1. 10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. WORK VALUE
1. Pengertian Work Value
Work value menurut Hofstede (dalam Matsumoto & Juang, 2000)merupakan
orientasi individual dan sikap terhadap pekerjaannya sendiri, terhadap hubungan
personalnya dengan anggota perusahaan dan loyalitas kepada perusahaan maupun
organisasi.
Menurut Wollack (1981) work value menggambarkan sikap individu terhadap
pekerjaannya secara umum, bukan pada posisi ataupun spesifikasi dari
pekerjaannnya di perusahaan. Sementara Cherrington (1980) mengungkapkan
bahwa work value merupakan suatu refleksi sikap seseorang terhadap aspek-aspek
pekerjaannya seperti aktivitas ataupun keterlibatan dalam perusahaan, dan jenjang
karir yang lebih tinggi. Work value penting karena mempengaruhi perilaku
organisasional, performa kerja, produktivitas dan komitmen organisasi.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, work value dapat diartikan sebagai
sikap individu terhadap apa yang ia kerjakan, loyalitas terhadap perusahaan,
hubungan dengan anggota-anggota dalam perusahaan, keterlibatan dalam
perusahaan, serta jenjang karir dalam perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
2. 11
2. Dimensi Work Value
Adapun dimensi work value menurut Hofstede tahun 1984 (dalam Matsumoto &
Juang, 2000) yaitu:
a. Jarak kekuasaan
Jarak kekuasaan adalah adanya ketidaksamaan wewenang dan kekuasaan
antara atasan dengan bawahan atau batasan-batasan kewenangan antara atasan
dengan bawahan dalam suatu organisasi (Berry, 1999). Pada dasarnya manusia
memiliki perbedaan kemampuan fisik dan intelektual, yang akhirnya dapat
membedakan kekayaan dan kekuatan masyarakatnya. Masyarakat dengan
jarak kekuasaan yang tinggi akan menerima adanya perbedaan yang nyata dalam
kekuatan atau kewenangan organisasi, cenderung mengembangkan aturan,
mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status
atau kekuasaan. Implikasi dalam struktur organisasi biasanya ditandai adanya
struktur hirarki yang ketat dan kekuasaan yang terpusat (Dayakisni & Yuniardi ,
2004). Karyawan sangat menghargai mereka yang memegang jabatan dengan
kewenangan tinggi. Sebaliknya, masyarakat dengan jarak kekuasaan yang
rendah memperkecil ketidaksamaan/ketidakmerataan kewenangan dan
mengutamakan kesejajaran sehingga struktur organisasinya biasanya kurang ketat
hirarkinya atau lebih terdesentralisir. Atasan tetap memiliki kewenangan tetapi
karyawan tidak perlu merasa kaku atau takut kepada atasannya (Zainuddin,
2006).
Indeks jarak kekuasaan, didasarkan pada tiga butir pertanyaan yaitu (1)
perasaan takut apabila karyawan tidak setuju dengan manager, (2) pengambilan
Universitas Sumatera Utara
3. 12
keputusan dipersepsi sebagai non-demokratis dan (3) preferensi pengambilam
keputusan yang konsultatif (Berry, 1999).
Perbedaan karakteristik jarak kekuasaan yang diperoleh dari hasil penelitian
Hofstede tahun 1984 antara masyarakat yang jarak kekuasaan tinggi dengan yang
rendah adalah sebagai berikut (dalam Matsumoto & Juang , 2000).
