Biografi mengenai tujuh pahlawan revolusi Indonesia yang gugur dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, termasuk jenderal Ahmad Yani, Suprapto, M.T. Haryono, dan S. Parman."
1. BIOGRAFI PAHLAWAN REVOLUSI INDONESIA
DISUSUN OLEH:
NAMA, NO. ABSEN:
DINA NUR FITRIANI(13)
ELIA AFRIYANI (14)
FITRAN ZAKIYA(15)
HANIDA ARIYANTI(16)
HARYANTO(17)
INDAH NUR RAHMAH(18)
ISTIQOMAH(19)
KRISTIN SETYANI(20)
2. Pahlawan Revolusi Indonesia
Pahlawan Revolusi adalah gelar yang diberikan kepada sejumlah perwira militer yang gugur
dalam tragedi G30S yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta pada tanggal 30 September 1965.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar ini diakui juga sebagai Pahlawan
Nasional.
Para pahlawan tersebut adalah:
1. JENDRAL AHMAD YANI
Jenderal TNI Anumerta AChmad Yani (Purworejo, 19 Juni 1922]]-
Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965) adalah seorang pahlawan nasional
Indonesia. Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat Sekolah Dasar)
Bogor, yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan
sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd.
Bogor. Dari sana ia tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS
(setingkat Sekolah Menengah Umum) bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini
dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan dengan adanya milisi yang
diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Achmad Yani kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas
Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif di Bogor. Dari sana ia mengawali karir militernya
dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia,
ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air
(PETA) di Bogor.
Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan.Achmad Yani berhasil
menyita senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat
menjadi Komandan TKR Purwokerto. ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi, pasukan Achmad
Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka
saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan
Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah Indonesia mendapat pengakuan
kedaulatan, ia diserahi tugas untuk melawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat
kekacauan di daerah Jawa Tengah. Ketika itu dibentuk pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan
khusus hingga pasukan DI/TII pun berhasil dikalahkan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia kembali ke
Staf Angkatan Darat.
Pada tahun 1955, Achmad Yani disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort
Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Pada tahun 1956, ia juga mengikuti
pendidikanselama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris. Tahun 1958 saat pemberontakan
PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi
Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk memimpin penumpasan pemberontakan PRRI dan
berhasil menumpasnya. Hingga pada tahun 1962, ia diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Achmad Yani selalu berbeda paham dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).Ia menolak
keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai.
Oleh karena itu, ia menjadi salah satu target PKI yang diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI
Angkatan Darat melalui Pemberontakan G30S/PKI (Gerakan Tiga Puluh September/PKI). Achmad Yani
ditembak di depan kamar tidurnya pada tanggal 1 Oktober 1965 (dinihari). Jenazahnya kemudian
ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur dan dimakamkan secara layak di Taman Makam Pahlawan
3. Kalibata, Jakarta Selatan.Achmad Yani gugur sebagai Pahlawan Revolusi.Pangkat sebelumnya sebagai
Letnan Jenderal dinaikkan satu tingkat (sebagai penghargaan) menjadi Jenderal.
Biodata
Nama : Ahmad Yani
Riwayat hidup :
-HIS (setingkat SD) Bogor, tamat tahun 1935
-MULO (setingkat SMP) kelas B Afd. Bogor, tamat tahun 1938
-AMS (setingkat SMU) bagian B Afd. Jakarta, berhenti tahun 1940
Pendidikan Militer :
-Pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang
-Pendidikan Heiho di Magelang
-Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor
-Command and General Staf College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA, tahun 1955
-Spesial Warfare Course di Inggris, tahun 1956
Riwayat Karir
Jabatan terakhir : Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) sejak tahun 1962
Bintang Kehormatan :
-Bintang RI Kelas II
-Bintang Sakti
-Bintang Gerilya
-Bintang Sewindu Kemerdekaan I dan II
-Satyalancana Kesetyaan VII, XVI
-Satyalancana G:O.M. I dan VI
-Satyalancana Sapta Marga (PRRI)
-Satyalancana Irian Barat (Trikora)
-Ordenon Narodne Armije II Reda Yugoslavia (1958)
Tanda Penghormatan : Pahlawan Revolusi
2. Letnan Jenderal Suprapto
Letnan jendral TNIamuerta R. Suprapto (lahir di Purwokerto, Jawa
Tengah, 20 Juni1920 – meninggal di Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober1965
pada umur 45 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia
merupakan salah satu korban dalam G30SPKI dan dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Suprapto yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini boleh dibilang
hampir seusia dengan Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut
empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar. Pendidikan formalnya
setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B
di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941.
Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi
sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada
Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat
karena pasukan Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan,
tapi kemudian ia berhasil melarikan diri.
Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat Latihan
Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan
Masyarakat.
Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan berhasil
merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara
4. Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara, sebab
sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun
perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada
umumnya.
Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi salah
satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu, pasukannya
dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang pernah menjadi ajudan dari
Panglima Besar tersebut.
Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas. Pertama-tama ia
ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Dari
Semarang ia kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian
Pertahanan. Dan setelah pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi Deputy Kepala
Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera yang bermarkas di Medan. Selama di Medan tugasnya
sangat berat sebab harus menjaga agar pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.
3. Jendral M.T Haryono
jeLetnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono lahir di
Surabaya, 20 Januari 1924 merupakan salah satu dari dari Tujuh Pahlawan
Revolusi, sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah
Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum).
Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa
pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat. Seorang perwira
yang fasih berbicara dalam bahasa Belanda, Inggris, dan
Jerman.Kemampuannya itu membuat dirinya menjadi perwira penyambung
lidah yang sangat dibutuhkan dalam berbagai perundingan.
Perwira kelahiran Surabaya ini pernah menjadi Sekretaris Delegasi Militer Indonesia pada
Konferensi Meja Bundar, Atase Militer RI untuk Negeri Belanda dan terakhir sebagai Deputy III Menteri/
Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada
di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal
pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor.
Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun
1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian
sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga
pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil
Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi
Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
Tenaga M.T. Haryono memang sangat dibutuhkan dalam berbagai perundingan antara
pemerintah RI dengan pemerintah Belanda maupun Inggris.Hal tersebut disebabkan karena
kemampuannya berbicara tiga bahasa internasional yakni bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. Terakhir
ketika ia menjabat Deputy III Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad), pengaruh PKI juga
sedang marak di Indonesia. Partai yang merasa dekat dengan Presiden Soekarno dan sebagian rakyat
itu semakin hari semakin berani bahkan semakin merajalela.
Ide-ide yang tidak populer dan mengandung resikO tinggi pun sering dilontarkan oleh partai
komunis itu.Seperti ide untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani atau yang disebut dengan Angkatan
Kelima.Ide tersebut tidak disetujui oleh sebagian besar perwira AD termasuk oleh M.T. Haryono sendiri
dengan pertimbangan adanya maksud tersembunyi di balik itu yakni mengganti ideologi Pancasila
menjadi komunis.Di samping itu, pembentukan Angkatan Kelima tersebut sangatlah memiliki resiko yang
5. sangat tinggi. Namun karena penolakan itu pula, dirinya dan para perwira lain dimusuhi dan menjadi
target pembunuhan PKI dalam pemberontakan Gerakan 30 September 1965.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono bersama enam
perwira lainnya yakni: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen.TNI Anumerta Suprapto; Letjen.TNI
Anumerta S Parman; Mayjen.TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen.TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten
CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara membabi buta dan
jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya tanpa prikemanusiaan. M.T. Haryono
yang tewas karena mempertahankan Pancasila itu gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Ia kemudian
dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, pangkatnya
yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal.
Untuk menghormati jasa para Pahlawan Revolusi sekaligus untuk mengingatkan bangsa ini akan
peristiwa penghianatan PKI tersebut, dengan demikian diharapkan peristiwa yang sama tidak akan
terulang kembali, maka oleh pemerintahan Soeharto ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya
sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di daerah Lubang Buaya,
Jakarta Timur di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangunlah Tugu Kesaktian Pancasila
sebagai tugu peringatan yang berlatar belakang patung ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut.
