Tiga kalimat:
Dokumen ini membahas tentang pengaruh globalisasi terhadap sastra Jawa, di mana globalisasi telah menyebabkan sastra Jawa semakin tersisih dan dianggap telah mati oleh beberapa tokoh. Namun, masih ada optimisme dari beberapa tokoh lain yang menyatakan bahwa sastra Jawa masih hidup meskipun tidak seberkembang dulu.
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sastra jawa melawan globalisasi
1. Eskapisme Sastra Jawa
Melawan Globalisasi
Ichwan Prasetyo
Sastra itu buku (Suparto Brata, begawan sastra Jawa)
Sekarang tak ada acuan karya sastra Jawa modern yang berkualitas (Sucipto Hadi
Purnomo, Ketua Organisasi Pengarang Sastra Jawa/OPSJ, dosen Bahasa dan Sastra Jawa
di Universitas Negeri Semarang/Unnes)
I
Belasan sastrawan Jawa dan pencinta sastra Jawa berkumpul di Pendapa Wisma
Seni Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo atau Taman Budaya Surakarta (TBS),
Sabtu malam, 25 Februari 2012. Hujan rintik-rintik yang membuat banyak orang enggan
beranjak dari rumah seakan menabalkan kondisi dunia sastra Jawa kini yang semakin
tersingkir dari “peradaban” orang Jawa. Pertemuan itu diprakarsai pengurus Organisasi
Pengarang Sastra Jawa (OPSJ).
Pertemuan Sabtu malam itu sebagai tindak lanjut Kongres Sastra Jawa III di Desa
Jono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, 28-30 Oktober 2011
dan Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya, 27-30 November 2011. Hampir semua yang
hadir dalam pertemuan di Wisma Seni TBS itu hadir dalam Kongres Sastra Jawa III dan
Kongres Bahasa Jawa V.
Tito S Budi yang terkenal dengan nama pena Daniel Tito, sastrawan Jawa yang
menggeluti dunia sastra Jawa sejak awal 1970-an, di sela-sela pertemuan OPSJ itu
mengatakan apa yang dia lihat dalam pertemuan Sabtu malam itu adalah gambaran riil
dunia sastra Jawa era kini.
“Semua yang hadir ini
generasi tua. Mayoritas
di atas 50 tahun.
Ini realitas sastra Jawa.
Sudah mati.”
2. “Semua yang hadir ini generasi tua. Mayoritas di atas 50 tahun. Ini realitas sastra
Jawa. Sudah mati,” kata Tito. “Kematian” sastra Jawa sudah lama dibicarakan. Sastrawan
Arswendo Atmowiloto dalam sebuah diskusi di Balai Soedjatmoko Solo, beberapa waktu
lalu, mengatakan sastra Jawa mati seiring tersisihnya aksara Jawa dari kehidupan orang
Jawa. Tapi, pendapat ini dia koreksi pada awal 2012.
Arswendo adalah penulis dan wartawan yang mengawali karier kesastraan dan
kepenulisannya di dunia sastra Jawa. Kini, dia kembali menulis karya sastra Jawa setelah
lebih dari 30 tahun meninggalkan dunia sastra Jawa yang sebelumnya dia tekuni dengan
karya berupa cerita pendek (crita cekak/cerkak) atau esai.
Apa yang terjadi dalam pertemuan OPSJ di Wisma Seni TBS itu, menurut Tito,
adalah pengulangan dari peristiwa yang sama dalam dua dekade terakhir. Menurutnya,
dalam setiap pertemuan sastrawan Jawa yang dia hadiri selama dua dekade terakhir,
orang-orang yang hadir adalah itu-itu saja.
“Perbedaannya hanya satu, saya dan mereka makin tua,” kata Tito sambil tertawa
lepas. Menurutnya, kematian sastra Jawa menjadi keniscayaan ketika mereka yang rutin
hadir dalam pertemuan-pertemuan sastrawan Jawa meninggal dunia. Mereka yang hadir
—selalu hadir—dalam pertemuan-pertemuan sastrawan Jawa adalah orang-orang yang
konsisten hadir dalam jagat sastra Jawa.
Sabtu malam itu hadir Suparto Brata, sastrawan Jawa senior yang secara informal
ditabalkan sebagai begawan sastra Jawa; Tiwiek SA, pendiri Sanggar Triwidha di
Tulungangung, Jawa Timur; Dhanu Priyo Prabowo, peneliti di Balai Bahasa Yogyakarta
yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta; Amie
Williams, pencinta sastra Jawa yang punya akun Facebook yang konsisten membahas
bahasa dan satra Jawa; Rini Tripuspo Hardini, guru di sebuah SMPN di Salatiga yang
produktif menulis geguritan (puisi berbahasa Jawa) serta beberapa pencinta sastra Jawa
dari Jakarta, Tegal, Surabaya dan Semarang. Dan rata-rata mereka sudah berumur di atas
45 tahun.
Para sastrawan dan pencinta sastra Jawa yang hadir dalam pertemuan OPSJ di
Wisma Seni TBS dan para sastrawan dan pencinta sastra Jawa dalam jumlah lebih
banyak yang hadir dalam Kongres Sastra Jawa III dan Kongres Bahasa Jawa V rata-rata
menyatakan sastra Jawa memang makin tersisih. Tapi, mereka juga bergelimang
optimisme untuk mempertahankan, bahkan tak henti berusaha memberdayakan sastra
Jawa.
Yusuf Susilo Hartono, penulis yang menggeluti sastra Jawa yang tinggal di
Jakarta, mengatakan jika perlu kini para sastrawan dan pencinta sastra Jawa harus mereka
atau berinovasi menghasilkan bentuk baru sastra Jawa demi menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman.
Menurut Yusuf, sastra Jawa gaya baru atau sastra Jawa gagrag anyar yang
berupa cerita pendek (crita cekak/cerkak), cerita bersambung (crita sambung/cerbung),
puisi berbahasa Jawa (geguritan), novel atau novellete berbahasa Jawa dan esai-esai
berbahasa Jawa tentang sastra Jawa dan kejawaan bisa jadi sudah tak diminati generasi
muda Jawa era kini.
Semakin tingginya frekuensi komunikasi antarbudaya baik lokal, nasional,
regional maupun internasional menempatkan masyarakat Jawa dalam posisi yang
kompleks. Era kesejagatan atau globalisasi menuntut orang Jawa tak sekadar menjadi
3. orang Jawa yang njawa di dalam komunitas budaya mereka sendiri, tetapi sekaligus
menjadi orang Jawa yang berbangsa Indonesia serta menjadi orang Jawa yang warga
masyarakat dunia yang kini semakin nirbatas.
Globalisasi meniscayakan frekuensi intensif antarbudaya lokal, nasional, regional
dan internasional. Tuntutan bahwa wong Jawa harus njawa di komunitas Jawa sekaligus
berbangsa Indonesia dan warga dunia memang tak bisa diakomodasi secara baik dan
berimbang. Yang terjadi kini, mayoritas wong Jawa justru kehilangan kejawaan mereka.
Wong Jawa ilang Jawane.
Di tengah kerumunan budaya global yang saling bersaing memikat manusia
mengakibatkan mayoritas orang Jawa menjadi tidak njawa. Orang Jawa kehilangan jati
diri, kata Sugiyatno Ronggojati, warga Solo yang merupakan salah satu budayawan Jawa
dan pelestari aksara Jawa sekaligus pencinta sastra Jawa.
Menurut Sugiyatno, hilangnya karakter Jawa itu menjadikan karakter masyarakat
Jawa melemah. Karakter yang melemah tersebut membawa pengaruh negatif yang
berantai. Dalam sebuah acara diskusi tentang karya sastra Ronggawarsita di Loji
Gandrung, rumah dinas Wali Kota Solo, Kamis, 1 Maret 2012, Sugiyatno mengatakan itu
semua sebenarnya memang pengaruh tak langsung dari globalisasi.
Globalisasi tak hanya punya pengaruh yang bersifat langsung yang dibawa oleh
agen-agen globalisasi seperti yang mudah dilihat dan diamati dalam gejala sektor
ekonomi dan keuangan. Agen globalisasi di sektor ekonomi bisa dilihat nyata dengan
pencabutan subsidi untuk rakyat, menjamurnya gerai-gerai perbelanjaan modern, mode
pakaian, genre film dan sebagainya.
”Yang paling berbahaya menurut saya justru pengaruh globalisasi yang tak
langsung, yaitu pengaruh globalisasi pada kebudayaan,” kata KRA Widijatno
Sontodipuro, pengelola majalah berbahasa Jawa Mbangun Tuwuh yang diterbitkan
keluarga besar Pura Mangkunegaran, Solo.
Sugiyatno dan Widijatno mengatakan lemahnya karakter masyarakat Jawa akibat
daya globalisasi menyebabkan berkurangnya ketegasan identitas lokal masyarakat Jawa.
Identitas kejawaan semakin kabur. Ini mengakibatkan masyarakat Jawa mengalami
kendala-kendala kultural dalam komunikasi antarbudaya baik dalam lingkup nasional
maupun internasional.
“Wong Jawa menjadi cenderung pesimistis, sinis, mudah gusar dalam menjalani
pergaulan antarbudaya,” kata Sugiyatno. Kaburnya identitas kejawaan masyarakat Jawa
bisa diidentifikasi dari semakin berkurang atau semakin lemahnya penggunaan bahasa
Jawa dan apresiasi terhadap sastra Jawa. Bahasa dan sastra Jawa makin terpinggirkan di
ranah keluarga, lingkungan sekitar tempat tinggal maupun ritual-ritual kebudayaan.
Daya saing bahasa Jawa terhadap bahasa asing dan bahasa nasional menjadi
semakin berkurang. Generasi muda Jawa cenderung memilih menggunakan bahasa
Indonesia dan bahasa asing dalam menjalankan aktivitas penunjang kehidupan mereka
seperti aktivitas di lingkungan pekerjaan, akademik/pendidikan, maupun aktivitas formal
lainnya.
Peminat terbitan-terbitan berbahasa Jawa semakin berkurang. Karya sastra Jawa
sebagai penjaga bahasa Jawa semakin tak laku, tak diminati. Generasi muda tidak mau
“mengonsumsi” karya sastra Jawa. Peminatnya yang kebanyakan generasi tua pun
semakin berkurang jumlahnya.
4. Apresiasi
masyarakat Jawa
terhadap karya
sastra Jawa
tidak berkembang.
Meskipun para pegiat sastra Jawa masih ada, menurut Tito, apresiasi masyarakat
Jawa terhadap karya sastra Jawa tidak berkembang. Peminatnya makin berkurang.