Karakteristik jarak kekuasaan tinggi yaitu:
1) Orangtua meletakkan nilai yang tinggi pada ketaatan anak-anak;
2) Pelajar meletakkan nilai yang tinggi pada konformitas;
3) Pelajar memperlihatkan sikap authoritarian sebagai suatu norma sosial;
4) Dalam pengambilan keputusan manager bersifat autokaratis atau
paternalistik;
5) Pengawas yang tertutup dievaluasi positif oleh bawahanya;
6) Etika kerja dirasa lebih rendah, dimana frekuensi keyakinan bahwa
sebenarnya orang yang tidak suka kerja tinggi;
7) Manager lebih puas dengan atasan yang mengarahkan atau persuasif;
8) Bawahan memberikan pilihan untuk pengambilan keputusan dengan pola
terpusat pada manager;
9) Manager melihat diri mereka sendiri sebagai pengambil keputusan yang
baik;
10) Karyawan takut untuk tidak setuju terhadap pemimpinya;
11) Karyawan sulit untuk percaya pada orang lain;
12) Manager memiliki pertimbangan yang sedikit dalam pengambilan
keputusan;
Universitas Sumatera Utara
4. 13
13) Pelajar memiliki asosiasi yang negatif terhadap ”kekuatan” dan
”kelemahan”;
14) Ideologis yang jadi pendukung karyawan berpartisipasi dalam manajemen;
15) Mendukung antar manager untuk memperluas distribusi kapasitas
memimpin dan inisiatif
Karakteristik jarak kekuasaan rendah yaitu:
1) Orangtua meletakkan sedikit nilai pada kepatuhan anak-anak;
2) Pelajar meletakkan nilai yang tinggi pada kebebasan;
3) Sikap authoritarian dari pelajar merupakan keperibadian yang bermasalah;
4) Manager mengambil keputusan setelah berkonsultasi dengan bawahannya;
5) Pengawas yang tetutup dievaluasi negatif oleh bawahannya;
6) Etika kerja yang dipandang kuat, dimana keyakinan yang tinggi bahwa
orang suka akan kerja;
7) Manager lebih puas dengan atasan yang telibat (partisipan);
8) Bawahan memberikan pilihan pada manager untuk membuat keputusan
secara konsultatif;
9) Manager melihat diri mereka sendiri sebagai praktikal dan sistematis yang
memberikan dukungan pada bawahan;
10) Karyawan tidak takut jika tidak setuju dengan pemimpinnya;
11) Karyawan lebih menujukkan sikap saling bekerjasama;
12) Manager lebih menunjukkan pertimbangan dalam pengambilan keputusan;
13) Pelajar memiliki asosiasi yang positif terhadap “kekuatan’ dan
“kelemahan”;
Universitas Sumatera Utara
5. 14
14) Perasaan saling terlibat antara karyawan tentang pertisipasi dalam
manajemen;
15) Perasaan saling terlibat antar manager dalam meyebarkan kapasitas untuk
memimpin dan berinisiatif;
b. Penghindaran ketidakpastian
Penghindaran ketidakpastian merupakan perasaan terancam seseorang
terhadap keadaan ataupun situasi yang tidak pasti atau ambigu pada masa yang
akan datang, sehingga cenderung akan membentuk aturan-aturan formal untuk
menghindari ketidakpastian tersebut. Kita hidup dalam dunia yang penuh
ketidakpastian, sulit untuk menebak masa depan. Respons masyarakat
terhadap ketidakpastian ini juga berbeda-beda (Matsumoto & Juang, 2000)
Budaya penghindaran ketidakpastian yang tinggi, anggotanya merasa
terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme
untuk mengurangi resiko itu. Dalam dunia kerja, untuk memperoleh rasa aman
dalam situasi kerja maka diciptakan aktivitas-aktivitas yang lebih tersetruktur,
aturan-aturan yang tertulis atau pengaturan yang baik atau cenderung berorientasi
pada peraturan. Oleh karena itu, untuk berhasil dalam kerja dibutuhkan detil-detil
tentang aspek kerja, agar bawahan tidak binggung. Seorang manager diharapkan
untuk lebih terlibat, meluangkan waktu yang banyak dalam menjelaskan apa yang
diharapkan dalam melaksanakan suatu tugas. Prosedur, pedoman, data yang
lengkap atau detil sangat diperlukan. Organisasi dalam budaya yang penghindaran
ketidakpastian tinggi juga cenderung memiliki kejadian turn over yang sedikit,
Universitas Sumatera Utara
6. 15
karyawan ambisinya rendah karena kurang berani mengambil resiko dan
petualangan, dan perilakunya mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang ada (Dayakisni
& Yuniardi , 2004).
Sementara dalam budaya penghindaran ketidakpastian yang rendah, biasanya
bersikap lebih relaks dalam melihat ketidakpastian, mudah beradaptasi terhadap
perubahan, mereka cenderung lebih bisa menerima resiko, sedikit memiliki aturan
dalam penyampaian mandat/intruksi/saran kepada bawahannya. Dengan situasi ini
orang lebih banyak mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas.
