1. Surat Perintah Sebelas Maret
Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi
Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia
Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.
Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap
perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan
Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia
mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah
supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Keluarnya Supersemar
<Supersemar>
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966,
Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang
dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur
sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak
"pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad
dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada
di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
2. Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil
Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan.
Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian
menyusul ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden
menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan
Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral
(Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan
menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto
untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui
Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral
Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam
hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai
situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu
mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa
yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M
Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat
Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada
Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban.
Supersemar2
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu
setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut
berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto,
Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang
pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah
Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat
dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba.
3. Beberapa Kontroversi tentang Supersemar
<Supersemar Versi AD>
<Supersemar Versi Lain>
• Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu,
ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang
perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini khan perpindahan
kekuasaan". Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian
naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan dimana
karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia. Belakangan,
keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M.
Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
• Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu)
Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi
1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia
menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret
1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira
yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar
Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen
M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan
memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat
Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas
mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden
Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya.
Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani,
Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan.
Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno
mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari istana,
dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian
4. (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu
Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah
Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan meragukan
kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral
(Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
• Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto",
seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh
Soeharto. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa
adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya
(Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang
menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden
Soekarno menginap di Istana Merdeka, Jakarta untuk keperluan sidang kabinet pada pagi
harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah
menginap diistana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi
yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana
Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral
itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat
kesana terlebih dahulu. Dan menurutnya mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari
istana merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi
Presiden Soekarno di Bogor, minta izin untuk datang ke Bogor. Dan semua itu ada saksinya-
saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang
Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik.
Tetapi di luar istana sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank ada di luar jalanan
istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu.
Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di
Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yangdatang ke Istana Bogor tidak
ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai
Menhankam, tidak hadir.
• Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak
jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali
Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
• Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang
pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di
atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan.
Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat
ini. Bahkan, Arsip Nasional telah berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M. Jusuf, yang
merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan
apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat meminta bantuan
Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, dan M. Saelan, bahkan meminta DPR
untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha Arsip Nasional itu tidak pernah terwujud.
Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden
Soeharto pada 27 Januari 2008, membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.
5. Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan
bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia
yang masih gelap.
Rahasia di Balik SUPER SEMAR (Surat
Perintah Sebelas Maret)
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) adalah catatan sejarah yang sampai saat ini
keabsahannya masih menjadi kontroversi. Secara umum, isi Supersemar adalah perintah Presiden
Soekarno kepada Letnan Jendral Soeharto saat itu yang secara implisit mengalihkan tanggung
jawab kepresidenan.
Adapun latar belakang keluarnya Surat Perintah pada tanggal 11 Maret 1966 ini, versi resminya
adalah sebagai berikut. Menjelang akhir tahun 1965, operasi militer terhadap sisa-sisa G-30-
S/PKI boleh dikatakan sudah selesai, hanya penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut
belum dilaksanakan oleh Presiden Soekarno. PKI belum dibubarkan. Sementara krisis ekonomi
semakin parah. Laju inflasi mencapai 650%. Tanggal 13 Desember 1965 bahkan dilakukan
devaluasi, uang bernilai Rp 1.000,00 turun menjadi Rp 1,00. Sementara itu, harga-harga
membumbung naik. Hingga pada bulan Januari 1966 para mahasiswa dan pelajar yang tergabung
dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar
Indonesia) dengan salah satu pentolannya Soe Hok Gie telah melakukan aksi demonstrasi kepada
pemerintahan Soekarno. Selama 60 hari, dengan dipelopori para Mahasiswa Universitas
Indonesia, seluruh jalanan ibukota dipenuhi demonstran. Aksi yang dilancarkan melalui
demonstrasi maupun melalui surat kabar tersebut intinya mengecam Soekarno dan jajarannya
yang tidak peduli kepada rakyat. Mreka menyampaikan Tri tuntutan rakyat (Tritura), yang
isinya: Bubarkan PKI, Retool Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.
Sementara itu, sejak terjadinya peristiwa gerakan 30 September 1965, terjadi perbedaan pendapat
antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai Menteri/Panglima
Angkatan Darat. Perbedaan pendapat berfokus pada cara untuk mengatasi krisis nasional yang
semakin memuncak setelah terjadinya G-30-S tersebut. Soeharto berpendapat bahwa pergolakan
rakyat tidak akan reda selama PKI tidak dibubarkan. Sementara Soekarno mengatakan bahwa ia
tidak mungkin membubarkan PKI karenahal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang
telah dicanangakan ke seluruh dunia. Perbedaan pendapat ini selalu muncul dalam pertemuan-
pertemuan berikunya di antara keduanya. Soeharto kemudian menyediakn diri untuk
membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari presiden.