Penerbitan karya sastra Jawa kembang kempis. Konsumsi karya sastra Jawa tak
sebanding dengan konsumsi novel atau film Indonesia dan asing. Ini, kata Tito,
Sugiyatno dan Widijatno, salah satu dampak tak langsung globalisasi terhadap sastra
Jawa.
Apresiasi masyarakat Jawa terhadap sastra Jawa tertatih-tatih. Berkurangnya
kualitas dan kuantitas penggunaan bahasa Jawa dan apresiasi sastra Jawa oleh masyarakat
Jawa sendiri merupakan indikator lunturnya jati diri kejawaan.
Ihwal globalisasi dan sastra Jawa, Dhanu Priyo Prabowo, yang berpengalaman
berpuluh-puluh tahun berkecimpung dalam dunia sastra Jawa dan meneliti bahasa dan
sastra Jawa, mengatakan sepakat dengan pendapat banyak orang bahwa sastra Jawa
mundur, bahkan ”mati” akibat terdesak globalisasi.
Menurutnya, sebenarnya bukan hanya sastra Jawa yang terdesak globalisasi,
tetapi juga kebudayaan lain di negara-negara berkembang. Pengaruh globalisasi terhadap
keberadaan dan keberlangsungan sastra Jawa adalah sesuatu yang wajar di tengah sistem
politik yang mondial yang berkembang saat ini.
”Tapi, pengaruh itu menurut saya normatif saja,” kata Dhanu dalam wawancara
tertulis melalui email. Menurutnya, secera esensial justru mulai tumbuh “kebangkitan”
sastra Jawa di tengah realitas “kemunduran” dan bahkan “kematian” sastra Jawa.
Kebangkitan itu terjadi karena banyak orang Jawa atau siapa pun yang pernah
belajar tentang sastra Jawa sebagai sumber kearifan budaya Jawa sekarang sedang
mencari kembali sastra Jawa sebagai wujud penolakan terhadap sistem politik
kebudayaan global, khususnya pengaruh kapitalisme dan liberalisme yang cenderung
negatif bagi kebudayaan di negara-negara berkembang, termasuk Jawa.
Orang Jawa dalam jumlah banyak secara terbuka atau sembunyi-sembunyi sedang
menempatkan kembali sastra Jawa sebagai sumber kebajikan hidup di tengah dunia yang
serba kacau saat ini. Mereka yang mencari dan berusaha kuat menemukan kebajikan
hidup itu berasal dari segala strata sosial dan pekerjaan.
“Jadi, saya justru menampik anggapan sastra Jawa telah ‘mati’. Arswendo
Atmowiloto yang pada 1982 dengan tegas menyatakan ‘sastra Jawa telah mati’,
kemudian meralat pernyataannya dengan kesadaran penuh,” kata Dhanu.
Arswendo sendiri pada 2012 ini menulis kembali cerita pendek berbahasa Jawa
setelah berhenti menulis berbahasa Jawa selama 35 tahun. Menurut Dhanu, realitas
menunjukkan bahwa sastra Jawa kehidupannya memang tidak ideal seperti dituntut
5. banyak orang secara normatif dengan membandingkan dengan sastra negara lain. Tetapi,
sastra Jawa tetap hidup dan menghidupi sikap hidup orang Jawa saat ini.
Menurut Daniel Tito, sikap Dhanu itu menunjukkan memang ada perlawanan dari
komunitas sastra Jawa terhadap realitas dan anggapan bahwa sastra Jawa “telah mati”.
Dan memang optimisme seperti yang ditunjukkan Dhanu itu yang selama ini membuat
sastra Jawa tetap hidup, walau tak berkembang senormatif ketika dibandingkan dengan
sastra Indonesia dan sastra negara lain.
”Persoalannya, optimisme sastra Jawa melawan realitas ‘kematiannya’ itu
mayoritas diusung oleh generasi tua. Sementara regenerasi sastrawan Jawa sangat
tertatih-tatih. Generasi muda lebih tertarik dengan sastra asing yang kemudian mereka
ekspresikan ke dalam sastra berbahasa Indonesia,” kata Tito.
Inilah, yang menurut Tito, menjadi manifestasi dari realitas sastra Jawa yang
“mati” tersebut. Tak ada regenerasi secara sistematis dan teratur. Lebih lanjut, Dhanu
mengatakan globalisasi adalah sebuah sistem yang mencoba menguasai dunia sesuai
keinginan dan agenda orang/kelompok/negara tertentu dengan gerakan kebudayaan yang
mereka susun dan rekonstruksi.
Sastra Jawa di tengah situasi cengkeraman penjajahan mondial dengan
mengatasnamakan globalisasi tidak menyajikan sejenis kebijaksanaan cepat saji yang tak
sehat bagi kehidupan. Sastra Jawa melawan gejala instan yang dibawa globalisasi dengan
menyajikan makanan jiwa yang menenteramkan dan mencerahkan bagi kehidupan.
“Pertanyaannya, apakah kita merasakan ketenteraman dan pencerahan dari sastra Jawa
kalau kita mempelajarinya dengan penuh apresiasi dan serius?” papar Dhanu.
Realitas ketika sebagian besar warga masyarakat Jawa enggan mendekati dan
mengapresiasi sastra Jawa, menurut Dhanu, memang menunjukkan bahwa sebagian besar
masyarakat Jawa larut dalam budaya buah globalisasi yang serba instan, serba cepat dan
bisa langsung dirasakan kenikmatannya.
Tapi, menurut Dhanu, jutsru realitas ini pula yang membangkitkan perlawanan
sastra Jawa terhadap globalisasi. Ihwal pengaruh globalisasi terhadap sastra Jawa, Bonari
Nabonenar yang menjadi Ketua Panitia Kongres Sastra Jawa III dan Sekretaris OPSJ,
mengatakan pengaruh globalisasi terhadap sastra Jawa memang tak langsung
sebagaimana agen-agen globalisasi di sektor ekonomi, finansial, mode dan hiburan
visual.
Menurut Bonari, pengaruh globalisasi terhadap sastra Jawa laksana agen senyap
berdaya bunuh tinggi yang merasuk secara diam-diam ke dalam sektor kehidupan
masyarakat Jawa. Agen senyap itu masuk dan merasuk ke sektor kehidupan masyarakat
Jawa yang mencakup sisi ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) dan kemudian berdampak
luar biasa negatif terhadap dunia sastra Jawa.
Bonari mengilustrasikan dulu di kawasan pedesaan di Kecamatan Panggul,
Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, pada akhir 1970-an, banyak ibu yang terlibat dalam
pembicaraan tentang cerita bersambung yang dimuat majalah berbahasa Jawa. Mereka
saling mengomentari dan menebak-nebak kira-kira bagaimana cerita selanjutnya.
“Itu ketika pesawat televisi masih jarang. Lembaga penyiaran relevisi baru
TVRI,” kata Bonari. Seiring perkembangan zaman, ketika peswat televisi makin murah
dan nyaris semua rumah memiliki pesawat televisi, serta lembaga penyiaran televisi
semakin banyak pula, majalah dan bacaan berbahasa Jawa juga ditinggalkan.
6. Realitas seperti itu terjadi bersamaan dengan generasi muda Jawa yang terus
tumbuh dengan pola pikir bahwa segala sesuatu yang berlabel luar negeri—dan luar
negeri itu adalah Barat—adalah lebih unggul dibandingkan “negeri sendiri”, apalagi jika
dipersempit menjadi Jawa. Menguasai alat musik Barat jauh lebih bergengsi daripada
menguasai gamelan. Menguasai bahasa Inggris adalah lebih gagah daripada menguasai
bahasa Jawa.
Generasi muda
yang merupakan
bibit-bibit unggul Jawa
semakin meninggalkan kejawaan,
sedangkan yang tersisa,
termasuk para penulis/pengarang/sastrawan Jawa,
sebagian besar gagal mempersembahkan
yang terbaik untuk merebut
lebih banyak pembaca.
Dengan persepsi seperti itu terciptalah lingkaran setan: generasi muda yang
merupakan bibit-bibit unggul Jawa semakin meninggalkan kejawaan, sedangkan yang
tersisa, termasuk para penulis/pengarang/sastrawan Jawa, sebagian besar gagal
mempersembahkan yang terbaik untuk merebut lebih banyak pembaca.
Arswendo Atmowiloto dalam Kongres Sastra Jawa III mengatakan zaman kini
yang disebut zaman industri memosisikan segala sesuatu harus diukur dan dibandingkan
antara yang satu dengan yang lainnya. Salah satu wujud nyatanya adalah rating atau
sharing di dunia kebudayaan. Ini jelas buah globalisasi, agen globalisasi yang berakar
pada kapitalisme industri, yang meletakkan segala sesuatu dengan ukuran untung dan
rugi.
“Kita tidak bisa menilai perempuan itu cantik, harus diukur bagian-bagian
fisiknya. Ukuran itu yang dibandingkan dengan perempuan lain,” kata Arswendo. Pola
berpikir seperti ini juga diterapkan ketika berbicara sastra Jawa. Ukuran-ukuran yang
diterapkan memang mengecewakan dalam konteks kejawaan karena tidak menyentuh
persoalan batin atau roh, yang diukur sebatas fisik.
Inilah yang mengakibatkan tontonan di televisi atau siaran di radio, dan berita
atau tulisan di koran, diukur dengan berapa penontonnya, berapa pendengarnya, berapa
pembacanya. Bukan apa isinya. Dalam ranah produksi mengemuka kredo: tak peduli
berapa biayanya, yang penting berapa untungnya.
Sastra Jawa, kata Arswendo, yang mengutakan roh dan isi, kemudian menjadi
kelabakan ketika harus hidup di tengah kondisi faktual yang mengutamakan rating dan
sharing. Bahasa Jawa yang dinilai generasi muda Jawa sekarang sebagai “tak gaul”,
kuno, ketinggalan zaman, meniscayakan sastra Jawa dalam kondisi marginal, terengah-
engah mengejar zaman.
7. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hemangku Buwono X,
dalam Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya mengatakan dengan merefleksi sejarah, telah
terjadi transformasi budaya yang mendasar, perubahan orientasi dari lokal ke nasional
dan kini ke global atau internasional.
Dalam konteks ini, menurut Sri Sultan, kini tak mungkin lagi mengatakan bahwa
budaya Jawa (dan sastra Jawa) hanya merupakan rujukan orang Jawa saja, seperti tatkala
orang Jawa belum mengenal keluasan Tanah Air dan keragaman etnis serta budayanya.
Dalam keluasan itulah, kontak-kontak dengan nilai-nilai asli di tempat lain terjadi.