Sehingga seorang manager misalnya dapat memfokuskan pada isu-isu strategik
daripada detilnya dan lebih bebas menggunakan ide-ide inovatifnya. (Dayakisni &
Yuniardi , 2003). Hal ini dirangkum berdasarkan tiga butir pertanyaan yaitu: (1)
tidak melanggar kaidah-kaidah perusaahan, (2) ingin tetap bekerja di perusahaan
dan (3) merasa cemas dan tertekan di tempat kerja (Berry, dkk. 1999).
Perbedaan karakteristik penghindaran ketidakpastian yang diperoleh dari hasil
penelitian Hofstede tahun 1984 antara masyarakat yang penghindaran
ketidakpastian tinggi dengan yang rendah adalah sebagai berikut (dalam
Matsumoto & Juang , 2000).
Karakteristik penghindaran ketidakpastian tinggi yaitu:
1) Level kecemasan yang tinggi dalam populasi;
2) Lebih khawatir terhadap masa depan;
3) Stres kerja tinggi;
4) Sulit untuk berubah;
Universitas Sumatera Utara
7. 16
5) Kecendrungan untuk ingin tetap bekerja pada tempat yang sama;
6) Loyalitas pada pemberi kerja dipandang sebagai kebaikan;
7) Kesenjangan generasi yang besar;
8) Rata-rata usia yang tua berada pada level kerja yang tinggi;
9) Manager dipilih berdasarkan tingkat senioritasnya;
10) Motivasi berperstasi yang kurang;
11) Takut akan kegagalan;
12) Kurang mengambil resiko;
13) Kurang berambisi dalam kemajuan individual;
14) Seorang manager harus memiliki keahlian yang lebih dalam bidang yang
ia pimpin;
15) Struktur hirarki dalam organisasi jelas dan dipatuhi;
16) Aturan perusahaan tidak boleh dilanggar;
17) Konflik dalam organisasi dipandang sebagai ketidakmampuan;
18) Kompetisi antar karyawan ditentang;
19) Pendekatan ideologis kearah konsensus dan pemimpin yang konsultatif;
20) Inisiatif bawahan diusahakan berada dibawah kendali atasan;
21) Kesiapan yang rendah dalam hal berkompromi dengan lawan;
22) Keraguan pada orang asing yang memimpinnya;
23) Karyawan merasa pesimis terhadap motif dibelakang aktivitas
perusahannya;
24) Pesimis dalam berinisiatif, berambisi, dan kemampuan kepemimpinan.
Universitas Sumatera Utara
8. 17
Karakteristik penghindaran ketidakpastian rendah yaitu:
1) Level kecemasan yang rendah dalam populasi;
2) Semakin siap dalam menyongsong kehidupan yang akan datang;
3) Stres kerja yang rendah;
4) Mudah untuk berubah;
5) Sedikit keraguan untuk pindah dari tempat bekerja;
6) Loyalitas kepada pemberi kerja bukan dipandang sebagai kebaikan;
7) Kesenjangan generasi yang kecil;
8) Rata-rata usia yang muda dalam level kerja yang tinggi;
9) Manager dipilih berdasarkan kriteria bukan dari senioritas;
10) Motivasi berperstasi yang kuat;
11) Berharap pada kesuksesan;
12) Berani mengambil resiko;
13) Ambisi yang kuat dalam kemajuan inividual;
14) Seorang manager tidak butuh menjadi seorang yang ahli dalam bidangnya
yang ia kelola;
15) Struktur hirarki organisasi dapat ditembus oleh alasan yang pragmatis;
16) Aturan dapat dilanggar karena alasan pragmatis;
17) Konflik dalam organisasi dipandang sebagai hal yang alami;
18) Tedapat kompetisi antara karyawan yang jujur dan adil;
19) Lebih simpati pada keputusan individual;
20) Perwakilan bawahan dapat diterima oleh atasan;
21) Lebih bersedia dalam kerjasama dengan lawan;
Universitas Sumatera Utara
9. 18
22) Menerima orang asing yang menjadi pemimpinnya;
23) Karyawan merasa optimis pada motif yang berada dibalik aktivitas
perusahaan;
24) Optimis dalam berinisiatif, berambisi dan memimpin.
c. Individualis-kolektifis
Dimensi ini mengacu pada sejauhmana suatu budaya mendukung tedensi
individualis atau kolekifis. Budaya individualis mendorong anggota-anggotanya
agar mandiri, menekankan pada tanggung jawab dan hak-hak pribadinya.