6. Pada tanggal 11 Maret 1966, Kabinet yang dijuluki “Kabinet 100 menteri” (karena jumlah
menterinya mencapai 102 orang) mengadakan sidang paripurna untuk mencari jalan keluar dari
krisis. Sidang diboikot, para mahasiswa mengadakan pengempesan ban mobil di jalan-jalan
menuju ke istana. Ketika Presiden berpidato, Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa (Pengawal
Presiden) memberitahukan bahwa istana sudah dikepung pasukan tak dikenal. Meskipun ada
jaminan dari Pangdam Jaya brigjen Amir Mahmud, bahwa keadaan tetap aman, Presiden
Soekarno yang tetap merasa khawatir, pergi dengan helikopter ke Istana Bogor bersama Wakil
Perdana Menteri Dr. Soebandrie dan Dr. Khairul Saleh.
Setelah itu, tiga perwira tinggi AD, Mayjen Basuki Rahmat (Menteri Urusan Veteran), Brigjen
M. Yusuf (Menteri Perindustriian), dan Brigjen Amir Mahmud, dengan seizin atasannya yaitu
Jenderal Soeharto yang menjabat Menpangand merangkap Pangkopkamtib, pergi menemui
Presiden Soekarno di Bogor. Di sana ketiganya mengadakan pembicaraan dengan Presiden
dengan didampingi ketiga Waperdam, yaitu Dr. Soebandrio, Dr. Khairul Saleh dan Dr. J.
Leimena. Pembicaraan yang berlangsung berjam-jam itu berkisar seputar cara-cara yang tepat
untuk menghadapi keadaan dan memulihkan keadaan presiden.
7. Akhirnya Presiden Soekarno memutuskan untuk membuat surat perintah yang ditujukan kepada
Jenderal Soeharto, yang intinya adalah memberi wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk
mengamankan dan memulihkan keamanan negara, menjaga ajaran Bung Karno, menjaga
keamanan Presiden, dan melaporkan kepada Presiden. Jadi Soeharto diberi kewenangan untuk
mengambil semua tindakan yang dianggap perlu guna mengatasi keadaan dan memulihkan
kewibawaan Presiden. Teks surat dirumuskan oleh ketiga wakil perdana menteri bersama
perwira tinggi AD yang disebut di atas ditambah dengan Brigjen Sabur sebagaisekretaris surat
itu kemudian ditandatangani oleh Presiden. Serah terima secara resmi Surat Perintah 11 Maret
1966 dari ketiga Perwira Tinggi TNI-AD kepada Presiden Soeharto dilaksanakan saat itu juga,
sekitar pukul 21.00 WIB, bertempat di Markas Kostrad. Surat inilah yang kemudian dikenal
sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar).
Lepas tengah malam tanggal 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto membubarkan PKI dengan dasar
hukum surat perintah tersebut. PKI beserta ormas-ormasnya dilarang di seluruh Indonesia
terhitung sejak 12 Maret 1966. Seminggu kemudian, 15 menteri yang dinilai terlibat dalam G-
30-S ditahan. Dengan demikian, dua dari Tritura, sudah dilaksanakan, Namun kewibawaan
Presiden Soekarno tidak pulih. Antara tahun 1966-1967 terjadi dualisme kepemimpinan nasional,
yaitu Soekarno sebagai presiden dan Soeharto sebagai Pengemban Super Semar yang
dikukuhkan dalam ketetapan MPRS No. IX/MPRS/66.
Soeharto kemudian ditugaskan membentuk Kabinet Ampera yang dibebani tugas pokok
memulihakan perekonomian dan menstabilkan kondisi politik. Konflik kepemimpinan
tampaknya berakhir setelah tanggal 20 Februari 1967, ketika Presiden Soekarno menyerahkan
kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto selaku Pengemban Tap No. IX/MPRS/66.
Surat Perintah Sebelas Maret ini yang banyak dipublikasikan adalah versi resmi dari Markas
Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan
sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih
ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor. Ada
yang mengatakan nasakah aslinya sebanyak dua halaman, di pihak lain ada yang menyebutnya
hanya satu halaman (seperti versi resminya).