Dan dalam skala globalisasi, kontak-kontak budaya itu terjadi begitu masif dan tak jarang
mengakibatkan budaya lokal tertentu (termasuk budaya Jawa dan sastra Jawa sebagai
bagiannya) tersisih dan termarginalisasi.
Megutip lembaran Babad Giyanti, Sri Sultan mengatakan bahwa Sri Sultan
Hamengku Buwono I pernah bersabda: Satuhune Sri Narapati Mangunahnya Brangti-
Wijayanti. Keprihatinan itu menggambarkan bahwa oleh gencarnya politik kolonialisme
Belanda menjadikan raja-raja Jawa seakan terkena demam asmara, lemah tanpa daya.
Keadaan ini harus dihadapi degan wijayanti dan puwarane sung awerdi, gagat-
gagat wiyati. Agar berjaya harus meneladani sikap tulus tanpa pamrih guna menyambut
cerahnya hari esok yang laksana biru nirmala. Keprihatinan atas kemunduran budaya,
bahasa dan sastra Jawa, menurut Sri Sultan, ada paralelisme sejarahnya dengan
globalisasi saat ini yang menantang untuk meningkatkan ketahanan budaya.
Dalam hubungan dan konflik dengan perkembangan zaman, sastra Jawa memang
telah tua, sangat tua, umurnya lebih dari sepuluh abad. Sastra Jawa terbentang luas sejak
abad IX hingga awal abad XXI ini. Sastra Jawa yang sedemikian tua itu menurut S
Bambang Purnama dalam bukunya Kesastraan Jawa Pesisiran, pada hakikatnya
merupakan pewahyuan atau realisasi diri kelompok manusia yang berbeda-beda, dengan
demikian berkarakteristik yang berbeda-beda pula.
Sebagai sastra yang telah tua, dengan umur lebih dari 10 abad, sastra Jawa telah
mengalami berbagai pasang surut konsep tentang hakikat sastra. Konsep-konsep yang
berlaku dalam sastra kakawin tidak sama dengan konsep sejenis dalam sastra kidung,
yang muncul dan berkembang tidak lama setelah sastra kakawin mengalami masa surut.
Konsep tembang macapat pada sastra Jawa baru jauh berbeda dengan konsep
sastra Jawa pada kidung. Demikian juga pada sastra Jawa modern yang dikenal dengan
sebutan sastra Jawa gagrag anyar.
Lokalitas
Aktivis World Social Forum sekaligus dosen di Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkarta Jakarta, Herry B Priono, dalam diskusi tentang globalisasi yang
diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Jakarta, 18 Februari
2012, mengatakan globalisasi memang berpengaruh terhadap kebudayaan, termasuk
bahasa ibu.
”Di banyak negara, termasuk di Indonesia, bahasa ibu terdesak, ditinggalkan oleh
penuturnya. Para penuturnya menilai bahasa ibu itu kuno. Sedangkan bahasa modern
adalah bahasa Inggris,” kata Herry.
Dalam kesempatan itu Herry menceritakan di Semarang ada orangtua siswa-siswa
sekolah internasional yang meminta pengelola sekolah menghapus mata pelajaran Bahasa
8. Jawa. Mereka beranggapan bahasa Jawa tak perlu diajarkan di sekolah internasional.
Bahasa yang paling penting adalah bahasa Inggris.
Herry menyatakan prihatin dengan peristiwa itu. Baginya, manusia yang
sempurna harus berfondasikan lokalitas, termasuk memahami dan menggunakan bahasa
ibu, yang kemudian menjadi manusia warga bangsa atau nasional dan kemudian menjadi
manusia global atau internasional.
Realitas seperti inilah, menurut Herry, yang menunjukkan sebagian pengaruh
negatif globalisasi. Era kesejagatan itu tak hanya menebar agen-agen kasat mata yang
berupa gerai makanan cepat saji, mode pakaian, musik, film, rezim keuangan dan lain
sebagainya. Globalisasi, menurutnya juga membawa pengaruh bersifat “tak langsung”
yang merusak kebudayaan lokal.
Afendy Widayat dari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta
ketika berbicara dalam salah satu diskusi di Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya
mengatakan setiap budaya sedikit atau banyak memiliki kekhasannya sendiri sebagai
ikon kebanggaan masyarakat pendukungnya.
Masyarakat Jawa yang masih merasa memiliki (handarbeni), yakni sebagai
pemilik dan pendukung budaya Jawa secara umum, berbagai khasanah budaya di
dalamnya, tentu akan berusaha untuk mempertahankannya (diupi-upi dhimen lestari).
Namun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa jumlah (kuantitas)
sebagian masyarakat Jawa yang demikian ini, dan seberapa jauh usaha yang dilakukan
(kualitas) dalam rangka ikut gumregut cancut taliwanda mengupayakan pemertahanan
budaya itu?
Dewasa ini, kata Afendy, arah gerak budaya di setiap sudut dunia mau tidak mau
telah terseret laju globalisasi atau keterbukaan informasi, tidak terkecuali pada
masyarakat dan budaya Jawa. Tarik ulur antara budaya-budaya besar, seperti modernisasi
ala Barat, pembudayaan menurut agama-agama besar, atau riak-riak adat ketimuran
tertentu, lambat laun mulai menggelindingkan bola globalisasi itu menuju masa depan
yang menyatu-budaya.
Anggapan rendah itu
mengemuka dari kalangan
wong Jawa sendiri
maupun dari kalangan
di luar orang-orang Jawa.
Realitas sastra Jawa di tengah realitas kebudayaan Jawa dan wong Jawa seperti di
atas mengakibatkan mengemukanya anggapan bobot sastra daerah modern lebih rendah
dibandingkan sastra Indonesia atau sastra dari negara lain, terutama negara-negara Barat.
Anggapan rendah itu mengemuka dari kalangan wong Jawa sendiri maupun dari
kalangan di luar orang-orang Jawa.
9. Muncul pula anggapan bahwa sastra Jawa modern itu epigon belaka dari sastra
Indonesia modern sehingga menulis dalam bahasa daerah itu tak berguna. Dua realitas
yang memarginalkan sastra Jawa itu dibingkai kecurigaan bahwa menggeluti dan
mengembangkan sastra Jawa adalah usaha mengembangkan atau mempertahankan
paham sukuisme, daerahisme, melalui karya sastra. Dan ujungnya kemudian adalah
banyak penulis atau “sastrawan” Jawa yang kemudian “menyeberang” ke sastra
Indonesia.
Kondisi kontemporer menunjukkan sastra Jawa memang termarginalkan. Wujud
karya sastra dalam bentuk buku berupa novel, novelette, kumpulan puisi atau kumpulan
esai sangat sulit ditemukakan di pasar atau di took-toko buku. Buku-buku karya
sastrawan Jawa yang relatif mudah ditemukan di toko buku besar hanya karya Suparto
Brata, terutama serial detektif. Itu pun karya lama. Sementara karya sastrawan Jawa
mutakhir lebih banyak berupa cerita pendek dan puisi yang dipublikasikan melalui media
massa berbahasa Jawa yang jumlah serta oplahnya juga termarginalkan.
II
Definisi sastra Jawa modern yang dikenal umum adalah karya sastra Jawa yang
menggunakan bahasa Jawa Baru. Berdasarkan catatan Zoetmulder (1983: 25), bahasa
Jawa Baru muncul seiring berakhirnya penggunaan bahasa Jawa Kuna dan Bahasa Jawa
Pertengahan pada akhir abad ke-17 yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan kerajaan
di Blambangan dan mulai berkembangnya pengaruh Islam.
Karya sastra Jawa modern yang dimaksud agaknya terlalu luas, meskipun dalam
berbagai isi dan ceritanya juga telah menyuarakan tema-tema budaya Jawa modern.
Istilah sastra Jawa modern yang dimaksud, menurut Afendy Widayat dari Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, dipersempit menjadi yang menyangkut
karya sastra Jawa mutakhir (meminjam istilah JJ Ras, 1985), dan lebih khusus lagi
mengacu pada karya sastra Jawa yang berisi cerita kehidupan sehari-hari masyarakat
Jawa setelah kemerdekaan Indonesia.
Batasan ini menekankan isi cerita yang lebih representatif yang lebih mudah
untuk dibandingkan dengan kehidupan riil masyarakat dewasa ini, bahkan mungkin dapat
ditemukan dalam kehidupan modern akhir-akhir ini. Karya-karya yang demikian ini
antara lain berbentuk gancaran yakni cerita pendek atau crita cekak (cerkak), novelette
Jawa, novel Jawa modern, dan cerita bersambung Jawa,. Yang berbentuk puisi yakni
geguritan; dan yang drama adalah sandiwara modern.
Jenis prosa atau gancaran memiliki keunggulan-keunggulan komunikatif, antara
lain: lugas dan jelas. Lugas, menurut Afendy, maksudnya secara umum lebih banyak
menggunakan kosakata sehari-hari sehingga lebih mudah untuk dicerna pembaca. Jelas
maksudnya secara umum lebih banyak menggunakan stuktur gramatikal sesuai dengan
standar bahasa formal yang berlaku.
Jenis puisi atau geguritan memiliki keunggulan-keunggulan estetis, antara lain
pemilihan diksi yang padat, bebas, dan indah. Larik-larik puisi tidak harus berstruktur
seperti kalimat formal. Jenis drama menekankan dialog yang mengarah pada konflik para
pelakunya. Jenis ini tentu saja memiliki keunggulan aksi dramatik.
10. Berdasarkan keunggulan ciri-ciri jenis tersebut, jenis prosa atau gancaran, yakni
cerkak, cerbung Jawa dan novel atau novellete Jawa merupakan bentuk yang paling
representatif untuk bacaan yang menyuarakan kehidupan keseharian masyarakat Jawa
modern, meskipun tidak terlepas dari pandangan-pandangan tradisional yang sering dapat
ditemui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa dewasa ini.
Muhammad Ali dalam buku Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern, 1991,
mendefinisikan sastra Jawa modern adalah sastra Indonesia berbahasa Jawa. Menurutnya,
pendapat yang menyatakan sastra Jawa modern adalah kelanjutan kultur Jawa (lama)
adalah pendapat yang keliru. Pendapat senada dikemukakan Suripan Sadi Hutomo.
Yang jelas, sastra Jawa modern memang meninggalkan sastra Jawa klasik atau
tradisional dengan mengembangkan genre sastra baru yang berkiblat pada sastra Barat.
Sastra Jawa modern itu berupa cerita pendek atau crita cekak (cerkak), cerita
bersambung, novel, novellete yang berbahasa Jawa dan geguritan atau puisi berbahasa
Jawa. Satu bentuk lagi yang menguatkan sastra Jawa modern adakah esai berbahasa
Jawa.