Sehingga dalam budaya ini kebutuhan, keinginan, kepentingan dan tujuan
individu lebih diutamakan daripada tujuan kelompok. Dengan demikian,
masyarakat individual mengharapkan anggota-anggotanya untuk mandiri/bebas
dan merealisasikan hak-hak pribadinya. Sehingga hal ini menyebabkan
tumbuhnya kemandirian secara emosional pada instansi/perusahaan tempat
mereka bekerja dan lebih mementingkan kebebasan, tantangan secara inisiatif
dalam tugas. Sementara budaya kolektif menekankan kewajiban pada kelompok
daripada hak-hak pribadinya. Bahkan diharapkan orang untuk mengorbankan
kepentingan dan tujuan pribadinya demi tujuan kelompok, sehingga diharapkan
karyawan lebih patuh dan menyesuaikan diri terhadap organisasi untuk menjaga
adanya keselarasan (Dayakisni & Yuniardi, 2003).
Adanya perbedaan dalam dimensi individualis-kolektifis akan berpengaruh
dalam perbedaan secara nyata dalam sikap, nilai-nilai, keyakinan dan perilaku
yang berkaitan dengan kerja dan perusahaan tempat mereka bekerja. Misalnya
Universitas Sumatera Utara
10. 19
masyarakat yang memilki budaya individual cenderung menganggap waktu
pribadi adalah penting dan membuat perbedaan yang jelas antara waktu untuk diri
mereka pribadi dengan waktu untuk perusahaan. Mereka juga menekankan arti
pentingnya kebebasan, tantangan dan inisiatif dalam tugas, dimana isu-isu ini
justru tidak didukung oleh budaya kolektif. Dalam hubungannya dengan
perusahaan mereka cenderung bersifat kalkulatif memperhitungkan untung rugi,
sementara dalam budaya kolektif cenderung bersifat moral. Promosi dalam
budaya individual biasanya mendasarkan pada prestasi, sementara dalam budaya
kolektif mendasarkannya pada senioritas (Dayakisni & Yuniardi, 2003).
Disamping itu, dimensi individualis-kolektifis ini akan berpengaruh pada
perbedaan tentang kepemimpinan ideal yang diharapkan. Dalam budaya
individual pemimpin diharapkan melibatkan bawahnya dalam pengambilan
keputusan. Karena itu, keahlian dalam mendelegasikan dan konsultasi adalah
penting supaya kerja dapat maksimal. Kemampuan atau keterampilan dalam
menghadapi situasi konflik juga penting dalam budaya ini, khususnya untuk
situasi konflik terbuka. Konflik lebih mungkin terjadi pada masyarakat ini yang
sangat menghargai setiap orang untuk mempertahankan hak-hak pribadinya
daripada kolektif yang mengutamakan nilai keharmonisan sehingga situasi konflik
apalagi secara terbuka jarang terjadi. Oleh karena itu pada budaya kolektif
kemampuan untuk empati atau memahami orang lain adalah sangat penting.
Seorang manager diharapkan untuk lebih memberikan pertimbangan daripada
perintah. Sehingga diharapkan manager atau supervisor memiliki kemampuan
dalam memberikan dukungan dan mentoring. Selain itu, kemampuan yang
Universitas Sumatera Utara
11. 20
penting adalah untuk menyusun team bulding, sebab budaya kolektif lebih
menyukai gruop belongingnes daripada kerja individual (Dayakisni & Yuniardi ,
2003).
Perbedaan karakteristik individualis-kolektifis yang diperoleh dari hasil
penelitian Hofstede tahun 1984 antara masyarakat yang individualisme-
kolektifisme tinggi dengan yang rendah adalah sebagai berikut (dalam Matsumoto
& Juang, 2000).
Karakteristik individualisme-kolektifisme tinggi yaitu:
1) Memberikan waktu untuk kehidupan pribadi karyawan;
2) Kebebasan emosional dari perusahaan;
3) Lebih tertarik pada perusahaan yang kecil;
4) Keterlibatan terhadap perusahaan diperhitungkan;
5) Lebih mementingkan kebebasan dan tantangan dalam kerja;
6) Manager memimpin dengan metode yang bervariasi;
7) Manager merasa lebih penting untuk memiliki autonomy;
8) Keputusan individual lebih dihargai daripada keputusan kelompok;
9) Manager memilih kesenangan, affeksi dan keamanan sebagai tujuan hidup;
10) Inisiatif individu diberi dukungan sosial.