4. Jenderal S. Parman
Letjen.Anumerta Siswondo Parman lahir di Wonosobo, Jawa
Tengah, 4 Agustus 1918.Dia merupakan salah satu dari tujuh pahlawan
revolusi dan korban kebiadaban PKI. Pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah
ini merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang kegiatan rahasia
PKI karena itulah dirinya termasuk salah satu di antara para perwira yang
menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari
buruh dan tani. Penolakan yang membuatnya dimusuhi dan menjadi korban
pembunuhan PKI.Pendidikan umum yang pernah diikutinya adalah sekolah
tingkat dasar, sekolah menengah, dan Sekolah Tinggi Kedokteran.Namun
sebelum menyelesaikan dokternya, tentara Jepang telah menduduki Republik
sehingga gelar dokter pun tidak sampai berhasil diraihnya.
Setelah tidak bisa meneruskan sekolah kedokteran, ia sempat bekerja pada Jawatan Kenpeitai.
Di sana ia dicurigai Jepang sehingga ditangkap, namun tidak lama kemudian dibebaskan kembali.
Sesudah itu, ia malah dikirim ke Jepang untuk mengikuti pendidikan pada Kenpei Kasya Butai.
Sekembalinya ke tanah air ia kembali lagi bekerja pada Jawatan Kempeitai.
Awal kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yaitu Tentara RI
yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Pada akhir bulanDesember, tahun 1945, ia diangkat
menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara (PT) di Yogyakarta.
Selama Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang gerilya. Pada bulan
Desember tahun 1949 ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya. Salah satu
keberhasilannya saat itu adalah membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
akan melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan Westerling. Selanjutnya, pada Maret tahun
1950, ia diangkat menjadi kepala Staf G. Dan setahun kemudian dikirim ke Amerika Serikat untuk
mengikuti pendidikan pada Military Police School.
Sekembalinya dari Amerika Serikat, ia ditugaskan di Kementerian Pertahanan untuk beberapa
lama kemudian diangkat menjadi Atase Militer RI di London pada tahun 1959. Lima tahun berikutnya
yakni pada tahun 1964, ia diserahi tugas sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad) dengan pangkat Mayor Jenderal. Ketika menjabat Asisten I Menteri/Panglima Angkatan
Darat (Men/Pangad) ini, pengaruh PKI juga sedang marak di Indonesia.Partai Komunis ini merasa dekat
dengan Presiden Soekarno dan sebagian rakyat pun sudah terpengaruh.Namun sebagai perwira
intelijen, S. Parman sebelumnya sudah banyakmengetahui kegiatan rahasia PKI.Maka ketika PKI
mengusulkan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai atau yang disebut dengan Angkatan Kelima.Ia
bersama sebagian besar Perwira Angkatan Darat lainnya menolak usul yang mengandung maksud
tersembunyi itu. Dengan dasar itulah kemudian dirinya dimusuhi oleh PKI.
6. Maka pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965, dirinya
menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari,
Letjen.TNI Anumerta S. Parman bersama enam perwira lainnya yakni Jend.TNI Anumerta Achmad Yani;
Letjen.TNI Anumerta Suprapto; Letjen.TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen.TNI Anumerta D.I. Panjaitan;
Mayjen.TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian
dibunuh secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya tanpa
prikemanusiaan.
S. Parman gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila. Bersama enam
perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang sebelumnya
masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal sebagai penghargaan
atas jasa-jasanya.
Untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde Baru ditetapkanlah
tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur
nasional. Dan di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan,
dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut. Tugu tersebut dinamai
Tugu Kesaktian Pancasila.
5. Jenderal Pandjaitan
Mayor JenderalTNIAnumertaDonald Isaac Panjaitan (lahir di Balige,
Sumatera Utara, 19 Juni1925 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1
Oktober1965 pada umur 40 tahun) adalah salah satu pahlawan revolusi
Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta
Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 9 Juni 1925.Pendidikan formal
diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan
terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas,
Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi
anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia
ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya.
Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan
menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi
pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera.
Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan
Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan
kedaulatan.Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium
(T&T) I Bukit Barisan di Medan.Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T
II/Sriwijaya.
Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI
di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke
Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu
pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV
Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa
G 30/S PKI terjadi.
Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya
membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ diketahui
bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai
dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu
diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan melancarkan pemberontakan.
Pada jam-jam awal 1 Oktober1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September meninggalkan
Lubang Buaya menuju pinggiran Jakarta. Mereka memaksa masuk pagar rumah Panjaitan di Jalan
Hasanudin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, lalu menembak dan menewaskan salah seorang pelayan
yang sedang tidur di lantai dasar rumah dua lantai dan menyerukan Panjaitan untuk turun ke bawah. Dua
7. orang pemuda yaitu Albert Naiborhu dan Viktor Naiborhu terluka berat saat mengadakan perlawanan
ketika D.I. Panjaitan diculik, tidak lama kemudian Albert meninggal.Setelah penyerang mengancam
keluarganya, Panjaitan turun dengan seragam yang lengkap sambil menyerahkan diri kepada Yang
Maha Esa untuk memenuhi panggilan tugas yang dimanupalasi oleh gerombolan PKI dan ditembak
mati.mayatnya dimasukkan ke dalam truk dan dibawa kembali ke markas gerakan itu di Lubang Buaya.
Kemudian, tubuh dan orang-orang dari rekan-rekannya dibunuh tersembunyi di sebuah sumur tua.Mayat
ditemukan pada tanggal 4 Oktober, dan semua diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya.
Panjaitan mendapat promosi anumerta kepada Jenderal Mayor dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.
6. Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo Siswomiharjo dilahirkan pada tanggal 28 Agustus 1922 di
Kebumen.Mulai pendidikannya dari HIS, di AMS tahun 1942 di Semarang, lalu
melanjutkan pendidikannya di Balai Pendidikan Pegawai Negeri di Jakarta.
Pemuda Sutoyo sebelum mulai karirnya selaku seorang prajurit,
bertugas di Kabupaten Purworejo, sebagai Pegawai Menengah/III.
Tugas sebagai seorang Militer dimulai saat perjuangan kemerdekaan
tahun 1945. Pada tahun 1946 menjabat sebagai Kepala Organisasi Resimen II
PT (Polisi Tentara) Purworejo dengan pangkat Kapten dan di tahun 1948
menjadi Kepala Staf CPMD Yogyakarta hingga tahun 1949. Pada tahun 1950
Mayor Sutoyo menjabat sebagai Komandan Batalyon I CPM dan tahun 1951 Danyon V CPM.Sedang
pada tahun 1954 menjabat sebagai Kepala Staf MBPM hingga akhir tahun 1954.Mulai tahun 1955
sebagai Pamen diperbantukan SUAD I dengan pangkat Letkol hingga tahun 1956.Sejak tahun ini
diangkat menjadi Asisten ATMIL di London.
Setelah kembali di tanah air dan selesai mengikuti pendidikan Kursus "C" Seskoad tahun
1960.Pada tahun 1961 naik pangkat menjadi Kolonel dan menjabat sebagai IRKEHAD. Pada tahun 1964
dinaikan pangkatnya menjadi Brigjen.
Menjelang pemberontakan G 30 S/PKI yang ternyata menculik dan membunuh beliau, Pak Toyo
mengalami beberapa hal yang dirasakan kurang enak seperti udara yang panas walaupun ruang sudah
ber-AC, dan bahkan memerintahkan untuk membuat rencana peringatan Hari ABRI 5 Oktober 1965
secara cermat kepada Ajudannya. Terbukti bahwa semua firasat yang dialami Brigjen TNI Sutoyo ini ada
artinya yaitu tanggal 1 Oktober jam 04.00 Brigjen TNI Sutoyo diculik dan dibunuh oleh gerombolan G 30
S/PKI.
Adapun gerombolan yang bertugas menculik Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo dipimpin oleh
Serma Surono dari Men Cakrabirawa dengan kekuatan 1 (satu) peleton.Dengan todongan bayonet,
mereka menanyakan kepada pembantu rumah untuk menyerahkan kunci pintu yang menuju kamar
tengah. Setelah pintu dibuka oleh Brigjen TNI Sutoyo, maka pratu Suyadi dan Praka Sumardi masuk ke
dalam rumah, mereka mengatakan bahwa Brigjen TNI Sutoyo dipanggil oleh Presiden. Kedua orang itu
membawa Brigjen TNI Sutoyo ke luar rumah sampai pintu pekarangan diserahkan pada Serda Sudibyo.