Sastra Jawa modern
berjalan serupa
dengan sastra Indonesia
tapi gagal membangun ruang
yang diterima
komunitas masyarakatnya
Sastra Jawa modern berjalan serupa dengan sastra Indonesia tapi gagal
membangun ruang yang diterima komunitas masyarakatnya. “Orang Jawa sekarang
mayoritas malah tak bisa membaca karya sastra Jawa. Dan mereka juga tak punya
keinginan untuk membaca karya sastra Jawa,” kata Sucipto Hadi Purnomo, Ketua OPSJ.
Suparto Brata, sastrawan Jawa yang berkarya sejak 1951, dan kini ditabalkan
secara informal sebagai Begawan Sastra Jawa, dalam sebuah diskusi di Dalem
Wuryoningratan Solo, beberapa waktu lalu, mengatakan sastra adalah buku. Tiada dunia
sastra tanpa buku. Karya sastra terbaik adalah buku. Mengutip Goldmann (1977; 99),
Suparto mengatakan karya sastra yang sempurna adalah karya sastra yang didasarkan atas
keseluruhan kehidupan manusia, yaitu pengalaman subjek kreator (pengarang) sebagai
warisan tradisi dan konvensi.
Sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan tersebut sebagian besar terdiri dari
kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.
Ada kesamaan antara sosiologi dengan sastra sehingga teks sastra dapat dikaji melalui
pendekatan sosiologi (Wellek & Warren; 1989: 109).
11. Menjaga Kejawaan
Bagi Suparto, buku sebagai puncak karya sastra Jawa adalah sarana baku dan
ideal untuk menjaga kejawaan. Dengan buku sastra Jawa, wong Jawa punya kuasa
menjaga kejawaan sehingga anggapan orang Jawa kehilangan kejawaan, wong Jawa
ilang Jawane, bisa diantisipasi sehingga menjadi wong Jawa ora ilang Jawane.
Tapi, realitas sekarang menunjukkan orang Jawa yang menulis (pengalaman
hidupnya) dalam bentuk buku sangat sedikit. Karya sastra Jawa berupa buku, kata
Suparto, sangat sedikit. Dan orang Jawa yang membacanya juga sangat sedikit. Bahkan,
menurutnya, 95% orang Jawa tidak punya budaya membaca dan menulis buku. Apalagi
membaca dan menulis buku karya sastra Jawa, atau setidaknya berbahasa Jawa.
Globalisasi yang disokong perkembangan teknologi komunikasi dan informasi
lebih memanjakan kemampuan indera visual, terutama melihat dan mendengar radio,
televisi, telepon, internet. Persentase orang Jawa yang tidak berbudaya membaca buku
dan menulis buku meningkat menjadi lebih dekat ke 100%.
Orang Jawa kian enggan membaca buku dan menulis buku. Melihat dan
mendengar itu kodrat. Sedangkan membaca dan menulis bukanlah kodrat.
Membeludaknya alat-alat yang memanjakan kodrat membuat orang Jawa enggan belajar
dan menikmati hidup dengan susah payah. Menonton TV itu nikmat tanpa harus belajar
dulu.
Sedangkan membaca dan menulis buku butuh proses panjang, harus bersusah
payah dulu. Realitas ini yang berkelindan dengan fenomena kultural yang mengakibatkan
orang Jawa menjauh dari jati diri kejawaan memengaruhi eksistensi sastra Jawa. Sastra
Jawa kian termarginalkan.
Ketua OPSJ, Sucipto Hadi Purnomo, mengatakan kini tak ada model karya sastra
Jawa yang layak jadi panutan. Karya sastra Jawa yang kini ada adalah karya sastra yang
sifatnya boleh dikatakan ”sekadar ada”. Sastrawan-sastrawan Jawa tetap berkarya demi
eksistensi, demi jati diri dan demi kecintaan mereka terhadap dunia sastra Jawa.
Aktivitas kesastraan berpusat di komunitas-komunitas atau sanggar sastra Jawa.
Komunitas itu misalnya Sanggar Triwidha di Tulungagung, Jawa Timur; Sanggar Sastra
Jawa Yogyakarta (SSJY) dan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) di Bojonegoro,
Jawa Timur.
Sastrawan Jawa atau setidaknya penulis karya sastra berbahasa Jawa yang tak
terhimpun atau jauh dari komunitas/sanggar sastra Jawa rata-rata bergiat secara mandiri.
Mereka menulis cerita pendek, dongeng bocah, puisi atau esai dan kemudian
mengirimkannya ke media massa berbahasa Jawa.
Media massa berbahasa Jawa pun jumlahnya sangat sedikit. Di Yogyakarta hanya
ada majalah Djaka Lodhang, suplemen Mekarsari di harian Kedaulatan Rakyat dan
suplemen Jagad Jawa di Harian Jogja. Di Jawa Tengah hanya ada suplemen Jagad Jawa
di harian SOLOPOS yang merupakan satu grup dengan Harian Jogja serta lembaran
Sang Pamomong di harian Suaran Merdeka.
Di Jawa Timur ada dua media berbahasa Jawa yang berumur cukup tua, yaitu
Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Selain media-media ini, di Yogyakarta, Jawa Tengah
dan Jawa Timur ada beberapa media berkala berbahasa Jawa yang diterbitkan oleh
komunitas-komunitas tertentu. Komunitas-komunitas ini punya kesamaan, yaitu
kecintaan terhadap bahasa dan sastra Jawa.
12. Penerbitan buku karya
sastra Jawa menjadi
kegiatan marginal
dalam ranah sastra Jawa.
Penerbitan buku
hanya bisa dilakukan
oleh komunitas-komunitas
sastra Jawa atau diterbitkan mandiri
oleh penulisnya
yang biasanya dengan dukungan
pihak-pihak yang dikenal baik.
Media-media inilah yang kini menjadi tulang punggung sastra Jawa. Wujud karya
sastra yang jamak muncul adalah cerita pendek, cerita bersambung, puisi dan esai.
Penerbitan buku karya sastra Jawa menjadi kegiatan marginal dalam ranah sastra Jawa.
Penerbitan buku hanya bisa dilakukan oleh komunitas-komunitas sastra Jawa atau
diterbitkan mandiri oleh penulisnya yang biasanya dengan dukungan pihak-pihak yang
dikenal baik.
Penerbit buku komersial sangat jarang yang mau menerbitkan buku karya sastra
Jawa. Salah satu data untuk mengetahui penerbitan buku sastra Jawa adalah penghargaan
Rancage untuk karya sastra Jawa yang diselenggarakan setiap tahun. Berdasarkan
penjelasan tim kurator Yayasan Rancage dapat diketahui berapa buku sastra Jawa yang
terbit dalam setahun, tentu saja itu adalah buku-buku yang layak disebut karya sastra.
Pada 2009-2012 ada buku karya sastra Jawa yang memenangi penghargaan
Rancage. Novel Trah karya Atas S Danusbroto terbitan Narasi Yogyakarta menerima
Rancage pada 2009. Buku ini terbit pada 2008. Dalam pemilihan karya sastra Jawa untuk
penghargaan Rancage, novel ini mengalahkah tiga buku sastra Jawa lainnya, yaitu
Lintang Biru, Antologi Geguritan Bengkel Sastra Jawa 2008, Dongane Maling karya
Yohanes Siyamta dan Singkar novel karya Siti Aminah. Dalam proses seleksi, hanya
Trah dan Singkar yang masuk dalam kategori penilaian hadiah sastra Rancage 2009.
Sementara pada penganugerahan Rancage 2012, karya sastra Jawa yang menang
adalah Ombak Wengi. Ombak Wengi adalah kumpulan 99 puisi berbahasa Jawa atau
guritan pilihan karya Yusuf Susilo Hartono pada periode 1981-2011. Buku itu berhasil
mengalahkan sembilan buku karya sastra Jawa unggulan lainnya.
13. Sembilan buku itu adalah kumpulan puisi Raja Gurit karya Yudi Joyokusumo,
Layang Saka Kekasih karya R Djoko Prakosa, Mutung Suwung, Aja Mutung Mundhak
Suwung karya RNg Suisdiyati Sarmo, Kidung saka Bandungan karya Rini Tri
Puspohardini, Bocah Cilik Diuber Srengenge karya Widodo Basuki; roman Ing Manila
Tresnaku Kelara-lara karya Fitri Gunawan, Dilabuhi Jajah Desa Milangkori karya
Rahmat Ali, dan Sisip ing Dalan Sidhatan karya Harwimuka; serta kumpulan cerita
pendek Puber Kedua karya Ary Nurdiana.
Pada 2009, buku bahasa Jawa yang terbit 12 judul. Buku-buku itu terdiri dari
kumpulan guritan yaitu Gurit Panuwuning Urip karya David Hariyono, Gurit Abang
Branang karya Rachmat Djoko Pradopo, Layang Panantang karya Sumono Sandy
Asmoro dan Wong Agung: Gurit Punjul Rong Puluh karya Budi Palopo; sebuah
kumpulan cerita pendek Tembangé Wong Kangen karya Sumono Sandy Asmoro dan
sejumlah roman Trétes Tintrim, Kunarpa Tan Bisa Kandha, Garuda Putih, Ser! Randha
Cocak karya Suparto Brata; Mis, Koncoku Sinarawedi karya Rahmat Ali dan Carang-
carang Garing karya Tiwiek SA. Layang Panantang karya Sumono Sandy Asmoro
memenangi Rancage 2010.
Berdasarkan penjelasan pihak yayasan Rancage yang dipublikasikan di banyak
website dan media massa, penerbitan kedua belas buku itu mengisyaratkan beberapa
fénoména penting. Pertama, ternyata yang menulis dalam bahasa Jawa tidak hanya
meréka yang tinggal di Jawa Tengah dan Timur saja, melainkan juga di Jakarta yaitu
Rahmat Ali. Dia adalah sastrawan yang tinggal di Jakarta dan biasa menulis dalam
bahasa Indonesia, selain Dyah Hadaning yang tinggal di Dépok.
Kedua, kebanyakan buku ternyata terbit di Yogyakarta, walaupun ada yang terbit
di berbagai kota lain (Semarang, Surabaya, Malang). Ketiga, buku yang terbit ternyata
kebanyakan karya pengarang Jawa Timur: Suparto Brata (Surabaya, empat judul), David
Hariyanto (Malang, satu judul), Sumono Sandy Asmoro (Ponorogo, dua judul). Keempat,
muncul karya dua orang pengarang yang telah dikenal menulis dalam bahasa Indonésia,
yaitu Rachmat Djoko Pradopo dan Rahmat Ali dalam bahasa Jawa untuk pertama kali.