Karakteristik individualisme-kolektifisme rendah yaitu:
1) Lebih kearah pembekalan dari perusahaan seperti training;
2) Ketergantungan emosional oleh perusahaan;
3) Lebih tertarik pada organisasi yang besar;
Universitas Sumatera Utara
12. 21
4) Keterlibatan moral pada perusahaan;
5) Lebih memperhatikan moral dalam mengembangkan keahlian kerjanya;
6) Manager menciptakan konformitas dalam kepemimpinannya;
7) Manager lebih memilih jaminan posisinya;
8) Keputusan oleh kelompok lebih dihargai daripada keputusan individual;
9) Manager memilih kewajiban, keahlian dan prestise sebagai tujuan
hidupnya;
10) Inisiatif individu dipandang sebagai penentangan kehidupan sosial.
d. Maskulinitas-feminimitas
Dimensi maskulinitas menekankan terhadap tujuan-tujuan kerja
(berpenghasilan, memperoleh kemajuan) dan keterusterangan. Faktor-faktor yang
terdapat di dalamnya adalah termasuk hubungan yang baik dengan manager,
kerjasama yang baik dengan orang lain, bayaran yang tinggi dan dihargai.
Sehingga maskulinitas sebagai suatu preferensi ke prestasi, heroisme,
keterusterangan dan keberhasilan materi. Sementara dimensi feminim
menekankan pada tujuan interpesonal (suasana bersahabat, akrab dengan atasan),
pengasuhan dan faktor yang terdapat di dalamnya adalah lebih kepada preferensi
kehubungan, perhatian manusiawi terhadap kelemahan, dan kualitas hidup.
(Berry, dkk. 1999).
Adanya perbedaan dalam dimensi nilai ini akan berpengaruh pada struktur
organisasi dan corak hubungan dalam suatu perusahaan. Biasanya dalam
masyarakat yang memiliki dimensi maskulinitas tinggi maka perbedaan antara
Universitas Sumatera Utara
13. 22
pria dan wanita menjadi menonjol, dimana pria mengharapkan karir kerja yang
bagus dan kurang dapat mentolerir kegagalan. Demikian pula ketertarikan,
kebutuhan dan tujuan organisasi dipandang sebagai alasan yang sah untuk
mencampuri kehidupan pribadi karyawannya. Pada umumnya wanita yang
mendapat gaji atau penghargaan yang sama dengan pria harus lebih unggul, lebih
berkualitas dan lebih asertif dan disini terjadi tingkat stres yang lebih tinggi juga.
Demikian pula, manager atau supervisor yang dianggap baik adalah memiliki
perilaku yang dapat memberi penghargaan, pengakuan dan memberi inspirasi
(Dayakisni & Yuniardi , 2003).
Pada masyarakat yang memiliki dimensi feminim mengangap bahwa kerja
yang baik menuntut kemampuan untuk lebih memperhatikan kesejahteraan orang
lain dan kurang mengutamakan kepentingan diri sendiri. Sehingga manager yang
baik misalnya diharapkan memiliki keterampilan dalam memberikan dukungan,
mentoring dan membentuk tim kerja yang solid (teambuilding skill) (Dayakisni &
Yuniardi, 2004).
Perbedaan karakteristik maskulinitas-feminimitas yang diperoleh dari hasil
penelitian Hofstede pada tahun 1984 antara masyarakat yang maskulinitas-
feminimitas tinggi dengan yang rendah adalah sebagai berikut (dalam Matsumoto
& Juang, 2000).
Karakteristik maskulinitas-feminimitas tinggi yaitu:
1) Keterusterangan, kemajuan, tantangan lebih penting bagi karyawan;
2) Manager memiliki kepemimpinan, kebebasan, dan realisasi diri yang ideal;
Universitas Sumatera Utara
14. 23
3) Keyakinan dalam kebebasan membuat keputusan;
4) Motivasi berprestasi yang tinggi;
5) Berpusat pada pekerjaan;
6) Lebih memperhitungkan gaji;
7) Pengaruh perusahaan terhadap kehidupan pribadi diterima;
8) Stres kerja yang tinggi;
9) Karyawan suka pada organisasi yang besar;
10) Tidak menerima kegagalan, dan langsung berusaha memperbaikinya.