Dengan diapit oleh Serda Sudibyo dan Pratu Sumardi, Brigjen TNI Sutoyo berjalan keluar pekarangan
meninggalkan tempat untuk selanjutnya dibawa menuju Lubang Buaya, gugur dianiaya di luar batas-
batas kemanusiaan oleh gerombolan G 30 S/PKI.
7. Kapten Pierre Tendean
Nama Lengkap: Pierre Andreas Tendean,Nama: Pierre
Tendean, Tanggal Lahir: 21 Februari 1939,Tempat Lahir: Jakarta, Wafat:
Jakarta, 1 Oktober 1965
Kapten Anumerta Pierre Tendean lahir pada tanggal 21 Februari 1939
di Jakarta. Beliau merupakan salah satu korban pada peristiwa Gerakan 30
September dan merupakan pahlawan nasional Indonesia.
Putera dari DR. A.L Tendean yang berasal dari Minahasa, sedang
ibunya seorang berdarah Perancis bernama Cornel ME.Pierre adalah anak
kedua dari tiga bersaudara.Kakak dan adiknya semua wanita, sehingga sebagai
8. satu-satunya anak lelaki dialah tumpuan harapan orang tuanya.
Sesudah Pierre tamat dari SD di Magelang, meneruskan ke SMP bagian B dan kemudian ke
SMA bagian B di Semarang.Setelah tamat dari SMA orang tuanya menganjurkan agar Pierre masuk
Fakultas Kedokteran.Akan tetapi Pierre telah mempunyai pilihan sendiri, ingin masuh Akademi Militer
Nasional, dan bercita-cita menjadi seorang perwira ABRI.
Pierre memasuki ATEKAD Angkatan ke VI di Bandung tahun 1958 dan dilantik sebagai Letda Czi
tahun 1962. Setelah mengalami tugas, antara lain sebagai Danton Yon Zipur 2/Dam II dan mengikuti
Pendidikan Intelijen tahun 1963 serta pernah menyusup ke Malaysia masa Dwikora sewaktu bertugas di
DIPIAD, maka pada tahun 1965 diangkat sebagai Ajudan Menko Hankam/Kasab Jenderal TNI A.H.
Nasution dengan pangkat Lettu.
Dalam jabatan sebagai Ajudan Jenderal TNI A.H. Nasution inilah Pierre Tendean gugur sebagai
perisai terhadap usaha G 30 S/PKI untuk menculik/membunuh Jenderal TNI A.H. Nasution.
Di saat gerombolan G 30 S/PKI masih dan berusaha menculik Pak Nas pada dini hari tanggal 1
Oktober 1965, Pierre yang saat itu sedang tidur di paviliun rumah pak Nas, segera bangun, karena
mendengar kegaduhan di rumah pak Nas. Ketika ia keluar, ia ditangkap oleh gerombolan penculik yaitu
oleh Pratu Idris dan Jahurup. Ketika Pierre menjelaskan bahwa dialah Ajudan Pak Nas, maka pihak
gerombolan salah dengar bahwa dialah pak Nas.Kemudian dia diikat kedua tangannya dan dibawa
dengan truk ke Lubang Buaya.
Di lubang Buaya Pierre besama dengan Brigjen TNI Sutoyo dimasukan ke dalam rumah yang
terletak dekat sumur tua.Setelah disiksa secara kejam oleh anggota-anggota G 30 S/PKI berdasarkan
giliran paling akhir dibunuh dan dimasukan ke dalam Lubang Buaya bersama Pimpinan TNI AD lainnya.
8. AIP Karel Satsuit Tubun
Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun, (lahir di
Maluku Tenggara,14 Oktober 1928) meninggal di Jakarta, 1 Oktober 1965
pada umur 36 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang
merupakan salah seorang korban Gerakan 30 September pada tahun 1965. Ia
adalah pengawal dari J. Leimena. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Dikarenakan dia adalah korban Gerakan 30 September, maka dia diangkat
menjadi seorang Pahlawan Revolusi.