Berdasar data yang dilansir Yayasan Rancage pada 209 ini, ada optimisme bahwa
sastra Jawa tak perlu ditakutkan akan punah karena pendukungnya berada di berbagai
daérah dan berbagai kalangan. Pengarang seperti Suparto Brata sangat produktif.
Pada 2010 buku sastra Jawa yang terbit ada 15 judul, yaitu lima kumpulan sajak:
Sanja karya Nono Warnono, Garising Pepesthén karya Bambang Nursinggih, Salam
Sapan saka Gunung Gamping karya Naryata, Geguriatn Alam Sawegung karya Sudi
Yatmana dan Bakal terus Gumebyar karya Sucihadi; tiga kumpulan cerita péndék: Pulo
Asu karya Hérwanto, Tunggak Jarak Mrajak kumpulan karya beberapa pengarang dan
Putri Tuwa kang Nyalawadi kumpulan terjemahan dari bahasa asing karya R Muchtar.
Dan tujuh roman: Babad Jipang Panolan saduran dari cerita rakyat Jawa oléh
JFX Hoery, Sadrajat Coro & Tikus karya Rahmat Ali, dan Cintrong Paju Papat, Nona
Sékertaris, Pawéstri Tanpa Idéntiti, Spookhuis (Gedhong Sétan) dan roman-biografi RM
TR Suryo gubernur Jawa Timur yang pertama, kelimanya karya Suparto Brata. Hadiah
Rancagé 2011 untuk sastra Jawa diterima oleh kumpulan cerita pendek Pulo Asu karya
Hérwanto terbitan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro, Jawa Timur.
Siapa saja sastrawan Jawa termutakhir bisa dilihat dalam buku Paseban yang
diterbitkan oleh Kongres Sastra Jawa III sekaligus menjadi buku resmi buah tangan
Kongres Bahasa Jawa V. Buku ini menurut Bonari Nabonenar yang dalam Kongres
14. Sastra Jawa III menjabat sebagai ketua panitia, cukup layak disebut sebagai jendela sastra
Jawa modern terkini.
Buku ini menghimpun puisi dan cerita pendek karya sastrawan Jawa dari Jawa
Tengah, DIY, Jawa Timur dan Jakarta. Seluruh penulis tak dibayar. Mereka berkarya dan
menyetorkan karya semata-mata demi menyukseskan Kongres Sastra Jawa III.
Pengumpulan karya dilakukan sejak kurang lebih dua bulan sebelum Kongres Sastra
Jawa III diselenggarakan di Desa Jono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro,
Jawa Timur.
“Untuk menyusun buku ini panitia mengundang 200-an sastrawan Jawa di Jawa
Tengah, DIY dan Jawa Timur. Sampai batas akhir pengiriman terhimpun 40 cerita
pendek dan 74 puisi. Karya-karya itu berasal dari 83 penulis,” jelas Bonari.
Berdasar biodata penulis yang tercantum di bagian akhir buku, terlihat jelas
bahwa sebagian besar penyumbang naskah cerita pendek dan puisis dalam buku Paseban
adalah sastrawan Jawa senior, mereka berusia 50 tahun ke atas. Hanya beberapa saja
penulis muda kelahiran tahun 1980-an atau 1990-an yang menyumbangkan tulisan. Buku
ini juga menjadi buah tangan resmi dalam Kongres Bahasa Jawa V di Surbaya.
“Regenerasi sastrawan Jawa memang sulit dilacak. Hanya di sanggar-sanggar saja
yang mudah dilacak. Dan persoalan yang lebih serius adalah tak ada leksikon sastrawan
dan karya sastra Jawa. Tak ada daftar nama-nama sastrawan Jawa yang masih aktif,
sudah tak aktif atau baru muncul,” kata Bonari.
Ironi
Kiprah Yayasan Rancage sendiri, menurut Tito S Budi, sebenarnya menjadi ironi
bagi dunia sastra Jawa. Ada anggapan di benak para sastrawan Jawa bahwa meraih
hadiah Rancage adalah prestasi puncak sastrawan Jawa, prestasi bergengsi bagi sastra
Jawa.
”Saya justru miris karena Yayasan Rancage itu pemiliknya orang Sunda, Ajip
Rosyidi. Jadi penghargaan untuk sastra Jawa justru diberikan oleh orang Sunda. Dari
kalangan masyarakat Jawa sampai saat ini tak ada penghargaan bergengsi untuk karya
sastra Jawa,” kata Tito.
Bonari Nabonenar, Sekretaris OPSJ, sepakat dengan keprihatinan Tito itu. Bonari
mengatakan pernah bertemu dengan sejumlah sastrawan pencinta sastra Jawa di Taman
Budaya Surakarta dan membahas wacana membangun dan menyediakan penghargaan
khusus untuk karya sastra Jawa bermutu. Mereka yang hadir berasal dari Solo, Semarang,
Jawa Timur dan Yogyakarta. Penghargaan itu direncanakan berasal dari masyarakat Jawa
sendiri. Tapi, hingga saat ini pembahasan tersebut belum menemukan rumusan teknis
yang jelas. Niat dan rencana itu pun sampai saat ini belum terwujud.
“Memang ironis. Penghargaan bergengsi untuk sastra Jawa justru diberikan oleh
orang Sunda,” kata Bonari. Ajip Rosyidi ketika hadir di Kongres Sastra Jawa III di
Bojonegoro mengatakan sastra Jawa tak boleh mati. Realitas kini bahwa sastra Jawa
termarginalkan harus menjadi penyemangat sastrawan dan pencinta sastra Jawa untuk
terus berkarya.
Yayasan Rancage yang dipimpinnya memang peduli pada pelestarian bahasa
daerah dengan perhatian utama pada karya sastra berbahasa daerah. Yayasan Rancage
memberikan penghargaan untuk karya sastra berbahasa daerah, antara lain untuk karya
sastra berbahasa Sunda, Lampung, Bali dan Jawa.
15. Yayasan Rancage juga memberikan penghargaan untuk orang-orang yang punya
prestasi nyata menghidupi dan menghidupkan sastra daerah. Sucipto dan Bonari adalah
dua pencinta dan sastrawan Jawa yang pernah mendapatkan hadiah Rancage.
Akibat ketiadaan acuan karya sastra Jawa bermutu tinggi, kata Sucipto, regenerasi
sastrawan Jawa boleh dikatakan tersendat-sendat. Penulis karya sastra Jawa memang tak
pernah habis. Setiap tahun selalu muncul beberapa penulis muda yang berkiprah di
penulisan berbahasa Jawa.
Namun, karya-karya mereka tak ada yang memenuhi kaidah kesastraan yang
diharapkan. Acuan mereka selama ini hanya cerita pendek, cerita bersambung, puisi dan
esai yang terbit di media-media berbahasa Jawa yang jumlahnya tak seberapa itu.
Selama ini karya-karya
sastra Jawa yang terbit
dalam bentuk buku
atau terbit di media-media
berbahasa Jawa
tak pernah dikritik.
Padahal, menurut Dhanu,
kritik sastra adalah
salah satu penyangga
kualitas karya sastra.
“Acuan lainnya biasanya adalah karya-karta sastrawan Jawa yang lebih senior
yang terdokumentasi di komunitas atau sanggar-sanggar sastra Jawa,” jelas Sucipto.
Ketiadaan karya sastra Jawa berkualitas tinggi, menurut Dhanu Priyo Prabowo, peneliti
bahasa dan sastra di Balai Bahasa Yogyakarta akibat tak adanya kritikus sastra Jawa yang
mumpuni.
Selama ini karya-karya sastra Jawa yang terbit dalam bentuk buku atau terbit di
media-media berbahasa Jawa tak pernah dikritik. Padahal, menurut Dhanu, kritik sastra
adalah salah satu penyangga kualitas karya sastra.
Sastra koran, sastra majalah dan penerbitan swadaya atau atas dukungan pihak
tertentu menjadi tulang punggung sastra Jawa era kini. Sastra Jawa terjebak dalam
eskapisme, yaitu kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan
mencari hiburan dan ketenteraman di dalam khayalan atau situasi rekaan.
16. Realitas sastra Jawa yang termarginalkan diantisipasi dengan optimisme tiada
putus dari komunitas-komunitas sastrawan dan pencinta sastra Jawa---yang minoritas di
kalangan masyarakat Jawa---dengan menghasilkan karya walau tak diapresiasi secara
baik oleh masyarakat Jawa sendiri. Eskapisme sastra Jawa tak lelah melawan arus deras
globalisasi yang memarginalkan kearifan lokal, termasuk kejawaan.
Seorang sastrawan Jawa asal Klaten, Jawa Tengah, Sriyana, beberapa waktu lalu
mengatakan secara faktual berkecimpung di jagat sastra Jawa memang butuh stamina
tinggi, semangat berkorban dan rasa cinta.
Sriyana yang produktif menulis puisi, esai dan cerita pendek berbahasa Jawa ini
mengatakan sastra Jawa tak bisa menghidupi sastrawan Jawa. Dia memberikan gambaran
honor karya sastra Jawa yang dimuat di media-media berbahasa Jawa sangat jauh lebih
sedikit dibandingkan honor untuk karya sastra Indonesia.
Rata-rata honor tulisan karya sastra Jawa hanya Rp25.000-Rp75.000. Honor yang
diberikan Jagad Jawa SOLOPOS menurut Sriyana tergolong lumayan dibandingkan
media berbahasa Jawa lainnya. Karya tulis esai kebudayaan Jawa yang dimuat di Jagad
Jawa SOLOPOS diberi honor Rp150.000 sedangkan karya sastra Jawa lainnya seperti
cerita pendek dan geguritan diberi honor Rp100.000. Ini memang sangat njomplang
dibandingkan karya sastra Indonesia.
“Tapi, saya memilih berkecimpung dalam dunia sastra Jawa memang bukan untuk
mencari penghidupan. Saya justru ingin menghidupi sastra Jawa,” kata Sriyana. Kini,
Sriyana masih aktif berkarya di dunia sastra Jawa. Karya-karyanya sering muncul di
Jagad Jawa SOLOPOS, Djaka Lodhang, Panjebat Semangat dan Jaya Baya.
Kecintaan Sriyana pada sastra Jawa diawali dengan mengikuti kegiatan di
Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). Dia pada awal 1990-an juga intensif berguru
kepada sastrawan Jawa senior yang sebagian kini sudah meninggal dunia. Bagi Sriyana,
sastra Jawa memang tak menghidupi dari sisi ekonomi, tapi menghidupinya dari sisi
spiritual. Sriyana mendapatkan kepuasan batin ketika berhasil mencipa cerita pendek,
puisi atau esai berbahasa Jawa dan kemudian dibaca orang banyak ketika karyanya itu
terbit di media massa.