Karakteristik maskulinitas-feminimitas rendah yaitu:
1) Hubungan dengan atasan, kerjasama, persahabatan, keamanan pekerjaan
dipandang lebih penting;
2) Manager tidak seperti pemimpin yang kaku;
3) Keyakinan pada keputusan kelompok;
4) Motivasi berpertasi yang rendah;
5) Bekerja bukan menjadi pusat kehidupan;
6) Lebih memperitungkan apa yang ia berikan;
7) Tidak menerima pengaruh dari perusahaan dalam kehidupan pribadinya;
8) Stres kerja yang rendah;
9) Karyawan suka pada organisasi yang kecil;
10) Menerima kegagalan, dan kurang beruasaha untuk memperbaikinya.
Universitas Sumatera Utara
15. 24
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Work Value
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi work value Hofsede (dalam
Matsumoto &Juang, 2000) adalah sebagai berikut:
a. Lingkungan
Lingkungan tempat seorang bekerja mempengaruhi work value seseorang
dalam bekerja, seperti lingkungan fisik tempat kerja, orang-orang yang ada di
lingkungan organisasi. Lingkungan ataupun situasi yang dialami oleh seseorang
akan membuat munculnya dorongan untuk membuat penilaian pada suatu hal,
demikian juga terhadap nilai kerjanya. Hubungan interpersonal antara karyawan
dengan teman sejawat maupun dengan atasan dan bawahan akan berdampak pada
nilai kerja karyawan.
b. Kepuasan
Kepuasan yang diperoleh karyawan dalam pekerjaannya menetukan nilai
kerjanya. Kepuasan karyawan dipandang sebagai hal yang menyeluruh dari
pekerjaannya, maka semakin puas karyawan terhadap pekerjaannya maka nilai
kerja mereka akan tepengaruh juga. Pengalaman bekerja dipandang sangatlah
berpengaruh pada nilai kerja dan kepuasan. Seperti yang di ungkapkan oleh
Donald (2004) bahwa kepuasan kerja seseorang akan menetukan tinggi rendahnya
nilai kerja seseorang, dan kepuasan ini juga menentukan lama tidaknya orang
tersebut bekerja pada perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
16. 25
c. Tujuan personal
Tujuan personal merupakan suatu target yang ingin dicapai oleh karyawan,
yang meyebabkan karyawan akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
mencapai hal tersebut. Tujuan personal dari karyawan juga menetukan nilai kerja
karyawan dimana suatu hal yang ingin dicapai akan menjadi penentu bagaimana
karyawan menggambarkan dan menetukan nilai kerjannya.
B. KARYAWAN
1. Pengertian Karyawan
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, karyawan
dapat diartikan setiap orang yang bekerja dengan menerima imbalan dari tempat ia
bekerja dan memiliki hubungan kerja dengan adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja/karyawan
2. Status Karyawan
a. Karyawan tetap
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 yang
dimaksud dengan karyawan tetap adalah karyawan yang diikat oleh perjanjian
kerja untuk waktu tidak tertentu. Untuk calon karyawan tetap, perusahaan dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan paling lambat 3 bulan. Adapun ciri-ciri dari
karyawan tetap adalah sebagai berikut:
1) Tak ada batasan jangka waktu lamanya bekerja;
Universitas Sumatera Utara
17. 26
2) Hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan tetap dituangkan dalam;
“Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu”
3) Perusahaan dapat mensyaratkan masa percobaan maksimal 3 bulan;
4) Masa kerja dihitung sejak masa percobaan;
5) Jika terjadi pemutusan hubungan kerja bukan karena pelanggaran berat
atau karyawan mengundurkan diri maka karyawan tetap mendapatkan
uang pesangon, uang penghargaan masa kerja (bagi karyawan yang
bekerja minimal 3 tahun) dan uang penggantian hak sesuai dengan
Undang-Undang yang berlaku.
b. Karyawan kontrak
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 yang
dimaksud dengan karyawan kontrak dalah karyawan yang diikat oleh perjanjian
kerja untuk waktu tertentu. Untuk calon karyawan kontrak, perusahaan tidak
mensyaratkan adanya masa percobaan. Adapun ciri-ciri dari karyawan tetap dalah
sebagai berikut:
1) Karyawan kontrak dipekerjakan oleh perusahaan untuk jangka waktu
tertentu saja, waktunya terbatas maksimal 3 tahun.
2) Hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan kontrak dituangkan
dalam“Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu”.
3) Perusahaan tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan.
4) Status karyawan kontrak hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu,yaitu :
Universitas Sumatera Utara
18. 27
a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya ;
b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 tahun ;
c) Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
5) Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya
jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau
berakhirnya hubungan kerja bukan karena terjadinya pelanggaran terhadap
ketentuan yang telah disepakati bersama, maka pihak yang mengakhiri
hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya
sebesar gaji karyawan sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja.
6) Jika setelah kontrak kemudian perusahaan menetapkan yang bersangkutan
menjadi karyawan tetap, maka masa kontrak tidak dihitung sebagai masa
kerja.
C. PERBEDAAN WORK VALUE ANTARA KARYAWAN TETAP
DENGAN KARYAWAN KONTRAK
Work value menurut Hofstede (dalam Matsumoto & Juang, 2000) merupakan
orientasi individual dan sikap terhadap pekerjaannya sendiri, loyalitas kepada
perusahaan maupun organisasi, terhadap hubungan personalnya dengan anggota
perusahaan. Work value memiliki empat dimensi yaitu : jarak kekuasaan,
Universitas Sumatera Utara
19. 28
penghindaran ketidakpastian, individualis-kolektifis dan maskulinitas-
feminimitas. Masing-masing dimensi berkaitan dengan perbedaan secara nyata
dalam hal sikap, opini, keyakinan dan perilaku dalam organisasi kerja dan bentuk-
bentuk dasar untuk memehami norma-norma sosial tertentu dan juga berpengaruh
pada struktur organisasi dan perilaku organisasi (Dayakisni & Yuniardi , 2004)
Work value terdapat pada setiap diri karyawan baik karyawan yang statusnya
karyawan tetap maupun yang statusnya karyawan kontrak. Pada karyawan kontrak
akan berusaha menampilakan kinerja yang baik dan lebih produktif agar kontrak
kerjanya tidak diputus sebelum kontrak kerja tersebut habis atau supaya kontrak
kerjanya diperpanjang oleh pihak perusahaan (Charly, 2007). Hal ini
menunjukkan bahwa pada karyawan kontrak memiliki ketidakpastian pada masa
depan pekerjaan yang lebih tinggi dari karyawan tetap, karena mereka tidak dapat
memastikan apakah mereka akan tetap bekerja pada tempat yang sama setelah
masa kontrak kerja yang hanya tiga tahun antara karyawan kontrak dan
perusahaan berakhir. Ketidakpastian masa depan pekerjaan ini akan meyebabkan
perasaan cemas pada karyawan kontrak yang akan mendorong karyawan kontrak
untuk melakukan suatu mekanisme untuk menghindari ketidakpastian tersebut,
yang dapat berupa pembentukan aturan-aturan yang terstruktur antara perusahaan
dengan karyawan untuk memperoleh keamanan kerja. Sedangkan pada karyawan
tetap mereka memiliki kepastian dan memandang optimis pada masa depannya
baik dalam jenjang karir yang ada pada perusahaan, maupun pada jaminan akan
tetap bekerja sampai usai tidak produktifnya (Dhanasarnsilp, dkk.2006)
Universitas Sumatera Utara
20. 29
Memenuhi aturan kontrak yang diberlakukan oleh perusahaan akan membuat
karyawannya menjadi lebih berambisi, menghindari perilaku yang negatif seperti
datang terlambat, penampilan kerja yang kurang dan lain sebagainya (Schalk,
2004). Karyawan kontrak akan selalu berusaha untuk memperoleh hasil yang baik
dalam kerjannya dan mengurangi bahkan menghilangkan perilaku yang negatif
dalam perusahaan sehingga perusahaan akan mepertahankan mereka setelah
kontrak kerjanya berakhir, perilaku seperti ini cenderung tetap pada karyawan
kontrak. Cara kerja seperti ini dapat dikatakan sebagai cara kerja yang maskulin,
karena lebih menekankan pada tujuan-tujuan kerja, prestasi dan keberhasilan
seseorang dalam perusahaan. Sementara karyawan tetap tidak selalu dapat
menampilkan atau berusaha untuk menampilkan kinerja produktif yang tinggi
bahkan sering terlihat memetingkan terciptanya hubungan interpersonal dalam
kerja (Ubaydillah,2007).