K.S Tubun berada saat penculikan terjadi
Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, G30S/PKI terjadi.Organisasi ini menculik, menyiksa, dan
membunuh beberapa orang pejabat tinggi Angkatan Darat.Tujuannya, mengubah ideologi Pancasila
menjadi komunisme.Salah satu tokoh yang menjadi sasaran penculikan adalah Menko Hankam/Kasab
(Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata), Jenderal A.H.
Nasution.Rumah Nasution bersebelahan dengan rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena.Supaya
penculikan mudah, gerombolan PKI menyergap para pengawal di rumah Leimena.Saat itu salah satu
yang sedang giliran jaga adalah Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun. Karena ia mendapatkan giliran jaga
pagi hari, maka KS Tubun menyempatkan diri untuk tidur sejenak.
AIP TK. II Anumerta Karel Satsuit Tubun (1929-1965) Kedua rekan jaga lainnya sudah disekap
gerombolan PKI.Satsuit Tubun pun dibangunkan paksa.Melihat wajah yang membangunkan bukanlah
kedua temannya, Satsuit Tubun langsung menembak anggota gerombolan yang membangunkannya.
Saat yang sama, si anggota gerombolan pun melepaskan tembakan. Satsuit Tubun pun rebah
berlumuran darah dan meninggal seketika.
K.S Tubun dilahirkan tanggal 14 Oktober 1928 di Rumadian, Pulau Kei Kecil, Maluku
Tenggara.Keputusannya untuk masuk dalam dunia militer dimulai tahun 1951.Saat itu, Kepolisian Negara
(sekarang POLRI), membuka kesempatan bagi para pemuda untuk menjadi anggota Polisi.Setelah
mengikuti pendidikan polisi, Satsuit Tubun ditempatkan di kesatuan Brimob, Ambon.Saat dilantik,
pangkatnya Agen Polisi Kelas Dua (Prajurit Dua Polisi).Pindah ke Jakarta, pangkatnya dinaikkan jadi
Agen Polisi Kelas Satu (Prajurit Satu Polisi).
Dalam karir kemiliterannya, Satsuit Tubun seringkali ikut serta mempertahankan keamanan
negara.Khususnya ketika banyak pemberontakan yang terjadi di berbagai pelosok Indonesia. Pada
peristiwa pembebasan Irian Barat pun, Satsuit Tubun ikut serta. Pada tahun-tahun inilah pangkatnya
dinaikkan menjadi Brigadir Polisi (Sersan Polisi).Selesai tugas di Irian Barat, Satsuit Tubun tidak lagi
mendapat tugas ke luar daerah. Namun ia masih diberi kehormatan untuk menjadi anggota pasukan
9. pengawal kediaman Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena. Jasa dan pengorbanan Satsuit Tubun
dihargai pemerintah.Ia pun diberi gelar Pahlawan Revolusi. Pangkatnya dinaikkan secara anumerta
menjadi Ajun Inspektur Polisi Kelas II ( Letnan Dua Polisi). Namanya juga kini diabadikan menjadi nama
sebuah kapal perang republik indonesia dari fregat van speijk class dengan nama KRI Karel Satsuit
Tubun.
9. Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo
Nama Lengkap :Katamso Darmokusumo, Alias : Katamso, Agama :
Islam, Tempat Lahir : Sragen, Jawa Tengah, Tanggal Lahir : Senin, 5 Februari
1923 , Zodiac : Aquarius, Warga Negara : Indonesia
Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo adalah salah satu pahlawan
nasional Indonesia yang terbunuh dalam peristiwa G.30S/PKI, namun ia tidak
mengalaminya bersama para jenderal lainnya di Jakarta, melainkan di Jogjakarta,
sekalipun dalam hari dan peristiwa yang sama. Selama masa mudanya, beliau
menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah setelah itu,
beliau melanjutkan pendidikan tentara Peta di Bogor.
Sesudah proklamasi kemerdekaan, beliau mengikuti TKR yang perlahan
lahan berubah menjadi TNI.Selama masa agresi militer belanda, pasukan yang
dipimpinnya sering bertempur untuk mengusir Belanda dari Indonesia.Sesudah pengakuan Kedaulatan,
beliau diserahi tugas untuk menumpas pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah.