Semangat yang kurang lebih sama ditunjukkan Abednego Afriyadi. Dia tertarik
dengan sastra Jawa sekitar lima tahun lalu setelah beberapa kali menyaksikan pentas
Teater Gapit Solo yang dulu intensif mementaskan lakon teater dalam bahasa Jawa.
Abedego merasa menemukan sensasi dan daya ungkap yang luar biasa dari bahasa Jawa.
“Dari mendengarkan dialog-dialog dalam pentas Teater Gapit, saya kemudian
berusaha mempelajari pengungkapan ide dan perasaan dengan bahasa Jawa. Saya
kemudian mencoba menulis cerita pendek,” kata Abedego. Bagi Abednego, menulis
karya sastra Jawa, terutama cerita pendek, lebih pada aktualisasi diri, ekpresi gejolak jiwa
dan wahana untuk berkomunitas.
Gotong Royong
Dalam konteks inilah, Ketua Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), JFX
Hoery, optimistis mengatakan bahasa dan Satra Jawa sebenarnya bukan mundur apalagi
dikatakan mati, tetapi mengikuti atau menyelaraskan dengan perkembangan zaman.
Ketika bahasa Jawa kuna mengikuti perkembangan zaman memasuki era Jawa Baru, para
pendukung bahasa /sastra Jawa kuno juga merasa kehilangan.
17. Demikian juga ketika bahasa/sastra Jawa Tengahan masuk era bahasa /sastra Jawa
Baru, dan selanjutnya dari bahasa Jawa Baru masuk ke bahasa Jawa Modern, atau
Gagrak Anyar. Para pendukung, penggiat eranya, merasa kehilangan.
“Era globalisasi tentu mempengaruhi perkembangan bahasa /sastra Jawa, bukan
itu saja tetapi mempengaruhi segala aspaek kehidupan. Tentu salah satu contohnya,
bahasa/sastra Jawa terpinggirkan dari komunitasnya, akar rumputnya,” kata Hoery.
Hoery mengatakan eksistensi sastra Jawa di Jawa Timur terglong baik. Ini terlihat
dari dari tiga wilayah provinsi sebagai basis bahasa Jawa, Jawa Timir mempunyai dua
majalah berbahasa Jawa yang bertahan lebih dari 75 tahun. Dari segi kepengarangan,
wilayah Jawa Timur, menurutnya, memiliki pengarang paling banyak demikian juga
peraihan hadiah Rancage yang selama ini dianggap penghagaan sastra Jawa bergengsi,
Jawa timur mampu yang paling banyak menerima penghargaan, belum lagi sanggar-
sanggar sastra Jawanya.
“Kegiatan PSJB bukan hanya di bidang sastra Jawa. PSJB punya visi terwujudnya
masyarakat Jawa yang sadar, cinta, peduli dan berdaya dalam melestarikan dan
menumbuhkembangkan bahasa, sastra dan budaya Jawa,” jelas Hoery. Anggotanya
terdiri dari peminat, pemerhati, pencinta, pegiat dan pelaku bahasa, sastra dan budaya
Jawa.
Menurut Hoery, regenerasi terus diupayakan. Pada 2010, PSJB mengadakan
lomba menulis cerita pendek untuk siswa SMP-SMA, lomba drama bahasa Jawa untuk
anak SD. Pada 2011 menghimpun mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa
Universitas Negeri Surabaya (Unesa) asal Bojonegoro sebanyak 14 orang. Pada 2012 ini
PSJB merencanakan menerbitkan karya dalam bentuk antologi cerita pendek dan puisi.
“Mereka yang aktif dalam kegiatan di PSJB kami motivasi untuk terus berkarya
dengan mengirim tulisan ke majalah atau koran yang punya ruang berbahasa Jawa,
menulis di situs di internet dan belajat berteater,” jelas Hoery.
PSJB juga intensif bekerja sama dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP) Bahasa Jawa, mengadakan penataran atau sarasehan untuk guru-guru Bahasa
Jawa serta turut melestarikan seni tradisional yang berbasis bahasa dan budaya Jawa.
Tentang sastra itu buku, Hoery menyatakan sependapat. Karya sastra para
pujangga semuanya berbentuk buku. Jadi Hoery mendukung penuh pendapat bahwa
sastra Jawa harus berbentuk buku. Jadi, sastrawan Jawa harus menghasilkan buku, bukan
sekadar karya yang dipublikasikan di majalah atau koran berbahasa Jawa.
“Menurut pengamatan saya, para sastrawan Jawa memang tidak mengejar materi.
Sangat jelas bahwa dengan ukuran hidup sekarang, hasil (honor) karya sastra Jawa tidak
ada artinya,” kata Hoery. Tetapi, para sastrawan Jawa tetap bertahan karena rasa cinta
terhadap warisan leluhur.
”Bagi saya, menulis sastra Jawa hanya demi menghidupkan bahasa dan sastra
Jawa,” kata Hoery. Ihwal bertahannya sastra Jawa di tengah realitas marginalisasi yang
sangat kentara, menurut Hoery, karena masih ada majalah atau koran berbahasa Jawa dan
peminat/pembacanya juga masih ada kendati hanya minoritas dibandingkan populasi
penutur bahasa Jawa yang menurut data UNICEF mencapai 75 juta orang.
Dalam setahun terakhir sembilan sastrawan atau penulis yang biasa aktif dalam
kegiatan di PSJB menerbitkan beberapa buku dalam bentuk antologi cerita pendek
bersama, maupun antologi tunggal. Pada 2012 ini, PSJB berencana menerbitkan empat
18. buku dalam bentuk antologi cerita pendek tunggal, antologi bersama dan cerita anak-anak
dalam bahasa Jawa.
”Untuk menerbitkan buku antologi bersama kami bergotong royong, untuk
penerbitan tunggal sepenuhnya dibiayai penulis dibantu PSJB,” tutur Hoery. Kondisi
yang sama juga terjadi di Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) dan Sanggar Triwidha.
Para sastrawan dan pencinta sastra Jawa di komunitas-komunitas ini selalu bergotong
royong untuk menerbitkan buku yang rata-rata berwujud antologi puisi (tunggal atau
bersama) dan antologi cerita pendek (tunggal atau bersama).
Dhanu Priyo Prabowo yang pernah menjabat sebagai Sekretaris SSJY dan kini
masih aktif sebagai peneliti bahasa dan sastra di Balai Bahasa Yogyakarta mengatakan
eksistensi sastra Jawa di Yogyakarta masih terjada, walau dalam kondisi termarginalkan.
Masih terjaga karena regenerasi berjalan walau tak massal dan sastrawan-sastrawan Jawa
di Yogyakarta masih konsisten berkarya.
“Yogyakarta adalah pusat kebudayaan Jawa selain Solo sehingga sastra Jawa
masih mendapat tempat yang cukup baik secara formal maupun nonformal,” jelas Dhanu.
Tempat sastra Jawa secara formal adalah di lingkungan pemerintahan melalui otoritas
dinas dan lembaga-lembaga terkait. Sedangkan tempat sastra Jawa secara nonformal
adalah di sanggar, komunitas pencinta, dan kelompok-kelompok di masyarakat.
“SSJY punya majalah internal, Pagagan. Saya termasuk perintisnya pada
1991/1994. Sampai kini masih terbit. Inilah salah satu majalah untuk menerbitkan karya
sastrawan-sastrawan Jawa di Yogyakarta,” kata Dhanu.
Pada era 1991/1994 ketika Dhanu menjabat sebagai Sekretaris SSJY, sanggar ini
diberdayakan sebagai wadah berkumpulnya sastrawan dan pencinta sastra Jawa yang
terpisah setelah sekian tahun tak terwadahi secara “formal”. “Zaman saya menjadi
sekretaris, SSJY itu tempat ngumpulke balung pisah,” kata Dhanu.
Membangun relasi
dengan banyak pihak
supaya tumbuh
pendapat
yang lebih positif
terhadap sastra Jawa.
Kegiatan SSJY hingga saat ini difokuskan pada diskusi, workshop dan
membangun relasi dengan banyak pihak supaya tumbuh pendapat yang lebih positif
terhadap sastra Jawa. Hasilnya, SSJY menerbitkan majalah Pagagan sebagai wadah
regenerasi penulis-penulis baru. Anggota sanggar biasanya bertemu setiap dua bulan
sekali.
19. Dalam setiap pertemuan, untuk memperoleh makalah dan majalah, biasanya
peserta dengan suka rela memberikan uang pengganti biaya cetak. Saat ini SSJY
mendapatkan dukungan dana kegiatan dari Balai Bahasa Yogyakarta. Saat ini, kegiatan
sastra Jawa di SSJY tidak jauh berbeda. Majalah Pagagan konsisten terbit dan lebih
menekankan pada pembaca dan penulis muda. Dulu, Pagagan tidak membedakan
segmen penulis dan pembaca muda atau tua.
Jagat Maya
”Perlawanan” sastra Jawa modern terhadap realitas yang memarginalkannya juga
ditempuh melalui dunia maya. Kini, di jagat maya cukup banyak website tentang sastra
Jawa, termasuk beberapa grup di Facebook yang khusus menghimpun sastrawan dan
pencinta sastra Jawa.
Sudharto HS, pemilik dan pengelola situs kidemang.com dan lebih dikenal dengan
nama Ki Demang Sokowaten, mengatakan kini memang mulai muncul “arus balik” anak
kandung globalisasi yaitu teknologi informasi dan komunikasi yang bermanfaat bagi
dunia sastra Jawa.
Yang dimaksud arus balik adalah keterbukaan sebagian sastrawan dan pencinta
sastra Jawa untuk memanfaatkan internet sebagai wahana aktualisasi diri dan komunitas.
Situs yang dikelolanya, kata Sudharto, kini rutin dikunjungi minimal 10.000 orang setiap
hari. Situs kidemang.com adalah situs tentang kebudayaan Jawa. Di dalamnya juga
mencakup bahasa, sastra dan aksara Jawa.
Secara khusus Sudharto membangun link untuk kanal yang berisi karya-karya
sastra Jawa mutakhir, terutama cerita pendek, esai dan puisi berbahasa Jawa. Kendati
sudah cukup dikenal, dengan pengakses rata-rata 10.000 orang per hari, Sudharto
kesulitan memberdayakan kidemang.com ke ranah komersial.