Karyawan kontrak yang berusaha memperoleh hasil kerja yang terbaik dan
pruduktif akan mendorong mereka menjadi lebih mandiri. Kemandirianya akan
membuat mereka lebih menekankan pada tanggungjawab, dan memiliki inisaitif
dan ambisi dalam pekerjannya. Sehingga cara kerja mereka lebih kepada
individual. Karyawan tetap juga akan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya,
tetapi mereka cenderung untuk mengikuti kewajiban kelompok kerja ataupun
devisi kerjanya sehingga hasil yang mereka peroleh dapat dipandang sebagai hasil
kelompok dan menciptakan keharmonisan kelompok (Nelson,1994).
Karyawan tetap yang atasan langsungnya adalah pemimpin dalam perusahaan
tempat ia bekerja sementara karyawan kontrak kebanyakan melalui jasa penyalur
Universitas Sumatera Utara
21. 30
tenaga kerja (outsorching) sehingga atasan langsung mereka adalah pihak
penyalur tersebut (Nugroho, 2004). Ini menunjukan bahwa jarak kekuasaan
karyawan kontrak terhadap pemimpinnya berbeda dengan karyawan tetap.
Dimana pada karyawan kontrak akan memandang atasanya sebagai orang yang
punya kewenangan yang sangat besar dan mereka cenderung untuk takut pada
atasan dan mengikuti keputusan yang diambil oleh atasan walaupun tanpa
melibatkan mereka dalam prosesnya, karena mereka takut diberikan mendapat
penilaian yang negatif dari atasan. Dalam penelitiannya Schalk (2004), juga
menggungkapkan bahwa karyawan kontrak sangat menghargai mereka yang
memiliki jabatan ataupun wewenang yang lebih tinggi daripada mereka dan
cenderung untuk mengikuti setiap perintah mereka agar tidak mendapat penilain
negatif dari pihak perusahaan. Hal lain terjadi di karyawan tetap dimana mereka
tetap melaksanakan keputusan oleh atasan tetapi dalam menjalankannya mereka
tidak kaku dan masih memberikan masukan pada atasanya. Hal senada yang
diungkapkan oleh Zainuddin (2006), yang menyatakan bahwa walapun atasan
memiliki kewenangan, kewenangan itu dianggap sebagai suatu tanggungjawab
yang lebih besar daripada bawahannya, sehingga karyawan tidak merasa kaku
atau takut kepada atasan ataupun pimpinannya.
Dari hal diatas adanya perbedaan-perbedaan antara karyawan tetap dan
karyawan kontrak dalam hal masa depan kerja, penampilan kerja yang
ditunjukkan, hubungan antara atasan bawahan dalam perusahaan, bahkan
hubungan antara personal antara karyawan di perusahaan akan membentuk nilai
kerja seseorang yang berbeda pula satu sama lainya.
Universitas Sumatera Utara
22. 31
D. HIPOTESIS PENELITIAN
Dalam penelitian ini terdapat beberapa hipotesa penelitian yang terdiri dari
hipotesa mayor dan minor. Berdasarkan uaraian di atas, maka hipotesa mayor
dalam penelitian ini adalah ada perbedaan work value pada karyawan tetap dan
karyawan kontrak. Sedangkan hipotesa minor dalam penelitian ini adalah ada
perbedaan work value ditinjau dari dimensi-dimensi work value itu sendiri,
dimana pada dimensi jarak kekuasaan dan penghindaran ketidakpastian lebih
tinggi pada karyawan kontrak daripada karyawan tetap, dan pada dimensi
individualis-kolektifs, karyawan tetap lebih kolektif sedangkan karyawan kontrak
lebih individual, serta pada dimensi maskulinitas-feminimitas, karyawan tetap
lebih bersifat feminim sedangkan karyawan kontrak lebih bersifat maskulin.
Universitas Sumatera Utara