Pada tahun 1958, terjadilah peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta waktu itu beliau menjabat
sebagai Komandan Batalyon “A” Komando Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani.
Pada tahun 1963, beliau menjabat sebagai Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro yang
berkedudukan di Yogkakarta. Untuk menghadapi kegiatan PKI di daerah Solo, beliau aktif membina
mahasiswa. Mahasiswa mahasiswa itu diberi pelatihan militer.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 di Yogyakarta, disaat terjadi upaya kudeta oleh Partai Komunis
Indonesia dengan penculikan para jenderal di Jakarta, G.30 S/PKI pun berhasil menguasai RRI
Jogjakarta, Markas Korem 072 dan mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi.
Pada sore harinya mereka menculik Komandan Korem 072, Kolonel Katamso dan Kepala Staf
Korem Letnan Kolonel Sugiono dan membawanya ke daerah Kentungan.Kedua perwira tersebut dipukul
dengan kunci mortar dan tubuhnya dimasukan dalam sebuah lubang yang sudah disiapkan.Kedua
jenazah baru ditemukan pada tanggal 21 Oktober 1965 dalam keadaan rusak, setelah dilakukan
pencarian secara besar-besaran.
Dan pada tanggal 22 Oktober 1965 beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki
Yogyakarta.
PENDIDIKAN
Sekolah Menengah Pendidikan Militer: Pembela Tanah Air (PETA), Bogor
KARIR
Shodanco Peta di Solo
Komandan Kompi di klaten
Komandan Kompi Batalyon 28 Divisi IV
Komandan Batalyon "A" Komando Operasi 17 Agustus
Kepala Staff Resimen Team Pertempuran (RTP) II Diponegoro
Kepala Staff Resimen Riau Daratan Kodam III/17 Agustus
Komando Pendidikan dan Latihan (Koplat) merangkap Komandan Pusat
Pendidikan Infanteri (Pusdikif) di Bandung
Komandan Resort Militer korem 072, Komando Daerah Militer (Kodam) VII Diponegoro di
Yogyakarta.
10. PENGHARGAAN
Gelar Pahlawan Revolusi (SK Presiden RI No. 118/KOTI/Tahun 1965, tanggal 19 Oktober 1965)
10. Kolonel Sugiono
Sugiono seorang prajurit pembela Pancasila yang menjadi korban
kekejaman komunis.Ia kehilangan nyawanya karena memberikan latihan-latihan
militer kepada mahasiswa untuk menghadapi kegiatan PKI
Sugiono lahir di desa Gedaran, Kabupaten Gunung Kidul, Wakil
Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta, 12 Agustus 1926. Gunung Kidul sering dipandang sebagai daerah
yang tertinggal karena minimnya sumber mata air di sana. Namun, hal itu tidak
sedikitpun mempengaruhi Sugiono.Ia memiliki hasrat agar kehidupannya
menjadi lebih baik dari sebelumnya sehingga ia giat belajar di sekolah. Setelah
menyelesaikan pendidikannya di sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama, selanjutnya untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang guru, ia
meneruskan studinya ke Sekolah Guru Pertama di Wonosari.
Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan pendidikannya, tentara Jepang sudah terlebih dahulu
menduduki Tanah Air, sehingga ia terpaksa mengubur impiannya menjadi guru untuk kemudian
mengikuti pendidikan ketentaraan di Pembela Tanah Air (PETA). Setelah berhasil menyelesaikan
pendidikannya di PETA, Sugiono diangkat menjadi Budancho di Wonosari.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, ia turut serta dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan dengan memasuki Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Wakil Presiden Republik Indonesia
(1972-1978)
Yogyakarta. Awalnya ia bertugas sebagai Komandan Seksi, kemudian pada tahun 1947 diangkat menjadi
ajudan Komandan Brigade 10 Letnan Kolonel Suharto.
Dalam Agresi Militer II, ia turut serta dalam serangan umum yang dilancarkan terhadap kota
Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949. Peristiwa itu kemudian berhasil mengubah opini dunia
internasional tentang kekuatan RI.