”Saya beberapa kali menawarkan situs saya ke mereka yang saya nilai layak dan
mampu memasang iklan. Ternyata mereka semua khawatir jika beriklan di website
tentang budaya, bahasa dan sastra Jawa citra produk mereka akan turun,” kata Sudharto.
Sudharto menangkap kejawaan selalu diasosiasikan dengan marginal, pinggiran, tak
selaras zaman. Itu, menurutnya, memang buah interaksi antarkebudayaan yang
berlangsung intensif dan kemudian ada yang “unggul” dan ada yang “terpinggirkan”.
Kebudayaan Jawa yang di dalamnya mencakup bahasa dan sastra Jawa kini dalam
kondisi terpinggirkan itu.
”Karena tak laku saya ’jual’, situs itu saya dedikasikan penuh untuk kepentingan
melestarikan dan memberdayakan kebudayaan Jawa, termasuk bahasa dan sastra,” kata
Sudharto. Dan beberapa tahun terakhir, Sudharto mendapatkan ucapan terima kasih dari
sebagian pengunjung situsnya. Mereka menyatakan mendapat bahan mengajar, bahan
berdiskusi, atau bahan menggali tentang budaya, bahasa dan sastra Jawa dari
kidemang.com.
Di Facebook, grup Sastra Jawa Gagrag Anyar adalah grup yang tergolong aktif
menjadi wahana diskusi para sastrawan dan pencinta sastra Jawa. Grup ini beranggota
1.965 orang. Kalangan sastrawan Jawa senior cukup banyak yang aktif dalam diskusi di
grup ini. Mereka juga aktif memutakhirkan status.
JFX Hoery, Bonari Nabonenar, Yusuf Susilo Hartono, Dyah Hadaning, Sumono
Sandi Asmoro, Daniel Tito, Sucipto Hadi Purnomo, Suparto Brata adalah sebagian
sastrawan Jawa senior yang sering muncul dalam diskusi di grup ini. Anggota grup ini
20. mayoritas memang bukan sastrawan Jawa yang aktif berkarya. Hanya sebagian kecil saja
yang merupakan sastrawan Jawa yang aktif berkarya.
Sebagian besar mereka adalah orang-orang yang punya rasa cinta terhadap bahasa
dan sastra Jawa. Grup ini tak melulu bicara tentang bahasa dan sastra Jawa. Beberapa kali
muncul diskusi sengit tentang tema tertentu yang terkait dengan bahasa dan sastra Jawa.
Namun, kadang-kadang hanya muncul pemutakhiran status berupa baris-baris puisi
berbahasa Jawa atau sekadar bertegur sapa sesama anggota grup.
Menurut Bonari, selaku salah satu pemrakarsa grup ini, lalu lintas diskusi di grup
ini diharapkan memunculkan semangat baru untuk memperkaya khazanah sastra Jawa
modern. Selain itu juga untuk menghimpun ide-ide baru demi pelestarian, pengembangan
dan pemberdayaan sastra Jawa modern. “Dan yang paling utama adalah sebagai wahana
komunikasi sesama pencinta bahasa dan sastra Jawa,” kata Bonari.
Suprawoto, anggota staf ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, ketika
berbicara dalam Kongres Sastra Jawa III dan Kongres Bahasa Jawa V mengatakan
perkembangan media online bisa dimanfaatkan sebagai terobosan untuk mengembangkan
sastra Jawa (dengan sarana bahasa Jawa). Teknologi informasi dan komunikasi sangat
mungkin dikembangkan untuk menggugah potensi masyarakat lokal.
Muncul dan berkembangnya komunitas bahasa dan sastra Jawa onlime
membuktikan bahwa masyarakat lokal Jawa mulai menggunakan media ini. Sebagian
besar pengguna internet, menurut Suprawoto, adalah remaja berumur 15-19 tahun dan
rata-rata adalah pengguna pasif (lurking).
Sebenarnya media online bisa digunakan untuk menunjukkan status social orang
Jawa yang selalu mengaku memiliki kebudayaan yang adiluhung. Tetapi, kenyataannya,
bahasa Jawa yang digunakan di media online sebagian besar adalah bahasa Jawa non
baku yang tak berdasarkan aturan tata tulis dan tata bahasa serta unggah-ungguh bahasa.
Ini terjadi karena banyak website, blog, portal, situs dan grup di Facebook yang tidak
dikelola oleh orang Jawa yang memang benar-bener paham tentang bahasa dan sastra
Jawa.
Kemunculan bahasa dan sastra Jawa online harus diatasi secara aktif oleh para
sastrawan Jawa dan pakar bahasa Jawa. Realitas yang “menggembirkan” berupa
munculnya bahasa dan sastra Jawa di jagat maya jangan sampai berkembang ke arah
yang keliru. Para sastrawan Jawa dan pakar bahasa Jawa harus aktif membuat dan
menghidupkan portal, situs, website, blog dan grup-grup di jagat maya yang
menggunakan bahasa dan berkonten sastra Jawa.
Sebagai langkah nyata yang bersifat strategis dan terukur, Organisasi Pengarang
Sastra Jawa (OPSJ) dalam pertemuan di Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah
(TBJT) Solo, Sabtu (25 Februari 2012) malam lalu menetapkan keputusan. Pertama,
sebagai tindak lanjut Kongres Sastra Jawa III di Bojonegoro dan Kongres Bahasa Jawa
V di Surabaya OPSJ akan menerbitkan buku-buku sastra Jawa. Penerbitan buku ini dalam
kerangka semangat bekerja dan berkarya.
Kedua, karya sastra Jawa yang akan diterbitkan dalam bentuk buku meliputu
seluruh genre sastra Jawa modern yang meliputi cerita pendek, cerita bersambung, novel,
novellete, puisi dan esai.
Ketiga, penerbitan buku-buku karya sastra Jawa itu memperhatikan semangat
regenerasi. Sastrawan muda menjadi prioritas. Sastrawan Jawa senior yang kesulitan
21. menerbitkan karya-karya mereka dalam bentuk buku juga akan diperhatikan oleh OPSJ
cecara khusus.
Keempat, penerbitan buku-buku karya sastra Jawa diikuti denga publikasi dan
promosi melalui media massa cetak, media sosial, komunitas sanggar-sanggar sastra
Jawa, komunitas Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa, komunitas
mahasiswa dan dosen jurusan Sastra Jawa dan komunitas-komunitas lain yang
memungkinkan.
Kelima, setiap buku karya sastra Jawa yang diterbitkan akan dibedah sekaligus
dijual di komunitas-komunitas tersebut. Keenam, seleksi karya sastra Jawa yang akan
diterbitkan dan proses penerbitannya akan dilaksanakan oleh tim khusus atau sebuah
badan pekerja yang bekerja di bawah arahan OPSJ.
“Saat ini OPSJ memiliki dana yang cukup untuk menerbitkan beberapa buku
karya sastra Jawa. Kami berharap pemanfaatkan komunitas memungkinkan modal awal
ini bisa berputar untuk penerbitan buku-buku selanjutnya, dan akan sangat
menggembirkan jika bisa memberikan keuntungan bagi penulisnya,” kata Ketua OPSJ,
Sucipto Hadi Purnomo.
Dan terkait dengan perkembangan bahasa dan sastra Jawa di jagat maya, OPSJ
berencana membangun website tentang sastra Jawa yang nantinya akan berhubungan
dengan seluruh portal, situs, blog dan grup-grup di Facebook yang membahasa bahasa
dan sastra Jawa. Pembuatan website ini direncanakan terealisasi pada April 2012.
III
Dalam salah satu diskusi dalam rangkaian Kongres Sastra Jawa III, di Desa Jono,
Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Tito S Budi yang lebih
dikenal dengan nama penda Daniel Tito meradang. Saat itu dia menjadi pembicara dalam
diskusi dengan tema tentang pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah. Dia
meradang karena ada seorang guru yang bertanya menggunakan bahasa Indonesia.
Tito menyatakan takkan menanggapi pertanyaan guru itu jika pertanyaannya dia
kemukakan dengan bahasa Indonesia. Akhirnya, dengan bersusah payah disertai
tertawaan dari sebagian besar peserta diskusi, guru itu mengemukakan pertanyaannya
dalam bahasa Jawa.
”Bagaimana mau menanamkan kecintaan kepada bahasa dan sastra Jawa kalau
gurunya saja tak mau berbahasa Jawa dalam acara yang membahas tentang sastra Jawa?”
tanya Tito dalam bahasa Jawa ngoko.
Peristiwa yang nyaris sama terjadi dalam Kongres Bahasa Jawa V di Hotel JW
Marriot Surabaya. Pada acara diskusi dengan nara sumber pemakalah utama, ada seorang
pemakalah dari Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang
memaparkan makalahnya dalam bahasa Indonesia.
Ratusan peserta diskusi memprotes pemakalah itu tapi dia bersikukuh tetap
menggunakan bahasa Indonesia dengan alasan ada regulasi berupa undang-undang yang
mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam forum-forum resmi. Menurutnya,
Kongres Bahasa Jawa V adalah forum resmi. Ratusan peserta beberapa kali
mengemukakan protes saat dia menyampaikan makalah.
22. George Quinn, peneliti bahasa dan sastra Jawa dari Australia yang juga menjadi
salah satu pemakalah utama, menyatakan tidak seharusnya forum yang membahas
tentang bahasa Jawa, bahasa penyampaiannya menggunakan bahasa selain bahasa Jawa.
Dalam kesempatan itu, Quinn menulis makalah dalam bahasa Jawa ngoko dan
menyampaikannya pula dalam bahasa Jawa ngoko.
Delegasi dari Suriname secara tegas mengkritik penggunaan bahasa Jawa sebagai
bahasa pengantar dan panyampaian makalah dalam Kongres Bahasa Jawa V itu. Setelah
mendengar kritik yang mengemuka, panitia kongres kemudian memutuskan semua
pemateri dalam forum diskusi utama maupun diskusi komisi-komisi wajib menggunakan
bahasa Jawa dalam menyampaikan makalah mereka.
Realitas memang menunjukkan para pemegang kebijakan kini sudah tidak peduli
terhadap perkembangan bahasa ibu. Bahkan terhadap bahasa nasional pun kurang
perhatiannya. Terhadap bahasa, sastra dan budaya, demikian juga. Orientasi para
pemegang kebijakan adalah pemasukan /pendapatan daerah, sementara kegiatan bahasa,
sastra dan budaya dianggap tidak menghasilkan peningkatan pendapatan daerah. Ketika
kebudayaan lokal sebagai tersingkir, termarginalkan, bahasa dan sastra Jawa pun dalam
kondisi demikian.