Adapun menurut H.M. Yusuf Kalla yang merupakan orang kepercayaan Jenderal Yusuf –salah
satu saksi hidup pada pembuatan Supersemar- mengatakan bahwa naskah asli Supersemar
sebenarnya ada di tangan mantan Presiden Soeharto. Hal itu disampaikan Kalla di sela-sela
kedatangannya melayat Jend. Andi Muhammad Yusuf, Kamis 9 September 2004. “Naskah
aslinya, itu di tangan Pak Harto sebenarnya. Karena pada waktu malam itu, beliau (Jenderal
Jusuf) menyerahkan ke Pak Harto,” kata Kalla. Saat ditanya soal kemungkinan adanya kopian
yang dipegang Jend. Yusuf, Kalla mengatakan, “Tentu banyak dokumen-dokumen di tangan dia
(Jenderal Jusuf). Dokumen-dokumen yang menyangkut tugas-tugas. Tapi itu milik pribadi
beliau.” (dari www.tempointeraktif.com)
Nah, peristiwa 11 Maret ini sering dikatakan sebagai kudeta terselubung dari Soeharto terhadap
Soekarno, padahal atas dasar beberapa referensi yang saya dapat, hal ini sebenarnya kurang
tepat.
8. Secara pengertian, kudeta (coup d’etat) merupakan pengambilan atau penggulingan kekuasaan
(seizure of, topple of, state power) secara paksa dan mendadak. Atau bisa diartikan bahwa ketika
terjadi kudeta dari A ke B, maka saat itu juga si A kehilangan kekuasaan dan si B mengemban
kekuasaan sepenuhnya.
Dengan adanya Supersemar, Letjen. Soeharto saat itu
belum menjadi penguasa tertinggi di Indonesia. Secara de facto dan de jure, Soekarno masih
berstatus Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata,
bahkan Pemimpin Besar Revolusi. Banyak diceritakan bahwa Soekarno didesak untuk
melakukan perlawanan fisik terhadap klik Soeharto, namun Soekarno yang cinta damai
menolaknya dan memilih untuk melewati jalan damai akan konflik politiknya dengan Soeharto.
Soekarno sendiri dalam setiap kesempatan terus menerus menyampaikan penolakan terhadap
tekanan-tekanan Soeharto. Sedikitnya, ia sering membantah laporan luar negeri bahwa dirinya
telah digulingkan oleh Soeharto. Berikut adalah pernyataannya yang ia sampaikan pada
sambutan Peringatan Idul Adha di Masjid Istiqlal 1 April 1966, 3 minggu stelah keluarnya
Supersemar.
“Sang duta besar kita harus menerangkan lagi, menerangkan bahwa berita-berita surat kabar-
surat kabar nekolim itu tidak benar. President Soekarno has not been toppled, Presiden
Soekarno tidak digulingkan. President Soekarno has not been ousted. Presiden Soekarno tidak
ditendang keluar. President Soekarno is still president. Presiden Soekarno masih tetap presiden.
Presiden Soekarno is still supreme commander of the armed forces. Presiden Soekarno masih
tetap Panglima Tertinggi daripada Angkatan Bersenjata!”
Adapun mengenai Supersemar itu sendiri, pada sambutannya memperingati 40.000 jiwa
pahlawan Sulawesi Selatan di Istora pada 10 Desember 1966, Soekarno mengingatkan bahwa:
“It (Supersemar) is not a transfer of authority kepada General Soeharto. Ini sekadar perintah
kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan, untuk ini, untuk itu,
untuk itu. Perintah itu bisa juga saya berikan, misalnya, kepada Pak Mul. Muljadi Pangal
(Panglima Angkatan Laut, pen.). Saya bisa juga perintahkan kepada Pak Sutjipto Judodihardjo,
apalagi dia itu Pangak (Panglima Angkatan Kepolisian, pen.). Saya bisa: He, Sdr. Tjip Pangak,
saya perintahkan kepadamu untuk keamanan, kestabilan jalannya pemerintahan. Untuk
keamanan pribadi Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dan lain-lain sebagainya. I repeat again:
it is not a transfer of authority. Sekadar satu perintah! Mengamankan! ”
9. Namun sejarah mencatat bahwa Soeharto memanfaatkan Supersemar untuk sedikit demi sedikit
mengambil alih kekuasaan Soekarno. Bahkan dia memantapkan tujuannya itu dengan cara
merekayasa terselenggaranya Sidang Umum (SU) MPRS pada Juli 1966. Hasilnya, 2 ketetapan
yang “mendukung” Soeharto, keluar, yaitu TAP No. IX/1966 dan TAP No. XV/1966. Dengan
adanya ketetapan ini maka seolah Supersemar telah “dikukuhkan”, dari hanya “sekedar” perintah
eksekutif, menjadi “ketetapan” yang hanya MPR itu sendiri yang berkewenangan untuk
mencabutnya. TAP yang pertama memberikan jaminan terhadap Letnan Jendral Soeharto, untuk
setiap saat menjadi presiden “apabila Presiden berhalangan”. Namun, MPRS saat itu tidak
memberikan penjelasa apapun tentang apa yang dimaksud dengan “berhalangan”.
