularan kecacingan. Sesuai dengan penelitian Sumarni dan Soeyoko (1998)
Saran
Penerapan perilaku hidup bersih dan sehat :
a. Menghindari makan - makanan mentah
b. Mencuci bahan makanan dan memasaknya sampai matang
c. Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah melakukan aktivitas
d. Memakai alas kaki
e. Mandi minimal 2 x sehari untuk menghindari infeksi cacing
16. 16
1. Laporan Departemen Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kalimantan Selatan, 2008
2. Situs resmi pemerintah kabupaten Hulu Sungai Utara.
3. Laporan Puskesmas Babirik, 2008
4. http://perpus.yarsi.ic.id
5. www.kapanlagi.com