Sekolah dan perguruan tinggi sebagai wahana mengader pencinta bahasa dan
sastra Jawa baru belum bisa berperan maksimal. Di wilayah Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur sudah ada kesekapatan memasukkan pendidikan
bahasa dan sastra Jawa sebagai kurikulum muatan lokal di sekolah.
Realitas menunjukkan pendidikan bahasa dan sastra Jawa di sekolah belum
mampu meningkatkan pemahaman generasi muda terhadap bahasa dan sastra Jawa,
belum mampu menggugah kecintaan generasi muda terhadap bahasa dan sastra Jawa dan
belum mampu mengembangkan serta memberdayakan bahasa dan sastra Jawa.
Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa di perguruan tinggi negeri di tiga wilaya ini, yaitu
Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan
Universitas Negeri Semarang (Unnes) juga belum mampu meregenerasi sastrawan Jawa
dan pembaca serta pencinta sastra Jawa. Jamak terjadi mahasiswa Jurusan Bahasa dan
Sastra Jawa tetapi tidak bisa menulis teks berbahasa Jawa dengan baik.
Salah seorang dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Sastra dan Seni
Rupa (FSSR) UNS, Imam Sutarjo, mengatakan minat mahasiswa Jurusan Bahasa dan
Sastra Jawa untuk membaca dan menulis karya sastra Jawa memang sangat rendah. “Ini
bisa dimaklumi karena mahasiswa yang masuk ke jurusan ini biasanya karena tidak
diterima di jurusan lain dan hanya butuh sekadar kuliah,” kata Imam.
Untuk membangkitkan minat menulis dan membaca karya sastra Jawa, Imam
memotivasi para mahasiswanya agar belajar menulis dalam teks berbahasa Jawa dan
kemudian dikirimkan ke media massa berbahasa Jawa. Barang siapa yang tulisannya
dimuat, Imam menjanjikan nilai A untuk mata kuliah tentang penulisan.
Sucipto Hadi Purnomo yang menjabat sebagai Ketua OPSJ dan sehari-hari adalah
dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Unnes mengatakan
regenerasi sastrawan Jawa dari perguruan tinggi memang sangat kurang. Sucipto yang
menjabat sebagai Kepala Bagian Humas Unnes mengatakan untuk mengatasi hal itu
Unnes pada tahun akademik 2012/2013 membuat kebijakan batu dengan menggratiskan
biaya kuliah bagi 30 orang mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa. Sebanyak 25
paket beasiswa plus biaya hidup disediakan bagi 25 calon mahasiswa Jurusan Pendidikan
23. Bahasa Jawa dan lima paket beasiswa plus biaya hidup bagi lima calon mahasiswa
Jurusan Sastra Jawa.
MA Sudi Yatmana yang mendapatkan gelar Doktor Bahasa Jawa dari The
London Institute for Applied Research Inggris (1992) dan pernah menjadi dewan pakar
majalah berbahasa Jawa Pustaka Candra yang diterbitkan Proyek Pengembangan Bahasa
dan sastra Daerah Jawa Tengah pada era 1980-an sampai 1990-an mengatakan, kini
pendidikan bahasa dan sastra Jawa di sekolah memang belum berpihak pada kepentingan
pengembangan, pelestarian dan pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa. Hingga Kongres
Bahasa Jawa V selalu menghasilkan rekomendasi tentang perlunya pengembangan
pendidikan bahasa dan sastra Jawa di SD dan sekolah menengah, tetapi realitasnya
memang belum menggemberikan.
Pada tahun 1970, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah memberlakukan
ketentuan tentang pendidikan bahasa Jawa. Kebijakan ini sesuai dengan Kurikulim 1968.
Sebagai implementasi Kurikulim 1975, Pemprov Jawa Tengah membuat Garis-Garis
Besar Program Pengajaran (GBPP) Pelajaran Bahasa Jawa dan evaluasinya.
Untuk melaksanakan Kurikulum 1984 (yang biasa disebut Kurikulum 1975 yang
disempurnakan) Pemprov Jawa Tengah membuat GBPP Pelajaran Bahasa Jawa. GBPP
ini disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa
Tengah dengan melibatkan ahli dan pakar bahasa dan sastra Jawa.
Ketika diberlakukan Kurikukulum 1994, Pemprov Jawa Tengah membuat GBPP
Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa Jawa yang polanya mirip dengan Bahasa Indonesia.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 untuk Pelajaran Bahasa Jawa disusun dan
didukung oleh Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 895.5/01/2005 bertanggal 23
Februari 2005. KBK ini mencakup SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dilengkapi standar isi (SI)
dan standar kompetensi lulusan (SKL) Pelajaran Bahasa Jawa (November 2008). KTSP
ini didukung Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 423.5/5/2010 bertanggal 27 Januari
2010.
“Dari sisi kebijakan, jelas Pemprov Jawa Tengah sejak 1970 konsisten berusaha
mengembangkan pendidikan bahasa dan sastra Jawa di sekolah. Setahu saya di Provinsi
DIY dan Jawa Timur juga ada langkah serupa,” kata Sudi Yatmana dalam Kongres
Bahasa Jawa V di Surabaya.
Ketua Dewan Bahasa Jawa Provinsi Jawa Tengah, Ki Sutadi, mengatakan
Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya merekomendasikan pembentukan Dewan Bahasa
Jawa di tingkat Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta dan
seluruh kabupaten/kota di tiga provinsi itu.
Dewan Bahasa Jawa harus dibentuk oleh gubernur dan/atau bupati/wali kota.
Rekomendasi pembentukan Dewan Bahasa Jawa ini sebagai langkah mendorong
penyusunan dan pemberlakukan peraturan daerah (perda) tentang kebudayaan Jawa yang
di dalamnya mencakup tentang bahasa dan sastra Jawa.
“Jawa Tengah selangkah lebih maju karena Dewan Bahasa Jawa sudah dibentuk
pada 2010 lalu. Jadi ketika Kongres Bahasa Jawa V merekomendasikan pembentukan
Dewan Bahasa Jawa, di Jawa Tengah sudah ada dan sudah berkegiatan,” kata Sutadi.
Sejak pertengahan 2011, Dewan Bahasa Jawa Provinsi Jawa Tengah bekerja sama
dengan sejumlah pemangku kepentingan telah berdialog dengan Komisi E (bidang
kesejahteraan rakyat) DPRD Provinsi Jawa Tengah. Dalam dialog itu muncul
24. kesepakatan untuk bersama-sama menyusun rancangan peraturan daerah (raperda)
tentang kebudayaan Jawa yang di dalamnya mencakup pengaturan tentang upaya
melestarikan dan memberdayakan bahasa dan sastra Jawa.
Anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah, Sri Maryuni, mengatakan sangat
mendukung inisiatif menyusun raperda tentang kebudayaan Jawa itu. Raperda ini nanti
menjadi paying hukum untuk membangun suasana, mekanisme, dan sistem yang
memungkinkan penciptaan iklim yang sangat kondusif untuk melestarikan serta
mengembangkan bahasa dan sastra Jawa.
“Tentu saja raperda ini disusun tidak bertentangan dengan UU tentang bahasa
nasional. UU tentang bahasa nasional itu mengatur bahwa setiap pertemuan resmi harus
menggunakan bahasa Indonesia tetapi dalam UUD 1945 jelas diatur bahwa pemerintah
daerah wajib melestarikan dan memberdayakan kearifan lokal. Bahasa dan sastra Jawa
adalah salah satu kearifan lokal itu,” kata Sri Maryuni.
Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah yang juga dosen di Fakultas Hukum Universitas
Semarang (USM), Bambang Sadono, mengatakan untuk memfasilitasi agar kekayaan
budaya Jawa, khususnya melalui bahasa dan sastra, bisa menjadi sumber referensi
kehidupan bernegara, butuh payung hukum dan pengakuan secara nasional dalam bentuk
undang-undang.
Dalam program
legislasi daerah (Prolegda) 2012,
DPRD Jawa Tengah
mencantumkan rencana
membahas Raperda Pelestarian,
Pembinaan, Pengkajian,
dan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Jawa.
Tiap daerah pemangku kebudayaan Jawa dan pemakai bahasa Jawa baik provinsi
maupun kabupaten/kota harus meneguhkannya dalam bentuk peraturan daerah (perda)
sebagai komitmen riil. Bambang Sadono yang menjadi salah satu pembicara dalam
Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya mengatakan upaya perlindungan dan pelestarian
bahasa dan sastra Jawa harus dilakukan melalui perda di provinsi atau kabupaten/kota
yang potensial sebagai pengguna bahasa Jawa.
Dalam program legislasi daerah (Prolegda) 2012, DPRD Jawa Tengah
mencantumkan rencana membahas Raperda Pelestarian, Pembinaan, Pengkajian, dan
Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa. Sebagai referensi, Bali mempunyai Perda No
25. 3/1992 yang berjudul Bahasa, Aksara dan Sastra Bali. Jawa Barat punya Perda No 6/1996
tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda
yang kemudian direvisi dengan Perda No 5/2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra,
dan Aksara Daerah.
Menurut pencinta sastra Jawa yang juga dosen pedalangan di Institut Seni
Indonesia (ISI) Solo, Bambang Murtiyoso, secara normatif di Jawa Tengah, Jawa Timur
dan Daerah Istimewa Yogyakarta berlaku kurikulum muatan lokal tentang pendidikan
bahasa dan sastra Jawa. Ternyata kurikulum itu belum mampu membangkitkan bahasa
dan sastra Jawa. Terbukti, anaka-anak dan generasi muda Jawa saat ini mayoritas tak
mengenal bahasa dan sastra Jawa.
“Di Jawa Tengah kurikulum pendidikan bahasa dan sastra Jawa itu diberlakukan
sejak 1970. Pada era 1970-an dan 1980-an pendidikan bahasa dan sastra Jawa memang
cukup bagus. Tetapi, memasuki era 1990-an ada kemunduran yang sangat signifikan.
Sekarang, inilah yang harus diantisipasi,” kata Bambang.
Salah satu persoalan pokoknya adalah kualitas guru bahasa dan sastra Jawa.
Menurut Bambang, mayoritas guru bahasa dan sastra Jawa era kini adalah guru-guru
yang tak paham kejawaan. Pelajaran bahasa dan sastra Jawa hanya betumpu pada
persoalan tata kalimat, dan meninggalkan hal ihwal kejawaan itu sendiri. Akibatnya, guru
jarang sekali menjadi motivator siswa untuk membaca dan mencintai karya sastra Jawa.
***
Ichwan Prasetyo
Jurnalis SOLOPOS-Grup Bisnis Indonesia
Anggota/pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Solo
Tulisan ini disusun sebagai hasil reportase tentang dampak globalisasi, reportase
dibiayai AJI Indonesia