Sejak SU MPRS ini, kesan terjadinya dualisme kepemimpinanpun semakin hebat. Padahal
dualisme kepemimpinan ini hanya rekayasa. Yang sebenarnya terjadi adalah adanya semacam
perlawanan politik dari Soeharto kepada Soekarno. Apapun yang diucapkan Soekarno, selalu
mendapat penentangan dari militer yang sepenuhnya dikendalikan Soeharto, serta para
mahasiswapun terus-menerus berdemonstrasi di seluruh pelosok tanah air.
Di satu pihak, Soeharto hampir sepenuhnya mengambil alih kekuasaan, di pihak lain Soekarno
terus-menerus meneriakkan bahwa dirinya masih Presiden dan Panglima Tertinggi yang sah.
“Dualisme kepemimpinan nasional” yang semakin kuat ini menimbulkan isu publik bahwa
penyerahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto merupakan jalan terbaik untuk mengakhiri
krisis politik. Karena bargaining power-nya yang semakin lemah, Soekarno tidak punya pilihan
lain kecuali berkapitulasi. Beberapa permintaannya pun ditolak, seperti jaminan keamanan dan
sebagainya.
Maka, pada 20 Februari 1967 sekitar pukul 5 sore Soekarno di Istana Merdeka menandatangani
Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan. Soeharto datang sendiri ke Istana didampingi beberapa
petinggi militer. Namun, pengumumannya ditunda hingga “saat yang tepat”. Oleh sebagian
sejarawan, peristiwa 20 Februari 1967 inilah yanga dikategorikan sebagai “kudeta” Soeharto
terhadap Presiden Soekarno. Dengan dokumen tersebut, Soekarno kehilangan semua
kekuasaannya. Sebaliknya, Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia.
Tanggal 22 Februari 1967 pagi, berita tentang penyerahan kekuasaan Soekarno kepada Soeharto
ternyata sudah bocor ke luar. Bahkan sudah ada koran yang memberitakannya Menjelang
pengumuman dokumen penting itu pada 22 Februari 1967 pukul 19:00, Soekarno dengan wajah
kesal bertanya kepada Soeharto yang duduk disampingnya sambil menunjuk-nunjuk Koran yang
dimaksud: “Kenapa beritanya sudah bocor?” Soeharto jawab sambil tersenyum: “Cuma
menerka-nerka saja……”
Perhatikan Diktum pertama pengumuman Presiden Soekarno pada 22 Februari 1967 ini: “Kami
Presiden RI/Mandataris MPRS/Pangti ABRI terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan
pemerintahan kepada Pengemban Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 Jenderal TNI Soeharto
sesuai dengan ji- wa Ketetapan MPRS No XV/ MPRS/1966 dengan tidak mengurangi maksud
dan jiwa UUD 1945.”
10. Jadi, penyerahan kekuasaan Soekarno kepada Soeharto didasarkan
pada TAP MPRS No XV/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa “Apabila Presiden berhalangan,
maka pemegang Surat Presiden 11 Maret 1966 memegang jabatan Presiden”. Tapi, apakah
Soekarno ketika itu berhalangan atau berhalangan tetap sehingga ia tidak lagi bisa menjalankan
kekuasaannya? Tidak, menurut Prof. Dahlan Ranuwihardjo, yang saya kutip dari
http://www.suarapembaruan.com, Soekarno sehat wal’afiat ketika mengumumkan transfer of
power-nya di Istana. Secara fisik, ia masih gagah perkasa, apalagi muncul dengan seragam
kebesarannya, lengkap dengan segala atribut kehormatan di dadanya yang bidang. Soekarno
sengaja dibuat “berhalangan” – dalam arti pemerintahannya tidak lagi efektif, selama kurang-
lebih 8 bulan oleh klik militer pimpinan Soeharto, sehingga timbul kesan berbahaya karena
Indonesia tidak memiliki pemerintahan yang efektif.
Referensi:
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Surat_Perintah_Sebelas_Maret
2. http://diarydiar.wordpress.com/2013/11/06/rahasia-di-balik-super-semar/