Sesudah pengakuan kedaulatan, Sugiono meneruskan pengabdiannya di bidang militer.Ia turut
dalam Gerakan Operasi Militer (GOM) III untuk memadamkan pemberontakan KNIL di bawah pimpinan
Andi Aziz di Raja Gowa ke-16, dinobatkan pada tahun 1653
Sulawesi Selatan.
Sebagai seorang tentara, ia sering berpindah-pindah tempat. Jabatan pun beberapa kali
mengalami pergantian.Pada bulan Juni 1965 karir militernya terus berkembang dengan
pengangkatannya sebagai Kepala Staf Komando Resort Militer (Korem) 072 Komando Daerah Militer
(Kodam) VII Pemimpin Perang Diponegoro
Diponegoro (sekarang Kodam IV/Pemimpin Perang Diponegoro
Diponegoro) yang berkedudukan di Yogyakarta.Saat itu jabatan Komandan Korem dipegang Kolonel
Katamso.
Saat mengemban jabatan itu, situasi negara dalam keadaan krisis.Di pusat pemerintahan
negara, terjadi perseteruan antara ABRI di bawah komando Angkatan Darat (AD) dengan PKI yang
kemudian merambat sampai ke daerah. Akibat agitasi dan infiltrasi yang dilakukan oleh PKI, kekuatan
partai politik lain seperti PNI dan NU menjadi berkurang. Partai-partai politik kecil pun mulai merapat ke
AD.
Sementara itu, PKI berhasil memobilisasi petani dan buruh di daerah-daerah. Seperti Raja
Kasunanan Surakarta, 1893-1939
Surakarta yang dijadikan daerah percobaan oleh partai berlambang palu arit yang sedang menyiapkan
pemberontakan untuk merebut kekuasaan negara. Tak hanya itu, PKI juga mengajukan usulan untuk
mempersenjatai sekitar 15 juta massa tani dan buruh yang sering disebut sebagai Angkatan ke-5. Tentu
saja usulan tersebut ditentang sejumlah petinggi ABRI. Pasalnya, jika hal itu dilakukan akan memicu
terjadi perang saudara yang berkepanjangan.
11. PKI berhasil mempengaruhi sejumlah tokoh ABRI, baik di daerah maupun di pusat
pemerintahan.Seperti pembentukan "Dewan Revolusi" yang pendiriannya disiarkan melalui RRI di daerah
Yogyakarta yang diketuai Mayor Muyono, Kepala Seksi Teritorial Korem 072/Yogyakarta.
Jabatan-jabatan pemerintahan mulai dari walikota sampai lurah, semuanya dikuasai oleh orang-
orang PKI.Begitu halnya dengan aparat Hansip (Pertahanan Sipil). Untuk menghadapi kegiatan PKI
tersebut, para perwira ABRI yang tergabung dalam Korem 072 membina Resimen Mahasiswa dengan
cara memberikan latihan-latihan militer. Mahasiswa yang tergabung dalam sejumlah organisasi
mahasiswa non-komunis, seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dan PMKRI
(Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) melihat bahwa AD merupakan pihak yang dapat
diajak bekerja samadalam menghadapi tekanan PKI.
Tanggal 1 Oktober 1965, Letnan Kolonel Sugiyono kembali ke Yogyakarta setelah beberapa
waktu bertugas di Pekalongan.Ia langsung menuju markas Korem 072 yang pada saat itu telah dikuasai
militer pro-PKI. Akan tetapi hal itu tidak diketahui Sugiono. Sebagai salah satu tokoh ABRI yang diincar
PKI, ia pun langsung ditangkap dan dibawa ke Kentungan yang terletak di sebelah utara Yogyakarta.
Perwira itu kemudian dibunuh di tempat itu.Jenazahnya berhasil ditemukan pada tanggal 22 Oktober
1965 dan dimakamkan di Taman Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Atas jasa-jasanya kepada negara pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel.Kol.Inf. TNI Aumerta
Sugiono dianugerahi gelar Lihat Daftar Pahlawan Nasional
pahlawan Revolusi berdasarkan SK Lihat Daftar Presiden Republik Indonesia
Presiden RI No. 118/KOTI/1965, tgl 19 Okt 1965.